138 PERAN PARTAI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA Abdullah Manshur *) Abstract: The defeat of the Muslims with the abolition of the Jakarta Charter makes Islamic groups are united. They think of a political party can make an umbrella for all Islamic organizations at the time. And this also means that the ideological conflict on the basis of the country is not over. Islamic groups back symbolically defeated, during the period under Sukarno's Guided Democracy, articulation legalistic / formalistic political ideas and practices of Islam, particularly Islam as the state ideology, began to show the implications bawaaannya negative. Unless NU, which re-organize orentasi polotiknya and received his Manifesto Usdek Soekarno, the Islamic party's power declined precipitously Keywords: Political Parties and the Application of Islamic Law PENDAHULUAN Semangat untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah padam dari dahulu hingga sekarang. Sejak agama Islam masuk di Nusantara sekitar abad ke-7 M, atau lebih jelasnya pada abad ke-13 M, kerajaan Islam yang berdiri selalu berusaha menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari di wilayahnya. Tersebutlah kerajaan-kerajaan besar Islam, seperti kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Demak, kerajaan Mataram, kerajaan Tidore, Kerajaan Gowa, kerajaan Bone dan kerajaan Islam lainnya di Nusantara, semuanya merupakan kerajaan Islam yang dengan gigih menerapkan dan memperjuangkan Islam sebagai ideologi kerajaan masing-masing. Setelah ekspansi Barat memasuki daratan Nusantara, terutama sejak bercokolnya Belanda yang kemudian menjajah daerah-daerah Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha menegakkannya walaupun secara berangsur-angsur hukum kolonial diterapkan di tanah jajahan tersebut. Sesudah Indonesia merdekapun, usaha penegakan syariat Islam tidak pernah berhenti, sekalipun pada masa Orde Lama cita-cita Islam dalam hubungannya dengan negara dipangkas habis oleh rezim Soekarno. Sejarah mencatat betapa seorang Kartosuwiryo dengan DI/TII dan pengikutnya di Jawa Barat ditumpas habis, Daud Buereuh di Aceh serta Abd. Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan juga dibabat habis oleh penguasa Orde Lama. Meski amat tragis nasib para pejuang penegak syariat Islam pada awal kemerdekaan, namun tidak membuat kendur semangat untuk memperjuangkan syariat Islam di bumi Nusantara ini. Cara kekerasan sebagaimana Kartosuwiryo, Daud Beureuh dan Abd. Kahar Muzakkar mulai ditinggalkan oleh generasi selanjutnya, semangat Islam mulai lagi dimunculkan lewat berbagai partai dan organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Partai Masyumi, Partai Islam Indonesia (PII), ormas Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) dan lain sebagainya. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: bagaimana peran partai politik dalam memperjuangkan penerapan hukum Islam di Indonesia dari masa Orde Lama sampai Era Reformasi? 139 PEMBAHASAN Piagam Jakarta Sidang yang dilaksanakan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terjadi perdebatan ideologis di dalamnya yang sengit antara golongan Islam dan nasionalis sekuler tentang dasar negara yang akan diberlakukan di negara yang akan berdiri. Hal ini diakui oleh Supomo dalam pidatonya di depan sidang BPUKPI pada tanggal 31 Mei 1945. “memang di sini terlihat ada dua faham, ialah: faham dari anggotaanggotanya ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagi dianjurkan tuan oleh Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan agama dan urusan Islam, dengan lain perkataan bukan negara Islam.” Gagasan-gagasan para tokoh Islam menjadikan Islam sebagai dasar negara sebenarnya tidak dilengkapi dengan argumentasi empiris mengenai “Negara Islam” yang dicita-citakan. Dipandang dari sudut ini, sebenarnya yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam dalam BPUPKI dan PPKI bukan realisasi konsep negara Islam tetapi lebih tepat pada jaminan terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Akhirnya, dibentuk panitia sembilan untuk menjembatani perbedaan antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis itu lebih lanjut. Panitia ini terdiri atas lima orang golongan nasionalis sekuler, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Subarjo, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis. Sedangkan golongan Islam diwakili oleh: H. Agus Salim, Kyai Wahid Hasyim, Abikusno dan Abdoel Kahar Muzakkir. Dari sembilan anggota tersebut hanya A.A, Maramis yang beragama Kristen, selebihnya Islam. Akhirnya setelah melalui pembicaraan panjang, kompromi dicapai pada tanggal 22 Juni 1945 dengan menambah tujuh patah kata dalam sila pertama menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep tersebut kemudian disebut Piagam Jakarta, tuntutan golongan Islam lainnya adalah ditetapkannya ketentuan bahwa Kepala Negara harus beragama Islam dan dicantumkan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam” di dalam konsitusi. Untuk melanjutkan sidang BPUPKI, dibentuk PPKI yang terdiri atas 15 orang. Dalam PPKI golongan Islam hanya diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wachid Hasyim. Tuntutan-tuntutan golongan Islam sebelumnya, semuanya di batalkan. Bahkan sehari setelah proklamasi. Tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan, kata Allah dalam mukaddimah diganti dengan Tuhan, dan kata mukaddimah diganti menjadi pembukaan. Ada tiga alasan utama golongan Islam menerima perubahan Piagam Jakarta tersebut: 1. demi persatuan bangsa, 2. situasi politik sehari setelah proklamasi masih bergejolak, dan 3. golongan Islam berharap bahwa enam bulan setelah proklamasi akan dilaksanakan pemilu, sehingga mereka akan ikut serta. B. Peran Partai Politik dalam Perjuangan Penegakan Hukum Islam pada Masa Revolusi/ Orde Lama Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskannya Piagam Jakarta membuat golongan Islam bersatu. Mereka memikirkan suatu partai politik yang dapat menjadikan payung bagi semua organisasi Islam pada saat itu. Dan ini berarti pula bahwa konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Setelah pemerintah mengelurkan Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3 Nopember 1945. Maka partai-partai pilitikpun lahir termasuk partai Masyumi. 140 Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus berpusat di Jogjakarta sampai tanngal 1 Pebruari 1950. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satusatunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, AlIttihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Masyumi sebagai partai politik Islam satu-satunya pada saat itu yang merupakan gabungan berbagai ormas Islam, sehingga sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia) pada awal 1946 memperkirakan bahwa bila pemilu dilakukan pada saat itu maka Masyumi keluar sebagai pemenangnya dengan memperoleh 80% suara. Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan. Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Partai yang berdirinya diprakarsai oleh M. Natsir ini menyebutkan didalam Anggaran Dasarnya bahwa tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Ilahi. Hasil Pemilu tahun 1955, partaipartai Islam memperoleh hasil yang cukup baik walaupun masih kalah suara dibanding dengan partai-partai nasionalis sekuler. Masyumi dan PNI memenangkan pemilu DPR dengan memperoleh masing-masing 57 kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh 119 kursi. Urutan selanjutnya ditempati oleh NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstitunate, PSII memperoleh 8 kursi DPR dan 16 kursi Konstituante. Total kursi ynag diperoleh partai partai Islam di DPR adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang diperebutkan atau sebesar 45,13 %. Sedangkan di Konstituante memperoleh 230 kursi dari 514 kursi konstituante yang diperebutkan dalam pemilu atau sebesar 44,74 %. 141 Isu politik yang paling menonjol yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil pemilu tahun 1955 dan mereka mempunyai suara yang sama untuk itu, adalah persoalan idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara, berhadapan dengan kelompok lain yang menginginkan Pancasila serta social ekonomi sebagai dasar Negara. Hal itu terjadi karena pada saat itu sedang diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia di Konstituante. Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli 1959 memutuskan: 1. Pembubaran Konstituante. 2. Kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara Perdebatan mengenai dasar Negara tidak membuahkan hasil karena kekuatan Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan yang seimbang sehingga tidak mencapai jumlah 2/3 yang dibutuhkan untuk menggolkan preferensi ideologi mereka. Sementara itu usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tidak mendapat dukungan yang diperlukan. Semua perkembangan di atas membuat Presiden Soekarno, dengan dukungan tentara untuk mengelurkan dekrit yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Langkah ini merupakan sebuah strategi yang telah dicanangkan sejak lama, memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol bangsa. Kelompok Islam secara simbolik kembali dikalahkan, selama masa demokrasi terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaaannya yang negatif. Kecuali NU, yang kembali menata orentasi polotiknya dan menerima Manipol Usdek-nya Soekarno, kekuatan partai Islam menurun drastis. Para pimpinan Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologinya di Indonesia dipandang sebagai pendukung sejati gagasan negara Islam, dipenjarakan karena oposisi mereka terhadap pemerintah yang tidak berkesudahan. Dan akhirnya dengan alasan beberapa pimpinan utamanya (seperti; Mohammad Natsir, dan Sjafruddin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pemberontakan, Soekarno membubarkan Masyumi pada 1960. C. Peran Partai Politik dalam Perjuangan Penegakan Hukum Islam pada Masa Orde Baru Format politik Orde Baru yang dibentuk sejak tahun 1966 menempatkan militer sebagai kekuatan politik dominan, dalam periode awal konsolidasi pemerintahan Orde baru timbul optimisme dikalangan Islam pada khususnya dan masyrakat luas pada umumnya akan kehidupan demokrasi karena romantisme perjuangan menumbangkan Orde Lama penuh dengan retorika demokrasi. Dikalangan Islam sendiri timbul harapan untuk kembali memainkan peranannya seperti pada masa demokrasi parlementer. Akan tetapi, dalam realitanya, keinginan ini bertubrukan dengan strategi pembangunan Orde Baru, yaitu marginalisasi partai politik dan menabukan pembicaraan mengenai ideologis selain Pancasila, terutama yang bersifat keagamaan. Terjadinya koalisi anatara ABRI, kalangan Islam dan mahasiswa/pemuda, saat itu tercapai kesepakan untuk mengutuk G 30 S/ PKI dan mengusulkan pembubaran PKI dan antek-anteknya, dalam suasana inilah, persoalan ideologi Islam kembali mencuat. Timbul semacam romantisme kebangkitan politik Islam, paling tidak, isu-isu nama Islam menjadi semangat penumbang Orde 142 Lama. Kemenangan Orde Baru merupakan kemanangan Islam sehingga tidak mengherankan apabila ada kalangan tokoh Islam yang merindukan terwujudnya negara Islam. Logika ini timbul karena Orde Baru timbul dengan idealisme demokrasi, secara otomatis umat Islam bisa berperan kembali untuk berpolitik. Reaksi dan antisipasi kalangan Islam terhadap perkembangan tersebut sebagai berikut: 1. Di antara tokoh Masyumi ada rencana untuk merehabilitasi Masyumi yang dibubarkan pada tahun 1960. 2. Tetap mencuat isu-isu yang bersifat ideologis, seperti perlunya menerapkan Islam sebagai dasar negara dan pemberlakuan Piagam Jakarta. Sampai menjelang pemilu 1971, beberapa pemimpin Islam berupaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. 3. Kalangan tokoh Islam yang lain hendak mendirikan partai politik Islam yang baru, yang berlainan dengan Masyumi dan parpol Islam pada saat itu. Ide ini diintrodusir pada tahun 1967 oleh Mohammad Hatta dengan nama PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). 4. Beberapa tokoh Muhammadiyah pada awal Orde Baru bercita-cita untuk mengaktifkan kembali Partai Islam Indonesia (PII), akan tetapi keinginan tersebut tidak terealisasi karena faktor internal maupun eksternal, akhirnya mereka berupaya merehabilitasi Masyumi dan selanjutnya mendirikan Parmusi. Namun keempat daftar keingnan tersebut semuanya ditolak oleh Orde Baru, ia menganggap bukan saatnya lagi mebicarakan hal masalah ideologis, peranan partai-partai politik, dan lain sebagainya yang bercorak ideologis-politis, karena starategi pembangunan Orde baru adalah bertumpuh pada masalah ekonomi. Orde baru kemudian memantapkan kekuasaannya dengan melakukan kontrol terhadap kekuatan partai politik Islam terutama yang redikal. Situasi yang tidak mengenakkan inilah yang mendorong sejumlah aktivis dan pemikir Islam generasi kedua untuk mengembangkan format baru politik Islam sejak dasawarsa 1970-an. Dalam konteks politik Orde Baru, perkembangan tersebut membuahkan hasil yang cukup signifikan. Setidak-tidaknya hal itu telah mengurangi ketegangan dan antagonisme antara Islam dan negara. Bahkan sampai tingkat tertentu, telah berperan sebagai fush factor diakomodasikannya pelbagai aspirasi Islam oleh pemerintah. Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik kepartaian. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat Islam menuju Islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an. Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (19661981) mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan 143 Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi. Kemudian pada tahap hubungan resiprokal (saling berbalasan) kritis (19821985) kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985 sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000) hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD 1945. Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945 sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan militer. Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional. Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama, sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU No.38/ 1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI. Abdul Ghani Abdullah mengemukakan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum 144 dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal. Implementasi dan tiga alasan di atas, sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA No.7/1989 yang secara yuridis terkait dengan peraturan dan perundang-undangan lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970, UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP. No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP. No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983 Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994. Penataan Peradilan Agama terkait pula dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989 tantang Dradi1an Agama. D. Peran Partai Politik dalam Perjuangan Penegakan Hukum Islam pada Masa Era Reformasi Proses reformasi di negara Indonesai diawali dengan lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998. lalu diangkatnya presiden B.J. Habibi. Di era Reformasi banyak partai-partai Islam yang muncul diantaranya adalah PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abu Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun partai-partai Islam ini tidak meraih suara terbesar, namun koalisi mereka melalui kaukus Poros Tengah dapat menghalangi tampilnya aliran dan kelompok Politikus nasionalis dan koalisinya serta memunculkan beberapa tokoh utama pada posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais sebagai ketua MPR-RI dan Gus Dur sebagai Presiden. Dalam era reformasi ada dua langkah yang ditempuh dalam rangka penerapan syariat Islam; pertama, lewat parlemen dengan adanya desakan beberapa partai Islam untuk mengamademen UUD 1945 dengan mencamtumkan kembali kata-kata dalam Piagam jakarta sebagai pijakan konstitusional. Kedua, maraknya berbagai perda syariat Islam di berbagai Kabupaten dan Kotamadya di Indonesia. Penegakan syariat Islam lewat parlemen dipelopori oleh tiga partai; PPP, PBB, dan PK yang mengusulkan pencantuman kembali Piagam Jakarta pada amandemen UUD 1945. Dalam sidang tahunan MPR tahun 2000, 2001, dan 2002 usulan itu disampaikan, tapi kandas karena partai-partai yang lain, terutama partai besar dan berhaluan nasionalis tidak mendukungnya. Demikian juga dua ormas Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah tidak mendukungnya. Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah berhasil diperjuangkan oleh partai politik yang ditetapkan dalam bentuk undang-undang diantaranya yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, 3. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, 5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang PeradilanAgama, 6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi 145 Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam, 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999, 8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankkan Syaria, 9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, 10. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tetang Pornografi. Disamping perjuangan dipusat partai politik juga berjuang di daerah atau DPRD tingkat II untuk membuat perda Syariah. Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di negara Republik Indonesia, setelah berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, memberikan ruang untuk diintrodusir dalam peraturan perundang-undangan seperti di dalam peraturan daerah. Di dalam Pasal 22 huruf (a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Kewajiban Daerah yaitu “Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan Nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Begitu pula dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen Pasal 18 Ayat (5): “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”, pada Ayat (6): “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Saat ini bermunculan aspirasi di berbagai daerah untuk menerapkan syariat Islam, walaupun ada perbedaan pendapat yang kuat tentang aspirasi tersebut. Beberapa daerah sudah mendekati pelaksanaan sebagian Hukum Pidana Islam, sementara daerah lain masih pada tingkat wacana. Lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan Peraturan Daerah dapat sesuai dengan aspirasi masing-masing daerah, di mana peraturan daerah bisa diberi muatan sanksi pidana menurut syariat Islam. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada daerah Provinsi atau Kabupaten atau Kota untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing. Hal ini mengandung makna bahwa masing-masing daerah memberikan kesempatan untuk merespons norma-norma yang hidup dan berkembang di tengahtengah masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan daerah disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, dengan demikian bagi daerah yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka undangundang ini memberikan peluang dan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan syariat Islam sepanjang memperoleh dukungan luas dan dikehendaki oleh masyarakat. Perda Syariah sendiri dapat di berbagai daerah setidaknya ada 48 kabupaten dan kota madya mempunyai Perda Syariah. Belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu Pancasila. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk 146 mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut. Aksi ke-56 anggota DPR itu direspons oleh sejumlah anggota DPR lainnya. Sebanyak 134 anggota DPR yang menentang pembatalan peraturan daerah bernuansa syariat Islam mendatangi pimpinan DPR. Mereka mengirim surat yang isinya kontramemorandum atas usulan 56 anggota DPR lainnya yang meminta agar perda tersebut dibatalkan. Menurut mereka adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. KESIMPULAN Kegagalan umat Islam untuk mempertahankan Piagam Jakarta, ternyata tidak menyurutkan semangat dalam memperjuangkan negara Islam dengan dasar syariat Islam lewat jalur Konstituante. Kemudian, terjadi kembali perdebatan di Konstituante tentang dasar negara, kelompok Islam (Masyumi) tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara, dan kelompok nasionalis tetap bertahan pada pendiriannya, Pancasila sebagai dasar negara. Perdebatan itu kemudian diakhiri dengan voting, dengan kemenangan kelompok nasionalis, ini terjadi pada Orde Lama. Pada masa Orde Baru partai politik Islam dalam tekanan penguasa, sehingga partai merubah pola politik dengan cara masuk ke dalam stuktur birokrasi dan berusaha memperjuangkan beberapa Undang-Undang dan peraturan lainnya yang bernuansa hukum Islam atau Syariah. Pada masa Reformasi perjuangan partai politik untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara sempat mencuat kepermukaan, akan tetapi tidak berhasil, sehingga para politisi muslim berusaha mewujudkannya dengan memasukkan beberapa Undang-Undang yang mengakomodir kepentingan umat Islam di Indonesia, disamping itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan kepada daerah Provinsi atau Kabupaten atau Kota untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing. dengan demikian bagi daerah yang mayoritas penduduknya adalah Islam, maka undang-undang ini memberikan peluang dan kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan syariat Islam sepanjang memperoleh dukungan luas dan dikehendaki oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat dari sejumlah daerah yang menerapkan Perda Syariah. DAFTAR RUJUKAN Al-Chaidar. Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total. t.tp., Darul Falah, 1419 H. Alfian. Pemikiran dan Pembaharuan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1980. Amal, Taufik Adnan. Dkk. Politik Syariat Islam di Indonesia hingga Nigeria. Jakarta. Pustaka Alvabet, 2004. Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina, 1995. -------------------------. Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi. Bandung: Mizan, 1995. 147 Asyari, Dkk., Pengantar Study Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2005. Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara Transpormasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998. Ghani, Abdullah Abdul. Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia? dalam Mimbar Hukum No, 17 Tahun V. Jakarta: AlHikmah & Ditbinpera Islam Depag Tahun, 1994. Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1949-1945). Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Sukarja, Ahmad. Keberiakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia? dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Bunga Rampai Peradilan Islam I. Bandung: Ulul Albab Press, 1997. Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde baru. Jakarta: Gema Insani press, 1996. Yamin, Moh. Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, I-III. Jakarta: Jajasan Prapanca, 1959. Yatim, Badri. Sejarah dan Kebudayaan Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, 1992. *) Penulis adalah Dosen STIMED Nusa Palapa Makassar