- Jurnal Informatika Multimedia (JIM) STIMED NUSA

advertisement
138
PERAN PARTAI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN DAN
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Abdullah Manshur *)
Abstract: The defeat of the Muslims with the abolition of the Jakarta Charter makes Islamic
groups are united. They think of a political party can make an umbrella for all Islamic
organizations at the time. And this also means that the ideological conflict on the basis of the
country is not over. Islamic groups back symbolically defeated, during the period under
Sukarno's Guided Democracy, articulation legalistic / formalistic political ideas and practices
of Islam, particularly Islam as the state ideology, began to show the implications bawaaannya
negative. Unless NU, which re-organize orentasi polotiknya and received his Manifesto Usdek
Soekarno, the Islamic party's power declined precipitously
Keywords: Political Parties and the Application of Islamic Law
PENDAHULUAN
Semangat untuk menegakkan syariat
Islam di Indonesia tampaknya tidak pernah
padam dari dahulu hingga sekarang. Sejak
agama Islam masuk di Nusantara sekitar
abad ke-7 M, atau lebih jelasnya pada abad
ke-13 M, kerajaan Islam yang berdiri selalu
berusaha menerapkan syariat Islam dalam
kehidupan sehari-hari di wilayahnya.
Tersebutlah kerajaan-kerajaan besar Islam,
seperti kerajaan Samudera Pasai, kerajaan
Demak, kerajaan Mataram, kerajaan
Tidore, Kerajaan Gowa, kerajaan Bone dan
kerajaan Islam lainnya di Nusantara,
semuanya merupakan kerajaan Islam yang
dengan
gigih
menerapkan
dan
memperjuangkan Islam sebagai ideologi
kerajaan masing-masing.
Setelah ekspansi Barat memasuki
daratan Nusantara, terutama sejak bercokolnya Belanda yang kemudian menjajah
daerah-daerah Nusantara, kerajaan-kerajaan
Islam yang ada masih berusaha menegakkannya walaupun secara berangsur-angsur
hukum kolonial diterapkan di tanah jajahan
tersebut. Sesudah Indonesia merdekapun,
usaha penegakan syariat Islam tidak pernah
berhenti, sekalipun pada masa Orde Lama
cita-cita Islam dalam hubungannya dengan
negara dipangkas habis oleh rezim
Soekarno. Sejarah mencatat betapa seorang
Kartosuwiryo
dengan
DI/TII
dan
pengikutnya di Jawa Barat ditumpas habis,
Daud Buereuh di Aceh serta Abd. Kahar
Muzakkar di Sulawesi Selatan juga dibabat
habis oleh penguasa Orde Lama.
Meski amat tragis nasib para pejuang
penegak syariat
Islam
pada
awal
kemerdekaan, namun tidak membuat kendur
semangat untuk memperjuangkan syariat
Islam di bumi Nusantara ini. Cara kekerasan
sebagaimana Kartosuwiryo, Daud Beureuh
dan Abd. Kahar Muzakkar mulai ditinggalkan oleh generasi selanjutnya, semangat
Islam mulai lagi dimunculkan lewat berbagai partai dan organisasi kemasyarakatan
Islam, seperti Partai Masyumi, Partai Islam
Indonesia (PII), ormas Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama (NU) dan lain sebagainya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka disimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut: bagaimana peran partai politik
dalam memperjuangkan penerapan hukum
Islam di Indonesia dari masa Orde Lama
sampai Era Reformasi?
139
PEMBAHASAN
Piagam Jakarta
Sidang yang dilaksanakan oleh
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) terjadi
perdebatan ideologis di dalamnya yang
sengit antara golongan Islam dan nasionalis
sekuler tentang dasar negara yang akan
diberlakukan di negara yang akan berdiri.
Hal ini diakui oleh Supomo dalam pidatonya
di depan sidang BPUKPI pada tanggal 31
Mei 1945. “memang di sini terlihat ada dua
faham, ialah: faham dari anggotaanggotanya ahli agama, yang menganjurkan
supaya Indonesia didirikan sebagai negara
Islam, dan anjuran lain, sebagi dianjurkan
tuan oleh Mohammad Hatta, ialah negara
persatuan nasional yang memisahkan urusan
agama dan urusan Islam, dengan lain
perkataan bukan negara Islam.”
Gagasan-gagasan para tokoh Islam
menjadikan Islam sebagai dasar negara
sebenarnya tidak dilengkapi dengan
argumentasi empiris mengenai “Negara
Islam” yang dicita-citakan. Dipandang dari
sudut ini, sebenarnya yang diperjuangkan
oleh tokoh-tokoh Islam dalam BPUPKI dan
PPKI bukan realisasi konsep negara Islam
tetapi lebih tepat pada jaminan terhadap
pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam.
Akhirnya, dibentuk panitia sembilan
untuk menjembatani perbedaan antara
kelompok Islam dan kelompok Nasionalis
itu lebih lanjut. Panitia ini terdiri atas lima
orang golongan nasionalis sekuler, yaitu
Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad
Subarjo, Muhammad Yamin, dan A.A.
Maramis. Sedangkan golongan Islam
diwakili oleh: H. Agus Salim, Kyai Wahid
Hasyim, Abikusno dan Abdoel Kahar
Muzakkir. Dari sembilan anggota tersebut
hanya A.A, Maramis yang beragama
Kristen, selebihnya Islam. Akhirnya setelah
melalui pembicaraan panjang, kompromi
dicapai pada tanggal 22 Juni 1945 dengan
menambah tujuh patah kata dalam sila
pertama menjadi “Ketuhanan dengan
kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”.
Konsep tersebut kemudian disebut
Piagam Jakarta, tuntutan golongan Islam
lainnya adalah ditetapkannya ketentuan
bahwa Kepala Negara harus beragama Islam
dan dicantumkan kalimat “kewajiban
menjalankan syariat Islam” di dalam
konsitusi.
Untuk melanjutkan sidang BPUPKI,
dibentuk PPKI yang terdiri atas 15 orang.
Dalam PPKI golongan Islam hanya diwakili
oleh Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.
Wachid
Hasyim.
Tuntutan-tuntutan
golongan Islam sebelumnya, semuanya di
batalkan. Bahkan sehari setelah proklamasi.
Tujuh patah kata dalam Piagam Jakarta
dihapuskan, kata Allah dalam mukaddimah
diganti
dengan
Tuhan,
dan
kata
mukaddimah diganti menjadi pembukaan.
Ada tiga alasan utama golongan
Islam menerima perubahan Piagam Jakarta
tersebut: 1. demi persatuan bangsa, 2. situasi
politik sehari setelah proklamasi masih
bergejolak, dan 3. golongan Islam berharap
bahwa enam bulan setelah proklamasi akan
dilaksanakan pemilu, sehingga mereka akan
ikut serta.
B. Peran Partai Politik dalam Perjuangan
Penegakan Hukum Islam pada Masa
Revolusi/ Orde Lama
Kekalahan golongan Islam dengan
dihapuskannya Piagam Jakarta membuat
golongan Islam bersatu. Mereka memikirkan
suatu partai politik yang dapat menjadikan
payung bagi semua organisasi Islam pada
saat itu. Dan ini berarti pula bahwa konflik
ideologis tentang dasar negara belum
berakhir.
Setelah pemerintah mengelurkan
Maklumat Pemerintah No. X tanggal 3
Nopember 1945. Maka partai-partai
pilitikpun lahir termasuk partai Masyumi.
140
Partai Masyumi didirikan pada
tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus
berpusat di Jogjakarta sampai tanngal 1
Pebruari 1950. Kongres ini dihadiri oleh
sekitar lima ratus utusan organisasi sosial
keagamaan yang mewakili hampir semua
organisasi Islam yang ada, dari masa
sebelum perang serta masa pendudukan
Jepang. Kongres memutuskan untuk
medirikan majelis syuro pusat bagi umat
Islam Indonesia yang dianggap sebagai satusatunya partai politik bagi umat Islam, yang
secara resmi bernama Partai Politik Islam
Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres
Umat Islam Indonesia ini, pembentukan
Masyumi bukan merupakan keputusan
beberapa tokoh saja, tapi merupakan
keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
Ada 8 unsur organisasi pendukung
Masyumi yakni NU, Muhammadiyah,
Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat
Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, AlIttihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi
berhasil menyatukan organisasi dan umat
Islam Indonesia dalam satu wadah
perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU
keluar dari Masyumi dan menjadi partai
sendiri.
Masyumi sebagai partai politik Islam
satu-satunya pada saat itu yang merupakan
gabungan berbagai ormas Islam, sehingga
sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia)
pada awal 1946 memperkirakan bahwa bila
pemilu dilakukan pada saat itu maka
Masyumi keluar sebagai pemenangnya
dengan memperoleh 80% suara.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat
nama besar Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam
terbesar yang pernah ada. Masyumi pada
masanya sejajar dengan Partai Jama’atul
Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan
hal ini, dan memang dalam pendidikan
politik nasional kebesaran Masyumi seolah
tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme
dan Developmentalisme. Padahal dalam
masa keberadaannya, Masyumi sangat
identik dengan gerakan politik Islam yang
memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam
konteks kenegaraan.
Selain mempersatukan umat Islam
Indonesia, alasan lain yang menjadi
pertimbangan didirikannya Masyumi adalah
agar Islam memiliki peranan yang signifikan
ditengah arus perubahan dan persaingan di
Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya
Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam
anggaran Dasar Masyumi tahun 1945,
memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan
kedaulatan negara republik Indonesia dan
agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita
Islam dalam urusan kenegaraan.
Partai yang berdirinya diprakarsai
oleh M. Natsir ini menyebutkan didalam
Anggaran Dasarnya bahwa tujuan partai
ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam
didalam kehidupan pribadi, masyarakat dan
negara
Republik
Indonesia
menuju
keridhaan Ilahi.
Hasil Pemilu tahun 1955, partaipartai Islam memperoleh hasil yang cukup
baik walaupun masih kalah suara dibanding
dengan partai-partai nasionalis sekuler.
Masyumi dan PNI memenangkan pemilu
DPR dengan memperoleh masing-masing 57
kursi, sedangkan di Konstituante Masyumi
memperoleh 112 kursi dan PNI memperoleh
119 kursi. Urutan selanjutnya ditempati oleh
NU dengan 45 kursi DPR dan 91 kursi di
Konstituante, PKI 39 kursi DPR dan 80
kursi Konstitunate, PSII memperoleh 8 kursi
DPR dan 16 kursi Konstituante. Total kursi
ynag diperoleh partai partai Islam di DPR
adalah 116 kursi dari 257 kursi DPR yang
diperebutkan atau sebesar 45,13 %.
Sedangkan di Konstituante memperoleh 230
kursi dari 514 kursi konstituante yang
diperebutkan dalam pemilu atau sebesar
44,74 %.
141
Isu politik yang paling menonjol
yang dibawa oleh partai-partai Islam hasil
pemilu tahun 1955 dan mereka mempunyai
suara yang sama untuk itu, adalah persoalan
idiologi yaitu Islam sebagai dasar negara,
berhadapan dengan kelompok lain yang
menginginkan Pancasila serta social
ekonomi sebagai dasar Negara. Hal itu
terjadi karena pada saat itu sedang
diperdebatkan tentang Konstitusi Indonesia
di Konstituante. Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Dekrit 5 Juli 1959 memutuskan:
1. Pembubaran Konstituante.
2. Kembali
pada
Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi
Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
3. Pembentukan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara
Perdebatan mengenai dasar Negara
tidak membuahkan hasil karena kekuatan
Islam dan Nasionalis memiliki kekuatan
yang seimbang sehingga tidak mencapai
jumlah 2/3 yang dibutuhkan untuk
menggolkan preferensi ideologi mereka.
Sementara itu usul pemerintah untuk
kembali ke UUD 1945 tidak mendapat
dukungan
yang
diperlukan.
Semua
perkembangan di atas membuat Presiden
Soekarno, dengan dukungan tentara untuk
mengelurkan dekrit yang menyatakan
kembali ke UUD 1945. Langkah ini
merupakan sebuah strategi yang telah
dicanangkan sejak lama, memberinya
kekuatan eksekutif yang kuat untuk
mengontrol bangsa.
Kelompok Islam secara simbolik
kembali dikalahkan, selama masa demokrasi
terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi
legalistik/formalistik gagasan dan praktik
politik Islam, terutama Islam sebagai dasar
ideologi negara, mulai menunjukkan
implikasi-implikasi
bawaaannya
yang
negatif. Kecuali NU, yang kembali menata
orentasi polotiknya dan menerima Manipol
Usdek-nya Soekarno, kekuatan partai Islam
menurun drastis. Para pimpinan Masyumi
khususnya, yang sejak awal diskursus
ideologinya di Indonesia dipandang sebagai
pendukung sejati gagasan negara Islam,
dipenjarakan karena oposisi mereka
terhadap
pemerintah
yang
tidak
berkesudahan. Dan akhirnya dengan alasan
beberapa pimpinan utamanya (seperti;
Mohammad
Natsir,
dan
Sjafruddin
Prawiranegara)
ikut
terlibat
dalam
pemberontakan, Soekarno membubarkan
Masyumi pada 1960.
C. Peran Partai Politik dalam Perjuangan
Penegakan Hukum Islam pada Masa Orde
Baru
Format politik Orde Baru yang
dibentuk sejak tahun 1966 menempatkan
militer sebagai kekuatan politik dominan,
dalam
periode
awal
konsolidasi
pemerintahan Orde baru timbul optimisme
dikalangan Islam pada khususnya dan
masyrakat luas pada umumnya akan
kehidupan demokrasi karena romantisme
perjuangan menumbangkan Orde Lama
penuh
dengan
retorika
demokrasi.
Dikalangan Islam sendiri timbul harapan
untuk kembali memainkan peranannya
seperti pada masa demokrasi parlementer.
Akan tetapi, dalam realitanya, keinginan ini
bertubrukan dengan strategi pembangunan
Orde Baru, yaitu marginalisasi partai politik
dan menabukan pembicaraan mengenai
ideologis selain Pancasila, terutama yang
bersifat keagamaan.
Terjadinya koalisi anatara ABRI,
kalangan Islam dan mahasiswa/pemuda, saat
itu tercapai kesepakan untuk mengutuk G 30
S/ PKI dan mengusulkan pembubaran PKI
dan antek-anteknya, dalam suasana inilah,
persoalan ideologi Islam kembali mencuat.
Timbul semacam romantisme kebangkitan
politik Islam, paling tidak, isu-isu nama
Islam menjadi semangat penumbang Orde
142
Lama. Kemenangan Orde Baru merupakan
kemanangan
Islam
sehingga
tidak
mengherankan apabila ada kalangan tokoh
Islam yang merindukan terwujudnya negara
Islam. Logika ini timbul karena Orde Baru
timbul dengan idealisme demokrasi, secara
otomatis umat Islam bisa berperan kembali
untuk berpolitik.
Reaksi dan antisipasi kalangan Islam
terhadap perkembangan tersebut sebagai
berikut:
1. Di antara tokoh Masyumi ada rencana
untuk merehabilitasi Masyumi yang
dibubarkan pada tahun 1960.
2. Tetap mencuat isu-isu yang bersifat
ideologis, seperti perlunya menerapkan
Islam sebagai dasar negara dan
pemberlakuan Piagam Jakarta. Sampai
menjelang pemilu 1971, beberapa
pemimpin Islam berupaya menjadikan
Islam sebagai dasar negara.
3. Kalangan tokoh Islam yang lain hendak
mendirikan partai politik Islam yang
baru, yang berlainan dengan Masyumi
dan parpol Islam pada saat itu. Ide ini
diintrodusir pada tahun 1967 oleh
Mohammad Hatta dengan nama PDII
(Partai Demokrasi Islam Indonesia).
4. Beberapa tokoh Muhammadiyah pada
awal Orde Baru bercita-cita untuk
mengaktifkan kembali Partai Islam
Indonesia (PII), akan tetapi keinginan
tersebut tidak terealisasi karena faktor
internal maupun eksternal, akhirnya
mereka
berupaya
merehabilitasi
Masyumi dan selanjutnya mendirikan
Parmusi.
Namun keempat daftar keingnan
tersebut semuanya ditolak oleh Orde Baru,
ia menganggap bukan saatnya lagi
mebicarakan hal masalah ideologis, peranan
partai-partai politik, dan lain sebagainya
yang bercorak ideologis-politis, karena
starategi pembangunan Orde baru adalah
bertumpuh pada masalah ekonomi. Orde
baru kemudian memantapkan kekuasaannya
dengan melakukan kontrol terhadap
kekuatan partai politik Islam terutama yang
redikal.
Situasi yang tidak mengenakkan
inilah yang mendorong sejumlah aktivis dan
pemikir Islam generasi kedua untuk
mengembangkan format baru politik Islam
sejak dasawarsa 1970-an. Dalam konteks
politik Orde Baru, perkembangan tersebut
membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Setidak-tidaknya hal itu telah mengurangi
ketegangan dan antagonisme antara Islam
dan negara. Bahkan sampai tingkat tertentu,
telah berperan sebagai fush factor
diakomodasikannya pelbagai aspirasi Islam
oleh pemerintah.
Pola pertautan politik yang serba
provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi
Islamisasi
di
Indonesia,
mengingat
penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat
Islam yang dapat disatukan dalam bingkai
sistem politik kepartaian. Pada gilirannya,
lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan
tengah bagi umat Islam untuk tetap
memainkan perannya daam pentas politik
nasional Paling tidak, kebenaran akan
pendekatan ini mulai membuahkan hasil
berupa terbukanya jalan bagi umat Islam
menuju Islamisasi politik Orde Baru di
penghujung tahun 1970-an.
Kebijakan-kebijakan politik Orde
Baru yang menempatkan Islam dalam posisi
marjinal di pentas politik nasional pada
gilirannya telah melahirkan berbagai
ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah
telah mencatat hahwa dinamika hubungan
Islam dan negara pada masa Orde Baru
mengalami pergeseran yang bersifat
antagonistik, resiprokal kritis sampai
akomodatif. Hubungan antagonistik (19661981) mencerminkan pola hubungan yang
hegemonik antara Islam dengan pemerintah
Orde Baru. Keadaan negara yang kuat
memainkan pengaruh ideologi politik
sampai ke tingkat masyarakat bawah telah
berlawanan dengan sikap reaktif kalangan
143
Islam sehingga melahirkan konflik ideologi
dan sekaligus menempatkan Islam sebagai
oposisi.
Kemudian pada tahap hubungan
resiprokal (saling berbalasan) kritis (19821985) kaum santri berupaya merefleksikan
kembali cara pandang mereka dan merubah
dirinya
untuk
menampilkan
sisi
intelektualitas dalam percaturan politik
Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan
rasional-pragmatis telah melahirkan saling
pengertian akan kepentingan Islam dan
pemerintahan Orde Baru.
Dalam kurun waktu 1982-1985
sebagian kalangan Islam mulai menerima
asas tunggal dalam landasan ideologi negara
serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan
akomodatif (1985-2000) hubungan Islam
dan negara terasa lebih harmonis di mana
umat Islam telah masuk sebagai bagian dan
sistem politik elit dan birokrasi, Pola
hubungan akomodatif ini sangat terasa
berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam
untuk membangun tatanan sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang berakar pada
nilai-nilai luhur agama (Islam) serta budaya
bangsa yang dibingkai dalam falsafah
integralistik Pancasila dan UUD 1945.
Tersendat-sendatnya aspirasi umat
Islam di dalam mendapatkan hak-hak
perundang-undangan dan hukum tampak
ketika dilegislasikannya UU No.1/1974
tentang Perkawinan yang kemudian disusul
dengan
PP
No.9/1975.
Selanjutnya
ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf
dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti
sampai di situ, umat Islam di tingkat
legislatif
kembali
mempersoalkan
faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945
sebagai agama resmi yang diakui negara.
Dan yang paling krusial adalah kehendak
umat
Islam
untuk
dilegislasikannya
Rancangan
Undang-Undang
Peradilan
Agama (RUUPA) bagi penyelenggaraan
peradilan Islam di Indonesia.
Pada pola hubungan resiprokal kritis,
umat Islam menyadari perlunya strategi
untuk menempuh jalur struktural-birokrat
pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini,
kalangan cendekiawan dan politisi Islam
harus berani bersentuhan langsung dengan
pemerintahan
Orde
Baru.
Melalui
pendekatan strukturai-fungsional, umat
Islam relatif mengalami kemajuan pesat
berupa masuknya kalangan Islam dalam
segala sistem pemerintahan sipil mulai dari
pusat hingga daerah, dan sekaligus
memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam
bingkai akumulasi sipil Islam dan militer.
Pada pola akomodatif, sebagai
antitesa dan pola hubungan sebelumnya
Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi
pemerintahan dan negara. Tercatat realitas
sosial politik umat Islam demikian penting
memainkan peranannya di pentas nasional.
Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini
sebagai tonggak baru menguatnya islamisasi
politik di Indonesia, dan semakin tampak
ketika diakomodirnya kepentingan syari’at
Islam melalui UU No.7/1989 tentang
Peradilan Agama, sekaligus menempatkan
Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan
negara yang diatur dalam UU No.14/1970
tentang
Pokok
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman, disusul dengan UU No.10/1998
tentang
Perbankan
(pengganti
UU
No.7/1992), UU No.38/ 1999, tentang Zakat,
Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan
KHI.
Abdul
Ghani
Abdullah
mengemukakan bahwa berlakunya hukum
Islam di Indonesia telah mendapat tempat
konstitusional yang berdasar pada tiga
alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis,
ajaran Islam rnerupakan pandangan hidup,
cita moral dan cita hukum mayoritas muslim
di Indonesia, dan mempunyai peran penting
bagi terciptanya norma fundamental negara
Pancasila Kedua, alasan Sosiologis.
Perkembangan sejarah masyarakat Islam
Indonesia menunjukan bahwa cita hukum
144
dan kesadaran hukum bersendikan ajaran
Islam memiliki tingkat aktualitas yang
berkesiambungan; dan Ketiga, alasan
Yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25
dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi
keberlakuan hukum Islam secara yuridis
formal.
Implementasi dan tiga alasan di atas,
sebagai contoh adalah ditetapkannya UUPA
No.7/1989 yang secara yuridis terkait
dengan peraturan dan perundang-undangan
lainnya, seperti UU No.2/1946 Jo, UU
No.32/1954, UU Darurat No.1/1951, UU
Pokok Agraria No.5/1960, UU No.14/1970,
UU No.1/1974, UU No.14/1985, Perpu
Nol/SD 1946 dan No.5/SD 1946, PP.
No.10/1947 Jo. PP. No.19/1947, PP.
No.9/1975, PP. No.28/1977, PP. No.10/1983
Jo, PP. No.45/1990 dan PP. No. 33/1994.
Penataan Peradilan Agama terkait pula
dengan UU No.2/1986 tentang Peradilan
Umum, UU No.5/1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, dan UU No.7/1989
tantang Dradi1an Agama.
D. Peran Partai Politik dalam Perjuangan
Penegakan Hukum Islam pada Masa Era
Reformasi
Proses reformasi di negara Indonesai
diawali dengan lengsernya Presiden
Soeharto pada tahun 1998. lalu diangkatnya
presiden B.J. Habibi. Di era Reformasi
banyak partai-partai Islam yang muncul
diantaranya adalah PPP, PBB, Partai
Keadilan, Partai Persatuan, Masyumi, Partai
Kebangkitan Umat (PKU), Partai Abu
Yatama (PAY), PSII-1905, PNU dan Partai
Cinta Damai (PCD), PKB, PAN, Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI).
Meskipun partai-partai Islam ini tidak
meraih suara terbesar, namun koalisi mereka
melalui kaukus Poros Tengah dapat
menghalangi tampilnya aliran dan kelompok
Politikus nasionalis dan koalisinya serta
memunculkan beberapa tokoh utama pada
posisi-posisi strategis di lembaga eksekutif
dan legistatif. Seperti Amin Rais sebagai
ketua MPR-RI dan Gus Dur sebagai
Presiden.
Dalam era reformasi ada dua langkah
yang ditempuh dalam rangka penerapan
syariat Islam; pertama, lewat parlemen
dengan adanya desakan beberapa partai
Islam untuk mengamademen UUD 1945
dengan mencamtumkan kembali kata-kata
dalam Piagam jakarta sebagai pijakan
konstitusional. Kedua, maraknya berbagai
perda syariat Islam di berbagai Kabupaten
dan Kotamadya di Indonesia. Penegakan
syariat Islam lewat parlemen dipelopori oleh
tiga partai; PPP, PBB, dan PK yang
mengusulkan pencantuman kembali Piagam
Jakarta pada amandemen UUD 1945.
Dalam sidang tahunan MPR tahun 2000,
2001, dan 2002 usulan itu disampaikan, tapi
kandas karena partai-partai yang lain,
terutama partai besar dan berhaluan
nasionalis tidak mendukungnya. Demikian
juga dua ormas Islam terbesar, NU dan
Muhammadiyah tidak mendukungnya.
Peraturan yang memuat nilai-nilai
hukum
Islam
yang telah berhasil
diperjuangkan oleh partai politik yang
ditetapkan dalam bentuk undang-undang
diantaranya yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat,
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1999
tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji,
3. Undang-Undang Nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan,
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf,
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang PeradilanAgama,
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang otonomi khusus bagi
145
Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang mana pemerintah memberikan
kewenangan yang lebih luas untuk
menyelenggarakan
pemerintahan
dan mengelola sumber daya alam
dan sumber daya manusia, termasuk
di dalamnya penegakan syariat
Islam,
7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1999,
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Hukum Perbankkan
Syaria,
9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2008 tentang Surat Berharga
Syariah Negara,
10. Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tetang Pornografi.
Disamping perjuangan dipusat partai
politik juga berjuang di daerah atau DPRD
tingkat II untuk membuat perda Syariah.
Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di
negara
Republik
Indonesia,
setelah
berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah, memberikan ruang
untuk
diintrodusir
dalam
peraturan
perundang-undangan seperti di dalam
peraturan daerah. Di dalam Pasal 22 huruf
(a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Kewajiban Daerah yaitu “Melindungi
masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan
dan kerukunan Nasional, serta keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Begitu pula dalam Undang-Undang Dasar
1945 hasil amandemen Pasal 18 Ayat (5):
“Pemerintah daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat”, pada
Ayat (6): “Pemerintah daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi
dan
tugas
pembantuan”.
Saat
ini
bermunculan aspirasi di berbagai daerah
untuk menerapkan syariat Islam, walaupun
ada perbedaan pendapat yang kuat tentang
aspirasi tersebut.
Beberapa daerah sudah mendekati
pelaksanaan sebagian Hukum Pidana Islam,
sementara daerah lain masih pada tingkat
wacana. Lahirnya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah memungkinkan Peraturan Daerah
dapat sesuai dengan aspirasi masing-masing
daerah, di mana peraturan daerah bisa diberi
muatan sanksi pidana menurut syariat Islam.
Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 memberikan kewenangan kepada
daerah Provinsi atau Kabupaten atau Kota
untuk menyelenggarakan pemerintahan
daerah sesuai kondisi dan kebutuhan daerah
masing-masing. Hal ini mengandung makna
bahwa masing-masing daerah memberikan
kesempatan untuk merespons norma-norma
yang hidup dan berkembang di tengahtengah
masyarakat.
Penyelenggaraan
pemerintahan daerah disesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik daerah, dengan
demikian bagi daerah yang mayoritas
penduduknya adalah Islam, maka undangundang ini memberikan peluang dan
kesempatan menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai dengan syariat Islam
sepanjang memperoleh dukungan luas dan
dikehendaki oleh masyarakat. Perda Syariah
sendiri dapat di berbagai daerah setidaknya
ada 48 kabupaten dan kota madya
mempunyai Perda Syariah.
Belakangan ini muncul polemik yang
cukup tajam tentang implementasi peraturan
daerah (perda) bernuansa syariat Islam. Tak
kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai
fraksi mengemukakan ketidaksetujuannya
atas pemberlakuan perda tersebut di
berbagai daerah karena dinilai melanggar
amanat konstitusi dan ideologi negara, yaitu
Pancasila. Selain itu juga berpotensi
melahirkan perpecahan bangsa, karena
wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk
146
mayoritas Islam suatu saat juga akan
memberlakukan syariat agama yang mereka
anut.
Aksi ke-56 anggota DPR itu
direspons oleh sejumlah anggota DPR
lainnya. Sebanyak 134 anggota DPR yang
menentang pembatalan peraturan daerah
bernuansa syariat Islam mendatangi
pimpinan DPR. Mereka mengirim surat
yang isinya kontramemorandum atas usulan
56 anggota DPR lainnya yang meminta agar
perda tersebut dibatalkan. Menurut mereka
adanya perda tersebut bisa menjadi media
sosial untuk memberantas berbagai penyakit
masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian,
yang umumnya dilakukan oleh masyarakat
kecil. Keberadaan perda syariat Islam adalah
untuk memperbaiki moral bangsa.
KESIMPULAN
Kegagalan umat Islam untuk
mempertahankan Piagam Jakarta, ternyata
tidak menyurutkan
semangat
dalam
memperjuangkan negara Islam dengan dasar
syariat Islam lewat jalur Konstituante.
Kemudian, terjadi kembali perdebatan di
Konstituante
tentang
dasar
negara,
kelompok
Islam
(Masyumi)
tetap
menginginkan Islam sebagai dasar negara,
dan kelompok nasionalis tetap bertahan pada
pendiriannya, Pancasila sebagai dasar
negara. Perdebatan itu kemudian diakhiri
dengan voting, dengan kemenangan
kelompok nasionalis, ini terjadi pada Orde
Lama.
Pada masa Orde Baru partai politik
Islam dalam tekanan penguasa, sehingga
partai merubah pola politik dengan cara
masuk ke dalam stuktur birokrasi dan
berusaha
memperjuangkan
beberapa
Undang-Undang dan peraturan lainnya yang
bernuansa hukum Islam atau Syariah.
Pada masa Reformasi perjuangan
partai politik untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi negara sempat mencuat
kepermukaan, akan tetapi tidak berhasil,
sehingga para politisi muslim berusaha
mewujudkannya
dengan
memasukkan
beberapa
Undang-Undang
yang
mengakomodir kepentingan umat Islam di
Indonesia, disamping itu, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 memberikan
kewenangan kepada daerah Provinsi atau
Kabupaten
atau
Kota
untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah
sesuai kondisi dan kebutuhan daerah
masing-masing. dengan demikian bagi
daerah yang mayoritas penduduknya adalah
Islam, maka undang-undang ini memberikan
peluang dan kesempatan menyelenggarakan
pemerintahan daerah sesuai dengan syariat
Islam sepanjang memperoleh dukungan luas
dan dikehendaki oleh masyarakat, hal ini
dapat dilihat dari sejumlah daerah yang
menerapkan Perda Syariah.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Chaidar. Reformasi Prematur Jawaban
Islam terhadap Reformasi Total.
t.tp., Darul Falah, 1419 H.
Alfian.
Pemikiran dan Pembaharuan
Politik
Indonesia.
Jakarta:
Gramedia, 1980.
Amal, Taufik Adnan. Dkk. Politik Syariat
Islam di Indonesia hingga Nigeria.
Jakarta. Pustaka Alvabet, 2004.
Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi
Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik
tentang
Cendekiawan
Muslim Orde Baru. Jakarta:
Paramadina, 1995.
-------------------------. Politik Akomodasi
Negara dan Cendekiawan Muslim
Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan
Refleksi. Bandung: Mizan, 1995.
147
Asyari, Dkk., Pengantar Study Islam.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2005.
Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam.
Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994.
Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara
Transpormasi
Pemikiran
dan
Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Paramadina, 1998.
Ghani, Abdullah Abdul. Peradilan Agama
Pasca
UU
No.7/1989
dan
Perkembangan Studi Hukum Islam
di Indonesia? dalam Mimbar
Hukum No, 17 Tahun V. Jakarta: AlHikmah & Ditbinpera Islam Depag
Tahun, 1994.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Politik
di Indonesia Pada Masa Demokrasi
Terpimpin
(1949-1945).
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988.
Sukarja, Ahmad. Keberiakuan Hukum
Islam
dalam
Tata
Hukum
Indonesia? dalam Cik Hasan Bisri
(ed.) Bunga Rampai Peradilan
Islam I. Bandung: Ulul Albab Press,
1997.
Thaba, Abdul Aziz. Islam dan Negara
dalam Politik Orde baru. Jakarta:
Gema Insani press, 1996.
Yamin, Moh. Naskah Persiapan UndangUndang Dasar 1945, I-III. Jakarta:
Jajasan Prapanca, 1959.
Yatim, Badri. Sejarah dan Kebudayaan
Islam di Indonesia. Jakarta :
Rajawali Pers, 1992.
*) Penulis adalah Dosen STIMED Nusa
Palapa Makassar
Download