Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak

advertisement
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Sanusi Bintang
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015), pp. 401-417.
PENDEKATAN SISTEM TERHADAP HUKUM PUBLIK DALAM KONTRAK
PENANAMAN MODAL INTERNASIONAL
SYSTEM APPROACH TOWARD PUBLIC LAW IN INTERNATIONAL INVESTMENT
CONTRACTS
Oleh: Sanusi Bintang
*)
ABSTRAK
Sebagai cabang dari hukum kontrak, kontrak penanaman modal internasional pada
umumnya diatur dalam hukum privat. Meskipun demikian, berbeda dengan kontrak dan
kontrak internasional pada umumnya yang diatur sepenuhnya dalam hukum privat,
kontrak penanaman modal internasional juga diatur dalam hukum publik. Prinsip dan
kaidah hukum kontrak penanaman modal internasional dapat ditemukan baik dalam
hukum administrasi/tata negara, maupun dalam hukum internasional publik. Hukum
publik tersebut, antara lain, mengatur kewenangan subjek terkait kapasitas kontrak,
prosedur perancangan, isi minimum, pilihan memaksa terhadap hukum domestik,
arbitrase internasional, dan klausula payung dalam traktat penanaman modal
internasional. Kenyataan demikian menunjukkan pentingnya pendekatan sistem dalam
pemahaman, penerapan, dan pembaruan hukum tersebut secara menyeluruh.
Kata Kunci: Sistem, Hukum Publik, Kontrak Penanaman Modal Internasional.
ABSTRACT
As a branch of contract law, international investment contracts are generally regulated
under private law. However, different from contracts and international contracts in
general which are regulated under private law, They are also regulated under public
law. The public law principles and norms of international investment contracts can be
found in administrative/costitutional law, and in public international law. The public
law regulate, among others, authority of subject related to capacity to contracts,
drafting procedure, minimum contents, mandatory choice of domestic laws,
international arbitration, and umbrella clause in bilateral investment treaties (BITs).
This fact indicates the importance of system approach for total understanding,
application, and reform of the law.
Keywords: System, Public Law, International Investment Contracts.
PENDAHULUAN
Hukum kontrak penanaman modal internasional1 merupakan suatu bidang yang melewati
batas antara hukum privat dan hukum publik, yang baru dapat dijelaskan dan dipahami secara
utuh, apabila didekati berdasarkan pendekatan sistem. Pendekatan parsial, yang hanya melihat
*)
Sanusi Bintang adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Istilah dalam bahasa Inggris adalah international investment contracts, selain itu terdapat istilah lain, yaitu
investor-state contracts atau state contracts. Sebutan yang lebih generik untuk kontrak semacam ini adalah kontrak
publik atau kontrak administratif.
1
ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
hukum dalam arti yang sempit dari sudut pandang hukum privat atau transaksi bisnis
internasional saja dengan mengabaikan konteks hukum publik yang juga mengaturnya, tidak
dapat memperlihatkan gambar yang lebih lebih jelas tentang hukum ini secara keseluruhan.
Hal ini juga berarti bahwa, penyelesaian persoalan hukum tertentu secara parsial saja, tidak
akan dapat menemukan dan merinci seluruh akar persoalan yang kompleks melingkari kontrak
penanaman modal internasional.
Pemahaman hukum secara keseluruhan hanya dapat diperoleh melalui pendek atan
sistem, yang melihat hukum sebagai suatu sistem, yaitu sistem hukum. Kajian hukum dalam
perspektif sistem dimaksudkan untuk menjelaskan setiap komponen dalam kaitan dengan
komponen lainnya di dalam suatu sistem hukum, maupun dalam hubungan antara sist em
hukum tertentu dengan sistem hukum hukum lain yang lebih besar dan/atau yang terkait. Hal
ini penting karena pada dasarnya pendekatan sistem tersebut bersifat terbuka sehingga dapat
menunjukkan hubungan yang saling berkaitan antarkomponen, maupun antarsistem. Jadi,
terdapat hubungan ke dalam dan keluar sistem, antara sistem yang lebih kecil dengan sistem
yang lebih besar atau antara sistem yang satu dengan sistem yang lain.
Artikel ini sesuai judul menjelaskan tentang pendekatan sistem terhadap hukum pub lik
dalam kontrak penananaman modal internasional, karena itu tidak berfokus pada sumber
hukum utama yang mengaturnya, yaitu hukum privat, tetapi pada sumber hukum publik
terkait. Setelah pendahuluan di atas, memaparkan pembahasan. Pembahasan disusun seca ra
sistematis dalam beberapa subbab. Pertama, pengertian sistem dan sistem hukum, klasifikasi
hukum privat dan hukum publik, pengaturan kontrak penanaman modal internasional dalam
hukum publik nasional, dan pengaturan kontrak penanaman modal internasional dalam hukum
internasional publik. Terakhir dimuat penutup dan daftar pustaka.
402
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
PEMBAHASAN
1) Pengertian Sistem dan Sistem Hukum
Shrode dan Voich sebagaimana dikutip Tatang memberikan definisi sistem sebagai
“Suatu kumpulan dari bagian-bagian yang saling berhubungan, dalam mencapai tujuan
bersama secara keseluruhan, dalam lingkungan yang kompleks.” 2 Dalam definisi ini dapat
ditarik beberapa unsur yang membentuk sistem, yaitu kumpulan bagian, keterhubungan
antarbagian, kemandirian setiap bagian dan kebersamaan semua bagian dalam pencapaian
tujuan, keberadaan tujuan bersama, dan adanya kompleksitas lingkungan. 3
Definisi
lain dikemukakan oleh Subekti
sebagaimana dikutip Mariam
Darus
Badrulzaman bahwa sistem sebagai “suatu susunan atau catatan yang teratur, su atu
keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain tersusun menurut
suatu rencana atau pola hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.” 4
Ciri pokok sistem menurut Tatang adalah ada sasaran yang ingin dicapai, ada gar is yang
membatasinya, ada keterbukaan terhadap pengaruh luar, ada kebersamaan dalam pencapain
tujuan, ada ketergantungan antarkomponen dalam sistem dan antara sistem yang satu dengan
sistem lain yang terkait, ada aktivitas di dalam sistem yang mengubah ma sukan menjadi
keluaran, ada penyeimbang dalam hubungan antarkomponen dan antara sistem yang satu
dengan sistem terkait lain, dan ada kemampuan adaptasi yang bekerja dengan sendirinya. 5
Salah satu bentuk sistem tersebut adalah sistem hukum.
Bellefroid, sebagaimana dikutip Mariam Darus Badrulzaman, mendefinisikan sistem
hukum sebagai “keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu berdasarkan atas
asas-asas tertentu.” 6 Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mendefinisikan sistem hukum
sebagai “kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun
2
Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. Ke-2, CV Rajawali, Jakarta, 1986, hlm. 11.
Ibid.
4
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hlm.
3
15.
5
Tatang M. Amirin, Op. Cit. hlm. 24.
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hlm. 15.
6
403
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
tertip hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan menganalisa
(mengolah data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-sifatnya
yang umum (kolektif) atau abstrak.” 7
2) Klasifikasi Hukum Privat dan Hukum Publik
Pada awal perkembangannya tidak ada pemisahan antara hukum privat dan hukum publik
dalam sistem hukum civil law. Semua hukum adalah satu, tergabung semua ke dalamnya. Dengan
demikian sama halnya dengan filsafat, pada waktu itu dalam hukum tidak dikenal adanya klasifikasi
atau spesialisasi ke dalam bidang yang lebih khusus. Namun, kemudian seiring dengan
perkembangan pemikiran tentang hukum muncul ide untuk mengadakan klasifikasi hukum ke
dalam hukum privat dan hukum publik. Pencetus ide tersebut adalah Ulpianus pada masa Romawi.
Ulpianus membagi hukum ke dalam hukum privat dan hukum publik. Hukum privat adalah
hukum yang mengatur hubungan antara rakyat Romawi satu sama lainnya, sedangkan hukum
publik mengatur hubungan antara negara Romawi dengan rakyatnya. 8 Yang pertama mengatur
kepentingan perseorangan, sedangkan yang terakhir mengatur kepentingan publik. Jadi, dalam hal
ini, yang menjadi patokan dalam penilaian adalah kepentingan, sehingga disebut juga teori
kepentingan.
Dalam perkembangan kemudian, banyak juga para ahli dan praktisi hukum yang
mempertanyakan ketepatan pembagian hukum klasik, ke dalam hukum privat dan hukum publik
tersebut. 9 Hal ini antara lain karena ada bidang hukum tertentu, yang tidak dapat dimasukkan
seluruhnya ke dalam salah satu klasifikasi tersebut, karena bidang hukum tersebut mengatur baik
kepentingan privat, maupun kepentingan publik. Jadi, bersifat campuran, bahkan ada bidang hukum
7
Ibid.
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie van het Nederlands Recht), Oetarid Sadino
(Penerjemah) Cet. Ke. 22, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 183.
9
Ada penulis yang menyatakan bahwa klasifikasi hukum privat dan hukum publik kental dengan pemikiran
liberal Barat, dan pembagian demikian tidak memiliki dasar yang tetap untuk dapat dipercaya dan rumit, antara lain,
karena mencerminkan preferensi politik tertentu terkait tingkatan dan kualitas campur tangan pemerintahan. Christine
Chinkin, “A Critique of the Public/Private Dimension” EJIL, Vol. 10. No. 2. 1999., hlm. 389.
8
404
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
yang selain memiliki sifat campuran tersebut, juga memiliki karakter sendiri sehingga dapat berdiri
sendiri di luar klasifikasi tersebut.10
Oleh karena adanya kesulitan tersebut, ada yang berpendapat dikhotomi hukum ke dalam
hukum privat dan hukum publik demikian kini sudah tidak tepat. Sebagai solusinya, muncul
alternatif lain yang mengadakan klasifikasi hukum tidak berdasarkan kepentingan yang diatur,
tetapi berdasarkan fungsi hukum tertentu, yang disesuaikan dengan realitas praktik hukum masa
kini.11 Klasifikasi demikian disebut pembagian fungsional. Dalam klasifikasi ini muncul, misal,
hukum ekonomi, hukum pajak, hukum perburuhan dan ketegakerjaan, hukum asuransi sosial, dan
hukum penanaman modal. Hukum kontrak penanaman modal internasional juga dapat dimasukkan
ke dalam klasifikasi fungsional ini. Pembagian demikian tidak lagi didasarkan pada kepentingan
apa yang diatur, karena dalam kenyataannya mencampur berbagai kepentingan, privat dan publik,
yang saling berkaitan satu sama lain.
Dalam hukum kontrak penanaman modal internasional, karena ada kesulitan dalam
menerapkan klasifikasi berdasarkan teori kepentingan, yang dapat masuk baik ke dalam hukum
privat maupun hukum publik tersebut. Kemudian muncul teori subjek yang berfokus pada penilaian
tentang kedudukan negara/daerah sebagai pihak dalam kontrak penanaman modal internasional.
Apabila negara/daerah bertindak dalam kapasitasnya sebagai permangku kepentingan komersial
(jure gestiones), yang berlaku adalah hukum privat. Akan tetapi, apabila negara/daerah bertindak
dalam kapasitasnya sebagai pemangku hukum publik (jure empirii), yang berlaku adalah hukum
publik.12
Meskipun berdasarkan teori subjek tersebut dapat dipisahkan kedudukan negara/daerah yang
menunjuk hukum yang berlaku, privat atau publik, namun hal ini merupakan prinsip yang berlaku
10
L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 190-191.
Hal ini terutama penting dalam penanaman modal internasional, yang mengandung materi muatan hukum
privat dan hukum publik yang terintegrasi dalam suatu sistem, yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan pertentangan
hak dan kepentingan dalam rejim hukum yang kompleks yang melibatkan pemangku kepentingan yang beragam.
“Public and Private in International Investment Law: An Integrated System Approach” Virginia J. Int’l L. Vol. 52. No.
2. 2014., hlm. 66.
12
Oyunchimeg Bordukh, Choice of Law in State Contracs in Economic Development Scetor-Is there Party
Autonomy?Bond University School of Law, Bond, hlm. 15.
11
405
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
pada kontrak internasional pada umumnya. Berbeda halnya dengan kontrak penanaman modal
internasional yang khusus (lex specialis). Sebagai kontrak publik atau kontrak administratif,
terhadap kontrak penanaman modal internasional juga berlaku hukum publik. Oleh karena karakter
campuran demikian, pendekatan sistem yang terintegarsi dan melintasi batas hukum privat dan
hukum publik menjadi penting. Kaidah hukum publik terkait diuraikan di bawah ini.
3) Pengaturan Kontrak Penanaman Modal Internasional dalam Hukum Administrasi/Tata
Negara
Berkenaan dengan kontrak penanaman modal internasional dalam hukum publik nasional,
terdapat ketentuan, baik yang berlaku secara nasional, maupun yang berlaku khusus di daerah
tertentu. Misal untuk Provinsi Aceh sumber hukum dimaksud meliputi Undang-Undang Penanaman
Modal (selanjutnya disingkat UUPM) dan peraturan pelaksanaanya, dan Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (selanjutnya disingkat UUPA) dan peraturan pelaksanaannya. Peraturan
pelasanaan UUPA yang langsung terkait adalah Peraturan Presiden tentang Kerja Sama Pemerintah
Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar Negeri (selanjutnya disingkat (Perpres Kerja Sama Luar
Negeri Aceh), Perpres Pengelolaan Minyak dan Gas Aceh (Perpres Migas Aceh), hukum kerja sama
antara daerah dan luar negeri, dan Qanun Aceh tentang Penanaman Modal (Qanun Aceh
Penanaman Modal).
UUPM dan peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum penanaman modal,
termasuk penanaman modal asing, yang berlaku secara nasional (lex generalis), sedangkan UUPA
dan peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum otonomi khusus Aceh, temasuk dalam
penanaman modal asing, yang berlaku hanya di Aceh (lex specialis). Kedua sumber hukum umum
dan khusus di atas menjadi pondasi yang disediakan sistem hukum dalam menghadapi dan
menyelesaikan kemungkunan terjadinya konflik pengaturan di dalam sistem-sistem yang berkaitan.
Pada prinsipnya, UUPA dan peraturan pelaksanaannya, telah memberikan
kewenangan
khusus yang lebih luas kepada Aceh, dalam kaitannya dengan kerja sama luar negeri dan
406
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
penanaman modal internasional. Kewenangan tersebut, tidak diberikan oleh UUPM dan peraturan
pelaksanaannya dan juga hukum otonomi daerah pada umumnya, kepada daerah lain yang tidak
memiliki stutus otonomi khusus di Indonesia. Dengan demikian, secara umum, Provinsi Aceh
berdasarkan sumber hukum khusus tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
mengadakan kerja sama luar negeri dan pemberian izin penanaman modal internasional
dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Adanya kewenangan khusus yang lebih luas merupakan fondasi hukum yang mendukung
pengembangan kerja sama luar negeri dan penanaman modal internasional dari dan oleh Pemerintah
Aceh. Dengan demikian, ketentuan UUPA, Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh dan Qanun Aceh
Penanaman Modal merupakan sistem hukum yang menunjang sistem hukum kontrak internasional
yang mengatur tentang keterlibatan Pemerintah Aceh sebagai pihak dalam suatu kontrak
internasional terkait penanaman modal tersebut.
Dalam kontrak penanaman modal internasional, kedudukan negara/daerah adalah sebagai
subjek hukum. Subjek hukum merupakan pemangku hak dan kewajiban. Negara/daerah merupakan
suatu badan hukum publik yang menjadi subjek hukum mandiri. Berdasarkan teori badan hukum,
negara/daerah merupakan suatu badan hukum publik yang merupakan subjek hukum yang mandiri.
Berkenaan dengan badan hukum publik sebagai subjek hukum tersebut pengaturannya
terdapat dalam hukum administrasi/tata negara. Dalam hukum administrasi/tata negara dikenal 2
(dua) macam tindakan pemerintah. Pertama, tindakan berdasarkan hukum privat. Kedua, tindakan
berdasarkan hukum publik.13 Salah satu contoh perbuatan berdasarkan hukum privat adalah menjadi
pihak dalam kontrak penanaman modal internasional. Dalam hal ini negara/daerah dapat memilih
instrumen hukum privat atau instrumen hukum publik yang berlaku. Penilaian tentang instrumen
hukum mana yang dipilih dapat dilihat pada tindakan organ negara/daerah tersebut.
Dalam kaitannya dengan syarat kecakapan yang diperlukan untuk keabsahan suatu kontrak
negara/daerah, subjek hukum tersebut terlebih dahulu harus memperoleh kewenangan (beschikking)
13
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. Ke-4, FH Unpad, Bandung, 1960, hlm. 62.
407
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
untuk
melaksanakan
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
transaksi
tersebut.
Setelah
ada
penetapan
kewenangan
(beschickkingshandeling) dalam hukum administrasi/tata negara demikian, baru pejabat pemerintah
yang mewakili negara/daerah demikian berwenang untuk mengadakan hubungan kontraktual
tertentu.14
Herlien Budiono menjelaskan perbandingan konsep ketidakcakapan (handelingonbekwaamheid) dan ketidakwenangan (handelingonbevoegheid) dalam ilmu hukum.
15
Yang pertama,
menentukan secara umum siapa saja yang dilarang membuat kontrak untuk memberikan
perlindungan kepada pihak itu sendiri. Yang kedua, menentukan siapa
yang dilarang untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu untuk memberikan perlindungan pihak lain dan/atau terhadap
kepentingan publik. Di samping perbedaan pengertian dan tujuan tersebut, juga terdapat perbedaan
konsekuensi hukum dari ketiadaan pemenuhannya. Yang pertama, perjanjian tersebut menjadi dapat
dibatalkan (vernietigbaar). Sedangkan yang kedua, perjanjian tersebut batal demi hukum (neitig).16
Syarat kecakapan berlaku untuk subjek hukum alamiah atau perseorangan, sedangkan untuk
badan hukum seperti negara/daerah berlaku syarat kewenangan. Jadi, terdapat perbedaan ukuran
dan istilah yang digunakan dalam menilai kapasitas kontrak subjek hukum alamiah dan badan
hukum. Apabila suatu kontrak negara/daerah dibuat oleh badan atau organ pemerintah yang tidak
berwenang dalam hal itu, berarti kontrak tersebut menjadi batal demi hukum. Artinya hukum
menganggap bahwa sejak dari awal perjanjian tersebut tidak pernah ada. Dengan demikian
perjanjian tersebut tidak berlaku atau tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya secara hukum.
Persoalan tentang ada tidaknya kewenangan organ negara/daerah untuk menandatangani suatu
kontrak dalam ilmu hukum terkait dengan konsep intravires dan ultravires. Menurut Nygh dan Butt
intravires merupakan suatu perbuatan yang sah, karena berada di dalam kewenangan seseorang
atau suatu lembaga atau pembuat legislasi. Dalam hukum administrasi negara terkait suatu putusan
14
15
Ibid., hlm. 62 dan 65.
Sutarman Yodo, Aspek Hukum dalam Ekonomi Kerja Sama Daerah, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hlm.
51.
16
408
Ibid.
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
pejabat administrasi negara, yaitu yang berada di bawah kewenangannya untuk menetapkan putusan
tersebut.17
Sebaliknya yang dimaksud dengan ultravires adalah suatu perbuatan seseorang atau lembaga
atau pembuat legislasi adalah tidak sah karena berada di luar kewenangan yang membuat. Dalam
hukum administrasi negara secara sempit dipahami sebagai putusan yang tidak diberikan oleh
peraturan perundang-undangan, yang dapat karena materi muatannya tidak secara langsung atau
tidak langsung berada di dalam kewenangannya atau karena tidak terpenuhinya ketentuan
prosedural yang menurut penapsiran yang tepat dari peraturan perundang-undangan diharuskan
untuk diikuti supaya perbuatan tersebut menjadi sah.18
M. Sornarajah menyatakan bahwa masalah intravires dan ultravires ini merupakan suatu
persoalan sisa yang hingga kini belum sepenuhnya terselesaikan. Masalah ini dianggap penting
dalam hukum nasional sehingga perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari para pihak, supaya
kontrak penanaman modal internasional yang dibuat itu sah dan dalam hal ada perselisihan putusan
yang diambil oleh arbitrase dapat dilaksanakan karena tidak dianggap bertentangan dengan
kebijakan publik di negara tempat eksekusi atau tidak bertentangan dengan Konvensi New York
Tahun 1958. Persoalannya adalah meskipun ia dianggap penting dalam hukum nasional suatu
negara, namun tidak selalu mantap di dalam pandangan arbitrase, yang dapat memandang masalah
tersebut belum menjadi prinsip umum hukum karenanya dapat ditolak berdasarkan teori
internasionalisasi kontrak. Artinya terhadap persoalan hukum kontrak internasional tersebut oleh
17
“Act is within the legal power or authority of a person, institution or legislation and therefore valid. In
administrative law, decisions of administrators which are within the scope of power of the administrator to make.”
Peter E. Nygh and Peter Butt (Editors), Op. Cit., hlm. 241.
18
“...beyond the legal power or authority of a person, institution, or legislation, and therefore invalid...An
executive or administrative decision made ultravires in the narrower sense is one not authorized by enactment
underwhich it was puported to be made either because its subject matter is not directly or indirectly within power, or
because of non-complience with a statutory procedure which, on a proper interrpretation of the statute, is required to
be followed if the action is to be valid.” Ibid., hlm. 438.
409
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
arbitrase tidak diadili berdasarkan hukum nasional, tetapi berdasarkan prinsip hukum
transnasional/internasional.19
Dalam hukum Indonesia, pemerintahan daerah, misal Provinsi Aceh, memiliki kedudukan
rangkap. Pertama, sebagai bagian dari pemerintah pusat. Kedua, sebagai daerah otonom yang
memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam hal yang terakhir,
daerah otonom merupakan badan hukum publik yang mandiri, sehingga dapat bertindak sendiri
sebagai subjek hukum privat, termasuk dalam mengelola sumber daya di daerah dan melakukan
berbagai kerja sama untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.20
Misal berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Aceh terdapat kaidah
hukum publik tentang kewenangan sebagaimana diatur PP Migas Aceh. 21 PP Migas Aceh dibentuk
berdasarkan Pasal 160 ayat (5) UUPA. Pasal 160 UUPA menetapkan bahwa pengelolaan minyak
dan gas bumi di Aceh merupakan kewenangan bersama pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh,
yang dapat membentuk badan pelaksana bersama.
PP Migas Aceh mengatur tentang kontrak kerja sama dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 66.
Khusus tentang klausula kontrak kerja sama ditetapkan dalam Pasal 43 PP Migas Aceh. Pasal 43
ayat (2) PP Migas Aceh menetapkan standar minimum ketentuan pokok kontrak kerja sama.
Disebutkan bahwa kontrak kerja sama tersebut paling sedikit berisi klausula tentang penerimaan
negara, wilayah kerja dan pengembaliannya, kewajiban pengeluaran dana, perpindahan kepemilikan
hasil produksi atas minyak dan gas bumi, jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak,
penyelesaian perselisihan, kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan
dalam negeri, berakhirnya kontrak, kewajiban pascaeksplorasi dan eksploitasi, keselamatan dan
kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, pengalihan hak dan kewajiban, pelaporan yang
19
M. Sornarajah, The Settlement of Investment Dispute, The Hague: Kluwer Law International, The Hague, hlm.
95-111. M. Sornarajah, The International Law on Foreign Investment. 2nd.ed. U.K., Cambridge University Press, U.K..,
2007, hlm. 433-434.
20
Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm. 53.
21
410
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
diperlukan, rencana pengembangan lapangan, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri, pengembangan masyarakat, dan pengutamaan pengunaan tenaga kerja Indonesia.
Selain itu, dalam Pasal 54 ayat (2) PP Migas Aceh ditegaskan bahwa terhadap kontrak
penanaman modal internasional Migas Aceh berlaku hukum Indonesia. Ketentuan demikian
merupakan klausula pilihan hukum pemaksa (mandatory choice of law clause), yang merupakan
pengecualian dari berlakunya asas pilihan hukum (choice of law) yang umum dalam kontrak
internasional.
Di samping itu, masih juga terdapat berbagai ketentuan prosedural yang beralku dalam kerja
sama antara daerah dengan luar negeri. Ketentuan yang berlaku umum nasional tersebut, antara lain,
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama
Daerah (PP Tata Cara Kerja Sama Daerah), Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009
tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah (Permendagri Juknis Kerja Sama Daerah),
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kerja Sama
Pemerintah Daerah dengan Pihak Luar Negeri (Permendagri Manlak Kerja Sama Luar Negeri
Daerah). Sedangkan ketentuan yang berlaku khusus di Provinsi Aceh adalah Peraturan Presiden
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan Lembaga atau Badan di Luar
Negeri (Perpres Kerja Sama Luar Negeri Aceh).
4) Pengaturan Kontrak Penanaman Modal Internasional dalam Hukum Internasional Publik
a) Konvensi ICSID
Menurut asas dan kaidah hukum perdata internasional konvensional hukum yang berlaku
terhadap kontrak internasional adalah hukum domestik. Lazimnya, dengan beberapa pengecualian,
hukum domestik ini adalah hukum nasional negara penerima modal atau negara asal tempat
kedudukan perusahaan penanaman modal internasional. Dalam pandangan modern kini hukum
yang berlaku untuk suatu kontrak internasional juga meliputi hukum transnasional/internasional.
411
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Meskipun dalam hal ini masih terdepat perbedaan pendapat diantara ahli tentang pentingnya
hukum transnasional/internasional, namun hukum tersebut semakin diterima oleh masyarakat
dagang internasional, yang dipercayai dan digunakan sebagai hukum yang berlaku dalam transaksi
bisnis internasional yang mereka lakukan, termasuk dalam penanaman modal internasional.
Dalam perkembangannya hukum internasional ternyata juga dijadikan dasar hukum yang
mengatur penanaman modal internasional, yang semula hanya tunduk pada asas dan kaidah hukum
perdata internasional konvensional dan yang terakhir meliputi pula hukum transnasional.
Perkembangan demikian terlihat dalam ketentuan Konvensi Internasional tentang Penyelesaian
Sengketa Penanaman Modal antara Negara dan Warga Negara dari Negara Lain (International
Convention on Investment Disputes between States and National of Other States/)(Konvensi
ICSID).
Berkenaan dengan fungsi dan wewenang arbitrase ICSID yang dibentuk dengan Konvensi
ICSID tersebut tentang hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa penanaman modal
internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 42 Konvensi ICSID.22 Pasal 42 Konvensi
ICSID menetapkan bahwa
arbitrase ICSID menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum yang
dipilih para pihak, atas dasar asas pilihan hukum. Namun, ketika para pihak tidak memilih sendiri
hukum yang berlaku terhadap kontrak penanaman modal internasional mereka, arbitrase ICSID
menerapkan hukum dari negara para pihak yang bersengketa, termasuk ketentuan hukum perdata
internasional. Di samping itu, juga hukum internasional yang mungkin berlaku.
Menurut Pasal 34 Konvensi ICSID tersebut penentuan hukum yang berlaku diprioritaskan
pada hukum yang dipilih oleh para pihak. Biasanya yang dipilih adalah hukum dari negara
penerima modal, dan kecuali dilarang dalam hukum publik di negara penerima modal, dapat juga
hukum negara tempat perusahaan penanam modal internasional, atau hukum negara lain atau
hukum transnasional/internasional. Apabila para pihak tidak memilih hukumnya sendiri, arbitrase
22
Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID menetapkan bahwa “the Tribunal shall decide a dispute in accordance with
such rules of law may be agreed by the parties. In absense of such agreement, the Tribunal shall apply the law of the
Contracting State party to the dispute (including rules on the conflict of laws) and such rules of internasional law as
may be applicable.”
412
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
ICSID dapat menetapkan hukum yang berlaku adalah hukum nasional dari negara para pihak dan
hukum internasional. Jadi, hukum internasional disini berlaku dalam penyelesaian sengketa
penanam modal internasional karena ditentukan oleh arbitrase ICSID tersebut.
Berbeda dengan arbitrase internasional lain, arbitrase ICSID merupakan arbitrase khusus yang
berwenang mengadili sengketa penanaman modal internasional, antara negara dan penanam modal
internasional. Adanya persyaratan bidang penanaman modal dan negara sebagai pihak yang
bersengketa, menjadikan arbitrase unik apabila dibandingkan dengan lembaga arbitrase
internasional yang lain, seperti ICC dan UNCITRAL. Mungkin karena adanya keterlibatan negara
inilah yang menjadi penghubung antara hukum privat tentang kontrak internasional dan hukum
internasional publik tersebut.
Berkenaan dengan apa yang dimaksud dengan pengertian hukum internasional di sini dapat
dikaitkan dengan sumber hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Statuta Mahkamah
Internasional. Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menetapkan 4 (empat) kelompok
sumber hukum. Pertama, traktat. Kedua, hukum kebiasaan internasional. Ketiga, prinsip-prinsip
hukum umum. Keempat, putusan pengadilan dan doktrin.
Kedudukan hukum internasional sebagai dasar hukum yang digunakan dalam sengketa
penanaman modal internasional pada arbitrase ICSID didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) Konvensi
ICSID tersebut. Dalam hal ini aplikasi tuntutan kontrak penanaman modal internasional berfungsi
untuk memperbaiki dan melengkapi hukum domestik. Jadi, penggunaan hukum internasional dalam
kasus tuntutan kontrak terbatas pada fungsi perbaikan dan penambahan (corrective and
supplemental) saja. 23 Artinya, yang lebih dipentingkan adalah hukum domestik, dan hukum
internasional baru digunakan seperlunya, ketika terdapat kesenjangan (filing the gap), misal karena
kelemahan standar pengaturan dalam hukum domestik tertentu. 24 Kombinasi antara hukum
23
Antonio R. Parra, Applicable Law in Investor-State Arbitration, Paper Presented for Second Annual
Conference on International arbitration and Mediation (Investor-State Arbitration Panel) at Foldham University Law
School, June 18-19, 2007, hlm. 15.
24
Ibid.
413
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
domestik dan hukum internasional demikian juga pernah dipertimbangkan arbitrase ICSID dalam
kasus Amco Asia Corp. melawan Indonesia pada tahun 1986.
b) Traktat Penanaman Modal Internasional
Traktat penanaman modal internasional atau international investment agreements (IIAs)
meliputi, baik perjanjian penanaman modal internasional atau bilateral investment treaties (BITs),
maupun bab penanaman modal dalam perjanjian pasar bebas.25 BITs sesuai namanya merupakan
bagian dari pengertian traktat bilateral, yang dibuat oleh 2 (dua) negara. Oleh karena itu, pada
prinsipnya tunduk pada rejim hukum traktat sebagai bagian dari hukum internasional publik.
Meskipun pun demikian BITs dapat memiliki kaitan dengan arbitrase ICSID dan dapat juga
memiliki kaitan langsung dengan implementasi kontrak penanaman modal internasional. Sehingga
saling berkaitan antara satu dan lainnya. Keterkaitan dengan arbitrase ICSID, karena BITs
menggunakan arbitrase tersebut sebagai mekanisme penyelesaian sengketa, yang disebut the
investor-state dispute settlement mechanisme (ISDS). Sedangkan keterkaitan dengan implementasi
kontrak penanaman modal internasional karena seringkali dalam BITs terdapat klausula payung
(umbrella clause), yang memungkinkan sengketa kontrak penanaman modal internasional
diselesaikan melalui mekanisme ISDS-BITs tersebut. Dalam hal ini sebagai alternatif jalur
penyelesaian sengketa melalui tuntutan traktat (treaty claims) yang modern, di samping jalur
tuntutan kontrak (contract claims) yang konvensional.
Klausula payung yang ada dalam BITs memungkinkan pelanggaran kontrak penanaman
modal internasional yang lazimnya berada di luar ditarik menjadi bagian dari pengertian
pelanggaran BITs tersebut. Klausula payung tersebut pada intinya menyatakan bahwa para pihak
terikat dengan setiap kewajiban yang telah disanggupi terhadap penanam modal atau penanaman
modal dari penanam modal dari negara pihak lain. 26 Hal ini berarti memperluas ruang lingkup
25
Traidcraft, 2015, International Investment Agreements under Scrutiny, United Kingdom: EU, hlm. 5.
Klausula payung yang khas tersebut lazimnya merumuskan ketentuan bahwa “Each Contracting Party shall
observe any obligations it has entered into with an Investor or an Investment of an Investor of any other Contracting
26
414
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
perlindungan penanam modal, yang semula dilindungi secara terpisah melalui hukum kontrak,
dengan BITs yang memiliki klausula payung, mendapatkan tambahan atau alternatif perlindungan,
yang sewaktu-waktu dapat digunakan penanam modal internasional.27 Akibatnya, penanam modal
internasional mendapatkan perlindungan hukum rangkap, di samping melalui jalur tuntutan traktat,
juga melalui jalur tuntutan kontrak.
KESIMPULAN
Sebagai cabang hukum kontrak dan hukum kontrak internasional, hukum kontrak
penanaman modal internasional pada prinsipnya berada dalam ruang lingkup hukum privat,
dalam hal ini hukum perdata internasional dan hukum kontrak internasional. Meskipun
demikian, sampai pada tingkat tertentu, kontrak penanaman modal internasional juga diatur
dalam hukum publik., baik dalam hukum administrasi/tata negara, maupun dalam hukum
internasional publik. Kaidah hukum publik dalam hukum administrasi/tata negara meliputi
pengaturan tentang kewenangan negara/daerah, prosedur perancangan kontrak, isi minimum,
dan klausula pilihan hukum pemaksa. Sedangkan kaidah hukum internasional publik m eliputi
arbitrase internasional dan klausula payung dalam traktat penanaman modal internasional.
Keberadaan kaidah hukum lintas hukum privat dan hukum publik dalam kontrak penanaman
modal internasional menunjukkan tentang pentingnya pendekatan sistem terha dap hukum
publik dalam pemahaman, penerapan, dan pembaruan hukum kontrak penanaman modal
internasional tersebut.
Dengan demikian pembaruan kontrak penanaman modal internasional tersebut perlu
dilakukan melalui pendekatan sistem, yang terintegrasi dan melintasi batas hukum privat dan
hukum publik. Dalam hal ini untuk Indonesia selain perlu diperhatikan baik kebutuhan
Party.”Raul Pareira de Souza Fleury, 2012, Treaty-Protected Investment Agreements: of Umbrella Clauses and Privity
of Contract, hlm. 2.
27
Ibid.
415
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
nasional Indonesia sendiri, juga perlu menampung kebutuhan global akibat perkembangan
terakhir rejim hukum tersebut secara internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Apeldorn, L.J. van. 1985. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de Studie van het
Netherlands Recht). Oetarid Sadino (Penerjemah). Cet. Ke-22. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Bordukh, Oyunchimeg. 2008. Choice of Law in State Contracts in Economic Development
Sector- Is There Party Autonomy? Bond University Faculty of Law. Bond.
Chinkin, Christine. 1999. “A Critique of the Publik/Private Dimension” EJIL. Vol. 10. No. 2.
388-395.
Fleury, Raul Pareira de Sauza. 2015. “Treaty Protected Investment Agreement: Of Umbrella
Clause and Privity of Contracts.”
Mariam Darus Badrulzaman. 1997. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional.
Penerbit
Alumni. Bandung.
Maupin, Julie. 2014. “Public and Private in International Investment Law: An Integrated
System Approach” Virginia J. Int’l L. Vol. 54. No. 2.31-66.
Nygh, E, Peter, and Peter Butt. 1998. Butterworth Concise Australian Legal Dictionary. 2nd
Ed. Butterworths. Sydney.
Parra, Antonio R. 2007. “Aplicable Law in Investor-State Arbitration.” Paper presented for
Second Annual Conference on International Arbitration and Mediation (Investor -State
Arbitration Panel) at Foldham University Law School, 17-18 June.
Sornarajah, M. 2007. The International Law on Foreign Investment. 2nd. Ed. Cambridge
University Press. Cambridge.
_______, The Settlement of Foreign Investment Disputes. Kluwer Law International. The
Hague.
416
Pendekatan Sistem terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
Sanusi Bintang
Kanun Jurnal Ilmu Hukum
No. 66, Th. XVII (Agustus, 2015).
Sutarman Yodo. 2013. Aspek Hukum dalam Kerja Sama Ekonomi Daerah. Genta Publishing.
Yogyakarta.
Tatang M. Amirin. 1986. Pokok-Pokok Teori Sistem. Cet. Ke-2. C.V. Rajawali.
Jakarta.
Traidcraft. 2015. “International Investment Agreement under Scrutiny.” E.U., United
Kingdom.
Utrecht, E. 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet. Ke-4. FH UNPAD.
Bandung.
417
Download