KAJIAN TAFSIR INDONESIA: ANALISIS TERHADAP TAFSIR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN FÎ TAFSÎR KALÂM RABB AL-‘ÂLAMÎN KARYA K.H. AHMAD SANUSI Oleh: Muhamad Indra Nazarudin NIM: 101034021875 JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M KATA PENGANTAR Kalimat puji dan syukur sepantasnya penulis panjatkan kepada Allah SWT., yang memang selalu menjadi milik-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran yang tiada hentinya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skrpsi ini. Satu tahun lebih penulis bergelut melawan segala rintangan dan cobaan, baik dari segi psikologis, fisik, teknis, materi bahkan hadangan alam demi menyelesaikan skripsi ini. Limpahan salawat beserta salam senantiasa tercurah kepada sang uswah alhasanah, semulya-mulya ciptaan-Nya, Nabi besar ummat Islam Muhammad SAW., seluruh keluarga dan juga para sahabatnya. Tebaran sabda agungnya mampu menggugah decak kagum seluruh manusia dari Timur hingga Barat. Selaku hamba yang diperintahkan untuk berinteraksi dengan sesama, penulis merasa mempunyai kewajiban untuk menguntai kata terima kasih yang tak terhingga kepada fihak yang telah berperan dan membantu secara tulus dalam proses perampungan skripsi ini. Tanpa keterlibatan mereka, boleh jadi skripsi ini tidak akan mewujud dalam nyata dengan mulus sebagaimana terlihat sekarang ini. Ucapan terima kasih pertama penulis sampaikan sedalam-dalamnya kepada Dr. M. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Drs. Bustamin, M.B.A. dan Rifqi Muhammad Fatkhi, S.Ag., selaku Ketua Jurusan dan sekretaris Tafsir Hadis, atas semua dedikasi, jasa dan pengabdiannya terhadap kelangsungan dinamika fakultas dimana saya mengukir jejak studi. Terima kasih selanjutnya penulis tujukan kepada Drs. H.M. Suryadinata, M.A., dan Dra. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., dua pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. Tanpa arahan, kritik, masukan, dan bantuannya baik secara teknis maupun non teknis keduanya, rasa-rasanya skripsi ini tidak mungkin terselesaikan dengan lancar. Berikutnya, terima kasih banyak penulis haturkan kepada keluarga besar K.H. Ahmad Sanusi dan seluruh jajaran yayasan Pondok Pesantren Syams al-‗ulûm yang telah membantu dan menyediakan fasilitas data maupun informasi tentang objek kajian penulisan skripsi yang sangat berarti dan penulis butuhkan. Tanpa bantuan dan sokongan dari mereka, penulis ragu apakah mampu menyelesaikan skripsi ini. Dalam petualangan studi di Jurusan Tafsir Hadis, penulis telah banyak mendapat pengalaman berharga, motivasi, dan inspirasi tentang luasnya bahtera mozaik kajian Islam dari pergaulan yang intens dengan kawan-kawan (TH-A angkatan 2001). Untuk itu, terima kasihku juga teralamatkan pada Tajuddin, Faisal, Helmi, Syarif, Hasan, dan semuanya yang sudah menciptakan suasana nan unik serta bersahabat, baik dalam diskusi kelas maupun diluar itu. Perantauan penulis selama menjalani Kuliah Kerja Nyata sempat diwarnai pergulatan hidup yang berharga dan mengajarkan makna kesederhanaan, solidaritas, dan survive atas kerasnya hidup bersama teman-teman KKN Darmareja. Untuk itu penulis berikan rasa terima kasih kepada Irfan, Dervi, Via, Ulfah, Nuni, fitri, Andi, Syakur, dan yang lainnya. Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih setinggi-tinginya kepada Deni Rahman Septiana dan Ipad Badru atas dorongan dan kesabarannya yang tak kenal lelah terhadap kelemahan penulis dalam membantu menyelesaikan skripsi ini dan rumitnya birokrasi penyelesaian studi akhir. Tanpa mereka berdua penulis tidak akan terlecut untuk menyadari pentingnya sebuah penyelesaian dengan segera terhadap suatu kegiatan. Tak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada Jaza Zarkasih dan Sahal Mubarrok yang telah memberi masukan kepada penulis dan memompa semangat penulis dengan penuh eleg dan pikaseurieun untuk menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada sahabat (TH-C angkatan 2000), terima kasih atas suasana pergaulan hangat penuh warna selama hidup di Pondok Ijo. Untuk itu, penulis serahkan rasa terima kasih kepada Beha, Weah, Ronald, Basmin, dan lainnya yang tak mungkin penulis sebut semuanya. Paling akhir tapi yang terpenting, penulis haturkan terima kasih setulus-tulusnya atas pengorbanan dan dedikasinya selama ini kepada kedua orang tua penulis, Hj. Emma Malya, ibunda tercinta dan tersabar dimuka bumi, dan ayahhanda H. Zainal M. Burhan, the goodfather and The strong man. Tanpa jasa-jasa mereka penulis sekarang ini tidak akan menjadi seorang yang mereka cita-citakan. Rasa-rasanya penulis tidak akan mampu membalas segala kebaikannya dengan materi. Jazâkum Allah Khairân Katsîrâ. Walhasil, tanpa mengecilkan kontribusi pihak-pihak yang telah disebut diatas, karya ini tentunya tidak luput dari beragam kekurangan dan jauh sekali dari sempurna. Karena itu, segenap masukan dan juga kritikan yang yang datang kemudian penulis berikan penghargaan setinggi-tingginya. Pondok Hijau, 25 Mei 2007 Penulis, Muhamad Indra Nazarudin DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Telaah Kepustakaan ................................................................... 7 E. Metodologi Penelitian ................................................................ 8 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 9 BAB II SKETSA BIOGRAFIS K. H. AHMAD SANUSI (1888-1950) .................................................................................... 11 A. Latar Belakang Intelektual dan Pemikiran ............................... 11 B. Karir dan Aktivitas ................................................................... 16 C. Karya Tafsir .............................................................................. 26 BAB III TINJAUAN UMUM TAFSIR DI INDONESIA ......................... 31 A. Sejarah Awal Penulisan Tafsir di Indonesia ..............................31 B. Periodisasi Karya Tafsir di Indonesia ....................................... 35 C. Aspek Teknis Penulisan Tafsir ................................................. 44 1. Sistematika Penyajian ........................................................ 45 2. Bentuk Penyajian ............................................................... 47 3. Bentuk Penulisan ............................................................... 48 4. Sifat Mufassir ..................................................................... 50 5. Sumber-Sumber Rujukan ................................................... 50 D. Aspek Metodologis Penulisan Tafsir ....................................... 51 1. Metode Tafsir ..................................................................... 51 2. Nuansa Tafsir ..................................................................... 54 3. Pendekatan Tafsir .............................................................. 54 BAB IV ANALISIS TERHADAP TAFSÎR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN..................................................... 55 A. Gambaran Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ...................55 B. Kontroversi penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ............ 57 C. Aspek Teknis Penulisan Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn ........................................................... 61 1. Sistematika Penyajian Tafsir .............................................. 62 2. Bentuk Penyajian Tafsir...................................................... 64 3. Bentuk Penulisan Tafsir ...................................................... 67 4. Sifat Mufassir ..................................................................... 68 5. Sumber-Sumber Rujukan ................................................... 68 D. Aspek Metodologis Penafsiran Tamsyiyyat al-Muslimîn ........................................................... 70 1. Metode Tafsir ..................................................................... 70 2. Nuansa Tafsir ..................................................................... 72 3. Pendekatan Tafsir .............................................................. 73 E. Analisis Penulis ...........................................................................79 BAB V PENUTUP ............................................................................ 80 A. Kesimpulan ............................................................................... 80 B. Saran-Saran .............................................................................. 81 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 82 LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Biografi Kronologis K.H. Ahmad Sanusi 2. Karya Tulis K.H. Ahmad Sanusi 3. Sistem Transliterasi Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn 4. Contoh Halaman Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn BAB I PENDAHULUAN G. Latar Belakang Masalah Seiring dengan proses awal masuknya agama Islam di Nusantara, kitab suci alQuran diperkenalkan oleh para penyebar Islam (da‘i), kepada penduduk pribumi setempat. Bagi para penyebar Islam tersebut, pengenalan awal terhadap al-Quran tentu merupakan suatu hal sangat penting, karena al-Quran adalah kitab suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup. Keharusan memahami kandungan al-Quran tidak bisa ditawar lagi bila seseorang ingin menjadi Muslim yang baik. Menurut analisis Mahmud Yunus – sebagaimana dikutip Islah Gusmian – tentang sejarah sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia, al-Quran telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai ―pengajian al-Quran‖ di surausurau, langgar dan masjid. Yunus mengatakan bahwa, pada waktu itu, pendidikan alQuran adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum mereka diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh).1 Proses awal pembelajaran ini dimulai dengan pengenalan dasar-dasar pelajaran al-Quran seperti baca dan tulis huruf al-Quran hingga hafalan beberapa teks sûrah-sûrah penting dan pendek. Setelah menamatkan pengajian al-Quran tersebut, para murid kemudian diperkenalkan dengan pengajian kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Dalam pengajian kitab inilah, al-Quran diperkenalkan dengan lebih mendalam melalui kitab tafsir al-Quran. Pembelajaran al-Quran tumbuh berkembang dengan baik dan meyakinkan di wilayah Sumatra, khususnya Aceh. Dengan merujuk pada naskah-naskah yang ditulis 1 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), cet. ke-1, h. 42. Lihat juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1984), h. 24 ulama Aceh, dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 telah muncul upaya penafsiran alQuran. Ini terbukti dengan ditemukannya sebuah naskah melayu asal Aceh di Universitas Cambridge, yaitu tafsir sûrah al-Kahfi,2 walaupun hanya ditulis dengan tekhnik dan metode penafsiran yang tergolong sederhana.3 Selanjutnya, pada paruh kedua abad ke-17 muncul karya tafsir utuh yakni Tarjumân al-Mustafîd yang ditulis oleh Abdurrauf Sinkel (1615-1693).4 Ini adalah tafsir utuh pertama yang ditulis secara lengkap 30 juz. Di kawasan Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat proses pengajaran alQur‘an yang dilakukan melalui lembaga-lembaga tradisional pesantren dan madrasah semakin menemukan momentumnya. Melalui lembaga-lembaga tersebut kajian tafsir alQuran makin diintensifkan. Beberapa tafsir klasik yang sering dijadikan rujukan di antaranya Tafsîr al-Jalâlain, Tafsîr al-Baidâwi, Tafsîr Ibn Katsîr dan lain-lain. Dalam berbagai hasil penelitian, telah diuraikan tentang pertumbuhan lembaga pengajaran Islam beberapa daerah di Indonesia, baik berupa surau, pesantren madrasah, langgar dan lain-lain.5 Uraian tersebut telah cukup menunjukkan bahwa sejak semula umat Islam Indonesia memiliki perhatian besar terhadap al-Quran, mulai dari hal pengajaran tata cara membaca al-Quran yang baik sesuai ilmu tajwīd hingga kajian-kajian mendalam mengenai kandungan al-Quran (tafsir). Perhatian besar umat Islam Indonesia terhadap bidang kajian tafsir telah banyak melahirkan sejumlah tokoh mufassir lokal berikut karya-karya tafsirnya. Sejarah mencatat terhitung sejak proses penulisan tafsir telah dimulai pada abad ke-17 dengan ditemukannya naskah anonim tafsir sûrah al-Kahfi 2 Michael R. Feener, “Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia” Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, h. 47 3 Naskah anonim tafsir sûrah al-Kahfi ini ditulis dengan tinta merah disertai terjemahan serta komentar dalam tinta hitam. Teknik penulisan dalam naskah ini belum memisahkan ruang antara teks arab al-Qur’an, Terjemahan dan tafsir. Model ini terus diterapkan hingga abad 19. Feener, ―Notes Towards‖, Studia Islamika, h.48 4 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 43 5 Misalnya dalam buku Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 42-48 [18]: 9 yang sekarang menjadi koleksi Cambridge University Library.6 Sekedar menyebut beberapa tokoh mufassir asli orang Indonesia lainnya adalah ‗Abdu al-Raûf al-Sinkilî, Syaikh Nawaw Banten (meskipun tafsirnya tidak ditulis di bumi Indonesia), H. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Mahmud Yunus, A. Hasan dan sederet nama lainnya. Untuk memudahkan pengkajian tradisi penulisan tafsir di Indonesia para peneliti seperti: Howard M. Federspiel,7 M. Yunan Yusuf,8 telah menyusun berbagai periodisasi tafsir Indonesia. Dari sederet nama tokoh mufassir Indonesia terselip satu nama yang nyaris terlewatkan. Dia adalah Ahmad Sanusi, ajengan kelahiran Kampung Cantayan, Cibadak, Sukabumi pada 18 September 1888. Disebut nyaris terlewatkan, karena memang nama dan karya tafsirnya, hampir tidak disebut oleh beberapa penelitian tentang perkembangan tafsir di Indonesia, kecuali singgungan sangat singkat dan nukilan dalam catatan kaki. Hal ini tentunya, menurut penulis, merupakan sebuah ironi.9 Padahal, tidak kurang dari tiga hasil karya tafsir al-Quran dan sejumlah tafsir sûrah-sûrah lainnya telah dihasilkan oleh Ahmad Sanusi.10 Dengan tiga karya agungnya dalam bidang tafsir alQuran, yakni: Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân 30 Juz (dua jilid) dan Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb 6 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 54 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul, (Bandung: Mizan, 1994) 7 8 Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Volume III, 1992 9 Beberapa peneliti seperti Howard M. Federspiel dan M. Yunan Yusuf tidak menyinggung nama K.H. Ahmad Sanusi dan tafsir-tafsirnya. Hal ini juga terlihat dari absennya nama K.H. Ahmad Sanusi dan karya-karya tafsirnya dalam silabus mata kuliah Perkembangan Tafsir di Indonesia di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10 Ahmad Sanusi (1888-1950 M) termasuk salah satu ulama di Indonesia Awal abad ke20 M yang paling produktif menulis karya. Gunsaikanbu mencatat tidak kurang dari 101 karya yang ditulisnya dalam berbagai bidang keagamaan. Lihat Gunsaikanbu, Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa, (Yogyakarta: UGM Press, 1986), h. 442-443. Menurut penulis, ia juga berhak menyandang gelar sebagai ulama yang paling produktif dalam menulis karya tafsir. al-‘Âlamîn ,11 tidaklah berlebihan jika Ahmad Sanusi dipandang sebagai salah satu ulama tafsir (mufassir) terpenting yang pernah dimiliki Indonesia. Dari ketiga karya tafsir Ahmad Sanusi tersebut di atas, tafsir Tamsyiyyat alMuslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn (Selanjutrnya ditulis: Tamsyiyyat al- Muslimîn) akan menjadi objek kajian penelitian ini. Tafsir tersebut berjudul lengkap dan bertulisan asli Tamsjijjatoel Moeslimin fie Tafsieri Kalami Rabbil ’Alamien. Tafsir ini pada mulanya terbit secara berkala satu bulan sekali sejak 1 Oktober 1934, dicetak di percetakan al-Ittihâd Sukabumi dan beredar di kalangan terbatas di daerah Jakarta, Bandung, Bengkulu dan Singapura. Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui berapa jumlah edisi yang pernah terbit. Penulis mencatat tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn memiliki edisi tahun ke-1 no.1 (1934) hingga tahun ke-5 no. 53 (1939) yang sebagiannya ada di tangan penulis. Tafsir ini ditulis dengan huruf latin dan bahasa melayu dengan ejaan Ch. A. van Ophuijsen. Tulisan Arabnya (teks al-Quran) disertai dengan transliterasi huruf Latin. Saat ini tafsir tersebut sedang mengalami reproduksi untuk diterbitkan kembali oleh tim yang diketuai oleh Dr. K.H. Dedi Ismatullah, MA., salah seorang cucu dan penerus Ahmad Sanusi. Pemilihan objek ini didasari dengan pertimbangan bahwa tafsir tersebut memiliki beberapa kekhasan, di antaranya: (1) ditinjau dari aspek latar belakang, tafsir ini lahir di tengah panasnya kontroversi transliterasi (alih aksara) al-Quran ke dalam huruf Latin, (2) aspek penyebaran, tafsir ini ditulis sebagai edisi bulanan majalah (3) aspek teknis penulisan dan metodologis penafsiran, dan lain-lain. 11 Nashruddin baidan dalam bukunya, Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003) telah salah menyebutkan Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimin karya Ahmad Sanusi dengan menyebutnya dengan Tafsîr asy-Syamsiyah. Setelah ditelisik oleh penulis, ternyata Baidan mengutip dari buku tafsir Departemen Agama R.I. yang berjudul Al-Qur’an dan Tafsîrnya, (Yogyakarta: UII, 1995) h. 61 dalam (Mukaddimah). Berpijak pada beberapa pertimbangan tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn tersebut dalam bentuk skripsi ini. H. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian ini akan mengungkap sebuah tafsir karya Ahmad Sanusi yang berjudul Tamsyiyyat al-Muslimîn. Fokus analisisnya meliputi dua hal pokok saja. Pertama, teknis penulisan Tafsîr Tamsyiyyah al-Muslimîn. Analisis ini bergerak menelusuri aspek-aspek ―luar‖ yang tampak dalam bangunan penulisan tafsir tersebut. Kedua, metodologi penafsirannya, analisis terhadap aspek-aspek ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsipprinsip metodologi penafsirannya.12 Berdasarkan batasan masalah tersebut di muka, permasalahan yang hendak dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimanakah aspek-aspek teknis dan metodologis tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn? I. Tujuan Penelitian Secara formal, penelitian ini ditulis dalam rangka pemenuhan salah satu syarat mencapai gelar sarjana teologi Islam (S.Th.I) pada program strata satu (S-1), Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sedangkan secara non-formal, penelitian ini ditujukan untuk memperkenalkan lebih jauh dan luas sosok Ahmad Sanusi sebagai seorang tokoh penting tafsir di Indonesia. Di samping itu, secara khusus, penelitian ini berupaya membedah Tafsîr 12 Sejatinya, model pembahasan penelitian ini diilhami oleh hasil penelitian Islah Gusmian yang berjudul Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, (Jakarta: Teraju, 2003). Istilah ―aspek teknis‖ dan ―aspek metodologis‖ adalah istilah yang penulis adopsi dari buku tersebut. Kendati demikian, penulis tidak secara ketat mengacu pada buku tersebut. Tetapi melakukan beberapa penyesuaian guna relevansi dengan objek kajian penulis. Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, salah satu, di samping dua lainnya, karya besar Ahmad Sanusi dalam bidang tafsir al-Qurân, baik dari segi teknis penulisan maupun segi metodologis penafsiran. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya beberapa penulis untuk memperkenalkan Ahmad Sanusi dan karya-karya tafsirnya ke pentas publik akademis dalam maupun luar UIN Jakarta, sekaligus melecut kajian historis khazanah tafsir al-Quran warisan para ulama Nusantara. Lebih dari itu, penelitian ini sejatinya didorong oleh beban tanggung jawab moral dan intelektual penulis sendiri sebagai keturunan langsung (cicit) dari Ahmad Sanusi. Saat ini, warisan intelektual Ahmad Sanusi yang berupa peninggalan karya-karya tulisnya cenderung terbengkalai dan tidak terawat. Dengan niat tulus dan tekad bulat, penulis hendak melestarikan warisan tersebut. J. Telaah Kepustakaan Walaupun secara pribadi sosok Ahmad Sanusi relatif belum dikenal secara luas di publik akademis Indonesia, beberapa karya berupa hasil penelitian dan buku utuh yang membahas tentang beliau telah cukup banyak dihasilkan. Sebut saja, misalnya, Muhammad Iskandar, dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI, dengan bukunya Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat (1900-1950) (2001). Buku yang pada mulanya adalah tesis S2-nya pada program sandwich (sisipan) kerjasama antara Universitas Indonesia dan Vrije Universiteit, Amsterdam, ini secara umum membahas gejolak pemikiran keislaman kalangan kiai dan ulama di bumi priangan Jawa Barat antara 1900-1950. Pembahasan tentang pribadi K.H. Ahmad Sanusi, sebagai salah satu subjek sentral pergulatan tersebut, dan kiprahnya dalam bidang sosial, politik, agama dan pendidikan, mendapat porsi cukup besar dalam buku ini. Selain buku tersebut, Iskandar telah menulis sebuah buku kecil mengenai biografi Ahmad Sanusi yang berjudul Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Persatuan Umat Islam (PUI) pada tahun 1993. Tiga hasil penelitian tentang Ahmad Sanusi dalam bentuk skripsi dan satu berupa tesis telah dihasilkan pula. Pertama, skripsi yang ditulis A. Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1985). Kedua, skripsi berjudul KH. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya dalam Pengembangan Agama Islam di Sukabumi Jawa Barat Tahun 1915-1950 M (2001) ditulis oleh Iwan Pratama, dan kedua skripsi ini berasal dari Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karenanya, semuanya menekankan pembahasannya pada aspek kesejarahan pribadi Ahmad Sanusi (deskripsi biografis). Satu lagi, sebuah tesis ditulis oleh A. Saifuddin dengan judul Perbuatan Manusia dalam Teologi Haji Ahmad Sanusi: Studi mengenai Pemikiran Teologi Islam Salah Seorang Ulama Indonesia (1993). Sebagaimana tersurat dari judulnya, tesis tersebut menekankan pembahasannya pada aspek teologis pemikiran Ahmad Sanusi. Dari beberapa tebaran pustaka disebut di muka, tampak bahwa upaya-upaya untuk memperkenalkan sosok Ahmad Sanusi sebagai seorang tokoh intelektual penting Indonesia awal abad ke-20 ke permukaan publik akademis telah banyak dilakukan. Tetapi, hampir semua usaha tersebut baru sebatas ulasan historis kehidupan pribadi Ahmad Sanusi baik sebagai seorang tokoh agama, pendidik, pemikir dan pemikiran teologisnya. Penelitian-penelitian tersebut belum menukik pada pembahasan tentang perannya sebagai seorang tokoh tafsir penting di Indonesia, kecuali karya Hasan Husein Basri. Skripsi ini telah cukup memfokuskan pembahasan pada sosok Ahmad Sanusi sebagai seorang mufassir dan dua tafsirnya, Tamsyiyyat al-Muslimîn – tafsir yang menjadi objek penelitian penulis – dan Malja’. Kendati demikian, penelitian ini belum menyentuh semua sisi KH. Ahmad Sanusi sebagai seorang mufassir dan pembahasannnya tentang Tamsyiyyat al-Muslimîn terbatas pada sejarah gambaran umum tentang tafsirnya – itu pun dilakukannya dengan sangat singkat – tidak mengungkap aspek teknis dan metodologis pemafsirannya. K. Metodologi Penelitian Dalam proses pengumpulan data penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data kepustakaan (library research). Ada dua jenis data: sekunder dan primer.13 Data primer adalah data kepustakaan yang berasal dari sumber pertamanya, yakni Tamsyiyyat al-Muslimîn karya Ahmad Sanusi, di samping dua karya tafsir lainnya, Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn dan Raudat al-‘Irfân sebagai bahan pembanding. Sedangkan data sekunder adalah data-data pendukung berupa karya tulis Ahmad Sanusi lainnya serta buku-buku dan hasil penelitian seputar perkembangan tafsir di Indonesia seperti: Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab karya Federspiel, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi tulisan Islah Gusmian, dan lain-lain. Data-data terolah kemudian akan dibahas dengan metode deskriptif-analitis, yakni menjelaskan objek permasalahan secara apa adanya tanpa untuk kemudian diekplorasi, dianalisis, diinterpretasi, diberi penilaian dan terakhir di tarik kesimpulan. Untuk teknik penulisan dan teknik alih aksara (transliterasi) Arab-Latin, penulis berpedoman pada teknik penulisan skripsi dan sistem transliterasi yang dimuat dalam buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005/2006.14 13 Sumadi Suryadibarata, Metode Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. ke-16, h. 39 14 Tim Penyusun, Pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2005) L. Sistematika Penulisan Setelah mengurai bab I yang berisi gambaran umum penelitian meliputi: latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah kepustakaan, metodologi penelitian, dan terakhir sistematika penulisan, berikutnya, dalam bab II akan digambarkan sketsa biografis pribadi Ahmad Sanusi. Isinya meliputi latar belakang intelektual dan pemikiran, karir dan aktifitas serta karya-karya tafsir yang telah ditulis. Penjelasan studi biografis tersebut penting disajikan, karena Ahmad Sanusi adalah tokoh sentral yang dibahas dalam penelitian ini. Penjelasan ini diharapkan, nanti, dapat membantu penulis menangkap konteks psikologis dan historisnya. Bab selanjutnya, bab III hendak menyajikan sejarah perkembangan tafsir di Indonesia serta periodesasinya. Penjelasan dilanjutkan pada tinjauan umum tentang aspek teknis dan aspek metodologis penulisan karya tafsir. Sementara itu, pada bab IV, inti utama pembahasan, akan disajikan bedah dan telaah Tamsyiyyat al-Muslimîn. Analisis kitab akan diarahkan pada dua aspek, yakni aspek teknis penulisan (eksternal) dan aspek metodologis penafsiran (internal). Tetapi sebelumnya, akan diuraikan terlebih dahulu historisitas dan latar belakang kemunculan tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn. Dan yang terakhir, penulis akan memberikan beberapa catatan analisis kritis sebagai hasil dari analisa pribadi. Kesimpulan tentang telaah yang penulis lakukan terhadap kitab tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn akan dijabarkan pada bab V. Kesimpulan ini juga akan menjadi titik pijak saran ke depan menyangkut penelitian terhadap kajian karya-karya tafsir warisan para ulama terdahulu. Setelah bab V, penulis mencantumkan daftar pustaka dan beberapa data tambahan yang secara tidak langsung menyangkut objek penelitian ini, yakni: biografi kronologis, daftar lengkap karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu serta contoh halaman dari tafsir Tamsyiyyat al-Muslimîn. BAB II SKETSA BIOGRAFIS K.H. AHMAD SANUSI D. Latar Belakang Intelektual dan Pemikiran Kyai Haji Ajengan15 Ahmad Sanusi dilahirkan di Desa Cantayan, Kecamatan Cibadak, Sukabumi Jawa Barat, pada tanggal 18 september 1888.16 Ayahnya bernama Abdurrahim bin H. Yasin (w. 1950), seorang pemimpin Pondok Pesantren Cantayan Sukabumi. Layaknya anak seorang kyai, ia memperoleh perlakuan-perlakuan cukup istimewa, baik dari para santri maupun masyarakat di lingkungan pesantren ayahnya. Kemauannya jarang ditentang, tapi sebaliknya apabila tindakannya ada yang dianggap keliru serta menyalahi kaidah dan norma agama, maka banyak orang memperingatkan bahkan mencegahnnya. Bukan saja karena hal itu dianggap berdosa, melainkan juga bisa 15 Istilah ajengan adalah istilah populer di kalangan masyarakat Sunda yang merupakan sebutan kepada ulama baik karena ketinggian ilmunya maupun prilaku dan akhlaknya yang menjadi panutan dan diakui sebagai pemimpin umat di lingkungannya. Ahmad Sanusi sendiri tidak menyebut dirinya sebagai seorang kyai maupun ajeungan dalam semua buku yang ia tulis. penyebutan gelar tersebut diberikan oleh para pengikutnya, terlebih setelah beliau meninggal dunia. Istilah ajengan juga sering diterapkan bagi pemimpin sebuah pesantren dan sering disandarkan kepada nama tempat dimana pesantren itu berdiri, seperti sebutan Ajengan Gunung Puyuh Kepada Ahmad Sanusi karena mempunyai pesantren yang berada kampung di Gunung Puyuh. Sedangkan istilah kyai di wilayah Sunda hanya berlaku bagi tokoh agama saja dan tidak harus disandarkan kepada tempat atau pesantren di mana ia berdomisili. Hal ini sedikit berbeda dengan pemakaian istilah kyai di wilayah jawa lainnya, yang bisa ditujukan untuk benda-benda keramat. Lihat Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, Alam Manusia dan Budaya, (Jakarta: Pustaka Jaya: 2000) h. 347 16 Ada berbagai pendapat mengenai tahun kelahiran Ahmad Sanusi. Pendapat pertama: tahun 1881, pendapat ini dikemukakan oleh S. Wanta dalam bukunya K.H. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya, (Jakarta, PBPUI, 1986). Pendapat kedua tahun 1889. Pendapat ini dilontarkan oleh Muhammad Iskandar berdasarkan keterangan koleksi arsip R.A. Kern. Lihat Mohammad Iskandar, Kyai Haji Ajeungan Ahmad Sanusi, (Jakarta, Pengurus Besar PUI, 1993). Pendapat ketiga, tahun 1888. Tahun ini diambil berdasarkan tahun yang tertera pada batu nisan kuburan K.H. Ahmad Sanusi yang terletak di samping pesantren yang didirikan beliau yaitu Pesantren Syams al-‗Ulûm. Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang terkuat. Lihat A.M. Sipahoetar, Lukisan Tentang Para Pemimpin, (Semarang: Pustaka Harapan, 1946) dan A. Mukhtar Mawardi, ―Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya‖ (Skripsi S1 Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1985) menjatuhkan nama dan wibawa orang tuanya sebagai seorang kyai. Jadi proses internalisasi terhadap masalah keagamaan telah terjadi sejak ia masih kecil.17 Sejak usia tujuh tahun sampai lima belas tahun, Ahmad Sanusi menuntut pengetahuan agama dari ayah kandungnya sendiri. Demikian pula halnya dengan keterampilan menulis huruf Arab dan Latin. Keterampilan ini dipelajarinya bersama-sama dengan saudaranya dan juga para santri ayahnya di Pesantren Cantayan. Sehingga hampir dipastikan selama pendidikan masa mudanya, ia tidak pernah mengenyam pendidikan umum.18 Pada tahun 1903 atas anjuran ayahnya, ia mulai ―turun gunung‖ untuk berguru kepada sejumlah ulama di Wilayah Jawa Barat. Secara berurutan Ia belajar kepada K.H. Muhammad Anwar (Pesantren Salajambe Cisaat), K.H. Muhammad Siddik (Pesantren Sukamantri Cisaat), K.H. Djenal Arif (Sukaraja), kemudian ke Pesantren Cilaku dan Ciajag Cianjur, K.H. Sudjai‗ (Pesantren Gudang Tasikmalaya) dan K.H. Syatibi (Pesantren Gentur).19 Di tiap pesantren yang pernah ia singgahi, Ahmad Sanusi hanya belajar antara dua bulan hingga satu tahun.20 Tak lama setelah meninggalkan Pesantren Gentur, pada tahun 1909 Ahmad Sanusi berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil bermukim memperdalam ilmu agama di sana. Di Mekkah ia berguru langsung kepada beberapa muftî mazhab Syâfi‗î, seperti: pada Syaikh ‗Alî al-Mâlikî, Syaikh ‗Alî al-Tayyibî, Syaikh Junaedi, Syaikh Saleh Bafadil dan Sa‗îd Jawani. Di samping itu, ia juga pernah berguru kepada Syaikh Mahfudz Termas.21 Selain belajar masalah-masalah agama, ia juga mulai 17 Iskandar, Kiyai HajiAhmad Sanusi , h. 3 Hasan Basri, ―Laporan Penelitian dan Penulisan K.H. Ahmad Sanusi‖ (Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986), h. 22 19 Sipahoetar, Lukisan Tentang Pemimpin, h. 71 20 Basri, ―Laporan Penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986, h. 22 21 Dari sekian ulama-ulama asal Indonesia yang pernah menjadi guru Ahmad Sanusi di Mekkah, yang paling termasyhur adalah Syaikh Mahfuzh Termas, ulama kelahiran Termas, Jawa 18 mempelajari buku-buku tentang modernisme Islam dan juga pelajaran umum seperti fisika.22 Bulan Juli 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Pesantren Cantayan dan membantu pekerjaan ayahnya mengajar para santri. Di sana ia mencoba memperbaharui kurikulum dengan mulai menerapkan sistem klasikal termasuk teknik mengajar Pesantren Cantayan. Di samping itu, dengan bekal keilmuan dan pengalaman hasil pergaulannya yang luas selama di Makkah, ia sering mengadakan diskusi-diskusi keilmuan seputar persoalanpersoalan yang berkembang pada waktu itu. Kebebasan akademik pun diberikan kepada murid-muridnya sehingga mereka bebas bertanya dan mengeluarkan pendapat untuk mendalami agama Islam. Sehingga dalam waktu yang tak begitu lama, Ia mulai disenangi para santri.23 Pengaruhnya di wilayah Sukabumi lebih terasa ketika pada tahun 1917 ia mulai menerbitkan sebuah buku yang berjudul al-Lu’lu’ al-Nadîd, sebuah kitab yang menguraikan persoalan tauhîd dalam bentuk tanya jawab. Ini adalah buku pertama yang ditulis oleh Ahmad Sanusi ketika ia kembali ke tanah kelahirannya. Setelah buku itu beredar luas, Ahmad Sanusi mulai dikenal oleh kalangan di wilayah ini yang lebih luas lagi cakupannya. Akibatnya banyak para santri yang mulai membanjiri pesantren ayahnya sehingga kapasitas pesantren itu tidak dapat menampung lagi. Kemudian ayahnya menganjurkan Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren sendiri di daerah Genteng, Sukabumi yang kemudian dikenal dengan Pesantren Genteng.24 Timur. Ia adalah salah satu guru besar ahli qirâ‘ah di Masjid al-Harâm dan juga ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab shahih al-Bukhârî. Untuk lebih jelas tentang profil syaikh Mahfuzh, lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), h. 38-39 22 Basri, Laporan penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, 1986, h. 5 23 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan Ahmad Sanusi, h. 4 24 Basri, Laporan Penelitian dan Penulisan‖, Proyek Penelitian Departemen Agama, h.10 Pesantren Genteng bagi Ahmad Sanusi dijadikan tempat untuk merefleksikan dan memformulasikan ide-ide yang terkandung dalam al-Quran. Maka, tak heran kalau Ahmad Sanusi menjadikan tafsir sebagai mata pelajaran yang utama di Pesantren Genteng. Sebelumnya juga di pesantren ayahnya di Cantayan ia memegang spesialisasi pelajaran tafsir, di mana ia menekankan dalam mengajar tafsir itu agar ajaran-ajaran Islam di Sukabumi khususnya dan di priangan umumnya dapat terlihat membumi. Keinginanya itu bukan hanya sebatas teori saja, lebih jauh lagi ia mengimplementasikannya dalam bentuk aksi. Misalnya ia berani mengkritisi intitusi-institusi keagamaan yang dibentuk dan dilegitimasi oleh pemerintah Belanda sebagai lembaga kepenghuluan. Di antara pemikiran-pemikiaran kritisnya ini adalah: pertama, pendapatnya tentang tidak wajibnya zakat fitrah dikumpulkan oleh para ‘âmil dari pekauman untuk kemudian disetorkan kepada na‘ib dan diteruskan ke penghulu kepala di kabupaten.25 Kedua Ahmad Sanusi berpendapat mengenai makruhnya tradisi selametan ketiga harinya, ketujuh harinya, dan seterusnya bagi yang telah meninggal yang menurut asumsinya, tradisi itu berasal dari pengaruh agama Hindu, bukan murni ajaran Islam. Ketiga, pendapatnya tentang tidak wajibnya mendoakan bupati dalam khutbah jum‘at yang terkenal dengan peristiwa ‘abdaka maulânâ.26 Disamping itu, pemikiran Kritis Ahmad Sanusi lainnya adalah ia berusaha menafsirkan al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab, padahal pada waktu itu penafsiran al-Quran kedalam bahasa selain arab adalah jarang dilakukan, bahkan 25 Pekauman atau menak kaum adalah elit birokrasi keagamaan. Didaerah priengan, umunya para menak kauum yang bertitel Hoofd penghulu mempunyai hubungan keluarga dengan bupati dan dekat sekali dengan pemjajah Belanda. Biasanya kelompok pekauman mengurus masjid raya di tingkat kecamatan atau kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai Kantor Urusan Agama (KUA). Lihat Iskandar, Para pengemban Amanah, h. 49. Untuk melihat lebih jelas kajian tentang penghulu, lihat, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 (Jakarta: UIIPress, 1985), h. 67-100 26 K.H. Ahmad Sanusi Qowânin al-Dîniyyah (Sukabumi: Sajjid Yahya bin Oestman), 1928, h. 8-9 dan 16 dianggap menyalahi ajaran Islam. Tetapi peda tanggal 28 Januari 1931 Ahmad Sanusi berani menerbitkan sebuah buku tafsir pertamanya dalam bahasa Sunda dengan menggunakan huruf Arab (aksara pegon) yang berjudul Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, walaupun ia harus berhadapan dengan para ulama setempat yang masih berpendapat bahwa menafsirkan al-Quran ke bahasa selain Bahasa Arab adalah haram hukumnya. Tindakan antagonis yang dilakukan ulama setempat menjadi lebih keras lagi ketika ia menerbitkan buku tafsir keduanya yang mentransliterasi hurup Arab al-Quran kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al‘ÂlamÎn. Bahkan selanjutnya ia dianggap telah menjadi kafir dan dirinya halal untuk dibunuh. Tetapi keadaan demikian tidak menyurutkan niatnya untuk menerbitkan tafsir tersebut. Karena ia berkeyakinan tindakannya itu adalah benar demi memajukan pemikiran dan apresiasi umat Islam terhadap al-Quran sebagai dasar hukum pertama dalam agama Islam.27 Bila dilihat dari guru-gurunya, baik itu yang menjadi guru ketika ia belajar di Jawa Barat maupun ketika ia bermukim di Tanah Suci dan juga isi dari buku-buku yang diterbitkannya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang penganut Asy‘âriah atau Ahl alSunnah wa al-Jamâ‘ah dalam bidang teologi,28 dan bermazhab Syafi‗î dalam bidang fiqh. Aliran inilah yang selanjutnya banyak mempengaruhi jalan pikirannya untuk mengaplikasikan semua kegiatannya sehari-hari termasuk dalam menulis semua karya yang ditulisnya Jika kita lihat kembali ide-ide reformasi yang dikemukakan oleh Ahmad Sanusi, sebenarnya mempunyai kesamaan dengan yang dikemukakan reformis lainnya yang 27 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 192-205 Untuk melihat lebih jauh pemikiran Ahmad Sanusi dalam bidang teologi, lihat A. Saipudin, ―Perbuatan Manusia dalamTeologi Haji Ahmad Sanusi:Studi Mengenai Pemikiran Teologi Islam Seorang Ulama Indonesia‖ (Tesis Megister, Progam Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1993) 28 berdomisili di Jawa Barat, seperti Persatuan Islam (PERSIS) dan Majelis Ahli Sunnah Cilame (MASC).29 Namun demikian, Ahmad Sanusi mengatakan bahwa pintu ijtihâd masih terbuka, ia sendiri mengaku tidak berijtihâd dan masih berpegang kepada Imam yang Empat, sehingga ia pun mendapat serangan dari organisasi diatas. Oleh sebab itu, Ahmad Sanusi pada waktu itu mendapat lawan dari dua arah. Disatu sisi ia bersebrangan dengan Islam tradisional yang diwakili oleh fihak pekauman, disisi lain, ia pun membela Islam tradisional dari gempuran organisasi tajdîd yang mempunyai jargon ―kembali kepada al-Quran dan Hadis Sahîh‖. E. Karir dan Aktivitas Selama bermukim di Makkah, selain belajar dan memperdalam ilmu agama, Ahmad Sanusi juga mulai berkecimpung dalam dunia politik. Terjunnya di bidang ini diawali dengan perjumpaannya dengan tokoh Sarekat Islam (SI) di Mekkah yang bernama ‗Abd al-Mulûk. Setelah memperlihatkan sebagian besar anggaran dasar organisasi SI, Ahmad Sanusi mengatakan setuju untuk bergabung ke dalam organisasi tersebut. Sehingga di sana ia mulai bergaul dan bertukar informasi dengan tokoh-tokoh pergerakan yang ada di sana yang sedikit banyaknya mempengaruhi pola pemikirannya.30 Setelah enam tahun mencari ilmu di kota suci Makkah, akhirmya tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi. Dia langsung ditawari oleh presiden SI Sukabumi 29 PERSIS didirikan didirikan oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Junus pada tanggal 17 Agustus 1923. setelah masuknya A. Hassan, organisasi ini semakin terkenal dan mulai melebarkan fahamnya ke beberapa daerah di Indonesia. Untuk lebih detil tentang PERSIS, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1944 (Jakarta: LP3ES, 1996), cet. ke-8, h. 95-96. Sedangkan MASC, tidak ada yang tahu pasti kapan organisasi ini didirikan. Organisasi yang salah satunya dianggotai K.H. Yusuf Tojiri ini, dianggap mempunyai faham tajdîd dan yang paling radikal dibandingkan persis. Untuk lebih detil tentang MASC, lihat Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 170-175 30 Keterlibatannya dengan politik ini semakin jelas ketika tahun 1914 di Makkah tersebar surat kaleng yang menyudutkan SI. Akibat tulisan ini, banyak jemaah dari Indonesia menjadi resah. Ahmad Sanusi sebagai salah satu anggota SI mulai terpanggil. Untuk merespon ini, kemudian Ahmad Sanusi menulis sebuah buku yang diberi judul Nahrat al-Darhâm yang isinya membeberkan kebaikan SI. Selain menulis buku, Ahmad Sanusi terlibat juga dalam perdebatan dengan ulama yang tidak begitu suka dengan SI. Lihat Iskandar, Kiyai Haji Ajeungan , h. 4-5 untuk menjadi penasihat organisasi tersebut. Ia mengabulkan permintaan tersebut tetapi disertai dengan beberapa syarat. Ia meminta angota SI lebih meningkatkan diri dalam masalah keislaman. SI lokal sungguh-sungguh mempraktekan tujuannya membantu anggotanya dalam meningkatkan kemampuan perniagaan mereka dengan cara memberi pinjaman modal yang diambil dari uang kontribusi. Tegasnya, ia meminta uang kontribusi anggota SI tidak semuanya diserahkan ke pimpinan pusat, melainkan separuhnya disimpan di kas SI setempat sebagai himpunan dan bantuan tadi.31 Namun ia tidak lama duduk sebagai Penasihat SI lokal. Ia mengajukan berhenti dengan alasan tidak lagi mengerti akan sepak terjang SI. Di samping itu ia juga melihat apa yang diajukannya sebagai pra-syarat keterlibatannya dengan SI tidak ditepati. Kendati demikian ia masih sering berhubungan dengan SI lewat para santrinya yang menjadi anggota organisasi itu. Dalam rapat-rapat terbuka SI pun ia masih sering diundang. Mungkin karena ada hubungan semacam itulah, maka banyak pihak yang menganggap Ahmad Sanusi masih menjadi anggota SI. Termasuk yang mempunyai anggapan demikian adalah para pejabat daerah Priangan Barat. Oleh karena itu, ketika terjadi peristiwa afdeling B tahun 1919,32 dia termasuk salah seorang kyai yang dianggap terlibat dalam kasus ini. Malah dia dituduh menyembunyikan Kyai Arda‘i, tokoh utama afdeling B yang saat itu masih buron. Sehingga ia sempat dikurung selama 7 malam dalam penjara. Tetapi karena tidak ada bukti kuat, dia dibebaskan kembali.33 Pada tahun 1927 terjadi aksi sabotase pada jaringan kawat telepon di 2 tempat yang menghubungkan kota Sukabumi-Bandung dan Sukabumi-Bogor. Pihak penguasa sempat langsung mengalamatkan dalang aksi pengrusakan kepada Ahmad Sanusi. 31 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 139 Kasus afdeling B ini cukup mengguncangkan dan menjatuhkan nama baik SI. Afdeling ini baru diketahui keberadaannya setelah terjadi proses pembangkangan H. Hasan Cimareme Garut tahun 1919 yang menolak penjualan padinya kepada pemerintah seperti yang telah ditetapkan. Mengenai afdeling B ini sampai sekarang masih diperdebatkan. Apakah organisasi ini dibentuk SI ataukah oleh fihak pemerintah Belanda dalam rangka menjatuhkan nama baik SI 33 Sipahoetar, Lukisan Tentang Pemimpin, h. 73 32 Asumsi penguasa tersebut adalah kejadian itu terjadi dekat pesantren genteng yang dipimpinnya.34 Walaupun pemerintah Imperialisme tidak mampu membuktikan semua tuduhannya itu, keputusan surat penahanan tetap dikeluar juga. Atas pertimbangan yang diberikan Gubernur Jawa Barat Hanelust; Adviseur Voor Inlandse Zaken; Procereur Generaal J.K. Onnen; Raad Van Indie, J. Van der Marel; dan Direktur kehakiman, D. Rutgers; Gubernur jenderal memutuskan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke tanah tinggi, Batavia Centrum.35 Alasan utama yang dijadikan dasar pengasingan tersebut adalah demi menjaga ketentraman umum (rust en orde), khususnya didaerah Priangan Barat. Pemikiran Ahmad Sanusi dinilai dapat mempengaruhi sebagian masyarakat yang nantinya bisa menjadi ladang yang sangat subur bagi satu faham revolusioner yang anti penjajah. karena kyai itu sumbernya maka dia perlu disingkirkan agar perkembangan faham tersebut dapat dicegah sedini mungkin. Pengasingan di Batavia merupakan awal untuk memasuki babak baru bagi sejarah Ahmad Sanusi dalam kehidupan tulis menulis. Tinggal dipengasingan membuat ia tidak bisa lagi dengan para santrinya apalagi mengajar pengetahuan agama Islam. Situasi ini menjadi kesempatan sekaligus mendorong Ahmad Sanusi untuk menulis dan menerbitkan buku seperti buku tafsîr, fiqh, tauhîd dan lain-lain. Bahkan dari peristiwa ini sampai akhir hayatnya,—menurut S. Wanta dalam penelitiannya—lebih dari 404 karya dalam bidang keagamaan yang telah dihasilkan oleh Ahmad Sanusi.36 Selain itu 34 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 5 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 9 36 Wanta, KH Ahmad Sanusi dan Perjuangannya, H. 33 35 Gunsaikanbu sebagai badan pertahanan negara jepang telah mendokumentasikan karya tulis Ahmad Sanusi sebanyak 101 buah sewaktu pemerintahannya menjajah indonesia.37 Masuknya faham Tajdīd (pembaharuan) ke Sukabumi sekitar tahun 1920-an telah membawa keresahan umum di masyarakat. Terjadinya kelompok yang pro dan kontra antara keduanya menimbulkan kebingungan kaum awam untuk memilih salah satunya. Agresifitas kaum pembaru (Mujaddid) yang mengobrak- abrik nilai-nilai keagamaan yang sudah terlebih dahulu mempunyai kemapanan di daerah Jawa Barat itu telah membentuk masyarakat Sukabumi menjadi kelompok-kelompok yang antara satu dengan yang lainnya saling mempertahankan fahamnya secara egoistis.38 Keadaan semacam ini tidak lepas dari monitoring Ahmad Sanusi yang pada waktu itu sedang ada dalam pengasingan di Batavia untuk kemudian melontarkan sebuah ide agar para tokoh-tokoh Islam di daerah Priangan bersatu dalam satu langkah dan pemikiran. Gagasan ini disampaikannya kepada para tokoh yang sering menjenguknya ke tempat pengasingannya untuk selanjutnya dimusyawarahkan bersama para tokoh lainnya agar keadaan sosial keagamaan di Sukabumi menjadi semakin kondusif. Setelah para kyai yang berdomisili di Sukabumi tersebut melakukan diskusi dan saling tukar pikiran, maka diputuskan untuk mendirikan organisasi yang diberi nama alIttihâdiyat al-Islāmiyyah (AII) di Batavia pada bulan November 1931. Pembuatan anggaran dasar Organisasi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Ahmad Sanusi Pada tahapan selanjutnya, AII menyelenggararakan kongres pertamanya pada tanggal 21-22 November untuk menetapkan anggaran dasar organisasi dan mengadakan rapat pemilihan pimpinan pusat, di mana terpilih sebagai ketuanya adalah Ahmad Sanusi dan A.H. Wignyadisatra sebagai wakilnya. Secara resmi organisasi ini merupakan organisasi sosial 37 Gunsaikanbu, Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa (Yogyakarta: UGM Press, 1986), h. 442-443 38 Iskandar, Para pengemban Amanah, h.176 yang berlandaskan keagamaan. Seperti juga Muhammadiyah dan Persis, atau perserikatan ulama, AII juga mendirikan dan mengelola sekolah, rumah sakit, yayasan anak yatim piatu, koperasi toko, dan Bait al-Mâl.39 Disamping itu, AII juga menerbitkan buku-buku pelajaran agama dan majalah yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara mereka dan masyarakat. Majalah atau buletin yang mereka terbitkan yaitu: al-Hidayat al-Islâmiyyah, al-Tablîgh al-Islâm, al-Mīzân, dan al-Dalīl. Melalui media itu antara lain mereka menjawab masalah-masalah yang disampaikan masyarakat kepada AII, tidak saja masalah praktek keagamaan, melainkan juga masalah ekonomi dan sosial.40 Sampai dengan tahun 1935, AII mempunyai 24 cabang yang tersebar diseluruh wilayah Jawa Barat. Namum umumnya cabangnya itu paling banyak terdapat diwilayah kabupaten Sukabumi dan Cianjur. Pada setiap cabang AII dibangun sebuah madrasah, atau meningkatkan kualitas madrasah yang sudah ada yang menjadi milik anggota AII. Pada 1 Agustus tahun 1939, organisasi ini membuka sekolah yang mengajarkan pengetahuan umum yang berlandaskan Islam dengan kurikulum baru yang lebih disempurnakan yang diberi nama AII School met den Qoer’an.41 Dari rapat pertama sampai Kongres keempat yang diadakan di Jakarta pada tanggal 23-26 Desember 1941, Organisasi ini telah mempunyai enam buah majelis, yakni: Majelis Tarjîh, Majelis Tablîgh dan Propaganda, Majelis Sosial, Majelis ekonomi, Majelis Ittihâdiyyah Madâris al-Islâmiyyah (IMI), dan Majelis Pers. Selain itu, organisasi ini juga mendirikan dua anak Organisasi yang bertanggung jawab pada AII yaitu: 39 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 178 Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 177 41 Anwar Shaleh, Sedjarah Perdjoangan Pemuda Persatuan Ummat Islam (PPUI), (Bandung: Pimpinan Pusat PPUI, 1966), h. 23 40 organisasi para wanita yang bernama Zainabiyyah dan organisasi para pemuda yang diberi nama Barisan Islam Indonesia (BII).42 Meskipun secara resmi AII menyatakan dirinya Organisasi non politik, tetapi dalam perkembangannya AII menjadi sebuah organisasi yang menjadi sebuah organisasi sosial yang paling militan di Jawa Barat. Hal ini terlihat dari hubungan yang erat antara AII dengan Pasundan, Partindo, dan PNI. Banyak para tokoh AII yang menjadi pemimpin–pemipin Partindo dan Gerindo. Sebaliknya juga banyak para fungsionaris PNI dan Partindo yang mengajar di sekolah-sekolah AII. Keterlibannya dalam politik terlihat juga dalam tulisan-tulisan mereka, misalnya: Indonesia Ibu Kita dan Islam dalam Politik Internasional yang intinya menggugah bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasib serta tanah kelahirannya, Yang dimuat dalam majalah tengah bulanan Swara Muslim, yang beredar bulan Juli dan Agustus tahun 1933. Keterlibatan organisasi AII yang mewarnai dunia politik tersebut lambat laun membuat khawatir dan curiga fihak Kolonialisme Belanda. Sehingga ada keinginan dari penguasa setempat agar penahanan Ahmad Sanusi sebagai tokoh utama AII diperpanjang, supaya tidak mempertajam pengaruh AII kepada masyarakat. Namun usul itu kemudian berubah, terutama setelah Gobee memberikan pandangannya terhadap Ahmad Sanusi dalam surat yang ditulisnya tanggal 5 Pebruari 1934. menurutnya kekhawatiran pejabat setempat terhadap Ahmad Sanusi, pada dasarnya dilandasi oleh rasa sentimen pribadi. Menurut Gobee sebagaimana dikutip Iskandar, memang tidak dapat disangkal bahwa Ahmad Sanusi cukup pintar dan berintelejensia tinggi, sehingga membuat ahli tafsir sejawatnya menjadi iri. Ditambah lagi dengan keberanian dan kepercayaan dirinya yang begitu tinggi telah menggoyahkan kyai pekauman serta ulama lainnya dimata masyarakat. Bagaimanapun menurut Gobee, 42 Wanta, KH. Ahmad Sanusi dan perjuangannya, h. 44 membawa kembali Ahmad Sanusi ke daerah Sukabumi harus terlaksana. Sebab dengan kehadirannya di wilayah itu, justru supaya dia bisa dimintai tanggung jawab atas semua aktivitas AII.Selanjutnya pemerintah akan mempunyai alasan kuat untuk mengasingkannya kembali dari daerah itu.43 Kurang lebih tiga bulan kemudian, Procureur Generaal mengirim surat kepada Gubernur Jendral yang isinya setuju dengan sebagian pemikiran Gobee. Dia setuju Ahmad Sanusi dikirim kembali ke Sukabumi asalkan tetap dalam status tahanan kota dan tidak boleh kembali ke pesantrennya di Kampung Genteng. Artinya ketentuan-ketentuan yang berlaku di Batavia atas tokoh AII itu tetap dipertahankan, hanya tempatnya saja yang dipindahkan ke kota Sukabumi.dalam hal ini Direktur Kehakiman menyatakan setuju dengan Procureur Generaal. Persetujuan juga datang dari Raad Van Indie. Atas dasar surat-surat dan saran itulah akhirnya Gubernur Jenderal mengeluarkan satu keputusan untuk memindahkan penahanan Ahmad Sanusi ke Sukabumi.44 Bulan Agustus 1934 setelah rumah tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan, dia memboyong kembali keluarganya ke Sukabumi. Karena tidak bisa kembali ke Pesantennya di Genteng, maka ia memutuskan untuk membeli sebidang tanah di Jalan Bhayangkara no. 31 Sukabumi. Disana ia mendirikan pesantren yang dinamakan Pesantren Syams al-‗Ulûm atau yang kemudian hari lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh, yang dibuka pertama kali untuk umum pada tanggal 20 Desember 1937. Sistem pendidikan yang dipakai oleh pesantren ini adalah sistem pendidikan klasikal yang telah disusun kurikulum serta jenjang pendidikannya, mulai dari tingkat dasar; tingkat menengah; dan tingkat tinggi dengan lama pendidikan yang ditempuh 43 44 Lihat, Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 14-15 Iskandar, Kyai Haji Ajeungan, h. 16 masing-masing sekitar 4 tahun. Dengan demikian maka bentuk dari pesantren ini adalah sebuah perguruan pendidikan yang bersifat modern.45 Pada tahun 1942, ketika tentara Jepang ketika tentara jepang mendarat di pulau Jawa, Ahmad Sanusi memanfaatkan kehadiran mereka dalam rangka membersihkan unsur-unsur penjajah Belanda dari Indonesia. Disamping itu—dengan kedok kerja sama—tenaga dan keterampilannya bisa dimanfaatkan untuk mendidik pribumi dalam bidang militer. Kecerdikannya untuk mendekatkan diri kepada para jajaran elit negara Jepang, dikemudian hari memudahkan Ahmad Sanusi dalam berbagai kegiatan dan aktivitasnya. Ini terbukti pada pada Mei 1943 ia diangkat menjadi instruktur sebuah latihan permanen bagi para kyai (Kaikyo Kyoshi Koshu-co) yang diselenggarakan oleh Jepang dalam rangka konsolidasi politiknya terhadap Umat Islam Indonesia. Selain itu, salah satu anggota AII yang diketuai oleh Ahmad Sanusi, yakni R.M. Syamsuddin diangkat menjadi ketua gerakan Tiga-A (Nipon Pemimpin Asia, Nipon Pelindung Asia dan Nipon Cahaya Asia) yang bertugas mengorganisir kaum intelektual, kelompok-kelompok Agama, pejabat pemerintah dan priyayi,46 dan juga anggota AII lainnya, yakni H.M. Basyuni dan K.H. Abdullah bin Nuh yang juga diangkat sebagai perwira tinggi PETA.47 AII sendiri sebagai organisasi sosial keagamaan pada 27 Juli 1942 pernah dibubarkan oleh Jepang. Namun dengan kemampun diplomasi yang dimiliki Ahmad Sanusi, ia dapat bernegosiasi dengan fihak Jepang, pada tanggal 1 Pebruari 1944 organisasi tersebut dihidupkan kembali dengan syarat nama Arab al-Ittihâd al-Islâmiyyah 45 Ahmad Sanoesi, Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn (Sukabumi: Al-Ittihad, 1937), no. 40, h. 926 46 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Bandung: Mizan, 1999), cet. ke-3, h. 321 47 Benda, Bulan Sabit, h. 218 diganti dengan nama Indonesia, menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). 48 Dengan diakuinya PUII secara resmi oleh jepang, organisasi ini menjadi anggota istimewa di dalam Masyumi. Ahmad Sanusi sendiri diangkat menjadi anggota dewan Majlis Syûrâ Masyumi yang diketuai oleh K.H.Hasyim Asy‗ari.49 Pada bulan Januari 1944 ia diangkat menjadi Syuu Sangi Kai (dewan penasehat keresidenan Bogor. Tidak lama kemudian, pada bulan Desember 1944 ia diangkat menjadi Foku Shuchokan (Wakil Residen) Bogor, dimana ia satu-satunya dari kalangan kyai di Indonesia yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Sedangkan wakil residen yang lain biasanya diambil dari galongan para priyayi yang berpangkat tinggi.50 Kedudukannya yang dekat dengan Jepang telah menjadikannya bisa duduk dalam keanggotaan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hal ini pula yang menyebabkan Ahmad Sanusi diangkat Menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan duduk sebagai anggota Komisi Pembela Tanah Air.51 Seperti halnya peranan kebanyakan pemimpin lain yang terlibat disana, ia pun cukup tanggap dalam mengikuti setiap sidang dan mampu menyesuaikan diri dengan para pemimpin lain yang memiliki ―pendidikan dari barat‖. Seperti misalnya, dalam masalah bentuk pemerintahan, Ahmad Sanusi mengusulkan konsep bentuk pemerintahan berbentuk Imâmah atau republik. Ia menolak bentuk negara ini menjadi kerajaan. Karena asumsinya, raja biasanya bertindak diktator dan berkuasa penuh.52 48 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 23 49 Noer, Partai Islam, h. 100-101 50 Benda, bulan Sabit, h. 218 51 Noer, Partai Islam, h. 33 52 Untuk melihat lebih jauh keterlibatan Ahmad Sanusi dalam sidang BPUPKI, lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang 1945 (Jakarta: Siguntang, 1971), Cet. 2, h. 101-182 Ahmad Sanusi wafat di kota Sukabumi senin malam, tanggal 15 Syawwâl 1369 H (1950 M.) dalam usia 63 tahun. Ia dikuburkan di samping pesantren yang didirikannya yakni, Pesantren Syams al-‗Ulûm Gunung Puyuh. C. Karya Tafsir Untuk ukuran kebanyakan seorang kyai pada zamannya, bahkan untuk ukuran tokoh pada zaman sekarang sekalipun, Ahmad Sanusi adalah kyai yang sangat produktif melahirkan karya tulis. Hal ini menjadikan Ahmad Sanusi sebagai tokoh yang istimewa. Multi-peran yang dimainkannya, serta berbagai aktivitas yang dijalaninnya tidak menghalanginya untuk berkarya membuat karya tulis. Ia adalah sosok ulama-mubalig, pendidik, aktifis sosial dan pejuang politik yang sangat aktif menulis. Bahkan keistimewaannya ini jelas terlihat dari jumlah karya tulisannya yang mencapai puluhan, bahkan ratusan judul yang meliputi berbagai bidang, terutama tentang ilmu-ilmu Islam. Tentang jumlah karya tulis Ahmad Sanusi, ada banyak pendapat berbeda. Diantara pendapat-pendapat tersebut dikemukakan A. Mukhtar Mawardi yang berhasil mencatat dan mengumpulkan karya Ahmad Sanusi berjumlah 75 judul.53 Jumlah yang lebih banyak dicatat Gunsaikanbu dengan menyebut 102 karangan dalam bahasa Sunda dan 24 karangan dalam bahasa Indonesia.54 Sedangkan S. Wanta menyebut karya-karya Ahmad Sanusi berjumlah 480 macam buku.55 penulis sendiri, selama lebih kurang satu tahun, telah berhasil mengoleksi karya-karyanya hingga skripsi ini ditulis, sebanyak 52 judul. Karya-karyanya ini dicetak dan diterbitkan oleh banyak percetakan dan penerbit. Seperti dari pengakuan Ahmad Sanusi sendiri, karangan-karangannya kebanyakan dicetak 53 Lihat dalam lampiran A. Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (Skripsi Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985) 54 Gunsaikanbu, orang Indonesia, h. 442-443 55 Wanta, KH Ahmad Sanusi, h. 33-49 di percetakan Sayyid Yahya bin Usman Tanah, Abang Weltevredan. ada juga yang dicetak di percetakan Sayyîd ‗Abdullâh bin ‗Utsmân, Petamburan. Disamping kedua percetakan itu, sebenarnya tidak sedikit karangan-karangan Ahmad Sanusi yang dicetak di percetakan Harûn bin ‗Alî Ibrâhîm, Pakojan Betawi, percetakan al-Ittihâd baik yang di Batavia/Jakarta maupun yang di Sukabumi dan percetakan Sayyîd ‗Alî Idrûs. Adapun Percetakan di Sukabumi yang beralamat di Vogelweg No. 100 Sukabumi (sekarang menjadi jalan Bhayangkara nomor 33 Sukabumi), merupakan percetakan bagi karyakarya Ahmad Sanusi yang akan dicetak ulang. Tetapi dibanding dengan karya-karya lain dalam berbagai bidang keilmuan tradisional Islam, karya-karya dalam bidang tafsirlah yang menjadikan reputasi hasil karya tulis Ahmad Sanusi mendapat tempat istimewa dan paling diperhitungkan oleh masyarakat Indonesia pada umunya. Karya pertamanya dalam bidang tafsir adalah Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn,56 (Tempat Panyalindungan Para Santri dina Nafsiierkeun al-Quran [Tempat berlindungnya Para Santri dalam Menafsirkan al-Quran]). Tafsir ini ditulis dalam bahasa Sunda dengan huruf Arab (aksara pegon). Seperti terlihat dari judulnya— dalam bahasa Arab yang kemudian diikuti terjemaha dalam bahasa Sunda—Tafsîr Maljâ’ ditujukan khusus bagi masyarakat yang mengerti bahasa Sunda dan lebih khusus lagi bagi para santri yang berada di pesantren, yang bisa mengerti huruf Arab. Sedangkan cakupan distribusinya meliputi wilayah sekitar Priangan. Hal ini bisa dilihat dari berita tentang para pelanggan Tafsîr Maljâ’ yang meninggal dunia—yang boleh jadi dimaksudkan sebagai informasi tambahan—. Berita ini dimuat dalam lembar I’lân (pengumuman) pada halaman terakhir tafsir ini. Para pelanggan tersebut umumnya 56 (Batavia: Habib Usman, 1931) berasal dari Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Tetapi ada juga pelanggan yang berasal dari daerah Batavia, Rangkasbitung dan Purwakarta. Tafsir ini terbit ketika Ahmad Sanusi berada dipengasingan di Batavia. Penulis tidak mengetahui secara persis kapan Tafsîr Maljâ’ mulai ditulis. Tetapi jika melihat tanggal, bulan dan tahun dalam edisi no 1, tafsir ini terbit 28 januari 1931. sedangkan tempat pengumpulan bahan-bahan dilakukan di Tanah Tinggi Senen Welverden ketika ia berada dalam masa pembuangan di Batavia. Tafsîr Maljâ’ berbentuk sambungan dari satu nomor atau jilid ke nomor atau jilid yang lain. Tafsir ini terbit 20 jilid di Batavia dan 8 jilid di Sukabumi dan kemudian terhenti. Adapun terbitan yang ada pada penulis hanya sampai jilid ke-20. Dari jilid ke-20 itu, sepuluh jilid pertama berjumlah 496 halaman. Terdiri dari; jilid pertama dan kedua berjumlah masing- masing 56 halaman, sedangkan jilid ke-3 sampai jilid ke-10 masingmasing berisi 48 halaman. Adapun sepuluh jilid yang kedua berjumlah 484 yang masingmasing jilid ke-11 sampai ke-20 berisi 48 halaman kecuali jilid ke 10 yang berisi 52 halaman. Setiap satu jilid paling banyak berisi setengah juz al-Quran. Misalnya, jilid ke-1 dan ke-2 untuk juz I. Tetapi tidak setiap dua jilid Tafsîr Maljâ’ tepat untuk satu juz, kadang-kadang ada satu ayat atau dua ayat yang masih ditulis pada jilid berikutnya. Misalnya, untuk juz II al-Quran terdapat pada jilid ke-3, ke-4 dan ditambah empat halaman pada jilid ke-5. Sebaliknya untuk satu surat tidak tentu menghabiskan 2, 3 atau 4 jilid, melainkan tergantung banyak atau sedikitnya yang diuraikan. Untuk sûrah alFâtihah hanya terbatas pada jilid ke-1 dan menghabiskan kurang lebih sembilan halaman. Untuk selanjutnya sûrah-sûrah seperti sûrah al-Baqarah terdapat pada jilid ke-1 sampai akhir jilid ke-5 dan menghabiskan 230 halaman. Untuk sûrah al-‘Imrân terdapat pada jilid ke-5 sampai akhir jilid ke-8 dan menghabiskan 141 halaman. Sûrah al-Nisâ‘ terdapat pada jilid ke-8 dan menghabiskan 124 halaman. Sûrah al-Mâidah terdapat pada jilid ke11 sampai pertengahan jilid ke-13 dan menghabiskan 110 halaman. Dalam setiap sampul depan dituliskan informasi tentang kesalahan-kesalahan cetakan, judul-judul kitab yang telah dan akan terbit beserta dengan harganya. Pada halaman pertama jilid ke-1 Tafsîr Maljâ’ ditulis para ahli qirât yang berjumlah tujuh orang beserta perawi-perawinya. Sebelum menafsirkan suatu sûrah al-Fâtihah, Ahmad Sanusi terlebih dahulu menjelaskan sebagian ilmu-ilmu al-Quran, jumlah sûrah, ayat, kata, dan huruf-hurif al-Quran beserta sejarah pengumpulan al-Quran. Kemudian ketika kembali ke Sukabumi dari masa pembuangannya di Batavia, Ahmad Sanusi menulis menulis tafsir serupa—meski lebih terlihat bentuk terjemahan alQuran—yang berjudul Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân.57 Selanjutnya, Ahmad Sanusi menerbitkan sebuah karya tafsir lainnya yang berjudul Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al ‘Âlamîn. Tafsir ini ditulis dalam bahasa melayu berajaan lama dengan huruf Latin dengan pengalih-aksaraan (Transliterasi) Arab-Latin. Tampaknya, tafsir ini sengaja ditulisnya untuk bisa dibaca oleh masyarakat yang tidak mengerti bahasa dan tidak mampu membaca huruf Arab. Disamping karya-karya tafsir tersebut dimuka, ada juga karya Ahmad Sanusi di bidang tafsir yang hanya membahas satu ayat atau sûrah-sûrah tertentu. seperti Kasyf alZunūn fî Tafsīr Lâ Yamassuhû illâ al-Mutahharûn adalah tafsir terhadap sûrah alWâqi‗ah ayat ke-79.58 Adapun tafsir-tafsir yang membahas sûrah-sûrah tertentu adalah: (1) Tafrîj al-Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrah Yâsîn,59 (2) Hidâyah al- Qulûb 57 Ahmad Sanusi, Raudat al-‘Irfân fî Ma‘rifat al-Qur’ân (Batavia: Habib Usman, 1934) Ahmad Sanusi, Kasyf al-Zunūn fî Tafsīr Yamassuhû illâ al-Mutahharûn (Sukabumi: alIttihād, 1938) 59 Ahmad Sanusi, Tafrîj Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrat Yâsîn (Tanah Abang: Sayyid Yahya, 1936) 58 al-Sibyân fî Fadâ‘il Sûrat al- Tabârak al-Mulk min al-Qur’ân,60 (3) Tanbīh al-Hairân fî Tafsîr Sûrat al-Dukhân,61 (4) Kanz al-Rahmah wa al-Lutf fî Tafsîr Sûrat al-Kahf,62(5) Kasyf al-Sa‘âdah fî Tafsîr Sūrat al- Wâqi‘ah,63 dan (6) Usûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm alMulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat al-Fâtihah.64 60 Ahmad Sanusi, Hidâyat Qulûb al-Sibyân fî Fadâ‘il Sûrat Tabârak al-Mulk min alQur’ân (Sukabumi: Masduki, 1936) 61 Ahmad Sanusi, Tanbīh al-Hayrân Fî Tafsîr Sûrat al-Dukhân (Tanah Abang: Sayyid Yahya, t.th) 62 Ahmad Sanusi, Kanz al-Rahmah wa al-Lutf fî Tafsîr Sûrat al-Kahf (Batavia: Habib Usman, 1932) 63 Ahmad Sanusi, Kasyf al-Sa‘âdah fî Tafsîr Sūrat al- Wâqi‘at (Sukabumi: Masduki, 1936) 64 Ahmad Sanusi, Ushûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat alFâtihah (Bogor: Ichtiyar, 1935) BAB III TINJAUAN UMUM TAFSIR DI INDONESIA Tradisi penulisan tafsir di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak lama dengan berbagai keragaman baik dari segi teknis penulisan, corak ataupun bahasa yang dipakai. Keragaman tersebut sedikit demi sedikit berkembang lebih maju searah dengan perkembangan peradaban Indonesia yang semakin modern. Pada bagian ini penulis mencoba untuk menguraikan tentang sejarah dan perjalanan penulisan tafsir sekaligus mengungkap proses dan dinamika penulisan tafsir yang dilakukan oleh Intelektual muslim di Indonesia. A. Sejarah Penulisan Tafsir di Indonesia Sebenarnya sejak abad ke-17 para peneliti telah menemukan bukti tekstual yang ditemukan pertama kali dalam bidang penafsiran al-Quran di Indonesia, yakni sebuah manuskrip anonim sûrah al-Kahf.65 Tafsir ini di tulis dengan parsial berdasarkan surah tertentu dan menggunakan teknik penafsiran yang sangat sederhana. Di dalam sûrah alKahf tersebut, teks al-Qurannya, ditulis dengan tinta merah disertai terjemah serta komentar yang ditulis dengan tinta hitam dengan menggunakan aksara Arab-Melayu. Titik-titik beragam sepanjang surat tersebut diselingi ―penambahan- penambahan anekdotis yang panjang‖ dalam bahasa melayu yang baik. Peter Riddle berpendapat 65 Manuskrip ini dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Epernus (w. 1624) pada awal abad 17 M. Sekarang manuskrip ini menjadi koleksi Cambridge University dengan katalog MS Ii.6.45. Diduga manuskrip ini dibuat antara masa awal pemerintahan Sultan ‗ala‘ al-Dîn Ri‗ayat Syah Sayyîd al-Mukammil (1537-1604) dimana Mufti kesultanannya Hamzah al-Fansûri, sampai masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M) dimana mufti kesultanannya adalah Syam al-Dîn al-Sumatrâni. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003) h. 54 bahwa teks ini pokoknya berdasarkan Tafsir al-Khâzin dalam Mu‘allim al-Tanzîl, namun juga menggambarkan tafsiran lain juga, termasuk penafsiran al-Baidâwī.66 Upaya penafsiran al-Quran secara utuh baru dilakukan pada paruh abad berikutnya. Adalah karya tafsir Tarjumân al-Mustafīd karya ‗Abd al-Ra‘ûf al-Sinkîli (1615-1693) yang muncul sebagai Tafsir perintis di Indonesia.67 Riddle dalam telaahnya memberikan kesimpulan tentatif dalam tahun penulisannya, yakni tahun 1675 M.68 Sebagai tafsir paling konprehensif paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini beredar luas di wilayah Nusantara. Bahkan edisi cetaknya dapat ditemukan dikalangan Melayu sampai ke Afrika Selatan. Cetakan paling awal yang kini masih ada, dicetak abad ke-17 dan awal abad ke-18 M. Yang lebih penting lagi, edisi-edisi tercetaknya tidak hanya diterbitkan di Singapura, Penang, dan Bombay, tetapi juga di Timur tengah. Di Istanbul karya ini diterbitkan pada tahun 1884 dan 1906 M oleh Matba‘at al‘Usmâniyyah dan kemudian hari diterbitkan juga di Cairo dan Mekkah. Edisi terakhirnya diterbitkan di Jakarta pada tahun 1981.69 Kenyataan penerbitan demi penerbitan ini mencerminkan bahwa Tarjumān al-Mustafīd ini adalah sebuah karya yang mempunyai nilai yang sangat tinggi sehingga keberadaannya bisa diterima oleh kalangan yang sangat luas. Maka pantas, tafsir tersebut dapat bertahan hingga berabad-abad lamanya. Dalam keterangan singkat dan sisipan tafsirnya ia sering mengemukakan pendapatnya yang didukung oleh hadis dan sedikit pendapat pendahulunya. Di sini 66 Michael R. Feener, ―Notes Towards‖, dalam Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998, h. 52-53 67 ‗Abd al-Ra‘ûf ibn ‗Ali al-Jâwi al-Fansûri al-Sinkîlī adalah seorang melayu dari Fansur, Singkil (modern: Singkel). Tahun 1642 ia pergi ke Arabia dan mempunyai guru spritual dan mistis Ahmad al-Qusyasyî dan Ibrâhim al-Kuranî sebagai guru intelektualnya. Setelah pulang ke Nusantara ia tidak terjebak dalam pertikaian antara faham keagamaan Hamzah al-Fansûri, Syams al-dîn al-Sumatrâni dengan Nûr al-dîn al-Ranîri sehingga faham keagamaan yang dianutnya dapat diterima secara luas di nusantara. lihat Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1998), h. 189-191 68 Peter Riddlell, ―Earliest Qur‘anic Exegetical activity in the malay-speaking states‖, dalam Archipel, 1989, h. 108-109 69 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1998), cet ke-4, h. 202-203 mencirikan bahwa penafsirannya yang ditempuh masih bersifat tradisional. Sedangkan teknis penafsirannya mengikuti prosedur Tafsîr Jalâlain. Ia menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunan mushaf ‘Utsmânî. Penjelasannya singkat dan lugas. Motif kelugasan kalimat didorong oleh kepentingan tafsir ini yang dikhususkan bagi pemula dalam memahami Islam. Pada abad ke-19 M., muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu Kitâb Farâid al-Qur’ân. Tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya (anonim). Ditulis dalam bentuk yang sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya terdiri dari dua halaman dengan hurup kecil dan spasi rangkap. Naskahnya masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang diedit oleh Ismâ‗il ibn ‗Abd al-Mutallib al-Âsyî, Jâm‘ al-Jawâmi‘ al-Musannafât: Majmû‘, Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh. Manuskrip buku ini disimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam dengan kode katalog: Amst.IT.481/92(2) dan diterbitkan di Bulaq, Mesir.70 Pada abad ini juga, kita juga bisa menemukan karya tafsir utuh yang ditulis oleh ulama asal Indonesia yakni Syaikh Nawawî al-Bantâni (1815-1897).71 Tafsir ini berjudul lengkap Marah al-Labîd li Kasyf al-Ma’na al-Qur’ân al-Majîd atau lebih dikenal dengan Tafsīr al-Munîr yang ditulis di kota Makkah oleh Imam Nawawī sebagai jawaban atas pemintaan dari beberapa kolegannya. Karya tafsir yang ditulis dengan bahasa Arab ini 70 Gusmian, Khazanah Tafsir (Jakarta: Teraju, 2003), h. 54-55 Abû ‗Abd al-Mu‘tî Muhammad ibn ‗Umar al-Tanâra al-Bantâni atau lebih dikenal Nawawī al-Bantâni. Ia dilahirkan dikampung Tanara, Serang, Banten. Ia merupakan keturunan kesultanan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon). Umur 15 tahun ia pergi ke Makkah dan memperdalam ilmu agama disana, dengan gurunya antara lain Syaikh alkhâtib al-Sambâsi dan Muhammad al-khâtib al-Hambalî. Kemudian ke Mesir dengan gurunya antara lain Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syaikh Ahmad Nahrawî. Di Mekkah Ia mengajar di Masjid al- Harâm, Ma‗had Nasr al-Ma‘ârif al-Dîniyyah. Lihat Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’ān ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten, (Yogyakarta: UII Press, 2006) h. 19-27. Di Mesir para ulama memberikan gelar kepadanya ―Sayyid ‗Ulama al-Hijāz‖ (pemimpin ulama Hizaz). Lihat Didin Hafiduddin, ―Tinjauan atas ―Tafsīr al-Munīr‖ Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara‖ dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan 1987), h. 44 71 diselesaikan penulisannya pada periode terakhir masa hidupnya tahun 1884 M.72 dan diterbitkan pertama kali di Mekkah setelah sebelumnya disodorkan dulu kepada ulamaulama Mekkah untuk diteliti pada tahun 1887.73 Dalam tafsir ini teks al-Qur‘an, terjemah serta komentarnya menggunakan bahasa Arab. Metode penafsirannya merupakan gabungan antara rinci dan global. Begitu juga dengan sumber penafsirannya, gabungan antara riwayat dan pemikiran. Tafsir ini mempunyai kecenderungan teologis mazhab Ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah. Sedangkan corak fiqhnya mempunyai kecenderungan Syâfi‘iyyah, walaupun ia juga suka memaparkan mazhab-mazhab fiqh lainnya. Dalam tafsir ini, banyak pula ditemukan yang bernuansa sufistik dan tafsir ini pun tak luput dari kisah-kisah Israilliyât. Pada awal abad ke-20 aktivitas penulisan tafsir semakin meningkat intensitasnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama pada akhir abad ke-19 M. dan awal abad ke20 M., Pemerintah Kolonial Belanda sudah mulai menerapkan politik makro yang dikenal dengan ―politik etis‖ yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi masyarakat Indonesia. Sehingga pada saat itu muncul kesadaran terhadap pendidikan yang mengakibatkan tingkat intelektualitas masyarakat Indonesia mulai meningkat. Kedua adalah semakin majunya dunia percetakan yang menyebabkan penyampaian informasi lebih mudah dan cepat didapatkan masyarakat Indonesia. Disamping itu faktor yang lebih penting lainnya adalah besarnya pengaruh pembaruan Islam yang di pelopori oleh Muhammad ‗Abduh dengan semboyan ―kembali kepada al-Quran dan hadis sahih‖ di Indonesia. Akibatnya, kebutuhan Umat Islam akan tafsir al-Qur‘ān semakin diperlukan. Karya-karya tafsir yang muncul pada abad ini cenderung lebih maju. Diantaranya adalah tafsîr al-Qur’ân al- karîm yang ditulis pada tahun 1922 oleh mahmud yunus, Tafsīr al-Furqān (1928 M) karya A. Hassan, Tafsīr Tamsyiyyat al-Muslimīn (1934 M) 72 73 Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’ān, h. 40 Hafiduddin, ―Tinjauan atas‖. h. 44 karya Ahmad Sanusi, dan lain-lain. Untuk membahas aspek teknis dan metodologis karya-karya tafsir pada abad ini, sebelumnya penulis akan menguraikan periodisasi penulisan tafsir di Indonesia. B. Periodisasi Karya Tafsir di Indonesia Sudah banyak sekali para peneliti kajian tafsir Indonesia yang memaparkan periodesasi penulisan tafsir di Indonesia. Salah Satunya adalah Howard M. Federspiel dalam bukunya yang berjudul Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraish Shihab yang melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir alQuran di Indonesia dari segi generasi. Ia membagi periodisasi tersebut berdasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi ke-1, kira-kira dari permulaan abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, yang ditandai dengan adanya penerjemahan secara terpisah dan cenderung pada sûrah-sûrah tertentu sebagai objek tafsir. Generasi ke-2, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama yang muncul pada pertengahan 1960-an sampai tahun 1970-an, yang mempunysi ciri diantaranya terdapat beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata, dan kadang-kadang disertai dengan indeks yang sederhana. Sedangkan generasi ke-3 dimulai antara pertengahan tahun 1970-an, merupakan penafsiran lengkap dengan uraian yang sangat luas.74 Menurut Gusmian periodisasi yang diberikan oleh Federspiel ini memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan tafsir di Indonesia. Namun, dari segi tahun pemilahannya dinilai agak kacau oleh Gusmian. Misalnya, ketika Federspiel memasukkan tiga karya tafsir, yaitu: (1) Tafsîr al-Furqân karya A. Hassan (1962); (2) Tafsîr al-Qurân karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.(1959), dan (3) Tafsîr 74 Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), h. 129 Qur-ân al-Karîm karya H. Mahmud Yunus, sebagai karya tafsir yang representatif untuk mewakili generasi ke-2. Padahal menurut Gusmian, ketiga tafsir itu muncul pada pertengahan dan akhir 1950-an, yang dalam kategorisasi yang ia susun masuk dalam generasi pertama.75 Setelah mengkritisi periodisasi federspiel. Gusmian memaparkan kategori tafsir al-Quran di Indonesia dengan mengacu pada periodisasi tahun, yaitu: (1) Periode ke-1, yakni antara awal abad ke-20 hingga tahun 1960; (2) Periode ke-2, tahun 1970-an sampai tahun 1980-an. (3) Periode ke-3, antara 1990-an hingga seterusnya.76 Selanjutnya Nashruddin Baidan dalam bukunya yang berjudul Perkembangan tafsir al-Quran di Indonesia memaparkan periodisasi yang agak berbeda dengan Federspiel maupun Gusmian. Baidan membagi periodisasi perkembangan tafsir di Indonesia dalam empat periode, yaitu: (1) periode klasik, dimulai antara abad ke-8 hingga abad ke-15 M. (2) periode tengah, yang dimulai antara abad ke-16 sampai abad ke-18, (3) periode pramodern yang terjadi pada abad ke-19, (4) adalah periode Modern, yang dimulai abad ke-20 hingga seterusnya. Periode modern ini dibagi lagi oleh Baidan menjadi tiga bagian yaitu: kurun waktu pertama (1900-1950), kurun waktu ke-2 (19511980), dan terakhir adalah kurun waktu ke-3 (1981-2000).77 Perbedaan periodesasi diatas, bisa terjadi antara lain disebabkan karena terdapat perbedaan data yang diperoleh oleh para peneliti perkembangan tafsir di Indonesia. Selain itu perbedaan sudut pandang tentang objek kajian, bisa menjadi salah satu sebab timbulnya perbedaan pemilahan tahun yang terjadi diantara-tafsir-tafsir diatas. Sejatinya, penulis disini bukan berada dalam posisi sebagai pengkritik terhadap periodisasi yang telah dipaparkan diatas. Tetapi disini penulis mencoba melakukan periodisasi sendiri guna relevansi bagi objek penelitian penulis. 75 76 77 h. 31-109 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 65 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 66-69 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, 2003), 1. Periode Klasik (Sebelum Abad ke- 20) Dari karya-karya tafsir pada periode ini didapati beberapa kecenderungan, pertama, penafsiran yang dilakukan bergerak dalam model yang sederhana serta tekhnis penulisan yang tergolong elementer. Dalam naskah Cambridge misalnya, tidak ada pemisahan ruang antara teks arab al-Quran, terjemah dan tafsirnya. Ketiganya diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta. Manuskrip ini menulis Sûrah al-Kahf dalam tinta merah diiringi dengan terjemah serta komentar dalam tinta hitam. Model seperti ini menurut feener memang terus diterapkan didunia melayu sampai abad ke-19.78 Kecenderungan yang kedua adalah tulisan yang dipakai rata-rata adalah hurup pegon meski dalam bahasa Melayu, Jawa maupun Sunda.79 Hal ini dimungkinkan terjadi karena pada akhir abad ke-16 terjadi pembahasa-lokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Misalnya hurup ini dipakai dalam tafsir Tarjumān al-Mustafīd serta naskah Sûrah al-Kahf dan naskah anonim lainnya yakni Kitāb Farāid al-Qur’ân.80 Kecenderungan ketiga yang terjadi pada periode klasik ini adalah terlihat adanya persinggungan para penafsiran al-Quran dengan sufisme yang kala itu kental mewarnai keberislaman penduduk Nusantara—utamanya kawasan Melayu / Sumatra dan Jawa— Walaupun A. John merasa heran dengan sedikitnya tafsir sufistik yang ditemukan, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih didomonasi oleh tradisi lisan 78 Feener, :Notes Towards‖, h. 47 Aksara pegon adalah teks-teks Jawa, Sunda ataupun Melayu yang ditulis dalam aksara Arab. Di komunitas muslim yang tersebar dalam masa periode klasik ini, aksara pegon menjadi aksara yang lebih populer dibanding variasinya, yakni hurup gundil (hurup gundul). Karena kondisi keilmuan masyarakat muslim pada waktu itu belum begitu tinggi dalam bahasa arab. Untuk melihat secara lengkap sejarah aksara pegon dalam Jawa dan Sunda, lihat, Ervan Nurtawab, Khazanah Tafsir Al-Quran Klasik di Nusantara: Tradisi Penulisan Tafsir dan Terjemah Al-Quran dalam Masyarakat Jawa dan Sunda Hingga Abad Ke-19 M (Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2003) 79 80 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 61 (oral tradition) dalam melakukan transmisi ilmunya kepada orang lain, sehingga menelusuri diskursus bidang tafsir sulit dilakukan melalui bukti-bukti karya tulis. Faktor lain yang menghambat penemuan karya tafsir sufistik adalah adanya benturan tasawuf heterodoks hamzah al-Fansûri dan Syams al-Dîn al-Sumatrâni dengan tasawuf ortodoks Nurudîn ar-Ranîri yang berujung dengan pembakaran karya-karya tulis. Tetapi, hasil karya persentuhan tasawuf dengan penafsiran al-Qur‘an dapat dilihat dari fregmen sufistik Tasdîq al-Ma‘ârif yang tak bertahun.81 Keempat, karya-karya yang ada cukup kaya rincian cerita, tapi cenderung mencampurkan teks-teks al-Qur‘an dengan bahan-bahan (baca: cerita-cerita) yang tidak sahih. Karya-karya tersebut menampakkan pengaruh Isrâilliyât yang kental. mungkin Pengaruh Isrâilliyât tersebut karena tafsir ini diilhami oleh Tafsîr al-Baghawî, Tafsîr alBaydawî, dan Tafsîr al-Khâzin yang sama-sama banyak memuat kisah Isrāilliyāt. Bahkan dalam manuskrip sûrah al-Kahf, disana sini terdapat selingan panjang berupa anekdetanekdot yang berasal dari budaya Melayu. Akan tetapi patut diingat, bahwa gambaran tentang sebelum abad ke-20 bahkan awal abad 20 – hingga kini masih belum bisa dianggap selesai. Pasalnya, masih banyak terdapat karya atau manuskrip yang belum diteliti secara seksama seperti halnya Tarjumān al-Mustafīd atau naskah Cambridge. Seperti naskah anonim Kitāb Farāidl alQur’ān dan yang lainnya. 2. Periode Modern (awal abad 20 Hingga Tahun 1970-an) Pada periode ini penulisan tafsir di Indonesia dari segi tekhnis penulisan lebih sedikit maju dan mencapai produktivitas yang mulai tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 kebijakan politik 81 A. H. Jons, ―Islam di Dunia Melayu dalam Azyumardi‖ Azra (penterjemah dan penyunting) Perspektif Islam Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 126 makro yang dilakukan oleh Kolonial Belanda yakni ―politik etis‖ mulai terasa dampaknya. Kebijakan yang salah satu poinnya adalah memajukan edukasi bangsa Indonesia ini, mulai memunculkan kesadaran intelektual dari sebagian masyarakat Indonesia. Sehingga kaum terdidik yang naik ke permukaan baik dari bidang politik ataupun agama mulai menempati pos-posnya sebagai motor penggerak pemikiran. Termasuk dalam hal ini banyak mufassîr-mufassîr yang lahir dan mulai menuliskan karyanya. Kedua adalah peranan penting dari dunia percetakan di Indonesia yang memudahkan untuk menulis karya termasuk karya tafsir untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat Indonesia. ketiga dan juga faktor yang paling penting adalah pengaruh dari pemikiran Muhammad ‗Abduh yang mempunyai semboyan ―kembali kepada al-Quran‖ membuat kebutuhan untuk menafsirkan al-Quran semakin diperlukan. Gelombang modernisasi yang sudah mulai menyentuh dalam kehidupan beragama di kalangan masyarakat Islam di Nusantara ini sangat berjasa dalam pembentukan kemajuan penulisan dalam bidang tafsir. Ciri perkembangannya pun seiring dengan ciri perubahan intelektual masyarakat ketika itu. Dari segi teknik lay-out misalkan, bila dibandingkan teknik lay-out penulisan tafsir pada periode klasik yang belum memisahkan ruang teks al-Quran, terjemah dan tafsirnya, dimana ketiganya masih diletakkan dalam halaman yang sama tanpa pemisahan yang tegas kecuali warna tinta, maka seiring dengan mode, cetakan di awal abad ke-20 mulai dikembangkan tekhnik lain yang lebih sistematis. Yakni penulisan teks Arab al-Quran agak renggang secara berurutan untuk membagi ruang bagi penulisan terjemahan atau tafsir disela-sela garisnya. Dengan kata lain, teknik yang dikembangkan ini adalah membagi setiap halaman menjadi 2 ruang, yaitu satu teks Arab dan satunya untuk terjemahan.82 Bahkan untuk tahun-tahun selanjutnya dikembangkan penempatan tafsir atas teks terjemah 82 Feener, ―Notes Toward‖, h. 55-56 terpisah dalam bentuk catatan kaki atau catatan pinggir. Tafsir yang menggunakan teknik ini salah satu contohnya adalah tafsir Raudat al-‘Irfân karya Ahmad Sanusi. Pengaruh lain dari gelombang modernisasi ini adalah mulai dilakukannya terjemahan-terjemahan terhadap al-Quran. sebagai contoh dapat dikemukakan penafsir yang berani melakukan terobosan ini misalnya Mahmud Yunus. Disebut berani karena ia menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa selain bahasa Arab ditengah-tengah masyarakat yang menganggapnya haram. Saat itu menerjemahkan dan menafsirkan alQur‘an diluar bahasa Arab belum dapat diterima oleh semua ulama. Karyanya adalah tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (1922) dalam bahasa Indonesia.83 Tokoh lain yang melakukan hal serupa adalah Ahmad Sanusi yang menerjemahkan al-Qur‘an dalam bahasa Indonesia dalam karyanya Tamsyiyyat al-Muslimîn dan dengan karyanya Maljâ’ at-Tâlibîn serta Raudat al-‘Irfân dalam bahasa Sunda. Selanjutnya ciri dari perkembangan periode modern ini adalah adanya proses penafsiran yang menggunakan hurup Latin yang menggeser kepopuleran hurup pegon. Apalagi setelah diintrodusinya aksara Roman oleh Pemerintah Belanda. Proses Romanisasi atau Latinisasi ini, pada akhirnya menjadi dominan dari pusat hingga daerah, terutama setelah dihapuskannya ―sistem tanam paksa‖ yang kemudian menerapkan ―politik etis‖. Disamping itu munculnya media massa, terutama koran dan majalah pribumi, pada dekade 1900-an seperti media massa Medan Prijaji yang terbit pertama kali 1906 dan al-Islām pada tahun yang terbit 1916 juga mendorong romanisasi lebih jauh.84 Hal ini juga selanjutnya diikuti oleh karya-karya tafsir. Diantaranya adalah tafsir al-Furqān(1928) karya A. Hassan dan tafsir Tamsyiyyah al-Muslimīn (1934) karya Ahmad Sanusi. 83 84 Burhanuddin, Hermeneutik al-Quran, h.116-117 Gusmian, Khazanah Tafsîr, h. 61-62 Namun demikian, aksara pegon sebagai pengungkap dalam karya tafsir tidak hilang sepenuhnya dan masih bisa dapati sampai setidak-tidaknya dekade 1980-an. Kita bia menyebut beberapa karya misalnya: tafsir al-Qur’āan al-Karīm (1922) karya Mahmud Yunus; tafsir al-Burhān (1922), tafsir juz ‗amma karya Hamka; tafsir Malja’ atThālibīn (1931) karya Ahmad Sanusi; dan tafsir al-Ibrīz (1980) karya KH. Mustofa Bisri. Dalam karya-karya periode modern, juga bisa dilihat kecenderungan penafsiran pada surah-surah tertentu. Misalkan, Tafsīr al-Qurān al-Karīm, Yaasin (Medan: Islāmiyah, 1951) karya Adnan Yahya Lubis; Tafsîr Sûrah Yâsîn Dengan keterangan (bangil : Persis 1951) Karya A. Hasan kedua Literatur Tafsir ini berkonsentrasi pada Sûrah Yâsîn. Dari segi aspek teknis lainnya kita juga bisa melihat sudah dimulainya sistem penulisan yang menyertakan cara baca dalam hurup latin beserta terjemah dan tafsirnya, seperti Tafsir Tamsyiyyat al-Muslimīn (1934) karya Ahmad Sanusi, Tafsīr Rahmat (1981), dan Terjemah dan Tafsîr al-Qur’ân: Huruf Arab dan Latin (1978) karya Bachtiar Surin. 3. Periode Kontemporer (Mulai Tahun 1980-an sampai sekarang) Di tahun 1980-an, dapat disaksikan sebuah arah kecenderungan baru dalam bidang tafsir. Yakni satu kecenderungan yang tidak lagi terikat oleh batasan-batasan literer teks al-Qur‘an, akan tetapi lebih menekankan pada penyelesaian sebuah topik tertentu yang dikenal dengan metode Tafsîr Maudû‘î. Bentuk penafsiran tematik ini telah lama dipakai oleh para penulis Islam klasik. Akan tetapi, baru belakangan ini dikembangkan secara sempurna oleh Fazlurrahmân, seorang tokoh intelektual dunia Islam kontemporer dalam bukunya Mayor Themes of The Qur’an.85 Ide pemikirannya banyak diintrodusir di Indonesia oleh Nurcholish Madjid dan Syafi‗i Ma‗arif sangat banyak mempengaruhi perkembangan intelaktual di Indonesia, khususnya IAIN. Sebagai contoh dalam priode ini misalnya Tafsir Ayat-ayat Haji: Telaah Intensif dari Pelbagai Madzhab, karya Mukhtar Adam. Dalam karyanya ini dibahas satu topik tentang ibadah haji dengan memakai perpaduan antara metode penafsiran Maudu‘î dengan metode perbandingan madzhab.86 Tafsir sejenis yang memakai metode yang hampir serupa adalah Tafsir dan Uraian Perintah-perintah dalam al-Qur’an, yang ditulis oleh Q.A . Dahlan Saleh.87 Disamping itu dalam priode kontemporer ini, topik-topik yang dibahas dalam tafsir bertambah melebar. Para penulis tafsir tidak hanya terbatas dari kalangan ahli agama semata namun dari kalangan ahli komunikasi pun seperti Jalaluddin Rahmat dapat menulis sebuah karya tafsir yang berjudul Tafsîr bi al-Ma’tsûr: Pesan moral al-Qur’ân. Awalnya buku ini berasal dari serial artikel republika. Di dalam buku ini Jalaluddin Rahmat mengadopsi metode Tafsîr bi al-ma’tsur atau menafsirkan ayat al-Qur‘an dengan ayat al-Qur‘an yang relevan. Namun ia tidak menafsirkan seperti para penafsir konvensional metode riwayat yang lain yang menjelaskan ayat demi ayat dengan tertib ayat. Akan tetapi, ia menjelaskan secara tematik.88 Masih dalam dekade yang sama muncul karya Dawam Raharjo berjudul Ensiklopedi al-Qur’ân. Buku ini ditulis setebal 700 halaman yang semula dimuat secara berkala dalam jurnal ‗Ulum al-Qur’ân. Di sini Dawam membahas tema-tema besar yang aktual seperti ‗adil‘, ‗agama‘, ‗ilmu pengetahuan‘ dan sebagainya. 85 Untuk lebih jelasnya lihat Fazlurrahman, Tema Pokok al-Qur’an (Bandung:Pustaka, 1983) 86 Mamat S. Burhanudin, al-Qur’an Ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marâh Labîd Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Pres, 2006), h. 128 87 Buku ini diterbitkan di Bandung oleh CV Diponogoro, 1976 88 Mamat S. Burhanudin, al-Qur’an Ala Pesantren, h. 128 Karya terakhir dalam generasi ini yang sangat populer adalah karya Quraish Shihab. Ia sangat dikenal melalui koleksi tulisnnya yang dibukukan yang berjudul Membumikan al-Qur’an. Buku ini telah banyak memperkenalkan konsep metode Maudû‘î dengan bahasa Indonesia yang lugas. Disamping itu, penerapan praktis terhadap metode tematik ini terlihat dalam beberapa karyanya yang lain seperti: Wawasan alQur’an, Tafsir al-Qur’an al-Karim dan lain-lain. Karya-karya Quraish Shihab ini banyak diakui oleh pemerhati perkembangan tafsir Indonesia sebagai inovator baik dalam segi metode penafsirannya maupun isinya.89 Jelasnya, dapat dikatakan bahwa dimulai abad ke-20 sampai abad yang akan datang, tradisi penulisan tafsir di Indonesia, akan terus mengalami perubahan-perubahan bentuk sesuai dengan perkembangan kualitas sosio histioris masyarakat di kawasan ini. C. Aspek Teknik Penulisan Tafsir al-Quran Aspek teknik penulisan Tafsir al-Quran yang dimaksud disini adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir (aspek luar). Jadi, aspek teknis penulisan ini terkait lebih pada penulisan karya tafsir, yang bersifat teknis, bukan pada proses penafsiran yang bersifat metodologis. Aspek teknis penulisan tersebut, meliputi lima bagian penting. Uraian berikut merupakan penulusuran atas bagian-bagian dalam wilayah teknis penulisan tafsir tersebut dengan kajian rajutan pada setiap kategori. 1. Sistematika penyajian Sistematika penyajian adalah rangkaian yang dipakai dalam dalam menyajikan sebuah tafsir, secara teknis bisa dijadikan dalam sistematika yang beragam. Dalam sisi 89 Shihab, Quraish, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992) sistematika penyajian ini, dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian: (1) sistematika penyajian runtut, (2) Sistematika penyajian Tematik. Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada: (1) urutan surah yang ada dalam model mushaf standar , dan (2) mengacu pada turunnya wahyu. Model pertama, telah umum dipakai oleh ulama tafsir. Karya-karya tafsir Timur Tengah klasik, seperti Jalâlayn, maupun karya tafsir kontemporer, seperti al-Manâr, sistematika penulisannya mengacu pada model sistematika penyajian runtut berdasarkan urutan sûrah yang ada pada mushaf. Di Indonesia, model runtut seperti ini ini sudah dipakai sejak masa klasik seperti dalam karya tafsir Tarjumân al-Mustafîd karya ‗Abd al-Ra‘ûf al-Sinkîlî. Pada masa modern, sistematika penulisan model runtut, dipakai Tafsîr al-Furqân karya A.Hassan, tafsir alQur’ân al-Karîm karya Mahmud Yunus dan lain sebagainya. Sedangkan model yang kedua, yakni runtut berdasarkan urutan turunnya wahyu, tidak banyak ditempuh oleh para ulama tafsir terutama ulama tafsir Indonesia. al-Tafsîr al-Bayân li al-Qur’ân al-Karîm, karya Bint al-Syâti‘ dan Sûrah al-Rahmân wa Sumar Qisâr, karya Syawqî Dha‗îf adalah contoh tafsir Timur Tengah yang menggunakan penyajian tafsir model kedua ini.90 Sedangkan di Indonesia, sistematika model kedua ini baru dilakukan pada periode kontemporer. Seperti yang dilakukan oleh Quraish Shihab dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm yang mengkaji 24 sûrah pendek. Selanjutnya, yang disebut dengan sistematika penyajian tematik adalah suatu bentuk rangkaian karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu, atau pada ayat, surat, dan juz tertentu. Tema atau ayat , surat dan juz tertentu ini, ditentukan sendiri oleh penulis tafsir.91 90 91 Gusmian, khazanah Tafsîr, h. 122-123 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 122-128 Dalam tradisi penulisan tafsir, penyajian tematik ini lebih dikenal dengan istilah Maudû‘i—di Indonesia dipopulerkan oleh Quraih Shihab—dengan merujuk pada kerangka-bangun al-Farmâwî.92 Namun, secara konseptual Gusmian menempatkan istilah ―tematik‖ dalam pemaknaan yang berbeda. Jika selama ini, istilah tematik cenderung dimaknai sebagai metode tafsir, disini lebih dimaknai sebagai teknik penulisan tafsir. Sebab meskipun penyajian tematik ini mempunyai pengaruh signifikan pada metodologi tafsir, tetapi pada dasarnya ia tak lebih sebagai teknik penulisan tafsir. Model ini dipakai oleh Muhammad Mahmud al-Hijâ‗I dalam al-Tafsîr al-Wâdhih dengan membahas satu sûrah al-Quran dengan menghubungkan maksud antar ayat serta pengertiannya secara menyeluruh. Selain itu, ‗Abbâs Mahmûd al-‗Aqqad dalam tafsirnya al-Mar’ah fî al-Qurân yang membahasal dengan cara menghimpun al-Quran yang mempunyai kesamaan arah dan tema, kemudian dianalisi dan dari sana ditarik kesimpilan. Di Indonesia, model tematik ini sudah dikenal sejak masa klasik, meskipun dalam bentuknya yang masih sederhana, seperti bisa dilihat dalam karya tafsir anonim yang berjudul Farâ’id al-Qur’ân yang menafsirkan sûrah al-Nisâ‘ ayat 11 dan 12 yang berbicara tentang hukum waris.93 Pada masa modern, sistematika penyajian tematik ini, meskipun sangat sederhana dan tidak memenuhi standar untuk ukuran sekarang, juga muncul, yaitu: zedeleer uit den Qor’an (etika al-Quran), karya syaikh Ahmad Soekarti (Groningen, Den Haag, Batavia: J.B. Wolters‘, 1932), dengan menggunakan bahasa Belanda, Rangkaian Tjerita dalam al-Qur’an, karya Bey Arifin (Bandung: Pelajar, 1963.94 92 Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), h.111-117 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 56 94 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h 57 93 Pada sisi lain, berkembang pula model sistematika penyajian tafsir yang berkonsentrasi pada sûrah-sûrah tertentu. Misalnya, untuk sûrah al-Fâtihah, lahir Ushûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat al-Fâtihah (Bogor: ichtiyar, 1935) karya Ahmad Sanusi dan Tafsîr al-Qur’ân Karîm, Sûrah al-Fâtihah, (Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris. Khusus sûrah Yâsîn, misalnya, Tafrîj Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimât Sûrat Yâsîn (Tanah Abang: Sayyid Yahya, 1936), karya Ahmad Sanusi dan Tafsîr Sûrah Yasien dengan Keterangan (Bangil: Persis, 1959). 2. Bentuk Penyajian Tafsir Bentuk penyajian tafsir yang dimaksud disini adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh Mufassir dalam menafsirkan al-Qur‘an. Dalam bentuk penyajian ini ada dua bagian: (1) Bentuk penyajian global, dan (2) bentuk penyajian rinci, yang masing-masingnya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Bagian pertama dari bentuk penyajian tafsir adalah bentuk global. Yang dimaksud dengan bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasan yang dilakukan cukup singkat dan global. Biasanya, bentuk ini lebih menitikberatkan kepada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran yang dikaji. Bentuk penyajian global ini, dalam batas tertentu bermanfaat bagi pembaca muslim yang tidak punya kesempatan waktu banyak belajar al-Quran. Dalam penulisan tafsir, bentuk penyajian global ini dikenal dengan nama ijmâlî yang dipopulerkan oleh alFarmâwî dalam bukunya yang berjudul al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‗î. Tetapi disini, Gusmian tidak mengkategorikannya sebagai metode tafsir, tetapi lebih kepada bentuk penyajian tafsir. Salah satu tafsir di Indonesia yang menggunakan penyajian global adalah Tafsîr al-Qur’ân karya Mahmud Aziz.95 95 Baidan, Perkembangan Tafsîr, h. 88 Sedangkan bagian kedua dari bentuk penyajian tafsir adalah penyajian rinci. Yang dimaksud dengan penyajian rinci adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasannya dilakukan secara detail, mendalam dan konfrehensif. Terma terma kunci disetiap ayat dianalisis untuk menemukan makna yang tepat dan sesuai dalam suatu konteks ayat. Setelah itu, penafsir menarik kesimpulan dari ayat yang ditafsirkan, yang sebelumnya ditelisik aspek asbâb al-Nuzûl dengan kerangka analisis yang beragam.96 Salah satu contohnya adalah Tafsir al-Qur’ân al-Karîm karya Mahmud yunus. 3. Bentuk Penulisan Yang dimaksud dengan bentuk penulisan tafsir adalah mekanisme penulisan yang menyangkut aturan teknis dalam penyusunan keredaksian sebuah litelatur tafsir. Aturan yang dimaksud adalah adalah tata cara mengutp sumber, penulisan catatan kaki, penyebutan buku-buku yang dijadikan rujukan, serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi keredaksionalan. Dalam kaitan ini, ada 2 hal pokok: (1)Bentuk penulisan ilmiah, dan (2) bentuk penulisan non ilmiah.97 Bagian pertama dari bentuk penulisan tafsir adalah bentuk penulisan ilmiah. Yang dimaksud dengam penulisan ilmiah adalah suatu penulisan tafsir yang sangat ketat dalam memperlakukan mekanisme penyusunan redaksionalnya. Dalam bentuk ini, kalimat maupun pengertian yang didapat dari beberapa literalatur lain diberi catatan kaki ataupun catatan perut untuk menunjukkan pada pembaca sumber asli pengertian yang dirujuk tersebut. judul, buku, tempat, tahun, penerbit, serta nomor halaman buku menjadi penting untuk dituturkan dalam bentuk penulisan ilmiah ini.98 Bentuk ini kebanyakan 96 Gusmian, Khazanah Tafsir, h. 148-152 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 98 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 97 didominasi oleh karya tafsir yang ditulis untuk kepentingan akademik seperti Tafsîr Kebencian, Jiwa dalam al-Qur’ân, dan lain-lain Bagian kedua dari bentuk penulisan tafsir adalah penulisan nonilmiah. Yang dimaksud dengan istilah nonilmiah adalah bentuk penulisan tafsir yang tidak menggunakan kaidah kaidah penulisan ilmiah yang mensyaratkan adanya adanya: footnote, endnote, maupun catatan perut, dalam menjelaskan literalatur yang dirujuk. Meskipun tidak menggunakan bentuk penulisan ilmiah, bukan berarti sebuah karya tafsir lalu diklaim, dari segi isi tidak ilmiah. Kategori ilmiah dalam pengertian ini tidak ada kaitannya dengan isi. Kategori ini hanya digunakan hanya digunakan dalam konteks memetakan bentuk penulisan, bukan isi sebuah buku tafsir. Salah satu contoh tafsir dalam bentuk penulisan ini adalah Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân karya Ahmad Sanusi.99 4. Sifat Mufassir Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seseorang bisa melakukannya secara individual, kolektif—dua orang atau lebih—atau bahkan dengan membentuk tim atau panitia khusus secara resmi. Model inilah yang dimaksud dengan sifat mufassir. Dalam konteks sifat mufassir ini, karya tafsir Indonesia terbagi menjadi dua macam: (1) Individual dan (2) kolektif atau tim.100 99 Lihat Ahmad Sanusi, Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân, Sukabumi: (Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh, t.th.) 100 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 176-177 Istilah mufassir individual digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. Misalnya, Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn karya Ahmad Sanusi.101 Sedangkan yang dimaksud dengan mufassir kolektif adalah untuk menunjukkan bahwa karya tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif ini, terbagi menjadi dua bagian: (1) kolektif resmi, dan (2) kolektif tidak resmi. Yang pertama adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus, dalam rangka menulis tafsir. Adapun bentuk kolektif yang kedua tidak bersifat forma, dan dalam kolektivitas itu hanya terdiri dari dua orang penyusun. 5. Sumber-Sumber Rujukan Sumber rujukan adalah literatur tafsir yang digunakan sebagai sumber rujukan oleh penafsir, baik dari segi bahasa, generasi. Literatur tafsir tersebut bisa berupa karya tafsir berbahasa arab, literatur bahasa arab yang jadi acuan, literatur bahasa Inggris, literatur bahasa Indonesia atau karya-karya lain yang berhubungan.102 D. Aspek Metodologis Penulisan Yang dimaksud dengan aspek metodologis penulisan adalah konstruksi ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsip metodologis yang digunakan dalam proses penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian bergerak pada tiga wilayah: (1) metode tafsir, (2) nuansa penafsiran, dan (3) pendekatan tafsir. 101 Lihat Ahmad Sanusi, Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, (Jakarta: Habib Usman, 1931) 102 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 186-188 1. Metode Tafsir Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Dalam hal ini, metode penafsiran terbagi tiga, yaitu: (1) metode tafsir riwayah, (2) metode tafsir pemikiran, dan (3) metode tafsir interteks. Bentuk pertama dari metode penafsiran adalah metode tafsir riwayah (ma‘sur). Dalam tradisi al-Qur‘an klasik, riwayat merupakan sumber penting dalam memahami teks al-Qur‘an. Sebab Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap alQur‘an. Dalam konteks inilah, muncul istilah ―metode tafsir riwayat‖ ( bi al-ma’tsur)‖ pengertian metode riwayat., dalam sejarah al-Qur‘an klasik, merupakan suatu proses penafsiran al-Qur‘an yang menggunakan data riwayat dari Nabi Saw. dan atau sahabat, menafsirkan ayat al-Qur‘an dengan hadis, dengan riwayat sahabat ataupun kisah israiliyyat. Sebagai variabel penting dalam proses penafsiran al-Qur‘an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau sahabat. Ini dapat ditemukan dalam beberapa literatur klasik maupun salaf. Misalnya tafsir karya al-Thabari, Ibnu Katsir dan yang lainnya.103 Metode tafsir riwayah disini adalah bisa diartikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya mengacu pada hasil penafsiran Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan nabi atau dalam bentuk asbâb al-Nuzûl sebagai data otoritatif. Di Indonesia penggunaan metode riwayah secara sempurna baru dilakukan pada periode kontemporer. Salah satu contoh tafsir yang menggunakan metode ini adalah jalaluddin Rakhmat dalam Tafsîr bi al-Ma’sur. Buku tafsir ini dari judulnya telah mengklaim diri sebagai Tafsîr bi al-Ma’tsur. Dari metode yang digunakan, secara umum 103 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 197 karya ini menggunakan data riwayat sebagai variabel penting dalam menguraikan maksud ayat.104 Bentuk kedua dari metode penafsiran adalah metode tafsir pemikiran. metode tafsir pemikiran. Al-Qattan mencatat bahwa sejak berakhirnya masa salaf, sekitar abad ke-3 H, dimana peradaban umat Islam semakin berkembang, telah dibarengi juga oleh lahirnya berbagai madzhab di kalangan umat Islam. Masing-masing madzhab itu berusaha meyakinkan pengikutnya dengan memberikan penjelasan dari ayat-ayat alQur‘an. Terks al-Qur‘an kemuidian ditafsirkan dalam kerangka corak kepentingan dan ideologinya tersebut. Dalam konteks inilah, sejarah tafsir mencatat adanya perkembangan berbagai corak tafsir. Misalnya muncul tafsir al-Razi dengan corak filsafatnya, alKasysyaf dengan corak teologi Mu‘tazilahnya, tafsir al-Manar dengan corak sosiologisnya dan seterusnya.105 Namun dalam konteks pengertian metode tafsir pemikiran yang dimaksud di sini bukan seperti yang diuraikan oleh al-Qattan di atas. Metode tafsir pemikiran di sini, didefinisikan sebagai suatu penafsiran al-Qur‘an yang didasarkan pada kesadaran bahwa al-Qur‘an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah budaya dan sejarah disamping bahasa itu sendiri. Dalam metode tafsir pemikiran, penafsir beruasaha menjelaskan pengertian dan maksud dari suatu ayat berdasarkan hasil sari proses intelektualisasi dengan langkah epistimologis yang mempunyai pijakan pada teks dengan konteks-konteksnya.106 Ketiga, metode tafsir interteks. Dalam sebuah teks selalu ada teks-teks lain. Oleh karena itu, setiap tek secara niscaya merupakan sebuah interteks. Dalam literatur tafsit Indonesia pun mengalami hal demikian. Dalam proses penafsiran yang dilakukan oleh 104 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 198 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 201-201 106 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 202 105 penafsir dalam berbagai karyanya, hampir tidak bisa melepaskan kaitan dengan karya lain yang lebih dulu. 107 Proses interteks ini bisa tampil dalam dua bentuk. Pertama, teks-teks lain yang ada di dalam teks tersebut diposisikan sebagai panutan dalam teks tafsir, sehingga tafsirnya sebagai penguat. Kedua, teks-teks di dalam teks tersebut diposisikan sebagai teks pembanding atau bahkan sebagai obyek krtik untuk memberikan suatu pembacaan baru, yang menurutnya lebih sesuai dengan dasar dan prinsip epistimologis yang bisa dipertanggungjawabkan.108 2. Nuansa Tafsir Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, teologi, sosial, kemasyarakatan, fiqh, psikologis dan lain-lain. Nuansa tafsir dapat disebut juga dengan corak tafsir. Karena dari corak yang dominan inilah sebuah karya tafsir yang satu dapat dibedakan dengan karya tafsir lain. 3. Pendekatan Tafsir Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan yang dimaksud yaitu yang berorentasi pada teks dalam dirinya (pendekatan tekstual) dan berorentasi pada konteks pembaca (penafsir) yang dikenal dengan pendekatan kontekstual.109 107 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 228 109 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 247-248 108 Contoh tafsir yang memakai pendekatan tekstual adalah Tafsîr al-Misbâh karya Quraish Shihab. Sedangkan contoh tafsir dengan pendekatan kontekstual adalah tafsîr ayat-ayat politik karya Syu‗bah Asa. BAB IV ANALISIS TERHADAP KARYA TAFSIR TAMSYIYYAT AL-MUSLIMÎN A. Gambaran Umum Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn Tafsir yang bernama lengkap Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsīr kalām Rabb al-‘Alamīn ini adalah karya tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi sewaktu dia menjalani tahanan kota di Sukabumi. Dalam tafsir ini tulisan ayat al-Qur‘annya memakai bahasa Arab dan dibawahnya dicantumkan alat bantu cara baca dengan tekhnik penuliasan transliterasi Arab-Latin. Terjemah serta uraian global tentang tentang tafsirnya ditulis dengan hurup Latin dan berbahasa melayu dengan menggunakan ejaan Van Ophusyen. Berbeda dengan karya tafsir pada umumnya, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini adalah sebuah karya tulis yang memuat tentang tafsir tetapi memakai format seperti majalah atau buletin yang terbit secara berkala. Hal ini dalam abad itu mungkin sebuah terobosan baru yakni, sebuah kitab tafsir memakai format sebuah majalah. Terbitan perdananya dikeluarkan pada 1 oktober 1934 yaitu setelah 2 bulan status tahanan Ahmad Sanusi dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Untuk terbitan pertama tafsir tersebut dicetak di percetakan Masduki dan hanya beredar di wilayah kota sukabumi saja. Pada penerbitan nomor dua bualan November 1934, percetakannya dipindahkan ke percetakan al-Ittihâd. Sejak diambil alih oleh percetakan tersebut, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn dapat beredar luas di wilayah Bandung, Sukabumi sampai ke Jakarta. Pada terbitan yang ke 9 peredaran tafsir ini sudah mencapai ke daerah Sumatra Selatan dan mempunyai agen tetap di kota Bengkulu. Beberapa sumber menyebutkan tidak diketahui berapa jumlah edisi yang pernah terbit. Penulis mencatat Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn memiliki edisi tahun ke-1 no.1 (1934) hingga tahun ke-5 no.53 (1939). Sedangkan yang ada di tangan penulis hanya sampai jilid ke-25 sehingga antara jilid ke-26 sampai jilid ke-53 penulis sampai saat ini belum menemukannya. Dari ke-25 jilid yang dipunyai penulis, tiap jilidnya berjumlah 31 halaman kecuali jilid ke-1 yang berjumlah 34 halaman, jilid ke-2 berjumlah 32 halaman, jilid ke-3 berjumlah 33 halaman dan jilid ke-4 berjumlah 28 delapan halaman. Di dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terdapat secara berurutan; nomor terbit, judul kitab, pengarang, harga langganan, alamat pengarang, agen-agen Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, pengumuman, dan penerbit. Baru terbit empat nomor telah ada permintaan dari pelanggan agar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn diterbitkan satu bulan dua kali, tetapi dari pihak penerbit keberatan karena alat percetakannya tidak memadai. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor enam, tertulis pengumuman bagi para pelanggan agar mengirimkan uang langganannya dan menjadi pelanggan baru. Dalam cover depan bagian dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor sepuluh dicantukan surat dari Wedana Batavia yang mengusulkan agar Tafsir Tamsyiyyat terbit sebulan empat kali dan dinaikkan harganya. Dalam cover depan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor sebelas, tertera pemberitahuan mengenai; agen-agen yang masih punya tunggakan uang langganan, hanya enam pelanggan yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit satu bulan empat kali. Dalam cover depan bagian luar Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn nomor tiga belas diberitahukan bahwa yang setuju Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terbit satu bulan empat kali telah mencapai enam belas agen. Dalam setiap Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn secara umum—dan ada pula nomornomor yang tidak ada—dalam cover belakang bagian luarnya ditulis sebuah peringatanperingatan; pertama, meminta agar setiap kesalahan dalam redaksi dan struktur bahasanya dapat dikritisi. Ke-2, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah tafsir yang memuat hadishadis, kisah-kisah dan madzha-madzhab baik fiqh maupun theologi. Ke-3, meminta supaya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn terus diterbitkan dan ditingkatkan. Ke-4, ketentuan-ketenyuan bagi para pelanggan. B. Kontroversi Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn Terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn pada awal abad ke-20 tidak lepas dari pro kontra dari pihak ―kelompok tradisional‖.110 Hal ini terjadi karena tafsir tersebut berbahasa melayu dan berhuruf latin serta tafsir ringkasnya yang didobel tulisan al-Quran nya dengan huruf Latin. Bagi masyarakat priangan, penerjemahan dan penafsiran alQuran apalagi transliterasi al-Quran ke dalam tulisan latin merupakan hal yang baru untuk masa tahun 30-an. Sikap reaktif yang ditujukan oleh pihak kelompok tradisional terutama dari kyai-kyai yang berdomisili di Priangan terhadap Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn dapat digambarkan sebagai berikut: 110 Istilah ‗tradisi‘ dan ‗modern‘ pertama kali diperkenalkan oleh Deliar Noer ketika menjelaskan perkembangan-perkembangan dan sifat gerakan modern di Indonesia. Bagi Noer bahwa yang disebut kaum tradisi adalah kyai yang ada di pedesaan dan bertempat tinggal di pesantren atau surau, dalam praktek keagamannya berfaham taklid dan menolak berijtihad. Dan dalam masalah politik, kaum tradisi pada umumnya tidak ikut serta walaupun mereka anti penjajahan dan banyak juga dan mereka yang menjabat birokrasi keagamaan yang dibuat oleh penjajah. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1940 (Jakarta: LP3S, 1980). Kajian Noer yang cenderung berat sebelah—karena terlalu dilihat dalam perspektif modern orientid—dikritisi oleh Zamakhsari Dhofier dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan, ke beberapa pesantren yang ada di JawaTengah dan Jawa Timur, ia menganggap bahwa Noer tidak melihat realitas keadaan yang sebenarnya di pesantren. Dengan bantuan antrofologi, Dhofier berhasil mendekonstuksi konsepsi Noer. Lihat Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S, 1982). Namun studi Zamakhsari bukan tanpa kritikan, misalnya Mohammad Iskandar menganggap bahwa gambaran Kyai dan pesantre yang digambarkan oleh Dhofier tidak selalu cocok dengan yang ada di Priangan. Misalnya definisi Kyai yang cenderung dilihat secara antrofologis yakni keterikatannya terhadap pesantren. Lihat Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah:Pergulatan Pemikiran Para Kyai dan Ulama di Jawa Barat, 1950 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2001), h. 3-63. Adapun yang dimaksud ‗kelompok tradisional‘ khusus di Sukabumi, Bogor dan Cianjur (pada masa itu) adalah kelompok yang mempertahankan pola madzhab dan menolak ijtihad dalam masalah ibadah dan cenderung tidak memperaktekan pembaharuan-pembaharuan dalam kegiatan praktis dan pro pemerintah Belanda. Kelompok ini berpusat di Gentur Cianjur. Kelompok ini berbeda dengan kelompok yang berpusat di Cantayan Sukabumi yang dipimpin oleh Ahmad Sanusi. Walaupun kelompok ini berpola madzhab dalam masalah ibadah seperti kelompok tradisional juga, tapi kelompok ini mengadopsi pembaharuan-pembahruan dalam kegiatan yang bersifat praktis seperti sistem pendidikan klasikal, pembentukan organisasi dan termasuk penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an, untuk mengetahui pola kehidupan sosial keagamaan di Sukabumi pada waktu Ahmad Sanusi hidup. Lihat A. Mukhtar Mawardi, H. Ahmad Sanusi:Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Skripsi Sl Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1985): ―Tina lantaran eta tafsir meunang perhatian ti jalma-jalma di unggal-unggal tempat. Tayohna eta sawareh Kyai Cicurug reunjeung Bogor beuki tambah-tambah ngambekna reujeung karisihna, celaan-celaan reujeung hinaan-hinaan reujeung ngadolah-ngadolahkeun malah nepika ngufur-ngufurkeun ka Ajengan H. Ahmad Sanusi dina saban-saban pangdiukan-pangdiukanana sahengga ka di pasar-pasar sarta ku Ajengan H. Ahmad Sanusi Heunteu dikuping sagala omongan eta ajengan ajengan…”.111 Walaupun sikap reaktif kelompok tradisional oleh Ahmad Sanusi, tetapi para pengikut dan murid-muridnya terpanggil untuk merespon sikap kyai-kyai itu dengan mengusulkan agar Ahmad Sanusi menolak perkataan-perkataan mereka. Karena celaancelaan dan hinaan itu kepadanya tidak berhenti juga, maka Ahmad Sanusi menerima usulan dari pengikutnya dengan memerintahkan kepada para anggota majlis al-Ittihâd di Sukabumi dan Bogor supaya mengadakan musyawarah tentang menulis al-Quran dengan huruf Latin. 112 Dalam musyawarah itu—diadakan di majlis al-Ittihad Sukabumi sebanyak dua kali dan di majlis al-Ittihad Bogor sebanyak tiga kali—diundang kyai-kyai yang mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi dalam beberapa musyawarah yang beberapa kali dilakukan tersebut tidak seorang pun dari pihak yang kontra datang, kecuali ketika musyawarah yang diadakan di Bogor. Adapun yang datang adalah H. Usman Perak. Pada waktu itu dari pihak yang pro terhadap Ahmad Sanusi dan yang paling banyak berkomentar adalah Kyai Damanhuri.113 111 Terjemahnya :oleh karena tafsir tersebut mendapat perhatian dari orang-orang di setiap tempat. Akibatnya sebagian kyai-kyai CiCurug dan Bogor semakin tambah kemarahannya dan kehawatirannya, celaan-celaan, hinaan hinaan dan bahkan sampai mengkafirkan Ahmad Sanusi di setiap tempat sampai di pasar-pasar. Tetapi oleh Ahmad Sanusi tidak didengarkan perkataan kyai-kyai tersebut. Lihat Lajnah Ta’lif wa al-Nasr AII, Mindzarat al-Islâm wa al Îmân (Sukabumi: al-Ittihad, 1935), h. 1 112 Lihat K.H. Ahmad Sanusi, ‗Ilan Pemberian Tahu dalam Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn, no.1, oktober 1934 (Sukabumi: al-Ittihad,1935) 113 Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah; Pergulatan pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950 (Yogyakarta: Matabangsa, 2001), Cet. 1, h. 198-199 Namun setelah diadakan musyawarah di atas, kenyataannya, tetap saja masih terjadi celaan-celaan terhadap diri Ahmad Sanusi. Namun dengan nada keras dan sindiran, Ahmad Sanusi menyebut celaan-celaan tersebut sebagai ―gonggongangonggongan anjing‖. Sikap reaktif atas terbitnya Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn tidak terbatas pada perdebatan oral saja, melainkan sudah pada perseteruan media cetak. Salah satu contohnya adalah terbitnya sebuah buku yang kontra terhadap Ahmad Sanusi yang ditulis oleh H Mansur yang berjudul Tasfiyat al-Afkâr.Terbitnya buku itu mendapat reaksi dan jawaban dari Ahmad Sanusi sendiri dengan menerbitkan buku yang berjudul Tahzîr alAfkâr.114 Di samping dari kelompok tradisional, reaksi terhadap Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn juga datang dari pihak ‗pekauman‘.115 Reaksinya pun tidak kalah sengitnya, misalnya pada 4 Oktober tahun 1936 diadakan diskusi yang dilaksanakan di Cipelang Sukabumi. Dalam diskusi itu dibentuk sebuah badan netral yang bernama Comite Permoesjawaratan Menoelis Qoeran. Dalam diskusi tersebut, tidak hanya dihadiri oleh pihak pekauman yang mewakili pihak yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang menulis al-Quran dengan huruf latin. Di samping itu, hadir pula kelompok yang kontra terhadap Ahmad Sanusi lainnya seperti pengurus sekolah Ahmadiyah Sukabumi, Umar Sanusi (Pengurus al-Rabitah al-Alawiyah), Sayyid Yahya bin Utsman, Sayyid Ali bin Yahya, Sayyid Ali bin Sahab (ketiganya dari Batavia), Tubagus Arsyad (Rangkasbitung, Banten), Sayyid Alawi bin Tohir, Sayyid M. Sodik al-Jufri, Wirasanjaya (Surat Kabar alMu‘min) dan H. Fachrurraji (Surat Kabar al-Mukhtar). Kemudian komite tersebut mengajukan surat permohonan kepada pihak pemerintah—yang waktu itu Indonesia 114 Lajnah Ta’lif, Mindzarat al-Islâm, h. 4-9 Disebut juga menak kaum adalah elit birokrasi keagamaan di daerah Priangan, umumnya para Menak Kaum yang bertitel Hoofd penghulu yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan bupati. Biasanya kelompok pekauman mengurus mesjid raya di tingkat kecamatan dan kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai KUA. Lihat Mohammad Iskandar, Para pengemban Amanah, h. 49 115 masih dikuasai Belanda—agar Ahmad Sanusi dalam status tahanannya diberi izin untuk menghadiri diskusi yang diadakan itu.116 Menurut koran ‖Perbitjangan‖ seperti yang dikutup oleh Muhammad Iskandar, diskusi itu menghasilkan keputusan yang dikeluarkan oleh komite yang menyatakan bahwa transliterasi itu hukumnya boleh.117 Selanjutnya diskusi-diskusi lainnya sering diadakan, tetapi selalu diakhiri oleh keributan. Seperti misalnya perdebatan yang terjadi di al-Azhâr School Sukabumi pada tanggal 2 november 1936. perdebatan berakhir dengan kerusuhan dan terpaksa dibubarkan oleh polisi.118 Peristiwa perdebatan dan polemik antara Ahmad sanusi dengan kelompok tradisi dan pihak ulama pekauaman di pihak lain, seperti yang telah dijelaskan di pembahasan bab II, merupakan kelanjutan di polemik sebelumnya yang menyangkut masalah agama. Motif-motif pro-kontra dan perbedaan tentang masalah agama—menurut Gobee seperti yang dikutip oleh muhammad Iskandar—merupakan pertarungan antara ide antara di antara pemuka agama dalam merebut ―hegemoni‖ sosial politik di wilayah tersebut.119 Walaupun fihak yang kontra terhadap penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn terus bertambah, Ahmad Sanusi tetap menulis tafsir tersebut sampai dia meninngal dunia. D. Aspek Teknis Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn Aspek teknik penulisan Tafsir al-Quran yang dimaksud disini adalah suatu kerangka teknis yang digunakan penulis tafsir dalam menampilkan sebuah karya tafsir 116 Mohammad Iskandar, Para pengemban amanah, h. 202 Mohammad Iskandar, Para pengemban amanah, h. 191-205 118 Mohammad Iskandar, Para pengemban amanah, h. 204-205 119 Mohammad Iskandar, Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi (Jakarta: Pengurus besar Persatuan Ummat Islam (PUI), 1993), h. 19 117 (aspek luar). Jadi, aspek teknis penulisan ini terkait lebih pada penulisan karya tafsir, yang bersifat teknis, bukan pada proses penafsiran yang bersifat metodologis.120 Aspek teknis penulisan tersebut, meliputi lima bagian penting. Uraian berikut merupakan penulusuran atas bagian-bagian dalam wilayah teknis penulisan tafsir tersebut dengan kajian rajutan pada setiap kategori. 6. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian adalah rangkaian yang dipakai dalam dalam menyajikan sebuah tafsir, secara teknis bisa dijadikan dalam sistematika yang beragam. Dalam sisi sistematika penyajian ini, dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian: (1) sistematika penyajian runtut, (2) Sistematika penyajian Tematik. Sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada: (1) urutan surah yang ada dalam model mushaf standar , dan (2) mengacu pada turunnya wahyu. Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn disetiap awal sûrah, diurai dengan detail masalah yang berkaitan dengan surat yang dikaji. Misalnya tentang jumlah ayat, tempat turunnya ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam sûrah, nama-nama lain dari surat tersebut, dan seterusnya. Salah satu contoh pada kasus sûrah al-Fâtihah. Disini Tafsîr Tamsyiyyat menguraikan nama-nama lain dari surat yang telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti: Umm al-Qurân, Al-Sab‘ul al-Matsânî’ dan lain sebagainya.121 120 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. ke-1, h.122 121 Ahmad Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn (Sukabumi: AlIttihâd, 1934), no. 1,Oktober 1934, h. 13 Kemudian setelah memberi penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan surat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi ayat dalam setiap surat. Setiap kata atau kalimat dalam suatu ayat yang dipenggal, teks arabnya ditulis lalu mencantumkan terjemahannya disamping teks Arab ayat tersebut. Di bawah redaksi ayat dan teks terjemahnya, diberikan eksplorasi secara luas atas ayat-ayat yang dikaji tersebut. Selanjutnya ia menjelaskan ayat pertama sûrah al-fâtihah, lapadz بسم اهلل الرحمن الرحيم, apakah termasuk ayat pertama sûrah al-Fâtihah atau bukan. Ahmad Sanusi menjelaskannya dengan mengutif pendapat para ahli dalam seperti Imam Syafii‘, Imam Hanbalî dan sebagian sahabat dan Tâbi‘în seperti sepert Ibnu ‗Abbâs, Ibnu ‗Umar, Abû Hurairah dan lain sebagainya dan juga beberapa kutipan hadist yang berpendapat bahwa lapadz diatas, merupakan bagian atau satu ayat dari sûrah-sûrah dalam al-Quran termasuk dalam Sûrah al-Fâtihah selain dari Sûrah al-Taubah. Kemudian ia mengemukakan pendapat kedua dari Imam Hanafî, Imam Mâlik, dan Aizâ‗î yang berpendapat bahwa lapadz diatas bukan bagian (ayat) dari Sûrah al-Fâtihah, juga bukan dari sûrah-sûrah lainnya, melainkan satu ayat dari Sûrah al-Naml.122 Disini bisa dilihat bahwa Ahmad sanusi tidak membenarkan salah satu dari pendapat diatas. Dia sengaja memaparkan perbedaan tersebut agar pembaca dapat memilih pendapat yang memang dianggap benar oleh pembaca dan dijadikan bahan renungan serta tambahan wawasan bagi para pembacanya. Contoh lain adalah ketika ia menjelaskan tentang pembukaan sûrah, seperti dalam Sûrah al-Baqarah ayat 1: ُاٌــ 122 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 1, Oktober 1934, h. 19-20. mengenai ayat pertama ini para ahli tafsir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) kelompok pertama berpendapat bahwa ُاٌــ itu hakikatnya merupakan ilmu yang terbungkus dan rahasia yang terhalang, yang tiada yang mengetahui selain Allah SWT, dan (2) maka mereka menetapkan bahwa ُاٌــ itu diketahui maksudnya, pendapat inipun terbagi lagi: pertama, dari para kelompok mutakallimîn, Imam Sibaweh, dan Imam Kholîl yang berpendapat bahwa huruf itu sebagai nama sûrah, kedua, (tanpa menyebut sumber) bahwa huruf itu adalah setengah dari nama Allah. Ketiga, kelompok ini berpendapat bahwa setiap hurufnya merupakan isyarah dari nama-nama Allah; alifnya bermakna ahad, awwal, Akhir, azallî, ‘Abadî, dan lain-lain. Lamnya merupakan isyarah dari Latîf, dan mimnya, merupakan isyarah dari mâlik, mâjid, dan mannân.123 Dengan penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa Sistematika penyajian tafsir yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsir Tamsyiyyat adalah runtut berdasarkan tertib susunan surat yang ada dalam Mushaf Utmani atau Tartîb al-Mushaf, bukan berdasarkan atas turunnya wahyu atau Tartîb al-Nuzuli. 2. Bentuk penyajian Bentuk penyajian tafsir yang dimaksud disini adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh Mufassir dalam menafsirkan al-Qur‘an. Dalam bentuk penyajian ini ada dua bagian: (1) Bentuk penyajian global, dan (2) bentuk penyajian rinci, yang masing-masingnya mempunyai ciri-ciri tersendiri. Bentuk penyajian yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah bentuk penyajian global. Yang dimaksud dengan bentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian dalam penyajian karya tafsir dimana penjelasan yang 123 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 1, Oktober 1934, h. 25-28 dilakukan cukup singkat dan global, yang biasanya bentuk ini lebih menitik beratkan kepada inti dan maksud ayat ayat yang dikaji. Bentuk ini bisa diidentifikasi melalui model analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian terjemah, sesekali asbâb al-Nuzûl, dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang dikaji. Misalnya, ketika Ahmad Sanusi menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 26. ْ َ ٍَُّْٛا فٍََؼَُِٕٛٓ ءَا َ ٌَِب فَؤََِب اٌَزَْٙلَٛضَخً فََّب فُٛال َِب ثَؼ ً َة َِخ َ ِى أَْ ٌَضْش ِح ْ َال ٌَغْت َ ٌٍََْٗ ا َ ِإ ِٗ ًِ ث ُض ِ ٌُ ال ً ََزَا َِخِْٙ َِبرَا أَسَا َد اٌٍَ ُٗ ث َ ٌُُٛٛا فٍََمُٚٓ وَفَش َ ٌَِأََِب اٌَزٚ ُْ ِِٙك ِِٓ سَث ُ َأََٔ ُٗ اٌْح ٍَِٓال اٌْفَبعِم َ ً ثِ ِٗ ِإ ُض ِ ٌُ ََِبٚ ْذِي ثِ ِٗ وَخٍِشًاٌََٙٚ وَخٍِشًا ―Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau syang lebih besar daripadanya, adapun orang-orang yang beriman, maka mereka mengetahui bahwa perumpamaan itu adalah benar tuhan mereka, tetapi mereka yang kâfir mengatakan: ―apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?‖ . Dengan perumpamaan itulah banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fâsiq‖ Asbâb al-Nuzûl ayat ini adalah di zaman Nabi, orang-orang musyrik dan Yahudi, tatkala diturunkannya Sûrah al-Nahl (tawon), Sûrah al-‗Ankabût (laba-laba), dan juga Sûrah al-Naml (semut), maka mereka berkata: ―buat apa Tuhan menceritakan sagala perkara-perkara yang rendah itu?‖. Maka diturunkanlah ayat ini.124 Karena dalam pandangan akal binatang yang kecil itu nyata, aneh dan ajaib. Misalnya seumpama nyamuk, tengoe dan agas, yang semuanya itu hampir tidak terlihat oleh mata kita kerena ukurannya yang memang sangat kecil. Padahal hakikatnya semua binatang kecil juga mempunyai gigi, mulut, tenggorokan, berurat, bertulang dan berusus. Maka menurut ilmu pengetahuan dan pemeriksaan, tidak akan ada alat yang bisa membuat yang seperti itu, bahkan walaupun dikumpulkan seluruh manusia sedunia untuk membuat yang seperti itu, tentu mereka tidak akan berdaya. Maka perumpamaan yang 124 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h. 99-101 demikian itu sungguh nyata, menunjukkan kekuasaan yang luar biasa, yaitu kekuasaan Tuhan.125 Kemudian Ahmad sanusi menggarisbawahi kata (Yastahyî) asal katanya malu, tetapi makna itu mustahil buat Allah, karena malu itu terbitnya daripada takut dicela. Maka ia mengambil maknanya dengan (‗aqibah) malu, yaitu berpaling atau meninggalkan. Selanjutnya ketika ia menjelaskan kata (idlâl) yang mempunyai makna menyesatkan atau bid‘ah, ia terlihat memasukkan wacana keindonesiannya. Ia mengatakan bahwa tidak semua perkara yang tidak dilakukan pada zaman Nabi adalah bid‘ah. Sambil mengutip sebuah hadis, ia mengemukakan bahwa bid‘ah itu tidak semuanya menyesatkan. Ada juga bid‘ah yang baik.126 Dalam suatu karya tafsir jarang ditemukan memiliki metode penafsiran. Dengan menggunakan tehnik atau bentuk penafsiran yang tunggal. Suatu tafsir tidak selamanya dalam menafsirkan bentuk global atau terperinci saja. Suatu tafsir dapat disebut mempunyai bentuk penyajian global tetapi terkadang ia juga termasuk ke dalam bentuk penyajian rinci, sebab seringkali ketika ia menjelaskan suatu ayat, ia menafsirkan ayat itu dengan sangat detail dan jelas. Tetapi terkadang dalam menjelaskan ayat lain ia juga hanya memakai bentuk penyajian yang global.127 Begitu pula dengan tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, Ahmad Sanusi terlihat menggunakan bentuk penyajian rinci ketika menafsirkan (Q.S 2:183) sampai menghabiskan dua puluh dua halaman penuh. 128 Sementara ia menjelaskan ayat lainnya hanya menjelaskan secara singkat saja. Hanya saja frekuensinya lebih banyak menggunakan penyajian global daripada bentuk penyajian rinci. 125 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h.101 Sanusi, Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 4, Januari 1935, h.102-104 127 Lihat Mamat S. Burhanuddin, Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten (Yogyakarta: UII Press, 2006), h.49 126 128 Ahmad Sanusi, TafsirTamsiyyah al-muslmîn, no. 16, Januari 1936, h. 509-531 3. Bentuk penulisan Yang dimaksud dengan bentuk penulisan sebuah karya tafsir di sini adalah mekanisme penulisan yang menyangkut aturan tekhnis dalam penyusunan keredaksian sebuah literatur tafsir. Aturan yang dimaksud adalah tatacara mengutip sumber seperti, penulisan catatan kaki, penyebutan catatan kaki, penyebutan buku-buku yang dijadikan rujukan serta hal-hal lain yang menyangkut konstruksi keredaksionalan. Dalam kaitan ini, ada 2 hal pokok: (1)Bentuk penulisan ilmiah, dan (2) bentuk penulisan non ilmiah.129 Dalam bentuk penulisan yang terdapat dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, aturan di atas tidak terlihat. Walaupun di beberapa tempat Ahmad Sanusi menyebutkan sumber rujukannya, tetapi ia tidak memenpatkannya dalam bentuk catatan kaki, catatan perut, dan lain sebagainya seperti halnya tatacara penulisan ilmiah. Hal ini disebabkan, pertama, pada waktu tafsir ini ditulis sekitar tahun 1930-an, tata cara penulisan ilmiah belum sepopuler tahun-tahun sesudahnya terutama periode kontemporer. Kedua, motivasi semula penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia, yang waktu itu pendidikannya masih rata-rata dibawah bangsa lain terutama tentang cara tulis menulis, dan bukan untuk kepantingan akademisi yang mengharuskan memakai tata cara penulisan ilmiah. Dengan kata lain Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan mempunyai bentuk penulisan tafsir yang disebut bentuk penulisan non ilmiah. 4. Sifat Mufasir Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seorang pengarang bisa melakukannya secara individual, kolektif dua orang atau lebih dan bahkan penyusun tafsir tersebut bisa membentuk tim atau panitia khusus secara resmi. 129 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 172 Adapun Ahmad Sanusi ketika menulis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini hanya seorang diri baik dari awal sampai akhir atau dengan kata lain Ahmad Sanusi dalam menulis tafsir mempunyai sifat individual. 5. Sumber-sumber rujukan Sumber rujukan adalah literatur tafsir yang digunakan sebagai sumber rujukan oleh penafsir, baik dari segi bahasa, generasi. Literatur tafsir tersebut bisa berupa karya tafsir berbahasa arab, literatur bahasa arab yang jadi acuan, literatur bahasa Inggris, literatur bahasa Indonesia atau karya-karya lain yang berhubungan.130 literalatur tafsir yang digunakan oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn hampir seluruhnya didominasi oleh referensi klasik Timur Tengah. Ini bisa dilihat ketika dia menjelaskan sebuah kisah dalam Sûrah al-Baqarah ayat 102: ……. د َ ََُِٚبسٚ د َ ًُٚ َ٘بس َ ٓ ثِجَب ِث ِ ٍَْي ػٍََى اٌٍََّْى َ ََِآأُٔ ِضٚ ……… Dalam menjelaskan kisah tentang Hârût dan Marût, Ahmad Sanusi mengutif penjelasannya dari beberapa tafsir klasik. Diantaranya Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razî, Tafsîr Rûh al-Ma‘anî karya al-Alûsi, Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya alKhâzin, Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain ibn Mas‗ud al-Bagawî, Tafsîr Ibn Katsîr karya Ibn Katsîr dan lain sebagainya.131 Walaupun di beberapa tempat ia memakai referensi tafsir modern, seperti Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari, ketika menyimpulkan semua kisah-kisah dalam Sûrah al-Baqarah bahwa serita itu tidaklah nyata dan umat Islam diperintahkan untuk mengambil hikmah dari cerita tersebut.132 130 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 186-188 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 9, Juni 1935, h. 297-304 132 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no.16, Januari 1936, h. 487-489 131 Berikut adalah daftar tafsir-tafsir yang dijadikan sumber rujukan dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn: a. Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya husain ibn Mas‗ud al-Bagawi b. Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsir c. Tafsîr Tanwîr al-Miqbâs karya Fairuzabadi d. Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fachruddin al-Razy e. Tafsir Madârik al-Tanzîl karya al-Nasafi f. Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al-Khâzin g. Tafsîr Rûh al-Ma‘anî karya al-Alûsi h. Tafsîr al-Jawâhir karya Tantowi Jauhari Dominasi literatur tafsir klasik Timur Tengah ini tidak hanya terjadi pada penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn. Federspiel dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa, ketergantungan terhadap referensi dari dunia Arab ini telah mewabah dalam literalatur tafsir di Indonesia semenjak sebelum dan pada masa awal abad ke-20.133 D. Aspek Metodologis Penulisan Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn Yang dimaksud dengan aspek metodologis penulisan adalah konstruksi ―dalam‖ yang berkaitan dengan prinsip metodologis yang digunakan dalam proses penafsiran. Dalam aspek metodologis ini, arah kajian bergerak pada tiga wilayah: (1) metode penafsiran, (2) nuansa penafsiran, dan (3) pendekatan tafsir. 133 Howard M.Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul (Bandung: Mizan, 1994), h. 280-28 1. Metode Penafsiran Metode tafsir yang dimaksud disini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran al-Quran. Dalam hal ini, metode penafsiran terbagi tiga, yaitu: (1) metode tafsir riwayat, (2) metode tafsir pemikiran, dan (3) metode tafsir interteks. Metode penafsiran yang ditempuh oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah metode tafsir tafsir riwayat. Hal ini karena dalam metode penafsirannya, Ahmad Sanusi banyak sekali menjadikan riwayat Nabi maupun sahabat yang dijadikan sebagai sumber penafsiran dalam menafsirkan ayat al-Quran. Walaupun dibeberapa tempat ia memakai metode pemikiran seperti ketika ia menafsirkan Sûrah alTaubah ayat 60: ة ِ َفًِ اٌشِلَبٚ ُْ ُُٙثٍَُُٛاٌُّْؤٌََفَخِ لٚ َبٍٍََْٙٓ ػ َ ٍٍَِِِاٌْؼَبٚ ٓ ِ ٍَِاٌَّْغَبوٚ د ٌٍِْفُمَشَا ِء ُ إََِّٔب اٌظَذَلَب ٌُ ٍِهلل ػٍٍَِ ٌُ حَى ُ َاٚ هلل ِ ٓا َ ِِ ٓ اٌغَجًٍِِ فَشٌِضَ ًخ ِ َْاثٚ هلل ِ ًا ِ ٍَِفًِ عَجٚ ٓ َ ٍَِِِاٌْغَبسٚ ―Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan, yang diwajibkan Allah; dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.‖ Ayat ini menerangkan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat. Menurut Ahmad Sanusi mustahiq menurut ayat ini adalah: pertama, fakir, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa memenuhi setengah atau kurang dari kebutuhannya sehari-hari. Kedua, miskin, yaitu orang yang penghasilannya hanya bisa menutupi lebih sedikit dari setengah dari keperluannya sehari-hari. Ketiga, ‘âmilîn, yaitu orang yang ditunjuk oleh ulama setempat sebagai pengumpul dan pembagi zakat kepada para mustahiqnya. Hak sebagai ‘âmilîn ini bisa gugur apabila, (1) para wajib zakat itu membagikannya sendiri tanpa melalui ‘âmilîn, (2), dengan mengutif kitab jika ternyata para ‘âmilîn tersubut adalah arang yang mampu dari segi materi. Keempat, golongan mu’allaf , yaitu orang yang lemah imannya, dengan ukuran jika dia dibujuk untuk pindah kepada agama lain, maka kemungkinan besar ia akan menjadi (murtad). Oleh karena itu, zakat tersebut harus diberikan kepadanya sebagai penguat imannya. Kelima, budak, yaitu semua budak (orang yang dibeli) yang sudah perjanjian dengan tuannya buat menebus kebudakannya dengan cara mencicil. Keenam, golongan ghârimîn, yaitu orang yang berhutang akibat menyelesaikan perselisihan dua pihak yang muslim. walaupun orang itu mampu, tetap berhak menerima zakat. Ketujuh, golongan sabîl Allah, yaitu orang yang berperang dijalan Allah. Kedelapan, ibn al-sabîl, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan sedang berkunjung ketempat pengumpulan zakat, sementara orang tersebut tidak mempunyai uang tidak mempunyai biaya untuk kembali ketempat asalnya.134 7. Nuansa tafsir Yang dimaksud dengan nuansa tafsir adalah ruang dominan sebagai sudut pandang dari suatu karya tafsir. Misalnya nuansa kebahasaan, teologi, sosial, kemasyarakatan, fiqh, psikologis dan lain-lain. Nuansa tafsir dapat disebut juga dengan corak tafsir. Karena dari corak yang dominan inilah sebuah karya tafsir yang satu dapat dibedakan dengan karya tafsir lain. Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini bisa dikatakan sebagai tafsir yang memiliki nuansa/corak fiqhi. Walaupun dalam cover belakang dari setiap edisi yang dikeluarkan oleh penerbitnya, tetapi banyak masalah-masalah mengenai fiqh yang diprioritaskan untuk dibahas lebih mendetail. Sehingga dominasi nuansa fiqh sangat kental dan terasa 134 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 2, November 1934, h. 54 dalam Tafsîr Tamsyiyyat. Hal ini bisa terlihat ketika Ahmad Sanusi menjelaskan Sûrah alBaqarah ayat 3: َََُِِّْٛب سَصَلَْٕبُُْ٘ ٌُْٕفِمٚ…… ―……..dan menafkahkan sebahagian rezeki kepada mereka.‖ Dalam menjelaskan penggalan ayat diatas, Ahmad Sanusi menggaris bawahi kata ٌَُُْْٕٛفِم yang ditafsirkan olehnya sebagai zakat. Selanjutnya ia menjelaskan segala aspek zakat beserta hukum-hukumnya seperti: definisi zakat, macam-macam benda yang wajib dikeluarkan zakatnya, macam-macam zakat, tempat mengeluarkan zakat, mustahiq zakat, rahasia dibalik zakat, keutamaan zakat dan lain sebagainya, yang pembahasannya menghabiskan sebelas halaman.135 Contoh lainnya adalah ketika Ahmad sanusi menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 183, yang membicarakan tentang puasa. Ia membahas segala aspek tentang puasa tersebut mencapai dua puluh dua halaman,136 dan juga ketika menjelaskan Sûrah al-baqarah ayat 196-198, yang berbicara mengenai ketentuan haji dan umrah, ia membahasnya sampai menghabiskan empat puluh tujuh halaman. Dari gambaran diatas, kita bisa menilai bahwa Ahmad Sanusi cenderung tertarik menjelaskannya lebih detil dan memberikan porsi yang lebih banyak terhadap ayat-ayat al-Quran yang berbicara mengenai persoalan hukum.sengga penulis berasumsi bahwa nuansa tafsir yang dominan mewarnai Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah nuansa fiqh. 135 136 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no.2, November 1934, h.. 47-58 Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn, no. 16-17, Januari-Pebruari 1936, h. 509-531 8. Pendekatan Tafsir Pendekatan tafsir di sini dimaknai sebagai titik pijak keberangkatan dari proses tafsir. Itu sebabnya, dengan pendekatan tafsir yang sama bisa saja melahirkan corak tafsir yang berbeda-beda. Ada dua pendekatan yang dimaksud yaitu yang berorentasi pada teks dalam dirinya (pendekatan tekstual) dan berorentasi pada konteks pembaca (penafsir) yang dikenal dengan pendekatan kontekstual.137 Pendekatan yang dilakukan oleh Ahmad Sanusi dalam Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn adalah pendekatan kontekstual. Ini bisa terlihat ketika ia menafsirkan surat alTaubah ayat 60 yang berhubungan dengan masalah mustahiq zakat.138 Menurut Ahmad Sanusi, mustahiq zakat yang ada di pulau Jawa pada masa itu hanya lima golongan di antaranya: fakir, miskin, ,muallap, gharîm dan Ibnu Sabil. Sedangkan dalam surat alTaubah tadi yang berhak menerima zakat ada tujuh golongan sisanya al-riqâb (budak) dan amil. Yang dua golongan terakhir ini tidak layak menerima zakat karena perbudakan hanya berlaku pada zaman Nabi. Adapun alasan amil tidak berhak menerima zakat karena pada masa Ahmad Sanusi amil zakat diurus oleh para pihak ‗pekauman‘ yang notabene orang mempunyai jabatan dan berasal dari keturunan ningrat yang sangat mampu dari segi materi.Contoh lainnya adalah ketika menafsirkan Sûrah al-Baqarah ayat 29: ………….رٍِّؼًب َ ِأل ْسع َ ك ٌَىُُ َِب فًِ ا َ ٍَََ اٌَزِي خُٛ٘ ―Dialah Allah yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…….‖ Menurutnya, bahwa segala sesuatu yang ada di bumi semuanya untuk umat manusia umumnya dan khususnya umat Islam dalam rangka melaksanakan perintah Allah, akan tetapi orang-orang Islam tersebut menyia-nyiakan pemberian tersebut. 137 138 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 247-248 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no.2, 1934, h. 55 Kemudian, ia mengkritik sikap umat Islam—terutama guru-guru agama—yang tidak berusaha untuk mencari ilmu pengetahuan yang akibatnya umat Islam terjerumus ke dalam jurang kemelaratan dan kehinaan, padahal Allah menyuruh hambanya untuk mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.139 Kemudian dengan nada keras ia berkata bahwa: ―Goeroe-goeroe dan santri-santri jang lantjoeng, jang mendjadi penipoe agana itoe, berpoera-poera zoehoed, sobar, qana‘ah, dengan mentjeritakan saoempama hadist-hadist itoe, padahal hakekatnja soepaja mereka itoe tiada mendapat maloe daripada kemalesannja, dan soepaja dianggap tapa dari pada mendjadi banjak kepadanya sidekah orang-orang. Inilah goeroe-goeroe yang meroeksakkan ‗alam Islam….‖. Lebih lanjut ia berkata yang khusus ditujukan kepada guru-guru tarekat: ―Teroetama daripada goeroe-goeroetarekat, jang bodo itoelah jang meroeksakkan agama Islam, dan ‗alam Islam dan oemmat Islam. Maka berhatihatilah kaoem Islam di dalam mengambil ‗ilmoe agama Islam, djanganlah mengambil ‗ilmu itoe, daripada goeroe Islam jang tiada benar kelakoennj. Atau seoempama boenglon tobi‘atnja, lebih-lebih wajib berhati-hati didalam mengambil tarekat, maka lebih dahoeloe wadjib diketahoei bagaimana keadaan goeroe-goeroe itoe, ia tabahhoer dengan ‗ilmu sjara‘, seoempama Tafsier, Hadits, Faqieh dan perabot-perabotnja, dan bagaimana tobi‘at goeroe itoe, gemar daripada pengasih orang atau daripada sidkah-sidkahnja. Maka apabila terdapat goeroe itoe memang bodo atau seorang jang ingin oleh-oleh atau sidkah dari pada anak muridnja, maka djaganlah mengambil tarekat daripadanja, kerna itoelah soeatu ratjun didalam agama Islam‖.140 Tetapi ia bukan mengkritik sistem tarekatnya, bahkan ia menempatkan ilmu tarekat di atas syari‘ah. Baginya antara tarekat dan syari‘at seperti mahkota dan pakaian, jika seorang memakai mahkota tanpa pakaian, tentu orang itu tidak 139 140 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h.105 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h. 114 disebut raja melainkan orang gila. Dengan mengutip ayat al-Qur‘an, hadist dan pendapat ulama, Ahmad Sanusi meredefinisi arti-arti seperti zuhud, qana‘ah, sabar, tawakkal, fakir dan miskin. Menurutnya zuhud itu bukanlang membuang dunia sama sekali, tetapi maksudnya adalah dunia itu jangan terus berada dalam hati atau menjadi penghalang dalam kekhusuan beribadah. ―dan adapun artinya kona‘ah, maka wadjib ridlo akan segala pendapetan pentjahariannja, dan djangan moering-moering atau keloe-kesah atau menjantel hati akan harta benda orang, boekan sekali-kali berarti wadjib memboeang doenia atau harta benda,… dan adapoen artinja sobar, maka berkata Imam Djoenaedi alBagdadi…artinya: ‗jaitoe menahan napsoe, atas perkara jang tiada disoekainja, dengan menghilangkan kaloe-kesah dan kedjengkelan dan boekan artinja sobar itoe melemahkan diri atau memboeang doenia‖. Setelah mendefinisikan kembali arti-arti di atas, Ahmad Sanusi mengusulkan agar umat Islam cukup dan sempurna kehidupan dunianya, ia berkata: ―jang mandjadi oesoel didalam ketjoekoepan dan kasampoernaan kehidoepan itoe tiga perkara: (1) ‗Zaro‘ah‘, jaitoe perkara pertanian, karena pertanian itoe jang mendjadi dasarnja kehidoepan, kerna sebagian besar daripada makanan, itoe perhasilan pertanian, maka sekalian bangsa jang tiada menjampernakan akan pertaniannja, tentoe kahidoepannja koerang tjoekoep, (2) ‗tidjaroh‘, jaitoe perdagangan, kerna berdagang itoe jang mendatangkan segala kekajaan, saperti jang telah terseboet di dalam hadist:‖Bahwasanja dagang itoe, jang mendatangkan 90 pCt. Rizki dan kekajaan, maka tiap-tiap bangsa jang kurang madjoe dan koerang loeas perdagannja, nistjaja tiada sampoerna kekajaannja atau tiada bisa djadi kaja, (3) ‗sona‘at, jaitoe segala pekerjaan tangan daripada segala pabriek-pabriek (masin-masin), karena sona‘at itoe chadamnja segala peroesahaan dan pergaoelan hidoep, bilamana suatu bangsa koeat dan tegoeh dan sona‘atnja, nistjaja tinggi dan moelia daradjat kahidoepannja, oleh karena sona‘a menjadi chadamnja segala peroesahaan dan pergaoelan hidoep, makaj djoendjoengan kita nabi Moehammad memoedji dan menggemarkan akan sona‘at itoe‖.141 Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa ahmad sanusi menafsirkan ayat dengan menarik maksud ayat ke dalam konteks pembaca (penafsir) dimana ia hidup dan 141 Ahmad Sanusi, Tafsîr Tamsyiyyat, no. 4, Januari 1935, h. 119 berada, dengan pengalaman budaya,sejarah dan sosialnya sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendekatan tafsir yang digunakan dalam Tafsîr Tamsyiyyat alMuslimîn ini adalah pendekatan tafsir kontekstual. Pembahasan tentang aspek teknis dan aspek metodologis tafsir yang dipaparkan diatas untuk lebih mudahnya penulis merangkumnya dalam sebuah tabel yang dibandingkan dengan dua karya tafsir Ahmad Sanusi lainnya seperti sederhana dibawah ini: Aspek Teknis penulisan 1.Sistematika Penyajian Tafsir 1.Berdasarkan Urutan Mushaf Tamsyiyyat alMuslimîn Raudat al‘Irfân Maljâ’ alTâlibîn x x x X x x X x x X x x X x x 2.Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu 3.Tematik 2.Bentuk Penyajian Tafsir 1.Rinci 2.Global 1.Ilmiah 3.Bentuk Penulisan Tafsir 2.Nonilmiah 1.Individual 4.Sifat Mufassîr 2.Kolektif 1.Buku Tafsir 5.Sumber Rujukan 2.Buku Bukan Tafsir Aspek Metodologis 1.Metode Tafsir 1.Metode Tafsir Riwayat X 2.Metode Tafsir Pemikiran X x X x x 3.Metode Tafsir Interteks 2.Nuansa Tafsir 1.Fiqh x 2.Theologi x 3.Pendekatan Tafsir x 1.Tekstual X 2.Kontekstual Bila dilihat dari tabel di atas, dari ketiga tafsir yang ditulis oleh Ahmad Sanusi baik dari segi aspek teknis maupun metodologisnya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan-perbedaan yang ada tersebut, pertama, dari segi bahasa. Bahasa yang dipakai dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn adalah bahasa melayu dengan huruf latin, sedangkan dalam Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn dan Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân bahasa yang dipakai adalah bahasa sunda dengan menggunakan huruf Arab (pegon ). Kedua, dari segi paparan penjelasan yang diberikan. Dalam Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn, pertama-tama diberikan pendahuluan, kemudian menjelaskan nama sûrah, menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika ada), dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat. Sedangkan dalam Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, pendahuluan diberikan penjelasan yang lebih luas, seperti, nama-nama al-Quran, jumlah sûrah dalam al-Quran, jumlah ayat dalam al- Quran, jumlah kata, jumlah kalimat, jumlah huruf, dan sejarah pengumpulan al-Quran. Kemudian setelah itu menafsirkan penggalan kata dalam satu ayat, mencantumkan asbâb al-Nuzûl (jika ada), dan memberikan penjelesan umum seputar kajian ayat, dan yang terakhir dijelaskan tentang perbedaan qira’ah. Adapun dalam Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân tidak diberikan pendahuluan seperti halnya dua tafsir lainnya. Dalam menjelaskan ayat, tafsir ini menggunakan metode catatan kaki disamping kiri dan kanan ayat al-Quran. Tafsir ini bisa dikatakan lebih mendekati terjemah al-Quran dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, perbedaan yang ketiga adalah dari segi nuansa tafsir. Bila tafsir Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn dan Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung bernunsa fiqh, maka tafsir Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn lebih cenderung kepada nuansa theologi. Hal ini dikarenakan tafsir ini ketika akan membahas ayat tentang teologi, maka Ahmad sanusi memberikan penjelasan yang lebih luas dan mendetail. Perbedaan yang keempat adalah, Dari segi pendekatan tafsir. Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimīn dalam pendekatannya lebih terlihat cenderung kontekstual. Sedangkan Tafsîr Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn dan Tafsîr Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân lebih cenderung tekstual. E. Analisis Penulis Yang dimaksud dengan analisis disini adalah penjelasan kelebihan dan kekurangan dari Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn karya Ahmad Sanusi. Adapun kelebihannya adalah, pertama, tafsir ini salah satu pelopor dalam penulisan tafsir yang memakai bahasa Melayu/Indonesia khususnya didaerah Jawa Barat. Kedua, penulisan tafsir ini dalam pembahasannya menyertakan transliterasi al-Quran (mendobel huruf Arabnya dengan cara baca latin) yang memudahkan bagi pembacanya yang tidak bisa membaca huruf Arab. Ketiga, tafsir ini diterbitkan dengan memakai format yang berbeda dari tafsir konvensional lainnya, yakni seperti format sebuah majalah yang dikeluarkan dalam satuan edisi (satu bulan sekali). Hal ini pada masa itu, merupakan terobosan baru bagi penulisan karya tafsir di Indonesia. Adapun kekurangan tafsir ini adalah, pertama, tafsir ini dalam tampilannya tidak mencantumkan nomor urut ayat. Hal ini bisa membuat kesulitan bagi para pembacanya untuk menentukan nomor urut ayat yang sedang dibahas. Kedua, tafsir ini—dengan format majalahnya—disamping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kekurangan. Dengan bentuk yang diterbitkan tiap edisi satu bulan sekali ini, bisa mengakibatkan tafsir ini mudah dilupakan oleh para pembacanya karena sifatnya yang terpisah-pisah, tidak seperti layaknya tafsir konvensional lainnya. Adapun kekurangan yang ketiga, adalah tafsir ini tidak selesai penulisannya secara keseluruhan (30 Juz). BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian bab-bab yang telah dipaparkan dalam bab-bab yang lalu telah dijelaskan bahwa sebuah tafsir terdiri dari aspek teknis penafsiran serta aspek metodologis penafsiran. Penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Aspek teknis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah bisa dijabarkan sebagai berikut: pertama, sistematika penyajian Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah runtut sesuai dengan urutan tertib ayat dan sûrah seperti dalam Mushaf ‘Usmâni. Kedua, bentuk penyajian yang digunakan adalah rinci walaupun dalam tempat lain terkadang global. Ketiga, bentuk penulisan yang dipakai oleh tafsir ini adalah non ilmiah, yakni tidak seperti skripsi atau tesis yang ditulis untuk keperluan akademik. Keempat, Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn ini mempunyai sifat individual atau ditulis oleh satu orang penulis, dan yang terakhir, Kelima, tafsir ini memakai sumber-sumber rujukan buku tafsir klasik sepert Tafsir Ma’alim al-Tanzîl karya Husain ibn Mas‗ûd al-Bagawi, Tafsîr Ibn Katsir karya Ibn Katsîr, Tafsîr Mafâtih al-Ghaib karya Fachruddin alRazy, Tafsir Lubâb al-ta’wîl karya al-Khâzin, dan Tafsîr Rûh alMa‘ani karya alAlûsi. 2. Sedangkan aspek Metodologis Tafsîr Tamsyiyyat al-Muslimîn adalah, Pertama, Tafsir ini memakai metode penafsiran riwayat. Kedua, Tafsir Tamsyiyyat ini memiliki nuansa atau corak fiqh, karena pembahasan dalam tafsir tersebut banyak menitikberatkan terhadap masalah fiqh. Ketiga, pendekatan tafsir yang dipakai dalam tafsir ini adalah metode pendekatan kontekstual. B. Saran-Saran Penelitian terhadap karya tafsir di Indonesia sampai sejauh ini dirasakan masih sangat minin dan bisa dikatakan kurang lengkap. Di samping itu para peneliti tradisi penafsiran di Indonesia banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti dari ―Barat‖ dibanding orang asli Indonesia sendiri sebagai pewaris tradisi. Padahal khazanah tafsir yang telah dirintis sejak beberapa abad lalu tersebut, sangat kaya dan terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja, karena bagaimanapun tradisi penulisan tafsir merupakan salah satu bagian penting dari sebuah peradaban negara Indonesia. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya yang lebih konprehensif terhadap karya tafsir Indonesia, penulis sarankan agar lebih diperhatikan lagi, karena masih banyaknya wilayah kajian tafsir di Indonesia yang belum tersentuh oleh para peneliti, seperti karya tafsir Ahmad Sanusi ini. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1998, cet ke-IV Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, Cet. ke-II _____, Perkembangan Tafsir di Indonesia, Solo: Tiga Serangkai, 2003, cet. ke-1. Basri, Hasan, Laporan penelitian dan Penulisan KH. Ahmad Sanusi, Proyek penelitian Departemen Agama, 1986 Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: PT. Pustaka Jaya, 1985 Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, Cet-3 Burhanuddin, Mamat S., Hermeuneutik al-Qur’an ala Pesantren: Analisis Terhadap Tafsir Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten, Yogyakarta: UII Press, 2006 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Jawa Barat, Jakarta: Debdikbud, 1984 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Study Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982 al-Dzahabî, Muhammad Hussain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Beirût: Markaz al-Tsabît al-‗Arabî, 1989 Federspiel, Howard M., Kajian al-Quran di Indonesia: dari M. Yunus hingga Quraisy Syihab, terj. Tajul, Bandung: Mizan, 1994 Feener, R., Michael, Notes Towards the History of Qur’anic Exegesis in Southeast Asia, Studia Islamika, Vol. 5, No. 3, 1998 Gunsaikanbu, Orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa, Yogyakarta: UGM Press, 1986 Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia; dari Heurmeneutika hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003, Cet. I Horikosyi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987, Cet. Ke-1 Iskandar, Mohammad, Kiyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi, Jakarta: Pengurus besar Persatuan Ummat Islam (PUI), 1993 _____, Para Pengemban Amanah; Pergulatan pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001, Cet. 1 Lajnah Ta’lîf wa al-Nasr AII, Mindzarat al-Islâm wa al Îmân, Sukabumi: al-Ittihâd, 1935 Mawardi, A. Mukhtar, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1985 Noer Deliar, Gerakan Modern dalam Islam 1900-1942, Jakarta: LP3S, 1996, Cet. Ke-8 _____, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987 Nurtawab, Ervan, Khazanah Tafsir Al-Quran Klasik di Nusantara: Tradisi Penulisan Tafsir dan Terjemah Al-Quran dalam Masyarakat Jawa dan Sunda Hingga Abad Ke-19 M, Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, 2003 Pijper, G. F., Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia 1900-1950, Jakarta: UI-Press, 1985 Riddlell, Peter, Earliest Qur’anic Exegetical activity in the malay-speaking states, Archipel, 1989 Rosidi, Ajip, Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, Jakarta: PT. Pustaka Jaya, 2000 Sanusi, Ahmad, Tamsyiyyat al-Muslimîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Sukabumi: AlIttihad, 1934 _____, Raudat al-‘Irfân fî Ma’rifat al-Qur’ân, Sukabumi: Yayasan Asrama Pesantren Gunung Puyuh, t.th. _____, Maljâ’ al-Tâlibîn fî Tafsîr Kalâm Rabb al-‘Âlamîn, Jakarta: Habib Usman, 1931 _____, Qowânin al-Dîniyyah Sukabumi: Sayyid Yahya bin ‗Ustman, 1928 _____, Kasyf al-Zunūn fî Tafsīr Yamassuhû illâ al-Mutahharûn, Sukabumi: alIttihad, 1938 _____, Tafrîj Qulûb al-Mu’minîn fî Tafsîr Kalimâh Sûrah Yâsîn, Tanah Abang: Sayyid Yahya, 1936 _____, Hidâyat al-Qulûb al-Sibyân fî Fadâ‘il Sûrat Tabârak al-Mulk min alQur’ân, Sukabumi: Masduki, 1936 _____, Tanbīh al-Hayrân fî Tafsîr Sûrah al-Dukhân, Tanah Abang: Sayyid Yahya, tt _____, Kanz al-Rahmah wa al-Lutf fî Tafsîr Sûrah al-Kahf , Batavia: Habib Usman, 1932 _____, Kasyf al-Sa‘âdah fî Tafsîr Sūrah al- Wâqi‘ah ,Sukabumi: Masduki, 1936 _____, Ushûl al-Islâm fî Tafsîr Kalâm al-Mulk al-‘alâm fî Tafsîr Sûrat alFâtihah, Bogor: Ichtiyar, 1935 Shaleh, Anwar, Sedjarah Perdjuangan Pemuda Persatuan Ummat Islam, Bandung: Pimpinan Pusat PPUI, 1966 Shihab, Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 1992 Sipahoetar, A.M., Lukisan Tentang Pemimpin, Semarang: Pustaka Harapan, 1946, cet. Ke-III Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, Cet. Ke-1 Suryadibarata, Sumardi, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, cet. ke-16, h. 39 Departemen Agama R.I., al-Qur’ān dan Tafsirnya, Yogyakarta: UII, 1995 Wanta, S., KH. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya, Jakarta: PBPUI, 1986 Yamin, Muhammad Naskah Persiapan Undang-Undang 1945, Jakarta: Siguntang, 1971, cet. ke-2 Yusuf, Yunan, Karakteristik Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’ān, No. 4, Volume III, 1992 Lampiran 1 Biografi Kronologis Ahmad Sanusi (1888-1950) 1888 Lahir di Desa Cantayan Cibadak Sukabumi 18 September 1888. 1909 Menikah dengan Siti Juwariah. Pergi menunaikan ibadah Haji yang kemudian menetap selama 6 tahun sambil memperdalam ilmu Agama. 1914 Masuk jadi anggota Sarekat Islam (SI) di Mekkah. Menulis buku pertamanya di Mekkah dengan judul Nahrah ad-Darhām. 1915 Kembali ke Indonesia. Menjadi penasehat organisasi (adviseur) Sarekat Islam (SI) Sukabumi. Tetapi pada tahun yang sama ia menyatakan keluar dari organisasi tersebut. 1917 Menerbitkan buku pertamanya di Indonesia tentang tauhid yang berjudul alLu’lu’ an-Nadīd. 1919 Dipenjara oleh Pemerintah Belanda karena dituduh terlibat dengan peristiwa SI merah. Tapi karena tidak cukup bukti maka ia hanya ditahan selama 7 hari. 1922 1927 Mendirikan Pesantren Genteng. Dipenjara selama 11 tahun oleh Belanda dengan tuduhan mendalangi peristiwa sabotase pengrusakan jaringan telepon yang menghubungkan Bandung-Sukabumi-Bogor. 1928 Diasingkan oleh Kolonialisme Belanda ke Batavia. 1931 Menerbitkan jilid pertama Tafsir berformat Buletin atau majalah berbahasa Sunda (aksara pegon) berjudul Malja‘ at-Tālibīn pada 28 Januari 1931. Menerbitkan Jurnal pertamanya bernama al-Hidayatul Islamiyyah pada 20 maret 1931. Mendirikan organisasi Al-Ittihadiyyatul Islamiyyah (AII) pada November 1931 di Jakarta yang duduk sebagai pembuat anggaran dasar sekaligus ketua. Kongres pertama AII diadakan pada tanggal 21-22 November 1931. 1933 Menerbitkan juz pertama tafsir berbahasa Sunda (aksara pegon) Roudhatul ‘Irfān. 1934 Di kembalikan Ke Sukabumi oleh Pemerintah Belanda dengan status tahanan kota. Mendirikan Pesantren Syamsul Ulum. Menerbitkan jilid pertama tafsir dengan format buletin atau majalah berbahasa Indonesia yang disertai dengan cara baca Arab-Latin, yang berjudul Tamsiyyāt al-Muslimīn pada 1 Oktober1934. 1936 Menghadiri debat terbuka dengan permasalahan boleh tidaknya penulisan hurup al-Qur‘ān dengan hurup latin yang diselenggarakan oleh Komite Permusyawarahan menulis hurup al-Qur‘ān dengan hurup Latin pada tanggal 4 Desember 1936 di Sukabumi. 1937 1938 Menjadi salah satu dewan redaksi majalah berbahasa Sunda al-Mukhtar. Mendirikan BII (Barisan Islam Indonesia) sebagai lembaga dibawah naungan organisasi AII. Membentuk organisasi GUPPI (Gerakan Urusan Pendidikan Pesantren Islam), dengan maksud mempersatukan usaha-usaha dalam membina pesantren di wilayah Jawa Barat. Membentuk organisasi SUPI (Serikat Usaha Persatuan Islam), dengan maksud untuk mempersatukan dan membina Pengusaha-pengusaha umat Islam dan menghimpun modal baik dari pedagang kecil ataupun besar untuk dijadikan modal usaha bersama. 1939 Status tahanan Ahmad Sanusi diakhiri oleh kolonialisme Belanda pada 20 Pebruari 1939. Mendirikan AII School met den Qoran pada 1 Agustus 1939. 1943 Ahmad Sanusi diangkat oleh pemerintahan jepang untuk menjadi salah seorang pada badan latihan bagi Kyai dan Ulama(Kaikyo Kyosi Koshu-co). 1944 Jepang Menghidupkan lagi organisasi AII dengan Syarat diganti namanya menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) dengan Ahmad Sanusi sebagai ketuanya pada 1 Pebruari 1944. Diangkat menjadi anggota Dewan Syuro Masyumi pada 25 Mei 1944. Diangkat menjadi Dewan penasehat Keresidenan Bogor (Syuu Sangi Kai). Diangkat menjadi Wakil Residen Bogor (Foku Shuchokan). 1945 Diangkat menjadi salah satu anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI). Duduk dalam Komisi Pembela Tanah Air. menjadi salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). 1948 Karena agresi militer belanda ia mengungsi bersama tokoh nasional yang lainnya ke kota Yogyakarta. 1950 Meninggal Dunia di Sukabumi dalam usia 63 tahun. Karya Tulis Ahmad Sanusi (1888-1950) 142 Dalam BidangTafsir 142 ْضخ اٌؼشفبْ فً ِؼشفخ اٌمشأٚس ٍٍِٓزبء اٌغبٌج ٌٍّٓتّشٍخ اٌّغٍٍّٓ فً تفغٍش والَ سة اٌؼب سح اٌفبتحخٛي اإلعالَ فً والَ اٌٍّه اٌؼالَ فً تفغٍش عٛأط فٙسح اٌىٛاٌٍغف فً تفغٍش عٚ وٕض اٌشحّخ ْسح تجبسن اٌٍّه ِٓ اٌمشأٛة اٌظجٍبْ فً فضبئً عٍٛ٘ذاٌخ ل سح ٌظْٛ فً تفغٍشوٍّبد عِٕٛة اٌّؤٍٛتفشٌذ ل الؼخٌٛسح اٛوشف اٌغؼبدح فً تفغٍش ع ْٚشْٙ فً تفغٍشال ٌّغٗ إال اٌّغٕٛوشف اٌظ ْسح اٌذخبٍٛشاْ فً تفغٍش عٌٙتٕجٍٗ ا ٌْذاْ فً تفغٍش اٌمشأٌٛتّشٍخ ا سح اٌفٍكٛتفغٍش ع سح إٌبطٛتفغٍش ع ْطالس اٌؼشفب Daftar karya-karya tulis ini didapatkan berdasarkan adaptasi dari hasil pencarian langsung penulis terhadap tulisan-tulisan KH. Ahmad Sanusi dan mengutip dari buku, jurnaljurnal dan skripsi serta tesis yang membahas tentang beliau, diantaranya adalah Gunsaikanbu, Orang-Orang Indonesia yang terkemuka di Jawa, (Yogyakarta: UGM Press 1986), Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah; Pergulatan pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat 19001950, (Yogyakarta: Matabangsa, 2001), al-Hidayat al-Islamiyyat, (Batavia: Habib Usman 1931), atTabligh al-Islām ( Sukabumi: al-Ittihād 1938-1942), Mukhtar A.Mawardi, Haji Ahmad Sanusi: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 1985), Iwan Pratama KH. Ahmad Sanusi dan Perjuangannya dalam pengembangan Agama Islam di Sukabumi dan Jawa Barat tahun 1915-1950 (Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidatullah), dan A. Saifudin Perbuatan Manusia dalam teologi Haji Ahmad Sanusi: Studi Mengenai Pemikiran Teologi Islam salah seorang Ulama Indonesia (Jakarta: Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatullah) Dalam bidang Tauhid اٌٍؤٌؤ إٌضٍذ تٛحٍذ اٌّغٍٍّٓ ٚػمبئذ اٌّؤٍِٕٓ اٌظٍخ اٌّبحٍخ ٌغشٚق اٌفشاق اٌّجتذػخ عشٌك اٌغؼبدح فً اٌفشاق اإلعالٍِخ فضبئً اٌىغت ٚاإلختٍبس فً اٌضاَ افٛاٖ اٌٛػبػ اٌخذاس حٍٍخ اٌؼمً ٚاٌفىش فً ثٍبْ أً٘ اٌغٕخ ٚاٌزّبػخ ِزّغ اٌفٛائذ تشرّخ لٛاػذ اٌؼمبئذ تٌٕٛش اٌظالَ فً فشق اإلعالَ ِفتبس اٌزٕخ فً ثٍبْ أً٘ اٌغٕخ ٚاٌزّبػخ اٌّفٍذ فً ثٍبْ ػٍُ اٌتٛحٍذ اٌؼٛٙد فً اٌحذٚد ثحش ٚاٌّذاد فً تشرّخ اٌٙب اٌٌٛذ ِفتبس اٌّذاد فً وٍفٍخ تذسٌظ ٔظُ اٌضثذ تشرّخ عٕٛعً تشرّخ رٛحشح اٌتٛحٍذ تشرّخ اٌشعبٌخ اٌمذعٍخ اٌّغٍت اٌألعًٕ فً األعّبء اٌحغًٕ اٌشػٛدٌخ ٘ذاٌخ اٌجبسي فً ثٍبْ تفغٍش اٌجخبسي تشثٍخ اإلعالَ فً احبدٌج األحىبَ Dalam Bidang Hadis Dalam bidang Fiqh اٌز٘ٛشح اٌّشضٍخ فً ِحتظش اٌفشٚع اٌشبفؼٍخ تشـمٍك األ٘ٚبَ فً اٌشدع ػٓ اٌغغبَ تحزٌش اٌؼٛاَ ِٓ ِفتشٌبد "رٍٙب إعالَ" ٔٛس اٌٍمـٍٓ فً ِحِ ٛز٘ت اٌٍؼٍٓ ٚاٌّتـٕجئٍٓ ٚاٌّجتذػٍٓ اٌّفحّبد فً دفغ اٌخٍالح لٛأٍٓ اٌذٌٍٕخ ٚاٌذٍٔبٌٚخ فً أِٛس اٌضوبح ٚاٌفغشح اٌشػٛدٌخ فً تضٍ٘ك اٌّزا٘ت اٌمٕغٛسٌخ تزوشح اٌغبٌجٍٓ فً عـٍٕـخ اٌتٍمـٍٓ اٌتٕجٍٗ اٌّب٘ش فً اٌّخبٌظ ٚاٌّزبٚس اٌٙذاٌخ إعالٍِخ "شـشس اٌغفٍٕخ" اٌمبػ اٌ ُّٙفً تؼٍٍك اٌحىٍُ عالس اٌجبعً فً اٌضشة ػًٍ تضاٍ٘ك اٌجبعً ششاد األِخ فً خظبئض اٌزّؼخ تشرُ فمٗ األوجش اٌشفؼً تشرّخ فمٗ األوجش اٌحٕفً تحزٌش أفىبس حٍٍخ اٌغالَ األدٌٚخ اٌشبفؼٍخ فً ثٍبْ طالح اٌحبرخ ٚاإلعتخبسح ٚتفشٌذ اٌىشثخ ِظجبس اٌفالس ػًٍ ِزّٛػخ األدػٍخ ِغٍغ األٔٛاس فً فضٍٍخ األعتغفبس ِفتبس اٌشحّخ عشاد األفىبس ِغبٌغ األٔٛاس اٌىٛاوت اٌذسٌخ أدٌٚخ اٌشفٍخ دًٌٍ اٌغبئشٌٓ عشاد اٌّؤٍِٕٓ اإلشبسح دسٚط إٌحٌٛخ فً وٍفٍخ تذسٌظ اٌزشٍِٚخ اٌّزّٛػخ اٌّفٍذح :ثحبحٓ أٌفٍخ ,رّغ اٌزٛاِغ ,ػمٛد اٌزّبْ ِغٍخ اٌغالَ :ثششس عٍُ إٌّٛسق "ػٍُ ِٕغك" اٌىٍّخ اٌّجٍٕخ فً لظٍذح إثٓ حزٗ "ػٍُ ِٕغك" وفبٌخ اٌّجٍٕخ فً ثٍبْ ِغبئً عّشلٕذي "ػٍُ ثٍبْ" اٌذسٚط اٌظشفٍخ ششس ٔظُ ٌمٛي ششس ِتٓ اٌجٕبء ٚاألعبط تٌٕٛش اٌشثبد " ششس ٔظُ ػّشعً" وشف إٌمبة فً ششٚس ٔظُ لٛاػذ اإلػشاة تزبْ اٌغٍّبْ"ػٍُ تزٌٛذ" عشاد اٌ٘ٛبد فً االعشاء ٚاٌّؼشاد ٘ذاٌخ األروٍبء فً تشرّخ األروٍبء اٌتّشٍخ اإلعالٍِخ فً ِٕبلت األئّخ فخش األٌجبة فً ِٕبلت لغت األلغبة ٌزَ اٌغذاس Ilmu Bahasa Tentang Sejarah/Biografi Lain-lain ِفتبس داس اٌغالَ اٌؼمٛد اٌفبخشح تشثٍخ اإلعالَ األلٛاي اٌّفٍذح تشرّخ اٌحىبَ Lampiran 3 Transliterasi Arab-Latin Tafsir Tamsiyyah al-Muslimīn I. Konsonan ا = tidak dilambangkan ع = …‗ ة = b ؽ = g د = t ف = f ث = ts ق = q د = dj ن = k س = h ي = l خ = ch َ = m د = d ْ = n ر = dz ٚ = w س = r ٖ = ‗h ص = z ء = …‘ ط = s ي = y ػ = sj ص = sh ع = dl ط = th ػ = dh II. Vokal Pendek —َ— = a kecuali tanda (—َ—) untuk hurup arab ( ) خ, ( ) س, ( ) ط, ( ) ع, ( ) ص, ( ) ػ, ( ) ق, ( ) ؽ, ditransliterasikan kedalam hurup latin dengan O, contoh طشا طdibaca sirôtho —ِ— = i —ُ— = oe IV. Vokal Panjang ا = à ي = ie ٚ = òe III. Diftong ٚ = aw ي َ = ai kecuali untuk hurup ( ) خ, ( ) س, ( ) ط, ( ) ع, ( ) ص, ( ) ػ, ( ) ق, ( ) ؽtranslitersinya dibaca oi. V. Syaddah —ّ— = rangkap huruf VI. Pembauran Kata Sandang ...ٌا = al- …اٌش = asj- ...ٌاٛ = wal- …اٌشٛ = wasj-