peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur

advertisement
1
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI
UNSUR-UNSUR INTRINSIK DONGENG DENGAN
METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN
BANDARDAWUNG 03 TAWANGMANGU
TAHUN AJARAN 2009/2010
SKRIPSI
Oleh:
Asih Sulastri
K.1206013
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB I
2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran yang urgen.
Sastra turut memberikan kontribusi yang besar dalam usaha membina mental serta
memperkaya kehidupan rohani manusia. Sastra dapat memberi pengaruh yang
besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai cara hidup diri sendiri dan suatu
bangsa. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan, tetapi
menampilkannya. Pendek kata, pembelajaran sastra merupakan satu kebutuhan
dalam rangka pembentukan moral bangsa.
Rahmanto (1998: 16) mengungkapkan empat manfaat pembelajaran
sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan
pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, (4) menunjang
pembentukan watak. Sebuah karya sastra dapat membangkitkan daya kreativitas
serta imajinasi siswa. Rangsangan dari sebuah karya sastra mengedepankan
sebuah kesadaran kreatif sekaligus kesadaran kritis di dalam diri siswa yang akan
dibutuhkan oleh cabang ilmu apa pun yang dikehendaki.
Kajian dan identifikasi dongeng dapat memberi beberapa manfaat bagi
peserta didik, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik (guru) di
SDN Bandardawung 03. Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan
daya apresiasi siswa terhadap dongeng itu sendiri. Dalam perkembangannya,
dongeng semakin tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Padahal, di dalam dongeng dapat ditemukan sejumlah falsafah
kehidupan dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan siswa.
Mengacu pada survei awal yang telah peneliti lakukan, kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa selama ini rendah. Hal ini
ditandai dengan nilai mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa yang
masih di bawah standar ketuntasan yang telah ditetapkan di SDN Bandardawung
03 yaitu 60. Siswa yang belum mencapai batas ketuntasan sebanyak 17 siswa. Hal
ini dapat dilihat dari hasil pretes kegiatan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
1
3
dongeng siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu berikut ini:
rentang nilai 31-40 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 41-50 diperoleh 9 siswa,
rentang nilai 51-60 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 61-70 diperoleh 5 siswa,
rentang nilai 71-80 diperoleh 3 siswa, rentang nilai 81-90 diperoleh 1 siswa.
Mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pembelajaran (proses
belajar mengajar) yang dilaksanakna guru di kelas. Apabila terjadi penurunan
mutu pendidikan yang pertama kali harus dikaji adalah kualitas pembelajaran
(proses belajar mengajar) tersebut (Soedijarto, 1993: 102). Mengacu pada
pandangan Soedijarto tersebut, maka dapat dikatakan kondisi pembelajaran sastra
yang selama ini dilaksanakan di kelas V SDN Bandardawung 03 belum dapat
dikatakan baik, yakni pembelajaran masih berkiblat pada guru, guru yang lebih
aktif, sementara itu peran aktif siswa belum maksimal.
Konteks pembelajaran sastra yang terjadi di SDN Bandardawung 03
pada umumnya sangat bersifat teoretis, mononton, dan menjemukan. Guru lebih
banyak menekankan materi sastra (dongeng) dari sisi pengetahuan (ingatan)
semata dengan metode ceramah sebagai andalannya. Sehingga siswa-siswa tidak
tertarik dengan materi dongeng. Hal ini merupakan salah satu faktor
kekurangberhasilan pembelajaran dongeng yang terjadi pada siswa kelas V di
SDN Bandardawung 03.
Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang
berlangsung selama ini pun masih jauh dari harapan untuk mewujudkan
pembelajaran
yang
bermakna
yang
mampu
meningkatkan
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa. Pembelajaran yang ditemui
adalah pembelajaran yang masih memfokuskan pembelajaran pada penyampaian
materi, sehingga pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa hanya sebagai
objek dan bukan sebagai subjek dalam kegiatan belajar mengajar.
Kekurangberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Berdasarkan
wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh penjelasan bahwa siswa tidak
begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya menurut mereka pembelajaran
dongeng membosankan. Terkait dengan kemampuan mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang pernah mereka terima, siswa menuturkan bahwa
4
pembelajaran yang sering dilaksanakan guru adalah dengan metode ceramah. Hal
tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki andil yang besar terhadap
pembelajaran dan membuat siswa menjadi pasif. Hal senada diungkapkan oleh
guru, beliau menuturkan bahwa rata-rata siswa mempunyai kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang masih rendah, hal itu
disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam memahami secara baik dongeng.
Guru menilai para siswa pada umumnya belum mampu menentukan unsur-unsur
intrinsik dongeng.
Masalah tersebut dapat disikapi dengan suatu metode pembelajaran yang
dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar
sehingga kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa
meningkat. Diharapkan dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran, hasil
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dapat meningkat.
Berdasarkan kesepakatan antara guru dan peneliti metode pembelajaran yang
digunakan adalah metode Jigsaw. Metode Jigsaw ini sangat tepat untuk
meningkatkan kemampuan identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas
V SDN Bandardawung 03, sebab dengan metode Jigsaw siswa bisa berperan aktif
dalam proses belajar mengajar, selain itu siswa bisa saling berpendapat untuk
menentukan unsur-unsur intrinsik di dalam sebuah dongeng.
Cole (dalam Sriyono, 2007: 6) menjelaskan metode Jigsaw merupakan
pembelajaran yang mengutamakan sifat kerja sama (gotong royong) antar siswa
(peserta didik) yang tersusun dalam suatu tim untuk mencapai tujuan bersama.
Tujuannya adalah untuk membangkitkan interaksi personal di dalam kelompok
melalui diskusi. Dalam hal ini aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa.
Mereka mendengarkan penjelasan guru, mempelajari materi ajar, berdiskusi,
melaporkan, bertanya jawab dan memberikan simpulan materi yang didiskusikan.
Metode Jigsaw mempunyai kelebihan yaitu antara lain: (1) lebih efisien
dalam hal penyampaian materi, (2) membangun pengetahuan secara mendalam,
(3) memahami pendapat orang lain dan memecahkan kesalah pahaman mengeai
sutu topik, (4) membangun pemahaman konsep mengenai sesuatu hal yang harus
mereka pecahkan, dan (5) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta
5
kemampuan tim. Sementara itu, metode Jigsaw juga ada kelemahannya yaitu
antara lain: (1) dalam kelompok yang berpengalaman lebih, waktu tidak
seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw, (3) memerlukan jumlah
yang sama pada kelompok-kelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi
sebuah masalah (Slavin, 2008: 85).
Implikasi dari uraian di atas dalam kaitannya dengan penelitian ini
adalah perlu diterapkannya metode Jigsaw sebagai upaya meningkatkan
kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V
SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Penelitian yang digunakan adalah bentuk
Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan
masalah sebagai berikut.
1. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu?
2. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti memiliki tujuan
sebagai berikut.
1. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu.
2. Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SD
Bandardawung 03 Tawangmangu.
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoretis dan praktis, yaitu.
1. Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah teori yang terkait
dengan langkah-langkah penerapaan metode Jigsaw dalam pembelajaran sastra,
khususnya mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta dapat
mengantisipasi hambatan-hambatan yang muncul.
2. Praktis
a. Manfaat bagi siswa
1) Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng siswa dengan metode Jigsaw.
2) Meningkatkan motivasi belajar siswa.
3) Meningkatnya rasa kebersamaan siswa dalam bekerja kelompok.
b. Manfaat bagi guru
1) Meningkatnya kemampuan guru dalam mengajar identifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw.
2) Meningkatkan kerjasama antara guru dan siswa, dan antar guru.
c. Manfaat bagi peneliti
1) Mengembangkan wawasan dan pengalaman peneliti.
2) Pengaplikasian teori yang telah diperoleh.
d. Manfaat bagi peneliti lain
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun
bahan pijakan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam.
2) Sebagai acuan untuk melakukan penelitian berikutnya.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD
a. Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD
Pembelajaran apresiasi dongeng diarahkan pada proses pemerolehan
pengalaman apresiasi dongeng agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan
karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan
kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, hal itu
berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bahasa Indonesia SD
khususnya pembelajaran apresiasi sastra. Agar dongeng dapat memenuhi tuntutan
kurikulum tersebut, diharapkan siswa mampu mengapresiasi dongeng tersebut
melalui unsur-unsur intrinsiknya. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
merupakan salah satu materi pembelajaran, sehingga untuk mencapai standar
kompetensi yang diharapkan perlu disampiakan dengan metode yang tepat.
Standar kompetensi yang hendak dicapai yaitu memahami penjelasan narasumber
dan cerita rakyat secara lisan, dengan kompetensi dasar mengidentifikasi unsur
cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya. Pada dasarnya, pembelajaran bukan
sekedar kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Dalam
pembelajaran, konteks diciptakan secara nyata sehingga siswa tidak hanya
memperoleh pengetahuan tetapi pengalaman dan keterampilan.
Hasibuan
(dalam
Gino
dkk,
2002:
32)
memberikan
batasan
pembelajaran, yaitu usaha sadar guru untuk membuat siswa belajar dengan
mengaktifkan faktor
intern dan ekstern dalam belajar. Faktor intern yang
dimaksud di sini meliputi minat, perhatian, motivasi, dan lain-lain. Faktor ekstern
yang berpengaruh meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat.
Pembelajaran juga dapat diartikan pemerolehan pengetahuan tentang
suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman (Brown dalam Sri Rahayu
6
8
Mulyaningsih, 2007: 31). Menurut Moh. Uzer Usman (dalam Sri Rahayu
Mulyaningsih 2007: 32) pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung
serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang
berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Imain
Machfudz dan Wahyudi Siswanto (1997) menyatakan bahwa pembelajaran adalah
suatu proses sistematis yang tiap komponennya penting sekali bagi keberhasilan
pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembelajaran hanya berlangsung
manakala usaha tertentu dibuat untuk mengubah sedemikian rupa, sehingga suatu
hasil belajar tertentu bisa dicapai.
Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada
hakikatnya adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi
tersebut yang difasilitasi oleh guru yang menyebabkan terjadi perubahan perilaku
ke arah yang lebih baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya. Perubahan yang terjadi karena proses pembelajaran.
Interaksi antar komponen merupakan faktor penting dalam keberhasilan
suatu proses belajar mengajar. Oleh karena itu, kerjasama antara guru dan siswa
sangat diperlukan demi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Selain itu,
kesesuain metode dalam proses belajar pembelajaran juga sangat berpengaruh
dalam menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas.
Apresiasi berasal dari kata appreciation yang artinya pemahaman dan
pengenalan
yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan
yang
memberikan penilaian (AS Hornby dalam Sumito A.Sayuti, 2002: 195). Dari
bahasa Latin, istilah apresiasi berasal dari kata apreciatio yang berarti
mengindahkan atau menghargai. Dalam arti yang lebih luas dikatakan Gove
(dalam Aminuddin, 1987: 34) Apresiasi mengandung makna: (1) pengenalan
melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan
terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh penyair.
Sastra itu sendiri sulit untuk didefinisikan. Secara entimologi sastra
berasal dari bahasa Sansekerta akar kata Sas- artinya mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk/instruksi dan tra- menunjuk alat atau sarana. Dengan demikian
9
sastra berarti alat untuk mengajar (Teeuw, 1984: 23). Sastra adalah suatu bentuk
sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan
dinikmati serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Selain
itu dikatakan oleh Teeuw (1984: 49-51) bahwa Teks sastra mengandung tiga
aspek utama yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectore
(memberikan
kenikmatan
melalui
unsur
estetik,
dan
movere
(mampu
menggerakkan kreativitas pembaca).
Apresiasi sastra adalah pengenalan dan pemahan yang tepat terhadap
nilai sastra dan kegairahan kepadanya serta kenikmatan yang timbul sebagai
akibat dari semua itu. Effendi (2004: 6) mengartikan apresiasi sastra sebagai
menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian,
penghargaan, kepekaan, pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap
cipta sastra. Suminto A.Sayuti (2002: 3) menyatakan bahwa apresiasi satra adalah
upaya memahami karya sastra, yaitu upaya agar dapat mengerti sebuah karya
sastra yang dibaca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang
internasional maupun yang aktual dan mengerti seluk beluk strukturnya.
Sementara Herman J. Waluyo (2002: 44) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai
penghargaan atas karya sastra hasil pengenalan, memahaman, penafsiran,
pengahayatan, penikmatan atas kaya sastra tersebut yang didukung atas kepekaan
batin terhadap nilai yang terkandung dalam karya tersebut.
Hakikat pembelajaran sastra, menurut Robert E. Probst, haruslah
memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman dengan cipta
sastra yang bersangkutan (Rizanur Gani, 1988: 14). Dalam hal ini siswa
diharapkan mampu menemukan hubungan antara pengalaman batinnya dengan
esensi cipta sastra yang dipalajari. Oleh karena itu, siswa belajar sastra harus
dihadapkan pada karya sastra yang bersangkutan agar siswa dapat berkomunikasi,
bergaul langsung dengan karya sastra tersebut. Kegiatan yang demikian itu
dinamakan kegiatan mengapresiasi sastra.
Sastra harus dapat memberikan sumbangan untuk pendidikan secara utuh
hal tersebut sesuai dengan tujuan karya sastra kepada pembaca. Sumbangan
tersebut dapat secara utuh jika mencangkup empat manfaat, yaitu untuk
10
menunjang keterampilan berbahasa (skill), meningkatkan pengetahuan sosial
budaya (knowledge), mengembangkan rasa karsa (development), membentuk
watak (character) (Moody dalam Sriyono, 2007: 45). Mengikutsertakan
pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti membekali siswa untuk berlatih
menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Dengan membaca maupun
menyimak karya sastra dapat menambah pengetahuan sosial budaya karena di
dalam karya sastra mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini
sesuai dengan tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik
dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak
kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dongeng merupakan salah satu
kebudayaan bangsa yang wajib kita lestarikan. Implikasi dalam pembelajaran
sastra demi kelestarian budaya bangsa adalah dengan adanya kompetensi dasar
yang berada pada silabus kelas V SD yaitu mengidentifikasi unsur cerita tentang
cerita rakyat yang didengarnya. Kompetensi dasar tersebut merupakan bentuk
partisipasi dunia pendidikan sehubungan dengan pelestarian budaya bangsa.
Selain
untuk
kelestarian
budaya,
pembelajaran
sastra
juga
mampu
mengembangkan kecakapan peserta didik. Kecakapan yang dikembangkan dalam
pembelajaran sastra adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat
pemahaman, yang bersifat afektif dan sosial, serta religius. Yang berhubungan
dengan watak ada dua tuntutan alam pembelajaran sastra, yaitu pembelajaran
sastra hendaknya dapat memberikan perasaan yang lebih tajam dan pengajaran
sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan
berbagai kualitas kepribadian siswa seperti: tekun, pandai, pangimajinasian, dan
penciptaan.
Apresiasi sastra yang dilakukan dalam pembelajaran sastra di SD
merupakan bentuk apresiasi sastra anak. Bahan ajar harus sesuai dengan anak
didik sehingga pertimbangan usia anak didik menjadi pilihan utama.
Keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan bobot atau mutu karya sastra
yang akan dijadikan bahan ajar juga menjadi pertimbangan yang matang.
Menentukan metode harus disesuaikan dengan kemampuan guru dan kebutuhan
serta kesesuaian dengan keadaan siswa. Menuliskan persiapan mengajar harian
11
merupakan salah satu bentuk keprofesionalan seorang guru. Penulisan PMH itu
juga menunjukkan bahwa guru siap secara lahir batin hendak menyampaikan
pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar.
Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat
dimulai dari kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di
kelas. Kegiatan pra-KBM dapat dilakukan dengan memberi salinan atau kopi teks
sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan, meringkas atau mencatat dan
menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra. KBM di kelas
dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca cerita,
berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas. Setelah itu baru diadakan tanya
jawab, menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama merumuskan isi, tema, dan
amanat.
Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga
komponen dasar evaluasi, yaitu: (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) keterampilan. Pada
umumnya dikenal dua bentuk penilaian, yaitu: (a) penilaian prosedur, yang
meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (b) instrumen
atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, tes esai dan pilihan
ganda.
b. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Proses Pembelajaran Apresiasi
Sastra
Suatu proses pembelajaran dikatan berhasil apabila tujuan yang telah
ditentukan dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan telah dapat dicapai
(Gino, dkk, 2002: 36-39). Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu motivasi belajar, minat belajar, bahan ajar,
media belajar, suasana belajar, kondisi subjek yang belajar, kemampuan guru, dan
metode pembelajaran.
1) Motivasi Belajar
Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri
seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan sesuatu tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Untuk meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti
pembelajaran, guru dapat menempuh jalan sebagai berikut: (1) menghadapkan
12
siswa pada hal-hal yang menentang, misalnya dengan jalan mengadakan
penelitian, penyelidikan, percobaan, membuat sesuatu, dan kegiatan yang lain
yang sekiranya dapat memotivasi siswa; (2) membantu siswa yang kurang pandai
dalam pembelajaran, mendorongnya agar bisa lebih maju dan mau berusaha untuk
bisa mengikuti perkembangan teman-temannya yang lain yang memiliki
pengalaman lebih. Sementara itu, siswa yang sudah dapat mengikuti pembelajaran
dengan baik, guru harus bisa memotivasinya agar mau berusaha untuk lebih baik
lagi dan mau membantu temannya yang kurang mampu dalam pembelajaran.
2) Minat Belajar
Minat, artinya kecenderungan yang menetap, dimana si subjek merasa
tertarik dan senang dalam kegiatan suatu bidang. Untuk menarik minat siswa
mengikuti
pembelajaran,
hendaknya
guru
memilih
media
dan
metode
pembelajaran yang sekiranya menarik bagi siswa misalnya, dengan mengajak
siswa belajar di luar kelas. Minat siswa mempengaruhi prestasi belajar.
3) Bahan Belajar
Bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. Bahan atau materi
yang digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan yang akan
dicapai oleh siswa dan harus sesuai dengan karakteristik siswa agar diminati oleh
siswa. Pemilihan materi pembelajaran yang dilakukan secara teliti dan digunakan
secara bijaksana, akan memunculkan suatu motivasi bagi siswa untuk merespon
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
4) Media Belajar
Media dalam belajar merupakan alat yang dapat membantu siswa untuk
mencapai tujuaan belajar, misalnya media cetak (buku-buku, surat kabar, majalah)
dan media elektronik (radio, televisi, komputer, tape recorder dan lain-lain). Alat
bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiaran belajar-mengajar,
dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari sumber belajar
(guru) kepada penerima (siswa). Media yang digunakan harus sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sesuai dengan tingkat perkembangan
siswa, sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta dapat menarik minat, perhatian
dan motivasi siswa untuk ikut dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
13
5) Suasana Belajar
Suasana belajar merupakan situasi dan kondisi yang ada dalam
lingkungan tempat proses pembelajaran yang berlangsung. Suasana yang dapat
mendukung kegiatan pembelajaran, yakni.
a) Suasana kekeluargaan yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang
lancar antara guru dan siswa, sehingga dapat memperlancar kegiatan belajar
mengajar yang terjadi. Dengan hubungan yang akrab, maka siswa akan
berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam setiap kegiatan
pembelajaran yang terjadi.
b) Suasana sekolah yang nyaman, tenang serta menyenangkan untuk
melaksanakan pembelajaran.
c) Kelas diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa yang belajar,
sehingga suasana bebas tetapi tetap disertai dengan pengawasan dari guru.
d) Jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan
bagi guru untuk memberi perhatian yang cukup merata pada seluruh siswa.
e) Siswa belajar secara bervariasi, misalnya dengan berdiskusi, discovery,
mengadakan eksperimen, atau dengan mengadakan study tour untuk
menghindari kejenuhan dalam belajar.
6) Kondisi Siswa yang Belajar
Kondisi siswa adalah keadaan siswa pada saat kegiatan belajar-mengajar
belangsung. Kondisi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya keadaan fisik
siswa, melainkan juga keadaan psikis siswa. Apabila siswa sedang sakit, maka
secara otomatis siswa tidak akan dapat mengikuti pembelajaran secara maksimal.
Begitu juga apabila siswa dalam keadaan jiwa yang tertekan, atau sedang
mempunyai masalah, siswa juga tidak akan dapat belajar dengan baik. Selain itu,
guru juga harus memperhatikan kondisi kemampuan siswa dalam mengikuti dan
menerima materi dalam kegiatan belajar-mengajar. Apabila kemampuan siswa
kurang, maka guru harus berusaha untuk membantu siswa tersebut untuk
memahami materi yang diberikan. Namun apabila siswa memiliki kemampuan
yang lebih, maka guru harus bisa mengajar dengan baik agar tidak membosankan.
14
7) Kemampuan Guru
Kemampuan guru yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan guru
dalam menyampaikan materi, dalam mengelola kelas, serta dalam mengatasi
berbagai masalah yang mungkin terjadi selama proses belajar-mengajar
berlangsung. Guru harus bisa menyampaikan materi dengan cara yang tepat dan
tidak membosankan, namun tidak terkesan mempengaruhi. Selain itu, dalam
menyampaikan materi guru harus bisa memilih metode dan cara yang tepat agar
dapat menarik minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Guru harus bisa
mengelola kelas dengan baik, misalnya dengan
memberikan perhatian yang
merata pada seluruh siswa yang ada di kelas tersebut, baik yang di depan maupun
yang di belakang. Guru harus mampu memotivasi siswa agar mau aktif dalam
kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung. Guru harus bisa membuat siswa
manaruh perhatian penuh pada kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung.
Seorang guru harus bisa mengatasi masalah yang mungkin saja muncul
di kelas tempatnya mangajar. Misalnya saja ada siswa yang tidak mau
memperhatikan pembelajaran yang diberikan. Ia justru membuat kekacauan di
dalam kelas. Maka guru harus bisa mengambil tindakan yang dapat membuat anak
tersebut jera, dan tidak mengulang perbuatan tersebut dengan cara menegurnya.
Apabila cara tesebut tidak berhasil, guru dapat memberikan suatu punishment
pada siswa tersebut agar dia menjadi jera.
8) Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan aspek penting dalam kemajuan
pendidikan di sekolah. Apalagi saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam
pelaksanaan pendidikan bagi warganya melalui diversifikasi (penganekaragaman)
kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan
siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulim
tersebut pada akhirnya dapat menjamin hasil pendidikan bermutu yang dapat
membentuk masyarakat Indonesia yang damai/sejahtera, demokratis, dan budaya
saing untuk maju
Nana Sujana (2002: 76) mengemukakan bahwa metode pembelajaran
adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa
15
pada saat berlangsungnya pengajaran. Muhibbin Syah (1995) menjelaskan bahwa
metode pembelajaran merupakan cara yang bersifat prosedur untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada
siswa. Metode pembelajaran adalah bagian dari seperangkat alat dan cara dalam
melaksanakan suatu srategi pembelajaran.
Mengacu pada beberapa ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa metode
pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan guru dalam memberdayakan
komponen-komponen pembelajaran terkait secara optimal sehingga pencapaian
tujuan pembelajaran dapat terwujud sesuai dengan target dan kriteria yang telah
ditentukan. Sehingga tujuan proses belajar pembelajaran dapat tercapai dengan
baik dan sesuai dengan indikator ketercapaian.
Keefektifan penggunaan suatu metode tergantung pada seorang guru,
karena guru sebagai pelaku dalam menggunakan metode tersebut. Suatu metode
hasilnya baik untuk seorang guru dalam mengajarkan sastra, belum tentu hasilnya
sama jika metode tersebut digunakan oleh guru yang lain. Dalam pembelajaran
sastra, keaktifan guru dan siswa secara bersama-sama merupakan syarat mutlak
untuk mencapai tujuan pembelajaran sastra yang apresiatif. Pembelajaran sastra
selama ini menggunakan metode ceramah yang sebenarnya kurang efektif apabila
diterapkan. Proses belajar pembelajaran dengan metode ceramah, guru cenderung
dominan menguasai kelas, sehingga peran aktif siswa dalam proses belajar
pembelajaran
sangat
kurang.
Hal
ini
merupakan
salah
satu
faktor
kekurangberhasilan pembelajaran sastra. Dibutuhkan suatu metode pembelajaran
agar apresiasi sastra berhasil dengan hasil yang memuaskan yaitu siswa mampu
mengulas sastra yang mereka dengar dengan baik dan benar.
2. Hakikat Dongeng
a. Pengertian Dongeng
Indonesia mempunyai kekayaan tradisi berupa budaya tulis (kitab, notaperjanjian, stempel) dan budaya tutur (pantun, puisi tradisional, dongeng).
Penikmat budaya tulis dan tutur secara umum dapat dibedakan dari segi umur,
gender, tingkat lapisan masyarakat maupun suku bangsanya. Budaya tutur
16
merupakan budaya yang bersifat nir-literatur dan budaya tulis bersifat literatur,
oleh karena itu keduanya mempunyai keunikan dan kelebihan sendiri. Sedangkan
dongeng merupakan salah satu jenis kebudayaan tutur yang disamapikan dari lisan
ke lisan secara turun temurun.
Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi,
misalnya kejadian-kejadian aneh di jaman dahulu. Dongeng berfungsi
menyampaikan ajaran moral dan juga menghibur. Dongeng termasuk cerita
tradisional. Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun
temurun. Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat.
Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
James Danandjaja (1991: 22) menyatakan bahwa dongeng adalah cerita
rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan
dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dongeng diceritakan terutama
untuk hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi
ajaran moral, bahkan sindiran. Karena dongeng merupakan cerita sederhana dan
tradisional, dongeng mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan karya sastra lain.
Apabila karya sastra modern dibuat berdasarkan isi hati dan kemampuan
pengarang. Suatu dongeng tidak diketahui secara pasti pengarang ataupun sumber
cerita awal berasal darimana, sebab dongeng disamapaikan secara turun temurun
dalam jangka waktu yang lama. Adapun ciri-ciri dongeng, yaitu: (1) alur
sederhana; (2) singkat; (3) tokoh tidak diurai secara rinci; (4) penceritaan secara
lisan; (5) pesan dan tema ditulis dalam cerita; (6) pendahuluan singkat dan
langsung.
Dongeng mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise,
contoh: pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja dan mereka hidup bahagia
selama-lamanya; alkisah, pada suatu hari, …dan mereka hidup dengan rukun dan
bahagia, dan sebagainya. Dalam sebuah dongeng tema sangat penting karena tema
merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi dalam sebuah karya. Biasanya,
suatu dongeng mempunyai tema antara lain.
1) Moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan.
2) Kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali
17
3) Tugas yang tak mungkin dilaksanakan.
4) Mantra ajaib, misalnya mantra untuk mengubah orang menjadi binatang.
5) Daya tarik yang timbul melalui kebaikan dan cinta.
6) Pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh makhluk dengan kekuatan
ajaib.
7) keberhasilan anak ketiga atau anak bungsu ketika sang kakak gagal.
8) Kecantikan dan keluhuran anak ketiga atau anak bungsu.
9) Kecemburuan saudara kandung yang lebih tua.
10) Kejahatan ibu tiri.
Indonesia mempunyai ribuan budaya tutur yang tersebar di seluruh
penjuru Nusantara. Budaya tutur merupakan ajaran tersirat menyangkut
pembelajaran moral, seperti yang disampaikan di dalam pantun, lagu tradisional,
fabel, legenda, epik maupun cerita rakyat lainnya. Pembelajaran moral yang
tersirat ini merupakan metode efektif, khususnya dalam mendidik anak-anak lewat
penceritaan dongeng. Menurut Anti Arne dan Stith Thompson (2008) dongeng
dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu : (1) dongeng binatang; (2) dongeng
biasa; (3) lelucon atau anekdot; (4) dongeng berumus.
1) Dongeng binatang (fabel)
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang
peliharaan atau binatang liar. Binatang dalam cerita jenis ini dapat berbicara atau
berakal budi seperti manusia. Di Negara-negara Eropa binatang yang sering
muncul menjadi tokoh adalah rubah, di Amerika Serikat binatang itu adalah
kelinci, di Indonesia binatang itu Kancil dan di Filipina binatang itu kera. Semua
tokoh biasanya mempunyai sifat cerdik, licik dan jenaka.
2) Dongeng biasa
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia atau
biasanya adalah kisah suka duka seseorang, misalnya dongeng Ande-Ande Lumut,
Joko Kendil, Joko Tarub, Sang Kuriang serta Bawang Putih dan Bawang Merah.
Dalam dongeng ini biasanya terdapat dua jenis tokoh. Tokoh yang berlawanan
digambarkan dalam bentuk yang berlawanan juga.
18
3) Lelucon atau anekdot
Lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan tawa
bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya. Meski demikian, bagi
masyarakat atau orang menjadi sasaran, dongeng itu dapat menimbulkan rasa sakit
hati. Rasa sakit timbul karena mereka merasa tersindir.
4) Dongeng Berumus
Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari
pengulangan. Dongeng ini ada tiga macam, yaitu dongeng bertimbun banyak
(cumulative tales), dongeng untuk mempermainkan orang (catch tales), dan
dongeng yang tidak mempunyai akhir (endless tales). Dongeng berumus jarang
kita temui.
Pelaku atau tokoh dalam sebuah dongeng, bukanlah manusia biasa
seperti dalam sebuah karya sastra modern, karena dongeng bersifat istana sentris
atau hidup di sekitar istana dan terjadi pada masa lalu. Pelaku atau tokoh antara
lain seperti: (1) dewa dan dewi, ibu dan saudara tiri yang jahat, raja dan ratu,
pangeran dan putri, ahli nujum; (2) peri, wanita penyihir, raksasa, orang kerdil,
putri duyung, monster; (3) binatang, misalnya ikan ajaib dan kancil; (4) kastil,
hutan yang memikat, negeri ajaib; (5) benda ajaib, misalnya lampu ajaib, cincin,
permadani, dan cermin. Sedangkan tokoh dalam sastra modern bersifat umum.
Mengacu pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah
cerita prosa rakyat yang berupa cerita rekaan. Dongeng disampaikan secara turun
temurun sebagai penghibur sekaligus petuah bagi pendengarnya. Penceritaan
dongeng diawali dan diakhiri dengan kalimat klise dan selalu berakhir bahagia.
b. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik Dongeng
Cerita dibentuk oleh dua bagian besar unsur yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik dimana unsur intrinsik disebut sebagai unsur dalam yang
membentuk suatu cerita sedangkan unsur ekstrinsik disebut unsur luar yaitu
unsur-unsur pendukung terciptanya suatu cerita. Semi, (1988: 35) menyatakan,
struktur fiksi itu secara garis besar dibagi alas dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar
ekstrinsik dan (2) struktur dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) segala
macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi
19
kehadiran sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan,
faktor sosiol politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur
dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut
seperti: penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengesahan, latar,
gaya bahasa dan amanat.
Agus Suyoto (2009) menyatakan bahwa unsur-unsur intrinsik adalah
unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya
sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba
memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat
ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya
sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan
dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata.
Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi
yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya
sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara
eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa
unsur intrinsik terdiri dari: tokoh, penokohan/perwatakan tokoh, tema, amanat,
latar, alur, sudut pandang/gaya penceritaan.
a) Tema
Prosa fiksi harus mempunyai tema atau dasar, karena tema inilah yang
paling penting dari keseluruhan cerita. Tema adalah pikiran pokok yang
mendasari suatu cerita. Tema tersebut kemudian dikembangkan menjadi jalinan
cerita yang disampaikan melalui tokoh, setting, dan suasananya. Untuk
mengetahui tema, ketika membaca karya sastra Anda dapat bertanya “Masalah
apakah yang dibahas dalam cerita di atas?” jawaban dari pertanyaan itu adalah
tema. Sebuah cerita rekaan yang tanpa tema sama sekali adalah cerita rekaan yang
tidak mempunyai tujuan apa-apa, sehingga dapat saja dianggap sebagai sastra
yang tak berguna atau tak berfungsi (S.Tasrif, dalam Mido, 1994).
Tema (theme), menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20), adalah
makna yang terkandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (dalam Burhan
Nurgiantoro, 2002: 67). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial
20
budaya, perjuangan, teknologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah
kehidupan. Henry Guntur Tarigan (1993: 160) menyatakan bahwa tema adalah
gagasan utama atau pikiran pokok, dalam karya sastra imajinatif merupakan
pikiran yang akan ditemui oleh pembaca yang cermat sebagai akibat dari
membaca karya sastra tersebut. Tema sering disebut juga sebagai dasar cerita,
yakni pokok permasalahan yang mendominasi karya sastra. Tema juga dapat
dikatakan sebagai permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam
menyusun cerita atau karya sastra, sekaligus maupakan pernasalahan yang ingin
dipecahkan dalam karya tersebut.
b) Tokoh dan Penokohan
Prosa fiksi sudah pasti terdiri dari sejumlah peristiwa atau kejadian yang
dialami oleh para tokoh cerita yang beraksi atau bereaksi. Mungkin konflik yang
terjadi antara tokoh dengan tokoh, antar tokoh dengan lingkungan, antar tokoh
dengan alam sekitar, bahkan dapat saja antara tokoh dengan dirinya sendiri,
dengan nasibnya, dan dengan kekuatan adikodrati. Jelasnya, tanpa tokoh mustahil
ada cerita dan tanpa cerita tak ada karya sastra. Tokoh cerita biasa dibedakan
berdasarkan
peranannya
dan
berdasarkan
perwatakkannya.
Berdasarkan
peranannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi menjadi tokoh utama, tokoh
pembantu dan tokoh tambahan (Mido, 1994). Berdasarkan perwatakannya, tokoh
cerita dapat dibedakan menjadi empat yaitu tokoh statis, tokoh dinamis, tokoh
datar dan tokoh bulat (Mido, 1994). Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 178),
tokoh cerita dapat pula dibedakan berdasarkan fungsi penampilannya, yakni tokoh
protagonis dan tokoh antagonis.
Agus Suyoto (2009) menjelaskan bahwa tokoh adalah individu
ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau pelaku dalam
berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula
berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam
cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.
Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita
Melani Budianta (2002) menyatakan bahwa tokoh dalam karya sastra
adalah individu rekaan yang hanya diungkapkan satu segi wataknya yang
21
mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.
Ditambahkan oleh Burhan Nurgiantoro (2002: 165) bahwa istilah tokoh menunjuk
pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran
yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Cerita rakyat pasti memiliki tokoh. Kehadiran tokoh dalam cerita sangat
penting. Melalui tokoh cerita, suatu jalinan konflik dapat dibangun sehingga
menjadi sebuah cerita yang utuh. Tokoh akan menggambarkan makna sesuai
dengan alur cerita secara keseluruhan dan mengarah pada tujuan yang hendak
dicapai. Sementara itu, penokohan adalah perihal proses penempatan tokoh-tokoh
di dalam cerita. Penokohan dalam cerita biasanya direalisasikan melalui tokoh
atau pelaku cerita.
Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam
cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tokoh sentral protagonis,
yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai
positif; (2) tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan
yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu
tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) tokoh andalan.
Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral
(baik protagonis ataupun antagonis); (2) tokoh tambahan. Tokoh tambahan
adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa sebuah cerita;
(3) tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi
sebagai latar cerita saja.
Penokohan berkenaan dengan cara pengarang menampilkan watak
tokoh-tokohnya dan bagaimana watak masing-masing tokoh tersebut. Ada
beberapa cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya
yaitu, dengan cara menjelaskan karakter tokoh secara eksplisit, menampilkan
dialog dengan tokoh lain, melukiskan tempat atau lingkungan tokoh, memberi
penjelasan melalui tokoh lain, dan melukiskan tingkah laku, cara berpakaian, dan
22
reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Ada dua metode penyajian watak tokoh,
yaitu.
1) Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara
memaparkan watak tokoh secara langsung.
2) Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui
pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan
dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau
tempat tokoh.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988: 52), ada lima cara
menyajikan watak tokoh, yaitu: (1) melalui apa yang diperbuatnya, tindakantindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui
ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut
orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus; (3) melalui
penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan
langsung. Jadi tokoh dapat disajikan menurut keadaan.
c) Alur/ Plot
Plot adalah kejadian yang sengaja diciptakan penulis. Kilas balik atau
flashback (atau bahkan kejadian di masa depan) dapat digunakan sama efektifnya
dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa
dalam cerita rekaan. Burhan Nurgiantoro (2002: 110) menyatakan bahwa plot
merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang
menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.
Sedangkan Luxemburg (1992: 149) memberikan batasan bahwa plot atau alur
adalah konstruksi yang dibuat pembaca melalui sebuah deretan peristiwa yang
secara logis dan kronologis saling berkaitan, yang diakibatkan atau dialami oleh
para pelaku. Plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian cerita
yang terdapat dalam cerita. Plot juga dapat diartikan sebagai bagian rangkaian
perjalanan cerita yang tidak tampak.
Plot atau alur juga dapat diartikan sebagai jalan cerita yang berupa
peristiwa. Peristiwa yang disusun satu persatu dan berkaitan menurut hukum
sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Secara tradisional, ada lima tahapan
23
alur, yaitu: (1) perkenalan (pengarang mengenalkan cerita, tokoh-tokoh dan
wataknya, dan setting yang mendasari cerita itu); (2) pertikaian (pengarang mulai
menampilkan pertikaian yang dialami tokoh baik dengan tokoh lain maupun
dengan lingkungannya.); (3) perumitan (pertikaian mulai memuncak); (4) klimaks
(pertikaian mencapai puncak); (5) peleraian (penyelesaian pertikaian dengan
berbagai cara).
Alur mempunyai beberapa jenis, yaitu: (1) alur rapat dan alur renggang.
Alur rapat adalah alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung alur
pokoknya. Alur renggang sebaliknya; (2) alur tunggal dan alur ganda. Alur
tunggal adalah alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki satu jalan
cerita saja, biasanya terjadi pada cerpen. Sebaliknya, alur ganda adalah alur yang
terjadi pada sebuah cerita yang memiliki jalan cerita lebih dari satu, biasanya ada
pada novel; (3) alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah dan alur terbuka
yang jalan ceritanya dimulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya
sampai cerita itu berakhir. Sebaliknya, alur mundur adalah alur yang jalan
ceritanya dimulai dari peristiwa akhir kemudian kembali ke peristiwa pertama,
kedua, dan seterusnya sampai kembali ke peristiwa yang terakhir tadi.
d) Latar (Setting)
Kita cenderung berfikir bahwa latar hanyalah sekedar ruang dan waktu
tempat cerita berlangsung. Kejadian harus berlangsung di suatu tempat dan dalam
kurun waktu tertentu (hari, musim, tahun). Latar bisa memperkaya suasana dan
atmosfer cerita, yang akan mempengaruhi apa yang diserap pembaca. Latar bisa
bersifat simbolik. Misalnya cerita tentang perjalanan seorang tokoh di tengah
gurun pasir mencari oasis, bisa disimbolkan sebagai perjalanan dari neraka ke
surga. Latar juga mencerminkan perjalanan emosional tokoh. Latar pun bertindak
sebagai sebuah karakter, mempengaruhi pilihan karakter-karakter lain, dan
mempengaruhi plot.
Latar atau biasa disebut dengan setting merujuk pada pengertian tempat,
hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa dalam cerita.
Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca. Latar dibedakan menjadi tiga
unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat merujuk pada lokasi
24
terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa
terjadi dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat dalam cerita.
Latar juga dapat diartikan sebagai gambaran tempat, waktu, dan segala
situasi di tempat terjadinya peristiwa. Unsur waktu dapat dibedakan menjadi
waktu kini, masa lalu, masa depan, dan waktu tak tentu. Unsur tempat dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat yang dikenal, tempat yang tidak dikenal, dan
tempat khayalan. Unsur suasana juga mempunyai tiga kemungkinan, yaitu
suasana alamiah, suasana sosio kultural, dan suasana batiniah. Suasana alamiah
adalah suasana yang berhubungan dengan alam, misalnya suasana desa, kota, dan
lain-lain. Suasana sosiokultural adalah suasana yang berkaitan dengan tatacara
hidup, adat istiadat, keyakinan, dan lain-lain. Suasana batiniah adalah suasana
sebagai akibat pengaruh interaksi antar tokoh, atau antar tokoh dengan
lingkungannya.
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan
dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok: (1) latar tempat, mengacu pada lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) latar waktu,
berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial.
e) Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit dan
eksplisit. Implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam
tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu
dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan yang
berhubungan dengan gagasan utama cerita.
25
Amanat juga dapat diartikan pesan moral yang ada pada sebuah cerita.
Ketika membaca sebuah cerita. Amanah disampaikan melalui tema, jalinan cerita,
peristiwa, dan tokoh-tokohnya. Amanah tidak disampaikan secara eksplisit.
Pembaca sendirilah yang menyimpulkannya.
3. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra dengan Metode Jigsaw
a. Hakikat Metode Jigsaw
Metode Jigsaw sering dapakai dalam dunia pendidikan sebagai alternatif
yang menarik. Berdasarkan penelitian terdahulu metode jigsaw telah mampu
menciptakan situasi yang kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan
kepribadian siswa tanpa mengorbankan aspek kognif. Ada satu prinsip yang perlu
diingat dalam kehidupan bermasyarakat, dunia pekerja maupun dalam
pembelajaran di kelas yaitu kemampuan bersinergi merupakan kunci keberhasilan.
Penataan ruang kelas dalam metode Jigsaw, perlu memerhatikan prinsipprinsip tertentu (Anita Lie, 2005:57). Bangku perlu ditata sedemikian rupa
sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas, bisa
melihat rekan-rekan kelompokknya dengan baik, dan berada dalam jangkauan
kelompoknya dengan merata. Kelompok bisa dekat satu sama lain, tetapi tidak
mengganggu kelompok yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang
kosong di salah satu bagian kelas untuk kegiatan lain.
Jigsaw merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif dalam
pendekatan CTL (Contextual Teaching ang Learning). Teknik ini
digunakan untuk mengembangkan kemampuan membaca, memahami,
mendengarkan, memecahkan masalah dan mempresentasikan sekaligus
mengembangkan kerjasama (Anita Lie, 2005: 69).
Siswa dalam metode pembelajaran Jigsaw ini, belajar di dalam
kelompok heterogen dan beranggotakan 4 sampai 6 orang yang disebut kelompok
asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari
materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian tersebut
kepada anggota kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok yang mendapat
tugas penguasaan bagian materi itu disebut ahli. Anggota dari kelompok yang
berbeda bertemu untuk berdiskusi “antarahli”. Mereka dapat saling membantu
26
satu sama lain tentang topik yang ditugaskan, serta mendiskusikannya. Setelah itu
siswa pada “kelompok ahli” kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan
materi tersebut kepada anggota yang lainnya tentang apa yang dibahas/dipelajari
dalam “kelompok ahli” (Arend Richard dalam Sriyono, 2007: 65).
Pengertian Jigsaw dalam pembelajaran kooperatif adalah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok
yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu
mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend
Richard dalam Sriyono, 2007: 67). Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran
pada teman sekelompok atau teman sebaya dalam usaha membantu belajar.
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya
sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Penn State (2007) mengemukakan
pendapatnya mengenai metode Jigsaw sebagai berikut.
The jigsaw process encourages listening, engagement, and empathy by
giving each member of the group an essential part to play in the
academic activity. Group members must work together as a team to
accomplish a common goal; each person depends on all the others. No
student can succeed completely unless everyone works well together as a
team. This "cooperation by design" facilitates interaction among all
students in the class, leading them to value each other as contributors to
their common task (Penn State: 2007).
Metode Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan menyimak dan rasa
empati dengan memberi setiap anggota kelompok sebuah peran penting untuk
berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Anggota kelompok harus bekerja
bersama-sama sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama; tiap anggota
tergantung pada anggota yang lain. Tidak ada siswa yang bisa berhasil jika setiap
siswa tidak bekerja sama dengan baik sebagai satu tim. “disain kooperatif” ini
membangkitkan interaksi antar semua siswa dalam kelas, menuntun mereka untuk
menilai satu sama lain sebagai kontributor untuk tugas bersama mereka.
Slavin (2008: 122) menjelaskan bahwa dalam Jigsaw, siswa bekerja
dalam kelompok heterogen. Siswa diberikan bab atau unit-unit lain untuk dibaca,
dan juga diberikan ‘lembaran ahli’ yang berisi topik-topik untuk setiap anggota
kelompok yang harus diperhatikan ketika membaca. Setelah semua siswa selesai
27
membaca, siswa dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama berkumpul
di kelompok ahli untuk membicarakan topik mereka selama kurang lebih tiga
puluh menit. Para ahli kemudian kembali pada kelompoknya masing-masing dan
mengambil alih peran, yaitu mengajarkan pada teman sekelompoknya tentang
topik tersebut. Akhirnya siswa diberi ulangan atau penugasan yang meliputi
semua topik, nilai ulangan menjadi nilai kelompok. Skor atau nilai yang
disumbangkan siswa pada kelompokknya berdasarkan pada sistem penilaian
perkembangan atau kemajuan individual, dan siswa yang mempunyai skor
kelompok tinggi dapat menerima penghargaan. Oleh karena itu, siswa termotivasi
untuk mempelajari materi dengan baik dan bekerja keras dalam kelompok ahlinya
sehingga mereka apat membantu teman sekelompoknya dengan baik. Kunci dari
Jigsaw adalah ketergantungan: setiap siswa mengandalkan teman sekelompoknya
untuk memberikan informasi agar dapat mengerjakan tes dengan baik.
Metode Jigsaw melibatkan partisipasi aktif individu dan kerjasama
kelompok. Dengan peyususnan pelajaran sedemikian rupa sehingga setiap anggota
kelompok memiliki informasi yang unik dan pengaruh tertentu. Hasil kelompok
tidak lengkap bila tanpa masing-masing kelompok melakukan bagiannya. Hal
tersebut diibaratkan sebagai Jigsaw Puzzel yang tidak lengkap tanpa setiap
kepingan digabungkan (Brophy dalam Sri Rahayu Mulyaningsih, 2007: 37).
Anita Lie (2005: 69) mengatakan bahwa Jigsaw dapat digunakan dalam
beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
matematika, agama dan bahasa. Dalam Jigsaw ini, siswa bekerja dengan sesama
siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk
mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan informasi. Pembelajaran
dengan metode Jigsaw terdiri dari siklus kegiatan-kegiatan instruksional yang
tetap. Seperti yang dinyatakan oleh Slavin (2008: 124).
Siklus-siklus pembelajaran Jigsaw adalah sebagai berikut: (1) membaca:
siswa menerima topik-topik dan membaca materi yang diberikan untuk
menemukan informasi; (2) diskusi kelompok ahli atau pakar: siswa yang
membahas topik yang sama bertemu untuk membahasnya dalam
kelompok ahli; (3) laporan kelompok: para ahli kembali ke kelompoknya
masing-masing dan menjelaskan topik mereka pada anggota
28
kelompokknya; (4) tes: siswa mengerjakan tes individu yang berisi
semua topik; (5) penghargaan kelompok: skor kelompok dihitung.
Penghargaan kelompok diberikan kepada kelompok yang berhasil
memeroleh rata-rata nilai kelompok (rata-rata nilai quis) di atas batas tuntas.
Kelompok yang memeroleh nilai rata-rata tertinggi adalah kelompok yang berhak
mendapat predikat superteam. Peringkat kedua mendapat predikat gretteam.
Peringkat ketiga mendapat predikat goodteam, dan peringkat keempat mendapat
predikat dreamteam (Slavin, 2008: 80).
b. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Jigsaw
Langkah-langkah yang diambil ketika pembelajran Jigsaw akan
dilakukan, Aronson (1978) merekomendasikan sebagai berikut:
1) membagi siswa kedalam kelompok-kelompok, tiap kelompok beranggotakan
4-6 siswa. setiap kelompok diusahakan heterogen dalam hal jenis kelamin,
suku dan yang paling penting adalah kemampuan;
2) menunjuk salah satu siswa dalam setiap kelompok sebagai ketua kelompok.
Pilihan ini didasarkan pada kriteria kedewasaan siswa dalam kelompok;
3) membagi materi ke dalam empat atau lima bagian;
4) menugaskan siswa dalam kelompok untuk mengupas satu bagian dari materi
yang telah dibagi. Arahkan siswa agar mereka hanya mendapat satu bagian
dan mempelajari bagian mereka sendiri;
5) memberikan waktu kepada siswa untuk membaca bagiannya sehingga mereka
mengatahui apa yang harus mereka lakukan. Siswa tidak perlu menghafal
materi, tetapi harus mengetahui bagian mana yang harus mereka pahami;
6) membentuk kelompok ahli, yang diambil dari setiap kelompok dengan bagian
yang sama, berkelompok untuk mendiskusikan masalahnya;
7) siswa kembali ke kelompok semula;
8) memberikan waktu kepada setiap siswa untuk menjelaskan apa yang sudah
mereka dapatkan dalam kelompok ahli kepada teman kelompokknya semula.
Teman kelompok diberikan kesempatan bertanya dan meminta penjelasan;
9) pada akhir sesi, diberikan sebuah tes materi agar siswa benar-benar mengerti
dari realisasi bahwa pada setiap sesi tidak hanya kesenangan tetapi keseriusan.
29
c. Pengelompokan Metode Jigsaw
Guru atau pimpinan sekolah sering membagi siswa dalam kelompokkelompok homogen berdasarkan prestasi belajar mereka. Praktik ini dikenal
dengan istilah ability grouping. Ability grouping adalah praktik memasukkan
beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama.
Dibalik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai
banyak dampak negatif. Dampak negatifnya antar lain bertentangan dengam misi
pendidikan,
bisa
menghilangkan
kesempatan
anggota
kelompok
untuk
memperluas wawasan dan memperkaya diri.
Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam
metode Jigsaw. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan
keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosial-ekonomi, dan etnik, dan
kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran
Jigsaw biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang
berkemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis
kurang.
Pengelompokan heterogen mempunyai beberapa kelebihan. Pertama,
kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer
tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan
interaksi antarras, agama, etnik, dan gender. Ketiga, kelompok heterogen
memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang
berkemampuan akademis tinggi, guru mendapat satu asisten untuk setiap tiga
orang. Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan
heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis tinggi
(atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok ini
merasa rugi dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa-apa dalam
kegiatan belajar. Jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai dari 4 samapi
6 siswa, menurut kepentingan tugas. Tentu saja masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
30
d. Penataan Ruang Metode Jigsaw
Falsafah dan metode pembelajaran yang dipakai di kelas memengaruhi
penataan ruang kelas. Penataan ruang yang klasikal dengan semua bangku
menghadap ke satu arah (guru dan papan tulis) sangat sesuai dengan metode
ceramah. Dalam metode ini, guru berperan sebagai narasumber yang utama, atau
mungkin juga satu-satunya. Metode ceramah dan penataan ruang kelas klasikal
bukan satu-satunya model yang bisa dipakai di kelas.
Siswa bisa belajar dari sesama teman dalam metode Jigsaw. Guru lebih
berperan sebagai fasilitator. Tentu saja, ruang kelas juga perlu ditata sedemikian
rupa sehingga menunjang pembelajaran dengan metode Jigsaw. Keputusan guru
dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan dengan kondisi situasi ruang kelas
dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) ukuran
ruang kelas, (b) jumlah siswa, (c) tingkat kedewasaan siswa, (d) toleransi guru dan
kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (e) toleransi
siswa terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (f) pengalaman guru
dalam melaksanakan metode pembelajaran dengan metode Jigsaw.
Hubungan yang terjadi antarkelompok asal dengan kelompok ahli
digambarkan oleh Arend Richard (dalam Sriyono, 2007: 70) sebagai berikut:
@
#
@
1
$
#
@
2
&
$
#
@
3
#
4
A
&
$
&
$
&
@
@
#
#
&
&
$
$
@
@
#
#
&
&
$
$
B
Gambar 1. Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli dalam Jigsaw
Keterangan: A
: Kelompok asal
B
: Kelompok ahli
@
: Ahli topik A kelompok 1, 2, 3, 4
&
: Ahli topik C kelompok 1, 2, 3, 4
$
: Ahli topik B kelompok 1, 2, 3, 4
#
: Ahli topik D kelompok 1, 2, 3, 4
31
e. Penilaian Metode Jigsaw
Guru akan melakukan evaluasi terhadap siswa setelah melakukan
kegiatan belajar mengajar, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan. Penilaian dalam metode Jigsaw
berbeda dengan metode pembelajaran lain. Dalam penilaian, siswa mendapat nilai
pribadi dan nilai kelompok. Penilaian pribadi didapatkan dari hasil tes yang
diberikan guru, sedangkan penilaian kelompok bisa dibentuk dengan beberapa
cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh
siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok bisa diambil dari rata-rata nilai
semua anggota kelompok, dari sumbangan setiap anggota (Anita Lie, 2005: 88).
Proses selanjutnya setelah evaluasi dilaksanakan, adalah perhitungan
skor perkembangan individu dan skor kelompok. Skor individu setiap kelompok
memberi sumbangan pada skor kelompok berdasarkan rentang skor yang
diperoleh pada evaluasi sebelumnya dengan skor akhir. Untuk menetukan tingkat
penghargaan yang diberikan kepada kelompok, sebagaimana dijelaskan oleh
Aronson (1978) berikut ini.
Tabel 1. Tingkat Penghargaan Kelompok
Rata-rata kelompok
Penghargaan
15
Good Team (tim yang bagus)
20
Great Team (tim yang hebat)
25
Super Team (tim yang super)
(adaptasi dari Aronson: 1978)
f. Kelebihan dan Kekurangan Metode Jigsaw
Jill Parker (2003) menjelaskan kekurangan serta kelebihan metode
Jigsaw sebagai berikut.
The Advantage of Jigsaw method (1) It is an efficient way to learn the
material; (2) Builds a depth of knowledge; (3) Discloses a student's own
understanding and resolves misunderstanding; (4) Builds on conceptual
understanding; (5) Develops teamwork and cooperative working skills.
Disadvantage (1) Uneven time in expert groups; (2) Students must be
trained in this method of learning; (3) Requires an equal number of
32
groups; (4) Classroom management can become a problem. (Jill Parker:
2003).
Keuntungan metode Jigsaw: (1) metode Jigsaw adalah cara efisien untuk
mengajarkan materi; (2) membangun sebuah pengetahuan yang mendalam
mengenai sebuah topik; (3) pemahaman dan mengatasi ketidak pahaman siswa;
(4) membangun pemahaman konseptual; (5) mengembangkan kerja tim dan
kemampuan kerja sama. Kekurangan: (1) waktu untuk kelompok ahli tidak dapat
diperhitungkan; (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw ; (3) mengharuskan
jumlah yang sama dalam setiap kelompok; (4) pengelolaan kelas bisa menjadi
sebuah masalah.
Pembelajaran dengan metode Jigsaw juga memiliki kelebihan dan
kelemahan. Aronson (1978) menyatakan kelebihan dan kelemahan metode Jigsaw
adalah sebagai berikut.
1) Kelebihan metode Jigsaw
a) banyak pengajar yang mengatakan bahwa Jigsaw mudah dipelajari;
b) banyak pengajar yang menyukai pembelajaran Jigsaw;
c) Jigsaw dapat digunakan dan dimodifikasi dengan metode yang lain;
d) Jigsaw efektif bahkan jika hanya dilakukan satu jam perhari;
e) Jigsaw mudah dilakukan.
2) Kelemahan metode Jigsaw
a) kecenderungan adanya siswa yang mendominasi;
b) masalah siswa yang lambat berpikir sehingga merasa bosan belajar;
c) masalah siswa yang pandai yang merasa tidak sabar dengan proses yang
berlangsung dan pada akhirnya merasa bosan;
d) masalah siswa yang biasa bersaing.
Langkah-langkah untuk mengurangi berbagai kelemahan itu antara lain.
a) Dominasi siswa, permasalahan ini diselesaikan dengan menunjuk secara acak
salah satu siswa dalam mempresentasikan suatu bagian materi.
b) Siswa yang lambat berpikir, permasalah ini dapat diatasi oleh kelompok ahli.
Bahwa sebelum siswa menampilkan laporannya, siswa sudah berdiskusi
dahulu dengan kelompok ahli. Siswa akan saling bertanya dan menampilkan
33
masalah yang belum dia ketahui untuk selanjutnya didiskusikan. Sementara itu
siswa mencatat berbagai hal yang mereka diskusikan dan memodifikasi
semuanya menurut kesimpulan diskusi kelompok ahli.
c) Siswa yang pandai, mengubah siswa yang pandai yang merasa bosan menjadi
merasa bergairah belajar apabila ia berperan sebagai guru. Jika siswa dapat
mengembangkan pikiran sebagai “guru”, belajar dapat mengubah suasana
yang membosankan menjadi kegairahan tantangan.
d) Siswa yang sudah terbiasa bersaing, dapat dilakukan dengan mengalihkan
kepada presentasi hasil. Bagaimanapun juga presentasi hasil merupakan salah
satu cara unjuk kebolehan, dan bagi siswa yang terbiasa bersaing keadaan
seperti ini sangat menguntugkan karena dari mereka akan timbul banyak
permasalahan yang dapat didiskusikan.
Sedangkan menurut Slavin (2008: 85) metode Jigsaw mempunyai
kelebihan: (1) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta kemampuan
tim, (2) membangun pengetahuan secara mendalam, (3) memahami pendapat
orang lain dan memecahkan kesalah pahaman, (4) membangun pemahaman
konsep mengenai sesuatu hal, (5) lebih efisien dalam hal penyampaian materi, dan
(6) meningkatkan rasa kerja sama di dalam kelas. Sementara itu, metode Jigsaw
juga ada kelemahannya yaitu antara lain: (1) dalam kelompok yang
berpengalaman lebih, waktu tidak seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam
pembelajaran Jigsaw, (3) memerlukan jumlah yang sama pada kelompokkelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi sebuah masalah (5) terkadang
timbul kesenjangan dalam sebuah kelompok.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Munjaenah dengan judul “Upaya
Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rakyat dengan Metode Jigsaw
pada Sswa Kelas VII F SMP 03 Jekulo Kudus”. Penelitian tindakan kelas ini
bertujuan untuk ; (1) mendeskripsikan proses pembelajaran apresiasi cerita rakyat
dengan penerapan metode Jigsaw dan (2) meningkatkan kemampuan apresiasi
cerita rakyat siswa pada siswa kelas VII F SMP 03 Jekulo.
34
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui penerapan metode Jigsaw
mampu meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat pada siswa kelas
VII F SMP 03 Jekulo Kudus. Hasil ini dapat dilihat pada hasil pretes dan postes
selama tiga siklus. Pada uji pratindakan jumlah siswa yang memperoleh nilia di
atas KKM 8 siswa (20%), nilai rata-rata 58. Pada siklus I dilakukan perbaikan
pembelajaran melalui metode Jigsaw dengan menayangkan VCD cerita rakyat
dari Kudus “Pisang Becici Pantang Dimakan”. Hasilnya siswa yang memperoleh
nilai di atas KKM meningkat menjadi 20 siswa (50%) terjadi kenaikan sebesar
30%, dengan nilai rata-rata 63,00, karena belum mencapai KKM maka
pelaksanaan tindakan kelas dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II diberikan
pembelajaran dengan menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Dongeng
Bulus Sumber”. Hasilnya siswa yang memperoleh nilai di atas KKM meningkat
menjadi 25 siswa (62,5%) terjadi kenaikan sebesar 12,5% dengan nilai rata-rata
66,38. Peningkatan tersebut belum mencapai 75% sehingga apresiasi cerita rakyat
dilanjutkan pada siklus III. Setelah dilaksanakan uji kompetensi siklus III dengan
menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Kisah Cinta Nawangsih dan
Rinangku”. Hasilnya siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 31 siswa
(77,5%) dengan nilai rata-rata 67,625 Pada siklus III pencapaian ketuntasan
klasikal sudah lebih dari 75% dan ketuntasan kriteria minimal 62. Kesimpulannya
bahwa melalui metode Jigsaw dalam pembelajaran apresiasi cerita rakyat dapat
meningkatkan pembelajaran dan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat.
Penelitian yang dilakukan oleh Titiek Maryuni pada tahun 2006 yang
berjudul “Peningkatan Keberanian Berbicara dengan Metode Jigsaw pada Siswa
SMP Negeri 03 Nguter”, yang bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah
metode Jigsaw benar-benar secara efektif dapat meningkatkan keberanian siswa
kelas VIII B di SMP Negeri 03 Nguter. Ternyata simpulan tersebut membuktikan
bahwa (1) penbelajaran berbicara dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan
keberanian berbicara pada siswa kelas VIII B SMP Negeri 03 Nguter; (2)
pembelajaran dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan keberanian berbicara
mulai dari berani bertanya, menjawab, berani menjelaskan kepada temannya di
kelompok ahli, di kelompok asal, maupun berbicara di depan kelas.
35
C. Kerangka Berpikir
Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah upaya menyerap,
menangkap informasi yang terkandung dalam dongeng. Upaya mengidentifikasi
dikatakan berhasil apabila siswa mampu menentukan unsur-unsur intrinsik
dongeng yaitu: tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar (setting), dan amanat.
Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng tidaklah mudah, diperlukan
persyaratan yaitu, mampu membedakan antar unsur-unsur intrinsik agar tidak
terjadi kekeliruan dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng.
Penerapan metode Jigsaw, dapat menjalin suasana belajar yang
mengutamakan
kerjasama,
saling
menunjang,
menyenangkan,
tidak
membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran dengan terintegrasi,
menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, saling bertukar pendapat dengan
teman, dan siswa kritis guru aktif. Siswa dapat merefleksi terhadap apa yang
dipelajarinya sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar kemampuan siswa
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Kerangka berpikir dalam
penelitian ini dapat dilihat dengan jelas pada gambar 2 berikut ini.
36
Kondisi Awal Sebelum Tindakan
·
·
·
SISWA
Kemampuan mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng
siswa rendah
Siswa kurang tertarik pada
pembelajaran sastra
Siswa pasif
·
·
·
·
KUALITAS PEMBELAJARAN
Pembelajaran terpusat pada guru
Guru lebih aktif
Pembelajaran bersifat teoretis,
monoton dan menjemukan
Guru menggunaka metode
ceramah sebagai andalan
Pembelajaran mengidentifikasi
Unsur-unsur Intrinsik Dongeng
dengan Metode Jigsaw
·
·
·
·
Kondisi Akhir Setelah Tindakan
Siswa aktif
Pembelajaran tidak terpusat pada guru
Siswa tertarik menyimak dongeng yang dibaca
Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng siswa meningkat
D.
Hipotesis Tindakan
Mengacu pada latar belakang masalah, kajian teoretis, dan kerangka
berpikir di atas, maka dapat dibuat hipotesis tindakan bahwa metode Jigsaw dapat
meningkatkan kemampuan dan kualitas proses mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu
Karanganyar.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SDN Bandardawung 03 tang beralamat di
Dusun pelas, Desa Bandardawung, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten
Karanganyar kode pos 57792. Kelas yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian
tindakan kelas ini adalah kelas V. Alasan dipilihnya kelas V sebagai tempat
penelitian karena: (1) Kompetensi Dasar “Mengidentifikasi unsur cerita tentang
cerita rakyat yang didengarnya” terdapat di kelas V; (2) di kelas tersebut terdapat
permasalahan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Adapun dipilihnya sekolah ini sebagai lokasi penelitian adalah karena: (1) peneliti
sudah memiliki hubungan baik dengan sekolah; (2) lokasi penelitian dekat dengan
tempat tinggal peneliti. Adapun. Penelitian yang dilakukan terhadap kelas V ini
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Deskripsi ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu adalah
sebagai berikut: ruang kelas berukuran 5 x 6 meter. Di dalam ruang kelas terdapat
satu buah papan tulis hitam, satu pasang meja dan kursi guru, 15 meja dan 15
kursi untuk siswa, di dinding kelas tertempel jam dinding, satu gambar Burung
Garuda, Presiden dan Wakil Presiden, satu kalender. Ruang kelas dengan cat
warna cerah sehingga kelas keliatan terang.
Peneliti membutuhkan waktu 6 bulan untuk melakukan penelitian ini.
Penelitian ini dimulai bulan Desember sampai dengan bulan Mei 2010 yang
terbagi menjadi beberapa tahap. Tahapan tersebut yaitu persiapan, pelaksanaan,
dan penyusunan laporan. Berikut ini adalah rincian waktu dan kegiatan penelitian.
36
38
Tabel 2. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian
No
Nama Kegiatan
Bulan
Des
1
Survei awal sampai
penyususnan proposal
2
Seleksi Informan, penyiapan
instrument dan media
3
Pengajuan surat izin
penelitian ke sekolah
4
Pengumpulan data
5
Analisis data
6
Penyususnan laporan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Bandardawung 03 yang
terdiri dari 11 siswa putra dan 17 siswa putri. Selain siswa, subjek penelitian
adalah guru kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu
Priyanti, S. Pd. Sebagian besar siswa adalah anak petani dengan penghasilan
menengah kebawah. Mereka bermain di lingkungan pertanian namun ada
beberapa siswa yang sudah memepunyai tugas dari orang tua mereka untuk
memebantu. Sedangkan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. bukan warga asli
Tawangmangu, beliau berasal dari Boyolali.
C. Sumber Data
Tiga sumber data penting yang dijadikan sebagai sasaran penggalian dan
pengumpulan data serta informasi dalam penelitian ini. Sumber data tersebut
meliputi:
1. Peristiwa, yakni proses belajar pembelajaran di dalam kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu; penyusunan RPP antara peneliti dan guru;
wawancara antara peneliti dan guru; wawancara antara peneliti dengan siswa.
39
2. Informan dalam penelitian ini meliputi: (1) guru kelas V yaitu Ibu Wahyu
Priyanti, S. Pd. beliau yang mengetahui kegiatan belajar mengajar
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta mengatahui alasan
penetapan KKM di kelas V; (2) siswa kelas V SD Negeri Bandardawung 03
yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo. Anggi Ayu
Purnamasari, dijadikan sebagai informan sebab ia merupakan siswa yang
pandai dan selalu aktif ketika proses belajar pembelajaran berlangsung. Rosyid
Prasetyo dijadikan informan sebab dia siswa yang tidak begitu pandai dan
sering tidak memperhatikan pembelajaran, sedangkan Indri Rosita Sari
dijadikan informan sebab dia salah satu siswa yang kelihatan bosan ketika
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng berlangsung.
3. Dokumen meliputi: (1) foto kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang terjadi di kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu; (2) hasil tes siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu untuk mengetahui tingkat keberhasilan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada
setiap siklus; (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat oleh guru dan
peneliti untuk pembelajaran setiap pelaksanaan siklus; (4) silabus yang
ditentukan oleh pihak SDN Bandardawung 03 Tawangmangu; (5) catatan
lapangan hasil observasi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng; (6) serta catatan hasil wawancara yang telah ditranskrip yaitu
wawancara dengan guru kelas V Ibu Wahyu Priyanti, S.Pd. dan 3 siswa kelas V
SD Negeri Bandardawung 03 yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari,
Rosyid Prasetyo.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh data yang berkualitas dalam suatu penelitian. Adapun dalam
pengumpulan data digunakan metode, cara atau teknik tertentu. Metode atau
teknik yang dipilih harus sesuai dengan sifat data. Penggunaan metode
sepenuhnya tergantung pada objek, sasaran dan tujuan penelitian dilaksanakan.
40
Sesuai dengan tujuan, metode, dan jenis sumber data yang digunakan, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: observasi, wawancara, tes
atau pemberian tugas.
1. Observasi
Observasi digunakan untuk mendapatkan data-data pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang
dilakukan oleh guru maupun siswa. Teknik ini dilakukan sejak sebelum tindakan
diberikan, saat tindakan diberikan hingga akhir tindakan. Dalam observasi ini,
peneliti bertindak sebagai partisipan pasif. Peneliti tidak melakukan tindakan yang
dapat mempengaruhi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng dengan metode Jigsaw yang sedang berlangsung. Peneliti hanya
mengamati proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun siswa serta
mencatat segala sesuatu yang terjadi selama proses pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum menggunakan metode Jigsaw dan ketika
menggunakan metode Jigsaw. Peneliti mengambil posisi di tempat duduk paling
belakang.
Hasil observasi didiskusikan peneliti bersama guru kelas V SDN
Bandardawung 03 yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Dari hasil diskusi ini, Ibu
Wahyu Priyanti, S. Pd mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah
dilakukan kemudian diupayakan solusinya. Solusi yang dapat digunakan pada
pelaksanaan siklus berikutnya. Observasi terhadap guru difokuskan pada
kemampuan guru dalam mengelola kelas serta dalam memancing keaktifan siswa
dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang sedang
berlangsung. Sementara itu, observasi terhadap siswa difokuskan pada keaktifan
siswa pada saat apersepsi, keaktifan siswa dalam pembelajaran, minat siswa
dalam menyimak dongeng yang disampaikan, dan keaktifan siswa dalam diskusi
kelompok ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
berlangsung baik sebelum maupaun sesudah mengunakan metode Jigsaw.
41
2. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dari informan tentang
pelaksanaan pembelajaran di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.
Berbagai informasi mengenai kesulitan yang dialami Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd
dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, faktor-faktor
penyebabnya, serta solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
mucul. Melakukan wawancara dengan 3 siswa kelas V SDN Bandardawung 03
yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo, untuk
mengetahui metode dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng yang diterapkan oleh guru dan untuk mengetahui tanggapan siswa
terhadap cara mengajar yang digunakan oleh guru serta untuk mengetahui tingkat
kemamapuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
3. Tes/pemberian tugas
Usaha yang dilakukan oleh guru dalam rangka untuk mengetahui hasil
kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas
V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu sebelum dan sesudah pelaksanaan
penelitian. Dalam penelitian ini, guru melakukan dua kali tes yakni pretes
digunakan untuk mengetahui keterampilan awal siswa dalam mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng dan postes untuk mengetahui kemampuan siswa
setelah mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
dengan metode Jigsaw. Tes yang dilaksanakan berupa esay jawaban singkat
sebanyak lima belas soal.
E. Uji Validitas Data
Untuk mendapatkan data yang valid, perlu dilakukan teknik-teknik
sebagai berikut.
1. Trianggulasi metode, teknik ini digunakan untuk membandingkan data yang
sudah diperoleh dari hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil
wawancara. Data
yang diperoleh dari
hasil
observasi
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah
42
menggunakan metode Jigsaw dibandingkan dengan hasil wawancara dengan
Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. apakah ada kesesuian atau tidak.
2. Trianggulasi sumber data yaitu cara memperoleh satu data yang sama dari dua
sumber berbeda. Trianggulasi sumber digunakan untuk menguji kebenaran data
yang diperoleh dari satu informan dengan informan lain.
3. Review informan, teknik ini digunakan untuk menanyakan informan, apakah
data yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum, sudah sesuai
dengan kesepakatan atau belum. Peneliti mengadakan review informan setelah
peneliti menulis semua hasil wawancara dengan Ibu Wahyu Priyanti S. Pd.
mengenai pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di
kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis interaktif (interaktif model of analysis) oleh Sutopo (2002: 96). Teknik
tersebut mencangkup kegiatan untuk mengungkapkan kelemahan serta kelebihan
kinerja guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil analisisnya dijadikan
dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Dalam hal
ini peneliti mengungkapkan kelemahan serta kelebihan kinerja guru dan siswa
ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum
maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang berlangsung di SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu. Kemudian hasil analisis, peneliti dijadikan
dasar dalam menyusun perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Analisis
model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu antara lain:
(1) rencana tindakan (tahap display data); (2) pelaksanaan tindakan (tahap
pengumpulan data); (3) pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan
data dan reduksi data); (4) analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data,
display data, serta penarikan kesimpulan.
43
1. Rencana tindakan (tahap display data)
Berdasarkan hasil pengidentifikasian dan penetapan masalah, peneliti
kemudian mengajukan suatu solusi yang berupa metode Jigsaw yang dapat
diterapkan oleh guru untuk dipergunakan sebagai metode dalam pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di kelas V SDN Bandardawung
03 Tawangmangu dan penyusuanan RPP dengan metode Jigsaw.
2. Pelaksanaan tindakan (tahap pengumpulan data)
Keseluruhan tindakan dilaksanakan dalam penelitian ini bertujuan
untuk mengadakan perbaikan terhadap proses pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng yang selama ini dirasa kurang memadai.
Tindakan dalam penelitian ini berupa penerapan metode Jigsaw agar dapat
menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng di kelas. Setiap kegiatan yang dilakukan tersebut selalu
diikuti dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi serta analisis dan refleksi
yang dilakukan oleh peneliti.
Tahap ini peneliti melakukan observasi untuk mengetahui apakah
tindakan yang dilakukan telah dapat mengatasi permasalahan yang ada atau
belum. Selain itu, peneliti juga melaksanakan observasi untuk mengumpulkan
data-data yang akan diolah untuk mengetahui segala kelemahan yang mungkin
muncul ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
berlangsung. Data-data yang telah dikumpulkan tersebut diolah untuk
menentukan tindakan penelitian berikutnya dilaksanakan lagi atau tidak.
3. Pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan data dan reduksi data)
Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk memonitor tindakan yang
terjadi di dalam kelas. Dalam tahap ini, peneliti mengadakan observasi sebagai
partisipan pasif, dimana peneliti berada di dalam lokasi penelitian yaitu di
dalam ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu namun tidak
berperan aktif dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Peneliti hanya
mengamati jalannya proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang
terjadi di dalam kelas dipandu oleh guru sambil mencatat segala sesuatu yang
44
terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Setelah itu, peneliti
mengadakan sharing ide yang bersangkutan mengenai hasil pengamatan
peneliti. Dalam forum sharing tersebut, diungkapkan kelemahan dan kelebihan
proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah
berlangsung dengan memfokuskan pada penampilan guru di kelas dan respon
siswa terhadap stimulan dari guru.
Tahap ini peneliti juga bertindak sebagai partisipan pasif yang
mengamati jalannya pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng yang terjadi, dalam hal ini yaitu peristiwa kegiatan pembelajaran di
kelas. Setelah data terkumpul, kemudian peneliti mengolah data tersebut
hingga dapat disajikan pada guru yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. agar dapat
dicari solusi untuk berbagai permasalahan yang muncul.
4. Analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data, display data, serta penarikan
kesimpulan
Hasil evaluasi kemudian dianalisis untuk menentukan langkah-langkah
perbaikan yang dapat ditempuh, sehinga didapatkan suatu solusi untuk semua
permasalahan yang dialami oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran
megidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Tahap ini peneliti menganalisa atau mengolah data yang telah
dikumpulkan yaitu proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng, kemudian menyajikan dalam pertemuan dengan Ibu Wahyu Priyanti,
S. Pd. Setelah dilakukan diskusi dan sharing ide dengan Ibu Wahyu Priyanti, S.
Pd., kemudian diambil suatu kesimpulan yang berupa hasil pelaksanaan
penelitian. Dari hasil penarikan kesimpulan ini, dapat diketahui apakah ini
berhasil atau tidak, sehingga dapat detentukan langkah selanjutnya. Teknik
analisis interaktif dari Sutopo (2002: 96) digambarkan sebagai berikut:
45
Pengumpulan
Reduksi
Sajian
Penarikan
Kesimpulan
Sutopo (2002: 96)
Gambar 3. Analisis Model Interaktif
G. Indikator Keberhasilan Tindakan
Secara garis besar indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah meningkatnya kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu. Keberhasilan kualitas proses ditandai dengan
keberhasilan tercapainya semua indikator yang telah ditetapkan, sehingga apabila
semua indikator tersebut sudah tercapai siklus akan dihentikan. Keberhasilan
kualitas hasil ditandai dengan nilai hasil mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng siswa harus di atas KKM yang telah ditentukan oleh pihak sekolah yaitu
60. Penetapan KKM yang hanya 60 didasari oleh beberapa faktor, yaitu: (1) letak
sekolah yang jauh dari kota, sehingga kemampuan siswa terbatas; (2) apabila
KKM di atas 60 banyak siswa yang tidak tuntas; (3) sarana prasarana sekolah
yang terbatas, sehingga guru kesulitan untuk mengembangkan kemampuan siswa.
46
Tabel 3. Indikator Ketercapaian Belajar Siswa
Aspek
Presentase
Cara mengukur
pencapaian
minat siswa dalam
75 %
Diamati saat pembelajaran
menyimak dongeng yang
dengan lembar observasi
disampaiakan
dihitung jumlah siswa yang
menyimak pembacaan dongeng
dengan sungguh-sungguh
keaktifan siswa dalam
75%
diskusi kelompok
Diamati saat pembelajaran
dengan lembar observasi
dihitung jumlah siswa yang
menyampaikan pendapatnya
saat diskusi berlangsung
ketuntasan belajar
75 %
Dihitung jumlah siswa yang
mendapatkan nilai di atas 60
(enam puluh)
(adaptasi dari E. Mulyasa 2007: 255)
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan rangkaian tahapan penelitian dari awal
hingga akhir penelitian. Penelitian ini adalah proses pengkajian sistem berdaur
sebagaimana kerangka berpikir. Prosedur dalam Penelitian Tindakan Kelas ini
mencangkup langkah-langkah sebagai berikut: (1) persiapan, (2) studi/survey
awal, (3) pelaksanaan siklus, dan (4) penyusunan laporan. Pelaksanaan siklus
meliputi: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan (acting),
(c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting). Berikut ini adalah bagan
prosedur Penelitan Tindakan Kelas yang dipaparkan oleh Suharsimi Arikunto,
Suhardjono, dan Supardi (2008: 74).
47
Permasalahan
Perencanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Refleksi I
Pengamatan/ pengumpulan
data I
Siklus I
Permasalahan baru
hasil refleksi
Siklus II
Apabila
permasalahan belum
terselesaikan
Perencanaan
Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Refleksi II
Pengamatan/
pengumpulan data II
Dilanjutkan ke siklus
berikutnya
Gambar 4. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas
(Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2008: 74)
Penjelasan secara garis besar mengenai masing-masing langkah tersebut diuraikan
sebagai berikut.
1. Persiapan
Pada tahap persiapan ini peneliti menemui Kepala SDN Bandardawung
03 Tawangmangu untuk memberitahukan sekaligus meminta izin untuk
melakukan penelitian. Peneliti mengajukan surat izin penelitian yang dikeluarkan
oleh dekanat disertai proposal penelitian. Setelah peneliti mendapatkan ijin dari
kepala sekolah, peneliti menemui guru kelas V untuk mempersiapan survei awal.
2. Studi/survei awal
Untuk
mengetahui
kondisi
awal
proses
belajar
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, peneliti melakukan survei awal di
kelas yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kelas V. Pada tahap ini peneliti
berusaha mengenali kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng serta situasi dan kondisi pembelajaran mengidentifikasi unsur-
48
unsur intrinsik dongeng. Pengenalan tersebut dilakukan dengan mengamati proses
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, memeriksa hasil
pekerjaan siswa berupa jawaban atas soal-soal yang guru berikan mengenai unsurunsur intrinsik dongeng yang siswa dengar. Pada tahap ini, peneliti juga
melakukan wawancara pada guru kelas V yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. dan 3
siswa kelas V SDN Bandardawung 03 mengenai pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng yang terjadi selama ini.
3. Pelaksanaan siklus
Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya
kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03
Tawangmangu Karangnayar. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator
tersebut yang dirancang dalam suatu siklus. Masing-masing siklus terdiri dari
empat tahap yaitu: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan
(acting), (c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting) untuk perencanaan
siklus berikutnya. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Adapun empat
tahap pelaksanaan siklus diuraikan sebagai berikut:
a) perencanaan tindakan (planning)
Berdasarkan hasil identifikasi serta penetapan masalah dari kegiatan
observasi survei awal dan wawancara, peneliti mengajukan alternatif pemecahan
masalah dengan menerapkan metode pembelajaran Jigsaw dalam pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pada tahap ini, peneliti beserta
guru menyusun skenario pembelajaran yang menerapkan metode Jigsaw. Di
samping itu, peneliti menyiapkan perangkat yang diperlukan selama pembelajaran
seperti kertas HVS, lembar jawab serta perangkat yang diperlukan untuk observasi
seperti lembar observasi dan dokumentasi.
b) pelaksanaan tindakan (acting)
Tindakan yang telah direncanakan serta disepakati oleh peneliti dan guru
diimplementasikan oleh guru dalam bentuk pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang menerapkan metode pembelajaran Jigsaw.
Pelaksanaan tindakan diwujudkan dalam langkah-langkah pembelajaran yang
49
sistematis. Secara garis besar, sebelum siswa mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng yang didengar, guru tetap memberikan materi melalui apersepsi
dengan cara tanya jawab dengan siswa mencangkup pengertian dongeng dan
unsur-unsur intrinsik pembangun dongeng. Setelah itu, siswa dibentuk kelompok
kemudian salah satu siswa ditugasi untuk membacakan sebuah dongeng di depan
kelas, siswa yang lain mendengarkan, kemudian guru menugasi siswa
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka dengar dalam
kelompok ahli. Setelah diskusi di kelompok ahli selesai siswa kembali ke
kelompok asal kemudian menyamapaikan hasil diskusi ke anggota kelompok asal
secara bergantian, kemudian siswa kembali ke tempat duduk masing-masing
kemudian guru memberikan tes. Selanjutnya, guru menilai hasil kerja siswa
berdasarkan minat siswa saat menyimak dongeng yang disampaikan, keaktifan
saat diskusi, serta kemampuan menjawab soal-soal yang diberikan guru. Guru
juga memberikan memberikan masukan mengenai proses diskusi yang telah
dilaksanakan oleh siswa.
c) pengamatan (observing)
Peneliti melakukan observasi saat pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang berlangsung. Observasi
berupa kegiatan pemantauan, pencatatan, serta pendokumentasian segala kegiatan
selama pelaksanaan pembelajaran. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi
kemudian diinterpretasi guna mengetahui kelebihan dan kekurangan dari tindakan
yang dilakukan.
d) analisis dan refleksi (reflecting)
Peneliti menganalisis data yang telah terkumpul dari hasil observasi
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode
Jigsaw kemudian menyajikannya pada guru kelas V SDN Bandardawung 03
Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Peneliti dan guru berdiskusi
untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan pada siklus
berikutnya berdasarkan hasil analisis berupa kelemahan-kelemahan dalam
pembelajaran. Dalam tahapan ini dapat diketahui berhasil tidaknya tindakan yang
telah diberikan.
50
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sebelum hasil penelitian dipaparkan, pada bab ini diuraikan terlebih
dahulu mengenai kondisi awal (pratindakan) pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN Bandardawung 03 Tawangmangu
Karanganyar. Dengan demikian pada bab ini akan dikemukakan: (a) kondisi awal
proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar, (b) pelaksanaan tindakan dan
hasil penelitian, dan (c) pembahasan hasil penelitian. Penelitian tindakan
dilakukan dalam tiga siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi, serta evaluasi dan refleksi.
A. Kondisi Awal
Peneliti melakukan survei awal sebelum melaksanakan penelitian. Survei
awal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng dan mengetahui kemampuan awal siswa dalam
memahami unsur-unsur intrinsik dongeng. Kondisi awal ini menjadi acuan untuk
menentukan tindakan yang akan dilakukan pada pembelajaran dalam siklus
selanjutnya. Survei awal dilakukan pada hari Jumat, 26 Februari 2010.
Peneliti mengambil posisi tempat duduk paling belakang di kelas ketika
melakukan survei awal. Peneliti melakukan kegiatan pengamatan selama proses
belajar mengajar berlangsung. Segala kejadian yang berlangsung pada hari itu
peneliti amati dalam lembar observasi. Selanjutnya, peneliti melakukan
wawancara dengan guru kelas V dan wawancara kepada siswa siswi untuk
mengetahui sejauh mana respon siswa terhadap pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah berlangsung.
Deskripsi hasil survei awal yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut.
Pada saat pratindakan, guru memulai proses pembelajaran dengan mengucapkan
salam dan mengecek kehadiran siswa. Peneliti menempatkan diri sebagai
partisipan pasif dengan berada di tempat duduk bagian belakang, sehingga peneliti
49
51
dapat mengamati jalannya kegiatan belajar mengajar dengan leluasa tanpa
mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung. Di kelas V guru menjelaskan
mengenai materi cerita rakyat, guru lebih mengutamakn materi tentang dongeng
dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru menjelaskan dengan sesekali
memberikan pertanyaan kepada siswa, kemudian meminta siswa untuk menjawab
dengan mengacungkan jari. Akantetapi, tidak ada satu siswa pun yang menjawab
pertanyaan dengan tegas dan lantang, sebagian siswa hanya bergumam tidak mau
menjawab dengan berani.
Ketika guru mulai masuk ke materi ada beberapa siswa yang gaduh
berbicara sendiri dengan temannya, ada yang melamun sepertinya ngantuk
sehingga ketika guru memberikan pertanyaan siswa tersebut tidak bisa menjawab
pertanyaan dengan baik. Kemudian guru menunjuk siswa lain untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Siswa dapat menjawab dengan baik dan benar sesuai dengan
yang diinginkan guru.
Guru kemudian menuliskan materi yang akan dicatat oleh siswa di papan
tulis, kemudian siswa disuruh mencatat di buku catatan mereka masing-masing.
Guru memeriksa catatan siswa dengan berputar mengelilingi kelas serta
mengontrol siswa agar tetap kondusif mengikuti kegiatan belajar mengajar. Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang belum
dipahami dengan benar namun tidak ada siswa yang bertanya. Setelah itu guru
menugasi siswa membacakan dongeng yang berada pada buku di depan kelas.
Banyak siswa yang tidak mau mendengar, mereka bercerita sendiri dengan teman
ada juga yang mengantuk meletakkan kepalanya di atas meja. Hanya sebagian
siswa yang mendengarkan dongeng yang dibaca.
Setelah dongeng dibacakan, guru menugasi siswa megidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang mereka dengar. Saat mendengar tugas dari guru,
semua siswa sangat gaduh. Karena mereka tidak menyimak dengan baik dongeng
yang dibaca. Selain itu, mereka juga belum begitu paham mengenai unsur-unsur
intrinsik dongeng yang harus diidentifikasi. Tugas dikumpulkan setelah bel
berbunyi.
52
Dari kenyataan yang ada, pembelajaran tersebut masih bersifat
konvensional. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacer centered) meskipun
siswa diberi kesempatan untuk bertanya. Metode yang diterapkan pun kurang
bervariasi. Guru masih menggunakan metode ceramah sebagai andalannya dalam
menyampaikan materi. Penugasan digunakan guru sebagai evaluasi pembelajaran.
Hasil tugas yang diberikan guru menunjukkan bahwa masih cukup banyak siswa
yang kurang memperhatikan penjelasan guru serta menangkap materi yang
disampaikan oleh guru terlihat masih banyaknya fakta hasil identifikasi yang
siswa lakukan masih banyak kesalahannya. Hal itu menunjukkan bahwa metode
ceramah belum efektif untuk menyampaikan materi dongeng.
Dari hasil wawancara dengan guru, beliau mengemukakan bahwa ratarata siswa mepunyai kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
yang masih rendah, hal itu disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam
memahami secara baik dongeng. Guru menilai para siswa pada umumnya belum
mampu menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru juga menyatakan belum
menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi dongeng agar
prestasi belajar siswa maksimal. Selama ini masih banyak potensi siswa yang bisa
digali agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran namun belum bisa dilaksanakan
untuk semua materi pelajaran. Guru mempunyai asumsi bahwa keaktifan siswa
pada saat pembelajaran dongeng jauh bisa ditingkatkan sehingga kualitas proses
dan hasil pembelajaran dongeng juga meningkat namun perlu metode yang tepat.
Guru menyadari bahwa selama ini beliau hanya mengajar secara
konvensional tanpa pernah mencoba metode-metode pembelajaran yang baru.
Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika siswa tampak tidak aktif
selama proses pembelajaran. Metode yang konvensional, membuat siswa cepat
merasa jenuh dalam mengikuti pembelajaran dongeng.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh
penjelasan bahwa siswa tidak begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya
menurut
mereka
pembelajaran
dongeng
membosankan.
Terkait
dengan
kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang pernah mereka
terima, siswa menuturkan bahwa pembelajaran yang sering dilaksanakan guru
53
adalah dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang
memiliki andil yang besar terhadap pembelajaran dan membuat siswa menjadi
pasif. Selain itu, mereka juga mengeluhkan cepat bosan dengan metode yang guru
gunakan.
Dari pengamatan saat pratindakan pada survei awal diketahui bahwa
partisipasi aktif dan kemampuan siswa memahami unsur-unsur intrinsik dongeng
masih rendah. Rendahnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran dongeng
tampak dalam hal berikut.
1. Lemahnya kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng;
Dari hasil jawaban siswa diketahui bahwa siswa belum mampu
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan baik. Tema belum
sepenuhnya dipahami oleh siswa, latar peristiwa masih saja ada yang salah.
Selain itu dalam menentukan tokoh dan penokohan ada yang terbalik. Amanat
yang dituliskan pun belum sesuai dengan isi dongeng yang ada.
2. Masih banyak siswa yang belum mempunyai minat menyimak dongeng yang
dibacakan;
Pada saat dongeng dibaca, masih banyak siswa yang tidak menyimak
dongeng dengan baik. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa siswa yang
menyimak dongeng dengan baik sebanyak 11 siswa (40%).
3. Masih banyak siswa yang belum aktif ketika diskusi kelompok berlangsung;
Pada saat diskusi kelompok, masih banyak siswa yang tidak berperan
aktif ketika diskusi berlangsung, hanya tampak beberapa siswa saja yang
selalu berperan aktif ketika berdiskusi. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa
siswa yang aktif ketika diskusi 11 siswa (40%).
4. Masih banyak siswa yang belum mengalami ketuntasan belajar.
54
Tabel 4. Perolehan Nilai Pretes Mengidentifikasi Unsur-unsu Intrinsik Dongeng
No
NIS
1
767
2
776
3
790
4
791
5
798
6
803
7
814
8
815
9
816
10
818
11
819
12
820
13
821
14
822
15
823
16
824
17
825
18
827
19
828
20
830
21
831
22
834
23
838
24
839
25
848
26
873
27
896
28
898
rata-rata: 52.85
Nama
Gilang Permana
Rohmat Bayu A. S
Diana Mita Sari
Santi Tiara Bakti
Kevin Pratama Putra
Sriyanto
Salsa Dinisa Nur
Devi Kharisma Angzali
Indri Rosita Sari
Ratih Dwi Anggraeni
Candra Sih Maulana
Riski Setiawan
Lina Imroatun
Achmad Fadyanto
Fahrian Sinta Dewi
Desi Wahyu Sulistya N
Puput Lestari
Ivan Febri Bimantara
Anggi Ayu Purnamasari
Ayu Wibeseno
Ulfiani Resti Utami
Indah Puspitasari
Iliyana Diningtyas Ratri
Pinky Yulia Rahmawati
Rosyid Prasetyo
Nadila Putri Hapsari
Ira Widiyastuti
Yusroni Aruda F.
Nilai
50
35
70
50
40
45
75
90
60
80
65
55
65
55
40
50
45
50
80
50
70
55
70
50
60
35
50
40
Mengacu pada analisis di atas, dapat dikemukakan tiga hal pokok yang
perlu diatasi, yaitu pembelajaran dongeng yang konvensional, rendahnya
partisipasi aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran serta menumbuhkan minat
menyimak dongeng siswa. Implikasinya, tindakan perlu dilakukan untuk
mengatasi dua hal tersebut. Untuk itu peneliti berdiskusi dengan guru untuk
merencanakan langkah selanjutnya pada hari Sabtu, 27 Februari 2010.
55
B. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian
1. Siklus I
a. Perencanaan Tindakan
Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan ditemukan beberapa
permasalahan, kemudian dilaksanakanlah siklus I sebagai tindakan pertama untuk
mengatasi permasalahan yang muncul. Tahap pertama dari siklus I adalah
perencanaan tindakan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27
Februari 2010 di ruang guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti dan
guru melakukan diskusi, yaitu :(1) peneliti menyamakan presepsi dengan guru
mengenai penelitian yang akan dilakukan; (2) peneliti memberikan usul
menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng; (3) peneliti dan guru bersama-sama menyususn RPP untuk
siklus I; (4) peneliti dan guru menentukan indikator pencapaian tujuan; (5) guru
dan peneliti membuat lembar penilaian tes dan nontes. Instrumen tes dinilai
berdasarkan hasil pekerjaan siswa. Intrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman
observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati keaktifan dan sikap
siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (6) menentukan jadwal
penelitian berikutnya.
Urutan tindakan yang direncanakan dalam siklus I adalah sebagai
berikut:
1. guru memberikan apersepsi awal mengenai pengetahuan awal siswa terhadap
dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng;
2. guru membagi siswa menjadi 7 kelompok;
3. guru membagi topik permasalahan yang harus siswa pecahkan;
4. guru menunjuk salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas;
5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah
yang telah ditugaskan guru kepada mereka;
6. guru menugasi kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan
materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
7. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;
8. guru menutup pelajaran.
56
Urutan kegiatan tersebut merupakan urutan proses pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng tindakan penelitian siklus I. Pelaksanaan siklus I disepakati hari
Senin, 1 Maret 2010 pukul 07.15-08.25.
b. Pelaksanaan Tindakan
Tindakan pada siklus I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 1 Maret
2010 di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Siklus I berlangsung
selama 2 x 35 menit, yaitu mulai pukul 07.15-08.25. Langkah-langkah yang
dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng adalah sebagai berikut:
1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan
presensi;
2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan
menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket;
3. guru mengadakan apersepsi dengan cara bertanya jawab mengenai dongeng
dan unsur-unsur intrinsik dongeng;
4. Guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi;
5. guru membentuk kelompok, yaitu dengan membagi siswa ke dalam 7
kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa dengan 1 siswa
berkemampuan tinggi (pintar), 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa
berkamampuan rendah. Pembagian kelompok ini berdasarkan nilai siswa serta
keaktifan siswa ketika mengikuti kegiatan belajar-mengajar sehari-hari.
Sekaligus membagi topik untuk setiap siswa;
6. guru menugasi salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas;
7. siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab
mereka masing-masing;
8. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah
ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat
kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;
9. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah
mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
57
10. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;
11. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;
12. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;
13. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng;
14. guru menutup pelajaran.
Pada pelaksanaan siklus ini peneliti bertindak sebagai partisipan pasif
memposisiskan diri di tempat duduk paling belakang dengan melakukan
pengamatan sambil sesekali mengambil gambar.
c. Observasi
Observasi dilaksanakan dengan mengamati secara seksama pelaksanaan
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng baik pada aktivitas
guru maupun siswa. Peneliti yang duduk di belakang sebagai pertisipan pasif.
Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil
sebagai berikut. Di awal pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan guru
membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa
dengan melakukan presensi. Siswa tampaknya menilai hal itu sebagai sebuah
kewajaran. Setelah itu guru melakukan pengondisian kelas dengan menyuruh
siswa mempersiapkan dengan membuka buku LKS serta buku paket Bahasa
Indonesia. Kemudian guru mengadakan apersepsi yaitu mengenai pengertian
dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Rata-rata siswa mengeluh saat guru
memberitahukan bahwa pelajaran ini adalah mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng, mungkin telah tergambar bagaimana sulitnya dan pasti
membosankan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Langkah selanjutnya guru berupaya untuk mendapatkan keterangan dari
siswa terkait dengan pengalaman siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng. Rata-rata siswa hanya terdiam dan tertunduk walaupaun sebenarnya
guru sudah memancing dengan sedemikian rupa. Walaupun demikian usah itu
bukanlah usaha yang sia-sia tampak beberapa siswa mulai antusias mengikuti
pembelajaran. Berdasarkan kegiatan tanya jawab tersebut diketahui bahwasannya
siswa tidak menyimak dongeng yang di bacakan teman mereka, sebagian mereka
58
merasa bosan sehingga mereka kesulitan mengidentifikasi serta membedakan tiap
unsur-unsur intrinsik dongeng, selain itu mereka merasa bosan dengan metode
yang diterapkan oleh guru.
Setelah merasa siswa masuk pada konteks pembelajaran yang
diharapkan, langkah berikutnya guru merangkum materi hasil apersepasi. Tak
dapat dipungkiri ceramah pada awal pembelajarn itu sungguh membosankan dan
mengakibatkan siswa tidak terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Reaksi yang
sering muncul adalah beberapa siswa mulai tampak bosan dan beraktivitas sendiri.
Guru sesekali harus menegur siswa yang tidak memerhatikan pembelajaran agar
kembali fokus pada pembelajaran. Pelaksanaan tersebut tidak sesuai dengan RPP
yang telah disepakati dengan peneliti.
Setelah kegiatan apersepsi selesai, guru pun meminta siswa membentuk
kelompok dengan anggota tiap kelompok sejumlah 4 orang siswa dan sekaligus
guru membagi topik yang harus mereka pecahkan dalam kelompok ahli.
Kemudian guru menugasi salah satu siswa yaitu Santi untuk membacakan
dongeng di depan kelas. Ketika Santi membacakan dongeng di depan kelas, tidak
semua siswa mendengarkan dengan antusias. Kebanyakan mereka malah kelihatan
sangat bosan dengan aktivitas tersebut. Setelah Santi selesai membacakan
dongeng, guru menugasi kelompok ahli untuk memecakan topik yang telah guru
berikan. Setelah itu selesai, kelompok ahli kembali ke kelolmpok asal kemudian
kelompok ahli bertugas menjelaskan ke kelompok asal. Kemudian guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Akan tetapi tidak ada satu
siswa pun yang mau bertanya, padahal nampak jika mereka masih bingung
dengan pembelajaran hari ini. Karena siswa tidak ada yang mau bertanya
kemudian guru memberikan lembar soal untuk dikerjakan sebagai alat ukur untuk
mengetahui keberhasilan pembelajaran hari ini. Setelah selesi mengerjakan soal,
lembar jawaban siswa dikumpulkan lima menit sebelum bel berbunyi. Sebagai
refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih
ditemukan saat pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Beberapa siswa mengungkapkan bahwa mereka kurang berminat menyimak
dongeng karena pembacaannya membosankan, siswa masih kesulitan memahami
59
unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah disampaikan oleh teman mereka serta
masih bingung dengan penerapan metode yang diterapkan.
Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan
hasil observasi pada siklus I, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang
berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 12 siswa (42 %) ;4) siswa
yang aktif saat diskusi 13 siswa (46 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 15
siswa (56 %).
d. Analisis Refleksi
Berdasarkan
pengamatan
yang
dilakukan
peneliti
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dilakukan analisis dan refleksi
sebagai berikut.
1 ) Selama pembelajaran siswa terlihat kurang aktif baik pada kegiatan apersepsi
maupun selama proses pembelajaran. Hal itu tampak dari pertanyaanpertanyaan guru yang tidak sepenuhnya ditanggapi oleh siswa.
2 ) Pengelolaan kelas yang telah guru laksanakan kurang optimal, hal itu terbukti
dengan proses pembelajaran masih bersifat satu arah yakni guru yang lebih
mendominasi pembelajaran.
3 ) Beberapa siswa tampak kurang berminat menyimak dongeng yang dibaca.
Tampak siswa sibuk melakukan aktivitas sendiri, seperti berbicara dengan
teman sebangku bahkan ada menyandarkan kepala mereka di atas meja selain
itu siswa juga tampak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa
masih datar, intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan Hal ini
berdasarkan observasi evaluasi yang dilakukan oleh guru.
4 ) Penentuan kelompok perlu diulang, karena ada beberapa siswa yang
mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.
5 ) Diskusi kelompok belum berfungsi secara optimal. Selain itu waktu yang
dibutuhkan cukup lama sehingga waktu banyak terbuang.
6 ) Siswa belum paham dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan guru, hal
itu terlihat dari banyaknya siswa yang masih kebingungan saat diminta segera
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
60
7 ) Balikan dan penguatan yang diberikan guru kurang optimal sehingga siswa
belum mengetahui dengan jelas mengenai kelemahan yang ia lakukan pada
saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Berdasarkan analisis tersebut, berikut ini dikemukakan refleksi terhadap
kekurangan yang ditemukan pada pelaksanaan pembelajaran siklus I.
1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan
kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih
dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih
aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam
diskusi.
2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa
yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.
3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan
tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar,
intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang
menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang
dilaksanakn guru.
4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok.
5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
61
Tabel 5. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng pada
Siklus I
No
NIS
1
767
2
776
3
790
4
791
5
798
6
803
7
814
8
815
9
816
10
818
11
819
12
820
13
821
14
822
15
823
16
824
17
825
18
827
19
828
20
830
21
831
22
834
23
838
24
839
25
848
26
873
27
896
28
898
rata-rata: 59
Nama
Gilang Permana
Rohmat Bayu A. S
Diana Mita Sari
Santi Tiara Bakti
Kevin Pratama Putra
Sriyanto
Salsa Dinisa Nur
Devi Kharisma Angzali
Indri Rosita Sari
Ratih Dwi Anggraeni
Candra Sih Maulana
Riski Setiawan
Lina Imroatun
Achmad Fadyanto
Fahrian Sinta Dewi
Desi Wahyu Sulistya N
Puput Lestari
Ivan Febri Bimantara
Anggi Ayu Purnamasari
Ayu Wibeseno
Ulfiani Resti Utami
Indah Puspitasari
Iliyana Diningtyas Ratri
Pinky Yulia Rahmawati
Rosyid Prasetyo
Nadila Putri Hapsari
Ira Widiyastuti
Yusroni Aruda F.
Nilai
53
40
73
60
53
47
80
80
73
73
73
47
67
40
47
60
53
47
80
53
73
60
60
53
60
47
60
40
2. Siklus II
a. Perencanaan Tindakan
Bertolak dari refleksi yang telah dilakukan
terhadap siklus I maka
peneliti dan guru sepakat bahwa siklus II perlu dilakukan. Persiapan dan
perencanaan tindakan dilakukan pada hari Rabu 3 Maret 2010 di ruang guru SDN
Bandardawung
menyamapaikan
03
Tawangmangu.
kembali
hasil
Dalam
observasi
kesempatan
dan
refleksi
ini,
peneliti
pembelajaran
62
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siklus I. Pada kesempatan ini
pula peneliti menyamapaikan kelemahan dan kelebihan siklus I sekaligus
merencanakan tindakan selanjutnya pada siklus II.
Setelah berdiskusi sekian lama akhirnya peneliti dan guru sepakat untuk
memperbaiki beberapa hal yang dirasa memerlukan perbaikan sebagaimana yang
telah terdapat pada refleksi siklus I. Langkah-langkah perbaikan yang dimaksud
antara lain.
1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan
kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih
dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih
aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam
diskusi.
2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa
yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok.
3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan
tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar,
intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang
menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang
dilaksanakan guru.
4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok.
5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Setelah merasa cukup dengan perbaikan yang akan dilaksanakan pada
siklus II, peneliti dan guru kemudian menyusun RPP. Dalam diskusi penyusunan
RPP tersebut guru dan peneliti merinci langkah-langkah yang akan dilaksanakan
dalam pembelajaran.
Di samping itu, disepakati pula bahwa guru tidak hanya berada di depan
kelas namun keliling untuk mengontrol dan mengondisikan diskusi kelompok
siswa. Guru juga yang akan membacakan dongeng yang disimak siswa supaya
siswa lebih bisa berkonsentrasi dengan baik. Selain itu guru juga akan lebih
mengaktifkan siswa dengan lebih menekankan pada proses menemukan sendiri
63
pada tahapan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Sebagaimana
tindakan siklus I, tindakan siklus II akan dilaksanakan pada Kamis 4 Maret 2010
di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.
Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di siklus II
ini rencananya akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:
1. guru membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran
siswa;
2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya
seperti pada siklus I ;
3. guru membentuk kelompok;
4. guru membacakan dongeng di depan kelas;
5. siswa berdiskusi di kelompok asal;
6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah
ditugaskan guru kepada mereka;
7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah
mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;
9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;
10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;
11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng;
12. Guru menutup pelajaran.
b. Pelaksanaan Tindakan
Seperti yang telah direncanakan, tindakan siklus II dilaksanakan dalam
satu kali pertemuan, yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010 bertempat di kelas V
SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Pertemuan berlangsung 2 x 35 menit.
Pada tahap ini, guru bertindak sebagai pemimpin jalannya kegiatan belajar
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di dalam kelas,
sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai partisipan pasif. Adapun langkahlangkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengdentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng pada tindakan siklus II adalah sebagai berikut:
64
1) guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan
presensi;
2) guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan
menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket;
3) guru mengadakan apersepsi dengan cara berataya jawab mengenai dongeng
dan unsur-unsur intrinsik dongeng;
4) guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi;
5) guru membentuk kelompok
6) guru membacakan dongeng di depan kelas;
7) siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab
mereka masing-masing;
8) siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah
ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat
kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;
9) kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah
mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
10) guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;
11) guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;
12) guru beserta siswa membahas soal-soal ulangan yang telah siswa kerjakan
supaya siswa mengetahui letak kesalahannya;
13) guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;
14) guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng;
15) guru menutup pelajaran.
c. Observasi
Pelaksanaan tindakan siklus II ini dilaksanakan dalam satu kali
pertemuan yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010, selama 2 x 35 menit di ruang
kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti mengamati guru yang
sedang mengajar siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu dengan
menempatkan diri di tempat duduk paling belakang. Kegiatan observasi ini
65
dimaksudkan untuk mendeskripsikan apakah kekurangan proses
belajar
pembelajaran pada siklus I sudah bisa teratasi belum.
Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil
sebagai berikut. Semua siswa pada saat itu masuk, kelas tampak rapi tetapi sedikit
silau karena panas matahari, siswa tampak siap menghadapi pelajaran pada saat
itu. Sama halnya dengan pembelajaran pada siklus I, kali ini pembelajaran juga
menggunakan metode Jigsaw untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng.
Di awal pembelajaran, sebagaimana yang telah direncanakan, guru
membuka pelajaran dengan salam dan mengadakan presensi kehadiran siswa.
Setelah itu guru mengondisikan siswa supaya siap menerima pelajaran dengan
menugasi siswa membuka buku paket kemudian mengadakan apersepsi terhadap
pengalaman siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada
siklus I dan kemampuan mereka saat mengerjakan soal-soal yang telah guru
berikan. Dalam apersepasi guru menekankan sangat menariknya isi dongengdongeng di Indonesia dan banyak sekali manfaat yang dapat kita petik dari isi
cerita dongeng yang ada di Indonesia. Selain itu, guru juga menjelaskan tentang
pelaksanaan pembelajaran yang akan mereka laksanakan, supaya siswa tidak
bingung seperti pada saat siklus I yang dilaksanakan kemarin.
Langkah selanjutnya yang dilakukan guru adalah berupaya untuk
mengorek keterangan dari siswa terkait dengan hal-hal yang dirasa sulit ketika
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng minggu yang lalu. Beberapa siswa
mulai aktif mengajukan pertanyaan, mungkin karena mereka telah mengalami
pembelajaran pada siklus I sehingga mengetahui kesulitan apa yang telah mereka
alami pada silus I. Rata-rata siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa bosan
menyimak dongeng yang dibaca karena pembacaan yang monoton, siswa masih
merasa bingung dengan langkah-langkah yang diterapakan dan mereka juga tidak
mampu mengingat-ingat isi dongeng yang telah dibacakan.
Tahap apersepasi yang dilakaukan guru pada siklus II tampak lebih lama
jika dibandingkan dengan palaksanaan apersepsi pada siklus I. Setelah tahap
apersepasi dirasa cukup, langah berikutnya menjelaskan metode yang akan
66
digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah metode
seperti yang digunakan pada pertemuan minggu lalu.
Pada awalnya siswa mengeluh kepada guru, karena para siswa merasa
berat untuk mengingat-ingat dongeng yang mereka dengar. Namun guru
memberikan cara supaya mereka mudah mengingat dan tidak kesulitan dalam
menyimak yaitu dengan cara berkonsentrasi ketika dongeng di baca serta
membuat cacatan-cacatan kecil mengenai dongeng yang mereka dengar. Setelah
memberikan penjelasan singkat kepada siswa, guru meminta siswa untuk duduk
berkelompok berdasarkan anggota kelompok yang baru. Setelah siswa siap,
kemudian guru membacakan dongeng.
Ketika guru membacakan dongeng tampak suasan kelas hening dan
sebagian besar siswa mendengar dengan baik. Sebagian besar siswa melaksanakan
saran dari guru yaitu dengan membuat catatan-catatan kecil, namun beberapa
siswa ketika pertengahan dongeng dibaca mereka tampak bosan mendengar isi
dongeng tesebut. Setelah guru selesai membaca dongeng, guru menugasi siswa
berdiskusi di kelompk ahli untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
yang telah mereka simak dengan topik yang telah guru bagi.
Selama pembelajaran berlangsung guru sesekali berkeliling untuk
memberikan tutorial kepada siswa yang masih mengalami kesulitan dalam
memecahkan topik yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini cukup
memberikan andil besar terhadap pemahaman siswa karena siswa telah
mengetahui apa yang mereka tidak bisa dan mereka menanyakan kepada guru.
Setelah kegiatan berdiskusi di kelompok ahli selesai, guru menugasi
siswa kembali kekelompok asal kemudian guru menugasi siswa kelompok ahli
untuk menjelaskan masing-masing topik yang telah mereka diskusikan di
kelompok ahli. Setelah semua kelompok ahli selesai menjelaskan dan siswa sudah
paham mengenai unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka simak, guru
menugasi siswa kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Suasan tampak
gaduh saat itu, hal ini wajar karena siswa berpindah dari suatu kelompok ke
tempat duduk mereka dengan merapikan tempat duduk mereka seperti saat awal
67
pelajaran di mulai. Guru mengondisikan siswa kemudian memberikan
kesemapatan kepada siswa untuk bertanya.
Setelah Tanya jawab usai, guru membagikan soal untuk menguji
pemahaman siswa mengenai pembelajaran hari ini. Karena jumlah soal hanya
lima belas, guru membatasi waktu untuk mengerjakan soal yaitu lima belas menit.
Sebagai refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih
ditemukan saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Beberapa siswa
mengungkapakan bahwa mereka masih kesulitan mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng sehingga penyampaian di kelompok asal belum maksimal serta
masih merasa bosan menyimak dongeng karena pembacaan guru yang masih
datar. Selain itu, guru juga bertanya mengenai pembagian kelompok apakah masih
ada kekurangan atau tidak, siswa menjawab sudah sesuai. Mengenai penerapan
metode, siswa merasa senang dengan metode yang digunakan ketika pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik donging berlangsung, siswa tidak bosan
karena mereka mempunyai tanggung jawab, sehingga mereka harus bisa
memecahkan topik yang telah diberikan guru. Guru pun memberikan simpulan
pada pembelajaran hari ini dan menutup pembelajaran dengan ucapan salam.
Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan
hasil observasi pada siklus II, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang
berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 15 siswa (56 %) ;4) siswa
yang aktif saat diskusi 15 siswa (56 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 22
siswa (78 %).
d. Analisis Refleksi
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus II, dapat
dikemukakan beberapa hal, yaitu:
1) minat siswa dalam menyimak dongeng mengalami peningkatan bila
dibandingkan dengan siklus sebelumya, yakni sebesar 14 %. Pada siklus II
siswa yang menyimak dongeng dengan baik sebanyak 15 siswa atau sebesar
56 % dari jumlah siswa;
2) kegiatan diskusi yang dilakukan juga lebih efektif jika dibandingkan dengan
pelaksanaan pada siklus I. Keaktifan siswa meningkat 10 % bila dibandingkan
68
dengan siklus sebelumnya. Pada siklus II siswa yang aktif dalam diskusi
sebanyak 15 siswa atau 56 % dari jumlah siswa. Akan tetapi masih ada
beberapa siswa yang belum aktif ketika diskusi berlangsung. Sehingga
keaktifan guru untuk mengamati siswanya sangat diperlukan. Guru harus
selalu berkeliling untuk mengamati kerja kelompok siswa;
3) pengelolaan kelas yang dilakukan guru lebih baik daripada pengelolaan pada
siklus sebelumnya. Pada siklus ini pembelajaran lebih hidup;
Dari analisis serta refleksi di atas, dapat diungkapakan bahwa kualitas
proses pembelajaran sudah mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan
siklus I. Kekurangan hanya ditemui pada sikap siswa yang terkadang kelihatan
agak bosan ketika dongeng di bacakan. Untuk itu pembacaan yang guru lakukan
perlu diperbaiki yaitu dengan cara membacakan dongeng sesuai dengan karakter
masing-masing tokoh serta dengan intonasi, jeda, lafal dan ekspresi yang tepat.
Adapun dari kegiatan diskusi siswa, guru harus selalu berkeliling supaya diskusi
dalam kelompok ahli lebih intensif dan hasil yang akan disampaikan kepada
kelompok asal lebih maksimal supaya hasilnya optimal. Berikut ini data perolehan
nilai identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa pada siklus II.
69
Tabel 6. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng
pada Siklus II
No
NIS
1
767
2
776
3
790
4
791
5
798
6
803
7
814
8
815
9
816
10
818
11
819
12
820
13
821
14
822
15
823
16
824
17
825
18
827
19
828
20
830
21
831
22
834
23
838
24
839
25
848
26
873
27
896
28
898
rata-rata: 67.32
Nama
Gilang Permana
Rohmat Bayu A. S
Diana Mita Sari
Santi Tiara Bakti
Kevin Pratama Putra
Sriyanto
Salsa Dinisa Nur
Devi Kharisma Angzali
Indri Rosita Sari
Ratih Dwi Anggraeni
Candra Sih Maulana
Riski Setiawan
Lina Imroatun
Achmad Fadyanto
Fahrian Sinta Dewi
Desi Wahyu Sulistya N
Puput Lestari
Ivan Febri Bimantara
Anggi Ayu Purnamasari
Ayu Wibeseno
Ulfiani Resti Utami
Indah Puspitasari
Iliyana Diningtyas Ratri
Pinky Yulia Rahmawati
Rosyid Prasetyo
Nadila Putri Hapsari
Ira Widiyastuti
Yusroni Aruda F.
Nilai
60
53
80
67
53
60
73
93
93
80
67
53
80
67
47
53
73
67
73
60
80
73
67
74
53
67
60
60
3. Siklus III
a. Perencanaan Tindakan
Berdasarkn hasil refleksi pada siklus II, guru dan peneliti sepakat bahwa
siklus III perlu dilaksanakan. Perencanaan siklus III ini dilaksanakan di ruang
guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu pada hari Sabtu tanggal 6 Maret
2010. Dalam diskusi tersebut disampaikan dan dibahas mengenai kelebihan dan
kekurangan dari pelaksanaan siklus II. Terdapat beberapa hal yang menjadi
permasalahan pada pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II sehingga
70
palaksanaan
siklus
III
perlu
dilaksanakan
untuk
meningkatkan
proses
pembelajaran dan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Penambahan yang disepakati untuk dilaksanakan pada siklus III adalah
sebagai berikut.
1. Guru membacakan dongeng dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang
tepat, supaya siswa mudah dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng.
2. Guru selalu berkeliling ketika siswa berdiskusi supaya kerja mereka terkontrol
dan ketika menyampaikan ke tim asal hasilnya maksimal.
Setelah membahas hal-hal yang perlu dilakukan pada siklus III peneliti
dan guru kemudian menyusun RPP mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng dengan metode Jigsaw. Langkah-lankah pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:
1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa;
2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya
seperti pada siklus II ;
3. guru menugasi siswa duduk berkelompok;
4. guru membacakan dongeng di depan kelas dengan intonasi, lafal, jeda serta
ekspresi yang tepat;
5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli dengan pembegian topik
seperti pada siklus II;
6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah
ditugaskan guru kepada mereka;
7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah
mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;
9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa;
10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;
11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng;
12. guru menutup pelajaran.
71
Pada akhir diskusi disepakati bahwa siklus III akan dilaksanakan pada
hari Senin tanggal 8 Maret 2010.
b. Pelaksanaan Tindakan
Sebagaimana perencanaan yang telah disusun, tindakan siklus III
dilaksanakan pada hari Senin, 8 Maret 2010. Pertemuan berlangsung salama 2 x
35 menit di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Langkahlangkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng pada tindakan siklus III adalah sebagai berikut:
1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan
presensi;
2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan
menyuruh siswa mengeluarkan buku LKS serta buku paket;
3. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik
dongeng yang telah mereka terima pada siklus I dan siklus II;
4. guru menugasi siswa duduk berkelompok;
5. guru membacakan dongeng di depan kelas, dengan intonasi, lafal, jeda serta
ekspresi yang tepat supaya siswa mudah mengingat;
6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah
ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat
kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan;
7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah
mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya;
9. guru memberi ulanagan untuk menguji kemampuan siswa;
10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui;
11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik dongeng;
12. guru menutup pelajaran.
72
Pada pelaksanaan tindakan ini, sebagaimana siklus I dan siklus II
peneliti
bertindak
sebagai
partisipan
pasif
yang
mengamatai
jalannya
pembelajaran dari belakang. Peneliti memilih di belakang karena posisi ini
memungkinkan
peneliti
mengamati
seluruh
proses
pembelajaran
tanpa
mengganggu jalannya pembelajaran.
c. Observasi
Sesuai dengan rencana, pelaksanaan siklus III dilaksanakan pada hari
Senin 8 Maret 2010 . Sama halnya dengan yang peneliti lakukan pada siklus I dan
II peneliti bertindak sebagai partisipan pasif pada pelaksanaan tindakan tersebut.
Walauapun demikian peneliti terkadang berkeliling untuk ikut mengamati
kegiatan diskusi siswa dan mengambil gambar sebagai bukti tindakan. Observasi
difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran, kegiatan yang dilaksanakan
guru serta aktivitas diskusi.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan penelliti diperoleh hasil
sebagai berikut. Pembelajaran dalam tindakan ini merupakan solusi atas
permasalahan yang muncul pada siklus II sehingga dalam kegiatana ini, guru
mengaplikasikan solusi yang telah disepakati dengan peneliti untuk mengatasi
permasalahan pada siklus II. Pembelajaran diawali guru dengan mengucapkan
salam menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi, kemudian guru
mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh
membuka buku LKS serta buku paket. Pada kegiatan awal ini siswa terlihat lebih
semangat tampaknya mereka sudah tidak sabar untuk menyimak dongeng yang
akan mereka simak serta berdiskusi untuk mengidentifkasi unsur-unsur intrinsik
dongeng yang kemudian mereka menyampiakannya kepada teman dalam kelmpok
asal mereka. Langkah selanjutnya, guru memberikan sedikit apersepsi mengenai
dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya bagian mana yang siswa belum paham. Pada saat
sesi tanya jawab ini sebagian besar siswa sudah paham mengenai perbedaan yang
mendasar setiap unsur intrtinsik dongeng. Kemudian guru menugasi siswa untuk
duduk berkelompok dengan kelompok asal mereka, secara cepat siswa duduk
berkelompok. Setelah siswa terkondisi, guru membacakan dongeng yang lelah
73
peneliti dan guru siapkan ketika perencanaan tidakan siklus III. Ketika guru
membacakan dongeng, semua siswa nampak antusias menyimak dongeng,
terlebih karena guru membacakan sesuai dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi
yang tepat dalam dongeng, sehingga dalam proses penceritaan tidak terkesan
monoton dan menjemuhkan. Dongeng nampak menarik dan siswa sangan senang
menyimaknya. Walaupan mereka menyimak dongeng dengan baik, tidak lupa
mereka membuat catatan-catatan kecil untuk mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik yang nantinya akan mereka pecahkan di kelompok ahli. Setelah guru
selesai membacakan, guru menugasi siswa ke kelompk ahli untuk memecahkan
topik yang yang telah guru tugaskan seperti pada siklus I maupun siklus II. Secara
cepat siswa ke kelompok ahli untuk berdiskusi topik yang harus mereka pecahkan.
Kegiatan diskusi sangat hidup pada kegiatan pemebelajaran ini, siswasiswa sudah tidak kelihatan bingung dengan metode yang diterapakan. Siswa
nampaknya sudah nyaman dengan metode Jigsaw yang guru dan peneliti
terapkan. Guru selalu berkeliling untuk mengamati dan membantu permasalahan
yang terjadi ketika kelompok ahli berdiskusi, supaya ketika menyampaikan atau
menjelaskan ke kelompok asal hasilnya bisa maksimal sehingga semua anggota
kelompok paham dengan penjelasan kelompok ahli. Setelah kelompok ahli selesai
berdiskusi, guru menugasi siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan
materi yang telah mereka pecahkan. Dengan antusias setiap kelompok ahli
menyampaikan topik mereka masing-masing. Anggota kelompok asal sangat
serius meperhatikan ketika kelompok ahli menjelaskan topik yang telah mereka
pecahkan dengan bertanya apabila diantara mereka ada yang kurang jelas dengan
penjelasan kelompok ahli. Guru selalu berkeliling mengamati jalannya diskusi.
Langkah selanjutnya, guru menugasi siswa duduk di tempat duduk
mereka masing-masing kemudian guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
bertanya bagian mana yang mereka belum paham. Semua siswa sudah paham
dengan penjelasan kelompok ahli. Kemudian guru memberikan ulangan, semua
siswa mengerjakan ulangan dengan baik.
Setelah selesai mengerjakan soal ulangan, kemudian guru merefleksi
kegiatan pembelajaran yang telah dilalui kemudian bertanya apakah senang
74
dengan dongeng serta metode yang guru terapkan dalam pembelajaran dongeng
ini, secara serentak siswa menjawab senang. Guru menjeaskan bahwa dalam
pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa harus aktif
dalam bertanya jawab agar mendapatkan jawaban atas hal-hal yang belum
dipahami dan diharapkan mampu bekerja secara aktif dalam kelompok karena
meningkatkan nilai keaktifan dalam belajar. Guru dan siswa menyimpulkan
materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Bel
berbunyi guru menutup pelajaran.
Pelaksanaan
pembelajaran
mengidentifikasi
unsur-unsur
intrinsik
dongeng pada siklus III berjalan dengan baik sehingga memuaskan guru. Sebagian
besar siswa aktif dalam diskusi setelah mereka selesai menyimak dongeng yang
telah guru bacakan dengan pembacaan yang menarik. Peningkatan yang signifikan
dalam hal kuantitas siswa yang aktif dalam pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dan juga peningkatan kualitas proses pembelajaran
identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
d. Analisis Refleksi
Dari hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus III dapat
dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tercapainya sejumlah
indikator yang telah ditetapkan, seperti meningkatnya keaktifan siswa ketika
diskusi berlangsung, meningkatnya perhatian serta konsentrasi siswa ketika
dongeng dibacakan. Di samping itu, kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam
siklis II telah dapat diatasi dengan baik oleh guru pada siklus III.
Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan
hasil observasi pada siklus III, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang
berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 25 siswa (89 %) ;4) siswa
yang aktif saat diskusi 22 siswa (78 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 28
siswa (100 %).
75
Tabel 7. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng
pada Siklus III
No
NIS
1
767
2
776
3
790
4
791
5
798
6
803
7
814
8
815
9
816
10
818
11
819
12
820
13
821
14
822
15
823
16
824
17
825
18
827
19
828
20
830
21
831
22
834
23
838
24
839
25
848
26
873
27
896
28
898
rata-rata: 79.5
Nama
Gilang Permana
Rohmat Bayu A. S
Diana Mita Sari
Santi Tiara Bakti
Kevin Pratama Putra
Sriyanto
Salsa Dinisa Nur
Devi Kharisma Angzali
Indri Rosita Sari
Ratih Dwi Anggraeni
Candra Sih Maulana
Riski Setiawan
Lina Imroatun
Achmad Fadyanto
Fahrian Sinta Dewi
Desi Wahyu Sulistya N
Puput Lestari
Ivan Febri Bimantara
Anggi Ayu Purnamasari
Ayu Wibeseno
Ulfiani Resti Utami
Indah Puspitasari
Iliyana Diningtyas Ratri
Pinky Yulia Rahmawati
Rosyid Prasetyo
Nadila Putri Hapsari
Ira Widiyastuti
Yusroni Aruda F.
Nilai
73
67
80
67
73
80
80
100
80
80
87
73
73
87
73
80
73
80
100
87
93
87
73
93
67
67
73
80
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi di atas, tindakan pada siklus III
dikatakan berhasil. Peningkatan terjadi pada beberapa indikator dibandingkan
siklus sebelunya, Nilai rata-rata kelas sudah jauh melebihi batas ketuntasan serta
ketuntasan siswa mencapai 100%.
76
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan tindakan I, II, dan III dinyatakan bahwa
terjadi peningkatan baik dari segi proses maupun hasil pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa
kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar. Hal ini dapat
diliahat pada indikator-indikator sebagai berikut:
1. Peningkatan Kualitas Proses dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini:
a. Minat siswa dalam menyimak dongeng
Sebelum tindakan penelitian ini dilakukan, siswa kurang tertarik dalam
menyimak dongeng. Hal ini terjadi karena pembacaan yang datar serta belum
adanya ekspresi ketika membaca dongeng. Siswa terlihat bosan, ngantuk serta
beraktivitas sendiri ketika dongeng dibacakan.
Setelah dilakukan tindakan yaitu dengan pemodelan ketika pembacaan
dongeng (dongeng dibaca dengan nada, intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang
tapat) siswa terlihat antusias menyimak. Terlihat pada diri siswa kesediaan
untuk meyimak dongeng hal ini nampak pada suasana hening dengan
konsentrasi penuh ketika dongeng di baca.
b. Keaktifan siswa dalam diskusi kelompok
Dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
dengan metode Jigsaw keaktifan siswa ketika diskusi berlangsung meningkat.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti keaktifan siswa pada siklus I mencapai
46%, siklus II mencapai 56% sedangkan pada siklus III menjadi 78% dari
jumlah siswa. Siswa nampak antusias setiap kali berdiskusi.
c. Kemampuan guru dalam mengelola kelas
Kemampuan guru dalam mengelola kelas sangat mempengaruhi
keberhasilan proses belajar-mengajar. Pengelolaan kelas yang dilakukan guru
yaitu berupa tindakan memotivasi siswa untuk bisa mengeluarkan pendapat
ketika diskusi berlangsung. Selain itu guru tidak hanya duduk di depan dalam
mengajar tapi bisa lebih berinteraksi dengan siswa dengan cara berkeliling.
77
d. Kemampuan guru dalam menggunakan metode Jigsaw
Sebelum adanya penelitian ini, guru mengaku bahwa belum pernah
menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng. Selama ini guru mengajar hanya dengan metode ceramah
yang
monoton
kemudian
memberikan
tugas
kepada
siswa
untuk
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pembelajaran terpusat pada
guru, siswa bukan sebagai subjek akan tetapi sebagai objek dalam
pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif .
Setelah diadakan penelitian ini, guru jadi tertarik dalam melaksanakan
pembelajaran dengan menerapkan metode Jigsaw. Hal ini terbukti dengan
penerapan metode Jigsaw guru lebih mudah dalam menyampaikan materi
serta siswa lebih aktif, siswa tidak lagi sebagai objek akan tetapi sebagai
subjek dalam pembelajaran. Berdasarkan penerapan metode Jigsaw ternyata
dapat membantu siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng ketika
proses belajar pembelajaran berlangsung.
2. Peningkatan kualitas hasil dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini:
Peningkatan proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
dongeng juga sangat mempengaruhi hasil siswa mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng. Berdasarkan perolehan nilai sebelum tindakan yang
dilakukan
pada
saat
survei
awal,
diketahui
bahwa
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa masih tergolong rendah.
Pada kegiatan sebelum tindakan diketahui hanya 9 siswa yang mencapai batas
minimal ketuntasan belajar (60). Pada siklus I diketahui terjadi peningkatan
yaitu dari 9 siswa menjadi 15 siswa yang berhasil mencapai batas ketuntasan
belajar. Begitu juga pada siklus II terjadi peningkatan yaitu hanya 8 siswa dari
28 siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Pada siklus III,
peningkatan nilai siswa sangat signifikan. Semua siswa berhasil mencapai
ketuntasan belajar dengan kisaran nilai 67-100. Peningkatan skor ini
menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng siswa. Berikut ini peningkatan skor siswa dari siklus I
sampai siklus III.
78
Tabel 8. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng Survei
Awal sampai dengan Siklus III
No
Nama
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
Gilang Permana
Rohmat Bayu A. S
Diana Mita Sari
Santi Tiara Bakti
Kevin Pratama Putra
Sriyanto
Salsa Dinisa Nur
Devi Kharisma Angzali
Indri Rosita Sari
Ratih Dwi Anggraeni
Candra Sih Maulana
Riski Setiawan
Lina Imroatun
Achmad Fadyanto
Fahrian Sinta Dewi
Desi Wahyu Sulistya N
Puput Lestari
Ivan Febri Bimantara
Anggi Ayu Purnamasari
Ayu Wibeseno
Ulfiani Resti Utami
Indah Puspitasari
Iliyana Diningtyas Ratri
Pinky Yulia Rahmawati
Rosyid Prasetyo
Nadila Putri Hapsari
Ira Widiyastuti
Yusroni Aruda F.
Survei
awal
50
35
70
50
40
45
75
90
60
80
65
55
65
55
40
50
45
50
80
50
70
55
70
50
60
35
50
40
Siklus
I
53
40
73
60
53
47
80
80
73
80
73
47
67
47
47
60
53
47
80
53
73
60
73
53
60
47
60
40
Siklus
II
60
53
80
67
53
60
73
93
93
80
67
53
80
67
47
53
73
67
73
60
80
73
67
74
53
67
60
60
Siklus
III
73
67
80
67
73
80
80
100
80
80
87
73
73
87
73
80
73
80
100
87
93
87
73
93
67
67
73
80
Berdasarkan tabel 7 tersebut bahwa pemerolehan nilai siswa dari survei
awal sampai siklus terakhir terjadi peningkatan. Siswa yang nilainya belum
mencapai batas ketuntasan minimal (60) setelah diadakan tindakan dapat
meningkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan metode Jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar siwa.
79
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu ini dilaksanakan 3 siklus. Setiap siklus meliputi:
1) tahap perencanaan tindakan; 2) tahap pelaksanaan tindakan; 3) tahap observasi;
4) tahap analisis dan refleksi.
Simpulan dari penelitian yang telah peneliti laksanakan berupa
peningkatan kualitas proses dan kemampuan pada pembelajaran mengidentifikasi
unsur-unsur inrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandawdawung 03
Tawangmangu sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas proses pembelajaran
Peningkatan kualitas proses antara lain ditandai dengan peningkatan
indikator-indikator sebagai berikut.
a. Minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan mengalami
peningkatan sebesar 14% dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Jika minat
siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan pada siklus I hanya 42%
atau sebesar 12 siswa maka pada silkus II minat siswa dalam menyimak
dongeng yang disampaiakan sebesar 56% atau sebanyak 15 siswa. Pada siklus
III peningkatan kembali terjadi sebesar 33%, yaitu sebesar 78% atau sebanyak
22 siswa.
b. Aktivitas diskusi siswa dalam diskusi kelompok juga mengalami peningkatan.
berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada silkus II aktivitas berdiskusi
yang dilakukan siswa mengalami peningkatan sebesar 14%. Jika pada siklus I
siswa yang melaksanakan diskusi dengan baik sebanyak 12 orang atau sebesar
42% maka pada siklus II diketahui 15 siswa atau 56% dari keseluruhan siswa
melaksanakan diskusi dengan baik. Pada siklus III peningkatan terjadi sebesar
23%, yakni 78% atau sebanyak 22 siswa.
78
80
2. Peningkatan kualitas hasil pembelajaran
Peningkatan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng ditandai dengan peningkatan jumlah siswa yang mencapai batas
ketuntasan hasil belajar dalam pembelajaran menulis cerpen sebagai berikut.
a. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus I diketahui rerata
sebesar 59.96. Dari tes tersebut terdapat 13 siswa yang belum mencapai
ketuntasan sedangkan 15 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan
minimal dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada
siklus I juga baru 56%.
b. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus II diketahui rerata
kelas 67.32 dari tes tersebut terdapat 6 siswa yang belum mencapai ketuntasan
sedangkan 22 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan minimal
dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada siklus II
mencapai 78%.
c. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus III diketahui rerata
kelas 79.5. Dari tes tersebut seluruh siswa telah mencapai ketuntasan minimal
dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal yang mampu
dicapai pada siklus III mencapai 100%.
B. Implikasi
Implikasi yang diperoleh dari penelitian ini meliputi: 1) implikasi
teoretis; 2) imlikasi paedagogis; 3) implikasi praktis. Penjelasan untuk masingmasing implikasi adalah sebagai berikut.
1. Implikasi Teoretis
Penggunaan metode Jigsaw terbukti dapat meningkatkan kualitas proses
dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
Peningkatan kualitas proses ditunjukkan dengan keaktifan siswa pada saat
apersepasi, keaktifan siswa ketika pembelajaran berlangsung, keaktifan siswa
selama diskusi dan minat siswa selama menyimak dongeng. Kualitas hasil dapat
dilihat dari nilai semua siswa yang seratus persen mencapai batas ketuntasan
belajar. Temuan ini memperkuat teori yang telah ada, yaitu bahwa penggunaan
81
metode yang tepat dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama membantu
peningkatan prestasi belajar siswa.
Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa keberhasilan
proses dan peningkatan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor keberhasilan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng
selain penggunaan metode Jigsaw juga dipengaruhi oleh guru dan siswa sebagai
subjek pembelajaran itu sendiri. Faktor guru meliputi kemampuan untuk
mengelola kelas dan menerapkan metode yang sesuai. Faktor dari siswa berupa
keaktifan, minat menyimak dongeng. Faktor dari guru dan siswa saling
mendukung dan melengkapi demi tercapainya peningkatan proses dan hasil
pembelajaran.
2. Implikasi Paedagogis
Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang
dilaksanakan selama ini membuat siswa cepat bosan karena guru belum
menggunakan metode pembelajaran yang tepat, metode yang diterapkan masih
konvensional yaitu pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa lebih mudah
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan menggunakan metode
Jigsaw yaitu dengan cara berdiskusi dengan kelompok ahli kemudian
menyampiakan hasil diskusi ke kelompok asal dari pada sebelum menggunakan
metode
Jigsaw.
Penelitian
dengan
metode
Jigsaw
pada
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng terbukti dapat meningkatkan
kualitas proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut metode Jigsaw
dapat digunakan guru sebagai metode untuk pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng.
3. Implikasi Praktis
Metode pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu
kerjasama yang baik antara guru dan siswa juga merupakan penunjang
keberhasilan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Penggunaan metode yang tepat
dan kerjasama guru dengan siswa menciptakan suasana pembelajaran yang
kondusif sehingga tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.
82
C. Saran
Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, peneliti apat mengajukan
saran sebagai berikut.
1. Bagi Guru
a. Guru hendaknya mengarahkan siswa agar bekerja sama selama kegiatan
diskusi.
b. Guru hendaknya memotivasi siswa agar aktif selama proses pembelajaran.
c. Guru hendaknya mengubah pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik dongeng yang teacher centered menjadi student centered dengan
menerapkan metode Jigsaw.
2. Bagi Siswa
a. Siswa diharapkan banyak membaca maupun menyimak dongeng yang ada
di Nusantara.
b. Siswa diharapkan dapat bekerjasama selama kegiatan diskusi berlangsung
untuk memecahkan sebuah topik.
c. Siswa
hendaknya
giat
berlatih
untuk
menyimak
kemudian
mengidentifikasi unsur-unsur intrisnsik dongeng.
3. Bagi Sekolah
a. Hendaknya sekolah berupaya untuk selalu menciptakan iklim kinerja yang
kondusif melalui suasana yang harmonis dan komunikasi yang terbuka.
b. Hendaknya pihak sekolah selalu memberi motivasi kepada guru dengan
jalan antara lain memberi penghargaan kepada guru yang menunjukkan
kinerjanya dengan baik.
4. Bagi Peneliti
a. Metode Jigsaw dapat diterapkan di kelas lain maupun di sekolah lain,
karena inti dari pembelajaran ini adalah berdiskusi dalam suatu tim ahli
untuk memecahkan sebuah topik dan tentunya mampu diterapkan di
tempat lain.
83
DAFTAR PUSTAKA
Agus Suyoto. 2009. “Dongeng dalam Pembelajaran”. dalam http://www.agsuyoto.
wordpres.com/2009/01/07/dongeng-pembelajaran/html diunduh pada
tanggal 19 Oktober 2009.
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. YA 3 Malang dan
Bandung: Sinar Baru.
Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di
Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Anti Arne dan Stith Thompson. 2008. “Dongeng Anak”. dalam http://www.
baim54ndy.blog.com/2008/04/29/dongeng-anak/html
diunduh
pada
tanggal 19 Oktober 2009.
Aronson. 1978. “The Jigsaw Classroom”. dalam http://www.Jigsaw.org.com/1978
/04/ 08/The-Jigsaw-Classroom.html diunduh pada tanggal 11 Oktober
2009.
Burhan Nurgiantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
E. Mulyasa. 2007. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Gino, H. J. dkk. 2002. Belajar Pembelajaran. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Imain Machfudz dan Wahyudi Siswanto. 1997. “Hakikat Pembelajaran”. dalam
http://www.idonbiu.com/1997/07/09/hakikat-pembelajaran.html diunduh
pada tanggal 1 Desember 2009.
Jakob, Sumardjo, dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia.
James Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain.
Jakarta: Grafiti.
84
Jill Parker. 2003. “Jigsaw Strategi”. Nomor 12, Volume 1, 2003. (http://www.
broward.k12.fl.us/ci/strategies_and_such/strategies/jigsaw.html.) diunduh
pada tanggal 18 Juli 2010.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Melani Budianta. 2002. “Kesusastraan Indonesia”. dalam http://blog.unnes.
ac.id/2002/12/11/kesusastraan-Indonesia/html diunduh pada tanggal 5
Maret 2010.
Mido. 1994. “Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen”. dalam http://www.kalimantanpost.
com/opini/1994/03/02/-sekilas-mengenal-unsur-intrinsik-cerpen-romandan-novel.html diunduh pada tanggal 1 Desember 2009.
Muhibbin Syah. 1995. “Metode Pembelajaran”. dalam http://karyailmiah.um.
ac.id/index.php/1995/09/01/metode-pembelajaran/html diunduh pada
tanggal 30 Januari 2010.
Nana Sujana. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Penn State. 2007. “Jigsaw Strategy”. Nomor 35, Volume 3, 2007. (http://www.
schreyerinstitute.psu.edu) diunduh pada tanggal 18 Juli 2010.
Semi, M. Atar. 1988. Rencana Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung: Angkasa.
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung:
Nusa Media.
Soedijarto. 1993. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Sri Rahayu Mulyaningsih. 2007. Thesis. “Pengaruh Pengajaran dengan
Menggunakan Metode Jigsaw dan Metode Ceramah Terhadap Prestasi
Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Ditinjau dari Kreativitas”.
Surakarta. Pascasarjana UNS (2007) tidak diterbitkan.
Sriyono. 2007. Thesis. “Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita
Rakyat dengan Strategi Cooparative Learning”. Surakarta. Pascasarjana
UNS (2007) tidak diterbitkan.
Suharsimi Arikunto, Suhardjono dan Supardi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas.
Jakarta: Bumi Aksara
Sumito A. Sayuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
85
84
Sutopo. H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rizanur Gani. 1988. Pengajaran Sastra Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud
Dirjen Dikti PPLPTK.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Download