8 kajian asuhan keperawatan jiwa halusinasi pendengaran pada

advertisement
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
KAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA HALUSINASI PENDENGARAN
PADA SDR. D DI RUANG NAKULA RSJD SURAKARTA
(STUDY OF NURSING CARE MENTAL OF AUDITORY HALLUCINATIONS
ON MR D IN THE NAKULA RSJD OF SURAKARTA)
Alkhosiyah Alfi Zelika, Deden Dermawan
Poltekkes Bhakti Mulia
[email protected], [email protected]
Abstrak
Semakinmeningkatnya angka kejadian pada pasien halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta periode Januari – April 2013. Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa
dimana pasien mengalami perubahan sensori persepsi: merasakan sensori palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman tanpa stimulus yang nyata. Jika masalah ini
tidak segera dilakukan penanganan maka akan menimbulkan masalah–masalahyang lebih serius.
Pasien dengan halusinasi memerlukan perawatan yang baik dan efektif. Banyaknya kasus lama
yang kembali dirawat di RSJD Surakarta menunjukkan bahwa perawatan pasien belum efektif.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus, dengan pendekatan proses keperawatan (nursing proses). Populasi dalam penelitian ini sebanyak 12 pasien
yaitu pasien jiwa dengan halusinasi yang berada di Ruang Nakula. Sampel:pengambilan sampel
dengan menggunakan tehnik purpose sampling. Setelah dilakukan interaksi selama 4 kali pertemuan dan melaksanakan SP I sampai SP IVpasien mampu mengidentifikasi halusinasinya dan
pasien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi menghardik, bercakap–cakap dengan orang
lain, ketika halusinasinya muncul mampu melakukan kegiatan terjadwal sudah dilakukan dengan
optimal dan mandiri, cara mengontrol halusinasi dengan minum obat sudah dilakukan dengan
optimal. Simpulan penelitian ini adalah pasien mampu melaksanakan SP yang sudah diajarkan
peneliti dan melaksanakan jadwal harian sesuai dengan waktunya, halusinasi yang pasien alami
berkurang setelah pasien berlatih mengontrol halusinasi.
Kata Kunci: Asuhan Keperawatan Jiwa, Halusinasi Pendengaran
Abstract
The increasing incidence in patients with hallucinations in Mental Hospital of Surakarta period
from January to April 2013. Hallucination is one of the symptoms of a mental disorder in which
patients experience changes in sensory perception: sensory feel false form of sound, sight, taste,
touch or smell without real stimulus. If this problem is not immediate handling of it will cause
problems - a more serious problem. Patients with hallucinations require good care and effective.
The number of old cases that readmission RSJD Surakarta showed that patient care is not effective.
The research is qualitative research methods with case study design, using the nursing process
approach (nursing process). The population in this study were 12 patients with hallucinations that
psychiatric patients who were in Space Nakula. The sample is teken by purposive sampling
technique. After the interaction during the 4 meetings and do strategy implementation(SP) SP I to
IV patients were able to identify the hallucinations and the patient was able to perform the way
rebuked control hallucinations, talked with other people, when the hallucinations appeared able to
perform scheduled activities already performed optimally and independently, How to control
hallucinations by taking medition hasalready done optimally. The conclusions in this study are
patients were able to execute the SP that had been taught by researchers and carried out the daily
schedule in accordance with the time, the patient experienced hallucinations decreased after
patients practicing control hallucinations.
Keywords: Nursing Care of the Mental, Hallucinations Hearing
8
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
 Pikiran logis
 Persepsi
akurat
 Emosi
konsisten
dengan
pengalaman
 Perilaku
sesuai
 Berhubungan
sosial
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi
masalah kesehatan global bagi setiap negara
termasuk Indonesia. Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan
dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya
pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang
mempunyai kemampuan yang sama untuk
menyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta
mengelola konflik dan stres tersebut (Direktorat
Bina Pelayanan Keperawatan dan Pelayanan
Medik Dapertemen Kesehatan, 2007).
Data dari Departemen Kesehatan tahun
2009, jumlah penderita gangguan jiwa di
Indonesia saat ini mencapai lebih dari 28 juta
orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan
11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan
jiwa berat. Hasil penelitian WHO di Jawa Tengah
tahun 2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga
Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami
gangguan jiwa. Sementara 19 orang dari setiap
1.000 warga Jawa Tengah mengalami stress
(Depkes RI, 2009).
Data kunjungan rawat inap Rumah Sakit
Jiwa Daerah Surakarta pada bulan Januari April 2013 didapat 785 orang. Pasien dengan
halusinasi menempati urutan pertama dengan
angka kejadian 44 persen atau berjumlah 345
orang, pasien isolasi sosial menempati urutan
kedua dengan angka kejadian 22 persen atau
berjumlah pasien 173 orang, pasien dengan
resiko perilaku kekerasan menempati urutan
ketiga dengan angka kejadian 18 persen atau
berjumlah pasien 141 orang pasien, pasien
dengan harga diri rendah menempati urutan
keempat dengan angka kejadian 12 persen atau
berjumlah 94 orang, sedangkan pasien dengan
waham, defisit perawatan diri 4 persen atau 32
orang.
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh pasien
gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa
suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan tanpa stimulus yang nyata (Keliat,
2011). Rentang Respon Halusinasi:
 Gangguan
proses
pikir /
delusi /
waham
 Sulit
merespon
emosi
 Perilaku
disorganis
asi
 Isolasi
sosial
Klasifikasi halusinasi menurut Dermawan
dan Rusdi (2013) adalah halusinasi non patologis: halusinasi hipnogonik dan halusinasi
hipnopomik. Halusinasi patologis: halusinasi
pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan
(visual), halusinasi penciuman (olfactory), halusinasi pengecapan (gusfactory), halusinasi perabaan (taktil).
Penyebab Halusinasi, menurut Direja
(2011): 1). Faktor Predisposisi: genetika, neurobiologi, neurotransmitter, abnormal perkembangan syarat, psikologis, 2). Faktor presipitasi:
proses pengolahan informasi yang berlebihan,
mekanisme penghantaran listrik yang abnormal,
adanya gejala pemicu.
Manifestasi Klinik Halusinasi menurut
Direja (2011): tanda dan gejala halusinasi pendengaran: data subjektif: mendengarkan suara
atau kegaduhan, mendengar suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengarkan suara yang
menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya.
Data objektif: bicara atau tertawa sendiri, marahmarah tanpa sebab, mengarahkan telinga ke arah
tertentu, menutup telinga.
Fase halusinasi menurut Direja (2011)
adalah: 1). fase pertama (fase Comporting), 2).
fase kedua (fase Condemming), 3) fase Ketiga
(fase Controlling), 4). fase Keempat (fase conquering).
Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui gambaran umum tentang asuhan keperawatan dengan halusinasi pendengaran dan
mampu menerapkan suatu konsep tentang asuhan
keperawatan secara komprehensif melalui proses
keperawatan, dengan tujuan khusus: mendeskripsikan hasil pengkajian, perumusan diagnosa,
perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan dan
Rentang Respon Neurobiologi
Respon Adaptif
 Distorsi
pikiran
/Pikiran
kadang
menyimpang
 Ilusi
 Reaksi
emosional
berlebih /
kurang
 Perilaku
aneh/tidak
biasa
 Menarik diri
Respon mal Adaptif
9
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
evaluasi kaperawatan jiwa pada Sdr. D di Ruang
Nakula RSJD Surakarta.
Berarti pasien menggunakan mekanisme koping
maladaptif. Pasien selama interaksi dengan peneliti kurang kooperatif dan kontak mata kurang
karena pasien sering menundukkan kepala.
Data persepsi yang pasien ungkapkan berupa pasien mengatakan mendengar suara yang
mengejeknya, pasien mengatakan mendengar
bisikan setiap saat, pasien mengatakan mendengar bisikan berkali-kali, pasien mengatakan
mendengar bisikan pada situasi yang tidak tentu.
Saat dilakukan interaksi, pasien terlihat pasif
dalam berinteraksi, tidak banyak bicara, interaksi hanya searah dari perawat, kontak mata kurang. Afek pasien tumpul ada reaksi bila ada stimulus, saat berbicara pasien pelan. Terapi medik
yang diberikan Risperidone 2 mg/12 jam dan
Clorpromazine 100 mg/12 jam.
Diagnosa Keperawatan yang ditegakkan dari
analisa data pada kasus Sdr. D diperoleh 2
diagnosa berupa; gangguan persepsi sensori
halusinasi: pendengaran dan gangguan konsep
diri: isolasi sosial.
Diagnosa keperawatan pertama ditegakkan
berdasarkan data subjektif: pasien mengatakan
mendengar suara yang mengejeknya, pasien
mengatakan mendengar bisikan setiap saat,
pasien mengatakan mendengar bisikan berkalikali, pasien mengatakan mendengar bisikan pada
situasi yang tidak tentu. Data objektif: pasien
terlihat berbicara sendiri, pasien terlihat tertawa
sendiri, pasien terlihat gelisah, pasien terlihat
mondar-mandir, dapat dirumuskan masalah
keperawatan halusinasi pendengaran. Diagnosa
kedua isolasi sosial ditegakkan berdasarkan data
subjektif: pasien mengatakan kadang merasa
malu dengan kondisi dirinya. Data objektif:
pasien terlihat lebih banyak diam, afek tumpul,
pembicaraan pasien lambat, kontak mata kurang
saat wawancara, pasien terlihat tidak berkomunikasi dengan teman-temannya di bangsal
Nakula dapat dirumuskan masalah keperawatan
isolasi sosial.
Pohon masalah yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Jenis rancangan serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian yaitu studi kasus,
menggunakan pendekatan proses keperawatan
(nursing proses).Penelitian ini dilakukan pada
tanggal 15-17 April 2014, di Ruang Nakula
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Peneliti
mendapatkan data-data pasien menggunakan
metode wawancara, observasi, studi dokumentasi dan studi kepustakaan. Instrument penelitian
yang digunakan pada wawancara yaitu peneliti
sendiri dengan alat bantu pedoman pengkajian
dan Strategi Pelaksanaan (SP). Sedangkan instrumen yang lain dengan menggunakan tensimeter,
termometer dan timbangan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Pembahasan
Hasil pada pengkajian, pasien masuk
tanggal 10 April 2014, pasien bernama Sdr. D,
berumur 25 tahun, jenis kelamin laki-laki, alamat Solo, pendidikan SMA, pekerjaan buruh,
beragama Islam, status belum kawin, suku/
bangsa Jawa/Indonesia, nomor register 053xxx,
dengan diagnosa F 20.0 (Skizofrenia Paranoid).
Alasan pasien masuk yaitu kurang lebih satu
minggu pasien bingung, bicara sendiri, ”ngluyur”, sulit diarahkan. Pada faktor predisposisi
didapatkan data, sebelumnya pasien belum pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalunya,
di dalam keluarga pasien ada yang mengalami
gangguan jiwa yaitu ayah Sdr. D, pasien mengatakan tidak pernah mengalami penganiayaan
fisik. Pada faktor presipitasi didapatkan data
pasien mengatakan merasa kecewa dengan bosnya karena gaji yang diberikan kepadanya tidak
sama dengan gaji yang diberikan pada teman satu
kerjanya.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah: 110/70 mmHg, nadi: 80 x/menit, respiratori: 24 x/menit, suhu: 36,5 °C, tinggi badan
168 cm, berat badan 58 kg. Rambut pasien
pendek, warna hitam, dan kurang rapi. Tidak ada
keluhan fisik yang dirasakan pasien karena
pasien tidak mempunyai riwayat penyakit
apapun. Di dalam konsep diri: harga diri yaitu
pasien mengatakan kadang merasa malu dengan
kondisinya yang mengalami halusinasi, pasien
diterima di masyarakat dan tidak dikucilkan
orang lain. Pasien lebih senang duduk dan diam.
Risiko Perilaku Kekerasan
Akibat
Halusinasi: Pendengaran Inti Masalah
Isolasi sosial: Menarik diri Penyebab
Gambar 1. Pohon Masalah
10
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
Rencana Tindakan Keperawatan, disusun
intervensi keperawatan dengan tujuan umum
(TUM): pasien dapat mengontrol halusinasi yang
dialaminya. Tujuan khusus (TUK I): pasien dapat
membina hubungan saling percaya. (TUK II):
pasien dapat mengenali halusinasinya. (TUK III):
pasien dapat mengontrol halusinasinya. (TUK
IV): pasien mendapat dukungan keluarga atau
memanfaatkan sistem pendukung untuk mengendalikan halusinasinya. (TUK V): pasien dapat
memanfaatkan obat dengan baik. Implementasi
dengan wawancara, penelitian menggunakan
Strategi Pelaksanaan (SP).
Implementasi pada SP I pasien: membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan
cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan
pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi. SP II pasien:
melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain.
SP III pasien: melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga yaitu melaksanakan
aktivitas terjadwal. SP IV pasien: melatih pasien
menggunakan obat secara teratur.
sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan kecemasan akibat hilangnya kontrol
terhadap diri, harga diri, maupun interaksi sosial
dalam dunia nyata sehingga pasien cenderung
menyendiri dan hanya tertuju pada diri sendiri.
Di dalam konsep diri: harga diri yaitu
pasien mengatakan kadang merasa malu dengan
kondisinya yang mengalami halusinasi, pasien
diterima di masyarakat dan tidak dikucilkan
orang lain. Pasien lebih senang duduk dan diam.
Berarti pasien menggunakan mekanisme koping
maladaptif. Pasien selama interaksi dengan
peneliti kurang kooperatif dan kontak mata
kurang karena pasien sering menundukkan kepala. Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa
yang menjadi penyebab pasien tidak mau
berinteraksi dengan orang lain yaitu harga diri
pasien yang rendah, sehingga dalam berinteraksi
tidak terjadi keharmonisan antara pasien dan
orang lain yang seharusnya dalam hal itu harus
terjalin dalam sebuah interaksi antar manusia.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa masalah
gangguan konsep diri berhubungan dengan rasa
malu atau bersalah yang sering menimbulkan
kekacauan dan mengkibatkan respon koping yang
maladaptive. Respon ini dapat dilihat dari
berbagai individu yang mengalami integritas diri
atau harga diri (Dermawan & Rusdi, 2013).
Dari data persepsi yang pasien ungkapkan
berupa pasien mengatakan mendengar suara yang
mengejeknya, pasien mengatakan mendengar
bisikan setiap saat, pasien mengatakan mendengar bisikan berkali-kali, pasien mengatakan
mendengar bisikan pada situasi yang tidak tentu.
Ini menjelaskan bahwa terdapat gangguan pada
status mental pasien yang berupa persepsi
sensori, atau dapat dikatakan sebagai halusinasi.
Persepsi yang tidak ada gangguan mengacu pada
identifikasi dan interprestasi awal dari suatu
stimulus berdasarkan informasi yang diterima
melalui pancaindra. Hal ini sesuai dengan teori
halusinasi menurut Keliat (2011), yang menyebutkan bahwa halusinasi adalah salah satu gejala
gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan,
atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata.
Setelah mempelajari catatan status keperawatan pasien, peneliti melaksanakan komunikasi dengan pasien dengan wawancara agar
memperoleh data yang lebih lengkap dan validasi
data mengenai keadaan yang dirasakan pasien
sekarang. Metode ini dilakukan langsung pada
Pembahasan
Pada pengkajian, hasil penelitaian mendapatkan data berupa: alasan pasien masuk yaitu
kurang lebih satu minggu pasien bingung, bicara
sendiri, ngluyur, sulit diarahkan. Pada faktor
predisposisi didapatkan data sebelumnya pasien
belum pernah mengalami gangguan jiwa di masa
lalunya, di dalam keluarga pasien ada yang
mengalami gangguan jiwa yaitu ayah Sdr. D,
pasien mengatakan tidak pernah mengalami
penganiayaan fisik. Faktor yang menyebabkan
pasien kambuh lagi bisa dikarenakan faktor genetika, yaitu individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi biasanya sulit mengembangkan sikap
optimistik dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk menghadapi kehilangan (Suliswati,
2005).
Pada faktor presipitasi didapatkan data
pasien mengatakan merasa kecewa dengan
bosnya karena gaji yang diberikan kepadanya
tidak sama dengan gaji yang diberikan pada
teman satu kerjanya. Hal ini sesuai dengan teori
penyebab halusinasi menurut Rawlins & Heacock
dalam Dermawan & Rusdi (2013), salah satu
etiologi dari halusinasi yang dilihat dari dimensi
sosial yaitu halusinasi dapat disebabkan oleh
hubungan interpersonal yang tidak memuaskan
11
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
pasien saat proses pengelolaan asuhan keperawatan. Wawancara yang peneliti lakukan adalah
melakukan BHSP (Bina Hubungan Saling
Percaya) dengan cara memperkenalkan diri dan
berjabat tangan, menanyakan nama, alamat,
pekerjaan, dan alasan masuk ke Rumah Sakit
Jiwa.
Saat dilakukan interaksi, pasien terlihat
pasif dalam berinteraksi, tidak banyak bicara,
interaksi hanya searah dari perawat, kontak mata
kurang. Hal tersebut mengacu pada gangguan
dalam berinteraksi, seharusnya interaksi yang
baik dapat dilakukan dengan menjalin komunikasi aktif dua arah, serta kontak mata slalu
menatap lawan bicara. Hal tersebut sesuai dengan
teori komunikasi terapeutik yang menjelaskan
bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi verbal dan non verbal untuk memperoleh
kesepakatan melalui partisipasi aktif serta mencapai kesamaan pengertian dari pengirim informasi kepada penerima informasi, sehingga
menimbulkan tingkah laku yang diinginkan oleh
pengirim dan penerima informasi.
Afek pasien tumpul ada reaksi bila ada
stimulus, saat berbicara pasienpelan. Hal tersebut sesuai dengan teori fungsi emosional
(mood dan afek), mood adalah suasana emosi
sedangkan afek adalah ekspresi emosi yang dapat
diamati dalam ekspresi wajah, gerakan tangan,
tubuh, dan nada suara ketika individu menceritakan perasaannya (Dermawan & Rusdi, 2013).
Dari observasi didapatkan data: pasien
aktif melakukan aktifitas, seperti mengikuti
kegiatan rehabilitas yang diadakan di rumah sakit
jiwa, makan siang, minum obat, mencuci piring,
kemudian menyapu tempat yang dipakai makan,
merapikan tempat tidur dan penampilan pasien
kurang rapi karena rambut pasien terlihat acakacakan tidak disisir. Pada pembahasan lain yang
perlu peneliti bahas yaitu pada jadwal kegiatan
harian pasien, pasien tidak melaksanakan sholat 5
waktu karena pasien malas untuk melakukannya.
Pasien tidak menjalankan sholat karena pasien
mengatakan ingin berpindah agama dari agama
islam menjadi agama kristen.
Langkah selanjutnya peneliti melakukan
pemeriksaan fisik kepada pasien. Pemeriksaan
yang dilakukan diantaranya, mengukur tekanan
darah, pernafasan, nadi, suhu tubuh pasien. Dari
hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan
tekanan darah: 110 /70 mmHg, nadi: 80 x/menit,
respiratori: 24 x/menit, suhu: 36,5 °C, tinggi
badan 168 cm, berat badan 58 kg. Rambut pasien
pendek, warna hitam, dan kurang rapi. Tidak ada
keluhan fisik yang dirasakan pasien karena
pasien tidak mempunyai riwayat penyakit
apapun. Peneliti melakukan kolaborasi dengan
tim medis lain yaitu dokter dalam pemberian
terapi obat, Chlorpromazine (CPZ) 100mg/12
jam, dan Risperidone 2 mg/12 jam.
Diagnosa Keperawatan yang menonjol
pada Sdr. D yaitu gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran. Didapatkan data pasien
mengatakan mendengar suara yang mengejeknya, pasien mengatakan mendengar bisikan
setiap saat, pasien mengatakan mendengar bisikan berkali-kali, pasien mengatakan mendengar
bisikan pada situasi yang tidak tentu. Sedangkan
data lain yaitu pasien terlihat berbicara sendiri,
pasien terlihat tertawa sendiri, pasien terlihat
gelisah, pasien terlihat mondar-mandir, pasien
terlihat lebih banyak diam, afek tumpul, pembicaraan pasien lambat, kontak mata kurang saat
wawancara. Hal ini sesuai dengan pendapat
Direja (2011) bahwa diagnosa halusinasi pendengaran dirumuskan jika pasien mengalami
tanda-tanda seperti pasien mendengar suara atau
kegaduhan, mendengar suara yang mengajak
bercakap-cakap, mendengar suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya, bicara
atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, menutup
telinga.
Diagnosa lain yang didapatkan adalah
gangguan konsep diri: isolasi sosial. Dida-patkan
data pasien pasien mengatakan kadang merasa
malu dengan kondisi dirinya. Sedangkan data lain
yaitu pasien terlihat lebih banyak diam, afek
tumpul, pembicaraan pasien lambat, kontak mata
kurang saat wawancara, pasien terlihat tidak
berkomunikasi dengan teman-temannya di bangsal Nakula. Hal ini sesuai dengan pendapat Direja
(2011) bahwa diagnosa isolasi sosial dirumuskan
jika pasien mengalami tanda-tanda seperti pasien
mengatakan malas bergaul dengan orang lain,
pasien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani
perawat dan meminta untuk sendirian, pasien
mengatakan tidak mau berbicara dengan orang
lain, tidak mau berkomunikasi, kurang spontan,
apatis, ekspresi wajah kurang berseri, tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri,
kurang komunikasi verbal, mengisolasi diri, tidak
atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya, asupan makanan dan minuman terganggu,
retensi urin dan feses, kurang berenergi atau
bertenaga, rendah diri, postur tubuh berubah
12
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
misalnya sikap fetus atau janin (khususnya pada
posisi tidur).
Dari hasil pengkajian ditegakkan diagnosa
halusinasi pendengaran dan isolasi sosial. Tetapi
diagnosa isolasi sosial sangat lemah karena minimnya data yang mendukung dan peneliti hanya
menulis tanda-tanda isolasi sosial yang diperlihatkan pasien sewaktu dilakukan asuhan keperawatan sehingga bisa ditetapkan sebagai diagnosa
kedua tetapi dalam pelaksanaannya tidak dilakukan tindakan keperawatan pada Sdr. D.
Rencana Tindakan Keperawatan di susun
berdasarkan pada data yang diperoleh sesuai
pengkajian. Cara perencanaan disesuaikan dengan data data subjektif: pasien mengatakan
mendengar suara yang mengejeknya, pasien mengatakan mendengar bisikan setiap saat, pasien
mengatakan mendengar bisikan berkali-kali, pasien mengatakan mendengar bisikan pada situasi
yang tidak tentu. Dan data objektif: pasien
terlihat berbicara sendiri, pasien terlihat tertawa
sendiri, pasien terlihat gelisah, pasien terlihat
mondar-mandir. Dalam intervensi dilakukan
empat kali pertemuan dalam waktu 3 hari dari
tanggal 15 sampai dengan 17 bulan April
2014,untuk mengatasi masalah yang muncul
dengan pertimbangan bahwa keadaan pasien
sudah membaik. Hal itu sesuai dengan kriteria
SMART: S (Spesific) tujuan spesifik, M (Measurable) tujuan keperawatan dapat diukur, A
(Acheivable) tujuan dapat dicapai, R (Reasonable) tujuan dapat dipertanggungjawabkan, T
(Time) tujuan harus memiliki batasan waktu
(Nursalam, 2008).
Hal ini disesuaikan dengan pedoman
penatalaksanaan halusinasi berupa TUK. Halusinasi terdiri dari 5 TUK. Hal ini dalam merencanakan tindakan keperawatan peneliti menyusun
pedoman strategi pelaksanaan (SP). SP digunakan peneliti dalam persiapan melakukan interaksi
dengan pasien. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan Pedoman Strategi Pelaksanaan
(SP) I sampai dengan 4 halusinasi. SP 1 pasien:
membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara
pertama yaitu menghardik halusinasi. SP 2 pasien: melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan
orang lain. SP 3 pasien: melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal. SP 4 pasien: melatih
pasien menggunakan obat secara teratur. Strategi
pelaksanaan dilakukan sesuai dengan perkembangan pasien. Hal ini peneliti susun setelah
memvalidasi pasien dan mengevaluasi SP
sebelumnya.
Implementasi yang dilakukan pada Sdr. D
selama dirawat di ruang Nakula menggunakan
tindakan Strategi Pelaksanan (SP). Pada pertemuan tanggal 15 April 2014 jam 10.20 WIB,
peneliti melakukan SP 1 pasien: bina hubungan
saling percaya dengan tujuan meentukan keberhasilan rencana selanjutnya. kemudian membantu pasien mengenal halusinasi (isi, waktu terjadinya, frekuensi, situasi pencetus, perasaan saat
terjadi halusinasi) bertujuan untuk mengenalkan
pada pasien terhadap halusinasi dan mengidentifikasi faktor pencetus halusinasinya dan
menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi
yang bertujuan untuk menentukan tindakan yang
tepat atas halusinasinya Selanjutnya peneliti
mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi
yang bertujuan untuk mengontrol munculnya
suara-suara palsu yang didengar (Azizah, 2011).
Tindakan ini sesuai dengan teori yang dituliskan
oleh Direja (2011) bahwa tindakan yang tepat
adalah bina hubungan saling percaya, membantu
pasien mengenal halusinasi (isi, waktu terjadinya,
frekuensi, situasi pencetus, perasaan saat terjadi
halusinasi), menjelaskan cara-cara mengontrol
halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
Tindakan selanjutnya pada 16 April 2014
jam 11.15 WIB, peneliti melakukan validasi SP 1
kemudian mengajarkan SP 2 pasien: melatih
pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua
yaitu bercakap-cakap dengan orang lain. Tujuan
dari tindakan tersebut adalah membantu pasien
untuk beradaptasi dengan cara alternatif yang
ada. Tindakan ini sesuai dengan teori yang dituliskan oleh Direja (2011) bahwa tindakan yang
tepat adalah melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap
dengan orang lain saat halusinasi muncul.
Kemudian pada tanggal 17 April 2014 jam
08.15 WIB, peneliti melakukan validasi SP 1 dan
SP 2 selanjutnya mengajarkan SP 3 pasien:
melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara
ketiga yaitu melaksanakan aktivitas terjadwal.
Tujuan dilakukan tindakan ini agar partisipasi
pasien dalam kegiatan tersebut membantu pasien
beraktivitas sehingga halusinasi tidak muncul.
Tindakan ini sesuai dengan teori yang dituliskan
oleh Dermawan dan Rusdi (2013) bahwa tin-
13
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
dakan yang tepat adalah melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga yaitu
melaksanakan aktivitas terjadwal.
Dilanjutkan pada jam 13.00 WIB, peneliti
melakukan validasi SP 1, SP 2 dan SP 3
dilanjutkan dengan mengajarkan SP 4 pasien:
melatih pasien menggunakan obat secara teratur.
Tujuan tindakan ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat,
mengetahui reaksi setelah minum obat, ketepatan prinsip 5 benar minum obat membantu
penyembuhan dan menghindari kesalahan minum obat serta membantu tercapainya. Tindakan
ini sesuai dengan teori yang dituliskan oleh
Dermawan dan Rusdi (2013) bahwa tindakan
yang tepat adalah melatih pasien menggunakan
obat secara teratur.
Pasien saat ini mendapatkan terapi farmakologi yaitu, Chlorpromazine (CPZ) 100
mg/12 jam, dan obat ini berwarna orange
digunakan untuk psikosis hiperaktif, skizofreni
dini, ansietas, mual, muntah yang bersifat sentral,
mabuk perjalanan, singultus. Kontra indikasi:
penyakit hati, koma, penderita dengan terapi
depresan sistem saraf pusat. Efek samping:
kadang-kadang takikardia, rasa kering pada
mulut dan tenggorokan. Risperidone 2 mg/12
jam, obat ini berwarna putih kekuningan
digunakan untuk skizofrenia akut dan kronik,
psikosis yang lain dengan gejala positif (halusinasi, delusi, gangguan pola pikir, kecurigaan)
dan atau negatif (afek tumpul, menarik diri secara
sosial dan emosional serta sulit berbicara) yang
nyata. Mengurangi gejala afektif (depresi, perasaan bersalah dan cemas) yang berhubungan
dengan skizofrenia. Kontra indikasi: hipersensitif
terhadap risperidon. Efek samping: insomnia,
agitasi, ansietas, sakit kepala, somnolen, kelelahan. Kadang hipotensi ortostatik, refleks takikardi, atau hipertensi. Gejala ekstrapiramidal,
peningkatan berat badan. (Kasim, Fauzi dan
Yulia Trisna, 2013).
Seharusnya tindakan yang dilakukan pada
pasien dengan diagnosa isolasi sosial adalah SP 1
pasien: identifikasi penyebab, tanyakan keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang
lain, latih berkenalan. SP 2 pasien: melatih
berhubungan sosial secara bertahap. Kemudian
SP 3 pasien: melatih cara berkenalan dengan 2
orang atau lebih. Dalam penelitian penulis tidak
melaksanakan implementasi pada diagnosa yang
kedua ini.
Evaluasi hasil interaksi yang diperoleh
setelah dilakukan tindakan yaitu pasien mampu
mengidentifikasi halusinasi dirinya berupa
halusinasi pendengaran, pasien mampu memakai
cara-cara yang diajarkan untuk mengontrol halusinasi: pasien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan menghardik, pasien mampu melakukan cara mengontrol dengan bercakapcakap dengan orang lain, pasien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan
melakukan kegiatan harian yang bisa dilakukan
pasien dan yang keempat dengan minum obat
secara teratur sudah dilakukan dengan optimal
dan mandiri. Hal ini menjadi rencana tindak
lanjut yang harus dilakukan pasien apabila
halusinasi yang dialami muncul, pasien diharapkan dapat menggunakan cara mengontrol halusinasi yang telah diajarkan secara mandiri. Peneliti
menganjurkan pasien untuk memasukkan kegiatan tersebut ke dalam jadwal harian.
SIMPULAN
Hasil pengkajian pada halusinasi Sdr. D
adalah sering mendengar suara yang mengejeknya, mendengar bisikan setiap saat, mendengar
bisikan berkali-kali, mendengar bisikan pada
situasi yang tidak tentu. Pasien terlihat berbicara
sendiri, pasien terlihat tertawa sendiri, pasien
terlihat gelisah, pasien terlihat mondar-mandir,
terlihat diam sendirian.
Diagnosa keperawatan aktual yang ditegakkan berupa gangguan persepsi sensori:
halusinasi pendengaran. Intervensi berupa TUM
bertujuan pasien dapat mengontrol halusinasinya
dan TUK 1 agar pasien dapat membina hubungan saling percaya, TUK 2 dapat mengenal
halusinasi yang dialaminya, TUK 3 dapat mengontrol halusinasinya, TUK 4 mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya, TUK 5 dapat mengenal obat halusinasi.
Implementasi berupa SP I membantu pasien
mengenal halusinasi, menjelaskan cara-cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi. SP II melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakapcakap dengan orang lain. SP III melatih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara ketiga yaitu
melaksanakan aktivitas terjadwal. SP IV melatih
pasien menggunakan obat secara teratur.
Evaluasi penelitian, disamping minum obat,
pasien mampu mengidentifikasi halusinasinya
14
PROFESI, Volume 12, Nomor 2, Maret 2015
dan mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, bercakap-cakap
dengan orang lain, melakukan kegiatan terjadwal sudah dilakukan dengan optimal dan mandiri,
ketika halusinasinya muncul, melaksanakan jadwal harian sesuai dengan waktunya.
Direktorat Bina pelayanan keperawatan dan
pelayanan medik departemen kesehatan.
2007 dikutip dari http://lensapropesi.blog
spot.com/2008/11/ halusinasi-peng lihatantrisnawati.html diakses tanggal 18 juni 2014.
Keliat, Budi Anna, dkk. 2011. Manajemen
Keperawatan Psikososial dan Kader Kesehatan Jiwa: CMHN (Intermediate Course).
EGC: Jakarta.
Kasim, Fauzi dan Yulia Trisna. 2013. ISO
Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol.
48. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.
Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik/Nursalam.
Ed. 2. Salemba Medika: Jakarta.
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. EGC: Jakarta.
REFERENSI
Depkes. 2009 dikutip dari http://lensapropesi.
blogspot.com/2008/11/ halusinasi-pengliha
tan-trisnawati. html diakses tanggal 18 Juni
2014.
Dermawan, Deden dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Gosyen Publishing: Yogyakarta.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar
Asuhan Keperawatan Jiwa. Ed. 1. Nuha
Medika: Yogyakarta.
15
Download