BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Orientasi Dominasi Sosial 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Orientasi Dominasi Sosial
2.1.1 Teori Dominansi Sosial
Manusia memiliki predisposisi dasar untuk membentuk hirarki dalam
masyarakat (Sidanius & Pratto, 2001). Setiap individu dari suatu anggota masyarakat
diatur sedemikian rupa agar memiliki kedudukan yang berbeda di dalam hirarki.
Hirarki tersebut dapat berdasarkan kelompok sosial atau berdasarkan karakteristik
individu. Teori dominansi sosial menjelaskan bahwa setiap kelompok sosial yang
luas selalu terbentuk struktur hirarki sosial (Sidanius & Pratto, 2001). Hal ini berarti,
terdapat sejumlah kelompok atau individu yang memiliki kedudukan berbeda, yaitu
kelompok atau individu dominan yang berada pada bagian atas hirarki dan kelompok
atau individu subordinat yang berada di bawah hirarki.
Kelompok atau individu dominan dikarakteristikan dengan nilai-nilai positif
yang mereka miliki atau berdasarkan hal-hal yang bersifat materi atau simbolik
(Sidanius & Pratto, 2001). Kelompok atau individu dominan biasanya memiliki
kekuasaan politik atau otoritas, memiliki sumber daya yang baik dan banyak,
memiliki kekayaan atau status sosial yang tinggi. Bertolak belakang dengan
kelompok atau individu dominan, kelompok atau individu subordinat adalah
kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kekuasaan rendah (Sidanius
& Pratto, 2001).
1
Teori dominasi sosial mengidentifikasi beberapa mekanisme hirarki telah
dikembangkan dan dipertahankan (Sidanius & Pratto, 1999). Orang dengan dominasi
sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam
struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka
yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif.
Kelompok atau individu dominan dan kelompok atau individu subordinat
terbentuk melalui tiga sistem stratifikasi berdasarkan hal berikut ini :
a. Umur (age system), yaitu anggota kelompok atau individu yang memiliki usia
lebih tua dibandingkan dengan anggota kelompok atau individu lain memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lain (yang lebih muda).
b. Jenis kelamin (gender system), laki-laki dilihat memiliki kekuasaan lebih
apabila dibandingkan dengan perempuan.
c. Arbitrary system, terbentuknya konstruksi sosial yang membuat suatu
kelompok atau individu menonjol dikarenakan suatu karakteristik tertentu,
contohnya ras, suku, kelas sosial, agama, dan lain sebagainya (Sidanius &
Pratto, 2001).
Berdasarkan teori Sidanius dan Pratto (1999), konsep terbesar dari kerangka
berpikir orientasi dominasi sosial terdiri atas tiga asumsi. Asumsi pertama adalah
bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun berdasarkan kelompokkelompok hirarki, dimana paling tidak terdapat satu kelompok atau individu yang
berada di atas dan satu kelompok atau individu lain yang berada di bawahnya.
Asumsi kedua, hirarki atau tingkatan dapat didasarkan pada usia, jenis kelamin, kelas
sosial, ras, kebangsaan, agama, dan karakteristik lainnya yang mungkin dapat
digunakan sebagai pembeda di antara kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi
2
terakhir, masyarakat secara individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di
dalam dirinya, yaitu diantara satu hirarki kelompok atau individu menuju kelompok
hirarki atau individu lain yang memiliki keseimbangan (Zander, 2008).
Teori orientasi dominasi sosial dirumuskan oleh Sidanius dan Pratto pada
tahun 1991, dirancang untuk menjelaskan asal-usul dan konsekuensi dari hirarki
sosial serta penindasan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Secara khusus teori
dominasi sosial mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya
didukung oleh suatu hirarki. Teori dominasi sosial mendalilkan bahwa faktor
signifikan adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi
Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan
menjadi unggul (Pratto, Sidanius, &Levin, 2006).
2.1.2 Mekanisme Pembentukan dan Pemeliharaan Hirarki Sosial
Menurut teori dominansi sosial, hirarki sosial merupakan hasil yang diperoleh
dari diskriminasi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan,
dan proses kolaborasi antar kelompok (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).
1. Legitimising myths
Teori dominansi sosial mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan berbasis
kelompok bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan, intimidasi, dan
diskriminasi pada bagian yang dominan atau menonjol terhadap bawahan. Teori
dominansi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu,
pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan lembaga dibentuk oleh legitiming
myths (Johnson, 1994 dalam Prato, Sidanius, & Levin, 2006). Legitimising myths
merupakan consensually dari nilai yang dipegang, sikap, kepercayaan, stereotip,
dan ideologi budaya.
3
Teori dominansi sosial membedakan antara dua jenis fungsional dari
legitimizing myths yaitu legitimising myths yang meningkatkan hirarki
(Hierarchy-enhancing legitimising myths / HE-LMs) dan legitimizing myths
yang melemahkan hirarki (Hierarchy-attenuating legitimizing myths / HA-LMs).
HE-LMs memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan
ketidaksetaraan. Contohnya seperti berbagai bentuk rasisme, seksisme, stereotip,
nasionalisme
atau
kebangsaan,
classism,
dan
atribusi
internal
untuk
kemiskinan.Mitos telah digunakan untuk menyatakan bahwa ketidaksetaraan
adalah sesuatu yang adil, sah, dan alamiah (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).
Sementara itu, HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominansi. Contoh
dari legitimising myths yang melemahkan hirarki diantaranya: doktrin politik
seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan komunisme, doktrin keagamaan, doktrin
budayawan seperti hak-hak universal manusia, dan hak asasi manusia (Pratto,
Sidanius, & Levin, 2006).
2. Diskriminasi institusional (lembaga)
Pada diskriminasi institusional, terdapat dua macam klasifikasi hirarki yaitu
meningkatkan hirarki (Hierarchy Enhancing / HE) dan melemahkan hirarki
(Hierarchy Attenuating / HA). Lembaga yang meningkatkan hirarki (HE)
mendukung dan mempertahankan ketidaksetaraan dengan mengalokasikan nilai
sosial yang lebih positif kepada kelompok atu individu dominan. Lembaga yang
meningkatkan hirarki (HE) memiliki kekuasaan atas keuntungan lembaga,
perusahaan antar negara (perusahaan internasional), organisasi keamanan dalam
negeri, dan sistem peradilan pidana (Sidanius, Pratto, & Levin, 2006). Sementara
itu, lembaga yang melemahkan hirarki (HA) merupakan kelompok atau individu
4
subordinat (kelompok bawah) seperti orang-orang tidak mampu, suku dan agama
minoritas. Lembaga yang melemahkan hirarki (HA) meliputi hak asasi manusia,
hak penduduk, organisasi kebebasan, organisasi keagamaan yang dikhususkan
menjaga orang-orang lemah, rentan, dan tertindas (Pratto, Sidanius, Levin, 2006).
Institusi sosial dapat melakukan systematic terror untuk tetap menjaga hirarki
sosial. Systematic error merupakan suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang
lebih banyak ditujukan kepada kelompok atau individu subordinat (kelompok
bawah). Systematic error ini berfungsi untuk menjaga hubungan yang bersifat
penaklukan kelompok atau individu subordinat oleh kelompok dominan serta
memelihara rasa hormat kelompok atau individu subordinat terhadap kelompok
atau individu dominan (Sidanius & Pratto, 1999).
3. Diskriminasi Individu
Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh
satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam
kelompok sosial tertentu (Sidanius & Pratto, 1999). Diskriminasi individu sering
terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun
terkadang merugikan. Diskriminasi atau perbedaan juga dilakukan oleh individu
di dalam banyak bidang (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Diskriminasi oleh
individu terjadi ketika seorang atasan memutuskan untuk tidak memecat atau
memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk
tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada klien yang potensial, atau
seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan kepada
terdakwa, semua dikarenakan adanya perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas
sosial, orientasi seksual, atau gender (dalam Pratto, Sidanius, & Levin, 2006).
5
Individu yang berada pada hirarki yang memiliki kekuatan tinggi biasanya
memiliki lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai positif dimana
mereka dapat menyalurkan nilai-nilai tersebut kepada individu lain di dalam
hirarkinya, dan kekuatan lain untuk memastikan bahwa nilai-nilai sosial yang
negatif disalurkan ke individu lain di luar tingkatan hirarki mereka (dalam Pratto,
Sidanius, & Levin, 2006). Struktur hirarki menyiratkan bahwa kemudahan
melakukan tindakan yang menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan lebih
besar dari kemudahan melakukan tindakan yang melemahkan hirarki (dalam
Pratto, Sidanius, & Pratto, 2006).
Bukti empiris dari banyak negara dan mengenai berbagai konteks perbedaan
individu telah menunjukan bahwa skala orientasi dominansi sosial merupakan
indeks yang kuat dalam prasangka umum, preferensi kebijakan sosial politik, dan
pilihan karir individu di masa depan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006 dalam Ho,
Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).
2.1.3 Orientasi Dominansi Sosial
Orientasi dominasi sosial mengacu pada sejauh mana seorang individu
menerima suatu hirarki. Orientasi dominasi sosial adalah bagaimana individu
menganut suatu mitos atau ideologi yang mempertahankan atau memperkuat hirarki
di
dalam
suatu
masyarakat.
Pada
awalnya,
orientasi
dominasi
sosial
dikonseptualisasikan dengan sejauh mana individu menginginkan kelompok atau diri
mereka sendiri untuk menjadi dominan atas kelompok atau individu lain (Pratto,
Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).
6
Felicia dan Pratto memperkenalkan konsep orientasi dominasi sosial dalam
sebuah studi pada tahun 1994, dimana dia menunjukan bahwa orientasi dominasi
sosial berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa individu memilih tetap berada di
tingkatan hirarkinya untuk mendominasi orang lain dan menganggap orientasi
superior-inferior hirarki dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok atau
individu lainnya. Individu lain tanpa suatu orientasi dominasi sosial lebih cenderung
untuk memilih hubungan mereka dengan orang lain untuk berada di tingkatan yang
sama. Sebuah sifat yang khas dari individu dengan orientasi dominasi sosial yang
lebih rendah adalah bahwa mereka cenderung lebih empatik terhadap orang lain.
Individu yang memiliki orientasi dominasi sosial tinggi cenderung lebih
tertarik dalam mendapatkan dan menggunakan kekuatan, sedangnya individu dengan
orientasi dominasi sosial rendah lebih cenderung untuk mencari cara-cara koperatif
dalam menangani konflik. Selain itu, individu dengan orientasi dominasi sosial yang
tinggi juga sangat termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan mereka terhadap
individu di kelompok lain.
Robert Altemeyer (2006) mengatakan bahwa orang dengan orientasi
dominansi sosial tinggi menginginkan kekuasaan yang lebih (setuju pada item seperti
“menang lebih penting daripada bagaimana kamu memainkan permainan”) dan lebih
tidak jujur (manipulasi dan tidak sopan) setuju pada item seperti “tidak benar-benar
ada
hal
seperti
benar
dan
salah”.
Orientasi
dominansi
sosial
sering
dikonseptualisasikan sebagai suatu fenomena yang berbasis kelompok, namun
orientasi dominansi sosial tidak hanya merupakan dominansi berbasis kelompok
tetapi juga merefleksikan dominansi antarpribadi. Hal ini didukung oleh Sidanius dan
Pratto (dalam Zander, 2008).
7
Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung
mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani
kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).
Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang
mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto,
Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial juga telah
menunjukan dapat memprediksi masa depan sikap antarkelompok masyarakat dan
perilaku di waktu yang lama (Thomsen et al., 2010 dalam Ho, Sidanius, Pratto,
Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).
Orientasi dominansi sosial merupakan preferensi untuk ketidaksetaraan
hubungan antara kategori-kategori yang ada dari individu, secara konseptual
dibedakan dari konsep kepribadian yang umum dari dominasi antar pribadi, dimana
fokus pada individu (Pratto, Sidanius, Stallworth,& Malle, 1994). Orientasi
dominansi sosial bukan sekedar untuk menunjukan keunikan masing-masing dari
perbedaan individu, bukan juga untuk mengklasifikasikan individu ke dalam
taksonomi. Sebaliknya, orientasi dominansi sosial merupakan suatu model
penekanan yang dinamis dimana berbagai jenis individu memainkan peran yang
berbeda dan memiliki efek yang berbeda satu sama lain (Pratto, Sidanius, Stallworth,
Malle, 1994).
2.2
Persepsi Kelangkaan Lawan Jenis (Operational Sex Ratio)
2.2.1 Definisi Persepsi
Persepsi secara etimologi berasal dari kata percipare dimana memiliki arti
menerima atau mengambil (Sobur, 2003). Menurut Moskowitz & Orgel (1969 dalam
Walgito, 2003) persepsi merupakan proses yang terintergasi dalam diri individu
8
terhadap stimulus yang diterimanya. Selain itu, persepsi merupakan suatu proses
yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya
stimulus oleh individu melalui panca indera (Walgito, 2003). Dalam kamus besar
psikologi persepsi diartikan ke dalam 5 bentuk (Chaplin, 2006), yaitu:
1. Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan
bantuan indera,
2. Kesadaran dari proses-proses organis,
3. (Titchener) satu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti
yang berasal dari pengalaman di masa lalu,
4. variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari
kemampuan individu untuk melakukan pembedaan diantara perangsangperangsang,
5. kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang
serta merta mengenai sesuatu
Sementara itu, persepsi menurut Epstein dan Rogers (dalam Stenberg, 2008)
adalah serangkaian proses yang membantu kita untuk mengenali, mengorganisasikan
dan memahami berbagai hal-hal inderawi yang kita terima dari stimulus lingkungan.
Leavit mendefinikan persepsi (dalam Sobur, 2003) dalam arti sempit merupakan
suatu penglihatan, yaitu bagaimana seseorang melihat sesuatu. Dengan persepsi
individu akan menyadari tentang keadaan sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri
(Davidoff, 1981 dalam Walgito, 2003).
Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (2002 dalam Sobur
2003) merupakan suatu proses dalam melakukan pencarian informasi untuk
dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan
9
(penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk
memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa persepsi itu merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti
dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu. Persepsi juga dapat
dikatakan sebagai suatu proses pengolahan informasi yang berupa stimulus, dimana
stimulus tersebut diterima oleh alat indera dan kemudian diteruskan ke otak untuk
diseleksi dan diorganisasikan sehingga menghasilkan suatu interpretasi yang berupa
penilaian dari penginderaan atau pengalaman sebelumnya. Persepsi bersifat
individual (Davidoff, 1981 ; Rogers, 1965 dalam Walgito, 2003). Oleh karena itu,
persepsi setiap individu pasti berbeda-beda meskipun objek yang dipersepsikan
sama. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman individu
tidaklah sama.
2.2.2 Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi
Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Menurut
Walgito (2003) terdapat beberapa faktor yang berperan dalam persepsi, yaitu :
1. Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat
datang dari dalam diri individu yang bersangkutan langsung mengenai syaraf
penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus
datang dari luar individu.
10
2. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus.
Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai
pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf
motoris.
3. Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau
konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau
sekumpulan objek.
2.2.3 Kelangkaan Lawan Jenis (Operational Sex Ratio)
Dalam biologi evolusi reproduksi seksual, Operasional Sex Ratio (OSR)
adalah rasio antara laki-laki yang siap bersaing secara seksual (siap kawin) dengan
perempuan yang juga siap bersaing secara seksual (Clutton-Brock, 2007). Konsep
ini sangat berguna dalam studi seleksi seksual karena merupakan ukuran bagaimana
persaingan seksual yang intens dalam suatu spesies, dan juga dalam studi tentang
hubungan seleksi seksual (Mitani, Gros-louis, & Richards, 1996). Operational Sex
Ratio (OSR) ini berhubungan erat dengan "tingkat potensi reproduksi" dari dua jenis
kelamin, yaitu, seberapa cepat mereka masing-masing bisa mereproduksi dalam
kondisi ideal (Clutton-Brock, 2007). Menurut teori seleksi seksual, seks atau jenis
kelamin yang lebih banyak jumlahnya diharapkan dapat bersaing lebih kuat dari seks
atau jenis kelamin yang kurang melimpah jumlahnya, dimana jenis kelamin yang
11
kurang berlimpah jumlahnya dapat memilih dengan siapa mereka memutuskan untuk
menikah.
Teori operational sex ratio atau kelangkaan lawan jenis berfokus pada
ketidakseimbangan antara usia reproduksi pria dan wanita, yang dikatakan sebagai
operational sex ratio (Emlen & Oring, 1977; Fossett&Kiecolt, 1991 dalam Durante,
Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Operational sex ratio mempengaruhi
perilaku hewan dengan mengubah alam ketika masa kawin, dimana dapat
mempengaruhi dinamika dalam berhubungan atau masa perkenalan dan kompetisi
intraseksual (Taylor & Bulmer, 1980; Weir, Grant, & Hutchings, 2010 dalam
Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Emlen dan Oring (1977)
mengidentifikasikan operational sex ratio sebagai suatu faktor ekologis penting yang
dapat memberikan pengaruh terhadap struktur sistem perkawinan (Emlen, 1976 ;
Bradburry & Vehrencamp, 1977 ; Thornhill & Alcock, 1983 dalam Weir, Grant, &
Hutchings, 2010). Kompetisi untuk mendapatkan pasangan dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme perbedaan yaitu secara pengacakan, persaingan daya tahan,
kontes, pilihan pasangan, dan kompetisi sperma yang unggul (Anderson, 1994 dalam
Weir, Grant, & Hutchings, 2010)
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa perubahan pada sex ratio
memiliki dampak pada kedua jenis kelamin (Kvarnemo & Ahnesjo, 1996; Taylor &
Bulmer, 1980 dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Efek
tersebut ada karena adanya perubahan pada ratio jenis kelamin (sex ratio) yang
mengubah masa kawin melalui masa perkenalan dasar berdasarkan ekonomi, jenis
kelamin yang langka lebih mungkin untuk mendapatkan pasangan yang diinginkan.
Ketika jumlah wanita lebih sedikit, akan sangat mudah bagi para wanita untuk
menarik perhatian para pria. Sebaliknya, jenis kelamin yang lebih banyak jumlahnya
12
kurang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pasangan yang diinginkan
(Clutton-Brock, Harvey, & Ruder, 1977; Rohr et al., 2005 dalam Durante,
Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012).
Pertimbangan dari ratio jenis kelamin (sex ratio) menunjukkan bahwa wanita
memiliki waktu yang lebih sulit dalam menjaga pasangan yang diinginkan ketika
terdapat banyak wanita lain. Dilema ini sangat mengerikan pada spesies yang
menggunakan sistem perkawinan dimana melibatkan investasi biparental, seperti
contohnya adalah manusia (Johnstone, Reynolds, & Deutsch, 1996; Langmore, 1998
dalam Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Apabila
dibandingkan dengan mamalia lain, keturunan manusia dilahirkan cenderung tidak
berdaya dan mengalami masa remaja yang panjang dimana membutuhkan investasi
yang cukup besar dari orang tua (Kaplan, Hill, Lancaster, & Hurtado, 2000 dalam
Durante, Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Oleh karena itu, banyak
wanita tidak hanya mencari pasangan dalam berhubungan seks tapi juga pasangan
yang dapat memberikan kontribusi untuk masa depan mereka serta dapat
memberikan keturunan yang baik (Gangestad & Simpson, 2000 dalam Durante,
Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Ketika terjadi kelangkaan pada jenis
kelamin laki-laki, para wanita akan mengalami kesulitan dalam menjaga
pasangannya yang bersedia dan mampu untuk berinvestasi pada keturunannya di
masa depan.
Laki-laki dianggap lebih dapat mengisi pekerjaan dengan bayaran yang cukup
tinggi, namun begitu tidak menutup kemungkinan bahwa para wanita juga mengejar
karir yang menawarkan gaji tinggi dan jabatan. Peran gender dalam budaya mungkin
dapat membuat para wanita lebih mudah atau bisa juga lebih sulit untuk mengejar
karir yang diinginkan (Bem, 1999; Diekman & Eagly, 2000; Eagly, Wood, &
13
Diekman, 2000; Eccles, Barber, & Jozefowicz, 1999 dalam Durante, Griskevicius,
Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Sex ratio dengan jumlah laki-laki lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah wanita mengakibatkan perubahan pada mating market.
Karena sebagian besar wanita tidak mampu menjaga pasangan mereka untuk jangka
waktu yang panjang, maka lebih banyak wanita yang akan tetap melajang dan tidak
menikah sebelum mencapai kematangan seksual (Kruger, 2009 dalam Durante,
Griskevicius, Simpson, Cantu, & Tybur, 2012). Banyak dari wanita lajang harus
mencari pekerjaan yang dapat memberikan bayaran dengan gaji besar untuk dapat
menghidupi diri mereka serta membuat mereka dapat menjaga pasangan dalam
jangka waktu yang panjang.
2.2.3.1 Persaingan Langsung
1. Kompetisi atau kontes
Kompetisi tidak hanya dapat terjadi pada laki-laki, tetapi juga dapat terjadi
antara perempuan. Kompetisi melibatkan perkelahian, pengejaran, dan ancaman
antara para pesaing (Trivers, 1972 ; Clutton-Brock & Parker, 1992 dalam Weir,
Grant, & Hutchings, 2010). Laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin yang biasanya
lebih agresif. Namun, perempuan dapat menjadi agresif jika jenis kelamin yang
mengalami kelangkaan adalah laki-laki (Clutton-Brock, 2009 dalam Weir, Grant, &
Hutchings, 2010).
Emlen dan Oring (1977) memperkirakan bahwa tingginya ketidakseimbangan
pada operational sex ratio menghasilkan penurunan dalam pertahanan, dimana yang
lain memprediksikan terus meningkatnya agresifitas atau perilaku menjaga daerah
kekuasaan seiring dengan meningkatnya ketidakseimbangan operational sex ratio
(Tejedo, 1988 ; Kvarnemo & Ahnesjo, 1996 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010).
14
Sementara Emlen dan Oring (1977) menggunakan operational sex ratio sebagai
sarana untuk memprediksi intensitas persaingan dan struktur sistem perkawinan,
mereka juga menekankan bahwa tingkat intensitas persaingan harus dipertimbangkan
dalam konteks "economic defendability "(Brown, 1964;. Klug Huet, 2010 dalam
Weir, Grant, & Hutchings, 2010).
2.3.3.2 Kompetisi Tidak Langsung
1. Pacaran
Individu dari beragam spesies berinvestasi dalam mewarnai upacara
perkawinan dan ornamennya (Andersson, 1994 dalam Weir, Grant, & Hutchings,
2010 ), tetapi perilaku pacaran merupakan suatu mekanisme yang lebih fleksibel
untuk memberikan daya tarik terhadap pasangan. Pada operational sex ratio atau
kelangkaan lawan jenis, kecenderungan laki-laki terhadap pasangan perempuan
kemungkinan akan meningkat. Namun, berdasarkan observasi tingkat frekuensi dari
perilaku berpacaran juga dipengaruhi dalam menghadapi banyaknya jumlah
perempuan, dimana akan menurun jika jumlah perempuan lebih sedikit (Grant, 2000
dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Terlepas dari banyaknya jumlah perempuan,
tingkat pacaran individu juga dapat menurun karena jumlah laki-laki yang meningkat
karena peningkatan kompetisi yang mungkin mengakibatkan banyaknya perselisihan
dengan laki-laki lain (Jirotkul 1999 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010) atau jika
laki-laki mempunyai cara lain yang berbeda dari pacaran. Namun, jika pacaran
merupakan hal yang mahal dalam artian banyaknya energi yang dikeluarkan atau
risiko saling menjatuhkan (Reynolds, 1993 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010 ),
laki-laki mungkin lebih memilih jalan lain karena banyaknya jumlah pesaing dalam
berpacaran.
15
2. Menjaga pasangan dan lamanya hubungan intim
Durasi menjaga pasangan pasca senggama untuk jaminan paternitas
diprediksikan dapat meningkatkan angka populasi laki-laki . Durasi pengamanan
(guarding) akan sangat mengurangi bias (ketidakseimbangan) operational sex ratio
pada laki-laki, karena laki-laki yang telah menjaga (menetapkan) pasangan akan sulit
melepaskan dan tidak akan meninggalkan pasangannya untuk mencari pasangan
yang lain, namun hal tersebut terjadi jika jumlah wanita sangat langka (Thornhill and
Alcock 1983 dalam Weir, Grant, & Hutchings, 2010). Jika menjaga pasangan pasca
senggama terkait pada optimalisasi investasi waktu pria, maka pria harus berusaha
untuk berpasangan dengan banyak wanita berbeda dan menaruh sedikit waktu dalam
penjagaan (guarding) apabila jumlah wanita sangat berlimpah. Namun,apabila
jumlah wanita langka, pria dapat menjaga wanita hingga mereka berpasangan untuk
memastikan kesuksesan derajat reproduksi (Parker, 1974 dalam Weir, Grant, &
Hutchings, 2010)
2.4
Sikap Terhadap Risiko
2.4.1 Sikap Terhadap Risiko (Risk Attitude)
Menurut Robbins (2007) sikap adalah pernyataan evaluatif terhadap objek,
orang atau peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu.
Risiko adalah situasi dimana terdapat hal negatif atau hasil yang tidak
menguntungkan, seperti kehilangan, kecelakaan, luka pada tubuh, atau kematian
yang tidak dapat diketahui. Seseorang tidak mengetahui kapan hal itu dapat terjadi,
tetapi seseorang juga tidak bisa memastikan bahwa hal tersebut akan terjadi (Crozier
& Svenson, 2002).
16
Banyak arti mengenai risiko, namun pada dasarnya risiko merupakan sesuatu,
dalam hal ini yang akan diterima atau ditanggung oleh seseorang sebagai
konsekuensi atau akibat dari suatu tindakan (Hasan, 2002). Ini adalah arti lain dari
risiko :
a. Risiko adalah kesempatan timbulnya kerugian.
b. Risiko adalah kemungkinan timbulnya kerugian.
c. Risiko adalah ketidakpastian.
d. Risiko adalah penyimpangan hasil actual dari hasil yang diharapkan.
e. Risiko adalah suatu hasil yang berbeda dari hasil yang diharapkan.
Terinspirasi dari analisa risiko dan model pengambilan keputusan, seseorang
kadang berpikiran terlalu jauh dan memperkirakan kemungkinan dari hal yang tidak
diinginkan itu muncul. Beberapa teori keputusan membedakan antara kemungkinan
risiko, dimana kemungkinan tersebut berhubungan dengan hasil yang akan keluar
seperti apa yang telah dipikirkan sebelumnya dan situasi yang tidak pasti, dimana
probabilitas tidak ditetapkan (Tversky & Fox, 1995 dalam Crozier & Svenson,
2002).
Derajat hubungan dari sifat berisiko terhadap tingkat kemungkinan akan
kehilangan memiliki dua alasan : 1. Ada hubungan antara konsep risiko terhadap
konsep matematika mengenai kemungkinan, 2. Merefleksikan komponen psikologi
yang penting mengenai konsep risiko (Yates & Stone, 1992 dalam Crozier &
Svenson, 2002).
Sikap terhadap risiko mempunyai pertimbangan yang melibatkan antara
kerugian dan keuntungan (Jhonson, 2009). Sikap terhadap risiko memiliki dua
kemungkinan yaitu sangat baik atau menguntungkan (gain frame) dan tidak baik
17
atau merugikan (loss frame). Tiap versi mempunyai dua pilihan dimana hasil yang
keluar dapat diprediksi dan satu kemungkinan dimana hasilnya tidak pasti. Nilai dari
setiap risiko adalah sama, meskipun pada akhirnya bisa menunjukkan hasil yang
pasti dan hasil yang tidak pasti. Perbedaan antara gain frame dan loss frame adalah
pengertian yang dihasilkan dari tiap pengambilan risiko mengenai teori gain frame
atau loss frame (Jhonson, 2009).
Tversky dan Kahneman (1981 dalam Jhonson, 2009) mengatakan bahwa
ketika individu dihadapkan dengan suatu hal yang menguntungkan, mereka biasanya
cenderung mencari jalan yang aman dibandingkan mengambil risiko dimana hasilnya
tidak pasti (Jhonson, 2009).
Tversky dan Kahneman mendefinisikan perilaku
menolak risiko sebagai sebuah perilaku dimana individu lebih memilih hal-hal yang
tidak berisiko besar atau aman dibandingan dengan pilihan yang berisiko besar.
Namun, ketika dihadapkan dengan suatu masalah dimana akan terjadi kerugian
apabila individu tidak mengambil risiko tersebut maka akan lebih cenderung
mengambil risiko dalam tindakannya. Individu yang cenderung pengambil risiko
lebih suka mencari hal-hal yang membutuhkan risiko besar dimana harapan mereka
lebih rendah atau setara dari sebelumnya. (Johnson, 2009).
Mengambil risiko yang menguntungkan (gain frame) dan mengambil risiko
yang tidak menguntungkan (loss frame) memiliki karakteristik sebagai pencari risiko
dan penolak risiko (Tversky & Kahneman, 1981 dalam Johnson, 2009). Sebagai
contoh penelitian dari Tversky dan Kahneman menunjukkan bahwa banyak individu
yang lebih memilih untuk mengambil risiko yang aman ketika dihadapkan pada
berapa banyak nyawa manusia yang dapat diselamatkan (gain frame), meskipun
demikian individu cenderung mengambil risiko dari keputusannya ketika dihadapkan
dengan orang yang hampir meninggal.
18
2.4.3 Prospect Theory
Kahneman dan Tversky (1979 dalam Yusniani, 2006) menjelaskan
pembingkaian informasi dalam teori prospek (prospect theory). Teori prospek
menyatakan bahwa frame yang diadopsi oleh seseorang dapat mempengaruhi
tindakannya. Dalam teori prospek, hasil tindakan digambarkan sebagai hal yang
positif atau negatif (keuntungan atau kerugian).
Efek
pembingkaian
adalah
pilihan
untuk
menolak
risiko
dengan
mempertimbangkan keuntungan (memilih keuntungan tanpa risiko) dan mencari
risiko dengan kerugian (memilih kerugian risiko atau kerugian tanpa risiko). Secara
umum dalam proses pengambilan keputusan, seseorang akan berusaha untuk
mengidentifikasi risiko yang akan dihadapi sehingga tindakan yang diambil akan
sesuai dengan preferensi risiko seseorang apakah risk averse atau risk seeking
(Bazerman, 1994 dalam Yusnaini, 2006).
Dengan memahami risiko yang akan dihadapi, diharapkan seseorang dapat
meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat dan mengevaluasi pilihan mereka
pada kondisi yang tidak pasti. Hal ini dapat mengakibatkan suatu tindakan lebih
ditekankan pada prosesnya dibandingkan pada outcome dari tindakan tersebut.
Sehingga perspektif ini memandang bahwa seseorang akan mengambil tindakan
dengan lebih baik melalui penerimaan terhadap adanya kondisi tidak pasti tersebut
dan dengan mempelajari bagaimana berpikir secara sistematis dalam lingkungan
yang berisiko (Bazerman, 1994 dalam Yusnaini, 2006).
Dalam Prospect theory terdapat expected utility theory, yang menjelaskan
bahwa seseorang yang mengambil risiko adalah seorang yang rasional (Rutledge dan
Harrell, 1994 dalam Morgan, 1986 dalam Yusniani, 2006), sementara Gudono dan
19
Hartadi (1998 dalam Yusniani, 2006), menyatakan bahwa seseorang dianggap
mampu memproses informasi dengan sempurna agar dapat menentukan pilihan yang
terbaik bagi dirinya.
Rasionalitas sering kali dilanggar oleh para pembuat keputusan. Salah satu
faktor yang sering dianggap menyebabkan pelanggaran tersebut adalah jenis frame
yang diadopsi oleh seseorang (Tversky dan Kahneman, 1981). Framing yang
diadopsi dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil suatu tindakan. Frame
yang digunakan oleh Tversky dan Kahneman (1981 dalam Yusniani, 2006) adalah
positive and negative frame. Dalam kondisi rugi atau negative framing, seseorang
akan cenderung lebih berani untuk menanggung risiko, karena kegagalan lebih lanjut
akan menghasilkan nilai subyektif lebih rendah dibandingkan pada kondisi berhasil
atau positive framing.
2.4.3.1 Cumulative Prospect Theory
Teori
prospek kumulatif atau cumulative prospect theory (CPT) oleh
Tversky and Kahneman (1992 dalam Harbaugh, Krause, dan Vesterlund 2010)
mengasumsikan bahwa individu merupakan seseorang yang menghindari risiko atas
apa yang akan didapatkannya dan mencari risiko atas kehilangan yang mungkin akan
didapatkannya, dan mereka biasanya lebih berat dalam mencari hal-hal yang
memiliki probabilitas yang rendah sedangkan lebih ringan pada hal-hal yang
memiliki probabilitas yang tinggi. Kombinasi dari dua asumsi ini akan menghasilkan
pola yang unik dari perilaku risiko. Seperti yang dikemukakan oleh Tversky dan
Kahneman (1992 dalam Harbaugh, Krause, dan Vesterlund 2010) “ Yang paling
terlihat jelas dari maksud teori prospek adalah 4 pola perilaku risiko, yaitu :
20
1. Mencari risiko atas sesuatu yang berkemungkinan rendah
2. Menghindari risiko atas sesuatu yang berkemungkinan besar
3. Menghindari risiko atas suatu hal yang berhubungan dengan kehilangan yang
berkemungkinan rendah
4. Mencari risiko atas suatu hal yang berhubungan dengan kehilangan yang
berkemungkinan tinggi.
2.4
Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Pengertian Tenaga Kerja menurut Undang-undang dalam pasal 1 angka
2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa
tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja sebagai pelaksana
pembangunan harus dijamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan daya
gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994
pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang
belum wajib mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya
pentahapan kepesertaan.
Wanita pekerja adalah wanita yang dapat menghasilkan suatu karya yang
kemudian akan mendapatkan imbalan berupa uang, meskipun imbalan tersebut tidak
langsung diterima (Ihromi, 1990). Sedangkan wanita yang biasa disebut dengan
Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan di
dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Adapun ciri dari wanita yang bekerja sebagai
Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah kemampuan melakukan pekerjaan untuk
menghasilkan jasa atau barang, berpenghasilan lebih tinggi bahkan memiliki
21
kedudukan yang tinggi dan berpenghasilan besar serta tidak hanya identik dengan
pekerjaan sebagai buruh atau pembantu rumah tangga, melainkan termasuk para ahli
wanita (Ihromi, 1990).
2.4.1 Tenaga Kerja Wanita ke Manca Negara
Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia mendapatkan sambutan yang baik
dari masyarakat. Sambutan yang baik ini memunculkan kecenderungan baru, yaitu
semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita Indonesia yang mencoba
peruntungan di manca negara. Faktor-faktor yang menyebabkan wanita Indonesia
memilih manca negara sebagai lahan pekerjaan dapat diklasifikasikan menjadi dua
bagian, yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik (Supriyoko, 1990).
Supriyoko (1990) mengatakan bahwa kemajuan negara yang diikuti dengan
kemajuan dari kaum wanitanya diiringi dengan meningkatnya kemandirian kaum
wanita tersebut. Meningkatnya kemandirian kaum wanita di Indonesia secara
instriksik memunculkan dorongan untuk lebih memerankan dirinya dalam upaya
untuk mengangkat harkat dan martabat diri beserta keluarga. Bekerja di manca
negara dinilai sebagai salah satu cara untuk dapat mengekspresikan diri dengan
tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat diri beserta keluarga.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Supriyoko (1990) faktor
ekstrinsik yang mendorong wanita Indonesia memilih manca negara sebagai tempat
untuk bekerja diantaranya, yaitu :
• relatif tingginya tingkat pengangguran di Indonesia dimana
hal ini
menyebabkan kauh wanita ingin membuat terobosan baru dengan bekerja di
manca negara.
22
• Relatif rendahnya pendapatan atau penghasilan keluarga di satu pihal dan
belum idealnya jumlah anggota keluarga pada pihal yang lain telah
menyebabkan kauh wanita ingin memanfaatkan kemampuan profesinya
secara maksimal.
• Rasio jenis kelamin (RJK) yang masih relatif rendah pada beberapa daerah di
Indonesia secara tidak langsung menantang kaum wanita untuk menunjukkan
eksistensi serta mengembangkan potensi dan prestasinya dengan bekerja
pada berbagai sektor kerja, khususnya di manca negara.
• Standar upah di dalam negeri yang relatif rendah apabila dibandingkan
dengan tarif upah yang dapat diterima kaum wanita apabila bekerja di manca
negara.
Tabel 2.1
Rekapitulasi Penerbitan KTKLN PPTKIS BP2TKI Jakarta Berdasarkan Kawasan
Negara Penempatan Periode Bulan Januari – Desember 2012
No
Negara
Penempatan
Formal
Informal
Jumlah
L
P
Jumlah
L
P
Jumlah
A
Asia Pasific
1
Hongkong
4
1
5
-
4.199
4.199
4.204
2
Singapura
6
2
8
-
7.532
7.532
7.540
3
Korea Selatan
-
-
-
-
-
-
-
4
Malaysia
1.606
1.113
2.719
-
135
135
2.854
5
Macau
-
-
-
-
-
-
-
6
Taiwan
3827
684
4.511
14
14.539
14.553
19.064
7
Brunei
2178
1.357
3.535
8
358
366
3.901
7.621
3.157
10.778
22
26.763
26.785
37.563
Darussalam
Jumlah
23
B
Timur Tengah
1
Kuwait
5
-
5
-
-
-
5
2
Oman
11
2
13
4
5.036
5.040
5.053
3
Qatar
446
39
485
6
11.394
11.400
11.885
4
Saudi Arabia
8633
998
9.631
-
-
-
9.631
5
Uae
252
42
294
1
18.326
18.327
18.621
6
Bahrain
17
8
25
2
4.231
4.233
4.258
7
Aljazair
626
-
626
-
-
-
626
8
Yordania
8
-
8
-
-
-
8
9
Perbaikan Kartu
-
-
-
-
4
4
4
9.998
1.089
11.087
13
38.991
39.004
50.091
Jumlah
C
Lain-lain
1
Kanada
-
4
4
-
-
-
4
2
Papua Nugini
22
-
22
-
-
-
22
3
New Zealand
26
-
26
-
-
-
26
Jumlah
48
4
52
-
-
-
52
21.917
35
65.789
65.789
87.706
Jumlah Total
17.667 4.250
Sumber : BP2TKI
24
2.5
Kerangka Berpikir dan Hipotesis
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Persepsi Kelangkaan
Lawan Jenis
Sikap Terhadap Risiko
Pada Tenaga Kerja
Wanita (TKW)
Orientasi Dominasi
Sosial
Sumber : Olahan peneliti
Teori orientasi dominansi sosial mengasumsikan bahwa masyarakat yang
terbentuk dari individu cenderung terstruktur sebagai sistem yang didasarkan pada
hirarki sosial. Orang yang memiliki orientasi dominansi sosial tinggi percaya bahwa
segala macam kekuatan, nilai positif, sumber daya, otoritas, dan segala hal yang baik
adalah milik mereka. Sementara orang dengan orientasi dominansi rendah,
cenderung lebih menyukai kesetaraan antar manusia. Hirarki dalam orientasi
dominansi sosial tersusun berdasarkan usia, jenis kelamin, kelas sosial, jabatan, suku,
dan lain sebagainya. Orientasi dominansi sosial tidak hanya mengukur kelompok
dominan dan kelompok subordinat, tetapi juga individu yang mungkin merupakan
anggota dari salah satu kelompok.
Tenaga kerja wanita merupakan masyarakat yang tergolong ke dalam
kelompok subordinat, mereka lebih banyak berasal dari daerah kurang mampu dan
berada pada kelas sosial bawah. Tidak dianggap di daerahnya membuat para wanita
ini bekerja menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri meskipun dengan ancaman
risiko yang akan dihadapi. Menjadi tenaga kerja di luar negeri merupakan pekerjaan
25
yang bergengsi, dimana para tetangga dan teman akan memberikan selamat ketika
mereka berhasil bekerja di luar negeri. Sidanus dan Pratto menyatakan bahwa orang
dengan orientasi dominansi sosial tinggi akan berpengaruh dalam kehidupan seharihari, contohnya bidang pekerjaan yang akan diambil.
Keinginan yang kuat untuk mendapatkan penghasilan yang besar dan tergiur
akan kesuksesan tenaga kerja lain yang telah pulang ke tanah air, mendorong para
wanita ini semakin tertarik untuk bekerja di luar negeri. Dorongan yang kuat untuk
bisa lebih dipandang di daerahnya serta meningkatkan harkat dan martabat keluarga
menjadi salah satu pemicu wanita Indonesia memutuskan untuk mengambil
keputusan berisiko menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Uang yang akan
mereka terima selama bekerja di luar negeri diharapkan dapat menjadi modal ketika
kembali ke daerahnya, sehingga mereka bila lebih dipandang dan menjadi anggota
dari kelas sosial menengah di daerahnya.
Berada di kelas sosial bawah tentunya membuat para wanita tidak memiliki
banyak peluang untuk bisa mendapatkan laki-laki yang diinginkannya. Para lelaki
berkualitas biasanya menetapkan kriteria untuk pasangan yang akan dipilihnya.
Banyak dari para tenaga kerja merasa tidak percaya diri untuk dapat bersaing dengan
wanita lainnya. Sehingga mereka memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita
agar bisa mendapatkan penghasilan yang besar yang nantinya dapat digunakan
sebagai modal untuk mempercantik diri dan dapat menarik perhatian laki-laki.
Persepsi kelangkaan lawan jenis atau operational sex ratio merupakan
kondisi dimana terjadi ketimpangan atau ketidaksamaan jumlah antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan, salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingnya jenis
26
kelaminnya. Persepsi kelangkaan lawan jenis ingin melihat bagaimana persepsi para
tenaga kerja wanita dalam mepersepsikan jumlah laki-laki yang ada di daerahnya.
Semakin sedikit jumlah laki-laki yang berkualitas yang ada di daerahnya,
akan mendesak para wanita untuk bisa lebih menonjol di bandingkan dengan wanita
lainnya sehingga mereka dapat dijadikan pilihan oleh laki-laki yang diinginkan. Para
wanita tidak hanya menginginkan pasangan dalam hubungan seksual tetapi juga yang
mampu berkontribusi dalam kehidupan dan keturunan mereka kelak. Oleh karena itu
banyak wanita Indonesia memutuskan untuk menjadi tenaga kerja wanita di luar
negeri dengan harapan ketika kembali ke tanah air penghasilan yang mereka terima
dapat digunakan sebagai modal untuk menarik perhatian laki-laki.
Menjadi tenaga kerja wanita merupakan contoh dari sikap yang positif
terhadap risiko berdasarkan uraian pada latar belakang. Berbagai macam risiko mulai
dari sebelum keberangkatan, masa bekerja di luar negeri, dan ketika pulang ke tanah
air.
Risiko
tersebut
bermacam-macam,
contohnya
pelecehan,
penipuan,
pemerkosaan, perampokan, dan lain sebagainya. Ancaman risiko yang mungkin akan
dihadapi para tenaga kerja wanita ini tidak menyurutkan niat mereka untuk tetap
menjadi tenaga kerja wanita. Hal ini didasarkan pada keuntungan yang akan mereka
peroleh ketika kembali ke tanah air, dan lebih sedikit kerugian yang akan mereka
terima. Hal ini sesuai dengan teori sikap terhadap risiko atau teori prospek, dimana
teori tersebut menyatakan bahwa tindakan seseorang terhadap risiko didasarkan pada
keuntungan dan kerugian yang akan diterima. Selain itu, orang yang tergolong
sebagai pencari risiko biasanya lebih tertarik untuk mengambil hal-hal yang
mengandung risiko.
27
Melalui penelitian ini, peneliti ingin melihat apakah orientasi dominasi sosial
dan persepsi kelangkaan lawan jenis mampu memprediksikan sikap terhadap risiko
pada Tenaga Kerja Wanita (TKW).
28
Download