Psikologi Sosial Mayoritas-Minoritas

advertisement
Penelitian Individual
Psikologi Sosial Mayoritas-Minoritas :
Menguji Pengaruh Identitas Sosial, Orientasi Dominasi Sosial, Persepsi
Keterancaman Terhadap Dukungan Atas Kekerasan
Disusun oleh:
Gazi
NIP. 197112142007011014
Pusat Penelitian dan Penerbitan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
.................................................................................................
:
i
Bab I
.................................................................................................
:
1
Bab II
.................................................................................................
: 10
Bab III
.................................................................................................
: 42
Bab IV
.................................................................................................
: 49
Bab V
.................................................................................................
: 64
RBA
.................................................................................................
: 71
Curriculum Vitae
.................................................................................................
: 72
Daftar Pustaka
.................................................................................................
: 82
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Ada asumsi yang berkembangan di kalangan komunitas ilmuwan psikologi yang
concern dengan perilaku ekstrim bahwa publik mulai mendukung aksi kekerasan dan
terorisme. Terhadap asumsi ini, Victoroff dan Kruglanski menolak keras karena fakta sejarah
terutama di Eropa dan Amerika tidak ada yang dapat dijadikan bukti bahwa ada dukungan
masyarakat terhadap kekerasan dan terorisme. Victoroff dan Kruglanski merujuk kepada
kasus Red Army Faction di Jerman dan Italian Red Brigades di Italia yang tidak mendapatkan
dukungan sama sekali dari masyarakat, bahkan mereka ditolak keras (Victoroff &
Kruglanski, 2009). Namun jika merujuk kepada penelitian Pyszczynski dkk, penelitian Levin
dkk, dan penelitian Jim Sidanius dkk maka pernyataan Victoroff dan Kruglanski
terbantahkan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa ada dukungan publik terhadap aksi
kekerasan dan terorisme terutama di Timur Tengah dan dunia Islam (Pyszczynski, et al.,
2009;Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009; Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009).
Bagaimana dengan publik di Indonesia, apakah publik mendukung aksi kekerasan dan
terorisme yang dilakukan anggota ormas ekstrim dan fundamentalis? Sebagai negara Muslim
penganut Islam moderat, banyak kalangan meyakini bahwa Muslim Indonesia tidak mungkin
mendukung aksi kekerasan dan terorisme karena kekerasan dan terorisme itu sendiri
bertentangan dengan ajaran Islam (Jamhari, 2005). Tetapi banyak penelitian dan survei
menunjukkan ada indikasi dukungan terhadap radikalisme dan kekerasan terutama terhadap
kelompok-kelompok yang dianggap menistakan agama (Elhady, 2002; Baidlowi, 2011).
3
Pasca penyerangan terhadap sejumlah jamaah Ahmadiyah di Desa Umbalan Cikeusik
Pandeglang Banten, jamaah Ahmadiyah di beberapa wilayah mulai merasa khawatir dalam
menjalankan ibadah. Mereka bertanya-tanya, “kenapa kami diserang?”1 PertanyaanPertanyaan semacam ini juga muncul dari sejumlah anggota kelompok Syiah di sejumlah
media sosial pasca peristiwa penyerangan Kaum Syiah di Sampang Madura. Paling tidak,
dari sejumlah wawancara penulis dengan beberapa orang dari berbagai kalangan termasuk
dari beberapa diskusi yang berkembang di media sosial, ditemukan jawaban bahwa mereka
diserang karena telah menghina dan menistakan ajaran Islam.
Serangan dan kekerasan terhadap kelompok lain selalu membuat identitas menjadi
sesuatu yang menonjol, baik pada kelompok penyerang maupun pada kelompok yang
diserang. Pyszczynski dkk (2003) mengemukakan tentang menonjolnya identitas nasional,
keagamaan dan etnis terkait kasus penyerangan WTC tanggal 11 September 2001. Temuan
mereka menyebutkan bahwa penyerangan tersebut memicu dan memunculkan rasa
permusuhan dan konflik bukan hanya bagi rakyat Amerika tetapi bagi semua orang dari
berbagai belahan dunia.
Dalam situasi ketidakpastian dan penuh ancaman, banyak orang termotivasi untuk
memperbaiki kesulitan-kesulitan psikologis seperti situasi penyerangan dan kekerasan dengan
mengidentifikasi orang-orang yang mereka definisikan memiliki keanggotan kelompok yang
sama seperti rekan sebangsa, seagama, seetnik, sebudaya atau orang-orang yang memiliki
cara pandang keagamaan dan kebudayaan yang sama (Hogg & Abrams, 1998). Bahaya
sosial paling besar dari situasi ini adalah bahwa ketika persaingan dan ancaman
antarkelompok meningkat maka identifikasi diri dengan suatu ingroup seringkali mendorong
orang untuk meremehkan dan melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain (Brewer &
Gaertner, 2003). Ketika konflik kekerasan meledak dan mengancam untuk meledak di
1
Lihat International.okezone.com/read/2011
4
banyak kawasan di berbagai belahan dunia terutama di Indonesia maka penting bagi kita
untuk memahami faktor-faktor psikologis yang berkaitan dengan mekanisme identifikasi
dengan berbagai kelompok sosial, dan bagaimana mekanisme identifikasi sosial tersebut
berhubungan dengan atribusi dan dukungan terhadap kekerasan yang ditujukan kepada
kelompok-kelompok tertentu.
Walaupun terdapat banyak penelitian empirik yang menguji peran identitas sosial
dalam menggerakkan konflik antarkelompok tetapi dipastikan tidak banyak perhatian yang
dicurahkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan identifikasi ingroup atau
kelompok sendiri (Huddy, 2001). Teori dominasi sosial menawarkan satu kemungkinan.
Secara umum, teori dominasi sosial berasumsi bahwa konflik-konflik yang melanda banyak
kelompok merupakan hasil dari kecenderungan dasar manusia untuk membentuk sistem
dominasi berbasis kelompok di mana kelompok-kelompok tertentu berada pada bagian
puncak hirarki sosial dan kelompok lainnya berada pada bagian bawah (Sidanius, Henry,
Pratto, & Levin, 2009; Sidanius & Pratto, Social Dominance, 1999). Walaupun sistem
dominasi berbasis kelompok diciptakan dan dipertahankan oleh kekuatan-kekuatan yang
berinteraksi pada beberapa level analisa, satu variabel penyumbang terhadap fenomena ini
pada level perbedaan individual adalah hasrat atau keinginan orang untuk memperoleh
dominasi berbasis kelompok atau yang biasa disebut dalam psikologi sosial dengan sebutan
social dominance orientatin (SDO). Menurut teori dominasi sosial, identifikasi ingroup
memberikan kontribusi terhadap perseteruan antarkelompok tetapi identifikasi ingroup
sendiri berhubungan dengan tingkat SDO seseorang. Secara khusus, tingkat SDO seseorang
diperkirakan berhubungan dengan identifikasi kelompok sendiri yang lebih kuat pada anggota
kelompok berstatus tinggi dan identifikasi ingroup yang lebih lemah pada anggota kelompok
berstatus rendah. Menurut teori dominasi sosial, anggota kelompok berstatus tinggi dengan
hasrat yang lebih besar terhadap ketidaksetaraan kelompok diperkirakan memiliki tingkat
5
identifkasi ingroup yang lebih tinggi karena koneksi dengan ingroup yang dominan
mempermudah akses kepada sumber daya sosial dan ekonomi yang dapat digunakan untuk
memperkuat perbedaan status berbasis kelompok (Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009;
Sidanius & Pratto, Social Dominance, 1999). Bagi anggota kelompok berstatus rendah, di
sisi lain, identifikasi ingroup menunjukkan secara tidak langsung suatu orientasi kontra
dominasi atau suatu penolakan terhadap sistem sosial di mana kelompok seseorang
diturunkan ke posisi subordinat. Sebagaimana diprediksi, penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa anggota kelompok etnis berstatus lebih tinggi, baik di Amerika maupun di Israel,
mengidentifikasi kelompok sendiri secara lebih kuat sejauh mereka memiliki SDO yang
tinggi, sementara anggota kelompok berstatus rendah mengidentifikasi kelompok sendiri
secara lebih kuat sepanjang mereka memiliki tingkat SDO yang rendah.
Kendati demikian, karena penelitian ini bersifat korelasi maka peneliti tidak mungkin
menentukan apakah SDO yang lebih tinggi menimbulkan identifikasi ingroup yang lebih
tinggi pada anggota kelompok berstatus rendah. Hal yang sama berlaku untuk arah kausal
hubungan yang negatif antara SDO dan identifikasi ingroup pada anggota kelompok berstatus
rendah: SDO yang lebih tinggi bisa jadi berhubungan dengan identifikasi ingroup yang lebih
rendah atau identifikasi ingroup yang lebih rendah bisa jadi berhubungan dengan SDO yang
lebih tinggi pada anggota kelompok tersebut.
Teori identitas sosial paling mungkin berharap jika SDO menjadi satu fungsi identitas
sosial. Menurut teori identitas sosial, satu cara yang dapat ditempuh anggota kelompok
berstatus rendah untuk mereaksi identitas sosial negatif yang ditimbulkan oleh status yang
rendah adalah dengan mengadopsi struktur kepercayaan perubahan sosial (Tajfel & Turner,
1986). Karena identitas sosial yang negatif lebih mengancam bagi mereka yang
mengidentifikasi kelompok berstatus rendah secara kuat maka anggota kelompok tersebut
bisa jadi secara khusus akan mengadopsi struktur kepercayaan perubahan sosial yang dapat
6
melindungi suatu identitas. Satu manifestasi struktur kepercayaan seperti itu bisa jadi berupa
keinginan yang lebih kuat terhadap kesetaraan kelompok dan kepercayaan bahwa kelompok
inferior tidak boleh bertahan di tempat.
Jika sebagian besar penelitian empirik yang diilhami oleh teori dominasi sosial sejauh
ini telah memodelkan kekuatan identitas sosial seseorang sebagai fungsi dari tingkat SDO
seseorang maka konsisten pula dengan teori dominasi sosial untuk menduga bahwa identitas
sosial mengandung status penyebab sebelumnya, yaitu orang-orang mengadopsi tingkat SDO
yang dipersepsikan akan menjadi bagian dari kepentingan kelompok sosial yang
diidentifikasi. Karena suatu identitas sosial yang positif lebih banyak memberikan
pengembangan diri bagi mereka yang mengidentifikasi ingroup berstatus tinggi dengan kuat
maka anggota kelompok ini secara khusus memperlihatkan hasrat yang lebih besar kepada
ketidaksetaraan kelompok dan kepercayaan yang lebih besar bahwa kelompok superior harus
mendominasi kelompok inferior. Inilah alasan utama kenapa para ahli teori dominasi sosial
menyatakan bahwa anggota kelompok berstatus tinggi pasti memiliki skor SDO yang lebih
tinggi dibandingkan anggota kelompok berstatus rendah. Pada saat yang sama, orang-orang
yang dipradisposisikan menyokong hubungan hirarki dan dominan/subordinat pada
kelompok-kelompok sosial juga lebih besar kemungkinan untuk mengidentifikasi kelompok
yang kuat dan dominan serta tidak mengidentifikasi kelompok yang lemah dan subordinat.
Dengan demikian, teori dominasi sosial akan bersepakat bahwa hubungan kausal yang
sesungguhnya adalah kemungkinan bersifat resiprokal dan dua arah.
Penelitian Levin dkk (2009) menyimpulkan bahwa identifikasi kelompok dan SDO
berpengaruh kuat dalam memediasi dampak variabel yang lain terhadap dukungan kepada
kekerasan antarkelompok. Levin dkk fokus terutama pada dukungan anggota kelompok
subordinat terhadap kekerasan yang dilakukan kepada kelompok dominan dalam suatu
konflik. Pertama, peneliti mengeksplorasi peran identifikasi kelompok subordinat dalam
7
memediasi efek SDO atas dukungan terhadap kekerasan antarkelompok. Pada anggota
kelompok subordinat, SDO yang rendah cenderung mengarah kepada identifikasi ingroup
yang lebih besar dan dukungan yang lebih kuat terhadap kekerasan antarkelompok. Orangorang dengan SDO yang rendah memperlihatkan dukungan yang lebih besar akan kekerasan
terhadap kelompok dominan karena kekerasan semacam itu akan melemahkan struktur sosial
hirarkis yang mereka lawan.
B. Permasalahan Penelitian
Indonesia sebagai masyarakat yang penuh dengan keragaman, baik dari segi bahasa,
agama, keyakinan keagamaan, etnis dan kelompok politik memungkinkannya untuk menjadi
panorama hubungan antarkelompok yang menyimpan potensi konflik dan kekerasan yang
dahsyat di satu sisi, tetapi sekaligus membuatnya ideal untuk menjadi tempat bagi penelitian
tentang dinamika identifikasi sosial dan hubungannya dengan dukungan terhadap kekerasan
antarkelompok. Indonesia adalah negeri dengan penduduk mayoritas menganut agama Islam,
tetapi nasib mayoritas umat Islam di Indonesia tidak sama dengan mayoritas umat Islam
Melayu di negeri jiran Malaysia yang menikmati kesejahteraan ekonomi dan status sosial
yang lebih tinggi dibandingkan non Muslim. Di Indonesia, walaupun non Muslim merupakan
kelompok minoritas tetapi mereka memiliki tingkat kesejahteraan rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan umat Islam.
Umat Islam Indonesia secara umum adalah penganut Islam Sunni yang secara teologi
mengikuti faham Asyariah dan secara fikih menganut empat mazhab (Syafii, Hambali, Maliki
dan Hanafi), walaupun pada kenyataannya mereka lebih banyak menerapkan ajarah Mazhab
Imam Syafii dalam beribadah sehari-hari. Sementara di sisi lain, terdapat kelompok lain
8
seperti Ahmadiyah dan Syiah yang dipandang sebagai kelompok lain yang dianggap merusak
dan menodai ajaran Islam.
Penelitian Levin dkk yang disebutkan di atas belum bisa menjawab fenomena
kekerasan antarkelompok di Indonesia di mana di negeri yang mayoritas Muslim ini, justeru
kelompok mayoritas dominan penganut Muslim Sunni melakukan tindak kekerasan terhadap
kelompok minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah. Lebih jauh, belum diteliti secara psikologi
kenapa kelompok mayoritas dominan mendukung aksi kekerasan terhadap kelompok
minoritas?
C. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat dan mencaritahu:
1. Apakah identifikasi sosial yang kuat sebagai Muslim Sunni yang mayoritas
berkorelasi dengan dukungan atas kekerasan yang ditujukan kepada kelompok
minoritas Ahmadiyah dan Syiah?
2. Apakah SDO yang tinggi berkorelasi dengan dukungan atas kekerasan yang ditujukan
kepada kelompok minoritas Ahmadiyah dan Syiah?
3. Apakah persepsi keterancaman akan keyakinan kelompok mayoritas berpengaruh
terhadap dukungan kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah dan Syiah?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa:
1. Dukungan terhadap kekerasan yang ditujukan kepada kelompok minoritas di
Indonesia dipengaruhi oleh faktor identifikasi yang kuat terhadap kelompok dominan,
9
dan bahwa SDO dan persepsi keterancaman menjadi variabel mediator antara
identifikasi yang kuat terhadap kelompok sosial dominan dengan dukungan atas
kekerasan yang ditujukan kepada kelompok minoritas yang dipandang mengancam
identitas mereka sebagai pengikut kaum beriman yang bersyahadat dengan dua
syahadat, yaitu syahadat tauhid dan syahadat rasul.
2. Persepsi keterancaman merupakan faktor penting yang mempengaruhi dukungan
terhadap aksi kekerasan kepada kelompok yang dipandang mengancam keberagamaan
mereka.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan secara praktis,
yaitu:
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi,
ilmu pengetahuan dan teori bagi pengembangan psikologi sosial dan psikologi agama.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan praktis terkait
bagaimana mengatasi masalah hubungan antarkelompok di Indonesia terutama
hubungan antarkelompok berbasis agama dan spiritualitas.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai
berikut:
Bab I berisi uraian tentang pendahaluan. Bab ini dibagi ke dalam beberapa sub
pembahasan menyangkut latar belakang masalah, masalah penelitian, pertanyaan penelitian,
tujuan dan manfaat penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang membahas tentang dasar-dasar teoritis yang
digunakan dalam memilih variabel-variabel penelitian, baik variabel penyebab maupun
variabel minat penelitian. Pembahasan pada bab ini diawali dengan uraian tentang dependent
10
variable, yaitu dukungan terhadap kekerasan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan tentang
independen variabel yaitu identifikasi sosial, orientasi dominasi sosial, dan persepsi
keterancaman. Akhirnya, pembahasan bab ini diakhiri dengan kerangka berpikir dan
hipotesis.
Bab III berisi metode penelitian, yaitu pembahasa seputar isu-isu terkait metode
penelitian seperti pendekatan penelitian, partisipan penelitian, instrumen pengumpulan data,
dan tehnik analisa.
Bab IV berisi pembahasan tentang hasil penelitian. Secara umum, pembahasan hasil
penelitian ini dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pembahasan tentang hasil uji validitas
konstruk dengan menggunakan tehnik CFA, serta pembahasan tentang hasil penelitian
menyangkut uji hipotesis dengan menggunakan tehnik regresi berganda.
Bab V berisi kesimpulan, diskusi dan saran. Bab ini merupakan bab penutup dari
keseluruhan laporan penelitian ini.
Penulisan laporan penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka yang memuat
seluruh literatur yang digunakan sebagai rujukan dalam penulisan. Selain itu, laporan ini
digenapkan dengan lampiran-lampiran penting yang terkait penelitian seperti instrumen
penelitian dan output analisa lisrel dan SPSS. Di awal laporan, juga dimuat abstrak, daftar isi
dan pengantar dari penulis.
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini akan membahas landasan teori penelitian yang berisi penjelasan teoritis tentang
variabel penelitian yaitu landasan teori tentang dukungan terhadap kekerasan, identifikasi
sosial, dominasi sosial dan persepsi keterancaman.
A. Dukungan Terhadap Kekerasan
Konsep dukungan terhadap kekerasan merupakan konsep yang unik dan terbilang
membingungkan. Oleh karenanya, penjelasan tentang dukungan terhadap kekerasan juga
dipandang unik karena biasanya dukungan berkaitan dengan hal-hal yang positif. Tetapi
itulah salah satu daya tarik penelitian ini bagaimana dukungan kekerasan dianggap sebagai
suatu yang riil dalam kehidupan sosial-politik kita.
A.1. Pengertian Dukungan Kekerasan
Dalam ilmu psikologi konsep dukungan jamak digunakan oleh para peneliti untuk
menjelaskan bantuan sosial atau sokongan sosial terhadap orang lain, tetapi dalam konteks
penelitian ini dukungan lebih banyak dibahas dalam konteks psikologi sosial terutama dalam
konteks organisasi atau kelompok. Dengan demikian, dukungan di sini tetap harus difahami
sebagai dukungan sosial terhadap kekerasan yang diberikan individu-individu secara kolektif
maupun secara individual terhadap kekerasan yang ditujukan kepada kelompok tertentu atau
anggota kelompok tertentu.
Dalam suatu studi kombinasi kuantitatif-kualitatif dengan menggunakan tehnik
wawancara baku dengan sampel kaum urban dan pribumi di seluruh daratan Australia,
D’Abbas (1991) menguji tingkat ketergantungan berbagai orang anggota jaringan. Ia
menyebutkan bahwa keluarga cenderung merupakan sumber dukungan materi, praktis dan
12
emosi yang penting. Secara lebih khusus ia menyebutkan bahwa keluarga, melebihi sumber
dukungan lainnya, merupakan sumber utama asistensi keuangan dalam sampel penelitiannya.
Ia juga menemukan bahwa keluarga cenderung menjadi sumber daya paling penting untuk
dukungan emosional umum dan untuk menjadi tempat bagi seseorang untuk mencurahkan isi
hati dan perasaan (Miller & Darlington, 2002).
Dalam pandangan peneliti, esensi penting dari pernyataan Miller dan Darlington ini
adalah bahwa orang-orang yang memiliki kedekatan hubungan seperti kekerabatan,
perkawanan, keanggotaan yang sama dalam suatu kelompok atau organisasi atau kedekatan
ideologi merupakan kelompok potensial yang akan memberikan dukungan kepada perilaku
tertentu yang dijalankan orang lain. Dalam penelitian ini, hemat saya, aksi kekerasan tentu
saja akan didukung oleh orang-orang yang memiliki kedekatan ideologi atau kesamaan
keanggotaan dengan para pelaku aksi kekerasan antarkelompok karena mereka beranggapan
aksi kekerasan dalam rangka pembelaan terhadap harga diri dan nilai yang dianut kelompok
ideologi.
Pentingnya dukungan sosial di dalam hidup kita tidak terbantahkan. Para peneliti di
bidang dukungan sosial telah menunjukkan bahwa aspek kuantitatif dan kualitatif dari
interaksi sosial kita berhubungan dengan variabel-variabel tertentu seperti penyesuaian
psikologis, fungsi keluarga, perlakuan salah terhadap anak, dan kesehatan fisik. Banyak
peneliti yang berminat dengan kajian dukungan sosial telah mencoba menggambarkan
berbagai sumber dukungan di dalam jaringan kerja pendukung (Miller & Darlington, 2002).
Persoalannya apakah dukungan terhadap kekerasan juga memiliki jaringan pendukung seperti
perilaku lainnya? Logika sederhana saya adalah setiap perilaku kolektif termasuk perilaku
ekstrim kolektif yang dimotivasi nilai dan keyakinan tertentu bisa jadi memiliki jaringan
pendukung yang luas terutama dari orang-orang yang memiliki kepentingan dengan aksi
kekerasan tersebut.
13
Sejumlah peneliti mencoba membahas konsep dukungan sosial karena manusia adalah
makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari dukungan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Leavy (1983) menyebutkan bahwa walaupun konsep dukungan sosial telah banyak difahami
secara intuitif oleh banyak orang tetapi konsep ini bisa dikatakan sebagai salah satu konsep
yang sukar untuk dijelaskan. Dengan mengambil esensi dari berbagai literatur dan definisi
maka elemen dasar atau dimensi dasar dari dukungan sosial dapat dikonstruksi. Sejumlah
peneliti menyamakan dukungan sosial dengan konsep sumber daya yang diberikan orang lain
yang meliputi nasehat, informasi dan asistensi instrumental (Bates & Toro, 1999). Dengan
demikian, dukungan sosial bisa dalam bentuk nasehat atau saran, informasi penting yang bisa
dijadikan pijakan dalam memutuskan sesuatu dan dukungan yang bersifat instrumental
seperti sarana dan fasilitas tertentu.
Dalam sejumlah besar penelitian psikologi, konstruk dukungan sosial dijadikan
sebagai variabel penyebab atau independent variabel bagi konstruk psikologis dalam bidang
psikologi klinis dan kesehatan mental (Bates & Toro, 1999). Dapat dikatakan bahwa konstruk
dukungan sosial tidak banyak digunakan untuk menjelaskan dinamika psikologis dalam
bidang psikologi sosial (Nemoto, 1998), apalagi yang terkait dengan kekerasan, radikalisme
dan terorisme. Bahkan yang unik dari konsep dukungan sosial ini, tidak banyak peneliti yang
menempatkannya sebagai dependent variabel atau minat penelitian. Konstruk ini lebih
banyak ditempatkan sebagai variabel yang menjelaskan perilaku tertentu terutama dalam
bidang psikologi klinis dan kesehatan mental (Li, Wang, Shi, & Shi, 2006; Schrimshaw &
Siegel, 2003). Pada titik inilah pentingnya penelitian ini, yaitu melakukan studi tentang
dukungan sosial terhadap kekerasan sebagai independent variable atau minat kajian yang
sebab-sebabnya akan dikaji. Pentingnya penelitian ini juga dapat dilihat dari fakta dan data
dalam berbagai literatur yang selalu mengaitkan dukungan sosial dengan upaya memberi
bantuan psikologis dan sosial terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan dan
14
kelompok kurang beruntung. Dengan kata lain, hampir semua penelitian mengaitkan
dukungan dengan upaya menormalisasikan perilaku, dan tidak banyak yang mengaitkannya
dengan dukungan terhadap perilaku ekstrim yang destruktif dan merugikan orang banyak.
Levin dkk (2003) serta Sidanius dkk (2004) adalah sedikit tim peneliti yang mencoba
menempatkan dukungan sosial sebagai minat kajian, apalagi dalam konteks terorisme dan
kekerasan ekstrim (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009). Penelitian ini juga mengambil
minat yang sama yaitu mengkaji dukungan terhadap kekerasan serta faktor-faktor psikologis
yang mempengaruhinya. Tentu saja, argumen ini menambah pentingnya nilai dan signifikansi
penelitian ini.
Dukungan terhadap kekerasan yang dimaksudkan di sini adalah dukungan terhadap
aksi kekerasan dan lembaga atau organisasi yang cenderung memilih jalan kekerasan untuk
mencapai tujuan dan penyelesaian masalah. Levin dkk menyebutkan ada dua dimensi
dukungan kekerasan yaitu dukungan terhadap organisasi kekerasan dan dukungan terhadap
aksi kekerasan yang dilakukan kelompok dalam mencapai maksud dan tujuan organisasi
(Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009). Maka, menurut Levin dkk, dukungan sosial
terhadap kekerasan bisa berarti dukungan terhadap organisasi atau kelompok pelaku
kekerasan dan dukungan terhadap kekerasan itu sendiri.
Konsep tentang dukungan terhadap kekerasan dari Levin dkk akan digunakan sebagai
pijakan teorits dalam mengkonstruksi konstruk dan variabel dukungan terhadap kekerasan.
Dukungan terhadap kekerasan merupakan konstruk dan variabel penting yang mulai populer
terutama setelah peristiwa pengeboman WTC Washington 11 September 2001. Beberapa
poling pendapat yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional memperlihatkan
dukungan yang tinggi terhadap aksi kekerasan tersebut karena faktor kemarahan terhadap
Amerika Serikat. Dukunga-dukungan tersebut sebagian besar muncul dari negara-negara
Arab dan negara-negara Islam sehingga kemudian memunculkan pertanyaan kenapa banyak
15
orang mendukung kekerasan. Ada perkembangan apa sehingga kekerasan dan terorisme
seakan-akan dianggap sebagai tindakan yang sah di mata publik? (Levin, Henry, Prato, &
Sidanius, 2009)
Kesan keabsahan kekerasan dan terorisme di mata publik kemudian melahirkan kesan
lain seolah-olah publik atau masyarakat terutama asal pelaku memberikan dukungan yang
nyata, minimal simpati terhadap aksi kekerasan atau terorisme yang dilakukan segelintir atau
sekelompok orang. Victoroff dan Kruglanski (2009) memberikan memberikan bantahan
terhadap asumsi yang mengatakan bahwa ada dukungan publik terhadap aksi teror yang
dilakukan sejumlah kelompok. Keduanya mecontohkan misalnya bagaimana German Red
Army atau Kelompok Baader-Meinhof tidak terbukti mendapatkan dukungan yang luas atas
tindakan mereka dari publik, atau kelompok Italian Red Brigades yang tidak mendapatkan
dukungan sama sekali dari publik di tahun 1970-an atau kelompok terorist Lone Wolf,
Theodore Kaczynksi, yang terbukti secara nyata tidak mendapatkan dukungan sama sekali
dari publik. Fakta-fakta historis tersebut melemahkan asumsi bahwa masyarakat mendukung
gerakan teror dan kekerasan (Victoroff & Kruglanski, 2009).
Tetapi survei dan penelitian lain, misalnya Levin dkk (2003) atau penelitian Sidanius
dkk (2004) menunjukkan ada dukungan publik terhadap aksi teror dan kekerasan yang
dilakukan sejumlah kelompok teror. Para peneliti secara umum menunjuk ke wilayah Timur
Tengah sebagai kawasan yang dipenuhi aksi teror dan kekerasan karena mendapatkan
dukungan luas dari publik terutama umat Islam yang ada di sejumlah wilayah yang sedang
dilanda konflik berkepanjangan. Levin dkk misalnya menemukan bahwa dukungan publik
terhadap aksi kekerasan dan teror yang dilakukan sejumlah gerakan Islam seperti Hammas
dan Hizbullah berkaitan erat dengan tingkat identifikasi seseorang terhadap negara dan
agama, serta berkaitan erat pula dengan kecenderungan dominasi sosial yang melekat dalam
dinamika kepribadian responden penelitian (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009).
16
Penelitian lain yang juga menggambarkan adanya dukungan publik terhadap aksi
kekerasan adalah penelitian yang dilakukan oleh Sidanius dkk (2004) mengenai atribusi
Bangsa Arab terhadap serangan yang ditujukan kepada simbol dan kepentingan Amerika di
Timur Tengah. Penelitian ini hendak membandingkan dua penjelasan penting tentang motif
di balik sikap permusuhan Bangsa Arab terutama kaum muda Arab terhadap Amerika dan
simbol-simbolnya. Dua penjelasan penting ini, yaitu tesis Huntington tentang benturan
peradaban atau perspektif dominasi sosial dari Sidanius, cukup mempengaruhi pola pikir para
ilmuwan dalam melihat hubungan antara Islam dan Barat (Victoroff & Kruglanski, 2009).
Simpulan penilaian menyebutkan bahwa motif di balik sikap permusuhan kaum muda
Arab bukan benturan peradaban antara Barat dan Islam, tetapi lebih berkaitan dengan
penolakan mereka terhadap dominasi Amerika atas Bangsa Arab. Sejumlah responden
menyebutkan bahwa mereka tidak menerima jika diperlakukan tidak adil oleh bangsa-bangsa
Barat terutama Amerika Serikat. Hasil penelitian seperti hendak menegaskan bahwa
kesetaraan di antara bangsa-bangsa adalah faktor utama kenapa kaum muda Arab
menunjukkan sikap permusuhan dan prasangka terhadap Amerika (Levin, Henry, Prato, &
Sidanius, 2009; Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009). Pada poin inilah maka teori
dominasi sosial memberikan harapan penting dalam menjelaskan kenapa kaum muda arab
mendukung kekerasan dan bahkan terlibat dalam berbagai aksi kekerasan yang kerapkali
dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap keangkuhan dan pertunjukan kekuasaan yang
membabi-buta oleh Amerika Serikat.
Penelitian lain menyebutkan bahwa dukungan terhadap permainan politik tertentu
seperti dukungan terhadap kekerasan lebih mungkin muncul dari kalangan politisi atau
aktivis partai dibandingkan dari publik umum. Sebab, para politisi umumnya memiliki tujuan
dan agenda tertentu yang bersifat politis di balik dukungan mereka terhadap konflik
antarkelompok termasuk kekerasan antarkelompok (Searing, 1986). Seringkali para politisi
17
meraup banyak keuntungan politis dari berbagai kasus konflik dan kekerasan komunal yang
justeru merugikan masyarakat sendiri.
Penjelasan lain menyebutkan bahwa dukungan terhadap kekerasan, terutama terhadap
kelompok-kelompok yang dipersepsi mengancam keyakinan dan ajaran pokok agamanya
dimotivasi oleh kesamaan identitas dengan pelaku, sehingga identifikasi yang kuat yang
berkombinasi dengan perasaan terancam dari sisi keimanan dan keyakinan keagamaan dapat
menjadi penyebab dukungan terhadap aksi kekerasan (Ruth, 2010). Hemat penulis, dalam
kaitannya dengan hal ini, dukungan kekerasan umumnya berasal dari kelompok yang
mengalami keterancaman identitas atau kegalauan identitas akibat adanya ketimpangan
antara apa yang ada pada mereka dengan perkembangan zaman yang melaju pesat.
Kesimpulan penelitian dengan substansi yang sama disebutkan oleh Gazi Saloom (in
press) bahwa dukungan dan keterlibatan dalam sejumlah aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah
dan kelompok Islam sempalan lainnya dimotivasi oleh semangat membela keyakinan agama
atau ideologi agama yang dipersepsi terancam. Studi kasus tentang radikalisme yang
dilakukan Gazi Saloom di Kabupaten Bogor menemukan bahwa orang-orang yang terlibat
dalam berbagai aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah dan kelompok Islam minoritas lainnya
memiliki identifikasi yang kuat terhadap Islam Ahlunssunnah yang mereka yakini.
Keyakinan yang mendalam itulah yang kemudian membuat mereka merasa perlu melakukan
pembelaan terhadap agama yang dipersepsi terancam oleh kelompok dan kaum yang tidak
bertanggungjawab (Saloom, in press). Dengan kata lain, identifikasi yang kuat di satu sisi
berkombinasi dengan perasaan merasa lebih “dominan” secara teologi dan keagamaan, dan di
sisi lain, dengan perasaan terancam sebagai kelompok penganut keyakinan mainstream dan
mapan, dapat melahirkan sikap dukungan terhadap kekerasan tertentu yang ditujukan kepada
kelompok yang dipandang sebagai kelompok subordinat dan sumber ancaman identitas.
18
Dalam kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah, umumnya atribusi para
pelaku lebih bersifat eksternal, yaitu atribusi yang diarahkan kepada kaum Ahmadiyah sendiri
yang dipandang melecehkan ajaran Islam terutama berkaitan dengan kerasulan Nabi
Muhammad sebagai utusan terakhir Allah (Saloom, in press). Dalam perspektif teori identitas
sosial dan orientasi dominasi sosial, argumen dan atribusi ini menggambarkan persepsi para
penyerang sebagai kelompok paling benar dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi
(Sidanius & Pratto, 1999). Indikator orientasi dominasi sosial yang tinggi dalam hal ini
adalah keinginan mereka agar Ahmadiyah dibubarkan karena bukan bagian dari umat Islam
yang berada di jalan lurus, atau jika mereka ingin bertahan dalam Islam maka mereka harus
mengubah keyakinan dan pemahaman keagamaan mereka menyangkut kerasulan terakhir
agar sesuai dengan keyakinan dan keimanan Islam mainstream (Saloom, in press).
A.2. Pengukuran Dukungan Terhadap Kekerasan.
Pengukuran dukungan terhadap kekerasan diupayakan dalam bentuk yang paling
sederhana agar data yang diperoleh sederhana dan mudah untuk dianalisa secara statistik.
Untuk mengukur dukungan terhadap kekerasan, penelitian akan mengadopsi dan
mengadaptasi instrumen dari Levin dkk yang pernah digunakan mereka dalam berbagai
penelitian yang mereka lakukan. Instrumen ini terdiri dari dua dimensi yaitu dukungan
terhadap organisasi yang dilabel teroris dan dukungan terhadap pengeboman WTC.
Levin dkk melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap instrumen yang mereka
gunakan. Uji validitas dan reliabilitas diperlukan guna mengetahui apakah instrumen ini
mengukur apa yang seharusnya diukur dan apakah ia juga bersifat ajeg dalam mengukur apa
yang hendak diukur. Bisa dikatakan bahwa uji realibilitas untuk skala ini sangat tinggi yaitu
α=0,93 (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009). Angka ini tergolong sangat tinggi dalam
pengujian suatu instrumen pengukuran psikologi, artinya bahwa instrumen ini layak untuk
19
digunakan dalam penelitian yang lain. Kendati demikian, peneliti merasa perlu melakukan
adaptasi alat ukur karena secara metodologi hal ini memang harus dilakukan. Adaptasi
instrumen dilakukan karena konteks penelitian ini berbeda dengan konteks situasi dan
populasi penelitian Levin walaupun secara substansi sama. Penelitian Levin dilakukan di
Timur Tengah yang sedang dilanda konflik berkepanjangan, sedangkan penelitian ini
dilakukan di Indonesia yang relatif bebas dari berbagai konflik berkepanjangan seperti di
kawasan Arab.
Salah satu contoh item dari instrumen ini adalah : “Saya mendukung pengikut
Ahmadiyah diusir dari tempat tinggal mereka. Instrumen ini direspon responden dengan
memilih salah satu alternatif jawaban dari 4 pilihan yang disediakan, mulai dari sangat tidak
mendukung sampai sangat mendukung. Pilihan terhadap skala 4 untuk respon responden
dimaksudkan untuk kepentingan kesederhanaan dan kemudahan penelitian, baik saat
pengumpulan data maupun saat analisa data dengan menggunakan statistik.
A.3. Faktor-Faktor Penyumbang Dukungan Terhadap Kekerasan
Merujuk kepada prinsip umum dalam ilmu psikologi bahwa perilaku manusia adalah
fungsi dari kepribadian dan lingkungan; atau fungsi dari faktor internal dan faktor eksternal;
atau fungsi dari nurture dan nature. Maka dukungan terhadap kekerasan sebagai salah satu
bentuk perilaku manusia juga harus dilihat dalam perspektif itu. Artinya, dukungan terhadap
kekerasan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal atau faktor kepribadian dan
faktor lingkungan.
Tidak banyak penelitian yang menempatkan dukungan sosial sebagai dependent
variabel, oleh karenanya, tidak banyak penjelasan yang memadai tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi dukungan sosial terhadap kekerasan. Salah satu contoh penelitian yang
menempatkan dukungan sosial sebagai penyebab perilaku adalah penelitian Cowman dkk.
20
Penelitian mereka menguji hubungan antara rasa psikologis masyarakat, jaringan dukungan
sosial, stress dan kepuasan di kalangan pasukan pemadam kebakaran. Penelitian ini tidak
menemukan perbedaan jender yang signifikan, bahkan penelitian memperlihatkan hubungan
yang signifikan di antara keempat variabel. Di dalam penelitian ini disebutkan bahwa anggota
pemadam kebakaran yang merasa puas dengan dukungan sosial ternyata mendapatkan
pengalaman stress yang lebih kecil karena pelayanan mereka diandingkan mereka yang
mengalami tingkat kepuasan yang rendah (Cowman, Ferrari, & Liao-Troth, 2004).
Secara umum, dukungan terhadap kekerasan sangat berkaitan dengan sikap dan
identifikasi seseorang terhadap kelompoknya. Sebab, dalam rumusan psikologi sosial yang
paling umum, perilaku seseorang adalah gambaran dari apa yang ada di dalam pikirannya
termasuk gambaran sikap. Benyamin Disraeli pernah mengungkapkan suatu pernyataan yang
sangat populer tentang hubungan antara isi kognisi seseorang dengan perilakunya dalam
kehidupan sehari-hari. Katanya, “The thought is the son of behavior” Dalam bahasa yang
sederhana, pernyataan ini menggambarkan bahwa pikiran, persepsi atau sikap adalah modal
dasar seseorang dalam berperilaku. Dalam konteks ini, dukungan terhadap kekerasan adalah
gambaran pikiran, sikap, identifikasi sosial, dan posisi seseorang dalam kelompok terhadap
suatu isu.
Sejumlah survei dan penelitian yang jumlahnya relatif sedikit tentang dukungan
terhadap kekerasan memperlihatkan bahwa terdapat beberapa faktor penting yang
memberikan pengaruh signifikan terhadap dukungan atas kekerasan dan terorisme. Penelitian
Levin dkk (2003) dan penelitian Sidanius dkk (2004) menyimpulkan bahwa identifikasi
sosial, kecenderungan dominasi sosial dan persepsi keterancaman berpengaruh terhadap
dukungan untuk kekerasan.
21
Berikut akan dibahas faktor-faktor penting yang berpengaruh terhadap dukungan atas
aksi kekerasan, yang telah dipilih dan ditentukan oleh peneliti untuk dijadikan penjelasan
terhadap dukungan kekerasan.
B. Identifikasi Sosial
Dalam perspektif teori evolusi termasuk psikologi evolusi, manusia adalah hewan
sosial. oleh karenanya sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan di dalam kelompok. Masih
menurut psikologi evolusi, identitas sosial yang bersumber dari keanggotaan dalam suatu
kelompok merupakan bagian pentingan yang membentuk siapakah dia atau jati dirinya.
Beberapa psikolog beraliran evolusi menganggap kelompok sebagai tingkatan penting di
mana proses seleksi berlangsung dan karakteristik yang mengutamakan dan mengedepankan
kelompok lebih sering terjadi dalam kelompok (Castano, Leidner, & Slawuta, 2008).
Kecenderungan membela kelompok sendiri walaupun kelompok salah atau melakukan
tindakan salah yang disalahkan banyak orang adalah hal yang lumrah. Kecenderungan ini
menggambarkan gejala psikologis yang cenderungan berlaku tidak adil dan berat sebelah,
atau dalam bahasa psikologi sosial disebut dengan konsep “ingroup favoritism and outgroup
derogation atau mengutamakan kelompok sendiri dan memusuhi kelompok lain (Hogg, 2005;
Hogg & Abrams, 1998).
B.1. Pengertian Indentifikasi Sosial
Para ahli psikologi sosial sebagaimana disebutkan dalam sejumlah literatur, sejak
lama mengakui pentingnya identitas sosial dalam membentuk sikap dan perilaku. Pada tahuntahun terakhir ini, perhatian para ahli untuk memahami motif identifikasi sosial semakin
meningkat. Dengan kata lain, karena keterikatan dengan kelompok dianggap sebagai suatu
proses yang alamiah maka alasan kenapa individu mengindifikasi diri dengan kelompok
22
sosial tertentu yang seringkali sangat kuat kemudian menjadi fokus penelitian para peneliti
termasuk bidang ilmu psikologi (Castano, Leidner, & Slawuta, 2008).
Konsep identifikasi sosial adalah khazanah intelektual yang diwariskan oleh para
penggagas Teori Identitas Sosial yaitu Tajfel, dan pada titik tertentu oleh penggagas Teori
Dominasi Sosial. oleh karenanya, untuk dapat memahami konsep identifikasi sosial secara
komprehensif maka penulis akan menguraikan sepintas tentang Teori Identitas Sosial, dan
pada bagian berikutnya penjelasan tentang orientasi dominasi sosial.
Tajfel (1972: 31 dalam Hogg dan Abrams, 1998) mendefinisikan identitas sosial
sebagai berikut: “The individual’s knowledge that he belongs to certain social groups
together with some emotional and value significance to him of the group memberships.”
Definisi dari Tajfel memberikan beberapa kata kunci penting bagi kita dalam upaya
memahami identitas sosial yaitu pengetahuan individu, memiliki kelompok sosial tertentu,
makna emosional dan nilai penting sebagai anggota. Dengan kalimat lain, dapat kita katakan
bahwa keanggotaan individu dalam suatu kelompok memberikan kelekatan emosi dan nilai
penting baginya dan hal itu sungguh-sungguh ia sadari sebagai suatu fakta yang terjadi dan
melekat pada dirinya.
Sedangkan Turner (1982:15, dalam Hogg dan Abrams, 1998) mendefinisikan
kelompok sosial melalui pernyataannya berikut ini: “Two or more individuals who share a
common social identification of themselves or which is nearly the same thing, perceive
themselves to be members of the same social category.” Pengertian kelompok sosial dari
Turner ini dapat dikatakan lebih sederhana dibandingkan pengertian dari Tajfel karena Turner
mengemukakan suatu definisi klasik yang jamak dianut oleh para ahli psikologi sosial atau
para sosiolog.
23
B.2 Mekanisme Psikologis Identifikasi Sosial
Ada 4 mekanisme psikologis yang mendasari Social Identity Theory (SIT) yaitu
kategorisasi sosial, perbandingan sosial, identifikasi sosial dan distingsi kelompok yang
positif. Keempat mekanisme psikologis ini merupakan unsur penting dalam memahami teori
ini karena tanpa memahami mekanisme psikologis ini maka sulit untuk diperoleh pemahaman
atau gambaran tentang bagaimana identitas sosial bekerja dan mempengaruhi perilaku
seseorang, baik dalam konteks perilaku intrapersonal, interpersonal maupun intergroup.
Mekanisme psikologis yang pertama adalah kategorisasi sosial. Mekanisme
psikologis kategorisasi sosial adalah proses kognitif di mana objek, peristiwa dan manusia
diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Dengan melakukannya maka kita cenderung
mencari kesamaan pada kelompok sendiri dan mencari perbedaan pada kelompok lain.
Penekanan pada kesamaan karakteristik anggota kelompok dan pada perbedaan karakteristik
anggota kelompok lain akan memberikan dampak yang khas terhadap perilaku seseorang
terutama dalam melihat orang lain sebagai anggota kelompok sendiri maupun sebagai
anggota kelompok lain (Taylor & Moghaddam, 1994; Hogg & Abrams, 1998).
Sesungguhnya mekanisme ini merupakan mekanisme psikologis yang bersifat
otomatis dalam diri kita. Otomatisasi dari mekanisme akan terlihat ketika kita berada dalam
suatu situasi yang baru, misalnya ketika memasuki kelas kuliah perdana atau sesi pelatihan
pertama. Satu hal yang kita lakukan pertama kali adalah melihat siapa saja yang menjadi
bagian dari kelas atau sesi pelatihan, lalu pikiran kita secara otomatis akan mencari orangorang yang memiliki karakteristik yang sama dengan diri kita dan sekaligus menentukan
siapakah yang berbeda dengan kita. Hasil dari kategorisasi dan klasifikasi yang dilakukan
pikiran kita kemudian mengarahkan kita untuk berperilaku tertentu dalam konteks hubungan
interpersonal dan selanjutnya hubungan antarkelompok.
24
Kedua, perbandingan sosial adalah kecenderungan membandingkan antara kelompok
sendiri dengan kelompok lain. Kita cenderung menjauhkan diri dari kelompok yang tidak
memiliki keyakinan dan ide yang sama serta mengambil keyakinan yang lebih banyak dari
diri kita dan kelompok kita. Kecenderungan ini sesungguhnya gambaran dari watak dasar
pikiran manusia yang lebih mendekat kepada hal-hal yang sama dan menjauh dari hal-hal
yang berbeda atau bertentangan. Mekanisme ini merupakan mekanisme psikologis yang
bersifat otomatis pada manusia dalam rangka menghindarkan pikiran dari apa yang disebut
dengan istilah disonansi kognitif, yaitu kebingungan karena keterjebakan dalam dua hal atau
dua elemen informasi yang saling bertentangan satu sama lain (Hogg, Abrams, Otten, &
Hankle, 2004). Perbandingan sosial yang kita lakukan ini juga bertujuan untuk memastikan
posisi dan kualitas kita dalam konteks pergaulan sosial. Posisi dan kualitas kita akan terlihat
manakala perbandingan sosial telah dilakukan karena posisi dan kualitas seseorang akan
semakin nyata dan terang-benderang bila dibandingkan dengan posisi dan kualitas orang lain.
Ketiga, identifikasi sosial yaitu bagian konsep diri individu yang bersumber dari
pengetahuannya mengenai keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial. Mekanisme
psikologis ini bekerja secara tersembunyi di dalam pikiran dan perasaan manusia. Semakin
kuat identifikasi seseorang terhadap kelompoknya semakin kuat ia membangun jarak psikis
dengan kelompok lain. Pada titik inilah seringkali muncul gejala psikososial yang biasa
disebut dengan sebutan “ingroup favoritism and outgroup derogation.” (Hogg, 2001), yaitu
kecenderungan untuk menganggap baik semua hal yang ada di dalam kelompok sendiri dan
kecenderungan untuk menganggap buruk semua hal yang melekat pada kelompok lain.
Akibatnya terjadi semacam bias informasi yaitu kecenderungan memilih informasi atau halhal yang mendukung nilai kebaikan dan nilai positif yang ada kelompok dan menolak
informasi negatif atau hal-hal yang mencoreng kelompok sendiri. Pada saat yang sama, orang
25
yang memiliki identifikasi kelompok yang kuat cenderung menyepelekan atau mengabaikan
kebaikan kelompok lain dan membesar-besar kehebatan kelompok sendiri.
Keempat, distingsi positif adalah kecenderungan untuk menunjukkan bahwa
kelompok sendiri lebih baik dibandingkan kelompok lain. Mekanisme dilakukan melalui
etnosentrisme, ingroup favoritism, berpikir streotipe, dan konformitas terhadap norma
kelompok (Taylor & Moghaddam, 1994; Hogg & Abrams, 1998). Mekanisme psikologis
yang keempat ini sesungguhnya bagian penting yang tak terpisahkan dari mekanisme
sebelumnya. Mekanisme etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengedepankan dan
mengutamakan etnis sendiri dibandingkan etnis lain. Mekanisme ini sejatinya terjadi pada
level kelompok yang paling kecil sampai pada kelompok yang besar seperti etnis dan bangsa.
Biasanya kecenderungan etnosentris diikuti kecenderungan berpikir stereotip dan konformitas
yang tinggi terhadap nilai dan norma kelompok. Hal itu disebabkan karena kelompok sendiri
menjadi pusat perhatian dan pusat identifikasi yang paling kuat sehingga mengalahkan entitas
sosial lainnya.
Di atas semua itu, manusia cenderung menggunakan keanggotaan kelompok sebagai
sumber untuk meraih self-esteem yang positif. Dengan kata lain, keanggotaan dalam
kelompok yang bergengsi dan eksklusif dapat meningkatkan harga diri dan martabat
seseorang. Sebaliknya, keanggotaan dalam kelompok yang kurang beruntung dapat
menurunkan self-esteem seseorang.
Menariknya, semakin susah meninggalkan kelompok semakin banyak kita melakukan
perbandingan dengan kelompok berstatus rendah dalam rangka menaikkan self-esteem. Oleh
karenanya, jika tidak bisa meninggalkan kelompok kita cenderung meyakini bahwa
kelompok sendiri lebih baik dari semuanya dan kelompok lain lebih buruk dibandingkan
kelompok (Taylor & Moghaddam, 1994). Teori ini diperkuat oleh suatu penelitian di
kalangan penggemar sepak bola yang dilakukan oleh Breakwell (1978, dalam Brown 2010).
26
Para penggemar sepak bola yang menonton pertandingan berbagai klub sepak bola yang
beragam dibandingkan dengan penggemar sepak bola yang hanya menonton pertandingan tim
kesayangannya. Hasilnya, mereka yang hanya menonton pertandingan tim kesayangannya
lebih banyak menunjukkan kegairahan dan kesetiaan serta lebih kuat menunjukkan ingroup
bias. Kemungkinan penyebabnya karena mereka memiliki kebutuhan yang lebih tinggi untuk
menunjukkan diri sebagai fans (Brown, 2010). Pesan di balik hasil penelitian Breakwell ini
adalah bahwa keterbukaan kognitif dan berkurangnya ingroup bias akan terjadi jika seseorang
mendapatkan stimulus sosial yang beragam dan akan mencegahnya untuk bersikap fanatik
kepada satu gagasan atau ide yang berasal dari satu kelompok eksklusif dan tertutup.
Dalam konteks ini, kategorisasi sosial dikonsepsi sebagai perangkat kognitif yang
berfungsi untuk melakukan segmentasi, klasifikasi, dan penataan lingkungan sosial sehingga
individu mampu membuat berbagai bentuk aksi sosial, tetapi kategori sosial tidak sematamata melakukan sistematisasi dunia sosial; kategori sosial juga memberikan satu sistem
orientasi bagi self-reference; kategori sosial juga menciptakan dan mendefinisikan tempat
seseorang di tengah masyarakat, kelompok-kelompok sosial, yang difahami dalam pengertian
ini, memberikan anggota-anggotanya mekanisme identifikasi diri mereka dalam pengertian
sosial (Tajfel & Turner, 1986).
B.3. Pengukuran Identifikasi Sosial
Identifikasi sosial akan diukur dengan skala dua item yang versi awalnya disusun oleh
Levin dkk. Skala ini digunakan oleh Levin untuk mengukur identifikasi sosial yang sampel
penelitiannya diambil dari kalangan orang Arab dan Libanon. Relibialitas alat ukur
identifikasi sosial termasuk tinggi (α=0,87 untuk identifikasi arab, dan α=0,88 untuk
identifikasi Libanon) (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009)
27
Secara metodologis dan ilmu statistik, angka ini menunjukkan tingkat realibilitas yang
tinggi, baik dalam konteks identifikasi kearaban dan identifikasi kelibanonan. Keduanya
memperlihatkan angka di atas 8,5 yang berarti bahwa instrumen ini jika digunakan pada
populasi atau sampel yang lain diduga akan mencapai angka yang tidak jauh terpaut. Hal
lainnya termasuk untuk sampel dan populasi Indonesia yang mayoritas menganut Islam.
B.4. Pengaruh Identifikasi Sosial Terhadap Dukungan atas Kekerasan
Pengaruh identifikasi sosial terhadap perilaku tertentu telah dikaji secara luas oleh
para psikolog dan peneliti di bidang perilaku sosial. Sebagian besar penelitian menyimpulkan
bahwa identifikasi sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku tertentu, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung melalui variabel moderator lainnya (Thye &
Lawler, 2005). Penelitian juga memperlihatkan bahwa pengaruh identifikasi sosial akan
menjadi signfikan terhadap variabel perilaku tertentu manakala dimediasi atau dimoderatori
oleh variabel lainnya yang relevan (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009). Jumlah
penelitian dengan model seperti ini relatif cukup banyak, termasuk studi-studi yang terkait
dinamika psikologis antarkelompok (Thye & Lawler, 2005).
Banyak penelitian yang mengkaji pengaruh identifikasi sosial terhadap konflik
antarkelompok, tetapi tidak banyak penelitian yang mengkaji faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi kekuatan identifikasi sosial. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa
dukungan sosial tidak berpengaruh langsung terhadap dukungan atas aksi kekerasan, tetapi ia
harus dimediasi oleh faktor lain seperti orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman.
Oleh karenanya, jika pengaruh identifikasi sosial dilihat pengaruhnya secara langsung
terhadap dukungan atas aksi kekerasan maka besar kemungkinan pengaruhnya tidak akan
signifikan (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009).
28
Pengaruh identifikasi sosial terhadap kolaborasi dan kinerja kelompok dalam seting
kelompok berdasarakan penelitian dari Rink dkk memperlihatkan nilai yang sangat
signifikan. Penelitian yang dilakukan Rink dkk menyimpulkan bahwa identifikasi sosial akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku tertentu, dalam hal ini kolaborasi
dan kinerja kelompok sesungguhnya bergantung pada sifat identitas dan distingsi norma yang
ada pada kelompok. Rink dkk menyatakan bahwa semakin beririsan keanggotaan kelompok
seseorang dengan keanggotaan orang lain maka semakin rendah tingkat identifikasi
kelompok pada seseorang. Sebaliknya, semakin tunggal keanggotaan seseorang dalam suatu
kelompok tanpa ada irisan dengan kelompok lain atau orang lain maka semakin tinggi tingkat
identifiksi kelompoknya (Rink, 2005). Intinya, keanggotaan seseorang yang beragam dalam
berbagai kelompok dan organisasi akan membuat identifikasi sosialnya terbagi-bagi kepada
banyak afiliasi. Hal ini merupakan sesuatu yang logis meningat seseorang harus berbagi
pikiran, perasaan dan komitmen dengan berbagai kelompok yang beragam.
Penelitian lain menunjukkan bahwa identitas yang diverifikasi akan menimbulkan
emosi positif sedangkan identitas yang tidak diverifikasi akan memunculkan emosi negatif.
Kesimpulan ini merupakan data empirik yang memperkuat teori tentang kontrol identitas
terhadap perilaku manusia termasuk dalam konteks hubungan antarkelompok (Stets & Burke,
2005). Dalam bahasa yang lain, semakin jelas identitas seseorang maka semakin positif
emosinya sebagai akibat dari kejelasan identitasnya, dan sebaliknya, semakin kabur identitas
seseorang semakin tinggi kemungkinan menyebabkan emosi negatif. Emosi positif lahir dari
kejelasan identitas dan emosi negatif lahir dari ketidakjelasan identitas.
Dalam konteks dukungan terhadap kekerasan, hasil penelitian ini memperkuat hasil
penelitian lain tentang dukungan terhadap kekerasan seperti penelitian Levin dkk (2003) dan
penelitian Sidanius dkk (2004) yaitu bahwa identifikasi sosial yang kuat dan disertai dengan
29
orientasi dominasi sosial yang tinggi atau persepsi keterancaman yang tinggi berpengaruh
signifikan terhadap dukungan atas aksi kekerasan dan terorisme.
Terkati dengan hal ini, Lovaglia dkk (2005) menyebutkan bahwa suatu teori tentang
diri dan identitas-identitas yang terdapat di dalamnya bisa menjelaskan perbedaan kinerja
akademik dan kognitif karena kinerja yang sukses berkaitan dengan motivasi internal yang
kuat. Teori kontrol identitas dan teori kontrol afeksi beranggapan bahwa individu berbuat
dalam rangkat memperkuat identitas, walaupun perbuatan-perbuatan itu memiliki
konsekuensi yang negatif terhadap dirinya (Lovaglia, Youngreen, & Robinson, 2005). Apa
yang dikatakan Lovaglia dkk bisa dijadikan dasar untuk memahami bagaimana seseorang
memberikan dukungan terhadap kekerasan. Intinya, dukungan terhadap kekerasan diberikan
karena keinginan memperkuat identitas atau bisa juga sebaliknya, karena identifikasi yang
kuat terhadap kelompok maka dukungan atas kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang
mengancam kelompok sendiri akan diberikan, walaupun ada konsekuensi, misalnya
konsekuensi hukum yang harus ditanggung.
C. Orientasi Dominasi Sosial (ODS)
Orientasi dominasi sosial merupakan variabel psikologis yang digunakan dalam
penelitian ini untuk menjelaskan dukungan terhadap kekerasan. Berikut ini akan dijelaskan
tentang pengertian orientasi dominasi sosial, pengaruhnya terhadap dukungan atas kekerasan,
dan instrumen orientasi dominasi sosial.
C.1. Pengeritan Orientasi Dominasi Sosial
Orientasi dominasi sosial (ODS) atau dalam bahasa Inggris “Social dominance
orientation” adalah salah satu konstruk psikologi sosial yang membentuk teori dominasi
sosial. Orientasi dominasi sosial sendiri didefinisikan sebagai hasrat individu untuk meraih
30
dominasi sosial, dukungan terhadap hirarki dan dominasi berbasis kelompok dalam wujud
dominasi kelompok superior atas kelompok inferior (Sidanius & Pratto, 1999). Merujuk
kepada definisi ODS dari Sidanius dan Pratto ini maka ada tiga poin penting ODS yaitu
keinginan individu untuk menguasai secara sosial, kecenderungan individu untuk mendukung
struktur sosial yang hirarkis dan berdasarkan kasta, serta keinginan individu agar
kelompoknya senantiasa mendominasi kelompok lain.
Orientasi dominasi sosial (SDO) adalah perbedaan individual yang mencerminkan
suatu preferensi bagi hubungan kelompok yang hirarkis; suatu preferensi bagi superioritas
dan dominasi kelompok sendiri atas kelompok lain. Orang-orang yang memiliki SDO yang
tinggi cenderung memfavoritkan ideologi dan kebijakan yang meningkatkan hirarki,
sementara yang memiliki SDO rendah cenderung memfavoritkan ideologi dan kebijakan
yang memberantas hirarki (Li, Wang, Shi, & Shi, 2006). Temuan lain justeru bertentangan
dengan apa yang dikemukakan Li dkk, bila Li dkk menemukan bahwa orang-orang yang
memiliki SDO rendah cenderungan mendukung ideologi dan kebijakan yang memberantas
hirarki maka ditemukan orang-orang yang memiliki SDO rendah justeru mendukung struktur
yang hirarkis karena mereka terbiasa dan bahkan menikmati suasana dan struktur yang
hirarkis tersebut (Sidanius & Pratto, 1999).
Sebagai suatu orientasi umum, SDO atau ODS berkaitan dengan apapun yang menjadi
distingsi kelompok yang menonjol dalam suatu konteks sosial yang ada. Distingsi kelompok
ini bisa jadi dalam bentuk jenis kelamin, jender, ras, kelas sosial, kebangsaan, wilayah,
agama, kelompok bahasa, tingkatan hidup, tim olah raga atau apapun yang secara esensial
bisa menimbulkan distingsi potensial di antara kelompok manusia (Sidanius & Pratto, 1999).
Dengan kata lain, distingsi kelompok ada yang muncul sebagai bawaan manusia, ada yang
muncul sebagai hasil kesepakatan, dan ada pula yang muncul sebagai konsekuensi dari
pilihan seseorang.
31
SDO dianggap berpengaruh luas terhadap sifat dan intensitas hirarki sosial berbasis
kelompok, bukan hanya karena ia mempengaruhi ideologi sosial yang luas dan mitos yang
dilegitimasi, tetapi barangkali yang paling penting adalah karena ia mempengaruhi output
kebijakan publik HE (Hierarchy-enhancing) yaitu peningkatan hirarki dan HA (Hierarchyattenuating) yaitu penipisan hirarki. Cakupan empirik dan konseptual dari SDO diharapkan
sangat meluas karena ia berkaitan dengan sikap terhadap semua ideologi sosial, sikap,
kepercayaan, jalur karir, atau kebijakan sosial dengan implikasi yang kuat terhadap distribusi
nilai sosial di antara kelompok sosial yang ada. Nilai sosial tersebut muncul dalam bentuk
yang beragam termasuk kesejahteraan, kekuasaan, status, pekerjaan, kesehatan dan prestige
(Sidanius & Pratto, 1999).
SDO dipengaruhi secara signifikan oleh minimal empat faktor, yaitu: Pertama, SDO
akan dipengaruhi oleh keanggotaan seseorang dan identifikasi dengan kelompok yang paling
menonjol dan diatur secara hirarkis. Secara umum dan dengan kesetaraan setiap orang
berharap bahwa anggota kelompok dominan dan atau siapa saja yang mengidentifikasi diri
dengan kelompok dominan akan memiliki SDO yang lebih tinggi dibandingkan anggota
kelompok subordinat dan atau siapa saja yang mengidentifikasi diri dengan kelompok
subordinat (Sidanius & Pratto, 1999). Intinya, SDO sangat dipengaruhi oleh seberapa besar
tingkat identifikasi seseorang dalam suatu kelompok yang dominan atau suatu kelompok
yang subordinat. Semakin tinggi identifikasi terhadap kelompok sosial yang dominan maka
semakin tinggi kecenderungan SDO seseorang.
Kedua, tingkat SDO seseorang juga dipengaruhi oleh latarbelakang dan faktor
sosialisasi seperti tingkat pendidikan, keyakinan keagamaan, dan seluruh pengalaman
sosialisasi lainnya seperti perang, depresi, bencana alam (Sidanius & Pratto, 1999). Dengan
kata lain, pengalaman positif atau pengalaman negatif seseorang dalam berbagai konteks
32
pergaulan sosial akan menimbulkan SDO yang tinggi atau sebaliknya akan menimbulkan
SDO yang rendah.
Ketiga, ada alasan untuk percaya bahwa orang-orang yang dilahirkan dengan
pradisposisi tempramen dan kepribadian yang berbeda. Salah satu contoh pradisposisi itu
adalah empati. Ada alasan untuk percaya bahwa semakin tinggi empati seseorang maka
semakin rendah SDOnya (Sidanius & Pratto, 1999). Kepribadian dan tempramen merupakan
determinan penting yang mempengaruhi SDO seseorang. Semakin individualis seseorang
maka semakin tinggi SDO nya dan semakin pro-sosial seseorang maka semakin rendah SDO
nya.
Keempat, tingkat SDO seseorang bergantung pada jender. Segala sesuatu diharapkan
setara, laki-laki akan memiliki tingkat SDO yang relatif dan secara rerata lebih tinggi
dibandingkan perempuan (Sidanius & Pratto, 1999; Nelson, 2002). Dengan kata lain,
kecenderungan untuk mendominasi lebih kuat pada pria dibandingkan pada perempuan.
Pratto dkk mengembangkan skala SDO 16 item untuk mengukur sikap terhadap
perbedaan kelompok dan hirarki sosial. Terdapat bukti yang banyak mengenai realibilitas dan
validitas skala ini atau variasinya yang diperoleh melalui penelitian di Swedia, Australia,
negara-negara bekas Uni Soviet, dan beberapa populasi etnik di Amerika Serikat. Kendati
demikian, studi tentang dimensionalitas skala SDO menghasilkan hasil yang tidak dapat
disimpulkan dengan dukungan tertentu, yaitu suatu struktur yang unidimensi dan dukungan
lain, suatu struktur dua faktor. Dalam sampel mahasiswa Israel dan Amerika, Sidanius dan
Pratto menemukan bahwa SDO terdiri dari dua faktor yang sangat berkaitan, yaitu: Pertama,
egalitarianisme berbasis kelompok, dan kedua, dominasi berbasis kelompok. Oleh karena
korelasi yang tinggi dan kesamaan konseptual, Sidanius dan Pratto menyatakan bahwa skala
ini bersifat unidimensi. Sebaliknya, Jost dan Thompson di tahun 2000 juga menemukan dua
faktor yaitu oposisi terhadap kesetaraan dan dukungan terhadap dominasi berbasis kelompok,
33
dan karenanya mereka menyatakan bahwa SDO memiliki suatu struktur dua faktor (Li,
Wang, Shi, & Shi, 2006; Hogg & Abrams, 1998; Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009).
Di daratan Cina, Li dkk melakukan tiga studi dengan menggunakan analisa
eksploratori dan konfirmatori. Studi-studi ini memberikan bukti empirik yang konsisten
terhadap model 3 faktor SDO di daratan Cina. Dukungan terhadap pengeluaran yang tidak
ditemukan dalam penelitian sebelumnya muncul sebagai faktor SDO yang independen.
Dalam studi kedua, faktor tersebut memprediksi perbedaan SDO antara kelompok status
tinggi (kelompok manajer) dan kelompok status rendah (pekerja yang baru bekerja). Dalam
studi ketiga, faktor eksklusi berkorelasi secara positif dengan otoritarianisme dan
berhubungan secara negatif dengan altruisme sehingga dapat dikatakan bahwa keseluruhan
hasil studi ini memberikan bukti empirik yang memadai atas validitas faktor SDO yang baru
ini (Li, Wang, Shi, & Shi, 2006).
C.2. Pengukuran Orientasi Dominasi Sosial
Walaupun terdapat banyak model skala SDO yang diperoleh dari sejumlah studi,
tetapi penelitian ini akan menggunakan instrumen yang paling awal dan klasik karena alasan
kemudahan dan kesederhanaan penelitian.
SDO akan diukur dengan skala SDO yang terdiri dari 16 item. Item disusun dan telah
diujicobakan oleh Pratto dkk pada tahun 1994 dengan tingkat reliabilitas yang cukup tinggi
(α=0,89). Pratto dkk menggunakan suatu skala respon dari 1 sampai 7 (1=sangat tidak setuju
dan 7=sangat setuju), tetapi dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan skala 1 sampai 4
(1=sangat tidak setuju, 4=sangat setuju). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan
kemudahan dan kesederhanaan saat pengumpulan data atau saat analisa secara statistik.
C.3. Pengaruh SDO Terhadap Dukungan Kepada Kekerasan
34
Penelitian tentang pengaruh SDO terhadap dukungan atas aksi kekerasan telah
dilakukan oleh Levin dkk. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa SDO memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap dukungan atas aksi kekerasan (Levin, Henry, Prato, &
Sidanius, 2009).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sidanius dkk juga menemukan bahwa atribusi
permusuhan kaum muda Arab terhadap Amerika dan simbol-simbolnya tidak disebabkan
oleh benturan peradaban sebagaimana yang menjadi tesis Huttington, tetapi lebih disebabkan
oleh sikap perlawanan yang didorong oleh perasaan sebagai kelompok subordinat yang
diperlakukan semena-mena oleh negara adi daya seperti Amerika Serikat (Victoroff &
Kruglanski, 2009).
Dengan kata lain, SDO merupakan penjelasan penting yang bisa menjelaskan secara
tuntas kenapa kaum muda Arab sangat benci terhadap intervensi Amerika di negara mereka.
Di dalam penelitian ini disebutkan sikap perlawanan sebagai kelompok tertindas terhadap
kelompok penindas merupakan atribusi penting perilaku heroik dan perlawanan mereka. Oleh
karenanya, dukungan mereka terhadap kekerasan sebagai perlawanan simbolik terhadap
orientasi dominasi sosial yang dipersepsikan melekat pada Amerika dan sekutu-sekutunya
(Sidanius, Henry, Pratto, & Levin, 2009).
D. Persepsi Keterancaman
Persepsi keterancaman merupakan salah satu variabel yang digunakan oleh sejumlah
peneliti seperti Sidanius dkk (2004) dan Levin dkk (2003) dalam menjelaskan dukungan
terhadap kekerasan dan atribusi tentang kekerasan.
D1. Pengertian Persepsi Keterancaman
35
Persepsi keterancaman adalah perasaan terancam yang dirasakan seseorang
karena adanya ancaman dari pihak lain, baik dalam bentuk ancaman riil maupun ancaman
simbolik. Persepsi keterancaman ini kemudian membentuk sikap permusuhan dan bahkan
tindakan kekerasan terhadap anggota kelompok yang dipersepsi menjadi sumber ancaman.
Ancaman yang lebih banyak dirasakan secara individual menimbulkan rasa takut dan
ancaman yang lebih banyak dirasakan secara kelompok akan melahirkan perilaku balas
dendam atau kekerasan balasan yang ditujukan kepada pihak tertentu yang dipandang
mengancam (Putra & Pitaloka, 2012; Nelson, 2002).
Menurut Stephan dkk, ada empat jenis ancaman atau persepsi keterancaman, yaitu
ancaman simbolik, ancaman riil, kecemasan antarkelompok, dan stereonegatif. Ancaman
simbolik adalah ancaman yang berupa perbedaan moral, nilai, standar, keyakinan dan sikap;
ancaman riil adalah ancaman yang jelas dan nyata; kecemasan antarkelompok
adalah
perasaan terancam yang terjadi karena interaksi kelompok di mana dalam proses itu muncul
perasaan terhina atau diremehkan; dan terakhir stereonegatif yaitu ancaman yang disebabkan
oleh label atau pandangan negatif dari kelompok lain (Putra & Pitaloka, 2012).
Teori kategorisasi diri dan teori atraksi-kesamaan dapat digunakan untuk menjelaskan
bagaimana perbedaan menimbulkan perilaku negatif. Teori kategorisasi diri menyebutkan
bahwa konsep diri kita didasarkan atas kategori sosial yang menjadi dasar dalam melihat diri
kita, misalnya usia, jender, ras, kepribadian dan lain-lain. Teori ini juga menyebutkan bahwa
kita ingin meraih identitas diri yang positif. Kebutuhan terhadap identitas diri yang positif
mendorong kita untuk melakukan preferensi dan mengevaluasi mengevaluasi secara lebih
positif orang-orang yang sama dengan diri kita dalam kategori sosial tertentu yang menjadi
basis identitas kita (Strauss, Connerley, & Ammermann, 2003).
Teori daya tarik kesamaan dari Byrne (1971) di sisi lain menggunakan kerangka kerja
penguatan untuk menjelaskan kenapa kesamaan mempengaruhi evaluasi kita terhadap orang
36
lain. Stimulus yang menguatkan (seperti kesamaan ras) menimbulkan respon afektif seperti
daya tarik interpersonal yang pada gilirannya menimbulkan suatu respon evaluatif. Untuk
mendukung teori-teori terkait, Strauss dkk (2001) menemukan bahwa para pengawas yang
mempersepsi kepribadian subordinat sama dengan kepribadian mereka, cenderung lebih
menyukai kaum subordinat dan memperingkat kinerja lebih tinggi dibanding subordinat yang
kepribadian mereka dilihat tidak sama (Strauss, Connerley, & Ammermann, 2003).
Jika kesamaan dipandang sebagai ganjaran atau dukungan terhadap identitas diri yang
positif maka ketidaksamaan atau keragaman dipandang sebagai ancaman terhadap identitas
diri individu sebagaimana kata Jackson dkk (1991):
“The entry of a new member into a new team and the ensuing process of socialization
may be perceived as potentially threatening for particular identities and/or as
opportunities for identity enhancement . whether this time of transition will be
perceived as a threat to one’s identities is likely to be partially determined by
demographic similarity.” (p. 78)
Intinya, sesuatu yang baru dan berbeda bisa menjadi ancaman identitas di satu sisi
tetapi bisa menjadi peluang untuk pengayaan identitas. Oleh karenanya, persepsi
keterancaman terhadap identitas berkaitan dengan banyak hal terutama perasaan berbeda atau
persepsi bahwa kita berbeda. Jadi, persepsi keterancaman muncul dari persepsi perbedaan
dan ketidaksiapan menerima keragamaan atau perbedaan yang dibawa oleh orang lain atau
kelompok lain.
Lalonde, Doan dan Patterson di tahun 2000 melakukan suatu penelitian. Mereka
mengukur sikap terhadap perbaikan politik. Mereka menemukan bahwa sikap individu
berhubungan dengan ideologi mereka, dan bahwa sikap yang tidak mendukung ideologi
individu pasti dianggap sebagai ancamana potensial terhadap identitis. Contoh, kaum gay dan
37
lesbian dalam studi tersebut lebih besar kemungkinan untuk setuju dengan stereotipe bahwa
para pendukung anti perbaikan politik merupakan pengikut kelompok ekstrim sayap kanan
yang tidak toleran (Strauss, Connerley, & Ammermann, 2003).
Salah satu temuan paling menarik dalam penelitian Strauss dkk adalah hubungan yang
kuat antara agreeableness dengan sikap terhadap keragaman. Sebenarnya hubungan seperti
ini tidak mengherankan karena agreebleness adalah trait seperti sifat tidak mengutamakan
diri sendiri, toleransi, sifat menolong, sopan dan kemampuan melakukan kerjasama, dan
bahwa tingkat agreebleness yang rendah ditemukan berhubungan dengan sikap antisosial dan
perilaku yang disfungsional. Temuan Strauss dkk mendukung hasil penelitian terdahulu
seperti Maunt dkk (1998); dan Witt dkk (2002) yang menekankan pentingnya agreebleness
dalam tugas di mana suasana saling ketergantungan dan kerjasama merupakan persyaratan
penting untuk meraih kinerja kontekstual. Trend peningkatan keragaman terkait dan
perubahan lingkungan kerja melahirkan kebutuhan yang lebih banyak terhadap orang-orang
yang mampu berinteraksi secara positif dengan keragaman orang lain dalam seting kerja
(Strauss, Connerley, & Ammermann, 2003).
Ancaman atau persepsi keterancaman dalam hal ini berkaitan pula dengan trait atau
karakter atau kepribadian seseorang. Orang yang memiliki kecenderungan dan kemampuan
bekerjasama dengan orang lain yang berbeda adalah orang yang bebas dari perasaan terancam
atau persepsi keterancaman. Sebab, baginya tidak ada ancaman yang patut dikhawatirkan
karena semua orang adalah kawan dan mitra yang bisa diajak bekerjasama dalam
menciptakan suatu perubahan atau proyek kemajuan bersama.
D.2. Pengukuran Persepsi Keterancaman
Dalam penelitian ini, hanya persepsi keterancaman simbolik yang akan digunakan
karena lebih relevan dengan konteks hubungan antarkelompok yang terjadi pada sampel
38
penelitian yang dipilih. Persepsi keterancaman simbolik untuk penelitian ini akan
dikonstruksi sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang digunakan dan disesuaikan dengan
kondisi dan karakteristik partisipan penelitian.
Konstruksi alat ukur persepsi keterancaman didasarkan atas teori persepsi
keterancaman yang dikembangkan oleh Stephen. Teori ini dipandang mampu mendasari
pembuatan alat ukur yang mengukur persepsi atau perasaan terancam seseorang atas ideologi
atau keyakinan yang ia anut.
Salah satu contoh item yang digunakan dalam alat ukur ini adalah “Ajaran
Ahmadiyah mengusik keimanan umat Islam di Indonesia karena meyakini ada nabi setelah
Nabi Muhammad”. Untuk merespon pernyataan ini, responden disediakan 4 pilihan alternatif
jawaban mulai dari sangat terancam sampai sangat tidak terancam.
Kenapa keterancaman riil tidak digunakan? Hal itu didasarkan atas pendapat para ahli
psikologis sosial seperti Prato dan Sidanius yang mengatakan bahwa keterancaman riil
umumnya bersifat ekonomi dan politik, sedangkan keterancaman simbolik hanya mencakup
hal-hal yang bersifat psikologis dan persepsi semata (Sidanius & Pratto, 1999). Hemat saya,
sebagai bagian dari penelitian ilmu psikologi, bentuk persepsi keterancaman ini lebih relevan
dengan konteks penelitian ini.
D.3. Pengaruh Persepsi Keterancaman Terhadap Dukungan Kekerasan
Ketidakpastian, diri maupun kolektif, dapat melahirkan persepsi keterancaman pribadi
maupun kelompok. Kondisi ini memotifikasi seseorang untuk melakukan identifikasi diri
yang kuat terhadap kelompoknya serta perilaku yang dapat mempromosikan entitavitas
kelompok. Pada kondisi ketidakpastian yang lebih ekstrim, identifikasi terkesan lebih tegas
dan entitavitas (jiwa moksa) berkaitan dengan ortodoksi, hirarki dan ekstrimisme serta
berhubungan pula dengan sistem keyakinan yang bersifat ideologis (Hogg, 2005).
39
Pernyataan Hogg ini memperjelas asumsi yang berkembang selama ini di kalangan
para peneliti radikalisme, kekerasan ekstrim dan terorisme yang menyebutkan bahwa
dukungan terhadap kekerasan lebih banyak datang dari anggota kelompok yang memiliki
pemahaman keagamaan ortodoks, keyakinan yang berbasis kelas dan strata sosial, dan
ideologi-ideologi tertentu seperti ideologi kekerasan dan kebencian (Solahuddin, Gazi, &
Mukhtadirin, 2011; Al-Makassary, 2004; Hogg, 2005).
Maka, para pendukung kekerasan terhadap kelompok minoritas adalah mereka yang
memiliki pemahaman keagamaan yang sempit, menganggap ada kelas dan strata yang
memisahkan antara mereka dengan orang lain atau diinspirasi oleh ideologi dan mitos
tertentu sebagai dasar pembenaran atas pembelaan dan dukungan mereka terhadap kekerasan
yang ditujukan kepada minoritas atau kelompok sempalan yang dianggap menyimpang.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari CSRC memperlihatkan bahwa ada
kecenderungan anggota kelompok ekstrim untuk memainkan situasi chaos dan konflik di
masyarakat serta memanfaatkannya untuk menyebarkan ideologi-ideologi permusuhan dan
kebencian terhadap anggota kelompok lain (Bakar & Bamualim, 2006). Hal yang sama
diungkapkan oleh Baidhowi bahwa kelompok Islam ekstrim di Indonesia sering
memanfaatkan berbagai konflik di tengah masyarakat untuk menyebarkan propaganda dan
pemikiran garis keras, sehingga dapat dikatakan bahwa peran individu-individu dari
kelompok garis keras terasa sangat kuat dalam berbagai kasus kekerasan antarkelompok yang
terjadi di Indonesia (Baidlowi, 2011).
Keterlibatan dalam konflik dan kekerasan dalam kasus tertentu berkaitan dengan
perasaan empati atas korban konflik dari kalangan anak-anak dan wanita. Hal ini misalnya
tergambar dari keputusan seorang narapidana teroris untuk bergabung dalam kelompok jihad
setelah mengalami perasaan sedih yang mendalam karena melihat umat Islam terzolimi dan
terancam. Perasaan terancam atau persepsi keterancaman simbolik yang menyangkut masa
40
depan agama dan umat inilah yang mendorongnya untuk terlibat dalam berbagai aksi
kekerasan sebagai ekspresi pembelaan terhadap nasib umat Islam di berbagai belahan dunia
seperti Afganistan dan Chechniya (Ismail, 2010).
Motif pembelaan kelompok adalah akibat dari persepsi keterancaman yang ada pada
seseorang menyangkut kelompoknya. Sejumlah penelitian, misalnya penelitian Milla (2010)
menyimpulkan bahwa salah satu alasan kenapa seseorang bergabung dalam kelompok jihad
atau terlibat dalam aksi kekerasan adalah karena keterancaman identitas terutama identitas
sosial. Wawancara Milla dengan para pelaku utama Bom Bali menunjukkan bahwa dorongan
untuk membela kelompok atau umat adalah salah satu alasan yang mengemuka ketika para
responden ditanyakan tentang motif bergabungnya mereka ke dalam kelompok teror atau
keterlibatan mereka dalam aksi teror (Milla, 2010).
E. Kerangka Berpikir
Dukungan terhadap terorisme merupakan fenomena yang mulai muncul setidaknya
menurut Victoroff dan Kruglanski di sejumlah kawasan di Timur Tengah yang mayoritas
penganut Islam. Fenomena semacam ini tidak pernah muncul sebelumnya di belahan dunia
lain seperti di Jerman atau Italia, dua negara yang pernah diwarnai oleh aksi teror oleh
sejumlah organisasi dan gerakan teror. Tentu saja, dua kondisi yang kontradiktif ini
menimbulkan sejumlah pertanyaan mengapa kedua kondisi itu berbeda? Faktor apa saja yang
mempengaruhi munculnya dukungan terhadap terorisme kekerasan di Timur Tengah dan
belahan dunia Islam lainnya termasuk di Indonesia?
Salah satu dugaan yang dimunculkan adalah bahwa terdapat sejumlah faktor
psikologis yang mempengaruhi munculnya dukungan terhadap terorisme dan kekerasan di
dunia Islam. Faktor-faktor psikologis tersebut diduga memberikan pengaruh yang kuat
terhadap dukungan akan kekerasan dan terorisme di Timur Tengah dan dunia Islam. Levin
41
dkk (2003) menyimpulkan orientasi dominasi sosial dan identifikasi sosial merupakan dua
determinan penting yang mempengaruhi dukungan terhadap kekerasan. Penelitian lain dari
Sidanius dkk (2004) menyebutkan bahwa persepsi keterancaman berpengaruh terhadap sikap
permusuhan terhadap Amerikan dan dukungan riil terhadap penyerangan simbol-simbol
kebesaran Amerikan Serikat.
Bila digabungkan antara kedua hasil penelitian ini maka diperoleh suatu hasil bahwa
dukungan terhadap kekerasan sangat dipengaruhi oleh orientasi dominasi sosial, identifikasi
sosial dan persepsi keterancaman. Ketiga faktor psikologis ini secara bersama-sama dan
sendiri-sendiri memberikan pengaruh dan kontribusi yang kuat terhadap dukungan kekerasan.
Mekanisme penelitian ini akan disusun dalam suatu kerangka konsep yang melihat
bagaimana hubungan antar variabel dan posisi masing-masing dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini, dukungan terhadap kekerasan ditempatkan sebagai minat kajian atau dependent
variabel yang hendak dikaji, terutama untuk mencari faktor apa saja yang mempengaruhi atau
yang berhubungan dengannya. Ada beberapa variabel yang ditempatkan sebagai penyebab
atau perantara penyebab dari dukungan terhadap kekerasan. Identifikasi sosial diposisikan
sebagai independent variabel yang menjadi faktor penting dukungan terhadap kekerasan,
tetapi identifikasi sosial tidak akan efektif mempengaruhi dukungan terhadap kekerasan jika
tidak diperantarai oleh orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman.
Oleh karenanya, berdasarakan apa yang telah diuraikan di atas maka penelitian
tentang dukungan kekerasan yang dilakukan penelitian ini disusun berdasarkan kerangka
berpikir sebagaimana tergambar berikut ini.
42
Tabel 1
Kerangka Berpikir Penelitian
Orientasi Dominasi
Sosial
Dukungan Terhadap
Kekerasan
Identifikasi Sosial
Persepsi
Keterancaman
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan telaah dan uraian teoritis di atas maka peneliti menegakkan sejumlah
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Identifikasi sosial berpengaruh positif terhadap dukungan terhadap kekerasan.
Semakin kuat tingkat identifikasi sosial semakin kuat dukungan terhadap kekerasan.
2. Orientasi dominasi sosial berpengaruh positif terhadap dukungan kepada kekerasan.
Semakin tinggi orientasi dominasi sosial maka semakin tinggi dukungan terhadap
kekerasan.
3. Persepsi keterancaman berpengaruh positif terhadap dukungan kepada kekerasan.
Semakin tinggi persepsi keterancaman maka semakin tinggi dukungan terhadap
kekerasan.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan metode penelitian yang berisi pembahasan singkat tentang
pendekatan penelitian, prosedur penelitian, sampel dan tehnik sampling, serta tehnik analisa
data yang digunakan dalam penelitian ini.
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan pendekatan non eksprimen dan metode
kuantitatif. Penjelasan tentang metode penelitian ini akan mencakup : Satu, prosedur
penelitian,yaitu prosedur dan mekanisme yang akan dilalui dalam pelaksanaan penelitian.
Kedua, partisipan, yaitu sampel atu subyek penelitian yang akan dipilih sesuai dengan tujuan
dan kepentingan penelitian. Ketiga, instrumen atau pengukuran yaitu alat pengumpul data
yang akan digunakan. Keempat, tehnik analisa data yang akan dipilih untuk mengetahui
validitas konstruk dan uji hipotesis penelitian.
A.1. Prosedur Penelitian
Suatu kuisioner yang mengukur reaksi terhadap kekerasan dan serangan kepada
kelompok Islam Jamaah dan Syiah, serta sikap terhadap berbagai ormas Islam atau kelompok
Islam yang sering melakukan kekerasan terhadap Islam Jamaah dan Syiah (seperti FPI dan
lain-lain) akan dibagikan kepada kurang lebih kepada 200 responden mahasiswa.
Para responden diambil dari mahasiswa yang mengikuti mata kuliah yang diampu
peneliti yaitu sebanyak 5 kelas. Setiap responden pada kuliah perdana diminta mengisi
kuisioner di kelas dengan waktu yang telah ditentukan sehingga peluang untuk mengisi
kuisioner secara asal-asalan atau mengisi atas dasar social desirability menjadi berkurang.
44
A.2. Partisipan Penelitian
Sampel atau partisipan penelitian akan mencerminkan trend demografis keagamaan
dari universitas secara lebih seimbang. Partisipan penelitian yang terdiri dari mahasiswa
diharapkan adalah mereka yang berafiliasi kepada kelompok-kelompok organisasi mahasiswa
karena akan mencerminkan keragaman dari segi pemikiran keagamaan dan latarbelakang
keagamaan.
Jumlah kuisioner yang disebar sekitar 220 paket tetapi yang dipakai untuk penelitian
sebanyak 198 paket karena yang lain dipandang tidak memenuhi syarat untuk dianalisis,
misalnya karena banyak respon atau jawaban yang kosong.
A.3. Instrumen Penelitian
Pengukuran identifikasi sosial, SDO, dukungan terhadap FPI dan dukungan terhadap
kekerasan kepada Kelompok Ahmadiyah dan Kelompok Syiah dilakukan. Instrumen
penelitian untuk mengukur variabel-variabel penelitian ini dilakukan melalui proses kajian
literatur terkait, kemudian sebagian diadopsi dan diadaptasi, sedangkan sebagian lainnya
dibuat sendiri oleh peneliti dengan merujuk kepada teori dan konstruk yang dipilih dan
digunakan dalam penelitian ini.
Identifikasi kelompok keagamaan diasesmen dengan skala identifikasi yang terdiri
dari dua item, yaitu seberapa kuat anda mengidentifikasi diri anda sebagai Muslim Sunni
(1=tidak sama sekali, 4=sangat kuat) dan seberapa dekat anda merasa sebagai Muslim Sunni
(1=tidak sama sekali, 5=sangat dekat).
Berikut contoh item-item untuk mengukur identifikasi sosial dalam penelitian ini.
Instrumen ini hanya berisi dua item yang menggambarkan identifikasi sebagai penganut
45
mazhab ahlussunnah wal jamaah dan menggambarkan perasaan sebagai penganut mazhab
ahlussunnah wal jamaah.
Tabel 1
Instrumen Identifikasi Sosial
No
1
Pertanyaan
Seberapa kuat anda mengenal diri anda sebagai orang Islam bermazhab ahlussunnah
wal jamaah
2
Seberapa kuat anda merasa sebagai orang Islam ahlussunnah wal jamaah
SDO akan diukur dengan skala SDO dari Prato dkk (1994) yaitu pengukuran dengan
16 item dengan respon skala 4 mulai dari sangat setuju (4) sampai sangat tidak setuju (1).
Berikut contoh item-item yang mengukur orientasi dominasi sosial yang ada pada seseorang.
Tabel 2
Instrumen SDO
No
1
Pernyataan
Beberapa kelompok lebih berguna dibandingkan kelompok lain
Dalam meraih keinginan kelompok saya, kadang-kadang diperlukan cara-cara
2
kekerasan terhadap kelompok lain
3
Kelompok unggul pasti akan menguasai kelompok bawah
4
Untuk bertahan hidup, boleh saja meremehkan kelompok lain
46
Jika kelompok-kelompok tertentu tingggal di tempat mereka maka kita tidak akan
5
mendapatkan banyak masalah
Jika satu kelompok di atas dan kelompok lain berada di bawah maka itulah kondisi
6
yang baik
7
Kelompok rendahan harus tinggal di tempat mereka sendiri
8
Kelompok lain mesti bertahan di tempat mereka
9
Jika semua kelompok setara maka itulah kondisi yang baik
10
Kami mencita-citakan kesetaraan kelompok
11
Semua kelompok harus diberikan kesempatan yang sama dalam hidup
Kita harus melakukan apapun yang dapat kita lakukan untuk menciptakaan kesetaraan
12
di antara kelompok-kelompok yang beragam.
13
Kesetaraan sosial terus meningkat
Jika kita memperlakukan kelompok berdasarakan kesetaraan maka tidak banyak
14
masalah yang akan muncul
15
Kita harus berjuang untuk meraih kesetaraan penghasilan
16
Tidak ada satupun kelompok yang boleh menguasai kelompok lain
Persepsi keterancaman simbolik dibuat sendiri oleh peneliti dengan merujuk kepada
konsep dan teori tentang persepsi keterancaman setelah melihat contoh instrumen penelitian
lain seperti penelitian Levin dkk (2003).
47
Tabel 3
Instrumen Persepsi Keterancaman
No
1
Pernyataan
Ajaran Ahmadiyah mengusik keimanan umat Islam di Indonesia karena meyakini ada
nabi setelah Nabi Muhammad
2
Ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran Islam karena memiliki cara beribadah yang
berbeda dengan umat Islam
3
Bila Kaum Ahmadiyah dibiarkan berkembang di Indonesia maka umat Islam akan
tersingkir
4
Kaum Syiah tidak pantas hidup di Indonesia karena merusak ajaran Islam yang dianut
mayoritas penduduk Indonesia
Dukungan terhadap ormas Islam atau Kelompok Islam Pro Kekerasan diukur dengan
menghitung tingkat dukungan mulai dari sangat menolak (1) sampai sangat mendukung (4).
Dalam penelitian ini, yang dipilih sebagai ormas Islam pro kekerasan di antaranya adalah FPI
dan ormas lokal yang terlibat dalam berbagai kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah.
Dukungan terhadap kekerasan kepada Ahmadiyah dan Syiah akan diukur dengan
menanyakan keabsahan kekerasan terhadap kedua kelompok tersebut melalui item yang
berbunyi “seberapa besar anda merasa bahwa kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Kelompok
Syiah dibenarkan?” Respon atas pertanyaan terdiri dari tidak benar sama sekali (4) dan sangat
benar (1).
Berikut contoh instrumen penelitian untuk mengukur dukungan terhadap kekerasan
yang dibuat dengan mengadopsi dan mengadaptasi instrumen yang telah ada dari Levin dkk
48
(2003). Adaptasi yang dilakukan terhadap instrumen penelitian ini tergolong menyeluruh
karena konteks dan situasi penelitian Levin dkk berbeda jauh dengan konteks penelitian yang
peneliti lakukan. Levin dkk melakukan penelitian di Libanon, salah satu kawasan yang secara
sosiologis-antropologis tentu berbeda jauh dengan Indonesia sebagai tempat penelitian ini.
Tabel 4
Item-item instrumen dukungan terhadap kekerasan
No
Pernyataan
1
Saya mendukung umat Islam yang mengusir Ahmadiyah dari tempat tinggal mereka
2
Saya mendukung ormas-ormas Islam melawan Syiah walaupun harus dengan cara yang
keras.
3
Saya sepakat untuk memaksa Ahmadiyah keluar dari Islam karena bertentangan dengan
ajaran inti Islam
4
Saya setuju jika Syiah dilarang di Indonesia karena merusak akidah Islam
A.4. Analisa Data Penelitian
Analisa data dilakukan dengan dua tehnik, yaitu tehnik analisa CFA dan regresi.
Tehnika analisa CFA dilakukan untuk melihat validitas konstruk dan tehnik analisa regresi
untuk melihat pengaruh iv terhadap dv serta bobot sumbangan masing-masing iv terhadap dv.
Tehnik CFA dilakukan dengan bantuan program Lisrel 8.8 dan analisa regresi dilakukan
dengan bantuan program SPSS 14.00.
49
B. Waktu Penelitian
Penelitian in dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu bulan pertama akan digunakan untuk
membuat proposal dan pengumpulan daftar pustaka, bulan kedua digunakan untuk perbaikan
proposal dan pembuatan instrumen penelitian, bulan ketiga digunakan untuk pengumpulan
data lapangan, bulan keempat digunakan untuk untuk analisa hasil penelitian dan pembuatan
laporan awal, bulan kelima digunakan untuk perbaikan laporan penelitian, dan bulan keenam
digunakan untuk perbaikan akhir laporan penelitian dan penyerahan kepada lemlit.
50
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi uraian hasil penelitian terutama yang berkaitan dengan hasil uji validitas
dan realibilitas serta uji regresi berganda terhadap faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi dukungan terhadap kekerasan.
A. Uji Validitas Konstruk
Langkah pertama yang dilakukan terkait hasil penelitian adalah menguji validitas
konstruk yang digunakan dalam penelitian ini. Penulis menguji validitas konstruk pada
masing – masing variabel. Teknik uji validitas yang penulis gunakan adalah uji validitas
confirmatory factor analysis (CFA). Pada CFA peneliti berteori bahwa terdapat faktor yang
diukur oleh item atau observed variables, kemudian model teoritis tersebut dibandingkan
dengan data empiris. Jika kedua data tersebut fit atau tidak ada perbedaan, maka model
teoritis dinyatakan tidak ditolak dan sebaliknya. Kriteria model teoritis dan data dinyatakan
fit atau tidak ialah apabila nilai chi-square pada model tersebut lebih besar dari 0.05 (p >
0.05). Dengan kata lain, jika tidak signifikan maka tidak ada perbedaan antara model teoritis
dibandingkan dengan model dari data empiris. Jika model tersebut sudah fit, maka
selanjutnya dapat diinterpretasikan berdasarkan masing – masing item. Item dikatakan valid
apabila memenuhi kedua unsur sebagai berikut, yaitu pertama koefisien item tidak
bertentangan dengan sifat item. Maksudnya, jika item tersebut sudah diskor secara positif
atau favoravle, maka koefisien itemt tersebut harus positif, dan sebaliknya. Kedua, item
dinyatakan valid apabila koefisien muatan faktor item lebih besar dari 1.96 (t > 1.96)
51
(Wijayanto, 2008). Hasil uji CFA terhadap masing – masing skala akan dijelaskan sebagai
berikut:
A.1. Orientasi Dominasi Sosial
Skala orientasi dominan sosial memiliki item sejumlah 16, dengan pilihan respon
jawaban sejumlah 4 kategori. Banyaknya respon jawaban tersebut berlaku juga untuk skala
yang lain. Hasil pertama analisis CFA pada variabel dominan sosial menunjukkan bahwa
model pengukuran skala dominan sosial tidak fit dengan data (p < 0.05), pada nilai chi-square
= 628.04; df = 104; dan RMSEA = 0.167. namun penulis memodifikasi model tersebut
dengan cara membebaskan korelasi kesalahan pengukuran antar item, sehingga diperoleh
model fit sebagai berikut:
52
Gambar 1. Model Fit Skala DS
Berdasarkan gambar diatas, model teoritis orientasi dominasi sosial dinyatakan fit
dengan data (p > 0.05) pada nilai chi-square = 83.02; df = 64; RMSEA = 0.041. Dengan
demikian tidak ada perbedaan antara model teoritis DS dengan model empiris orientasi
dominasi sosial. Selanjutnya yang peneliti lakukan adalah menguji signifikan atau tidaknya
item – item skala ODS dalam mengukur apa yang hendak diukur. Hasil uji tersebut dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 1
Uji Signifikan Koefisien Item ODS
Item Koefisien Item Standar Eror Nilai-t Keterangan
1
0.41
0.07
5.69
Valid
2
0.57
0.07
8.14
Valid
3
0.56
0.07
8.16
Valid
4
0.65
0.07
9.73
Valid
5
0.31
0.07
4.31
Valid
6
0.68
0.06
10.55
Valid
7
0.68
0.07
10.44
Valid
8
0.2
0.08
2.56
Valid
9
0.80
0.06
12.93
Valid
10
0.91
0.06
15.93
Valid
11
0.96
0.06
17.33
Valid
12
0.84
0.06
14.04
Valid
13
0.71
0.06
10.92
Valid
14
0.82
0.06
13.44
Valid
53
15
0.83
0.06
13.68
Valid
16
0.82
0.06
13.41
Valid
Berdasarkan tabel diatas, maka terlihat bahwa seluruh item orientasi dominasi sosial
(ODS atau SDO) dinyatakan valid mengukur faktornya. Dengan demikian, berdasarkan
informasi diatas, tidak ada satupun item DS yang didrop pada saat menghitung faktor skor.
A.2. Persepsi Keterancaman
Skala persepsi keterancaman terdiri dari 4 item. Sama seperti skala dominasi sosial, tiap
item skala PK juga memiliki empat kategori respon jawaban. Kemudian hasil analisis awal
CFA pada skala persepsi keterancaman menunjukkan bahwa model pengukuran persepsi
keterancaman dinyatakan tidak fit dengan data empiris (p < 0.05). Nilai chi-square awal pada
model ini yaitu 12.47, df = 2 dan RMSEA = 0.171. Maka itu, selanjutnya penulis
membebaskan korelasi kesalahan pengukuran antar item dengan tujuan mendapatkan model
fit. Adapun hasil model fit pada skala persepsi keterancaman seperti berikut ini:
Gambar 2. Model Fit Pengukuran Skala PK
54
Berdasarkan gambar 2 diatas, maka model pengukuran skala persepsi keterancaman
dinyatakan fit dengan data empiris (p > 0.05). Nilai chi-square pada model tersebut yaitu
0.00; df = 1; dan RMSEA = 0.000. Kemudian hasil uji signifikan pada masing – masing item
skala PK yaitu sebagai berikut:
Tabel 2
Hasil Uji Signifikan Item Skala PK
Item Koefisien Item Standar Eror Nilai-t Keterangan
1
0.63
0.07
9.04
Valid
2
1.07
0.06
17.4
Valid
3
0.72
0.08
9.16
Valid
4
0.75
0.07
11.05
Valid
Berdasarkan tabel 2 diatas, seluruh item skala persepsi keterancaman dinyatakan valid
mengukur faktor yang diniatkan untuk diukur. Dengan demikian keempat item tesebut
digunakan pada saat menghitung faktor skor variabel PK.
A.3. Dukungan Terhadap Kekerasan (DTK) dan Identifikasi Sosial (IS)
Pada skala DTK dan IS, penulis menggabungkan kedua skala tersebut dikarenakan item
pada skala IS hanya ada dua. Jika item hanya ada dua, maka analisis CFA pada Lisrel tidak
dapat dilakukan sebab derajat kebebasan menjadi negatif. Salah satu cara untuk mengatasinya
adalah menggabungkan data item tersebut dengan data item yang lain. Hasil awal analisis
CFA atas kedua variabel tersebut menunjukkan model teoritis yang tidak fit, dengan nilai chi-
55
square = 6.19; df = 4; dan RMSEA = 0.055. Maka itu, penulis memodifikasi model
pengukuran tersebut sehingga diperoleh model fit berikut ini:
Gambar 3. Model Fit Pengukuran DTK dan IS
Berdasarkan gambar 3 diatas, model fit skala DTK dan IS memiliki nilai chi-square
sebesar 6.19 (p > 0.05); df = 4; RMSEA = 0.055. Dengan demikian baik pada model DTK
dan IS tidak ada perbedaan antara model teoirits dengan model empirisnya. Informasi
terakhir yaitu mengenai signifikan tidaknya tiap item pada masing – masing skala tersebut
dalam mengukur faktornya, hasilnya sebagai berikut:
Tabel 3
Uji Signifikan Item Skala DTK dan IS
Item
Koefisien Item Standar Eror Nilai-t Keterangan
DTK1 0.23
0.08
2.80
56
Valid
DTK2 0.23
0.08
2.82
Valid
DTK3 0.50
0.08
6.08
Valid
DTK4 0.90
0.10
9.45
Valid
IS1
0.99
0.08
13.12
Valid
IS2
0.71
0.07
9.50
Valid
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat dilihat bahwa seluruh item baik pada DTK
maupun IS dinyatakan valid mengukur masing – masing faktornya. Dengan demikian,
seluruh item tersebut digunakan pada saat mengitung faktor skor masing – masing
variabelnya.
B . Uji Hipotesis
Pada subbab ini penulis menguji hipotesis hubungan antar variabel. Variabel
independen dalam penelitian ini ialah identifikasi sosial, orientasi dominan hasil, dan persepsi
keterancaman, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini ialah dukungan terhadap
perilaku kekerasan. Analisis statistik yang digunakan ialah analisis regresi. Pada analisis
regresi, peneliti menguji dampak variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun
hasil analisis regresi sebagai berikut
B.1 Rsquare
Rsquare merupakan informasi mengenai seberapa besar bervariasinya variabel
dependen yang dijelaskan oleh variabel independen. Dengan kata lain, penulis ingin
mengetahui seberapa banyak varian dari dukungan terhadap perilaku kekerasan yang
57
dijelaskan atas bervariasinya variabel identifikasi sosial, orientasi dominan hasil dan persepsi
keterancaman. Hasilnya sebagai berikut:
Tabel 4
Tabel Rsquare
Change Statistics
R
Variabel
R
Square F
Square
Sig.
F
df1 df2
Change
Change
Change
Dominasi Sosial
,033
,033
6,023
1
179 ,015
Persepsi
,325
,293
77,186
1
178 ,000
,332
,007
1,813
1
177 ,180
Keterancaman
Identifikasi Sosial
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diceritakan sebagai berikut:
ï‚·
Variabel dominasi sosial memberikan kontribusi rsquare sebesar 0.033. Atau
3.3% bervariasinya variabel dukungan terhadap kekerasan disebabkan oleh
variabel dominasi sosial. Sumbangan varians tersebut signifikan (p < 0.05).
ï‚·
Variabel persepsi keterancaman memberikan kontribusi varian sebesar 0.293
atau 29.3% atas bervariasinya variabel dukungan terhadap kekerasan.
Sumbangan tersebut signfikan (p < 0.05).
ï‚·
Terakhir, variabel identifikasi sosial memberikan kontribusi varian yang tidak
signifikan (p > .05) yaitu sebesar 0.007 atau 0.7% atas bervariasinya variabel
dukungan terhadap kekerasan.
58
B.2. Uji F & Uji T
Pada tahapan analisis ini penulis menguji pengaruh secara keseluruhan atau simultan
variabel dominan sosial, persepsi keterancaman dan identifikasi sosial terhadap variabel
dukungan terhadap kekerasan. Apabila nilai uji-F signifikan (p < 0.05), maka artinya seluruh
IV tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dukungan terhadap kekerasan.
Hasilnya sebagai berikut:
Tabel 5
Uji-F
Sum of
Model
1
Mean
Squares
Df
Square
F
Sig.
Regression
207.827
3
69.276
29.326
.000a
Residual
418.127
177
2.362
Total
625.955
180
Berdasrkan tabel diatas, maka dapat dinyatakan bahwa seluruh variabel independen
yaitu orientasi dominasi sosial, persepsi keterancaman dan identifikasi sosial berpengaruh
secara simultan terhadap variabel dukungan terhadap kekerasan. Untuk mengetahui
pengaruhnya secara detail satu persatu, maka berikut penulis laporkan uji-t terhadap masingmasing koefisien regresi variabel independen.
59
Tabel 6
Uji T
Model
1
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
(Constant)
7.325E-5
.114
Dominasi Sosial
.486
.159
Persepsi Keterancaman .917
Identifikasi Sosial
.072
Beta
t
Sig.
.001
.999
.246
3.051
.003
.108
.649
8.455
.000
.054
.096
1.346
.180
Berdasarkan tabel 6 diatas, maka dapat diceritakan sebagai berikut:
ï‚·
Koefisien regresi variabel dominasi sosial sebesar 0.486 (p < 0.05). Artinya
variabel dominasi sosial berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dukungan
terhadap kekerasan. Semakin tinggi dominasi sosial seseorang maka semakin
tinggi pula dukungan terhadap kekerasan tersebut.
ï‚·
Kemudian variabel persepsi keterancaman memiliki koefisien regresi sebesar 0.917
(p < 0.05). Artinya variabel persepsi keterancaman juga memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dukungan terhadap kekerasan. Dikarenakan koefisien
regresi tersebut positif, maka artinya semakin tinggi persepsi
seseorang atas
keterancaman, maka semakin tinggi pula dukungan seseorang terhadap kekerasan.
ï‚·
Koefisien regresi variabel identifikasi sosial tidak berpengaruh secara signifikan (p
> 0.05), dengan koefisien regresi yaitu 0.072. Dengan demikian variabel
identifikasi sosial tidak berpengaruh terhadap variabel dukungan terhadap
kekerasan.
60
ï‚·
Berdasarkan informasi koefisien beta (kolom standardized coefficient) variabel
persepsi keterancaman memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap
dukungan kekerasan dibandingkan dengan pengaruh variabel independen lainnya.
Hal ini dapat dilihat melalui koefisien beta variabel persepsi atas keterancaman
paling besar diantara koefisien beta variabel independen lainnya yaitu sebesar
0.649.
B.3. Variabel Mediator Orientasi Dominasi Sosial dan Persepsi Keterancaman
Penulis menguji model penelitian yang telah digambar pada bab 2 sebelumnya, yang
mana variabel orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman berperan sebagai variabel
mediator atas pengaruh identifikasi sosial terhadap dukungan terhadap kekerasan. Adapun
hasil uji model tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 4
Hasil Uji Model Variabel Mediator
Model diatas memiliki beberapa indek kriteria fit. Berikut penulis laporkan hasilnya:
61
Tabel 7
Kriteria Fit Model Struktural
No Indeks Fit
Kriteria Fit Nilai pada Model Keterangan
1
Chi-Square P > 0.05
0.82 (p > 0.05)
Fit
2
RMSEA
< 0.05
0.00 (< 0.05)
Fit
3
CFI
≥ 0.95
1.00 (> 0.95)
Fit
4
AGFI
≥ 0.90
1.00 (> 0.90)
Fit
5
SRMR
≤ 0.08
0.0041 (< 0.08)
Fit
Berdasarkan informasi pada tabel 7 diatas, maka model yang menyatakan bahwa
variabel dominasi sosial dan persepsi keterancaman berperan sebagai variabel mediator atas
pengaruh variabel identifikasi sosial terhadap dukungan terhadap kekerasan dinyatakan fit
dengan data. Dengan demikian model tersebut dinyatakan tidak ditolak pada data empiris
penelitian ini. Artinya secara model teoritis variabel dominasi sosial dan persepsi memang
berperan sebagai variabel mediator. Informasi selanjutnya yang dapat diperoleh yaitu
mengenai koefisien regresi tiap variabel independen. Hasilnya sebagai berikut:
62
Tabel 8
Uji Koefisien Regresi tiap IV
Dependent Variabel
Direct Effect
Indirect Effect
Dukungan Kekerasan
Dukungan Kekerasan
Variabel
Independen
Dominasi Sosial
Std.
Total Effect
Dukungan Kekerasan
Std.
Dominasi Sosial
Std.
Persepsi Keterancaman
Std.
Koefisien Error Nilai-t Koefisien Error Nilai-t Koefisien Error Nilai-t Koefisien Error
Std.
Nilai-t
Koefisien Error Nilai-t
-0.007
0.07
-1.08
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.53
0.06
8.78*
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0.25
0.06
4.46*
0.25
0.06
4.46*
-0.49
0.06
-7.61*
0.40
0.07
5.92*
Persepsi
Keterancaman
Identifikasi Sosial
Ket: tanda* menunjukkan signifian (p < 0.05)
63
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat ditulis sebagai berikut:
ï‚·
Variabel persepsi keterancaman berpengaruh signifikan terhadap variabel
dukungan kekerasan dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.53 (t=8.78; p <
0.05).
ï‚·
Variabel dominasi sosial memiliki koefisien regresi sebesar -0.007. Koefisien
regresi tersebut tidak signifikan (p < 0.05).
ï‚·
Variabel identifikasi sosial berpengaruh signifikan terhadap dukungan
kekerasan dengan koefisien regresi sebesar 0.25 (t=4.46; p < 0.05).
ï‚·
Variabel identifikasi sosial berpengaruh signifikan terhadap variabel dominasi
sosial dengan koefisien regresi sebesar -0.49 (t=7.61; p < 0.05). Koefisien
regresi tersebut negatif, artinya semakin tinggi identifikasi sosial seseorang,
maka semakin rendah dominasi sosial orang tersebut.
ï‚·
Kemudian koefisien regresi identifikasi sosial pada persepsi keterancaman
sebesar 0.40 (t=5.92; p < 0.05). Artinya variabel identifikasi sosial berpengaruh
signifikan terhadap variabel persepsi keterancaman.
ï‚·
Pada kolom total effect, variabel identifikasi sosial berpengaruh signifikan baik
terhadap dukungan kekerasan, dominasi sosial maupun terhadap persepsi
keterancaman. Namun begitu, variabel mediator yang hanya berpengaruh
signifiakn terhadap dukungan kekerasan hanyalah
variabel persepsi
keterancaman, sedangkan variabel dominasi sosial tidak berpengaruh signifikan
terhadap dukungan kekerasan. Dengan demikian, berdasarkan koefisien regresi,
variabel yang berperan sebagai mediator atas pengaruh identifikasi sosial
terhadap dukungan kekerasan hanyalah variabel persepsi keterancaman.
64
65
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN REKOMENDASI
Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran atau rekomendasi, baik teoritis maupun
praktis.
A. Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan:
ï‚· Secara keseluruhan atau bersama-sama, seluruh independent variables (identifikasi
sosial, orientasi dominasi sosial, dan persepsi keterancaman) berpengaruh
signifikan terhadap dukungan atas kekerasan.
ï‚· Secara sendiri-sendiri, orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman
berpengaruh signifikan terhadap dukungan atas aksi kekerasan, sedangkan
identifikasi sosial tidak berpengaruh terhadap dukungan atas aksi kekerasan.
ï‚· Orientasi dominasi sosial memberikan sumbangan sebesar 3,3% terhadap
dukungan atas perilaku kekerasan, sedangkan persepsi keterancaman memberikan
sumbangan sebesar 29,3% terhadap dukungan atas perilaku kekerasan. Untuk
identifikasi sosial sumbangannya terhadap dukungan atas perilaku kekerasan hanya
sebesar 0,07% dan karenanya tidak signifikan.
B. Diskusi
Penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel independen yaitu identifikasi sosial,
orientasi dominasi sosial, dan persepsi keterancaman secara keseluruhan dan bersama-sama
berpengaruh terhadap dukungan atas aksi kekerasan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa
identifikasi sosial, orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman merupakan variabel
penting yang bisa menjelaskan kenapa ada dukungan atas aksi kekerasan. Dengan kata lain,
66
orang yang mengindetifikasi dirinya secara kuat kepada kelompok agama atau mazhab
tertentu dan memiliki orientasi dominasi kelompok atau sosial yang tinggi serta memiliki
persepsi adanya ancaman tertentu terhadap kelompok dan mazhabnya maka kecenderungan
untuk memberikan dukungan atas aksi kekerasan terhadap kelompok yang mengancam akan
tinggi juga. Hal ini terbukti secara jelas dan nyata dalam penelitian ini.
Dalam konteks penelitian ini, ancaman berasal dari dugaan bahwa kelompok
Ahmadiyah telah menodai ajaran Islam dengan meyakini bahwa Muhammad bukanlah nabi
dan rasul terakhir. Tetapi ada Mirza Ghulam Ahmad yang datang setelah Nabi Muhammad
adalah nabi dan rasul juga, walaupun tidak membawa ajaran dan syariat baru yang
bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Di sinilah letak masalahnya. Ada
perbedaan persepsi keterancaman dalam hal ini. Jika umat Islam di luar kelompok
Ahmadiyah menganggap keyakinan dan ajaran ini bertentangan dengan ajaran pokok Islam
maka penganut Ahmadiyah menganggap bahwa mereka bukan ancaman bagi ajaran Islam.
Oleh karenanya, mereka mengklaim diri sebagai bagian dari umat Islam walaupun sebagian
besar umat Islam menolaknya karena adanya keyakinan mengenai kerasulan Mirza Ghulam
Ahmad (Saloom, in press).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa orientasi dominasi sosial dan persepsi
keterancaman berpengaruh positif dan signfikan terhadap dukungan atas aksi kekerasan.
Sedangkan identifikasi sosial tidak signifikan dalam mempengaruhi dukungan terhadap aksi
kekerasan.
Kesimpulan penelitian ini sesungguhnya sejalan dengan penelitian Levin dkk.
Penelitian mereka memperlihatkan bahwa identifikasi sosial hanya akan berpengaruh
terhadap dukungan atas aksi kekerasan manakala diperantarai oleh variabel lainnya, yaitu
orientasi dominasi sosial dan persepsi keterancaman. Dalam penelitian Levin dkk, ada dua
jalur pengaruh identifikasi sosial, yaitu jalur pertama melalui orientasi dominasi sosial dan
67
jalur kedua melalui persepsi keterancaman (Levin, Henry, Prato, & Sidanius, 2009). Dengan
demikian, menurut penelitian Levin dkk, identifikasi yang kuat terhadap kelompok sosial
yang disertai dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi akan berdampak kepada pemberian
dukungan terhadap aksi kekerasan, atau bisa juga identifikasi yang kuat terhadap kelompok
yang disertai dengan adanya persepsi keterancaman akan membuat seseorang bersikap pro
terhadap aksi kekerasan yang mengancam nilai pribadi dan kelompok (Sidanius & Pratto,
1999).
Jika dilihat dari bobot sumbangan masing-masing faktor penyebab terhadap dukungan
atas kekerasan maka ditemukan bahwa sumbangan persepsi keterancaman merupakan
penyumbang paling besar yaitu sebesar 29,3, lalu disusul oleh sumbangan dari orientasi
dominasi sosial sebesar 3,3% dan sumbangan identifikasi sosial di bawah 1%. Menurut hemat
saya, hal ini memberikan beberapa penafsiran. Pertama, identifikasi kemazhaban, dalam hal
ini mazhab ahlussunnah tidak tinggi karena sumbangannya terhadap dukungan atas aksi
kekerasan di bawah 1%. Fakta empirik ini menunjukkan beberapa kemungkinan di antaranya
adalah bahwa istilah ahlussunnah wal jamaah kurang begitu dikenal atau difahami di
kalangan sampel penelitian.
Mengapa persepsi keterancaman merupakan penyumbang paling besar terhadap
dukungan atas kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah dalam penelitian ini? Hal
itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kelompok Ahmadiyah adalah kelompok yang menjadi sumber ancaman bagi umat
Islam mainstream karena mereka memiliki ajaran yang bertentangan dengan ajaran
pokok dalam Islam, yaitu mengenai ajaran kerasulan Nabi Muhammad. Dalam
pandangan umat Islam mainstream, termasuk sebagian besar sampel penelitian,
kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir tidak dapat ditawartawar. Kerasulan Muhammad adalah bagian dari syahadat seorang muslim sehingga
68
menjadi ajaran yang terinternalisasi secara kuat dalam kognisi dan afeksi umat Islam.
Ketika ada kelompok tertentu yang mengklaim, dalam hal ini kelompok Ahmadiyah,
yang menganggap ada nabi setelah Nabi Muhammad, maka tentu saja ini menjadi
ancaman besar terhadap identitas mereka sebagai orang Islam. Berislam ditandai salah
satunya dengan mengucapkan syahadat yang berisi persaksian bahwa Muhammad
adalah utusan Allah terakhir.
2. Dalam sejumlah wawancara dan dialog peneliti dengan sejumlah narasumber
penelitian tentang “Infiltrasi radikalisme masjid: Studi kasus di Bogor”, ditemukan
bahwa keyakinan bahwa tidak ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad adalah
harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Jika ada klaim dari kelompok tertentu
bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad maka klaim tersebut telah melukai hati dan
perasaannya sebagai bagian dari umat Islam. Pada saat yang sama, kelompok tersebut
telah mengancam identitasnya sebagai pengikut Nabi Muhammad, nabi dan rasul
terakhir yang diutus Allah SWT kepada umat manusia (Saloom, in press).
3. Beragama dan berislam adalah satu bentuk ekpresi identitas sosial yang dijunjung
tinggi maka ketika identitas sosial dipersepsikan terancam oleh kelompok tertentu
maka segala bentuk aksi perlawanan bahkan kekerasan terhadap kelompok yang
dipersepsikan mengancam akan didukung sepenuhnya. Hal ini tidak akan terjadi
manakala beragama dan berislam dipandangan sebagai ekspresi identitas personal
atau ditempatkan sebagai urusan personal antara manusia dengan Tuhan.
Penelitian ini juga melakukan analisa model hubungan antarvariabel. Model teoritis
hubungan antar-variabel dalam penelitian ini menggabarkan bahwa pengaruh identifikasi
sosial berpengaruh tidak langsung melalui dua jalur. Jalur pertama, identifikasi sosial
berpengaruh terhadap dukungan kekerasan melalui orientasi dominasi sosial dan jalur kedua
69
melalui persepsi keterancaman. Analisa model teoritik hubungan antara independen variabel,
moderator variabel dan dependen variable menegaskan kesesuaiannya dengan data.
Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Levin dkk (2003) dalam penelitian mereka
tentang dukungan terhadap kekerasan di Libanon. Penelitian Levin menemukan bahwa
identifikasi sosial berpengaruh secara tidak langsung terhadap dukungan atas kekerasan
melalui orientasi dominasi sosial di satu sisi, dan di sisi lain, identifikasi sosial juga
berpengaruh secara tidak langsung melalui persepsi keterancaman.
Tentu saja, penelitian ini tidak luput dari sejumlah kelemahan dan keterbatasan. Salah
satunya yang paling penting untuk disampaikan adalah dalam hal pemilihan sampel
penelitian yang diambil dari kalangan mahasiswa. Idealnya, sampel penelitian diambil dari
luar kelompok mahasiswa yaitu kelompok masyarakat yang diduga mendukung aksi
kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Pengambilan sampel
dari masyarakat pendukung aksi kekerasan paling tidak akan memberikan jaminan kepada
peneliti bahwa mereka memenuhi syarat minimal sebagai responden yang relevan dengan
penelitian ini, yaitu ingin mencaritahu faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan terhadap
aksi kekerasan.
C. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian ini maka dipandang perlu memberikan
saran dan rekomendasi yang relevan, baik saran yang bersifat teoritis maupun saran yang
bersifat praktis.
Saran dan rekomendasi teoritis yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini sesungguhnya ingin mengetahui faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi dukungan terhadap kekerasan yang jumlahnya cukup banyak, tetapi
70
dalam penelitian ini faktor penyebab psikologis yang diteliti hanya tiga variabel.
Tentu saja jumlah ini masih jauh dari memadai dalam menjelaskan dukungan
terhadap kekerasan. Oleh karenanya, penelitian selanjutnya sebaiknya memperluas
variabel penelitian penyebab dukungan terhadap kekerasan, misalnya menguji faktorfaktor psikologis di luar teori identitas sosial dan orientasi dominasi sosial.
2. Dalam penelitian ini, sampel penelitian diambil dari kalangan mahasiswa yang masih
aktif. Sebenarnya, tidak ada masalah jika mahasiswa dijadikan sebagai sampel
penelitian dalam konteks ini karena mahasiswa menggambarkan keragaman
masyarakat, tetapi jika diambil dari luar kelompok mahasiswa tentu akan lebih baik
lagi. Sampel dalam penelitian berikutnya sebaiknya diambil dari segmen masyarakat
tertentu yang diduga atau diyakini mendukung kekerasan, misalnya masyarakat di
mana seorang pelaku kekerasan atau pelaku teror berasal. Di samping relevansinya
dengan penelitian cukup tinggi.
Sedangkan rekomendasi atau saran praktis terkait penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Penelitian menunjukkan bahwa identifikasi yang kuat terhadap unit sosial tertentu,
dalam hal ini sebagai umat Islam, yang berkombinasi dengan persepsi
keterancaman simbolik yang tinggi berpengaruh kuat terhadap dukungan atas
kekerasan atas nama agama. Maka, berdasarkan hal ini diperlukan sosialisasi
mengenai ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin yang menolak segala bentuk
kekerasan terhadap apapun dan siapapun.
2. Hasil penelitian ini secara tersirat menunjukkan bahwa radikalisme masih menjadi
ancaman nyata yang akan mencengkeram masyarakat terutama mahasiswa sebagai
calon pemimpin bangsa dan masyarakat. Oleh karenanya, diperlukan upaya
71
deradikalisasi dan kontra-radikalisme yang dilakukan baik oleh pemerintah
maupun oleh masyarakat.
72
RBA DANA PENELITIAN 2013
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Penelitian Individual
Penelitian
Belanja gaji dan tunjangan
Individual
BLU
Honor Peneliti
1 Org
X 5 Bulan
5 OB
500.000
2.500.000
1 Paket
500.000
500.000
1 Paket
1.500.000
1.500.000
1 Paket
2.000.000
2.000.000
Publikasi dan Dokumentasi
1 Paket
1.000.000
1.000.000
Pembuatan Laporan
1 Paket
500.000
500.000
Balanja Jasa
Pembuatan
instrumen
penelitian
Belanja Barang
Fotokopi dan ATK
Pengadaan
Sumber
Kepustakaan
Total
73
8.000.000
CURRICULUM VITAE
Nama
: Gazi, S.Psi, M.Si
Tempat dan Tanggal Lahir
: Mataram, 14 Desember 1971
Pekerjaan dan Jabatan
: Dosen tetap PNS/Lektor (IIId) pada Fakultas Psikologi UIN
Jakarta
NIP
: 19711214 200701 1 014
Alamat Rumah
: Kp. Curug Rt.05 Rw.01 No. 21 Babakan Setu Tangerang
Selatan Banten
Alamat Kantor
: Fakultas Psikologi UIN Jakarta
Kampus 2 Jl. Kertamukti 5 Pisangan Ciputat Timur
Tangerang Selatan
Nomor HP
: 08128480195
Alamat e-mail
: [email protected] atau [email protected] atau
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun
Perguruan
Tinggi
Program Pendidikan
Lulus
Jurusan/
Program Studi
2001
Pendidikan Sarjana Psikologi
UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta (Fakultas
Psikologi)
Psikologi
2001
Program Akta IV
UIN Syarif
Hidayatullah
Jakarta (Fakultas
Tarbiyah dan
Keguruan)
Bimbingan dan
konseling
2005
Pendidikan Magister Psikologi
Universitas
Indonesia
(Fakultas
Psikologi)
Psikologi sosial
2010
Pendidikan Doktor Psikologi (kandidat Universitas
74
Psikologi Sosial/
Psikologi
doktor)
Indonesia
Terorisme
PRODUK BAHAN AJAR
Mata Kuliah
Program
Pendidikan
Jenis Bahan Ajar
Tahun
(cetak dan noncetak)
Psikologi Politik
Pendidikan sarjana
Cetak
2013
Psikologi Sosial
2
Pendidikan Sarjana
Non Cetak
2011
Psikologi
Agama
(Individual)
Pendidikan Sarjana
Cetak
2010
Psikologi Sosial Pendidikan Sarjana
(Tim)
Cetak
2009
Pendidikan
Pendidikan Sarjana
Antikorupsi Utk
PTAIS (Tim)
Cetak
2006
PENGALAMAN PENELITIAN
Tahun
Judul Penelitian
2012
Infiltrasi Radikalisme di Masjid:
Studi Kasus di Bogor
2011
Tahap-Tahap Menjadi Teroris:
Studi Psikologis atas Biografi dan
Autobiografi Para Teroris dan
Mantan Teroris
Pandangan Para Tokoh Agama
Tentang Eksklusivitas
Keagamaan
Relijiusitas dan Self-efficacy
Mahasiswa Fakultas Psikologi
UIN Jakarta
Self-Efficacy
dan
Task
Commitment Pada Dosen Muda
Alumni Pondok Pesantren (UIN
Jakarta)
2011
2010
2009
75
Ketua/anggota
Tim
Anggota Tim
Peneliti
Sumber Dana
Ketua Tim
Peneliti
Lazuardi Birru
dan CSRC UIN
Jakarta
BLU UIN
Jakarta
Tim Peneliti
Lapangan
Balitbang
Kemenag RI
Penelitian
individual
DIPA Fakultas
Psikologi UIN
Jakarta
DIPA UIN
Jakarta (Lemlit
UIN Jakarta)
Ketua
merangkap
anggota
(individual)
Penelitian Perilaku Keagamaan Anggota
(Bali)
Peneliti
Lapangan
Respon Masyarakat Jabodetabek
Ketua
Terhadap Aliran-Aliran
Peneliti
Keagamaan Baru di Indonesia
(Kolektif)
Tim Balitbang
Kementerian
Agama RI
Tim DIPA
UIN
Jakarta (Lemlit)
2008
Ujicoba Instrumen Keagamaan
(Kota Padang dan Bukit Tinggi)
Anggota
Peneliti
Lapangan
Tim Balitbang
Kementerian
Agama RI
2008
Penyelenggaraan
Pendidikan Anggota
Agama dan Keagamaan di Peneliti
Indonesia (DKI Jakarta)
Lapangan
Tim Puslitbang
mapenda
Kementerian
Agama RI
2008
Penelitian Kebijakan
Studi Kasus di Aceh
2007
Arah
Pengembangan Anggota
STAIN/IAIN Se-Indonesia (IAIN
Mataram)
Depag
Cerdev
Jakarta
2007
Penelitian
Kerjasama
University
PIC UIN Jakarta
2006
Penelitian Persepsi Masyarakat
Tentang Korupsi
Anggota
CSRC
Jakarta
UIN
2006
Ujicoba Buku Ajar Pendidikan Anggota
Antikorupsi (Di Aceh)
CSRC
Jakarta
UIN
Penelitian Tesis:
Hubungan antara orientasi
religius dan kuantitas kontak
dengan kualitas kontak (Studi
Kasus di Kota Mataram NTB)
Penelitian naskah:
Konsep Kepribadian dalam
Pandangan Ibnu Qayyim AlJauziyyah
Beasiswa
Kopertais I
Wilayah DKI
Jakarta dan
sekitarnya
Beasiswa
Djarum dan
donatur pribadi
2009
2008
2004
2000
Publik: Anggota
Evaluasi Program Anggota
UIN-McGill
Ketua
merangkap
anggota
76
Balitbang
Depdagri
RI
&
UIN
KARYA ILMIAH
Buku/Bab Buku/Jurnal
Tahun
2013
2013
2012
Judul
Penerbit/Jurnal
Analisa Kebutuhan Resosialisasi
BNPT
Meninggalkan Jalan Teror: Perspektif Identitas
Sosial (dalam Isu-isu penelitian psikologi sosial
kontemporer)
Hubungan Mayoritas-Minoritas di Bogor: Studi
Psikologi Sosial Hubungan Antarkelompok
Darussyahadah
Pekanbaru Riau
Jurnal Dialog Litbang
Kemenag RI, 2012
Ageisme dan Sikap Gerontokratik di Budaya
Barat, Timur dan Islam
Jurnal Tazkiya
Volume Nomor 1,
April 2008, halaman
448-453. ISSN: 14121735
Psikologi Sosial dan Perkembangan Mutakhir.
Jurnal Enlightment
Universitas Al-Azhar
Indonesia Volume 1
Nomor 2, JuliDesember 2008,
halaman 29-43. ISSN:
1979-1682.
2008
2008
Jurnal Tazkiya
Fakultas Psikologi
UIN Jakarta.
2007
Teori-Teori Hubungan Antarkelompok,
2007
Hubungan Identitas, Orientasi Keagamaan dan
Kuantitas Kontak Sosial dengan Kualitas
Hubungan Sosial (Penelitian di Kota Mataram
NTB
Jurnal
Tazkiya
Volume 7 Nomor 2
Tahun 2007, halaman
324-336. ISSN: 1412173
Depag RI
2007
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi : Sang Pendidik
dari Gontor, kumpulan tulisan “Pemikiran
Pendidikan Islam Indonesia”.
2001
Serba-Serbi Wanita (Terjemahan)
77
Penerbit Almahira
Jakarta
Ketika Menikah Jadi Pilihan (Terjemahan)
2001
Penerbit Almahira
Jakarta
Makalah Diskusi
Tahun
Judul
Penyelenggara
2009
Hubungan Sasak Muslim dan Hindu Bali
di Mataram NTB: Tinjauan Psikologi Sosial
Kaum lansia Dalam Pandangan Islam dan
Psikologi
Dakwah Berbasis Psikologi
Komunitas Mahasiswa
Sasak Jakarta
Fakultas
Psikologi
UIN Jakarta
Yayasan
Kebajikan
Muslim Asia-Afrika
(Islamic
Center
Usman bin Affan
Ceger Jakarta Timur
2009
Memahami Psikologi Lingkungan
Kelompok Mahasiswa
Pecinta
Alam
(Mahacala)
BEM
Fakultas
Psikologi
UIN Jakarta
2007
2008
Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi
Tahun
2002
2002
Judul
Penerbit/Jurnal
Memori Kolektif : Titik Taut Antara Sejarah
dan Psikologi Sosial (Resensi buku
berbahasa Inggris yang berjudul “Collective
Memory of Political Events: Social
Psychology Perspective), sebagai peresensi.
Tazkiya Journal of
Psychology, Fakultas
Psikologi UIN Jakarta,
Volume 2, Nomor 2,
Tahun 2002
Jurnal
Tazkiya
Memahami Pikiran Lewat Emosi (Resensi
buku berbahasa Inggris “Emotion and Belief: Volume 2, Nomor 3,
Desember
2002,
How emotion influence Thought), sebagai
halaman
261-266.
peresensi
ISSN: 1412-1735
78
2004
Sex Education 4 Teen: Pendidikan Seks
Remaja Dalam Islam, sebagai editor.
Penerbit
Hikmah
Kelompok Mizan, Cet.
1, Januari 2004
2005
Pendidikan Multikultur Dalam Perspektif
Psikologi, sebagai peresensi
Buletin Swara Diklat
Depag RI
KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Tahun
2013
2012
Judul Kegiatan
International Confrence on
Social Psychology
Temu Ilmiah dan Workshop
Nasional
Penyelenggara
Asian Asociation
Social Psychology
in cooperation with
Faculty of
Psychology UGM
Yogyakarta
Ikatan Psikologi
Sosial Indonesia
bekerjasama
dengan Fakultas
Psikologi UIN
Riau
Di UGM
Yogyakarta
25 Januari
2010
Di Kampus
UIN
31 Maret
2010 di
Hotel
Syahid
Yogyakarta
Pembicara
Peserta dan Penyaji
2010
24-27 Juli
Panitia/
peserta/pembicara
Pembicara
International Confrence of
Indigenous and Cultural
Psychology
UGM Yogyakarta
Peserta
Seminar Implementasi
Pendidikan Anti-Korupsi di
Perguruan Tinggi: Mahasiswa
dan Integritas Bangsa
CSRC, UIN
Jakarta, Tiri, dan
Universitas
Paramadina
Annual Meeting
Penyelenggaraan Pendidikan
Keagamaan
Puslitbang
Pendidikan Agama
dan Keagamaan
Balitbangdiklat
Kementerian
Agama RI
79
Peserta Aktif dari
akademisi
berlatarbelakang
psikologi
2009
Seminar Pemuda yang
bertemakan : Peran Pemuda
di Syahida Dalam Memajukan
Inn
Tangerang Selatan.
KNPI Tangerang Moderator
Selatan
10 Agustus Workshop Kurikulum
2009
Psikologi
Fakultas Psikologi Peserta
UIN Jakarta
2009
Kelompok
Narasumber untuk
Mahacala
materi
psikologi
(Mahasiswa
lingkungan
Pecinta
Alam)
Fakultas Psikologi
UIN Jakarta
Seminar Cinta Lingkungan
Lokasi: Kampus Psikologi
5
Maret Diskusi Sehari: Psikologi Fakultas Psikologi Peserta
2009
Intervensi
Sosial
Untuk Universitas
Pemberdayaan Komunitas
Indonesia
Lokasi : Kampus UI Depok
29 Maret Workshop
Pembimbing Fakultas Psikologi Peserta
2008
Skripsi dan Karya Ilmiah
UIN Jakarta
22 Februari Seminar
2009
Pengembangan
Pesantren
Nasional Puslitbang
Pondok Pendidikan Agama
dan
Keagamaan
Badan Litbang dan
Lokasi: Hotel Horison Bekasi Diklat Depag RI
20
April Diskusi Serial “Paranoia”
2008
Peserta aktif dari
akademisi
yang
berlatarbelakang
psikologi
Lembaga
Peserta
Konsultan
dan
Terapi Psikologi
Kita Jakarta
15 Februari Round Table Discussion Center for Study Peserta
aktif
2007
“Legal Practice of the Islamic for Religion and berlatarbelakang
Court After the Application Culture
psikologi
of KHI: State, Judge and
Ulama”
3-5
Agustus
2006
Workshop “Draft Buku Ajar Uni
Eropa, Peserta
aktif
Pendidikan Antikorupsi di Kemitraan
dan berlatarbelakang
UIN/IAIN Se-Indonesia
CSRC
psikologi
29
September
Diskusi
“Mainstreaming
Serial Pusat Bahasa dan Peserta
aktif
Pendidikan
berlatarbelakang
80
2005
Antikorupsi di Perguruan Budaya
Tinggi Islam Indonesia”
dengan tema “Pendidikan
Tinggi Islam dan Upaya
Antikorupsi”
22
September
2005
Diskusi
Serial Pusat Bahasa dan Peserta
aktif
“Mainstreaming Pendidikan Budaya
berlatarbelakang
Antikorupsi di Perguruan
psikologi
Tinggi Islam Indonesia”
dengan tema “Islam dan
Antikorupsi”
3 Oktober
2005
Workshop
dan
Seminar Fakultas Psikologi Peserta
Nasional
“Psikologi UIN Jakarta
Mayoritas-Minoritas”
24-25
Agustus
2002
Seminar
dan
Lokakarya Fakultas Psikologi Peserta
Nasional
Pengembangan UIN Jakarta
Psikologi Islam
81
psikologi
82
DAFTAR PUSTAKA
Baidlowi, M. (2011, Juni Edisi 351). Di balik jaringan Islam radikal. Mimbal Ulama, hal. 3-7.
Bakar, I. A., & Bamualim, C. S. (2006). Modul Resolusi Konflik Agama dan Etnis di
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta.
Bates, D. S., & Toro, P. A. (1999). Developing measures to asses social support among
homeless and poor people. Journal of Community Psychology, Vol. 27, No. 2, 137156.
Brewer, M. B., & Gaertner, S. L. (2003). Toward reduction of prejudice: Intergroup contact
and social categorization. Dalam R. Brown, & S. L. Gaertner, Handbooks of
Psychology: Intergroup Process (hal. 451-474). Melden : Blackwell Publishing.
Castano, E., Leidner, B., & Slawuta, P. (2008). Social identification processes, group
dynamics and the behaviour of combatants. International Review of Red Cross
Volume 90 Number 870 June, 259-271.
Cowman, S. E., Ferrari, J. R., & Liao-Troth, M. (2004). Mediating effect of social support on
firefighter's sense of community and perception of care. JOURNAL OF
COMMUNITY PSYCHOLOGY, Vol. 32, No. 2, 121-126. DOI: 10.1002/jcop.10089 .
Descamps, Claude, J., & Devos, T. (1998). Regarding the relationship between social identity
and personal identity. Dalam S. Worchel, Social Identity: International Perspektive
(hal. 123-140). London: Sage Publication.
Dovidio, J. F., Gaertner, S. L., & Kawakami, K. (2003). Intergroup contact: the past, present,
and the future. Group Process & Intergroup Relations, 5-20.
83
Elhady, A. (2002). Simbolisasi agama: antara ketaatan dan kekerasan atas nama agama dalam
masyarakat. Harmon, Jurnal Multikultural dan Multireligius, Volume 1, Nomor 3,
Juli-September. Halaman 37-48.
Ellemers, N., Spears, R., & Doosje, B. (2002). Self and Social Identity. Annual Review of
Psychology 53, 161-186.
Fiedler, K., & Schmid, J. (2003). How language contributes to persistence of streotypes as
well as other, more general, intergroup issues. Dalam R. Brown, & S. Gaertner,
Intergroup Process: Handbook of Social Psychology (hal. 261-280). Oxford:
Blackwell Publishing.
Hamm, M. S. (2009). Prison Islam in the age of sacred terror. Brit. J. Criminol, 49, 667-685;
doi:10.1093/bcj/azp035.
Hasan, N., & Abubakar, I. (2011). Islam di ruang publik: politik identitas dan masa depan
demokrasi di Indonesia. Jakarta: Center for Study of Religion and Culture.
Hogg, M. A., & Abrams, D. (1998). Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup
Relations and Group Processes. London: Routledge.
Huddy, L. (2001). From social to political identity: A critical examination of social identity
theory. Political Psychology, 22 No. 1 Maret 2001, 127-156.
Ismail, N. H. (2010). Temanku, Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda.
Jakarta: Penerbit Hikmah.
Jamhari. (2005). Fundamentalism and the implementation of sharia in Indonesia. Dalam C.
Bamualim, A Potrait of Contemporary Indonesian Islam (hal. 67-76). Jakarta : Center
for Languages and Cultures.
84
Levin, S., Henry, P., Prato, F., & Sidanius, J. (2009). Social dominance and social identity in
Lebanon: Implication for support of violence against the west. Dalam J. Victoroff, &
A. W. Kruglanski, Psychology of Terrorism (hal. 253-267). East Sussex: Psychology
Press.
Levin, S., Henry, P., Prato, F., & Sidanius, J. (2009). Social dominance and social identity in
Lebanon: Implications for support of violence against the west. Dalam J. Victoroff, &
A. W. Kruglanski, Psychology of Terrorism: Classic and Contemporary Insights (hal.
253-268). New York: Psychology Press.
Li, Z., Wang, L., Shi, J., & Shi, a. W. (2006). Support for exclusionism as an independent
dimension of social dominance orientation in mainland China. Asian Journal of Social
Psychology 9, 203–209.
Lovaglia, M. J., Youngreen, R., & Robinson, D. T. (2005). Identity maintenance, affect
control, and cognitive performance. Dalam S. R. Thye, & E. J. Lawler, Social
Identification in Groups Advances in Group Processes, Volume 22 (hal. 65-91).
Oxford: Elsevier.
Milla, M. N. (2010). Mengapa memilih jalan teror: Analisa psikologis pelaku teror.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Miller, R. J., & Darlington, Y. (2002). Who supports? The provider of social support to dual
parent families caring for young children. JOURNAL OF COMMUNITY
PSYCHOLOGY, Vol. 30, No. 5, 461–473, 461-473.
Nelson, T. D. (2002). The Psychology of Prejudice. Boston: Allyn & Bacon.
85
Nemoto, T. (1998). Subjective Norms Toward Social Support Among Japanese American
Elderly in New York City: Why Help Does Not Always Help. Journal Of Community
Psychology, Vol. 26, No. 4, 293-316.
Putra, I. E., & Pitaloka, A. (2012). Psikologi Prasangka: Sebab, Dampak, dan Solusi. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia.
Pyszczynski, T., Abdollahi, A., Solomon, S., Greenberg, J., Cohen, F., & Weise, D. (2009).
Mortality salience, martyrdom and military might: The great satan versus the axis of
evil. Dalam J. Victoroff, & A. W. Kruglanski, The Psychology of Terrorism (hal. 281297). New York: Psychology Press.
Rink, N. E. (2005). Identitiy in work groups: The beneficial and detramental consequences of
multiple identities and group norms for collaboration and performance. Dalam S. R.
Thye, & E. J. Lawler, Social Identification in Groups (hal. 1-42). Oxford: Elsevier.
Ruth, D. M. (2010). Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme. Jakarta: Lazuardi
Birru.
Saloom, G. (in press). Infiltrasi radikalisme di masjid: Studi kasus di Bogor. Jakarta: Center
for Study of Religion and Culture.
Searing, D. D. (1986). A Theory of Political Socialization: Institutional Support and
Deradicalization in Britain. British Journal of Political Science, Vol. 16, No. 3. (Jul.,
1986), , pp. 341-376.
Sidanius, J., & Pratto, F. (1999). Social Dominance. New York: Cambridge University Press.
86
Sidanius, J., Henry, P., Pratto, F., & Levin, S. (2009). Arab attribution for the attack on
America: the case of Lebanese subelites. Dalam J. Victoroff, & A. W. Kruglanski,
The Psychology of Terrorism (hal. 269-279). East Sussex: Psychology Press.
Stets, J. E., & Burke, P. J. (2005). New directions in identity control theory. Dalam E. J.
Lawler, & S. R. Thye, Social Identification in Groups Advances in Group Processes,
Volume 22, 43–64 ISSN: 0882-6145/doi:10.1016/S0882-6145(05)22002-7 (hal. 4364). Oxford : Elsevier.
Strauss, J. P., Connerley, M. L., & Ammermann, P. A. (2003). The “Threat Hypothesis,”
Personality and Attitudes Toward Diversity. THE JOURNAL OF APPLIED
BEHAVIORAL SCIENCE, Vol. 39 No. 1, March DOI: 10.1177/0021886303252594,
35-52.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. Dalam S.
Worchel, & W. G. Austin, Psychology of Intergroup Relations (hal. 7-24). Illinois:
Nelson-Hall Inc.
Thye, S. R., & Lawler, E. J. (2005). Social identification in group: Advances in group
process Volume 22. Oxford: Elsevier Ltd.
Victoroff, J., & Kruglanski, A. W. (2009). Psychology of Terrorism. New York: Psychology
Press.
Wijayanto, S. H. (2008). Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8: Konsep dan
Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
87
88
Download