Norma Kelompok - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 2
Norma Kelompok
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
05
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang bagaimana terjadinya
norma, korformitas, psikodinamika
norma dan perubahan sosial.
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
bagaimana terjadinnya norma,
konformitas, psikodinamika norma dan
perubahan sosial.
Norma Kelompok
Dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan aturan agar masyarakat dapat berjalan
secara teratur. Aturan yang berlaku dalam masyarakat dinamakan norma. Norma dapat
tertulis dan resmi atau formal (misalnya norma hukum), dapat tertulis tetapi tidak resmi (kitab
suci) dan dapat tidak tertulis dan tidak resmi (norma adat, norma susila) (Zimbardo dalam
Sarwono, 2001). Norma juga dapat berguna untuk melindungi diri dari ancaman
pelanggaran hak dari orang atau kelompok atau pihak lain, melindungi diri dari kecelakaan,
melindungi diri dari perasaan malu dan sebagainya.
Di Negara yang mengutamakan kebersamaan (kolektivisme) karena banyak hal-hal penting
(perdagangan, perkawinan dan sebagainya), diputuskan melalui perundingan bersama,
ketaatan pada aturan dianggap sebagai ciri kedewasaan dan kematangan pribadi (Markus
dan Kitayama dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, di negara-negara di mana individualism
dianggap lebih penting, taat pada aturan atau menyesuaiakan diri (conform) pada normanorma yang berlaku sering kali dianggap sebagai ciri dari kepribadian yang tidak mempunyai
pendirian, tidak kreatif, tidak mandiri dan sebagainya. Seniman, ilmuwan, dan para penemu
yang kreatif justru adalah orang-orang yang tidak conform dengan norma-norma yang
berlaku. Jadi manakah yang lebih baik? Konform pada norma atau tidak? Jika semua orang
kreatif tanpa batas, akan timbul kekacauan masyarakat seperti yang dicontohkan di atas.
Sebaliknya dalam masyarakat yang kolektif, diperlukan peluang-peluang untuk penonjolan
pribadi-pribadi dan kreativitas.
Sebagai ilmu pengetahuan psikologi sosial tidak memberi penilaian. Jadi, tidak
membicarakan mana yang lebih baik atau yang kurang baik. Tugas psikologi sosial adalah
untnuk menjelaskan berbagai hal objektif yang berkaitan dengan gejala sosial.
Bagaimana terjadinya norma
Norma adalah kesepakatan bersama. Biasanya norma lebih banyak menyangkut baik-buruk
atau indah-jelek daripada benar-salah. Kalaupun menyangkut benar-salah, kebenaran yang
dimaksud adalah kebenaran relative, bukan kebenaran objektif (kendaraan di Indonesia
berjalan di kiri jalan adalah benar, tapi di Amerika dan Belanda dianggap salah). Hal
tersebut merupakan kesepakatan, sifat norma adalah subjektif, tidak selalu terikat pada
kondisi dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan kesepakatan itu sendiri.
Karena sifatnya subjektif, diperlukan penyesuaian diri dari individu kepada norma setiap
kelompok yang akan ditemuinya atau dimana ia sudah menjadi anggota. Untuk
menyesuaikan diri dapat ditempuh melalui tiga cara berikut :
1. Konformitas
Perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang
sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler dalam
Sarwono, 2001).
2. Menurut (compliance)
Konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun
hatinya tidak setuju. Bila perilaku tampil karena ada perintah namanya ketaatan.
‘13
2
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3. Penerimaan (acceptance)
Konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan
sosial. Misalnya, berganti agama sesuai keyakinannya sendiri, belajar bahasa
daerah atau negara dimana ia ditugaskan/tinggal, memenuhi ajakan, teman-teman
untuk membolos.
Beberapa penelitian terkait norma kelompok :
1. Penelitian M. Sherif
Hasil yang diperoleh bahwa kelompok cenderung menyepakati sesuatu dan
cenderung bertahan pada kesepakatan itu, walaupun kesepakatan itu palsu atau
tidak benar sama sekali. Hasil penelitian Sherif dikukuhkan kembali oleh Jacobs &
Campbell yang mereplikasi eksperimen Sherif.
2. Penelitian Solomon Asch
Penelitian ini menyimpulkan bahwa tekanan kelompok sangat besar pengaruhnya
dalam menetapkan penilaian atau pembuatan keputusan individu dalam kelompok.
Di sisi dapat terjadi perubahan dari konformitas menjadi penerimaan.
3. Eksperimen Milgram
Eksperimen Milgram mengenai ketaatan atau kepatuhan sangat terkenal dan
dianggap sebagai salah satu eksperimen yang klasik dalam psikologi sosial. Dari
penelitian tersebut disimpulkan bahwa
- Orang dapat berlaku kejam karena pengaruh situasi
- Orang kebanyakan berpendapat bahwa orang jahat pun dapat berbuat jahat dan
orang baik berbuat baik. Nyatanya orang baik pun dapat berbuat jahat (kejam).
Gejala ini tergolong kesalahan karena kejahatan dianggap seakan-akan adalah
atribusi internal, padahal sesungguhnya gejala itu merupakan atribusi eksternal
(Miller dkk dalam Sarwono, 2001). Kekejaman yang dilakukan seseorang
tersebut menurut Darley (dalam Sarwono, 2001) dikarenakan pelaku tidak
sepenuhnya bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Tanggung jawab pada
atasannya.
Hal-hal yang menyebabkan orang menaati perintah yang melewati batas adalah sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.
Jarak emosi yang jauh dengan korban
Kedekatan dan sahnya kekuasaan yang memberi perintah
Kewibawaan institusi
Reintepretasi kognitif, perubahan struktur atau kategori kognisi sehingga ada
pengalihan tanggung jawab, bukanya karena pengurangan peri kemanusiaan atau
hilangnya kepribadian seseorang karena dilebur pada kewibawaan institusi atau
otoritas yang lebih besar.
5. Pelatihan
‘13
3
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Konformitas
Tidak semua perilaku yang sesuai dengan norma kelompok terjadi karena ketaatan seperi
dalam eksperimen Milgram. Sebagaian terjadi karena orang memang sekedar ingin
berperilaku sama dengan orang lain. Perilaku sama dengan orang lain yang didorong oleh
keinginan sendiri ini dinamakan konformitas.
Bilamana orang conform?
1. Besarnya kelompok
Semakin besar kelompoknya, semakin besar pula pengaruhnya, tetapi ada titik
optimal (lebih dari lima orang pengaruhnya sama saja). Samping itu penelitian lain
membuktikan bahwa kelompok yang kecil lebih memungkinkan konformitas daripada
kelompok besar (Galam & Moscovici dalam Sarwono, 2001)
2. Suara bulat
Dalam hal harus dicapai suatu bulat, satu orang atau minoritas yang suaranya paling
berbeda tidak dapat bertahan lama. Ia atau mereka merasa tidak enak. Ia atau
mereka merasa tidak enak dan tertekan hingga akhirnya ia atau mereka menyerah
kepada pendapat kelompok mayoritas.
3. Keterpaduan
Keterpaduan atau kohesi (cohesiveness) adalah perasaan kekitaan antaranggota
kelompok. Semakin kuat rasa keterpaduan atau kekitaan tersebut, semakin besar
pengaruhnya pada perilaku individu. Ajaran konfusius di Cina mengajarkan
kepatuhan kepada anak melalui pengasuhan anak yang membentuk moralitas
otoritariarisme sehingga rasa kekitaan kepada anak terhadap orang tuanya tetap
besar, walaupun orang tua otoriter (Ho dalam Sarwono, 2001).
4. Status
Drisken & Mullen (dalam Sarwono, 2001) meneliti pada pejalan kaki. Ternyata 25%
dari pejalan kaki menyebrang jalan tidak pada tempatnya. Akan tetapi, kalau ada
contoh yang menyebrang sesuai dengan peraturan, jumlah pelanggar menurun
sampai 17%. Sementara kalau contoh itu menyebrang tidak pada tempatnya, jumlah
pelanggar naik menjadi 44%. Yang paling berpengaruh adalah jika contoh yang tidak
melanggar peraturan itu berpakaian rapi. Sebaliknya, jika pakaian contoh itu
sembarangan atau jika contoh yang berpakaian rapi itu melanggar, pengaruhnya
tidak besar. Milgram (dalam Sarwono, 2001) juga menuliskan eksperimennya,
semakin rendah status yang menjadi “contoh” semakin patuh, sedangkan semakin
tinggi statusnya semakin cepat berhenti bahkan mengajukan protes. Penelitian di
Amerika Serikat, Rusia dan Jepang menunjukkan bahwa atasan diharapkan lebih
otonom, lebih mandiri. Atasan tidak diharapkan untuk conform atau patuh karena
perilaku conform atau kepatuhan kepada seorang atasan justru tidak sesuai dengan
norma (Hamilton & Sanders dalam Sarwono, 2001).
5. Tanggapan umum
Perilaku yang terbuka, yang dapat didengar atau dilihat umum lebih mendorong
konformitas daripada perilaku, yang hanya dapat didengar atau diketahui oleh orang
tertentu saja (Myers dalam Sarwono, 2001).
6. Komitmen umum
Deutch & Gerald (dalam Sarwono, 2001) mengungkapkan bahwa orang yang tidak
mempunyai komitmen apa-apa kepada masyarakat atau orang lain, lebih mudah
conform daripada yang sudah pernah mengucapkan suatu pendapat. Sekali sudah
‘13
4
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bicara, sulit untuk mengubahnya lagi karena orang pada umumnya tidak suka tampil
tidak konsisten, takut dianggap tidak percaya (Allgeier dalam Sarwono, 2001).
Mengapa Konform
Menurut Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono, 2001) ada dua penyebab mengapa orang
berperilaku conform
1. Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapa orang
lain sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain. Contohnya adalah pejabat yang
ingin naik pangkat atau mencari status yang menyetujui saja segela sesuatu yang
dikatakan atasannya (Hollander dalam Sarwono, 2001)
2. Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi
mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak
dapat dielakkan lagi (Kotia dalam Sarwono, 2001). Misalnya, seorang pengemudi
mendengar dari radio mobdil bahwa jalan yang kebetulan akan dilewatinya sedang
macet total karena ada kemacetan. Walaupun pengemudi itu belum tahu sendiri
mengenai keadaan jalan itu, karena ia percaya pada kata-kata penyiar radio, ia pun
membelokkan mobilnya untuk mengikuti jalan alternative yang dianjutkan oleh
penyiar radio itu.
Siapa yang conform?
Penelitian membuktikan bahwa tidak semua orang mempunyai tingkat konformitas yang
sama. Sebagian orang lebih mudah conform daripada orang lain.
1. Di Amerika Serikat, wanita lebih mudah conform daripada pria. Kemungkinan karena
di negara berkembang seperti Indonesia kecenderungan ini lebih nyata. Ada dua
kemungkinan penyebabnya, yaitu (1) kepribadian wanita lebih flexible (luwes, lentur)
dan (2) status wanita lebih terbatas sehingga mereka tidak mempunyai banyak
pilihan, kecuali menyesuaikan diri pada situasi.
2. Sebagian peneliti berpendapat bahwa tipe kepribadian ada pengaruhnya pada
perilaku conform (Snyder & Ickes dalam Sarwono, 2001), tetapi sebagian yang lain
tidak percaya bahwa pendapat itu, sedangkan yang sebagian lagi berpendapat
bahwa walaupun tipe kepribadian tidak dapat untuk meramalkan timbulnya satu
perilaku tertentu pada saat dan tempat tertentu, namum dalam rangkaian peristiwa
dalam waktu yang panjang tipe kepribadian menentukan bagaimana pola reaksi atau
perilaku seseorang dalam menghadapi jenis-jenis situasi. Contoh, situasi yang tidak
jelas, tidak berstruktur (misalnya, dalam ruang tunggu dokter hanya ada dua orang
tamu). Oleh karena itu, orang dengan kepribadian yang lebih dominan akan lebih
mempengaruhi hubungan atau komunikasi antarkedua tamu tersebut (Iches dalam
Sarwono, 2001).
3. Konformitas dan kepatuhan adalah gejala yang universal, tetapi bervariasi
antarbudaya (Bond dalam Sarwono, 2001). Milgram mereplikasi eksperimennya
dengan subjek orang-orang Norwegia dan Prancis. Ternyata orang Norwegia lebih
conform dan patuh daripada orang Prancis.
‘13
5
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di Indonesia mungkin ibu-ibu bimbang dalam mendidik anak mereka untuk menjadi
mandiri atau menurut. Menurut Kamii (dalam Sarwono, 2001) yang penting adalah
bahwa tujuan mendidik anak bukan sekedar memberi hak untuk memutuskan,
melainkan memberi keterampilan untuk membuat keputusan dari heteronomi
(tergantung banyak pertimbangan orang lain) ke otonomi.
Menolak Tekanan Sosial
Ada dua factor yang menyebabkan individu tidak mau conform / patuh atau menolak
tekanan sosial.
1. Jika ia merasa kebebasan atau hak-hak pribadinya terancam. Dalam keadaan ini, ia
akan melakukan perlawanan (reactance). Contohnya adalah kisah Siti Nurbaya yang
memberontak pada seluruh keluarga dan masyarakatnya ketika ia diharuskan
menikah dengan lintah darat Datuk Maringgi, sementara ia sudah mempunyai
kekasih, Syamsulbahri. Dalam keadaan reactance ini, semakin besar tekanan sosial,
semakin kuat perlawannya. Siti Nurbaya semakin melawan ketika ibunya semakin
memaksanya untuk menikah dengan Datuk Maringgi. Nasihat-nasihat dan perintahperintah ibunya tidak mempan pada diri Siti Nurbaya bahkan memberi efek balik
pada ibu itu sendiri sehingga sang ibu semakin frustasi dan marah. Dampak negative
pada sang ibu itu dinaman efek boomerang (Brehm & Brehm dalam Sarwono, 2002).
Dalam kehidupan sehari-hari gejala ini sering kita dapati pada remaja yang semakin
lama semakin nakal karena ibunya semakin cerewet menasehatinya. Dalam
kelompok, efek boomerang ini tampak juga pada kaum sekuler di Israel yang merasa
didesak terus oleh kaum religious, bukan secara fisik melainkan melalui kekuatan
symbol-simbol (Wald & Shye dalam Sarwono, 2001).
2. Setiap orang ingin tampil baik. Misalnya, dalam pesta perkawinan, busana pengantin
harus beda dan lebih bagus dari tamu-tamu lainnya. Ibu-ibu yang dating ke pesta
perkawinan itu tidak ingin busanya ada yang menyamai (kalau ada yang menyamai,
ibu itu mengajak suaminya cepat-cepat pulang) dan kalau ada undangan perkawinan
dua hari berturut-turut, ibu-ibu tidak mau memakai busana yang samadua kali
berturut-turut (kalau dia tidak mempunyai baju lagi, lebih baik ia tidak datang di
undangan yang kedua).
Psikodinamika Norma
Norma berfungsi untuk mengarahkan perilaku. Akan tetapi mengapa masih juga ada yang
melanggar norma? Dalam hal ini kenapa masih terjadi penyimpangan perilaku seksual,
korupsi, kolusi, perampokan, terosisme dan pemerkosaan padahal sudah banyak norma
yang mengatur perilaku-perilaku tersebut.
Berikut ini dijelaskan bagaimana mekanisme kerja norma melalui pendekatan
psikodinamika. Psikodinamika adalah proses yang terjadi dalam diri individu sebagai bagian
dari proses interaksi dengan lingkungannya. Pendekatan psikodinamika ini berbeda dengan
pendekatan lingkungan (seperti pada eksperimen-eksperimen Sherif, Asch dan Milgram)
karena pendekatan lingkungan lebih menekankan pada apa yang terjadi di lingkungan dan
pengaruhnya terhadap perilaku individu.
‘13
6
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Norma dalam Pandangan Psikoanalisis
Sigmund Freud
Freud tokoh psikoanalisis klasik berpendapat bahwa melalui pendidikan dari orang tua
selam masa balita, norma diinternalisasikan sebagai nilai-nilai dalam superego. Fungsi
super-ego adalah untuk mengendalikan dorongan-dorongan id, sedemikian rupa sehingga ia
tidak muncul sebagai perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Fungsi Ego
adalah mempertimbangkan pilihan atau kombinasi pilihan yang terbaik antara tuntutan dari
id, pembatasan dari superego dan kenyataan di lingkungan. Berdasarkan keputusan itu, ego
mengarahkan perilakunya. Kalau perilaku itu sesuai atau selaras dengan kondisi lingkungan
(masyarakat) untuk jangka waktu yang panjang, orang yang bersangkutan tergolong mampu
menyesuaikan diri (well adjusted) dan mempunyai kesehatan mental yang baik. Jika tidak, ia
tergolong tidak mampu menyesuaikan diri (mal adjusted) dan dapat mengalami gangguan
mental, terlibat criminal atau berkepribadian psikopat.
Misalnya, Id menyimpan naluri seks (libido) dan agresi. Pada individu yang mampu
menyesuaikan diri, naluri seks disalurkan melalui pernikahan dan hubungan seks dengan
suami/istri dan mempunyai anak-anak dan naluri kemarahan disalurkan dengan memarahi
anak-anaknya atau pegawai-pegawainya di kantor dengan cara-cara yang benar. Akan
tetapi, kalau orang tersebut tidak mampu menyesuaikan diri, naluri seksnya disalurkan
melalui perkosaan dan naluri agresinya disalurkan dengan cara merampok atau timbul
gejala-gejala psikoneurosis pada diri individu itu. Cara mengatasi maladjusted menurut
Freud adalah melalui psikoterapi yang dapat juga melibatkan lingkungan terdekat dari
individu yang bersangkutan (orang tua, teman dekat dan sebagainya).\
Kohlberg
Menurut Kohlberg norma menentukan mana yang baik (boleh) dan yang buruk (dilarang).
Penentuan baik-buruk ini tergantung pada perkembangan kongitif seseorang (1) anak kecil
yang perkembangan kognitifnya masih pada taraf awal belum dapat menentukan sendiri
mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, dia masih mengikuti orang lain saja (tahap taat
dan takut pada hukuman) (2) Lama-kelamaan ia dapat membedakan sendri mana yang baik
dan mana yang tidak. Akan tetapi, ia masih membedakannya dalam golongan “hitam-putih” :
pencuri selamanya jahat, peri yang cantik selamnya baik (tahap anakbaik/good boy). (3)
pada tahap terakhir (tahap orientasi moral), individu sudah dapat memahami bahwa baikburuk tidak seperti hita-putih; ada pencuri yang baik hati (Robin Hood) dan ada putri cantik
yang jahat (misalnya bawang merah). Ia pun mampu memahami bahwa suatu perilaku yang
biasanya digolongkan sebagai tidak baik pada suatu saat dan tempat lain dapat dianggap
tidak melanggar norma. Caplan (dalam Sarwono, 2001) menyatakan bahwa jika orang
sudah mencapai tahap orientasi moral, seks pranikah akan dipahaminya sehubungan
dengan berbagai factor lain (bukan hanya dengan satu tolak ukur saja).
Yang menjadi persoalan adalah banyak individu yang terhenti perkembangan kognitifnya
pada tingkat moral baik-buruk saja. Mereka inilah sumber prasangka, sikap negative,
rasialisme dan konflik antar kelompok.
‘13
7
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori Kognitif
Spika, Beit & Malony dalam Sarwono (2001) mengemukakan norma sebagai skema dalam
struktur kognisi seseorang, yaitu berhubungan dengan harga diri orang tersebut (tinggirendah posisi self dalam skema) dan keperdulian sosialnya terhadap orang lain (jauh
dekatnya orang lain dalam skema).
Tiap kategori dalam skema diwakili oleh symbol-simbol (lambang, lagu, busana, bahasa,
istilah dan sebagainya). Kalau orang ingin dimasukkan dalam kategori tertentu, ia harus
berupaya untuk berperilaku sesuai dengan symbol-simbol yang sesuai dengan kategori itu
(kalau ingin dianggap remaja harus berbusana dengan warna ceria, kalau mau akrab
dengan ibu-ibu arisan harus mau bergosip, di lingkungan bisnis harus main golf dan
sebagainya). Kalau tidak, orang itu menganggap dirinya atau dianggap di luar kelompok
(outgroup), kurang baik, berstatus rendah dan sebagainya.
Remaja sering terlibat perilaku yang melanggar norma masyarakat (kenakalan, kekerasan,
penyalahgunaan obat, perilaku seks, busana yang aneh-aneh dan sebagainya) karena
justru perilaku yang melanggar itu sesuai norma kelompok mereka (Riester dalam Sarwono,
2001). Dalam skema kognitif mereka, mereka harus melakukan hal-hal tersebut agar masuk
dalam kategori kelompok mereka. Hal ini analog dengan anggapan bahwa orang Islam
harus dapat mengaji (Novacek, Raskin & Hogan dalam Sarwono, 2001).
Pengaruh agama dalam skema kognitif ditemukan juga dalam sikap terhadap seks pranikah
dan kaum homoseks di AS. Jika agama identifikasinya dirinya dengan kelompok itu, individu
itu akan mengambil sikap negative terhadap hubungan seks pranikah dan homoseksualitas
karena itulah yang diharapkan dari agama. Demikian pula komitmen terhadap agama dapat
mengurangi penggunaan alkohol, walaupun untuk itu individu harus mengingkari status
sosialnya (di AS alkohol merupakan salah satu symbol status sosial). Jadi, agama dapat
lebih kuat pengaruhnya daripada kelas sosial jika agama lebih menjadi symbol identitas diri
dalam skema kognitif individu daripada status sosial ekonominya (Clarke, Beeghly &
Cochran dalam Sarwono, 2001).
Rasa malu dan sala.
Ada dua macam reaksi terhadap pelanggaran norma, yaitu (1) rasa malu dan (2) rasa
bersalah. Ciri-ciri dari orang yang malu kalau melanggar norma adalah lebih cepat marah,
cepat tersinggung, curiga, cenderung menyalahkan orang lain dalam kejadian yang tidak
dikehendaki, menyatakan rasa benci atau tidak suka secara tidak langsung (bukan secara
langsung dan tatap muka) terhadap orang lain (Tangney dalam Sarwono, 2001). Selain itu,
orang dengan reaksi malu juga bercirikan lebih memperhatikan diri sendiri daripada orang
lain, tidak berdaya, dan rendah diri (Gilbert, Pehl & Allan dalam Sarwono, 2001). Ia juga
menghindari otoritas atau atasan. Kalau terjadi sesuatu tidak cepat melapor ke atasan.
Mereka adalah penghindar. Ciri lain lagi adalah kurang berempati terhadap orang lain, tetapi
sangat berorientasi pada diri sendiri.
Di pihak lain, ciri-ciri orang dengan reaksi rasa bersalah jika melanggar norma adalah
menyalahkan diri sendiri, marah pada diri sendiri dan benci pada diri sendiri (Tangney dalam
Sarwono, 2001). Selain itu, cepat bereaksi dan melapor kepada pihak yang bertanggung
‘13
8
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
jawab jika terjadi sesuatu (Barret, Zahn & Cole dalam Sarwono, 2001). Ia pun lebih
berempati kepada orang lain dan kurang mementingkan diri sendiri (Tangley dalam
Sarwono, 2001).
Perwujudan dari reaksi malu dan bersalah dalam kelompok adalah budaya malu dan budaya
salah. Budaya malu lebih banyak terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan kolektif,
sedangkan budaya salah lebih banyak terdapat pada masyarkat dengan kebudayaan
individual.
Masyarakat dengan budaya kolektif menekankan tanggung jawab pada kelompok, bukan
pada perorangan. Oleh karena itu, kalau terjadi masalah, kelompoklah (orang lain) yang
bersalah, bukan saya. Jadi, kecenderungan adalah menyalahkan pihak luar. Demikian pula
kalau mengambil keuntungan untuk diri sendiri, ia tidak merasa bersalah, apalagi jika semua
orang melakukannya. Dengan demikian, individu dari masyarakat kolektif dengan budaya
malu, tenang saja menyerobot antrean, menyontek atau kolusi karena perbuatan itu
(walaupun salah) tidak memalukannya. Sebaliknya, untuk duduk di baris terdepan dalam
upacara, tidak ada yang mau (walaupun perbuatan itu tidak salah) karena malu duduk di
depan (nanti disangka pejabat). Demikian pula orang malu kalau ada tamu, dan rumah
sedang berantakan, akibatnya anak-anak dimarahinya.
Sebaliknya masyarkaat dengan budaya individual menekankan pada tanggung jawab
perorangan. Kalau ada masalah, kesalahan terletak pada individu itu sendiri. Dengan
demikian individu dalam masyarakat individual lebih intrapunitif dan tetap merasa bersalah
walaupun tidak ada yang melibat dan walaupun orang lain melakukan kesalahan yang
sama. Individu lebih dapat berempati pada orang lain karena ia mampu merasakan
bagaimana kalau dirinya sendiri yang melakuan kesalahan. Contoh dari perilaku dalam
budaya individual adalah tetap antre walaupun orang lain menyerobot (merasa bersalah
kalau ikut menyerobot) berani duduk di depan walaupun orang-orang lain duduk di belakang
(karena merasa tidak ada salahnya duduk dibaris terdepan), kalau ada tamu padahal rumah
berantakan, ia meminta maaf kepada tamu bukan memarahi anaknya.
Perubahan Sosial
Norma diperlukan untuk dijadikan pedoman perilaku. Akan tetapi, orang tidak dapat terus
menerus berpedoman pada suatu norma saja. Pertama, individu itu dinamis (cenderung
berkembang dan berubah), antara lain karena bertambahnya usia, semakin tinggi
pendidikannya, bertambah pengalaman, dan adanya peristiwa-peristiwa traumatic atau yang
memuaskan. Kedua, lingkungan pun berubah (dengan ditemukannya ilmu pengetahuan dan
teknologi serta semakin canggihnya sarana komunikasi dan lain-lainnya). Misalya, dulu
belum ada keluarga berencana, telepon genggam dan faximili, pesawat terbang dan wanita
yang bersekolah yang sekarang semuanya sudah menjadi bagian dari kehidupan seharihari.
Perubahan norma-norma itu, yang semula berawal dari perubahan individu, pada gilirannya
juga berpengaruh kembali pada perubahan individu itu sendiri. Jadi perubahan sosial pada
hakikatnya adalah kombinasi antara perubahan individu dan perubahan norma. Pendapat
‘13
9
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan temuan para pakar mengenai hubungan antara perubahan individu dan perubahan
sosial antara lain sebagai berikut :
1. Smelser & Smelser (dalam Sarwono, 2001), perubahan sosial terjadi di berbagai
tingkat mulai dari tingkat pribadi, keluarga, lingkungan kecil sampai bangsa dan
dunia. Tiap tahap ditandai oleh interaksi antara perubahan pribadi dan perubahan
lingkungan. Harus dipelajari keduanya dan interaksi antarkeduanya untuk dapat
memperkenalkan perubahan sosial.
2. Ibu-ibu Muslim di Inggris, walaupun mereka sendiri tidak sempat mengecap
pendidikan tinggi, mengusahakan agar anak-anak perempuan mereka mendapat
pendidikan yang lebih tinggi dari diri mereka sendiri (Osler & Hussain dalam
Sarwono, 2001)
3. Di Ghana, Islam merupakan jembatan dari pengobatan tradisional ke pengobatan
modern karena masyarakat mengidentifikasikan diri pada Islam dan Islam
memperkenalkan pengobatan modern (Kirby dalam Sarwono, 2001)
4. Keluarga-keluarga Muslim di Malaysia berada dalam konflik antara nilai-nilai Islam,
Cina, India, dan Eropa di lingkungan mereka sendiri (Kling dalam Sarwono, 2001)
5. Dalam keadaan ragu atau kehilangan pedoman atau identitas diri diperlukan
discounting, yiatu pengabaian ciri-ciri kelompok walaupun masih mempertahankan
identias kelompoknya melalui hal-hal berikut :
a. Paksaan : misalnya harus tetap Islam walaupun ikut KB
b. Pengecualian : dalam keadaan darurat boleh melakukan sesuatu yang lazimnya
dilarang, misalnya boleh ber-KB karena keadaan darurat walaupun Islam tetap
melarangnya
c. Pengingkaran (denial) : mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur an dan hadis untuk
membuktikan bahwa Islam pro-KB, tidak anti-KB
d. Penyembunyian (concealment) : menyembunyikan hal-hal yang mendukung
bahwa Islam anti-KB
6. Dalam proses perubahan ini diperlukan pemimpin yang kuat untuk mempertahankan
integrasi kelompok selama masa peralihan (Pastello dalam Sarwono, 2001). Di pihak
lain, pemimpin yang kuat tidak berarti pemimpin yang terlalu ketat, kaku, dan otoriter.
Kendali yang terlalu kuat dari pemimpin dalam menghadapi perubahan sosial dapat
menyebabkan anggota kelompok berontak seperti yang terjadi pada anak-anak
remaja yang memberontak pada orang tuanya yang terlalu keras (Franklin & Streeter
dalam Sarwono, 2001).
7. Prinsip untuk menjaga keutuhan dan stabilitas kelompok untuk jangka panjang dalam
menghadapi perubahan sosial dan perubahan norma-norma yang terlalu cepat
adalah harus selalu terbuka untuk negosiasi dengan anggota-anggota kelompok.
Pendekatan yang terlalu menekankan pada negosiasi dan tradisional (upacara,
ritual, kebiasaan, kenang-kenangan dan lain-lain) harus diimbangi dengan
pemberian kesempatan-kesempatan pada setiap individu untuk memilih
alternativenya sendiri (Settes dalam Sarwono, 2001).
‘13
10
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W. (2001). Psikologi Sosial : Kelompok dan Terapan. Jakarta: Balai Pustaka.
‘13
11
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download