BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Menurut Mappiare (1982) masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita, sedangkan bagi pria dari umur 13 tahun sampai dengan 22 tahun.. Pada masa-masa krusial inilah fungsi dan peran orangtua sangat dibutuhkan untuk membantu mereka dalam menemukan jati diri mereka (dalam Ali & Asrori,2005). Menurut Piaget (dalam Dariyo, 2004) walaupun remaja telah mencapai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima tersebut secara benar. Dengan demikian peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks sangat dibutuhkan bagi para remaja. Remaja kebanyakan memperoleh informasi mengenai seks dari teman, majalah, film, TV, orangtua. Hal ini dikarenakan teman lebih terbuka dalam mendiskusikan masalah-masalah yang berkaitan dengan seks. Hasil penelitian David dan Harris (dalam Setyorini, 2010), menyatakan bahwa remaja usia 11-18 tahun lebih banyak memperoleh informasi mengenai seks dari teman sekolah, buku, majalah dan orangtua. 1 Remaja mendapatkan infomasi mengenai seks terutama dari teman, orangtua, pendidikan seks disekolah, dan media (Kaiser Family et al.,2003 dalam Papalia, dkk, 2009). Sayangnya, banyak remaja yang mendapatkan sebagian besar pendidikan seks mereka dari media yang menggambarkan pandangan yang salah tentang aktivitas seksual, yang menghubungkan dengan kesenangan, kegembiraan, kompetisi, bahaya atau kekerasan, dan jarang menunjukkan resiko dari seks tanpa pelindung (Papalia, dkk, 2009). Dewasa ini, kehidupan seks bebas telah merebak ke kalangan kehidupan remaja dan anak. Hal ini disampaikan oleh Mestika (1996) yang merangkum hasil penelitian para pengamat masalah sosial remaja di beberapa kota besar. Hasil penelitian tersebut antara lain: Sarwono (1970) meneliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1% pernah melakukan hubungan seks. Beberapa tahun kemudian, Eko (1983) meneliti 461 remaja, dan dari penelitian ini diperoleh data bahwa 8,2% diantaranya pernah melakukan hubungan seks dan 10% di antaranya menganggap bahwa hubungan seks sebelum nikah adalah wajar (http://dokterkecil.wordpress.com/2011/05/30/pendidikan-seks-sex-educationsejak-dini%E2%80%A6-kenapa-tidak/). Dengan banyak informasi yang dapat diakses secara mudah oleh para remaja, dikhawatirkan hal ini dapat berpengaruh terhadap pandangan remaja mengenai pendidikan seks. Keluarga dan sekolah merupakan tempat bagi para remaja untuk mendapatkan ilmu mengenai pendidikan seks. Hal ini dikarenakan 2 pada dasarnya remaja selalu meniru atau mengambil contoh perilaku dari para orangtua mereka dan orang dewasa yang ada disekitar lingkungan mereka. (http://midwife06.wordpress.com/2011/03/02/pengertian-remaja-dan-pubertas/). Pendidikan seks adalah satu-satunya cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan (Sarwono, 2005). Pendidikan seks bagi anak remaja akan menjadikannya mengerti benar hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, tubuhnya, fungsi dari bagian-bagian tubuhnya, serta bagaimana menjaga diri dari hal-hal yang tidak diperkenankan dan paham segala macam konsekuensikonsekuensi yang harus ditanggungnya (Madani, 2005). Pendidikan seks sering kali memiliki konotasi buruk yang dimana banyak orang masih menganggap bahwa pendidikan seks adalah memberi pengetahuan mengenai hubungan seksual kepada anak yang belum saatnya untuk mengetahuinya. Pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata sehingga pemberian informasi tentang seks harus diberikan secara kontekstual yaitu dalam kaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan, sehingga ruang lingkupnya luas dan tidak hanya terbatas pada perilaku hubungan seks semata, tetapi juga menyangkut peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah dan ibu dalam keluarga (Sarwono, 2005). Pendidikan seks pada masa pembentukan anak sangat penting dilakukan. Pendidikan ini perlu untuk menghindari terjadinya eksperimen tersembunyi yang dapat mengakibatkan rasa bersalah, malu, takut, atau kesulitan lainnya pada masa 3 dewasa nanti. Sikap orangtua yang malu memberikan pendidikan seks akan membuat anak takut bertanya (Marisa dalam Setyorini, 2010). Untuk itu, peran sekolah, orangtua, media massa maupun pemerintah adalah memikirkan dan membuat program pendidikan seksual untuk remaja (Moglia dan Knowles, 1997 dalam, Dariyo, 2004). Para orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar untuk memberikan pendidikan seksual pada anak-anak mereka. Tetapi bagi sebagian orangtua, memilih untuk tetap diam dan beranggapan bahwa anak-anak mereka akan memperoleh informasi yang mereka butuhkan lewat sekolah ataupun media. Serta sebagian orangtua yakin bahwa membicarakan masalah seks dengan anakanaknya akan menimbulkan rasa keingintahuan lebih yang mendorong mereka untuk melakukan hubungan seks (http://www.duniapsikologi.com/fungsi-danperan-orang-tua/). Orangtua harus dapat mendidik anaknya agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang dan pencaharianya, disertai pula pengertian kedudukan ekonomi keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah memungkinkan, (dalam Dahlan, 2008). Peran orangtua dan keluargalah yang pertama kali memberikan pendidikan kepada mereka. Dengan begitu orangtua juga harus dapat menjelaskan mengenai pendidikan seks kepada mereka dengan secara terbuka. Untuk menjelaskan pendidikan seks bagi remaja sebaik mengangkat masalah mengenai gambaran biologi mengenai seks dan reproduksi, masalah hubungan, seksualitas, cara melindungi diri serta mengenai ancaman penyakit seksual menular. 4 Perempuan merupakan permata kehidupan. Dalam setiap lekuk hidupnya, Tuhan menganugerahkan permata yang indah dan menawan. Nabi Muhammad menilai perempuan sebagai tiang (kehidupan) negara. Perempuan memang sangat indah untuk dipahami, bahkan sudah seharusnya untuk memahami hak-hak perempuan dalam kehidupan. Karena memahami hak-hak perempuan sama dengan memahami hak dalam kehidupan. Perempuan harus selalu dikontrol, seiring dengan tetesan pertama darah haidnya, setiap gadis muslim menjadi simbol kesucian kehormatan keluarga dan masyarakatnya (Nurhayati, 2012). Bagi anak remaja perempuan menstruasi pertama atau menarche adalah tanda dimulainya perempuan menuju gerbang kedewasaan. Selain menstruasi, anak perempuan juga mengalami perubahan bentuk tubuh, suara serta tumbuhnya rambut kemaluan pada vagina dan tumbuhnya bulu-bulu halus dibawah lengan atau ketiak (Dariyo, 2004). Menurut Sarwono (2005), secara psikologis berdasarkan pendapat para ahli bahwa ada perbedaan perilaku seksual antara remaja pria dan remaja wanita, yaitu, laki-laki lebih cenderung daripada wanita untuk menyatakan bahwa mereka sudah berhubungan seks dan sudah aktif berperilaku seksual (Fieldman, Turner&Araujo, 1999 : dalam Sarwono, 2005). Remaja putri menghubungkan seks dengan cinta (Michel dkk, 1994). Alasan mereka untuk berhubungan seks adalah cinta, sementara itu, pada remaja pria kecenderungan ini jauh lebih kecil (Cassell, dalam Sarwono, 2005). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu adalah terletak kepada subjek penelitian yang ingin diteliti, yaitu subjek penelitian yang 5 digunakan adalah anak perempuan usia remaja awal serta metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, dan berdasarkan status sosial ekonomi yang berbeda-beda dari setiap orangtua. Penelitian ini juga terinspirasi dari pengalaman pribadi peneliti sendiri pada saat berada di usia remaja awal, dimana orangtua peneliti tidak berperan dalam memberikan pendidikan seks kepada peneliti. Alasan lain mengapa penulis memilih anak perempuan usia remaja awal untuk diteliti adalah berdasarkan pengalaman pribadi yang peneliti rasakan sendiri serta berdasarkan fenomena yang terjadi di lingkungan disekitar peneliti. Peneliti kurang mendapatkan pendidikan seks dari kedua orangtua peneliti dikarenakan menurut kedua orangtua peneliti, pendidikan seks merupakan hal yang tabu dan tidak pantas untuk dibicarakan atau dibahas secara mendalam. Selain pengalaman pribadi tersebut peneliti juga banyak menemukan di lingkungan tempat peneliti tinggal, banyak anak perempuan usia remaja awal berpacaran ditempat-tempat yang gelap dan di dalam rumah kosong bahkan sampai larut malam. Selain dua alasan diatas, peneliti menemukan banyakya kampanye pemerintah untuk menanggulangi bahaya seks adalah dengan menggunakan kondom. Bahkan, saat ini negara kita sedang gencar-gencarnya menayangkan iklan tersebut. Hal ini membuka peluang bagi anak remaja untuk mencoba melakukan hubungan seks. Remaja awal adalah masa transisi dan pengalihan dari anak-anak menuju dewasa yang dimana rasa ingin tahu dan ingin mencoba mereka masih sangat besar. Menurut Dacey & Kenny (1997), remaja awal merupakan suatu periode yang sangat penting untuk mengembangkan sikap seksual dan memperoleh informasi-informasi mengenai seks. Selain itu, masa transisi dari sekolah dasar 6 (SD) menuju ke sekolah menegah pertama (SMP) merupakan masa yang membuat stres pada banyak anak remaja (dalam Aini, 2001). Selain itu juga terjadi perubahan pada tubuhnya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan itu dan mereka juga mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, serta cepat tertarik terhadap lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Selain alasan-alasan tersebut peneliti menemukan bahwa remaja perempuan dan remaja laki-laki memiliki perbedaan perilaku seksual, dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja perempuan menghubungkan seks dengan cinta (Michel dalam Sarwono, 2005) dan mereka memakai itu sebagai alasan untuk berhubungan seks, sementara pada pria kecenderungan ini jauh lebih kecil. Selain itu remaja perempuan sering dipaksa untuk melakukan hubungan seks, karena pada dasarnya perempuan tidak dapat menolak paksaan dari mitranya, remaja pria untuk melakukan hubungan seks sehingga remaja perempuan dengan mudah akan mengikuti keinginan mitranya tersebut. Selain alasan diatas ada alasan lain yaitu dengan semakin canggihnya dan mudahnya informasi seks diakses oleh para remaja dikhawatirkan hal ini akan berpengaruh terhadap pandangan remaja mengenai pendidikan seks. Penting bagi orangtua untuk mengambil resiko dan mulai berbicara mengenai seks kepada anak remaja karena penggambaran dan pengaruh seksual ada dimana-mana baik yang terangterangan maupun yang tersembunyi, yang dapat membombardir otak anak remaja, mata dan telinga anak remaja setiap harinya (chalke, 2007). 7 Peran orangtua sangat berpengaruh dalam memberikan pendidikan seks pada anak remaja. Maka penulis meneliti : “Bagaimana peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak perempuan usia remaja awal“. 1.2. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “ Bagaimana gambaran peran orangtua dalam memberikan informasi kepada anak remaja perempuannya mengenai pendidikan seks “ 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran bagaimana peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak perempuan usia remaja awal. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini kita sebagai orangtua tahu bahwa peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak perempuan usia remaja awal penting untuk diberikan pendidikan seks yang tepat dan bermanfaat agar mereka dapat bertanggung jawab terhadap diri mereka sendiri. Manfaat lainnya, antara lain : 1.4.1. Manfaat Teoritis ( keilmuan ) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi psikologi pendidikan mengenai peran orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak remaja perempuannya dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada. 8 1.4.2. Manfaat Praktis ( guna laksana ) Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk membantu para orangtua dalam memberikan informasi mengenai betapa pentingnya pendidikan seks, khususnya dalam membimbing dan memberikan penjelasan mengenai pendidikan seks kepada anak remaja perempuannya, karena anak perempuan usia remaja awal lebih rentan terhdap godaan dan bujukan untuk melakukan hubungan seksual. 1.5. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan, menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan. BAB II : Kajian pustaka, yang akan membahas mengenai konsep yang menjadi dasar teoritis dari penelitian ini. BAB III : Metode penelitian, menguraikan tentang metode dan prosedur penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, subjek penelitian, karakteristik subjek, analisis data, keabsahan data, dan alat penelitian. BAB IV : Hasil dan analisis data, merupakan hasil analisa data yang berisikan hasil pengolahan data penelitian dan interpretasinya dihubungkan dengan teori. BAB V : Kesimpulan, diskusi dan saran, berisi kesimpulan dan diskusi tentang penelitian serta saran praktis dan teoritis bagi penelitian selanjutnya. 9