BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Seksual 2.1.1 Pengertian Perilaku Seksual Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Seksualitas jika didefinisikan secara luas sebagai suatu keinginan untuk menjalin kontak, kehangatan, kemesraan atau mencintai. Menurut Madan respon seksualnya berupa memandang, berpegangan tangan, berciuman atau memuaskan diri sendiri dan sama-sama menimbulkan orgasme, seksualitas merupakan bagian dari perasaan terhadap diri yang ada pada individu secara menyeluruh (dalam Sarwono, 2007). Perilaku seksual adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2007). Bentuk perilaku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai perilaku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2007). Pendapat lain mengatakan perilaku seksual adalah perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapat kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku (Bachtiar, 2004). Sedangkan menurut Madan (dalam Sarwono, 2007) perilaku seksual juga merupakan tindakan fisik atau mental yang menstimulasi, merangsang, dan memuaskan secara jasmani. 8 2.1.2 Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Menurut Harlock (1999) bentuk-bentuk dari perilaku seksual yaitu : a. Eksplorasi Eksplorasi merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang pertama-tama muncul dalam diri individu, yang didahului keingintahuan individu terhadap masalah seksual dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Ada yang berbentuk murni intelektual, yang menggiring remaja bertanya atau membaca buku bila terdapat pertanyaan-pertanyaan yang takut diutarakan. Eksplorasi berbentuk manipulatif, di mana remaja menjelajah organ-organ seksualnya sendiri atau orang lain. b. Masturbasi Masturbasi adalah bentuk perilaku seksual dengan melakukan perangsangan organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perilaku ini biasanya memuncak pada saat individu mulai memasuki usia pubertas, dimana terjadi perubahan pada tubuh individu. Masturbasi dilakukan sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin. c. Homoseksual Homoseksual merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Bentuk seksual ini mendahului munculnya perasaan erotis terhadap lawan jenis. d. Heteroseksual Heteroseksual merupakan bentuk perilaku seksual pada saat individu perempuan dan individu laki-laki telah mencapai kematangan seksual, yaitu dorongan seksual yang muncul pada individu yang mulai diarahkan pada lawan jenisnya. Heteroseksual biasanya terjadi ketika remaja berpacaran. 2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Menurut Sarwono (2007) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, yaitu : a. Faktor internal Yaitu faktor yang berasal dari dalam diri remaja. Perubahanperubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk perilaku seksual tertentu. 9 b. Faktor eksternal Faktor yang berasal dari luar diantaranya adalah : 1. Penundaan usia perkawinan 2. Norma-norma dalam masyarakat 3. Kurangnya informasi tentang seks 4. Serta pergaulan yang makin bebas Dari pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja ialah faktor internal yang berupa perubahan hormonal yang terjadi pada diri remaja, rasa keingintahuan yang tinggi tentang perilaku seksual, serta tingkat religiusitas remaja. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi seksual remaja berupa pergaulan yang semakin bebas, eksposur media pornografi serta pengaruh teman-teman di lingkungan sekitar. 2.1.4 Tahap-Tahap Perilaku Seksual Tahapan-tahapan perilaku seksual menurut beberapa tokoh yaitu : a. Tahapan perilaku seksual menurut Sarwono (2007) yaitu : 1) berkencan, 2) berpegangan tangan, 3) mencium pipi, 4) berpelukan, 5) mencium bibir, 6) memegang buah dada di atas baju, 7) memegang buah dada di balik baju, 8) memegang alat kelamin di atas baju, 9) memegang alat kelamin di balik baju, 10) melakukan senggama. b. Menurut diagram group dalam buku Sex : A User’s Manual yang dimodifikasi oleh Soetjiningsih (2006) dalam penelitian Ribeca Meidana K (2011), tahapan perilaku seksual sebagai berikut : 1) berpegangan tangan, 2) memeluk atau dipeluk bahu, 3) memeluk atau dipeluk pinggang, 4) ciuman bibir, 5) ciuman bibir sambil pelukan, 6) meraba atau diraba daerah organ dalam keadaan berpakaian, 7) mencium atau dicium daerah organ dalam keadaan berpakaian, 8) meraba atau diraba daerah organ dalam keadaan tanpa berpakaian, 9) mencium atau dicium daerah organ dalam keadaan tanpa berpakaian, 10) saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian, 11) saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian, 12) hubungan seksual. c. Menurut Irawati (1999) dalam penelitian Ribeca Meidana K (2011), perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja ketika berpacaran terdiri beberapa tahap yaitu : 1) Berpegangan tangan 10 2) 3) 4) 5) 6) Berpegangan tangan yaitu perilaku seksual yang biasanya dapat menimbulkan keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual individu dapat tercapai). Umumnya jika individu berpegangan tangan maka muncul getaran-getaran romantis atau perasaan-perasaan aman dan nyaman. Berpelukan biasanya akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan menimbulkan rangsangan seksual pada individu. Di samping itu berpelukan juga dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang. Cium kering Cium kering yang berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir. Dampak pipi bisa mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang. Disamping menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada momen tertentu dan bersifat sekilas. Selain itu juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke bentuk aktivitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati. Cium basah Cium basah merupakan aktivitas seksual berupa sentuhan di bibir. Dampak dari aktivitas seksual cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual sehingga tidak terkendali. Selain itu juga dapat memudahkan penularan penyakit yang ditularkan melalui mulut, misal TBC. Apabila dilakukan secara terus menerus dapat menimbulkan ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut). Meraba bagian tubuh Merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian sensitif (payudara, vagina, atau penis). Dampak tersentuhnya bagian paling sensitif tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat akibatnya bisa melakukan aktivitas seksual selanjutnya seperti cumbuan berat dan intercourse. Petting Petting merupakan keseluruhan aktivitas seksual non intercouse (hingga menempelkan alat keamin). Dampak dari petting yaitu timbulnya ketagihan dan lebih jauhnya adalah kehamilan karena cairan pertama yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki sudah mengandung sperma (meski dalam kadar terbatas), resiko terkenanya PMS (penyakit menular seksual) atau HIV juga cukup tinggi, jika berlanjut ke intercourse (senggama) secara psikologis menimbulkan perasaan cemas dan bersalah dengan adanya sanksi moral atau agama. Bagi laki-laki mungkin dapat memuaskan kebutuhan seksual sedangkan bagi wanita bisa menyebabkan rusaknya selaput dara. Oral seksual 11 Perilaku oral seksual merupakan aktivitas pada laki-laki ketika seseorang menggunakan bibirnya, mulut dan lidah pada penis dan sekitarnya, sedangkan pada wanita melibatkan bagian di sekitar vulva yaitu labia, klitoris dan bagian dalam vagina. Oral seksual tidak menyebabkan kehamilan namun merupakan perilaku seksual dengan resiko penularan PMS tinggi. 7) Bersenggama (sexual intercourse) Tahap perilaku seksual yang terakhir adalah sexual intercourse (bersenggama) yaitu merupakan aktivitas seksual yang memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Dampak dari hubungan seksual yang dilakukan sebelum saatnya adalah perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat pertama kali, ketagihan, kehamilan sehingga terpaksa menikah atau aborsi, kematian dan kemandulan akibat aborsi, resiko terkena PMS atau HIV, sanksi sosial, agama serta moral, hilangnya keperawanan dan keperjakaan, merusak masa depan (terpaksa drop out sekolah), merusak nama baik pribadi dan keluarga. 2.2 Persepsi tentang Seks 2.2.1 Pengertian Persepsi tentang Seks Persepsi berasal dari bahasa Inggris yaitu Perception yang berarti bahwa tanggapan memahami sesuatu. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya (dalam Karlia, 2010). Sedangkan Wilson mendefinisikan persepsi sebagai interprestasi yang tinggi terhadap lingkungan manusia dan mengolah proses informasi tersebut (dalam Karlia, 2010). Chaplin (2002) mendefinisikan persepsi sebagai berikut : a. Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera b. Kesadaran dari proses-proses organis c. Suatu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman masa lalu d. Variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan organisme untuk melakukan pembedaan antara perangsang-perangsang 12 e. Kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu Pandangan remaja tentang seks dalam penelitian Sarlito Wirawan Sarwono dalam buku Seksualitas & Fertilitas Remaja (Kartono Mohamad, 1981) masalah hubungan seks sebelum perkawinan merupakan masalah yang paling menarik siswa sehingga dapatlah disimpulkan bahwa kemungkinan terbesar masalah ini sedang ‘’in’’ di kalangan remaja. Persepsi tentang seks menurut Hidayatul adalah suatu mental yang terjadi pada diri manusia yang ditunjukkan dengan bagaimana melihat, mendengar, merasakan, meraba serta memberi tanggapan tentang perilaku seksual (dalam Tri Wahyuni, 2009). Berdasarkan definisi persepsi dari Caplin (2002), penulis mendefinisikan bahwa persepsi tentang seks adalah suatu proses menafsirkan dan mengartikan kesan-kesan mengenai seksualitas. 2.2.2 Faktor-Faktor yang Membentuk Persepsi tentang Seks Menurut Stephen Robbins (2001) faktor yang bekerja membentuk dan membiaskan persepsi adalah : a. Faktor pada pemersepsi Faktor pada pemersepsi meliputi sikap, moral, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan. b. Faktor objek Faktor pada objek meliputi hal-hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latarbelakang, dan kedekatan. c. Faktor situasi Faktor pada situasi yang unsur-unsur dalam situasi atau lingkungan terjadinya persepsi meliputi waktu, keadaan tempat, dan keadaan sosial. 13 2.3 Pengertian Seksualitas Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Menurut Hurlock (1999), seorang ahli psikologi perkembangan, yang mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder yang penting pada laki-laki dan perempuan. Hurlock berpendapat (1999) pada remaja putra: tumbuh rambut kelamin, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar. Sedangkan pada remaja putri : pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain. Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan. Soal seks timbul karena adanya manusia laki-laki dan manusia perempuan, yang keduanya merupakan suatu sistem yang memungkinkan terjadinya keturunan, sehingga umat manusia tidak musnah. Menurut WHO dalam buku Seksualitas & Fertilitas Remaja (Kartono Mohamad, 1981) seks adalah suatu integrasi dari kehidupan manusia sebagai makhluk berjenis kelamin, yang meliputi seluruh aspek kehidupan baik fisik, psikis maupun sosial. 14 2.4 Masa Remaja 2.4.1 Pengertian Masa Remaja Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Kematangan dalam hal ini bukan hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis (Hurlock, 1999). Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolescene diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa dewasa muda (Soetjiningsih, 2006). Menurut Zulkifli (2003) masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. 2.4.2 Ciri-Ciri Remaja Menurut Zulkifli (2003), ciri-ciri remaja adalah : a. Pertumbuhan fisik Pertumbuhan fisik mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa. b. Perkembangan seksual Seksual mengalami perkembangan yang kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri. c. Cara berfikir Cara berpikir kausatif yaitu menyangkut hubungan sebab dan akibat. Misalnya remaja duduk di depan pintu, kemudian orang tua melarangnya sambil berkata “pantang“. Andai yang dilarang itu anak kecil, pasti akan menuruti perintah orang tuanya, tetapi 15 d. e. f. g. remaja yang dilarang itu akan mempertanyakan mengapa tidak boleh duduk di depan pintu. Emosi yang meluap-luap Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat bisa sedih sekali, dilain waktu bisa marah sekali. Mulai tertarik pada lawan jenis Dalam kehidupan sosial remaja, mereka lebih tertarik pada lawan jenisnya dan mulai pacaran. Menarik perhatian lingkungan Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian lingkungannya, berusaha mendapatkan status dan peran seperti melalui kegiatan remaja di kampung-kampung. Terikat dengan kelompok Remaja dalam kehidupan sosialnya tertarik pada kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tua dinomor duakan sedangkan kelompoknya dinomor satukan. 2.5 Hubungan Persepsi Seks dengan Perilaku Seksual Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Salah satu tugas penting setiap remaja adalah mengembangkan pengetahuan sehingga mempunyai keterampilan untuk mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dalam hal ini adalah masalah seksual yang dapat mempengaruhi persepsi remaja terhadap perilaku seksualnya. Remaja sedang berada pada masa perkembangan yang sangat penting yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu berproduksi (Yusuf, 2002). Dalam hal perkembangan seksual, perempuan mengalami kematangan lebih awal daripada lakilaki yang sebaya umurnya (Zulkifli, 2003). Persepsi adalah proses pemaknaan terhadap sesuatu. Secara teoritis persepsi itu dipengaruhi oleh pengetahuan tentang seks yang berkaitan dengan perilaku seksual. Persepsi tentang seks yang diterima berasal dari stimuli yang ditangkap oleh pancaindera. Oleh karena itu, asumsi yang ada yaitu persepsi tentang seks akan cenderung baik bila sejalan dengan perilaku seksual yang positif. 16 Persepsi tentang seksual timbul karena adanya stimulus yang diterima oleh remaja yang mengarah pada hubungan seks. Pemuasan kebutuhan biologis atau nafsu sebenarnya juga mengarah pada perilaku akan kebutuhan seks, tetapi remaja seringkali menganggap kebutuhan biologis secara umum seperti membutuhkan makan atau minum yang mana pelampiasan nafsu seks diikuti dengan kepuasan diri, cinta kasih dan sayang. Menurut Blom perilaku dibagi ke dalam 3 domain yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku seksual pada remaja merupakan segala reaksi yang dilakukan oleh individu dengan usia antara 12 sampai dengan 21 tahun akibat adanya dorongan seksual yang timbul berdasarkan pengetahuan atau persepsi, pemahaman, penafsiran, dan pengalaman (dalam Erlina & Qurotul, 2007). Perilaku seksual dibagi dalam 3 domain yaitu pengetahuan tentang seksual, sikap remaja terhadap seks, dan tindakan (praktik) seksual remaja. Menurut Wagner dan Yatim (1997), perilaku seksual dapat dibedakan berdasarkan bentuk, jenis, dan caranya. Berdasarkan bentuknya, perilaku seksual dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu masturbasi atau onani dan senggama. Perilaku seksual menurut jenisnya juga dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu homoseksual dan heteroseksual. Berdasarkan caranya, perilaku seksual dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu oral seks, anal seks atau sodomi, dan vaginal seks (dalam Erlina & Qurotul, 2007). Sedangkan berdasarkan tahapannya perilaku seksual yaitu berkencan, berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, meraba payudara, meraba alat kelamin, dan hubungan seks (Sarwono, 2007). Perilaku seksual remaja yang muncul dengan melibatkan pasangan dalam frekuensi pacaran misalnya berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, petting 17 (saling menggesekan alat kelamin), dan hubungan seks. Sedangkan perilaku seksual yang muncul tanpa melibatkan pasangan adalah masturbasi. Dalam hal ini persepsi remaja tentang seks adalah melakukan hubungan seksual baik antara sesama jenis maupun lawan jenis, hubungan intim antara sesama jenis maupun lawan jenis, hubungan senggama, dan pergaulan bebas. Pernyataan itu dipahami sebagai perilaku seksual. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh stimulus berupa pandangan, tulisan, gerak atau adegan yang mengarah pada perilaku hubungan seksual, sehingga sering muncul kata lain untuk menginterpretasikannya sebagai hubungan seks atau bersetubuh. Persepsi remaja tentang seks masih dibilang sempit karena kurangnya informasi tentang seks. Remaja umumnya memandang seksual sebagai kebutuhan biologis yang normal padahal hubungan seksual di luar pernikahan menimbulkan berbagai masalah. Dampak negatif dari perilaku seksual yang mengarah pada hubungan seksual adalah penyakit menular seksual (PMS). Remaja umumnya tidak mengetahui sebab dan akibat dari melakukan hubungan seksual yang berdampak pada penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Selain itu bila terjadi kehamilan di luar pernikahan, remaja akan mengambil jalan keluar untuk melakukan aborsi. Aborsi itu sendiri merupakan tindakan untuk menghentikan kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian pada janin. Jika dilihat tindakan ini menentang dari segi religi dan hukum karena berusaha menghilangkan nyawa. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Elizabeth B. Hurlock (1999), bahwa informasi tentang seks yang didapatkan dipenuhi melalui cara membahasnya bersama teman-teman, buku-buku tentang seks, atau mencobanya dengan cara bercumbu atau berhubungan seksual. Hal tersebut terjadi karena masih ada anggapan 18 bahwa membahas tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah tabu. Pendidikan tentang seksualitas seharusnya disampaikan sendiri oleh orang tua maupun guru-guru di sekolah agar mereka tidak mencari tahu sendiri, yang justru lebih berbahaya karena informasi yang akan mereka dapatkan hanya setengahsetengah. Diibaratkan jika label dan atribut sifatnya positif maka individu tersebut akan menyandang hal-hal yang positif yang lambat laun akan berkembang secara positif pula dalam diri mereka. Namun jika label dan atribut tersebut sifatnya negatif maka hal-hal negatif pun secara bertahap akan tumbuh subur untuk menjadi bagian dari perkembangan kepribadian individu. Jadi dapat dikatakan bila individu mempersepsikan bahwa sesuatu itu positif maka akan berperilaku positif kepada objek tersebut dan jika individu tersebut memiliki perilaku yang negatif maka perilakunya akan negatif juga. Demikian halnya dengan remaja yang memiliki persepsi yang negatif tentang seks akan membentuk perilaku yang negatif pula. Perubahan persepsi remaja tentang seks seiring dengan terjadinya perubahan perilaku seksual di kalangan remaja yang dapat dipandang sebagai perubahan pandangan remaja pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral. Walaupun meningkatnya angka aborsi dan kehamilan yang tidak diinginkan, masyarakat Indonesia khususnya remaja Indonesia masih terikat pada budaya timur dan kepercayaan kepada Tuhan yang kuat yang dapat menuntun individu menjauhi perilaku seksual yang bebas. Pengaruh budaya terhadap perubahan perilaku seksual ini membuat sistem sanksi atau denda bila terjadi hubungan seks di luar pernikahan (dalam Martina, 2007). 19 2.6 Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Febby Litta (2009) yang berjudul “Hubungan antara Persepsi tentang Seks dengan Perilaku Seksual Siswa kelas XI SMKN 5 Malang” (Skripsi) Jurusan Bimbingan Konseling dan Psikologi, Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP Universitas Negeri Malang yang hasil penelitian menunjukkan : (1) Banyak siswa memiliki persepsi tentang seks sangat tepat yaitu sebesar 67, 90% dan sedikit siswa memiliki persepsi tentang seks tepat yaitu sebesar 32,10% (2) Banyak siswa memiliki perilaku seksual sangat baik yaitu sebesar 61,72%, sedikit siswa memiliki perilaku seksual baik yaitu sebesar 30,86% dan sedikit sekali siswa memiliki perilaku seksual yang kurang baik yaitu sebesar 7,42%, dan (3) Ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang seks dengan perilaku seksual siswa kelas XI SMKN 5 Malang (r = 0,470, p = 0,000). Penelitian oleh Martina Evlyn dan Dewi Elizadiaani Suza (2007) yang menunjukkan bahwa hasil penelitian ini dianalisis berdasarkan uji statistik menggunakan korelasi Spearman. Dari hasil analisis diperoleh, hubungan antara persepsi tentang seks dan tindakan seksual remaja diperoleh nilai koefisien korelasi Spearman (ρ) sebesar -0.14, dari analisis statistik juga diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0.868. Peneliti mengambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan atau tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi tentang seks dan perilaku seksual remaja di SMA Negeri 3 Medan. 20 2.7 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : “Ada hubungan yang signifikan antara persepsi tentang seks dengan perilaku seksual remaja kelas X dan XI SMA Kristen 1 Salatiga.” 21