Catatan Jurnal Perempuan Menuju Otonomi Seksual Perempuan Seorang buruh perempuan didakwa membunuh mandornya karena membela diri saat diperkosa... Polisi menolak mengusut kasus perkosaan atas seorang perempuan pekerja seks komersial karena menganggap itu sudah pekerjaannya, dan seterusnya... dan seterusnya... Dari berbagai publikasi di media massa, kita dapat melihat bahwa dalam sejarah, seksualitas nampaknya menjadi isu yang perenial (abadi). Dan masih banyaknya kasus-kasus kekerasaan seksual dalam masyarakat terhadap perempuan menunjukkan bahwa isu-isu kekuasaan dan dominasi didentifikasikan bukan saja dalam kehidupan publik namun juga dalam relasi privat yang paling intim. Bahkan dalam banyak kasus misalnya pandangan bahwa alasan laki-laki memperkosa karena tidak tahan melihat kemolekan tubuh seorang perempuan, oleh masyarakat bermind set patriarkhis, hal tersebut ditolerir. Persoalan seksualitas terbukti memang bukan hanya masalah tubuh perempuan dan laki-laki an sich, namun juga berkaitan dengan relasi kekuasaan, kepentingan kapitalisme, dan kompleksitas lainnya. Frederick Engels dalam bukunya berjudul The Origin of the Family, Private Property and State, mencoba merumuskan pensubordinasian perempuan dalam perannya dimulai dengan perkembangan kepemilikan pribadi, saat ketika terjadi kekalahan sejarah perempuan di dunia. Sejak lahir ia telah disosialisasikan sebagai milik laki-laki, sebelum menikah ia bergantung dan menjadi milik sang ayah, sedangkan ketika menikah ia menjadi milik suami. Laki-laki selalu ditempatkan sebagai pater familias dan dalam sejarah master-slave ini menurutnya hampir mustahil untuk membebaskan perempuan dari penindasan. Karena kepemilikan (private property) ini berkaitan erat dengan dominasi ekonomi dan politik oleh laki-laki termasuk kontrol mereka atas seksualitas perempuan. Kontrol ini dinilai penting karena reproduksi dan seksualitas sudah menjadi bagian dari basis material masyarakat. Menurut kaum feminis sosialis, dalam kehidupan seksual banyak perempuan akhirnya hanya merasa menjadi instrumen kepuasan seksual laki-laki, sementara cinta lalu menjadi ilusi dari ideologi yang lebih dominan. Satu-satunya cara untuk melawan semua definisi kaum laki-laki atas seksualitas perempuan adalah dengan berbicara tentang seksualitasnya. Beberapa feminis menawarkan konsep otonomi seksual dimana perempuan jangan dibiarkan bergantung pada laki-laki, apalagi tertekan oleh struktur dominan yang menghasilkan pandangan bahwa manusia semestinya menjadi mahluk yang hetero, yang akibatnya lalu bermunculan tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum homoseksual, atau gagasan bahwa perempuan harus selalu bersedia melayani kebutuhan seksual laki-laki, kapanpun dan dimanapun juga, tanpa merasa perlu memperhatikan kondisi fisik dan psikisnya. Kini wacana sekualitas perempuan harus lebih diperkaya, dari banyaknya kasus dan desas-desus, ternyata jarang sekali wacana yang menggali seksualitas perempuan secara komprehensif dan konseptual. Yang berkembang justru mitos yang akut, misalnya para remaja berpikir bahwa berciuman bisa membuat mereka hamil, atau yang percaya bahwa besarnya penis lebih memuaskan perempuan, bahkan pendapat gurah vagina dapat membuat laki-laki lebih bergairah. Dalam kesemrawutan ideologi itu, mewujudkan seksual yang otonom memang menjadi tantangan yang terberat. Sama beratnya tentangan manakala seorang perempuan bicara tentang tubuh dan seksualitasnya. Di tanah air, beberapa sastrawan perempuan seperti Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami dihujat sebagai aliran sastra amoral karena bicara soal seksualitas dan tubuh perempuan. Tapi tidak bagi para pejuang hak-hak perempuan karena mereka ikut serta mendobrak dunia sastra Indonesia dalam rangka membongkar pemikiran dan struktur patriarkis. Isu seksualias tidaklah sama dengan reproduksi, karenanya janganlah ia direduksi hanya ke persoalan rahim semata. Tubuh dan seksualitas justru adalah ajang pertempuran bagi perempuan untuk memperjuangkan kebebasannya, ia juga dapat berfungsi sebagai media untuk keluar dari ketertindasannya. (AV)