MODUL PERKULIAHAN Psikologi Sosial 2 Perilaku Kolektif Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 9 Kode MK Disusun Oleh 61017 Filino Firmansyah, M.Psi Abstract Kompetensi Materi tentang jenis kelompok menurut ukurannya, faktor individual, faktor kelompok, teori dinamika kelompok, teori-teori alternatif dan siklus proses individual dan perilaku kelompok. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai jenis kelompok menurut ukurannya, faktor individual, faktor kelompok, teori dinamika kelompok, teori-teori alternatif dan siklus proses individual dan perilaku kelompok. Perilaku Kolektif Di Indonesia kasus-kasus hura hara yang melibatkan kelompok dalam jumlah besar sering terjadi. Hal tersebut tidak hanya di Indonesia akan tetapi di dunia dengan berbagai isu : agama, ras, politik dan sebagainya. Dampak dari kerusuhan tidak hanya berupa korban fisik dan materiil, akan tetapi juga psikis. Oleh sebab itu tidak mengherankan psikologi sosial menempatkan penelitian dan pembahasan tentang perilaku kelompok dalam prioritas yang cukup tinggi. Pertanyaan-pertanyaan yang hendak dijawab, antara lain adalah apakah selalu kelompok bersifat agresif? Apakah kelompok hanya melakukan huru hara, sabotase, terorisme dan criminal? Apakah selalu kelompok berperilaku sendiri terlepas dari perilaku anggotaanggotanya sebagai individu? Menurut Gustave Le Bon, kelompok memang lebih agresif daripada individu karena jiwa kelompok memang irasional, lebih impulsif dan lebih kekanak-kanakan daripada jiwa individu-individu sebagai perorangan. Akan tetapi, berbagai pengamatan membuktikan bahwa kelompok dapat juga berperilaku cerdas dan produktif, misalnya perusahaan, tim olahraga dan satuan tentara. Jenis-Jenis Kelompok Menurut Ukurannya Salah satu penggolongan jenis-jenis kelompok menurut Theodore Caplov (dalam Sarwono, 2001) adalah sebagai berikut : 1. Kelompok Kecil Ada dua jenis kelompok kecil, yaitu : a. Kelompok Primer Tiap anggota berinteraksi dengan setiap anggota lainnya dalam kelompok. Jumlah anggota 2—20 orang. Contohnya keluarga, sahabat, dan orang pacaran. b. Kelompok Non-Primer ‘13 2 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Interaksi antaraanggota tidak seintensif pada kelompok primer. Jumlah anggota 3—30 orang. Contoh : teman-teman sekelas di sekolah, kelompok arisan, panitia kecil, regu tentara dan tim kerja. Ciri kelompok kecil adalah mudah saling bertemu antaranggota (frekuensi pertemuan tinggi), pertemuan bersifat tatap muka, dimungkinkan adanya otoritas tanpa perwakilan (yang dianggap pemimpin dalam kelompok langsung dapat mengatur anggotanya tanpa memerlukan wakil, staf atau mandor). Kebanyakan kelompokkelompok besar yang terorganisir dengan baik terdiri atas kelompok-kelompok kecil seperti ini. Misalnya, kantor atau perusahaan terdiri atas regu-regu dan peletonpeleton, RT/RW terdiri atas keluarga-keluarga. Proses perkembangan kelompok kecil ini menurut Tuckman (dalam Sarwono, 2001), berdasarkan penelitiannya pada kelompok-kelompok terapi, kelompok-kelompok pelatihan dan kelompok-kelompok percobaan dalam laboratorim, melalui empat tahap, yaitu (1) tahap pengujian dan ketergantungan pada kemampuan seseorang (form), (2) tahap konflik antarsub-kelompok (storm), (3) tahap perkembangan kohesivitas (norm), dan (4) tahap berfungsinya kelompok yang sudah diketahui dengan jelas fungsi setiap anggota kelompok (perform). 2. Kelompok Medium Kelompok ini ukurannya terlalu besar untuk hubungan intensif tatap muka antarsetiap anggota kelompok. Akan tetapi, cukup kecil untuk memungkinkan seseorang berhubungan intensif dengan siapa pun dalam kelompok itu. Dengan perkataan lain, dalam kelompok medium orang tidak mungkin berhubungan intensif dengan setiap anggota kelompok lainnya, tetapi ia dapat mempunyai teman dekat atau bergaul akrab dengan beberapa anggota dari kelompok itu yang dikehendaki atau dipilihnya sendiri atau yang kebetulan memang dekat dengannya. Jumlah kelompok berkisar antara 50—1000 orang. Contohnya adalah perusahaan, sekolah atau fakultas. Kelompok ini biasanya memerlukan pengorganisasian yang relative formal. Kegiatan sehari-hari dikelola atau diatur oleh sejumlah kecil anggota kelompok yang menduduki jabatan pimpinan yang merupakan klik yang saling berhubungan erat. Tanpa adanya hubungan erat antara anggota pimpinan, kelompok tidak berjalan dengan baik karena kelompok medium ini tidak mungkin dikendalikan pemimpin seorang diri. ‘13 3 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kelompok besar yang tidak terorganisir dinamakan kerumunan (crowd). Jika kerumunan sudah bersifat agresif dan menyerang sesuatu, kerumunan itu dinamakan mob. 3. Kelompok besar Kelompok ini terlalu besar untuk saling mengenal intensif antaranggota, tetapi tidak terlalu besar untuk orang-orang tertentu dapat dikenal secara umum (dalam arti diketahui siapa dia, apa kelebihannya, apa kekurangannya, apa keahliannya dan sebagainya) oleh anggota kelompok yang lain. Dengan perkataan lain, anggota kelompok umumnya mengenal orang itu, tetapi orang yang bersangkutan sendiri tidak mengenal setiap anggota kelompok yang lain. Jumlah anggota dalam kelompok besar ini adalah antara 100—10.000 orang. Kelompok besar dapat tidak terorganisir, walaupun mungkin saja mereka melakukan sesuatu bersama-sama (misalnya, agresivitas). Kelompok besar yang tidak terorganisir ini dalam peristilahan Smelser disebut massa. Dua tipe kelompok besar yang terorganisir adalah sebagai berikut : a. Yang merupakan bagian dari kelompok yang sangat besar (kelompok “raksasa”), misalnya kantor-kantor pemerintah yang merupakan bagian dari organisasi pemerintah, battalion yang merupakan bagian dari resimen dan divisi, cabangcabang dari perusahaan nasional atau multinasional dan paroko dalam sistem gereja katolik. b. Yang merupakan hasil pemekaran dari kelompok medium, misalnya organisasi pemuda menjadi partai politik, akademi menjadi universitas, dan perusahaan lokal menjadi konglomerat. Salah satu ciri terpenting dari kelompok besar adalah ilusi bahwa ia mengenal setiap anggota kelompok lainnya dan lingkungan sekitarnya dengan baik, walaupun sebenarnya tidak demikian. Mahasiswa sering merasa mengenal karena sama-sama menganakan jaket almamaternya, dokter dalam sebuah rumah sakit yang besar merasa sama-sama dokter, dan sebagainya. Kunci dari adanya perasaan saling mengenal itu adalah adanya jaringan hubungan antarindividu dalam kelompok besar. Beberapa anggota saling mengenal secara intensif dan setiap anggota dari kelompok kecil itu mempunyai hubungan dengan kelompok kecil lainnya dan ‘13 4 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id demikian seterusnya sehingga dapat terjadi komunikasi berantai antaranggota kelompok besar. Adanya jaringan (network) ini adalah ciri penting lainnya dari kelompok besar. 4. Kelompok sangat besar (kelompok raksasa) Contoh kelompok ini adalah masyarakat kota, ABRI dan Korpri seluruh Indonesia, dan negara. Jumlahnya antara 10.000 orang sampai tidak terbatas. Jumlah ini besar untuk memungkinkan terjadinya kontak dengan seluruh anggota kelompok. Akan tetapi, beberapa orang dalam kelompok yang sangat besar ini dapat jadi dikenal oleh seluruh anggota lainnya melalui publikasi media massa. Jadi, berbeda dari kelompok besar yang ciri komunikasinya adalah jaringan, dalam kelompok sangat besar, andalannya adalah media massa. Melalui media massa inilah anggota-anggota tertentu dalam kelompok (artis, pemimpin, komandan, pakar, ilmuwan, rohaniawan, seniman dan sebagainya) dapat menjadi terkenal. Kelompok sangat besar ini ada dua jenis, yaitu sebagai berikut : a. Yang terorganisasi secara formal (negara, tentara, perusahaan multi-nasional) Struktur organisasi kelompok “raksasa” ini sama saja antara yang berskala kecil dan yang berskala besar. Setiap negara mempunyai presiden dan menterimenteri, baik dinegara-negara kecil, seperti Singapura, Denmark dan Togo maupun di negara-negara raksasa, seperti Amerika Serikat, India dan Cina. Setiap tentara mempunyai jendral dan komandan, baik itu tentara yang anggotanya 50.000 orang maupun yang anggotanya 5 juta orang. Struktur organisasi itu biasanya pyramidal dan komunikasi antara anggota papan paling bawah dengan pimpinan pada papan atas, walaupun secara teoritis dimungkinkan, dalam praktik hampir tidak pernah terjadi. b. Yang tidak terorganisasi secara formal (public) Jenis ini mengandalkan diri sepenuhnya pada komunikasi melalui media massa. Adanya dua jenis kelompok “raksasa” ini menungkinkan tampilnya tokoh public yang berbeda dalam suatu masyarakat, seperti yang terjadi di kalangan rakyat Inggris yang secara formal masih menganggap Ratu Elizabeth II sebagai pimpinan kerajaan dan bangsa. Akan tetapi, secara tidak formal cenderung untuk menempatkan Putri Diana sebagai ratu sejati (setelah peristiwa tewasnya Putri Diana di Paris pada bulan Juli 1997, yang dipublikasikan secara besar-besaran). Selain membentuk opini public, media massa juga dapat merangsang public ‘13 5 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id untuk melakukan suatu gerakan sosial (keluarga berencana, gerakan orang tua asuh, pencinta alam, gerakan feminis, perubahan dalam mode busana dan sebagainya). Faktor Individual Sebagaian pakar menganggap bahwa setiap perilaku kelompok, termasuk yang tergolong kekerasan seperti kasus kerusuhan selalu diawali dari perilaku individual. Para kriminolog, dokter forensic dan pakar hukum pidana biasanya menganut faham ini. Perilaku kekerasan yang dapat dilakukan oleh individu secara sendirian, baik secara spontan (tidak sengaja) maupun direncanakan, dan perilaku kekerasan yang dilakukan bersama-sama orang lain. Termasuk dalam perilaku kekerasan atau agresif yang dilakukan bersama ini adalah perkelahian antargeng, kekerasan massa (crowd violence), terorisme di kota besar, terorisme internasioanl, perang lokal, perang territorial dan perang antarbangsa (Lawrence dalam Sarwono, 2001). Faktor penyebab dari perilaku kekerasan ini, selain faktor-faktor pribadi seperti kelainan jiwa (psikopat, schizophrenia, psikoneurosis, frustasi kronis dan sebagainya) dan pengaruh obat bius, juga disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat sosial seperti konflik rumah tangga, faktor territorial (mempertahankan wilayah, misalnya antarkelompok tukang parker atau antargeng), faktor budaya dan faktor media massa (Lawrence dalam Sarwono, 2001). Faktor Kelompok Pakar ilmu-ilmu sosial, termasuk psikologi sosial, kurang sependapat dengan pendekatan yang terlalu individual. Pendekatan individual memang bermanfaat untuk tujuan terapi atau pemidanaan, tetapi kurang dapat menjelaskan, memperkirakan, apalagi mencegah perilaku massa yang agresif sebagai keseluruhan. Salah satu faktor kelompok yang diteliti adalah faktor identitas kelompok. Identitas kelompok yang sering dijadikan alasan pemicu kerusuhan adalah identitas rasial atau etnik (Russal dalam Sarwono, 2001). Dalam berbagai peristiwa terorisme, perang territorial, kerusahan sosial dan sebagainya, juga sering terjadi bahwa awalnya adalah konflik antarras atau antaretnik (Yahudi-Pelestina, pribudi-China, kulit putih-hitam, dan sebagainya). Akan tetapi, pendalaman dari penelitian-penelitian konflik rasial atau etnik ini sering kali menemukan bahwa konflik-konflik tersebut bermuara pada masalah lain, yaitu ketidakadilan, minoritas- ‘13 6 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mayoritas, dans sebagainya. Penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah orang Suriname di Belanda, membuktikan bahwa kekerasan timbul jika terjadi deprivasi relatif fraternalistik (Koomen & Frankel dalam Sarwono, 2001). Deprivasi relative adalah hasil perbandingan antara harapan dan kenyataan. Semakin besar kesenjangan antara keduanya, semakin besar kemungkinannya terjadi perilaku agresif. Akan tetapi penelitian di Suriname tersebut menunjukkan bahwa ada dua jenis deprivasi relative, yaitu deprivasi relative fratenarlistik (DRF) dan deprivasi relative egoistic (DRE). DRF adalah jika deprivasi relative yang terjadi karena perbandingan antara kelompok sendiri (kenyataan) dan kelompok lain (harapan), sedangkan DRE adalah jika deprivasi relatifnya bersumber dari perbandingan antara diri sendiri (ego) dan kelompok. Penelitian membuktikan bahwa DRF lebih menimbulkan reaksi militant dan kekerasan daripada DRE (Koomen & Frankel dalam Sarwono, 2001). Hasil yang serupa juga ditemukan dalam eksperimen laboratorium terhadap 53 kelompok mahasiswi dari Universitas Saskatchewan, AS, yang mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok yang mengalami deprivasi relative lebih cenderung untuk melakukan aksi protes sosial bersama (Grant & Brown dalam Sarwono, 2001). Jadi, penelitian ini mengukuhkan teori T.R. Gurr dalam Sarwono (2001) mengenai deprivasi relative sebagai faktor penyebab dari pemberontakan atau protes, atau perilaku agresif massal. Teori Dinamika Kelompok Teori Gurr mengenai deprivasi relatif dapat dianalogikan dengan teori frustasi-agresi dari Dollard, Miller dan Berkowitz (dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, jika teori frustasi-agresi lebih ditunjukkan untuk perilaku agresif individual, teori deprivasi relatif berusaha menjelaskan perilaku agresif kelompok (baik kelompok kecil maupun besar bahkan bangga). Dalam bukunya, Gurr (dalam Sarwono, 2001) antara lain menjelaskan bahwa negara yang mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat menyebabkan rakyatnya harus menghadapi perkembangan persekonomian masyarakat yang jauh lebih maju daripada perkembangan ekonomi dirinya sendiri. Rakyat melihat berbagai iklan yang menawarkan berbagai barang konsumsi yang meningkatkan dengan cepat harapan rakyat, di pihak lain harapan itu tidak dapat terpenuhi dan makin tidak terpenuhi karena pertambahan daya beli rakyat itu sendiri tidak secepat penawaran barang-barang melalui iklan-iklan itu. Terjadinya deprivasi relative yang dapat menjadi awal terjadinya pergolakan sosial, hura-hura atau bahkan revolusi. Contoh nyata dari deprivasi relatif ini terdapat pada kasus suku Amungke dan Kamoro di Mimika Timur, Irian Jaya. Suku-suku yang masih sangat sederhana itu tiba-tiba harus berhadapan dengan pembangunan penambahan yang sangat modern oleh PT Freeport Indonesia dan pendatang-pendatang (orang asing dan orang Indonesia non-Irian) yang ‘13 7 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sudah jauh lebih canggih. Orang-orang lokal ini merasa selalu tertinggal dalam segala bidang dan tidak jarang mereka melakukan pemberontakan dan perlawanan, walaupun pihak perusahan, pemerintah dan ABRI sudah melakukan segala sesuatu (membangun prasarana, menyediakan sarana pendidikan, dana, lowongan kerja dan sebagainya) bagi masyarakat setempat (Labat dalam Sarwono, 2001). Akan tetapi, teori Gurr tersebut tidak menjelaskan tahapan-tahapan apa yang terjadi sampai pecah suatu hura-hura atau aksi kekerasan massa. Teori yang menjelaskan tahapantahapan itu dikemukakan oleh N.J. Smelser dalam bukunya Theory of Collective Behavior (dalam Sarwono, 2001). Dalam buku itu Smelser mengemukakan lima prasyarat (determinan) yang secara bertahap harus dipenuhi untuk terjadinya suatu perilaku massa. Secara logis (walaupun tidak selalu harus kronologis) kelima prasyarat itu berurutan. Artinya, pertama sekali diperlukan adanya determinan pertama terlebih dahulu. Kemudian, determinan kedua menambah nilai (value added) determinan pertama, determinan ketiga menambah nilai determinan pertama dan kedua, dan seterusnya sehingga pada akhirnya terjadi akumulasi nilai dari derteminan kelima sehingga meletus aksi massa itu. Kelimat determinan itu berturut-turut adalah sebagai berikut : 1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan (social condusiveness) yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, tidak adanya saluran untuk mengungkapkan kejengkelan-kejengkelan, dan adanya sarana untuk saling berkomunikasi antarmereka yang jengkel itu. 2. Kejengkelan atau tekanan sosial (structural strain), yaitu kondisi karena sejumlah besar anggota masyarakat (kelompok besar atau massa) merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Kejengkelan atau tekanan sosial itu sendiri tidak cukup untuk mencetuskan kerusuhan. Akan tetapi, determinan ini menambah “nilai” yang sudah ada pada determinan pertama sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kerusuhan. 3. Berkembangnya prasangka kebencian yang meluas (generalized hostile belief) terhadap suatu sasaran tertentu, seperti pemerintah, pemain lawan. Sasaran kebencian ini berkaitan erat dengan faktor pencetus (precipitating factor), yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan. Dalam tulisan Smelser yang mutakhir, faktor pencetus atau pemicu ini dijadikan determinan tersendiri (Smelser dalam Sarwono, 2001). ‘13 8 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4. Mobilisasi massa untuk bereaksi (mobilization for action), yaitu adanya tindakan nyata dari massa dan mengorganisasikan diri mereka untuk bertindak. Tahap ini merupakan determinan akhir dari kumulasi determinan yang memungkinkan pecahnya suatu kerusuhan. Sasaran akhir itu sendiri menurut Smelser ada dua tahap. Tahap pertama ditujukan kepada objek yang langsung memicu kerusuhan dan tahap kedua sasaran ditujukan kepada objek lain yang tidak ada kaitan langsung dengan faktor pemicu. 5. Kontrol sosial (social control), yaitu kemampuan aparat keamanan dan petugas untuk mengendalikan situasi dan menghambat kerusuhan. Determinan ini merupakan determinan lawan dari determinan-determinan sebelumnya. Semakin kuat determinan control sosial ini, semakin kecil kemungkinan meletusnya kerusuhan. Di Indonesia, teori kerusuhan massal dari Smelser ini , yang bersifat makro dan cenderung sosiologis (antara lain dalam determinan pertama dan kedua) pernah diuji dengan menggunakan pendekatan psikologi. Dalam penelitian itu peneliti berteori bahwa determinan-determinan dari Smelser bukan hanya merupakan situasi yang terjadi di lingkungan, melainkan dipersepsikan sebagai kondisi yang subjektif. Peneliti selanjutnya mengembangkan alat (skala) untuk mengukur intensitas persepsi terhadap kelima determinan tersebut. Kemudian, alat ini dicobakan terhadap dua kelompok hotel. Kelompok pertama berasal dari sebuah hotel berbintang lima milik swasta yang pernah melakukan aksi mogok, sedangkan kelompok kedua adalah karyawan hotel berbintang lima milik BUMN yang tidak pernah melakukan aksi mogok. Ternyata intensitas persepsi mengenai kelima derteminan itu lebih kuat pada kelompok karyawan hotel swasta daripada kelompok karyawan hotel BUMN (Dialina dalam Sarwono, 2001). Teori-Teori Alternatif Teori dinamika kelompok dari Gurr dan Smelser, yang merupakan gabungan antara faktor makro (lingkungan sosial) dan faktor mikro (persepsi individual), ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh para pakar. Sebagian peneliti lebih condong pada faktor lingkungan sosialnya, sementara kelompok peneliti lain lebih menekankan pada faktor-faktor psikologis individualnya. Alternatif lain yang diajukan oleh Gurr sendiri adalah faktor ideologik yang telah memicu berbagai kerusuhan dan terorisme di seluruh dunia. ‘13 9 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Teori Lingkungan Sosial Para peneliti dari kelompok ini berpendapat bahwa yang terpenting dalam hal kerusuhan massal adalah kondisi lingkungan dimana kerusuhan ini terjadi. McCorke dkk (dalam Sarwono, 2001) telah meneliti 371 penjara di Amerika Serikat untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi meletusnya pemberontakan di penjara-penjara itu. Dari penelitian itu, para peneliti mendapatkan bahwa yang terpenting adalah tingkat sekuriti (dalam terminologi Smelser : determinan control sosial). Kuncinya adalah pada manajemen penjara. Jika manajemen mampu mencegah gangguan, baik terhadap narapidana maupun terhadap petugas serendah mungkin, kemungkinan timbulnya hura-hara menjadi kecil. Dalam hal ini, faktor-faktor lain seperti kendala structural atau kondisi lingkungan yang kurang memadai (misalnya, terlalu padat) tidak berpengaruh selama kendala sosial masih di tangan manajemen (pimpinan) penjara. Penelitian lain dilakukan oleh Ghosh & Kumar (dalam Sarwono, 2001) mengenai hubungan antara kelompok Hindu dan Muslim di India yang sering ditandai oleh konflik masala antara kedua pihak (saling membunuh, saling meneror dan sebagainya). Menurut mereka konflik kronis antara kedua kelompok penganut agama berawal pada faktor demografi (Muslim adalah minoritas yang jumlahnya cukup besar, yaitu 11% dari jumlah penduduk) dan faktor sejarah yang sudah lebih dari 1.000 tahun (migrasi dari Turki, Arab, Afganistan, penaklukan, konversi penduduk asli ke agama Islam, pengaruh budaya, teologi dan bahasa, dan sebagainya). Kedua faktor ini selanjutnya muncul dalam deprivasi relatif (dari kamu Muslim terhadap Hindu). Akan tetapi, kemunculan deprivasi relatif itu lebih banyak memberi peluang terhadap semakin tajamnya kesejangan antara kedua kelompok (muslim ketinggalan dalam bidang pendidikan; muslim tidak mendapat tempat dalam pemerintahan; pertumbuhan ekonomi cepat, tetapi tidak memberi kesempatan yang merata dan sebagainya). Dengan perkataan lain, selama deprivasi relatif tidak ditunjang oleh kondisi lingkungan yang mempertajam kesenjangan, perilaku kekerasan massal tidak muncul. Teori Individual Kelompok peneliti lain mengamati bahwa hura-hura dan kerusahan massal, walaupun terjadi di tempat ramai (penjara, arena olahraga, kota-kota) dan melibatkan orang banyak, hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, tidak semua orang dalam kelompok adalah peserta atau pelaku kerusuhan. Yang tidak terlibat ada yang hanya menjadi pengamat pasif, atau bahkan ada yang menjadi penentang kerusahan (misalnya, berusaha mencegah). Mereka yang menjadi pelaku kerusahan adalah orang-orang yang ‘13 10 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memang memperoleh anonimitas, rasa aman, kekuasaan dan keuntungan dari kerusuhan itu dan merasa tidak bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam kerusuhan itu (Lachman dalam Sarwono, 2001). Dengan demikian, mereka yang terlibat dalam kerusuhan adalah individu-individu yang mempersepsikan suatu keuntungan bagi dirinya sendiri dari terjadi kerusuhan itu. Determinan structural dan deprivasi relatif yang dikemukakan oleh Smelser dan Gurr tidak banyak artinya jika ditinjau dari teori persepsi individual ini. MacPhail (dalam Sarwono, 2001) selanjutnya menyatakan bahwa tidak mungkin orang mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya tanpa melalui persepsi. Persepsi inilah yang menentukan terjadi atau tidak pelibatan diri dalam kerusuhan. Proses kerusuhan menurut MacPhail terjadi dalam tiga tahap, yaitu : 1. Proses berkumpulnya massa 2. Aktivitas selama berlangsungnya hura-hura di kawasan huru-hara, dan 3. Proses bubarnya massa. Untuk datang ke lokasi hura-hura, menurut MacPhail, orang tidak perlu mengetahui tentang adanya situasi sosial atau struktur sosial yang mendukung atau berbagai informasi makro yang lain. Yang penting dia tahu (melalui persepsi) bahwa di suatu tempat ada ramai-ramai dan selanjutnya ia ingin tahu lebih banyak lagi. Sebagian karena ingin bergabung dengan teman mereka, sebagaian lagi ingin ikut-ikutan protes, yang lain lagi penasaran ingin ikut merusak-rusak, dan tentu ada pula yang mau merampok. Kepadatan penduduk dan adanya jaringan komunikasi antaranggota masyarakat memang menambah besar kemungkinannya pengumpulan massa. Akan tetapi, yang leibih penting lagi adalah bahwa begitu berkumpul di lokasi hura-hara, individu-individu itu saling menunjang dan mendukung dengan perilakunya masing-masing, baik sebagai individu-individu maupun dalam kelompokkelompok kecil (tidak ada yang bergerak bersama-sama dalam jumlah besar yang berkelanjutan dan terencana, misalnya dalam satuan tentara). Saling menunjang itu dimungkinkan karena individu sering kali hanya mengikuti orang lain atau melakukan yang disuruh oleh orang lain. Di sinilah individu sebenarnya melakukan kontrol atas persepsinya sendiri. Ketika ia melihat orang lain ramai-ramai merampok, misalnya, ia dapat memilih apakah ia akan ikut-ikutan merampok, hanya menjadi penonton, atau menghindari tempat kejadian, atau malah membantu mencegah perampokan. Itulah sebabnya mengapa di lokasi kejadian selalu terdapat orang-orang yang justru berperilaku melawan gelombang ‘13 11 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kerusuhan (termasuk tertentu petugas yang menjalankan kewajibannya untuk memadamkan kerusahan) di samping yang pasif menonton atau menghindar. Teori Ideologi Teori alternative lainnya untuk menjelaskan perilaku kelompok khususnya yang agresif seperti terorisme, dikemukakan oleh T.R. Gurr (dalam Sarwono, 2001). Terorisme tidak melibatkan kelompok yang terlalu besar bahkan kadang-kadang hanya beberapa orang saja, tetapi dapat membawa korban yang sangat besar (termasuk orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan kelompok itu). Dengan demikian, mekanisme kelompok terorisme ini terletak pada tingkat yang paling dekat dengan tingkat individu. Walaupun demikian, Gurr menyatakan bahwa terorisme dalam negara demokratis merupakan pencerminana dari konflik-konflik yang lebih besar, cerminan dari kepercayaankepercayaan dan aspirasi-aspirasi politik (bagaimanapun menyimpangnya) dari segmensegmen tertentu dalam masyarakat. Dengan demikian, analisis terhadap ideology atau trait psikologis, baik dari aktivitis maupun dinamika sosial dari kelompok teroris tidak akan tuntas tanpa mengaitkannya dengan hubungan timbal balik antara individu-individu dan/atau kelompok-kelompok teroris itu dengan public yang lebih luas. Hubungan timbal balik itu sangat tergantung pada penyaluran pandangan-pandangan politik dalam masyarakat dan adanya wadah-wadah organisasi untuk menyalurkan pandanganpandangan itu. Dalam negara-negara demokratik, wadah-wadah organisasi itu tersedia, tetapi dalam negara-negara totaliter tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, terorisme memang dapat lebih berkembang di negara-negara demokratis. Di negara-negara totaliter, terorisme tergantung kepada peluang tumbuhnya organisasi-organisasi rahasia yang tidak diketahui oleh pemerintah. Dua tipe ideologi yang berkembang menjadi terorisme adalah sebagai berikut : 1. Minoritas yang mendesak dan ingin masa depan yang lebih baik, misalnya Front de Liberation de Quebeq (FLQ) di Kanada (separatis minoritas berbahasa Prancis, 1960-1970); The Weather Underground di sekitar Chicago, AS (mau mengubah secara radikal politik partai Demokrat karena dianggap gagal di Vietnam, 1969); Alto Adiga, kelompok minoritas berbahasa Jerman di Italia Utara (1960-an);dan kelompok Basque dan Korsika di Spanyol (sejak 1960-an). ‘13 12 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 2. Reaksi kumulatif terhadap radikalisme, misalnya Ku Klux Klan di AS yang dibentuk oleh veteran-veteran tentara Konfederasi (Amerika Serikat bagian Selatan dalam perang saudara di AS) sejak tahun 1987; The Freedomites (sekte agama Kristen ortodoks Rusia di wilayah negara bagian Bristish Columbia, Kanada); Neo Nazi di Jerman; dan Neo Facist di Italia. 3. Gabungan antara radikalisme dan reaksi, misalnya kelompok IRA di Irlandia Utara; kelompok Hamaz di Palestina; dan kelompok kurdi di Iran. SIklus Proses Individual dan Perilaku Kelompok Akhirnya, dari uraian dalam materi ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sangat sulit untuk menentuan darimana asalmuasalnya perilaku kelompok. Perilaku kelompok selalu mengikuti proses berikut : Perubahan Lingkungan Sosial Pengaktifan Faktor/Proses Kepribadian Hasil Perilaku Kelompok Bagan diatas menggambarkan suatu siklus yang tidak berunjung pangkal. Teori lingkungan lebih menitikberatkan faktor kondisi lingkungan sebagai awal perilaku kelompok, sedangkan teori individual lebih memusatkan perhatiannya pada faktor individual. Akan tetapi, kedua faktor sebetulnya saling menyambung dan saling mempengaruhi. Dalam bagan itu suatu perilaku kelompok dapat diawali oleh suatu perubahan kondisi di lingkungan (structural stain menurut Smelser atau sekedar adanya ramai-ramai di tempat tertentu menurut MacPhail) dan perubahan situasi itu membangkitkan proses-proses individual (deprivasi relatif menurut Gurr atau seterusnya menyebabkan terjadinya perilaku. Perilaku ini saling komunikasi antaranggota massa dalam teori Smelser atau karena adanya ikatan ideology dalam teori Gurr) yang akhirnya menimbulkan perilaku agresif dan destruktif. Dampak dari perilaku massal ini akan mengubah situasi (misalnya, banyak kerusakan, ada korban tewas) yang pada gilirannya berpengaruh lagi pada keadaan pribadi setiap individu (stress pasca trauma) dan demikian seterusnya. ‘13 13 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Sarwono S.W. (2001). Psikologi Sosial : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta : Balai Pustaka ‘13 14 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id