Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Kognisi Sosial
Kompetisi, Kerjasama dan
Dilema Sosial
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
06
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang Kompetisi, Kerjasama
dan Dilema Sosial
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
Kompetisi, Kerjasama dan Dilema
Sosial
Kompetisi, Kerjasama dan Dilema Sosial
Pada modul ini akan dibahas beberapa teori kompetisi, kerjasama dan dilema sosial Materi
diambil dari Buku Psikologi Sosial : Kelompok dan Terapan karangan Sarlito WIrawan
Sarwono (2001).
Konflik adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat terjadi antar individu,
antar kelompok kecil bahkan antar bangsa dan negara.
Dampak dari konflik pada umumnya negatif. Misalnya, anak yang mempunyai orang tua
yang terus menerus bertengkat akan berkurang kepekaan afeksinya, tetapi mudah
terpengaruh parilaku-perilaku lainnya (El Sheikh dalam Sarwono, 2001). Konflik intratim
olahraga atau di dalam perusahaan akan mengurangi prestasi kelompok dan konflik
antarbangsa dapat menyebabkan perang yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Oleh karena itu, orang lebih menyukai kerja sama dan perdamaian daripada konflik. Akan
tetapi, mengapa tetap saja terjadi konflik? Apakah benar bahwa konflik itu selalu merugikan?
Apakah konflik dapat diubah menjadi kerja sama?
Pertanyaan-pertanyaan itu telah menjadi perhatian para peneliti psikologi sosial sejak lama.
Semula orang mengira bahwa sumber konflik adalah ras, jenis kelamin, kebudayaan, dan
sebagainya. Akan tetapi, penelitian membuktikan bahwa hubungan antarindividu atau
antarkelompok dapat menjadi sumber konflik yang lebih penting. Misalnya, penelitian
terhadap 2.800 polisi Los Angeles pada bulan Juli 1992 (setelah peristiwa penganiayaan
sopir truk bernama Rodney King oleh beberapa orang anggota kepolisian Los Angeles,
tetapi sebelum peristiwa kerusuhan Los Angeles), menunjukkan bahwa sikap dan perilaku
polisi terhadap masyarakat tidak disebabkan oleh ras atau jenis kelamin, tetapi lebih
ditentukan oleh hubungan pribadi setiap polisi dengan masyarakat (Lasley dalam Sarwono,
2001).
Dengan demikian, factor penyebab konflik dapat ditinjau dari teori-teori dinamika individual,
seperti psikoanalisis, teori biologi, teori kognitif, teori atribusi dan teori motivasi. Akan tetapi,
dalam materi ini bahasan akan dipusatkan khusus pada factor hubungan antarindividu dan
antarkelompok sebagai sumber konflik.
Dilema Sosial
‘13
2
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Salah satu teori yang terkemuka dalam menjelaskan konflik antarindividu adalah dari
Rapaport dalam Sarwono (2001), yaitu yang dikenal sebagai teori dilemma terdakwa
(prisoner dilemma). Dalam teori ini diandaikan ada dua orang terdakwa yang sedang
diperiksa oleh jaksa. Jaksa memberi tahu tentang konsekuensinya kalau mereka mengaku
atau tidak mengaku. Kalau terdakwa A mengaku sedangkan terdakwa B tidak mengaku, A
mendapat hukuman 10 tahun penjara sedangkan terdakwa B bebas. Akan tetapi, kalau A
mengaku sementara B juga mengaku, keduanya hanya mendapat hukuman masing-masing
1 tahun penjara. Sebaliknya, kalau A tidak mengaku dan B mengaku, B-lah yang mendapat
hukuman 10 tahun sedangkan A bebas. Sebaliknya, kalau kedua-duanya tidak mengaku, A
dan B sama-sama mendapat hukuman 5 tahun penjara.
A Mengaku
A Tidak Mengaku
Hukuman B
Hukuman A
Hukuman B
Hukuman A
B Mengaku
1 thn
1 thn
10 thn
0 thn
B Tidak
0 thn
10 thn
5 thn
5 thn
Mengaku
Matriks Dilema Narapidana
Menghadapi kemungkinan-kemungkinan di atas, seharusnya kedua terdakwa sama-sama
mengaku saja agar mereka sama-sama mendapat hukuman yang paling ringan. Akan tetapi,
kalau kedua terdakwa diperiksa terpisah dan tidak dapat saling berunding,
kecenderungannya adalah bahwa mereka sama-sama tidak mau mengaku karena
keduanya berpikir bahwa kalau hanya ia sendiri yang mengaku, ia akan mendapat hukuman
paling berat sementara temannya akan bebas. Akibatnya, kedua terdakwa ktu itu mendapat
hukuman 5 tahun penjara.
Dalam kehidupan sehari-hari teori dilema terdakwa ini dapat menjelaskan mengapa dua
orang atau dua kelompokk yang saling bermusuhan tidak mau saling berdamai, walaupun
keduanya sama-sama menderita kerugian. Kalau saya yang mengajak berdamai lebih
dahulu, saya yang rugi karena seakan-akan saya yang salah dan dia yang benar sehingga
saya harus minta maaf duluan. Sementara itu, lawan saya akan berpikir sama dengan saya
sehingga ia pun tidak mau berinisiatif untuk berdamai. Dalam hubungan ini, tradisi
berlebaran dan bermaaf-maafan dalam rangka Idul Fitri bagi umat Islam di Indonesia sangat
bermanfaat. Dalam kesempatan yang hanya setahun sekali itu, setiap orang didudukkan
‘13
3
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam posis yang sama. Dapat saling meminta maaf tanpa harus menanggung beban siapa
yang mulai duluan, siapa yang bersalah, dan siapa yang dirugikan.
Akan tetapi, dalam skala yang lebih besar, konflik-konflik yang terjadi di dunia tidak
semudah itu untuk diredakan. Di tahun 1997, perdamaian antara Israel dan Palestina
berkali-kali terbentur kegagalan walaupun sudah berkali-kali dilaksanakan perundingan dan
sudah dicapai sejumlah kesepakatan. Persoalan baru berulang kali timbul karena ada saja
perilaku, baik di pihak Israel (misalnya, membuku terowongan kuno di Yerusalem atau
membangun pemukiman baru kaum Yahudi di Yerusalem Timur) maupun di pihak Palestina
(misalnya, bom bunuh diri yang menelan korban rakyat sipil Israel, pemuda palestina
menyerang tentara Israel) yang dianggap merugikan pihak yang lain. Oleh karena itu,
perdamaian tidak kunjung dapat diwujudkan.
Tragedi di Alun-Alun
Alun-alun adalah lapangan di tengah kota, biasanya selalu ada di kota-kota sedang dan
kecil di Jawa, tempat masyarakat kota beraktivitas dan saling bertemu. Di sekitar alun-alun
itu biasanya terdapat kantor kabupaten, penjara, masjid dan pasar. Di Inggris dan kota-kota
kecil di Amerika Serikat tempat berkumpulnya masyarakat itu dinamakan the commons.
Alun-alun atau the commons itu seharusnya memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya
orang, yaitu kalau setiap orang memanfaatkan alun-alun atau the commons itu sampai
batas tertentu saja. Kalau setiap orang memanfaatkan alun-alun atau the commons itu untuk
kepentingannya sendiri, semua orang akan dirugikan. Akan tetapi, justru perilaku yang
merugikan itulah yang lebih sering dilakukan. Seorang ahli ilmu lingkungan bernama Garret
Hardin (Sarwono, 2001) mengamati gejala ini dan menamakannya tragedy alun-alun atau
the tragedy of the commons.
Hardin menggambarkan tragedi alun-alun itu sebagai berikut. Bayangkan 100 orang petani
tinggal di sekitar sebuah lapangan rumput (the commons) yang dapat dimanfaatkan untuk
menggembalakan 100 ekor sapi (setiap petani dapat menggembalakan seekor sapi). Dalam
keadaan ini semua petani puas dan bahagia. Kemudian, ada seorang petani yang berpikir,
“Kalau saya tambahkan satu ekor sapi lagi milik saya, saya akan mendapat manfaat yang
lebih besar dari lapangan rumput itu, sementara sapi-sapi lain juga tidak dirugikan karena
lapangan rumput itu masih cukup luas”. Akan tetapi, bagi seseorang petani menambahkan
sapinya, petani yang lain tidak mau rugi. Mereka pun masing-masing menambahkan seekor
sapi, atau bahkan 2 atau 3 ekor lagi. Akibatnya, lapangan rumput itu rusak dan tidak dapat
digunakan untuk menggembalakan sapi lagi, walau hanya seekor. Dalam keadaan ini,
semua orang dirugikan.
‘13
4
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengapa semua orang mau dirugikan? Penjelasannya terdapat pada mekanisme dasar dari
tragedi alun-alun, yaitu dilemma terdakwa yang melibatkan lebih dari dua pihak. Dalam
praktek kita lihat gejala ini dalam kehidupan sehari-hari, seperti pemakaian air bersih,
pembuangan sampah, penangkapan ikan paus, pemakaian energy minyak bumi,
penebangan hutan, penyalahgunaan lahan untuk parker atau pedagang kaki lima dan
ledakan penduduk. Tragedi alun-alun ini sudah diuji kebenarannya di laboratorium
eksperimen oleh Julian Edney (dalam Sarwono, 2001).
Dalam eksperimennya itu, Edney menggunakan sejumlah mahasiswa dari Universitas
Arizona, Amerika Serikat. Para mahasiswa itu diminta duduk mengitari sebuah mangkuk
yang berisi kacang-kacang buatan (dari logam), Jumlah awal kacang logam itu adalah 10
buah. Setiap peserta diminta untuk mengumpulkan kacang sebanyak-banyaknya dan setiap
saat masing-masing boleh mengambil berapa saja. Tiap 10 detik, jumlah kacang bertambah
dua kali lipat dari jumlah yang tersisa. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya setiap peserta
saat mengambil kacang dalam jumlah tertentu saja dan secara bergiliran sehingga memberi
kesempatan pada kacang-kacang itu untuk melipatgandakan diri dan pada gilirannya
memberi peluang untuk setiap peserta mengumpulkan kacang sebanyak-banyaknya. Akan
tetapi, yang terjadi adalah kacang dalam mangkuk habis ludes dalam waktu singkat tanpa
diberi kesempatan sama sekali untuk menggandakan diri.
Alasan Dilema Terdakwa dan Tragedi Alun-Alun
Konflik antar individu atau antar kelompok yang merugikan kepentingan bersama ini
disebabkan oleh beberapa hal berikut :
1. Masing-masing pihak (individu, kelompok, suku, ras, bangsa, agama) menilai dirinya
sendiri berperilaku sesuai dengan situasi : saya harus menyelamatkan keluarga
saya, saya harus menjaga kehormatan saya, saya tidak mau di-kerjain” oleh orang
lain, dan sebagainya. Sebaliknya, masing-masing pihak menilai pihak lain
berperilaku tidak sesuai dengan situasi : terlalu pelit, terlalu boros, sombong, tidak
dapat dipercaya dan sebagainya.
2. Motivasi dapat berubah. Di tahun 1960an Presiden Amerika Serikat, Lindon Johnson,
memberikan alasan keprihatinan Amerika Serikat untuk mempertahankan demokrasi,
kemerdekaan dan keadilan untuk peningkatan peran Vietnam. Akan tetapi, ketika
konflik semakin meningkat, Presiden Johnson bicara soal harga diri dan kebanggaan
‘13
5
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
bangsa Amerika Serikat yang akan terpukul sekali apabila Amerika Serikat kalah
perang.
3. Dalam kehidupan sehari-hari dilema terdakwa dan tragedy alun-alun bukanlah
permainan bertitik-nol, setidak-tidaknya untuk jangka waktu tertentu (beberapa
generasi). Misalnya, sumber-sumber bahan bakar minyak ternyata masih terus
menerus ditemukan, ditemukan energy baru (surya dan lain-lain), dan ditemukan
metode penyulingan air bersih sehingga orang mengira bahwa perilakunya tidak
menyebabkan kerugian. Karenanya, walaupun tidak ada orang yang dengan sengaja
mencemari udara Jakarta atau mencemari sungai Ciliwung, pencemaran berjalan
terus. Juga walaupun tidak orang yang setuju dengan peperangan, pembunuhan,
terorisme, dan lain-lain, tetapi konflik Palestina-Israel, Bosnia-Serbia, Inggris-Irlandia
Utara dan sebagainya berjalan terus.
4. Sulit sekali untuk memperkirakan apakah pihak lain mau bekerja sama atau tidak.
Kalau diperkirakan semua orang mau bekerja sama kemungkinan besar justru akan
terjadi pemalasan sosial, yaitu beberapa orang tidak mau bekerja sama (karena mau
untung sendiri). Akan tetapi, kalau semua orang tidak mau bekerja sama, tidak ada
seorang pun yang mau bekerja sama karena rugi kalau mau bekerja sama
(Antonides dalam Sarwono, 2001).
5. Dalam praktek tidak semua konflik berasal dari sumber-sumber yang terbatas.
Dilema sosial yang menyangkut nilai-nilai, misalnya dapat berlangsung terus
menerus karena sumber konfliknya terletak pada nilai-nilai itu sendiri. Misalnya,
kaum lesbian yang feminis selalu berkonflik dengan kaum lesbian pendukung
gerakan pro-gay. Kelompok lesbian yang progerakan gay lebih dekat kepada kaum
homoseks pria daripada kepada rekan mereka sesama lesbian karena nilai-nilai
mereka sangat berbeda (Kristiansen dalam Sarwono, 2001).
Mengatasi Dilemas Sosial
Walaupun dilema sosial sulit dihindari, dicegah atau diatasi sepenuhnya, para peneliti
berusaha menemukan beberapa cara untuk mengurangi kemungkinan terjadinya dan
memperkecil dampak negative dari dilema sosial. Cara-cara itu antara lain sebagai berikut :
1. Pengaturan (pembuatan aturan)
‘13
6
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Semua menyepakati suatu aturan tertentu agar masing-masing dapat memperoleh
hasil yang optimal.
2. Kecil itu indah (small is beautiful)
Dalam kelompok kecil setiap individu lebih bertanggung jawab, lebih efektif dan lebih
terikat pada kelompok (Kerr dalam Sarwono, 2001), juga cenderung untuk tidak
mengambil lebih dari apa yang diperlukan (Allison, Jordan & Yeatts dalam Sarwono,
2001). Oleh karena itu, kelompok sebaiknya dibuat kecil : kota kecil, otonomi sampai
ke daarah yang terkecil (desa), perusahaan kecil atau pelimpahan tanggung jawab
diberikan sampai kepada bagian yang terkecil dalam perusahaan dan sebagainya.
3. Komunikasi
Kelebihan dari satuan-satuan yang kecil pada hakikatnya adalah kemudahan untuk
saling berkomunikasi. Komunikasi yang efektif pada gilirannya memungkinkan
terbentuknya aturan yang disepakati dan ditaati bersama. Oleh karena itu,
komunikasi yang baik adalah satu satu cara mengatasi dilema sosial yang
dianjutkan.
Komunikasi ternyata juga mengurangi saling ketidakpercayaan. Orang yang
menyangka bahwa orang lain tidak mau bekerja sama, juga tidak akan mau bekerja
sama, sedangkan tidak adanya kerjasama meningkatkan saling ketidakpercayaan.
Dalam komunikasi saling bekerja sama dan saling percaya dapat ditingkatkan
(Messe & SIvacek dalam Sarwono, 2001).
4. Pembalikan manfaat
Yang tadinya menguntungkan dibuat tidak menguntungkan, sebaliknya yang tadinya
tidak menguntungkan dibuat menguntungkan. Misalnya, sejak tahun 1991 di Jakarta
berlaku peraturan bahwa antara pukul 06.30 sampai dengan 10.00 kendaraan
pribadi (roda empat) yang akan melalui jalan-jalan protocol diharuskan membawa
penumpang sedikitnya tiga orang (termasuk pengemudi). Tujuan peraturan ini adalah
untuk mencegah kemacetan di jalan-jalan protocol itu pada jam-jam sibuk. Akan
tetapi, tujuan itu tidak tercapai karena pengemudi yang sendirian dengan mudah
dapat mengajak anak-anak atau remaja (dikenal dengan istilah “jockey”) yang
sengaja menarwarkan jasa untuk menemani masuk ke jalan protocol dengan
imbalan uang tertentu. Pengemudi melakukan hal tersebut karena menguntungkan
dirinya sendiri. Untuk mencegah nya perlu diadakan pembalikan manfaat : pengguna
jockey ditilang dan didenda yang berat (sehingga yang tadinya untung jadi rugi) dan
‘13
7
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pelayanan transportasi umum ditingkatkan sehingga lebih nyaman, aman dan cepat
(sehingga yang tadinya merugikan jadi menguntungkan).
5. Imbauan untuk berbuat baik atau imbauan altruism (moralizing).
Imbauan sering kali memang tidak efektif. Misalnya, imbauan untuk menabung,
imbauan untuk menjaga kebersihan oleh walikota, imbauah untuk mempertahankan
perdamaian sering kali hanya bagaikan angin lalu. Akan tatapi, imbauan yang
menyentuh perasaan dapat efektif juga (Kerr dalam Sarwono, 2001). Di Indonesia
contohnya adalah imbauan untuk menyumbang bagi korban bencana alam (dompet
bencana alam) yang sering dilakukan oleh koran-koran yang biasanya berhasil
mengumpulkan dana cukup banyak untuk diteruskan kepada para korban. Juga
ceramah-ceramah dan informasi-informasi mengenai dilema sosial, etika, khotbahkhotbah juga dapat menyebabkan perilaku altruism (Dawes dalam Sarwono, 2001).
6. Terbuka dan transparan
Kalau orang tahu siapa yang berbuat apa, kelompok dapat menjatuhkan sanksi pada
yang berbuat tidak sesuai dengan aturan. Setiap anggota kelompok juga akan lebih
berhati-hati agatr tidak merugikan orang lain dan tidak melakukan pelanggaran
(Antonides dalam Sarwono, 2001).
Kompetisi
Bentuk lain dari konflik, baik antar individu maupun antar kelompok adalah kompetisi yang
antara lain dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut :
1. Pada bulan Oktober-November 1996, jutaan pengungsi Hutu di Zaire terperangkap
dan terjepit di tengah antara Zaire dan pemberontak Tutsi untuk yang didukung oleh
tentara Rwanda (yang dikuasai oleh suku Tutsi). Bantuan makanan dan obat-obatan
dari organisasi-organisasi sosial tidak dapat masuk dan tidak dapat mencapai para
pengungsi itu. Ketika persediaan yang masih tersisa dibagikan, terjadi perebutan
antar manusia-manusia dalam masa pengungsian. Yang terkuat yang menang.
Seorang pemuda yang tubuhnya kuat merebut sekotak makanan dari seorang ibu
yang menggendong bayinya, seorang ibu yang berhasil mendapatkan makanan
dikejar ramai-ramai oleh serombongan anak-anak remaja sehingga ia lari pontangpanting dan jatuh tunggang langgang dan makanannya berserakan
‘13
8
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Persaingan yang sudah tidak memandang bulu lagi itu dapat terjadi juga antar
dokter, penginjil, ahli hukum, professor, pengusaha, gelandangan, pelacur seperti
yang terjadi di kalangan tawanan di kamp. Jepang dalam masa Perang Dunia II di
CIna (Gilkey dalam Sarwono, 2001).
3. M. Sheriff (dalam Sarwono, 2001) pada tahun 1919 menyaksikan sendiri tentara
Yunani yang memasuki kotanya di Turki (dalam perang dunia I), menembaki orang
seenaknya ke kanan dan ke kiri.
Ketiga contoh diatas membuktikan bahwa reaksi yang negative dalam kompetisi dipicu oleh
situasi yang negative juga dalam kompetisi itu sendiri, bukan oleh factor-faktor lain, seperti
maslaah rasial, status sosial ekonomi atau agama.
Ketidakadilan
Faktor lain yang dapat menimbulkan konflik, baik antar individu maupun antar kelompok
adalah ketidakadilan. Pertanyaan yang hendak dijawab oleh Psikologi Sosial adalah
“apakah keadilan itu?”
Walster, Walster & Buscheid dalam Sarwono (2001) menjawab pertanyaan ini dengan
mengajukan rumus bahwa hasil harus sama atau seimbang dengan masukan (input). Dalam
hubungan antar individu atau antar kelompok, keadilan jadinya berarti keseimbangan antara
hasil saya dan hasil Anda.
Secara teoritis perasaan ketidakadilan ini timbul karena adanya kesenjangan antara
harapan dan kenyataan yang menimbulkan frustasi. Frustasi ini pada gilirannya
menimbulkan perilaku agresif. Teori yang dikemukakan oleh Dollard dalam Sarwono (2001)
dan Miller (dalam Sarwono, 2001) ini disebut sebagai teori frustasi-agresi.
Versi yang lebih baru dari teori frustasi-agresi ini adalah teori deprivasi relative. Deprivasi
relative adalah persepsi tentang kesenjangan antara harapan dan kesejangan itu sendiri
dapat langsung menimbulkan perilaku agreasi.
Akan tetapi, baik deprivasi maupun frustasi tersebut yang bermuara pada perasaan
ketidakadilan, pada umumnya berawal dari adanya “peraturan utama” yang mengatakan
bahwa “Siapa yang lebih utama dialah yang membuat peraturan”. Adanya peraturan utama
inilah yang menyebabkan setiap pihak (orang, golongan, kelompok, suku, ras) ingin menjadi
utama (berkuasa, memerintah, mengatur).
‘13
9
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kesalahan Persepsi
Berikut ini, dibahas bagaimana kesalahan persepsi dapat menyebabkan konflik antar
individu atau antar kelompok
Persepsi Cermin
Ketika Urie Brofenbrenner mengunjungi Uni Soviet (US) pada tahun 1960 dia sangat terkejut
mendengar bagaimana pendapat orang Rusia mengenai Pemerintah Amerika Serikat (AS).
(1) Pemerintah AS adalah agresif (secara militer), (2)Pemerintah AS mengeksploitasi
rakyatnya, (3) Pemerintah AS tidak dapat dipercaya dalam diplomasi karena di AS sendiri
orang berbicara hal yang sama mengenai US. Lama-kelamaan timbul prasangka yang
semakin dalam antara kedua bangsa yang berlangsung terus sampai tahun 1980an. Segala
sesuatu jika mereka yang melakukan dinilai jelek, tetapi hal yang sama jika kita lakukan
sendiri tidak apa-apa. Misalnya, ketika AS menginvasi Vietnem, US marah. Sebaliknya,
ketika US masuk ke Afganistan, AS yang marah. Kecenderungan untuk melihat perilaku
sendiri kepada orang lain dan sekaligus menyalahgkannya dinamakan “persepsi cermin”
(mirror image perception).
Persepsi yang berubah-ubah
Kesalahan persepsi yang dapat menimbulkan konflik dapat juga disebabkan oleh persepsi
itu sendiri yang sering berubah-ubah tergantung pada keadaan subjek yang melakukan
persepsi itu, hubungan subjek dengan orang lain atau pihak lain, dan situasi sesaat.
Persepsi selalu subjektif, tidak objektif, jika tidak mudah untuk mengetahui mana yang
benar. Misalnya, waktu masih pacaran, seorang pria menyukai semua hal pada pacarnya
(“Kalau marah, kamu tambah cantik deh”). Akan tetapi, kalau sudah menikah, semua yang
tadinya bagus menjadi jelek (“Mengapa sih, marah-marah melulu! Jelek, lu!”).
Demikian juga yang terjadi pada hubungan antarbangsa. Orang AS pernah membenci
bangsa Jerman pada Perang Dunia I, tetapi memuja Jerman setelah PD I. Dalam PD II
Jerman dikutuk lagi oleh AS, tetapi setelah PD II Jerman menjadi sekutu AS yang paling
dekat. Demikian pula Jerman. Sebelum PD II kawan, dalam PD II lawan, setelah PD II
‘13
10
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kawan lagi. Akan tatapi, setelah Jepang mengancam ekonomi AS, Jepang kembali menjadi
lawan. Sebaliknya, terjadi pada US. Pada PD II US adalah sekutu AS, semasa perang
dingin menjadi musuh. Jelaslah bahwa disini ada pengaruh afek (perasaan). Jika afek
seseorang atau sekelompok sedang positif (senang, bahagia, penuh harapan), persepsi
terhadap orang lain positif juga. Sebaliknya jika afek sedang negative (marah, kesal, takut,
iri), persepsi terhadap orang lain pun negative (DIvidio dalam Sarwono, 2001).
Seperti ilmu terapan, Psikologi Sosial mencoba mencari berbagai alternatif untuk mengatasi
konflik sebagaimana uraian pada materi konflik antar kelompok.. Di pihak lain, harus tetap
diperhatikan bahwa ada hal-hal tertentu dalam psikologi yang masih tetap merupakan
kendala terhadap penyelesaian konflik secara tuntas. Faktor tersebut antara lain adalah
naluri agresif yang oleh kaum psikoanalis dikatakan disublimasikan ke dalam permusuhan
terhadap kelompok luar (outgroup), ketaatan kepada pemimpin, motivasi untuk berkuasa
dan memperoleh kekayaan, kekeraskepalaan, kemarahan dan perilaku-perilaku yang terkait
dengan jenis kelamin (Caspary dalam Sarwono, 2001).
Walaupun konsep naluri ini masih kontroversial, banyak bukti bahwa agresivitas tidak
sepenuhnya dapat dilenyapkan karena masih terdapat factor-faktor lainnya di luar naluri itu
sendiri. Faktor lain itu adalah faktor-faktor eksternal, seperti pengaruh sejarah, kebudayaan
dan kebiasaan yang sudah mengakar selama beberapa generasi. Misalnya, adat suku-suku
Amungme dan Komoro di Mimika, Irian Jaya, yang sudah berlangsung beradab-adab tidak
begitu saja dapat diubah dalam waktu beberapa belas tahun, walaupun sudah diupayakan
pendidikan, inkubasi bisnis dan sebagainya. Contoh lain, Polisi Afrika Selatan pada tanggal
21 Maret 1985 dalam kerusuhan di provinsi Cape Timur melepaskan tembakan kepada
sekelompok kecil kerumunan sehingga menewaskan 10 orang kulit hitam. Penembakan itu
didasari oleh agresi emosi, bukan agresi instrumental (yaitu agresivitas yang pelu
dilaksanakan petugas untuk memulihkan keamanan). Emosi petugas muncul karena pada
saat-saat kritis itu mereka tidak mendapat petunjuk atau peristiwa dari komandannya karena
terputusnya hubungan komando. Agresitvitas itu jadinya bukan merupakan bagian dari
sistem kekuasaan formal yang belaku saat itu, melainkan sebagai cetusan emosi petugaspetugas polisi kulih putih yang sudah beberapa generasi bersikap bermusuhan terhadap
kulit hitam (Thornton dalam Sarwono, 2001).
Di samping itu, terdapat bukti-bukti bahwa walaupun tidak ada lagi kaitan sejarah, faktorfaktor baru yang terjadi, yang mempengaruhi proses kognitif (melalui perbandingan sosial
‘13
11
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan lain-lain) dapat melanjutkan hubungan antarkelompok yang sudah buruh dan semula
mempunyai alasan tradisional. Misalnya, prasangka yang cukup kuat di kalangan kulit hitam
AS terhadap orang Yahudi yang selama ini berlangsung karena tradisi, sekarang justrus
terhadap di kalangan kulit hitam yang berpendidikan tinggi yang mempunyai wawasan luas
yang mampu membuat perbandingan dan penilaian baru (Okami dalam Sarwono, 2001).
Untungnya berbagai penelitian membuktikan bahwa konflik yang mempunyai aspek-aspek
positif, seperti memperkuat identitas kelompok, meningkatkan prestasi kelompok (Jehn
dalam Sarwono, 2001), memberi peluang untuk belajar, meningkatkan consensus (Franz &
Jin dalam Sarwono, 2001).
Kontak
Kontak (hubungan langsung) adalah salah satu hal yang terpenting untuk mendekatkan
pihak-pihak yang saling berinteraksi. Makin sering kontak, makin dekat hubungan antara
pihak-pihak yang tadinya saling mengenal, saling bersikap negative, atau saling
bermusuhan. Salah satu contoh adalah hubungan golongan pria dan wanita di Indonesia.
Secara tradisional kaum wanita di Indonesia mempunyai posisi yang lebih rendah dari pria
(tidak mempunyai kesempatan bersekolah, lapangan kerja terbatas, haknya dalam keluarga
sangat terbatas dan sebagainya). Sebagai hasil perjuangan R.A. Kartini, di Indonesia mulai
ada sekolah-sekolah khusus perempuan semakin banyak, semakin tersebar, dan semakin
tinggi tingkatannya (mula-mula terbatas pada sekolah kepandaian putri kemudian
berkembang SMA-SMA seperti Santu Ursula, Theresia dan Loyola dan akhirnya pada tahun
1964 pernah dibuka Fakultas Kedokteran dari Universitas Wanita “Kartini” di Jakarta). Pada
tahap berikutnya, sekolah-sekolah umum semakin banyak menerima murid wanita, demikian
pula sekolah-sekolah kejuruan teknis dan universitas. Dampaknya sekarang wanita
Indonesia menempati posisi yang relative paling maju di antara negara-negara berkembang,
sebagai akibat dari semakin banyaknya kontak antara golongan pria dan wanita, baik dalam
forum-forum pendidikan maupun pekerjaan.
Contoh lain adalah di Korea Selatan. Status wanita di negari itu pun mengalami
perkembangan. Dalam masyarakat yang masih tetap mempertahankan sistem “demokrasi
patriaskhal” (dominasi pria), wanita sudah mulai mendapat posisi (politik) karena terjadinya
kategorisasi atau skema kogntiif yang paling fleksibel untuk wanita di kalangan kaum pria
(Soh dalam Sarwono, 2001).
Di bidang militer, pengaruh kontak terhadap interaksi yang positif dilaporkan oleh Stouffer
dalam Sarwono (2001). Setelah Perang Dunia II diadakan wawancara terhadap anggota
tentara kulit putih mengenai pendapat mereka terhadap pasukan atau kesatuan tentara
‘13
12
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
campuran (kulit hitam dan putih). Ternyata mereka berasal dari pasukan/kesatuan khusus
kulih putih hanya 11 % yang menyatakan setuju, sedangkan tentara kulih putih yang berasal
dari pasukan/kesatuan campur 60 % menyatakan setuju.
Di kalangan penghuni pemukiman, eksperimen tentang kontak dilaporakan oleh Deutsch &
Collins dalam Sarwono (2001). Pada tahun 1949 dan 1950 dibuka dua pemukinan baru.
Yang satu di New York City, sedangkan yang satu lagi di Newark, New Jersey. Walaupun
lokasi kedua permukiman apartemen itu hanya dipisahkan oleh sebuah sungai, keduanya
terletak di negara bagian yang berbeda. Di negara bagian New York berlaku undangundanga desegragasi (penetapan tempat hunian tidak boleh membedakan warna kulit)
sehingga penghuni kulih putih dicampurkan (tinggal berdekatan) dengan penghuni kulit
hitam. Sebaliknya, di negara bagaian New Jersey (pada waktu itu) berlaku undang-undang
segregasi. Jadi, hunian kulit hitam dipisahkan dari hunian kulit putih. Hasil wawancara
terhadap penghuni wanita kulit putih di New York adalah menyetujui pemukiman antar ras,
sedangkan penghuni wanita kulit putih di Netwark tidak menyetujui.
Di pihak lain, kontak memang tidak selalu berhasil mengembangkan sikap yang positif dan
saling kerja sama. Misalnya, dalam kasus hubungan Israel-Palestina, kontak (perundingan)
yang berkali-kali antara Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin dan pemimpin PLO Yaser
Arafat, yang dipelopori oleh Menteri Negeri AS Warren Christopher, telah membuahkan
berbagai kesepakatan menuju perdamaian. Akan tetapi, seteak Yitzak Rabin digantikan oleh
Nethanyahu membuka terowongan kuno Al Aqsa yang membuat marah orang-orang
palestina. Selain itu, ia pun membuka permukiman Yahudi di Yerusalem Timur yang jelasjelas bertentangan dengan isi perjanjian perdamaian Israel dan Palestina. Sejak itu (awal
1997), hubungan antara kedua pihak yang sudah membaik menjadi rusak kembali. Upaya
Presiden AS, Bill Clinton pun untuk mendekatkan kedua pihak itu tidak berhasil, tetapi justru
semakin menjauhkan mereka.
Kontak yang justru mengurangi interaksi yang positif terjadi pada menantu yang tinggal
bersama mertua. Selama mereka tinggal serumah, sering terjadi konflik, tetapi setelah
tinggal terpisah, pada umumnya justru hubungannya menjadi lebih baik.
Demikian pula pelajar-pelajar yang sudah terlibat permusuhan antarsekolah sulit untuk
dipertemukan. Walaupun ketua OSIS sudah saling didamaikan, perkelahian antarsekolah
tidak jgua reda. Sementara jika diadakan pertandingan sepak bola persahabatan
antarsekolah-sekolah yang bermusuhan, yang terjadi bukannya persahabatan karena
adanya kontak, melainkan justru perkelahian gara-gara sepak bola itu sendiri.
‘13
13
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kontak yang Tidak Mendukung Interaksi Positif
Penelitian-penelitian mengenai kontak yang tidak mendukung interaksi positif adalah
sebagai berikut :
1. Orang-orang tua kulit putih yang tinggal di kawasan pemukiman yang mayoritas
penduduknya adalah orang-orang Hispanik/Amerika Latin, tidak setuju anak-anak
mereka di sekolah diberi pelajaran bahasa Spanyol di samping bahasa Inggris
(Huddy & Sears dalam Sarwono, 2001).
2. Media massa merupakan sarana keterbukaan dan kontak antara berbagai unsur
dalam masyarakat. Akan tetapi, sering kali media massa malah mempertajam
indetitas kelompok dan meningkatkan konflik (Price dalam Sarwono, 2001).
3. Di Harris Country Texas, dua kelompok minoritas (kulit hitam dan Hispanik) tidak
selalu mendukung koalisi politik antara kedua kelompok itu. Bahkan, semakin tinggi
kedudukan, tingkat sosial-ekonomi, dan pendidikan seseorang semakin rendah
dukungannya terhadap koalisi (Tedin & Murray dalam Sarwono, 2001).
4. Prasangka penduduk kulit putih Kanada terhadap penduduk asli (Indian atau
dinamakan juga Aborigin-Kanada) masih tetap didasari oleh prasangka, perbedaan
sosial-ekonomi, dan interes kelompok semakin sulit dikembangkan hubungan yang
harmonis walaupun sudah sering dilakukan kontak (Langford dalam Sarwono, 2001).
5. Kontak warga negara Indonesia (WNI) non-pribumi (keturunan Cina) dengan pribudi
di Semarang pada tahun 1950-an sangat dekat, tetapi tidak sejajar. Cina sebagai
majikan, pribumi sebagai pembantu. Akibatnya timbul perasaan superioritas
kelompok Cina terhadap pribudmi (Willmott dalam Sarwono, 2001). Keadaan yang
masih berlangsung sampai saat ini, sering kali merupakan sekam yang pada saatsaat tertentu dapat menyalakan api rasialisme di Jawa Tengah, di Jawa bahkan di
Indonesia pada umumnya.
6. Walaupun selalu terjadi kontak yang intensif (bahkan sering kali didorong dan
didukung oleh pemerintah), prasangka rasial (yang sering bercampur dengan politik,
agama dan kebudayaan) terhadap WNI keturunan Cina masih tumbuh di kalangan
masyarakat pribumi di Indonesia. Bentuk prasangka itu, antara lain dengan adanya
anggapan bahwa Cina adalah eksklusif; Cina mendominasi perekonomian; Cina
adalah komunis; Cina masih dekat ke tanah leluhurnya daripada ke Indonesia; Cina
sama saja semuanya (homogeny) (Suryadinata dalam Sarwono, 2001).
‘13
14
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kontak yang Meninbulkan Interaksi Positif
Kontak yang menimbulkan hubungan antarindividu atau kelompok jika status kedua pihak
setara (equal status contact), tetapi akan mempertajam konflik jika kontak itu terjadi dalam
situasi kompetitif, tidak ditunjang oleh penguasa atau pengatur, dan tidak setara (Pettigrew
dalam Sarwono, 2001). Dalam keadaan yang setara, semakin banyak kontak semakin kecil
kemungkinan bias (penyimpangan) persepsi (Gaerner dalam Sarwono, 2001).
Selain itu penelitian juga telah membuktikan bahwa kontak dan komunikasi, baik antar
kelompok maupun di dalam kelompok dapat meningkatkan daya guna kelompok (group
efficacy), tetapi daya guna kelompok tidak dapat meningkatkan komunikasi (Kerr dalam
Sarwono, 2001).
Sayangnya, keadaan setara dan adanya tujuan bersama yang dapat meningkatkan
hubungan antarkelompok melalui kontak sangat jarang dalam kenyataan sehari-hari (Amir
dalam Sarwono, 2001).
Kerjasama
Kesetaraan ternyata juga belum menjamin kerja sama yang baik antara dua kelompok.
Dalam eksperimen Sherif (dalam Sarwono, 2001) yang telah diuraikan diatas, kelompok
Elang dan Ular tetap bermusuhan walaupun kompetisi telah dihentikan. Kegiatan-kegiatan
bersama yang tidak kompetitif: menonton, makan bersama, dan memasang kembang api,
tetap diwarnai oleh permusuhan. Sesekali permusuhan sudah terjadi sulit untuk
mendamaikan kembali.
Namun, tidak berarti bahwa kedua kelompok sama sekali tidak dapat didamaikan. Dalam
eksperimennya itu, Sherif (dalam Sarwono, 2001) membuktikan bahwa ada factor-faktor
tertentu yang dapat memperbaiki hubungan antara dua kelompok.
1. Musuh bersama
Di tahun 1945, kelompok-kelompok yang saling bersaing di Indonesia bersatu padu
untuk merebut kemerdekaan. Kelompok Mujahidin di Afganistan segera bekerja
sama dengan bekas musuhnya, golongan komunis, setelah kelompok Taliban
menguasai Kabul dan merupakan ancaman, baik terhadap kaum Mujahidin maupun
komunis. Saddam Husein berperang melawan Iran selama 8 tahun dan hasilnya
‘13
15
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
adalah kebangkrutan Irak, ribuaan orang tewas, kritik dari dalam negari dan
perbatasan Irak-Iran sama sekali tidak berubah, sama seperti sebelum perang.
Untuk menghindari perpecahan dalam negeri Saddam Husein menciptakan musuh
bersama baru, yaitu Kuwait (Socolovsky dalam Sarwono, 2001).
2. Tujuan bersama
Musuh bersama dapat disubstitusikan dengan tujuan bersama, tujuan yang lebih
tinggi, dan lebih utama dari pada tujuan kelompok masing-masing. Dalam
eksperimen Sherif (dalam Sarwono, 2001), dibuat problem seakan-akan saluran air
mampat sehingga seluruh penghuni perkemahan tidak dapat mandi, minum dan
memasak. Kelompok Elang dan Ular mau tidak mau harus bekerja sama untuk
membuat air mengalir kembali di perkemahan. Pada kesempatan lain, tiba-tiba ada
truk mogok menghalangi jalan masuk ke perkemahan. Sopirnya minta tolong kepada
anak-anak dan setelah semua anak (baik dari kelompok Elang maupun Ular) ikut
mendorong, truk dapat berjalan. Semua anak bertepuk tangan. Setelah itu, suasan di
perkemahan menjadi jauh lebih akrab. Kedua kelompok mau bertegur sama dan
mau bekerja sama membuat acara-acara. Ketika pulang ke Oklahoma, kedua
kelompok membaur dalam bus-bus dan bersama-sama menyanyikan lagu
Oklahoma.
Eksperimen Sherif tersebut direplikasi oleh Blake & Mounton (dalam Sarwono, 2001(
terhadap 1000 orang eksekutif dalam 150 kelompok yang berbeda. Hasilnya dengan
ekperimen Sherif. Kesimpulannya adalah bahwa proses dari lawan menjadi kawan
tidak hanya terjadi pada remaja, tetapi juga terjadi pada orang dewasa.
Akan tetapii, kita juga harus berhati-hati karena keberhasilan Sherif yang dikukuhkan
oleh Blake & Mouton itu disebabkan karena adanya upaya bersama antara kedua
kelompok itu (Elang dan Ular) diakhiri dengan keberhasilan upaya itu sendiri.
Keberhasilan itulah yang menyebabkan hubungan antarkedua kelompok yang
awalnya bersaing menjadi akrab. Sebaliknya, kalau hasil upaya bersama itu tidak
seperti yang diharapkan (jelek, gagal, tidak sukses), kedua kelompok justru akan
semakin bermusuhan karena keduanya saling menyalahkan (Worchel dalam
Sarwono, 2001).
3. Mempelajari sesuatu secara bersama
Ketika kelompok Elang dan Ular bersama-sama berusaha memperbaiki saluran,
anggota kelompok tidak hanya mempelajari sistem saluran air bersama-sama, tetapi
‘13
16
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
juga belajar untuk saling bekerja sama. Proses ini meningkatkan hubungan
antarkelompok (Sherif dalam Sarwono, 2001). Di Amarika Serikat sejak tahun 1960an anak-anak kulit putih dari anak-anak kulit berwarna diharuskan bersekolah di
sekolah campuran. “Mereka saling belajar untuk saling bekerja sama. Hasilnya
adalah semakin meningkatnya pengertian antara kedua kelompok itu (Slavin dalam
Sarwono, 2001).
Komunikasi
Komunikasi antarkelompok yang dapat meningkatkan kerjasama, dapat berwujud salah satu
dari tiga bentuk yang berikut. (1) Tawar Menawar (bargaining), (2) dengan perantaraan
pihak ketiga (mediasi), (3) arbritasi (mediasi aktif, dimana pihak ketiga ikut menawarkan
alternative penyelesaian masalah).
Tawar Menawar
Tawar Menawar (bargaining) adalah mencari alternatif dalam konflik antara dua kelompok
dengan langsung berkomunikasi. Tujuannya adalah untuk mencari posisi atau situasi yang
paling tepat yang dapat memuaskan kedua pihak (seperti dalam tawar menawar di pasar).
Kelompok yang kerja sama dalam kelompoknya baik, juga lebih baik dalam negosiasi
antarkelompok, sedangkan kelompok yang dalam kelompoknya sendiri saling berkompetisi
juga cenderung untuk berkompetisi dengan kelompok lain (Keenan & Carnevale dalam
Sarwono, 2001). Akan tetapi, tawar menawar tidak selalu berhasil. Kalau penawaran terlalu
tinggi, pihak lain merasa tidak perlu melanjutkan komunikasi sehingga pemecahaman
persoalan yang diharapkan tidak terjadi. Dalam perang teluk, misalnya, Presiden Bush
pernah berucap melalui media masa, “Kita akan sepak pantat si Saddam”, dan Saddam
Husein membalas, “Kita akan buat Amerika tolol itu berenang di darahnya sendiri”. (Myers
dalam Sarwono, 2001). Setelah ucapan-ucapan itu, tidak dapat lagi dilakukan komunikasi
antara kedua pihak tanpa ada pihak yang harus kehilangan muka sehingga terjadilah perang
Teluk itu.
Mediasi
‘13
17
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Untuk menyelamatkan kedua pihak dari kehilangan muka, diperlukan pihak ketiga, yaitu
mediator. Peran mediator hanya menjadi penghubung atau penengah antara kedua pihak
sehingga tercapai penyelesaian masalah sebagaimana yang diharapkan tanpa harus ada
yang kehilangan muka. Dengan perkataan lain, mediator berfungsi untuk mengubah dari
konflik menang-kalah (win-loose conflict) menjadi konflik menang-menang (win-win conflict)
(Pruitt dalam Sarwono, 2001).
Contoh klasik dikemukakan oleh Follet (dalam Sarwono, 2001), yaitu dua saudara
perempuan yang berebut sebuah buah. Melalui pihak ketiga diketahui bahwa saudara yang
satu mau membuat sari jeruk, sedangkan saudara yang lain ingin membuat selai kulit jeruk.
Akhirnya, konflik ini diselesaikan dengan memberikan isi jeruk kepada saudara yang
pertama dan kulitnya kepada saudara yang kedua.
Dalam praktik psikologi sering terjadi pasangan suami-istri atau ibu-anak datang kepada
psikolog dalam keadan tidak dapat saling berkomunikasi. Setelah psikologi mewawancaraai
kedua pihak secara terpisah, diketahuilah hal-hal yang dapat dikembangkan untuk mencapai
penyelesaian menang-menang. Dalam konsultasi-konsultasi berikutnya, kedua pihak diajak
oleh psikolog untuk saling berkomunikasi dengan memanfaatkan hal-hal yang positif
tersebut.
Kunci untuk mencapai penyelesaian menang-menang adalah saling percaya (Ross & Ward
dalam Sarwono, 2001). Dalam kasus dilema terdakwa yang sudah diuraikan pada materi
konflik antar kelompok, kedua terdakwa sama-sama tidak mau mengaku sehingga keduanya
mendapat hukuman yang cukup berat karena keduanya terdakwa saling percaya, tentu
keduanya akan mengaku dan mendapat hukuman yang ringan. Membuat kedua terdakwa
saling percaya itulah tugas mediator.
Dalam politik, tugas mediator ini dilaksanakan dengan baik oleh Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat, Henry Kissinger, dalam diplomasi ulang alik antara Israel dan negaranegara Arab ketika itu sehingga berhasil ditandatangani tiga persetujuan (Pruitt dalam
Sarwono, 2001).
Abritasi
Kalau mediasi tidak berhasil, sangat boleh jadi diperlukan abritasi. Kegagalan tawar
menawar, baik langsung maupun melalui mediator kemungkinan disebabkan karena kedua
pihak sudah membekukan posisinya masing-masing dan tidak mau bergeser lagi. Kedua
pihak merasa bahwa dengan membekukan posisi itu mereka akan memperoleh
‘13
18
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kemenangan dengan negosiasi yang sedang terjadi. Dalam keadaan ini diperlukan campur
tangan aktif dari pihak ketiga yang bukan hanya menawarkan alternative, melainkan juga
menegakkannya bahwa kalau perlu memaksakannya dengan kekuasaan (Pruitt dalam
Sarwono, 2001).
Dalam konflik Bosnia-Serbia, misalnya negara-negara NATO (dibawah pimpinan Amerika
Serikat) campur tangan dan memaksa perdamaian dengan kekuatan senjata untuk
kemudian dilanjutkan oleh pasukan PBB.
Konsiliasi
Kalau dua kelompok sudah sama sekali tidak dapat saling dihubungkan, tidak ada gunanya
untuk melanjutkan usaha komunikasi . Dalam keadaan ini sebaiknya masing-masing pihak
mengundurkan diri, saling menghindari kontak untuk menghindari hal-hal yang negative.
Pengunduran diri ini dinamakan konsiliasi dan tujuannya adalah untuk meredakan
ketegangan.
Sebagai upaya lebih lanjut dapat diusahakan GRIT (Graduated and Reciprocated Initiatives
in Tension reduction) (Osgood dalam Sarwono, 2001), yaitu masing-masing pihak
melakukan langkah-langkah kecil guna memancing pihak lain untuk bereaksi, yaitu
melakukan langkah-langkah kecil juga. Contohnya adalah pada tahun 1980-an, dalam krisis
Berlin, tank-tank AS dan US sudah saling berhadapan. Krisis itu diatasi dengan ditariknya
tank-tank AS sedikit demi sedikit. Setiap langkah mundur tank AS diikuti oleh mundurnya
tank US sampai akhirnya semua tank dari kedua pihak ditarik mundur (Rubin dalam
Sarwono, 2001).
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W (2001). Psikologi Sosial : Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta:
Balai Pustaka
‘13
19
Psikologi Sosial 2
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download