ISSN 0215-8250 156 STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DAN KINERJA GURU MENYONGSONG PEMBERLAKUAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DAN OTONOMI PENDIDIKAN oleh Wayan Lasmawan Jurusan PPKn Fakultas Pendidikan IPS, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Artikel ini merupakan hasil dari analisis terhadap dokumen, gagasan, dan teori tentang kurikulum. Formulasi ide dan profil implementasi kurikulum berbasis kompetensi dalam pelaksanaan otonomi pendidikan didukung oleh berbagai dokumen formal. Artikel ini mencoba melakukan operasi secara total tentang strategi peningkatan mutu pendidikan dan mutu guru dalam rangka pelaksanaan otonomi pendidikan dan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi. Pada bagian akhir pembahasan, dicoba untuk memformulasikan kompetensi standar guru sebagai salah satu strategi dari peningkatan mutu pendidikan nasional. Kata kunci: mutu pendidikan, kinerja guru, kurikulum berbasis kompetensi, dan otonomi pendidikan. ABSTRACT This article is products of docment, ideas, and theory analysis about curriculum. Ideas and profile formulation of implementation of curriculum based copetency in education outhonomy was supported by a set of formal documents. This article tried to be total operation about strategy to increase of education and teacher quality in outhonomy of education and curriculum based competency implementation. At the end of disccussion, the writter try to be formulated of teachers standard quality as one of strategy to increase of national education quality. Key words: education quality, teacher performance, curriculum based competency, and education authonomy. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 157 1. Pendahuluan Riak dan desah nafas masyarakat senantiasa menghadirkan nuansa tersendiri bagi insan-insan yang hidup di dalamnya. Lembaga pendidikan merupakan satu diantara banyak institusi yang ada di masyarakat dan difungsikan bagi kesejahteraan umat manusia. Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat berat, berkaitan dengan peningkatan mutu dan relevansinya. Paradigma berpikir para pelaku pendidikan nampaknya mulai bergeser secara vertikal dalam basis paedagogis, seiring dengan pemberian otonomi pendidikan bagi pemerintah kabupaten/kota sebagai implikasi langsung dari pemberlakuan azas desentralisasi. Masalah pendidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan banyak berkaitan dengan mutu pendidikan baik dalam dimensi proses maupun hasilnya. Masalah ini semakin dirasakan sebagai krisis pendidikan yang meresahkan, karena banyak pendekatan pembangunan pendidikan hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha mencerdaskan kehidupan bangsa cenderung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan kualitas. Walaupun sekarang ini telah dilancarkan pengembangan pendidikan yang menyangkut pemerataan, kualitas, produktivitas dan relevansi, namun masalah pendidikan terus berkembang makin rumit dan terbelenggu dalam sistem yang tengah terstruktur. Membicarakan masalah mutu pendidikan ternyata amat pelik, karena menyangkut berbagai aspek, orientasi, pendekatan, strategi, serta kriteria dan kepentingan yang berkait dengan penilaian mutu tersebut. Banyak usaha yang telah dan tengah dilakukan serta hasil yang diperoleh. Di lain pihak muncul pula kritik dan keluhan kepermukaan, namun jarang sekali dilengkapi alternatif pemecahan yang dipandang tepat. Adakalanya alternatif pemecahan yang dicanangkan tidak mampu memecahkan masalah yang ada, namun justru melahirkan masalah baru yang lebih sulit dan kompleks. Sekolah sebagai institusi pendidikan formal dan media pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia, juga dihadapkan kepada tantangan untuk mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern. Tantangan ini semakin diperkuat dengan adanya __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 158 kecendrungan menempatkan masalah pembangunan pendidikan terbatas pada kejenuhan kurikulum dan kualitas sumber dayanya, sehingga analisis akademis dan analisis proyektif sebagai latar alamiah dan salah satu orientasi pendidikan sering terabaikan. Kondisi ini merupakan tantangan dan masalah yang sangat serius bila kita kaitkan dengan pemberlakuan otonomi pendidikan (desentralisasi pendidikan) dan pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Berdasarkan wacana dan realitas menyangkut kualitas pendidikan nasional dan profesionalisme pelaku pendidikan di atas, tulisan singkat ini berupaya membedah secara akademis dalam tataran “pola pikir dan gaya bertutur ala ilmuwan sosial” mengenai strategi peningkatan mutu pendidikan dan kinerja guru dalam rangka pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan otonomi pendidikan. Pembedahan akan diawali dengan sajian profil dokumen formal yang mewadahi pemberlakuan otonomi pendidikan, dilanjutkan dengan realitas kualitas sumber daya pendidikan, implikasi KBK terhadap pengelolaan pendidikan pada level kabupaten, dan diakhiri dengan wacana pembentukan dan pemberlakuan standar kompetensi minimal pelaku pendidikan (guru). 2. Pembahasan 2.1 Profiler Pemberlakuan Otonomi Pendidikan dan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonom membawa implikasi terhadap pelaksanaan otonomi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satu pesan yang tertuang dalam UU No. 22/1999 adalah bahwa daerah berkewajiban menangani pendidikan yang rambu-rambunya telah dijabarkan dalam PP No. 25/2000. Persoalan mendasar dalam desentralisasi pengelolaan pendidikan adalah mengenai apa yang seharusnya dilakukan, oleh siapa hal itu dilakukan, dengan cara bagaimana, dan mengapa demikian. Melalui pengelolaan yang desentralistik, diharapkan pendidikan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, bermanfaat bagi kehidupan daerah, bangsa, dan negara. Melalui desentralisasi diharapkan tidak terjadi __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 159 kemunduran dalam pendidikan dan tidak juga justru melemahkan semangat integrasi nasional. Persoalan yang terkait dengan pemberian otonomi pendidikan kepada daerah kabupaten/kota dalam rangka peningkatan mutu pendidikan adalah: (a) penataan dan peningkatan kemampuan sistem, kelembagaan, iklim, dan proses pendidikan yang demokratis dan bermutu; (b) pemberdayaan masyarakat sehingga mereka memiliki kemampuan, semangat dan kepedulian terhadap pendidikan; (c) peningkatan kualitas proses dan produk pendidikan, mengingat pendidikan bukan hanya berorientasi local (daerah), melainkan juga berorientasi pada kepentingan nasional dan bahkan harus memiliki persfektif global, dan (d) peningkatan akuntabilitas pendidikan, artinya lembaga pendidikan senatiasa dituntut untuk mempertanggung jawabkan hasilnya pada masyarakat. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah hanya akan berhasil apabila didasarkan atas konsep yang jelas, baik menyangkut pelakunya maupun dalam rangka menganalisis permasalahan secara utuh, dan secara teknis permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara sinergis. Karangka berpikir yang dikembangkan seutuhnya untuk kepentingan pengembangan kebijakan pendidikan adalah visi dan misi pendidikan nasional yang perlu dirumuskan dengan memperhitungkan aspekaspek idiologis dan empiris. Aspek idiologis mencakup konsep filosofis dan tata nilai, sedangkan aspek empiris menyangkut praktek pendidikan, lingkungan nasional dan lingkungan global. Visi dan misi ini merupakan dasar dalam perumusan kibijakan dasar dan strategis pencapaiandalam menemukan solusi atas isu-isu strategis pendidikan, yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan terhadap usaha mengatasi krisis yang melanda bangsa ini dan menumbuhkan kehidupan yang cerdas menuju masyarakat Indonesia baru. Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan ini merupakan upaya pemberdayaan daerah dan sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh. Salah satu upaya nyata peningkatan mutu pendidikan adalah penyempurnaan kurikulum. Indikator keberhasilan pembaruan kurikulum ditunjukkan dengan adanya perubahan pada pola kegiatan belajar-mengajar, memilih media pendidikan, menentukan pola penilaian, dan pengelolaan kurikulum sebagai indicator judgement hasil pendidikan. Pembaruan kurikulum akan lebih bermakna __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 160 bila diikuti oleh perubahan pengelolaan kurikulum yang dengan sendirinya akan mengubah praktik-praktik pembelajaran (KBM) di kelas. Selama ini sumber daya manusia yang ada di daerah dan sekolah kurang diberdayakan dalam pengelolaan kurikulum. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diarahkan untuk memberdayakan sumber daya yang ada di daerah dan sekolah dalam mengelola Kurikulum Berbasis Kompetensi. Sebagai suatu sistem kurikulum nasional, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mengakomodasikan berbagai perbedaan secara tanggap budaya dengan memadukan beragam kepentingan dan kemampuan daerah. KBK menerapkan strategi yang meningkatkan kebermaknaan pembelajaran untuk semua peserta didik terlepas dari latar budaya, etnik, agama, dan gender melalui pengelolaan kurikulum berbasis sekolah. 2. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Rekonseptualisasi Format Masyarakat Indonesia Kedepan Rekonseptualisasi KBK, menggunakan landasan filosofis Pancasila sebagai dasar pengembangan kurikulum. Pancasila sangat relevan untuk penerapan filosofi pendidikan yang mendunia seperti empat pilar pendidikan yang dikedepankan oleh UNESCO (1998), yaitu: belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri, dan belajar hidup dalam kebersamaan. Di sisi lain, jika “dibedah” secara tuntas, tampak bahwa KBK pada dasarnya mengacu pada penerapan nilainilai filosofis “behavioristic”. Di sisi lain, konseptualisasi KBK juga telah mempertimbangkan kondisi kekinian dan format kehidupan masa depan yang di cita-citakan. Landasan filosofis Pancasila dan faktor-faktor terkait dengan konteks pendidikan seperti otonomi daerah sangat berpengaruh pada pembangunan pendidikan di daerah. Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, akan dituntut adanya kompetensi standar di berbagai bidang sehingga generasi muda perlu menguasai kompetensi yang dapat mewujudkan kehidupan demokrasi dan kemampuan bertahan hidup dalam keadaan jaman yang selalu berubah. Rekonseptualisasi kurikulum ini mewujudkan kurikulum yang berbasis kompetensi yang terfokus pada: (1) kejelasan kompetensi dan hasil belajar siswa, (2) penilaian berbasis kelas, dan (3) kegiatan belajar mengajar yang merupakan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 161 kesatuan perangkat utuh sebagai acuan standar nasional (Puskur, 2001; Hasan, 2002; Sumantri, 2003). Sementara fokus lain dari rekonseptualisasi KBK adalah pengelolaan kurikulum berbasis sekolah yang merupakan kesatuan pengembangan perangkat utuh dalam desentralisasi kurikulum di daerah. Menurut Hasan (2002), pengembangan KBK sebagai sebuah perangkat utuh oleh daerah, terdiri dari: (a) pengembangan silabus, (b) penetapan dan pengembangan materi yang diperlukan di sekolah atau daerah, (c) pelaksanaan kurikulum, dan (d) pengembangan sistem pemantauan. Dengan demikian, sistem kurikulum nasional dalam KBK mencakup dua inovasi mendasar dalam pendidikan, yaitu: (1) terfokus pada standar kompetensi dan hasil belajar, dan (2) mendesentralisasikan pengembangan silabus dan pelaksanaannya (hasan, 2002). Kedua inovasi ini sejalan dengan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan (Puskur, 2001). Dalam hal kesatuan dalam kebijakan, kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan pengembangan kompetensi standar yang dirumuskan dalam level pencapaian prestasi siswa. Standar kualitas kompetensi siswa yang dimaksud berupa hasil belajar (kinerja) yang ditetapkan disertai dengan patokan atau ukuran yang jelas dalam beberapa indikator. Tingkatan (level) ini dapat digunakan untuk menelaah ketercapaian kondisi dan proses minimal tertentu yang dapat digunakan untuk memacu pencapaian yang lebih baik. Selanjutnya keberagaman dalam pelaksanaan di implementasikan dalam desentralisasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan ini menuntut perubahan dalam pengelolaan kurikulum pada tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota bertanggung jawab dalam pengembangan silabus yang relevan dengan kebutuhan daerahnya sekaligus bertanggung jawab untuk dapat mencapai standar mutu yang tinggi. Suatu tim perekayasa kurikulum dapat dibentuk untuk mengembangkan silabus sekaligus memberdayakan dan meningkatkan kemampuan sumber daya di daerah. Berpedoman pada kondisi praktek dan mutu pendidikan nasional sebagaimana yang telah tersaji di atas, tampaknya ada beberapa poin yang layak dikedepankan sebagai acuan dan landasan berpikir bagi peningkatan mutu pendidikan dan kinerja guru di era otonomi ini, yaitu: (1) diperlukan upaya yang sinergis dalam memberdayakan dan meningkatkan potensi sumber daya manusia __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 162 melalui jalur pendidikan, seiring dengan semangat pemberlakuan otonomi pendidikan dan KBK secara total pada tahun 2004, (2) pemberian otonomi pendidikan kepada daerah kabupaten/kota merupakan salah satu solusi yang dipandang strategis dalam meningkatkan kebermaknaan potensi daerah yang beragam, sehingga akan terpola kompetisi dalam kesatuan yang pada akhirnya akan meningkatkan gradasi bangsa dan negara dalam percaturan global, (3) KBK merupakan rekonseptualisasi kurikulum yang dilandasi oleh philosophy behavioristik dengan tetap berorientasi pada nilai-nilai filsafat Pancasila sebagai way of life bangsa dan negara Indonesia, sehingga pengembangan perangkat pendukungnya juga harus sesuai dengan nilai-nilai tersebut, (4) diperlukan penyadaran moral-birokratis dan penyiapan sumber daya administrasi yang memadai secara kualitas maupun kuantitas di daerah agar pelaksanaan otonomi pendidikan dan KBK sebagai bentuk inovasi pendidikan terlaksana secara penuh dan bermakna bagi peningkatan kehidupan bangsa dan negara, (5) sistem kurikulum nasional dalam KBK mencakup dua inovasi mendasar dalam pendidikan, yaitu: terfokus pada standar kompetensi dan hasil belajar, dan mendesentralisasikan pengembangan silabus serta pelaksanaannya, dan (6) pemberlakuan KBK secara nasional mulai tahun 2004 tampaknya sangat cocok dengan prinsip kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan. Untuk merealisasikan hal itu, diperlukan adanya kesatuan bahasa dan laku dari para pengeambil dan pelaksana kebijakan dalam bidang pendidikan di daerah Kabupaten sebagai sentral pelaksanaan otonomi. 3. Strategi Peningkatan Kinerja Guru dan Implementasi KBK dalam Lingkungan Sekolah Kualitas (mutu) pendidikan dipertaruhkan dalam skema paradigmatikrealistik oleh para pengambil kebijakan formal, termasuk dalam bidang pendidikan. Berkaitan dengan itu, upaya apakah yang bisa dilakukan untuk menjembatani keresahan seputar rendahnya mutu pendidikan yang saat ini mulai mengemuka dan banyak dijadikan polemik seiring dengan menajamnya tantangan kehidupan global ?. Ada sejumlah pertanyaan yang layak dikedepankan berkaitan dengan hal itu, diantaranya: (1) bagaimana eksistensi kurikulum sebagai dokumen ide dan strategi politis-akademis ?, (2) bagaimanakah performansi guru dalam __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 163 kapasitasnya sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum?, dan (3) pola serta sistem aplikasi-akademis yang bagaimana dibutuhkan oleh dunia pendidikan sekolah untuk meningkatkan dan menjaga standar mutu dan pelaku pendidikan ?. Berlandaskan pada pertanyaan-pertanyaan medasar di atas, setiap pelaku pendidikan dituntut untuk mampu berbuat dan berperan dalam segala dimensisituasi agar mutu pendidikan tetap terjamin, baik kualitas maupun relevansinya. Di dalam mengkaji interelasi-logis antara kurikulum dan mutu pendidikan, maka sebagai bahan diskusi, ada sejumlah dimensi analisis-konseptual dalam paradigma paedagogis yang dapat digunakan sebagai acuan strategis bagi peningkatan mutu pendidikan nasional dalam menyongsong milenium ketiga yang dicirikan dengan revolusi informasi dan reformasi pranata-pranata sosial kemasyarakatan yang mendasar. Melalui penyempurnaan kurikulum pemerintah berkeyakinan mutu pendidikan dapat ditingkatkan, namun realita yang terjadi di lapangan ternyata lain. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sebagai bentuk aplikasi riil ide, konsep, dan pengalaman yang termuat dalam kurikulum tidak jauh berbeda dari pelaksanaan kurikulum sebelumnya (Hasan, 2002). Hal ini membuktikan bahwa para pelaksana kurikulum (guru) belum memiliki wawasan dan keterampilan yang memadai mengenai kurikulum baru yang telah dicobakan di beberapa daerah kabupaten/kota. Hal ini jelas semakin menjauhkan upaya peningkatan mutu pendidikan. Kondidi tersebut terjawab dengan maraknya ide penyelenggaraan sekolah unggul dengan kurikulum khusus maupun model learning accerelation. Melalui rekonseptualisasi kurikulum nasional yang akhirnya melahirkan KBK, guru diharapkan dapat memerankan fungsi dan kewenangannya sebagai pengembang kurikulum, dimana hal itu selama ini terabaikan. Di sisi lain, pengadministrasian pendidikan juga harus mengacu pada nafas dan karakteristik KBK. Artinya, bahwa diperlukan upaya yang sinergis dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasar, mulai dari penataan sistim, pola, perangkat, pelaku, dan evaluator pendidikan, sehingga diantara komponen tersebut benar-benar telah berada dalam “satu bahasa” dan “satu misi” yaitu meningkatkan peran dan kewajiban masing-masing untuk peningkatan mutu pendidikan. Bila hal tersebut bisa dilakukan, tampaknya keresahan seputar rendahnya mutu pendidikan sekolah bisa dieliminir sedemikian rupa. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 164 KBK dan otonomi pendidikan sebagai “sebuah jawaban” diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara ide, gagasan, prinsip, nilai, moral, dan pemikiran yang terakumulasi dalam kurikulum dengan praktek pendidikan pada dunia sekolah. Melalui pemberlakuan KBK, kualitas produk dari sekolah “minimal” telah berkompetensi atau memiliki kompetensi standar dalam bidang tertentu. Dengan demikian, sekolah bukan lagi diposisikan sebagai “produsen sampah terdidik” atau “manusia yang tidak siap pakai” (Hasan, 2003). Pemberlakuan KBK memerlukan seperangkat upaya yang terpadu dengan melibatkan segala komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya menjalin kemitraan yang abadi antara sekolah dengan masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Bila hal ini dapat terwujud, maka kontrol pendidikan bukan lagi ada di tangan pemerintah, melainkan ada di tangan masyarakat, termasuk dalam pembiayaan dan akselerasi akademisnya. Berdasarkan kajian empiris dan konseptual di atas, tampaknya strategi peningkatan mutu pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan dasar harus dimulai dari bagaimana pendidikan itu dikelola, kemudian berlanjut pada bagaimana pendidikan itu dilakukan, seterusnya dievaluasi dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemilik pendidikan dan segala pirantinya. Strategi ini harus dipahami oleh kalangan birokrasi pendidikan, yang selama ini merupakan titik lemah pengelolaan pendidikan nasional (Hasan, 2003). Guru sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum menempati posisi serta memegang peran penting dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Dalam kapasitasnya sebagai pelaksana kurikulum, guru berkewajiban …carry out the task of promoting learning by providing instructional (World Bank, 1989a). Guru adalah “designer of instruction” dan sekaligus sebagai “manager of instruction” (WEF, 1999). Sejalan dengan pendapat tersebut, kiranya disadari bahwa tanggungjawab guru amat berat, namun tidak berarti mustahil dilakukan. Pembelajaran sebagai kegiatan yang menjembatani peserta didik dengan kecakapan-kecakapan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang harus dipelajari dan dimilikinya agar nantinya mereka dapat memerankan dirinya secara optimal dalam kehidupannya di masyarakat harus dirancang dan dilaksanakan secara seksama. Pembelajaran sebagai muara dari kebijakan pembangunan pendidikan, harus mampu memberikan dan membekali siswa seperangkat __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 165 kebutuhan akademis dan kebutuhan sosial-personal agar mereka dapat hidup layak di masyarakat. Kelayaan yang dimaksud dalam konteks ini, adalah bilaman guru telah dapat memberikan apa yang ingin dipelajari dan diperoleh oleh siswa di sekolah dan sekaligus penyampaian “misi formal” penguasa yang telah tertuang dalam kurikulum. Mengantisipasi upaya peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan kehidupan global, maka guru hendaknya mampu mengembangkan dan membekali dirinya dengan seperangkat kemampuan dan keterampilan dalam memilih dan mengaplikasikan model dan strategi pembelajaran yang mampu menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik. WEF (1999) dalam diskusi-akademisnya telah berupaya menjawab pertanyaan, “…what skills, knowledge and training should teachers have and how should colleges and universities, state departemens of education, and school boards make sure that they have them” ?. Pertanyaan dan jawaban yang dikedepankan oleh WEF memberi petunjuk tentang keterampilan dan kemampuan yang seyogyanya dimiliki dan dimahiri oleh guru agar mereka mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, khususnya memberi apa yang dibutuhkan oleh siswanya dalam belajar di sekolah. Guru tidak membutuhkan kurikulum yang menekankan pada isi, melainkan kurikulum yang memberikan kebebasan yang memadai kepadanya untuk berimvrovisasi dalam pembelajaran, dimana KBK sangat akomodatif terhadap hal tersebut. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas guru, harus disertai dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan instrumen pendidikan, seperti sarana dan prasarana pendidikan, insentif dan kesejahteraan professional guru, manajemen pendidikan yang demokratis dan progresif, kinerja birokrasi pendidikan yang tut wuri handayani, pendanaan yang memadai, partisipasi dan kontrol masyarakat yang optimal, dan adanya penjenjangan karir professional secara periodic dan komprehensif bagi guru. Pelatihan dan penataran atau bentukbentuk in-service training yang dilakukan secara terprogram tidak akan mempunyai makna bilamana kurikulum sebagai wadah dari segala kegiatan pendidikan di sekolah belum dipahami dengan baik “roh” dan “final targetnya” oleh guru. KBK yang saat ini hendak diberlakuan secara nasional, merupakan perwujudan dari konsepsi kurikulum hidup (life curicullum) yang diharapkan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 166 dapat menjadi instrumen bagi upaya peningkatan mutu pendidikan nasional secara maksimal. Rumusan kompetensi dalam KBK merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. Kurikulum Berbasis Kompetensi dapat didiversifikasi atau diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan atau potensi siswa maupun yang menyangkut potensi lingkungan. Secara khusus, tugas unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan KBK (Puskur, 2001; Hasan, 2002; WEF, 1999) dalam kerangka otonomi pendidikan dapat dijabarkan sebagai berikut: Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, memiliki tugas dan kewajiban sebagai berikut: (1) mengusahakan tersedianya sumber dana pada tingkat Kabupaten/Kota yang dialokasikan untuk penyusunan, evaluasi, dan perbaikan silabus, (2) membuat rambu-rambu pengembangan silabus yang sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan, (3) membentuk tim pengembang silabus pada tingkat Kabupaten/Kota, (4) melakukan sosialisasi KBK berkenaan dengan segala implikasi perubahan dalam tatanan penyelenggaraan pendidikan, (5) mengkaji silabus yang dibuat oleh sekolah yang mampu membuatnya sendiri, (6) mendistribusikan silabus ke sekolah-sekolah yang tidak menyusun silabus, (7) mengkaji kelayakan sekolah yang akan memulai menggunakan KBK, (8) memberikan persetujuan jika sekolah telah sanggup melaksanakannya, (9) melakukan supervisi, penilaian, dan monitoring mulai dari penyusunan sampai dengan pelaksanaannya termasuk perangkat silabus. Kepala sekolah, memiliki tugas dan kewajiban antara lain: (1) menjamin tersedianya dokumen kurikulum, (2) membantu dan memberikan nasihat kepada guru dalam memahami kurikulum, (3) mengatur jadwal pertemuan guru, tenaga admistrasi, dan orang tua/komite sekolah, (4) menjalin hubungan dengan Dinas Pendidikan Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan perguruan tinggi yang terkait dalam pelaksanaan kurikulum, dan (5) menyusun laporan evaluasi perencanaan dan pelaksanaan kurikulum di sekolah dan menyampaikannya pada pihak yang terkait. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 167 Guru, memiliki tugas dan kewajiban untuk: (1) mempelajari dan memahami kurikulum, (2) menyusun silabus yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi sekolah, (3) melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan perencanaan yang telah disusun, (4) mengumpulkan dan berbagi gagasan dengan sesama guru mengenai perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, (5) menghadiri pertemuan-pertemuan di tingkat sekolah, KKG/MGMP, tingkat kecamatan, kabupaten atau kota, dan propinsi, dan (6) menyelesaikan tugas-tugas administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Keterlibatan guru dalam penyusunan silabus akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap silabus yang dikembangkannya, dan semakin bertanggungjawab atas materi yang diajarkannya, sehingga dedikasi dalam mengajar semakin tinggi. Jika dibedah tentang makna dan pesan moral-akademis yang dikandung oleh KBK, tampak bahwa pengelolaan KBK bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumberdaya untuk merancang silabus, menetapakan materi ajar, menetapkan sumber belajar, dan memonitor, serta mengevaluasi kurikulum yang dilaksanakan di sekolah masing-masing. Berdasarkan analisis di atas, tampaknya pemberlakuan KBK dan otonomi pendidikan akan memacu uapaya percepatan profesionalisme sekolah dan daerah dalam pembangunan SDM melalui pendidikan. 4. Standar Kompetensi dan Strategi Peningkatan Mutu Guru oleh Pemda Kabupaten Otonomi daerah berimplikasi pada mengecilnya peranan pemerintah pusat, karena tugas-tugasnya hanya meliputi pengembangan kebijaksanaan secara nasional, penyusunan peraturan-peraturan (regulasi), pengembangan standarstandar (standarisasi), pemantaoan (monitoring), dan penilaian (evaluasi). Tugastugas tersebut harus menyentuh lapisan bawah (grass root) mengingat dengan otonomi daerah peranan dan kewewenangan daerah semakin besar. Hal ini menjadi peluang sekaligus tangtangan dalam pengembangan tenaga kependidikan. Oleh sebab itu, kebijakan apapun yang diambil secara nasional harus mengakomodasi berbagai kepentingan daerah, khususnya dalam pengembangan tenaga kependidikan. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 168 Dilihat dari segi kualifikasi, tenaga guru di Indonesia masih jauh dari memuaskan (Indradjati, 2003). Sebagai contoh, dari jumlah guru SD sebanyak 1.141.161 orang, 53 % diantaranya berkualifikasi D-II atau lebih rendah (Dirjen Dikdasmen RI, 2003). Salah satu masalah kritis lainnya, yang dihadapi dalam kaitannya dengan pengembangan ketenagaan oleh pemerintah pusat maupun daerah adalah lemahnya subsistem penyelenggaraan, pembinaan dan peningkatan mutu guru. Hal ini tercermin dalam indikator berikut ini: (a) tidak seimbangnya program pembinaan tenaga kependidikan pada setiap jenjang pendidikan, (b) rendahnya efektivitas pembinaan ditinjau dari pencapaian tujuan lahirnya guru sekolah dasar yang professional, (c) adanya kesenjangan antara konsep pembinaan dengan apa yang diimplementasikan oleh guru dalam kelas, (d) lemahnya sumber daya birokrasi pendidikan yang meregulasi tenaga guru, dan (e) terbatasnya dana pembinaan guru sekolah dasar. Keadaan ini akan tampak lebih parah jika dilihat lebih jauh mengenai masih banyaknya guru yang mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan keahliannya (mismatch) dan masih meluasnya ketidak merataan distribusi guru pada semua jenis dan jenjang pendidikan secara umum. Sejalan dengan semangat otonomi pendidikan dan pemberlakuan KBK, maka daerah kabupaten memiliki tugas dan kewenangan yang cukup terbuka dan sekaligus sangat berat dalam kaitannya dengan peningkatan mutu guru sekolah dasar. Ada seperangkat kegiatan yang dapat dilakukan sebagai strategi peningkatan mutu guru oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten menuju terwujudnya guru yang profesional dan sekaligus meningkatkan mutu pendidikan di era otonomi pendidikan (Hasan, 2003; Lasmawan, 2003; Indradjati, 2003), yaitu: (a) Meningkatkan jalinan kerjasama dengan unsur perguruan tinggi, khususnya LPTK yang ada di daerah maupun di luar daerah otonomnya dalam rangka merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi berbagai program peningkatan mutu guru; (b) Memotivasi secara moral dan material peningkatan kualifikasi guru melalui program penyetaraanserta melaksanakan pelatihan guru terakreditasi; (c) Mengembangkan model pelatihan berbasis kompetensi dengan mengacu pada “deep dialogue and critical thinking”; (d) Penambahan sarana prasarana pembelajaran yang dibutuhkan oleh guru dalam pembelajaran di dalam atau di luar kelas; (e) Revitalisasi, rekonseptualisasi, dan pengadaan dana bagi __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 169 pelaksanaan sistim gugus guru, MGK, MGMP, MGBS, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah; (f) Pengembangan sistim jaringan informasi guru kelas (SIJIGULA) tingkat kecamatan dan kabupaten/provinsi; (g) Penyusunan tim pengembang silabus yang komprehensif dan demokratis; (h) Pengembangan model baru penghargaan guru berprestasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah; (i) Penataan sistim dan model penjenjangan karir guru melalui kerjasama dengan lembaga atau departemen yang memiliki kewenangan sejenis dan (j) Pengembangan standar kompetensi dasar guru yang mengacu pada peningkatan profesionalisme sosial-akademis. Tujuan dikembangkannya standar kompetensi guru adalah untuk menetapkan suatu ukuran kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang guru agar profesional dalam merencanakan, melaksanakan dan mengelola proses pendidikan disekolah (Puskur, 2001; Lasmawan, 2003). Manfaat standar kompetensi guru pada dasarnya adalah: (1) dapat dijadikan kontrol mutu pembianaan dan peningkatan mutu guru secara nasional yang searah dengan azas keserasian dan keseimbangan dalam konteks otonomi daerah, (2) merupakan suatu konsepsi strategis dalam pembinaan dan peningkatan mutu guru yang dilakukan secara berkesinambungan dan searah dengan tuntutan KBK dan perkembangan IPTEK, (3) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada guru untuk meningkatkan kemampuan yang disertai dengan peningkatan jabatan dan kepangkatan yang terkait dengan kesejahteraan serta untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban guru itu sendiri, dan (4) merupakan upaya untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar disekolah yang muaranya adalah pada peningkatan mutu pendidikan nasional (Worl Banks, 2002; Indradjati, 2003). Menurut Hasan (2003), tingkat standarisasi kompetensi guru terdiri atas: (a) standar kompetensi minimal (micro competencies), (b) standar kompetensi menengah (mezzo competencies), (c) standar kompetensi pendalaman (macro competencies), dan (d) standar kompetensi spesialis (specialis competencies). Unsur dan komponen standar kompetensi guru sebaiknya (idealnya) meliputi: (a) kebijaksanaan penyelenggaraan pendidikan, (b) kepribadian dan keterampilan social, (c) pemahaman terhadap wawasan pendidikan, (d) manajemen pembelajaran, (e) manajemen bingbingan dan konseling, (f) manajemen administrasi sekolah, (g) pengembangan diri, (h) manajemem kegiatan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 170 ekstra kurikuler, (i) hakikat struktur keilmuan mata pelajaran yang diajarkan, (j) penguasaan materi keilmuan mata pelajaran yang diajarkan, (k) pemahaman karakter atau gaya belajar siswa dan prinsip-prinsip pembelajarannya, ( l) keterampilan dalam mengevaluasi dan menganalisis hasil belajar serta pelaoprannya, dan (m) mengembangkan sumber belajar. Secara lebih rinci, strategi pengendalian mutu guru melalui pengembangan standar kompetensi guru dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kapabilitas tenaga kependidikan di daerah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah kabupaten/kota sebagai sentral pelaksanaan otonomi pendidikan/daerah. 3. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa poin sebagai akhir dari diskusi akademis ini, yaitu: (a) Pemberlakuan otonomi pendidikan dan kurikulum berbasis kompetensi pada dasarnya adalah implikasi logis dari dikeluarkannya UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 23/2000. Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut telah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan membangun daerahnya sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerahnya masing-masing; (b) Pemberlakuan kurikulum berbasis kompetensi pada dasarnya merupakan konseptualisasi ulang dari ide, gagasan, dan cita-cita membangun masyarakat masa depan yang lebih baik melalui jalur pendidikan. Pemberlakuan KBK dipandang mampu menjembatani masyarakat untuk membangun masyarakat masa depan yang lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan; (c) Untuk meningkatkan kinerja guru dan berhasilnya pemberlakuan KBK dalam lingkungan sekolah, diperlukan adanya kesatuan bahasa dan tindakan serta didukung oleh berbagai piranti pendidikan yang memungkinkan guru untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya seiring dengan tuntutan pelaksanaan KBK yang optimal dalam lingkungan sekolah. Guru harus diberdayakan secara terstruktur dan demokratis, sehingga implementasi dari KBk dapat mencapai hasil yang optimal dan bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan nasional; (d) Untuk menjamin akuntabilitas publik dan pertanggungjawaban profesi, maka kedepan diperlukan adanya standar kompetensi guru untuk setiap jenjang dan kualifikasinya. Pengembangan standar ini bisa dilakukan oleh Pemda Kabupaten maupun secara nasional. Setiap __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 171 kabupaten memiliki kebebasan yang optimal untuk meningkatkan kinerja dan mutu guru di daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan dana, sehingga peningkatan mutu pendidikan nasional di era otonomi ini benarbenar kompetitif dan mandiri. DAFTAR PUSTAKA Dirjen Dikdasmen RI. (2003). Program Peningkatan Kualitas Kenenagaan Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdiknas RI. Hasan, H. (2003). Polemik Seputar Pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (Personal Paper). Bahan Kajian POKJA SISDIKNAS DPR. Jakarta: DPR RI. Hasan, H. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah Kurikulum yang Berfhak pada Kepentingan Belajar Peserta Didik. Bahan Kajian POKJA SISDIKNAS DPR. Jakarta: DPR RI. Jalal, F. dan Supriadi, D. (2001). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Depdiknas-Bappenas-Adicipta Karya Nusa. Lasmawan, W. (2002). Pengembangan Model Pendidikan yang Berbasis Masyarakat: Alternatif Pilihan Bagi Daerah Kabupaten Menyongsong Pemberlakuan Otonomi Pendidikan. (Makalah). Disampaikan dalam Seminar Nasional di PPS UPI Bandung. Bandung: PPS UPI Bandung. Lasmawan, W. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Sisi Lain Inovasi yang Tak Terstruktur dalam Pembangunan Pendidikan Nasional. (Makalah). Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Implementasi KBK di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Bangli Tanggal 30 Mei 2003. Marzurek, K. (et.al). (1994). Educational in A Global Society. USA: McMillan, Co. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2000. Puskur. (2003). Kurikulum Berbasis Kelas. Avalailable at: http/www: [email protected], [email protected] Puskur. (2003). Otonomi Pendidikan dan Kurikulum Berbasis Kelas. Avalailable at: http/www: [email protected], [email protected] Puskur. (2003). Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kelas. Avalailable at: http/www: [email protected], [email protected] Rose, C. & Nichol. (2000). Accelerated Learning for The 21-th Century. USA: Jonas Publisher Company. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 172 Sumantri, E. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Profesi Guru. Bandung: Rosdakarya. Tilaar, H.A.R. (2001). Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Menyongsong Indonesia Baru. Jakarta: PT. Grasindo. UNESCO. (2002). The Commission. Treasure Within, UNESCO-Australian National UNESCO. (1996). What Makes a Good Teacher? Children Speak Their Minds. Paris. UNESCO. (1998). World Education Reports: Teachers and Teaching in a Changing World. Paris. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Wahab, A. (1999). Otonomi Daerah dan Problematikanya. Bandung: PPS UPI Bandung. WEF. (1999). Global Competitiveness Report 1999. World Bank. (1998). Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Education Sectoe Unit, East Asia and Pacific Regional Office. World Bank. (1989a). Indonesia: Strengtheningthe Quality of Teacher Education. Draft Technical Paper, Asia Region. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003