Menyukseskan KBK Dengan Konsep Learning School

advertisement
ISSN 0215-8250
32
MENCERMATI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI:
SEBUAH KAJIAN EPISTEMOLOGIS DAN PRAKTIS
oleh
I Gst. Putu Sudiarta
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Perubahan kurikulum merupakan isu dominan dalam wacana usaha
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sebentar lagi (kalau tak ada
halangan) pemerintah akan meluncurkan kurikulum baru 2004 yang berbasis
kompetensi. Perencanaan serta uji coba KBK ini telah dilaksanakan sejak tahun
1999, dan sosialisasinya pun gencar dilakukan. Pendapat pro dan kontra
bermunculan, ada yang bersemangat dan ada yang ragu. Tulisan ini mengkaji
KBK secara epistemologis dan praktis, kemudian mencermati keunggulan dan
kelemahannya. Tantangan dan hambatan yang mungkin dalam impelementasi
KBK, serta beberapa solusi pemecahannya juga dipaparkan.
Kata Kunci: KBK, Kompetensi, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, R-D-D.
ABSTRACT
Curriculum changes and innovation dominate the issues of educational
quality in Indonesia. It is planned that a new curriculum based on competencies
(KBK) will be launched in 2004, named curriculum 2004. The stages of
development have begun. Planning, piloting and dissemination of the new
curriculum have taken place. Various responses came out. Some are motivated
and some are skeptic. This article discusses the KBK epistemologically and
practically, and analyzes its strength and weakness. The possible obstacles of its
implementation are described and some constructive ideas to overcome those
obstacles are suggested.
Key Words: Curriculum based on competencies, Competence, Curriculum
Development and Innovation, R-D-D.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
33
1. Pendahuluan
Perubahan kurikulum pendidikan sebenarnya adalah hal biasa dan
merupakan salah satu isu penting dalam reformasi pendidikan di setiap negara.
Namun hal ini menjadi tak biasa, jika reformasi pendidikan hanya ditujukan pada
perubahan kurikulum saja. Karena perubahan kurikulum hanyalah salah satu aspek
di antara banyak faktor penting lainnya yang menentukan kualitas pendidikan
suatu bangsa.
Kalau dicermati, sejak Indonesia merdeka, kurikulum telah berganti atau
direvisi sekurang-kurangnya 7 kali. Kurikulum yang pertama 1947 menggunakan
istilah Rencana Pelajaran 1947, kemudian setelah diundangkannya UU Pokok
Pendidikan 1950, rencana pelajaran yang digunakan adalah Rencana Pelajaran
1950. Setelah itu istilah rencana pelajaran tidak dipakai lagi, diganti kurikulum
1968. Baru berjalan tujuh tahun kurikulum ini diganti dengan kurikulum 1975,
kemudian kurikulum 1975 disempurnakan menjadi kurikulum 1975 yang
disempurnakan. Kurang lebih 10 tahun kemudian kurikulum 1975 diganti dengan
kurikulum 1984. Kurikulum ini disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1994, dan
pada 1999 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dengan diterbitkannya
suplemen GBPP pada 1999 untuk digunakan mulai tahun pelajaran 1999/2000.
Dan kini kurikulum 1994 rencananya akan diganti dengan kurikulum 2004 yang
berbasis kompetensi.
Melihat sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia ini, terbukti
bahwa sesungguhnya isu perubahan kurikulum bukanlah suatu wacana baru, yang
harus ditanggapi dengan kepanikan. Namum di sisi lain harus diakui, bahwa
perjalanan panjang reformasi kurikulum pendidikan di Indonesia ternyata tak
mampu mengangkat kualitas pendidikan Indonesia, apalagi membawanya ke arena
persaingan regional dan internasional. Sederetan fakta dan laporan internasional
menempatkan kualitas pendidikan dan kualitas lulusan pendidikan Indonesia pada
posisi deretan bawah di Asia Tenggara.
Hal ini berdampak negatif terhadap sikap masyarakat pendidikan Indonesia
tentang isu-isu reformasi pendidikan yang dicanangkan pemerintah. Seakan tak
ada "kerjaan"
yang dapat dilakukan pemerintah kecuali meng-"otak-atik"
kurikulum. Terlebih-lebih adanya fakta, bahwa reformasi pendidikan tak secara
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
34
komprehensif menyentuh aspek-aspek makro penentu kwalitas pendidikan.
Misalnya aspek yang berhubungan dengan manajemen dan birokrasi sistem
pendidikan dibiarkan lama tak tersentuh. Terlebih-lebih dalam hal penghargaan
terhadap profesionalitas guru dan tenaga kependidikan, pemerintah hampir tak
melakukan apa-apa dalam 4 dasawarsa terkahir ini, yang menyebabkan profesi dan
kehormatan guru jatuh ke titik yang paling rendah, dan paling rendah dibandingan
dengan guru-guru di Asia Tenggara.
Di samping isu makro tadi, isu mikro yang menyangkut reformasi
kurikulum itu sendiri, dari proses rencana, pengembangan sampai
implementasinya di dalam kelas, terlalu lama hanya menjadi menjadi urusan
birokrasi dan politik yang sentralistik, yang menempatkan guru-guru sebagai end
user, tempat "membuang" segala kebijakan dan kehendak pusat. Hal ini
membenarkan ironi yang mengibaratkan, bahwa mereformasi kurikulum itu, ibarat
memukul-mukul kepala ular yang panjang. Kepalanya gerak-gerak, sementara
ekornya diam tenang tak tersentuh. Ini disebabkan karena peranan dan kontribusi
guru diabaikan secara nyata dalam setiap usaha mereformasi kurikulum.
Terlepas dari sejarah masa lalu tadi, dan seiring dengan isu desentralisasi
dan otonomi daerah, ada angin perubahan yang memberikan harapan pada dunia
pendidikan di Indonesia. Otonomi pendidikan memberikan peluang kepada unitunit lembaga pendidikan yang lebih rendah dan komunitas sekolah untuk berperan
dalam mengambil keputusan tentang tujuan dan kebijakan, serta hasil pendidikan
yang ingin dicapai. Sehubungan dengan hal ini, secara objektif harus diakui bahwa
wacana perubahan kurikulum yang dilakukan kali ini telah mencerminkan sikap
terbuka pemerintah. Pemunculan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
nampaknya telah direncanakan dengan lebih baik. Proses penyiapan dan rencana
implementasinya relatif lebih terbuka, dalam pengertian, informasi lengkap
tentang hal ini bisa diakses khalayak. Bahkan, sebelum kurikulum ini
dilaksanakan, pemerintah terlebih dahulu melakukan serangkaian uji coba secara
terbuka dan bertahap di sejumlah sekolah pada beberapa daerah. Hal ini adalah
positif, dan harus ditanggapi pula dengan positif, tanpa kehilangan kekritisan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menkaji kritis wacana KBK ini secara
epistemologis dan praktis, mencermati keunggulan dan kelemahannya, serta
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
memberi sumbangan pikiran
implementasinya di lapangan.
35
konseptual
menyangkut
kesuksesan
2.
Kajian Epistemologis Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Berikut ini dipaparkan secara ringkas mengenai pengertian kurikulum, isu
yang melatarbelakangi perlunya perubahan dan inovasi kurikulum, landasanlandasan dasar kurikulum, serta tahapan-tahapan pengembangan kurikulum.
Dalam arti sempit kurikulum adalah kumpulan berbagai mata pelajaran
atau mata kuliah yang dituangkan dalam silabus, diberikan kepada peserta didik
melalui proses yang disebut dengan proses pembelajaran. Banyak ahli telah
merumuskan definisi kurikulum, misalnya Hooper (1971), Becher dan Maclure
(1978), juga Kerr and Kelly (1982). Tetapi kini secara umum diterima, bahwa
pengertian kurikulum bukanlah sekedar silabus mata pelajaran. Kurikulum
setidaknya harus meliputi: (1) tujuan, untuk menjawab secara menyeluruh tentang
apa dan kompetensi apa yang ingin dicapai oleh sekolah untuk peserta didiknya,
(2) materi ajar, sebagai gambaran tentang kesempatan atau pengalaman belajar apa
yang harus dipilih agar terjadinya perubahan tingkah laku yang selaras dengan
tujuan tadi, (3) pendekatan atau metode, untuk memberikan landasan bagaimana
unsur-unsur belajar itu disusun, agar tujuan dapat dicapai, (4) evaluasi, untuk
mengukur seberapa jauh tujuan itu dapat dicapai. (Bandingkan misalnya dengan,
Howson, et. Al. (1981)).
Berdasarkan pengertian kurikulum ini dapat dinyatakan bahwa perubahan
(inovasi) kurikulum akan terjadi, jika salah satu komponen itu berubah. Jika
kurikulum berubah maka tujuannya dapat berubah, begitu pula materi ajar, metode
dan prosedur evaluasinya.
2.1 Faktor-Faktor Pemicu Perubahan Kurikulum
2.1.1 Faktor sosial, ekonomi dan politik
Boleh dikatakan, bahwa faktor paling dominan yang dapat mendorong
perubahan kurikulum adalah tekanan yang datang dari masyarakat. Misalnya
tumbuh dan diakuinya nilai egaliter (nilai tentang kesamaan derajat manusia)
dalam masyarakat barat di abad ke 19 telah mengubah arah kurikulum
pendidikan mereka. Kesamaan memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap
warga negara, menjadi hal prinsip dalam pengembangan kurikulum di barat saat
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
36
itu. Perkembangan ekonomi dan politik menuntut terselengaranya pendidikan
secara lebih baik. Begitu juga, adanya perubahan tuntutan di dunia kerja, memiliki
konsequensi langsung terhadap dunia pendidikan pada umumnya, dan terhadap
pertimbangan-pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan
khususnya.
2.1.2 Perkembangan IPTEK
Pendorong inovasi perubahan
kurikulum juga dapat berasal dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan di bidang ilmu
komputer misalnya, bukan hanya saja mengubah dunia kerja, tapi telah
merevolusi ilmu matematika sendiri. Matematika numerik menjadi sangat maju,
dan mendapat ruang aplikasi yang luas dalam bidang ekonomi, geografi, geologi
dan sebagainya. Hal ini telah menjadi pendorong perubahan content kurikulum
pendidikan di abad ke 19. Juga penemuan-penemuan dalam penelitian pendidikan
(psikologi pendidikan) itu sendiri, membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan kurikulum. Misalnya teori psikologi perkembangan oleh Piaget
mempengaruhi
secara dominan perubahan tujuan kurikulum, sementara
taksonomi Bloom mendominasi masalah
kurikulum di abad ke 20.
pendekatan dan metode dalam
2.2 Landasan Epistemologis Perkembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa landasan yang perlu
dipegang antara lain:
2.2.1
Landasan Filosofis
Landasan ini memuat tentang pertanyaan - pertanyaan mendasar yang
berhubungan dengan: (a) hakekat, apa dan siapakah pebelajar itu, (b) bagaimana
hakekat hubungan dan komunikasi antara siswa dan guru, (c) apa yang seharusnya
menjadi isi kurikulum itu. Bahasan dan jawaban terhadap ketiga hal itu,
merupakan kesatuan bulat yang akan memberi arah "kemana" siswa akan dibawa,
apa hasil yang hendak dicapai siswa, bagaimana siswa akan "diantar" untuk
mencapai tujuan itu.
2.2.2
Landasan Sosiologis
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
37
Landasan kemasyarakatan ini mempertimbangkan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul di masyarakat, misalnya
masalah kesempatan kerja, masalah teknologi, masalah kesehatan, serta masalah
lingkungan dan pelestarian sumber daya alam. Ini mengingatkan, bahwa
kurikulum harus mampu merespon kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain,
kurikulum (sistem pendidikan) harus dapat membantu memecahkan persoalan
masyarakat, dan sebaliknya masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan
bentuk pendidikan.
2.2.3
Landasan Psikologis
Secara umum psikologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang meneliti hal-hal
yang berhubungan dengan proses perkembangan dan tingkah laku pikiran,
perasaan dan kejiwaan (mental) orang-orang. Terkenal misalnya adalah teori
psikologi perkembangan oleh Piaget, dan teori perkembangan tingkah laku oleh
Dewey. Dalam dunia pendidikan, psikologi mendapat tempat aplikasi yang luas
pada cabang psikologi pendidikan, yang memberi dasar terhadap bahasan
problema pendidikan, khususnya tentang bagaimana siswa belajar. Karena itu
setiap pengkajian dan pengembangan kurukulum harus memperhatikan pijakan
dan refleksi psikologis ini.
2.3. Tahapan Pengembangan Kurikulum
Tahapan-tahapan pengembangan kurikulum pendidikan banyak
dipengaruhi oleh prinsip perencanaan dan pengembangan produk baru dalam
dunia industri. Prinsip pengembangan ini membagi langkah-langkah inovasinya
menjadi lima tahapan-tahapan yang meliputi: perencanaan (Planning), penelitian
(Research), pengembangan (Development), Penyebaran (Dissemination), dan
Penerapan (Application). Hal ini kemudian diperas dalam tiga tahapan utama yaitu
Research, Development and Dissemination (R-D-D).
Tahapan perencanaan inovasi kurikulum dimulai dengan langkah meneliti
dan mengidentifikasi kebutuhan (need assesment), kemudian memformulasikan
dan merencanakan kemungkinan langkah aksi yang bisa dibuat. Dalam tahapan ini
perlu digali masukan sebanyak-banyaknya dari masyarakat, sekolah, guru,
kalangan peneliti dan para ahli. Tahapan utama berikutnya adalah tahapan
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
38
pengembangan model, yang meliputi tahap ujicoba (piloting), dan evaluasi model,
serta penyusunan draft
kurikulum. Tahapan ini diukuti dengan tahapan
penyebaran dan sosialisasi draft hasil piloting tadi ke masyarakat, ke seluruh unit
sistem pendidikan, pengguna dan pemerhati untuk mendapatkan masukan yang
lebih luas lagi dalam rangka menyusun draft kurikulum final sebelum masuk ke
tahapan implementasi dan aplikasi.
3. Kajian Kritis Kurikulum Berbasis Kompetensi
Salah satu konsekwensi dari pengembangan kurikulum berdasarkan prinsip
R-D-D yang terbuka tadi adalah cepat dan luasnya tanggapan yang muncul dari
berbagai kalangan masyarakat. Hal ini sangat positif di satu sisi, tapi menuntut
kehati-hatian di sisi lain. Karena terlalu banyaknya informasi turunan yang
beredar, baik yang pro dan kontra dapat saja membingungkan. Untuk itu, dalam
tulisan ini yang dijadikan sumber acuan dalam membahas KBK adalah naskahnaskah dan draft tangan pertama yang dikeluarkan langsung oleh Depdiknas
terutama oleh Balitbang Pusat Kurikulum.
Untuk dapat membahas KBK secara komprehensif, kritis, tapi fair, maka
dicermati terlebih dahulu latar belakang munculnya KBK, Pengertian, Konsep
yang menjadi landasan dasarnya, proses pengembangan dan rencana
implementasinya, sbb:
3.1 Lemahnya analisis need assessment
Kenapa kurikulum harus diganti, atau lebih tegas: kenapa Kurikulum 1994
(dengan suplemen 1999) harus diganti dengan KBK? Sayang sekali dalam sumber
resmi keluaran Depdiknas pertanyaan ini tidaklah dijawab dengan jelas.
Sebaliknya alasan-alasan yang diungkapkan terlalu klasik, dan sangat tak precise,
misalnya soal perubahan tatanan kehidupan masyarakat dan politik, soal
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, soal persaingan global dan lainlain (lihat Kebijaksanaan Umum KBK 2001, 2002). Pertanyaannya, apakan
kurikulum 1994 tak dapat menjawab tantangan itu, kenapa dan mengapa? Jawaban
menyeluruh terhadap hal ini, adalah sangat penting dalam perencanaan kurikulum
baru yang akan dikembangkan. Sebaliknya ketidakjelasan tentang identifikasi
"kegagalan kurikulum 1994" dapat: (a) melemahkan konsep pemecahan masalah
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
39
yang direncanakan, dan dengan demikian memperbesar peluang untuk terjadinya
kesalahan yang sama, (b) membuka spekulasi bahwa ada stagnasi dalam proses
pengembangan kurikulum. Karena dalam konsep R-D-D, berlaku prinsip sirkluler,
bahwa evaluasi harus diadakan dulu terhadap kurikulum yang berlaku, untuk
mengidentifikasi kelemahan-kelemahannya, sebelum diputuskan untuk mengambil
tidakan perbaikan. Barangkali ini sudah menjadi tradisi di Depdiknas, bahwa
perubahan itu diadakan bukan karena kebutuhan, tapi karena pengelolanya yang
berubah, maka tanpa perlu adanya evalasi dan analisis need assessment, maka
perubahan akan harus ada berdasarkan projek pesanan pemegang kebijakan.
Dengan lemahnya analisis need assessement ini, perlu dipertanyaakan apakah
KBK ini sebuah proyek semata, yang akan habis sejalan dengan habisnya dana
proyek.
3.2 Kaburnya Pengertian dan Operasionalisasi Kompetensi
Pengertian "kompetensi" dalam KBK yang dapat ditemukan dalam sumbersumber Depdiknas sangan terbatas. Hal ini dapat dilihat pada culpikan asli dari
dokumen Puskur sebagai berikut: "Kurikulum yang dibutuhkan adalah kurikulum
berbasis kompetensi. Kompetensi yang dikembangkan adalah untuk memberikan
keterampilan dan keahlihan bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan,
ketidakmenentuan, ketidakpastian dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan.
Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang
kompeten dan cerdas, dalam membangun identitas budaya dan bangsanya"
(Balitbang Depdiknas, 2001: 1)
Disebutkan pula dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi
dalam kurikulum sbb: (1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa
melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) Kompetensi menjelaskan
pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; (3) Kompeten
merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang
dilalui siswa setelah proses pembelajaran; dan (4) Kehandalan kemampuan siswa
melakukan sesuatu harus didefinisikan dengan jelas dan luas dalam suatu standar
yang dapat dicapai, dan diukur (Balitbang Depdiknas, 2003: 2)
Kelucuan pertama yang dapat disimak dalam definisi kompetensi ini
adalah, jika kata "kompetensi" diganti saja dengan "kemampuan" maka kalimat di
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
40
atas tidaklah berbeda dengan kalimat-kalimat yang dapat ditemukan dalam
kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kalau begitu, apa bedanya KBK dengan
kurikulum 1994? Kesangsian yang dapat mucul adalah apakah KBK ini bukan
hanya barang lama dibungkus dengan "kata-kata" baru saja.
Hal kedua yang lebih penting, bahkan terpenting adalah bagaimana meng"operasional"-kan konsep "kompetensi" ini dalam pembelajaran. Jika pengertian
kompetensi adalah sebatas itu, bisa dibayangkan betapa sulitnya seorang guru
matematika misalnya untuk memilih dan merumuskan "kompetensi" mana yang
berguna untuk mengatasi "pertentangan dan ketidakmenentuan" dalam hidup,
sesuai dengan yang diinginkan KBK.
Disamping itu, terlihat bahwa pengertian kompetensi yang digunakan
hanya mengarah pada dua hal, yaitu kompetensi dalam pengertian kemampuan
tingkah laku, dan kompetensi yang berhubungan dengan hasil belajar. Padahal
menurut Weinert (1999) misalnya, pengertian " kompetensi" teridiri dari 4
katagori: (1) Kompetensi dalam pengertian kemampuan intelektual seseorang
secara umum untuk menyelesaikan tugas-tugas berat dalam situasi yang berbedabeda. (2) Kompetensi dalam pengertian kemampuan yang berhubungan dengan
prestasi dan kemampuan kognitif seseorang, yang secara psikologis biasa
dinyatakan sebagai kemampuan pengetahuan, ketrampilan, strategi, dan teknikteknik dalam hal-hal tertentu. (3) Kompetensi dalam pengertian kemampuan
orientasi dan motivasi, sebagai persyaratan dalam memecahkan dan
menyelesaikan tugas-tugas. (4) Kompetensi sebagai perbuatan yang dapat
meliputi ketiga pengertian kompetensi di atas, yang
mengarah kepada
kemampuan melakukan pekerjaan dan profesi.
(5) Kompetensi Meta
(metacompentence) adalah kemampuan untuk dapat memperoleh berbagai jenis
kemampuan pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan orientasi, serta dapat
menggunakan kemampuan itu dalam berbagai bidang dan dalam situasi yang
berbeda.
Terlihat ada hal yang sangat penting yang belum di singgung dalam
pengembangan konsep kompetensi yaitu, bahwa pada abad pengetahuan ini zaman ekonomi berbasis pengetahuan - diperlukan masyarakat berpengetahuan
yang belajar sepanjang hayat. Dalam hal ini kompetensi meta, misalnya
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
41
kompetensi metakognitif adalah mutlak, di samping kompetensi orientasi dan
motivasi. Kemampuan metakognitif dapat berupa kompetensi untuk: (a) berpikir
bagaimana berpikir dan belajar bagaimana belajar, (b) mengevaluasi bagaimana
mengevaluasi, self evaluation termasuk juga self competence, (c) keterpaduan
belajar formal dan tidak formal, (d) mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan
dalam dunia informasi, dan (e) mampu mengatasi situasi yang ambigus,
permasalahan yang tidak dapat diramalkan; dan keadaan-keadaan yang tak terlihat
secara kasat mata. Tugas guru dalam hal ini ini bukan saja "menstranfer"
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, tetapi yang lebih penting adalah
menjadikan anak didik sebagai insan-insan yang mampu mandiri, mandiri dalam
berfikir kritis (mengambil keputusan), mandiri dan bertanggung jawab atas
perbuatannya, dan tentu juga mandiri dalam mengambil kegiatan belajar. Juga
yang tak kalah pentingnya adalah menjadikan insan-insan yang mandiri dalam
menghargai nilai – nilai kebebasan yang bertanggung jawab dan demokrasi,
toleran dan menghormati harkat dan martabat serta keyakinan orang lain.
(Bandingkan dengan Sandfuchs, 2001, 11-29).
Di samping itu Weinert (1999) juga memberikan pengertian kompetensi
lintas
bidang
dan
menyebutnya
sebagai
kompetensi
kunci
(Schluesselkompetenzen) yaitu kompetensi yang dapat meliputi semua pengertian
komptensi di atas, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang studi.
Pengertian kompetensi di atas, sebenarnya berasal dari tuntutan dunia
ekonomi dan dunia kerja. Perdebatan tentang ini telah muncul di barat sejak tahun
80an dan telah terjadi diskusi hebat mengenai bagaimana mengoperasionalkan
pengertian "kompetensi" tadi dalam kurikulum, sehingga pengertian kompetensi
dengan latar belakang ekonomi tadi, bisa bergeser ke wacana pedagogis,
khususnya wacana implementasinya dalam kelas.
Pada tahun 1990an orientasi inovasi kurikulum di barat didominasi dengan
usaha untuk mengoperasionalkan kompetensi kunci lintas kurikulum ini, antara
lain dengan merevisi konsep problem solving. Problem solving tak lagi direduksi
menjadi semacam metode belajar yang berorientasi pada penyajian masalah dan
memotivasi siswa untuk memecahkan masalah. Melainkan problem solving
dimasukkan sebagai kompetensi kunci yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
42
pembelajaran. Dalam hal ini problem solving didefinisikan secara ketat sebagai
kegiatan berfikir dan berbuat dalam berbagai situasi dan bidang yang berbedabeda, yang berorientasi pada tujuan. Perbedaan dengan persoalan biasa adalah
kegiatan problem solving ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan algoritma dan
mekanisme rutin biasa. Problem solving harus membangkitkan pemikiran kreativ
dan inovatif untuk membangun pengetahuan dan skill, melatih daya argumentasi
dan refleksi. Bentuk kegiatan problem solving bisa berupa "open dan atau open
ended problem" dengan kerangka persyaratan dan struktur elemen-elemen yang
diketahui relatif terbuka, memungkinkan adanya banyak solusi dan banyak
prosedur pencapaian solusinya. Siswa harus memiliki kompetensi ini secara lintas
kurikulum dan bidang studi.
Hal yang lebih penting dari masalah konsep kompetensi adalah masalah
bagaimana kompetensi itu dioperasionalkan, diimplementasikan di depan kelas,
bagaimana kompetensi itu akan diukur, kapan tercapainya kompetensi itu.
Jawaban terhadap persoalan ini dikembalikan lagi kepada bagaimana kompetensi
itu didefinisikan. "Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi atau
dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus
menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan
untuk menjadi kompeten" (Balitbang Depdiknas, 2002, 4)
Implementasi pengertian ini menyebabkan rumusan kompetensi dalam
KBK itu mengambil dua bentuk, sebagai berikut: (1) Standar Kompetensi yaitu
merupakan seperangkat kompetensi yang dibakukan dan harus ditunjukkan oleh
siswa pada hasil belajarnya. Standar kompetensi untuk mata pelajaran matematika,
misalnya "menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, ...
memahami dan melakukan operasi aljabar, fungsi, persamaan garis dan sistem
persamaan serta menggunakan dalam pemecahan masalah" (Draft final
Kurikulum 2004, Depdiknas 2003, 2-3; (2) Kompetensi Dasar merupakan
kompetensi minimal yang dapat dikembangkan oleh sekolah. Contoh kompetensi
dasar adalah "menyelesaikan operasi bilangan bulat dan mengenal sifat operasi
bilangan bulat", dengan standar kompetensi "melakukan operasi hitung bilangan
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
43
bulat serta dapat mengunakannya dalam pemecahan masalah"(Draft final
Kurikulum 2004, Depdiknas 2003, 4-7).
Perwujudan kompetensi dalam dalam bentuk "standar kompetensi dan
kompetensi dasar" pada KBK ini mengingatkan kembali pada maskot PPSI
(Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang menjadi ciri kurikulum
sebelumnya. Pada kurikulum ini, tahapan pertama yang harus dilakukan guru
adalah mencermati Tujuan Instruksional Umum (TIU) yang tertuang dalam GarisGaris Besar Program Pengajaran (GBPP), kemudian menguraikan TIU tadi ke
dalam tujuan-tujuan instruksional khusus (TIK). Kalau
TIU / TIK ini
dibandingkan dengan Standar Kompetensi / Kompetensi dasar dalam KBK, maka
sesungguhnya tak ada perbedaan. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata operasional
yang digunakan dalam perumusan standar kompetensi / kompetensi standar persis
sama dengan yang digunakan dalam perumusan TIU / TIK. Yang jelas dapat
dikatakan bahwa dalam TIU / TIK itu tergambar pula kompetensi apa yang
diinginkan dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Hal ini kembali
menimbulkan keraguaan apakah kata "kompetensi" yang menjadi "trade mark"
dari KBK akan dapat membawa perubahan, karena substansi "kompetensi" yang
digemborkan ternyata hanyalah barang lama.
3.3 Problematik Landasan KBK
Persoalan yang tak kalah pentingya adalah menyangkut apa-apa yang
menjadi landasan dasar pengembangan KBK, baik landasan pilosofis, sosiologis
dan psikologisnya.
Pada buku pedoman KBK tahun 2001 dan direvisi tahun 2003 oleh
Depdiknas disebutkan ada 5 ciri-ciri KBK, sebagai berikut: (1) Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2)
Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; (3)
Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang
bervariasi; (4) Sumber belajar bukan hanya guru tapi juga sumber belajar lainnya
yang memenuhi unsur edukatif; dan (5) Penilaiannya menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi
(Balitbang Depdiknas, 2001, 2002:5).
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
44
Dari ciri-ciri nomer 1 dan 2 yang dituliskan di atas dapat dikatakan bahwa
KBK menekankan pada aspek pencapaian kompetensi dan pencapain hasil belajar.
Untuk hal ini, pertanyaan klasik dapat saja muncul, bagaimana dengan proses
belajarnya! Walaupun dalam butir 5 ditekankan bahwa penilaiannya justru
menekankan pada proses. Jadi bisa dikatakan, pembelajarannya berorientasi pada
hasil belajar dan penilaiannya berorientasi pada proses. Rumusan seperti ini dapat
membuat perdebatan yang panjang, karena sudah menyangkut dikotomi klasik,
antara pembelajaran berorientasi proses dan berorientasi produk. Kerancuan
pengertian antara proses belajar dan penilaian hasil belajar dapat memunculkan
masalah-masalah lama. Fakta tentang siswa belajar karena dimotivasi oleh
adanya penilaian atau tes, bukan karena motivasinya untuk berkompeten dan
mandiri dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Sehingga siswa sering
menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil yang yang diinginkan, tanpa harus
melalui proses belajar yang benar, yaitu "proses mengerti" dan "proses
mengalami", dengan membangun pengetahuan dan pengalamannya secara
mandiri. (Ini adalah kesalahan umum kurikulum pendidikan dengan pendekatan
behavioristik, akibat kurang jelasnya pembatasan antara proses pembelajaran
dengan penilaian, maka proses pembelajaran sering direduksi menjadi latihan
mengerjakan tes).
Ciri-ciri di atas juga menyiratkan bahwa KBK seakan-akan merupakan
kurikulum vocational (kejuruan), karena menekankankan aspek pencapaian
kompetensi (kemampuan melakukan kerja) secara dominan. Memang ini secara
sosilogis dapat diterima, karena landasan sosiologis memberikan wadah terhadap
kebutuhan masyarakat dalam kurikulum. Bahwa output lembaga pendidikan harus
memiliki kompetensi yang berhubungan dengan dunia kerja dan profesi. Tetapi
secara filosofis hal ini agak dilematis, karena hakekat anak didik yang utuh, tidak
semata-mata dan tidak cukup digambarkan dengan penguasaan kompetensi –
kompetensi yang menjadi tuntuan dunia kerja saja. Seorang pemikir atau seorang
penyair misalnya, mungkin tak akan selalu mudah mendapatkan lapangan kerja
dalam pengertian biasa, tapi cenderung mampu menghasilkan karya-karya bernilai
orisinal yang sangat unik.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
45
Beberapa titik kritis KBK yang diuraikan tadi, hendaknya jangan
ditafsirkan sebagai expresi rasa pesimistis, melainkan sebagai sikap kehati-hatian
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti di masa lampau. Untuk itu
momentum perubahan dan inovasi terhadap kurikulum pendidikan
ini,
seyogyanya dilihat sebagai kesempatan untuk perbaikan, dan disambut dengan
rasa optimis. Rasa optimis ini, bukanlah tanpa alasan, karena memang ada faktorfaktor positif yang harus dilihat secara objektif, sebagai berikut: (1) Adanya
kebijakan otonomi dan desentralisasi pendidikan memungkinkan partisipasi aktif
dari masyarakat, unit-unit sekolah dan guru-guru terlibat dalam menentukan arah
pendidikan, khususnya terlibat dan berperan dalam mengembangkan dan
mengevaluasi kurikulum secara langsung. Melalui momentum KBK ini,
Depdiknas telah melakukan hal yang baik dalam hal deversifikasi kurikulum. Bagi
sekolah yang dianggap mampu, dapat mengembangkan silabus-silabusnya secara
mandiri, sedangkan bagi yang merasa belum mampu, dapat mencontoh atau
memodifikasi silabus buatan pusat. Guru-guru dalam hal ini sudah menempati
posisi terhormat, karena tidak dianggap sebagai "tukang" lagi yang harus menuruti
kehendak mandornya tanpa boleh bertanya, melainkan sebagai "pengembang",
dimana kreativitas dan inovasi bukan saja boleh, tapi wajib. (2) Perencanaan dan
inovasi kurikulum kali ini telah dilakukan secara lebih baik. Secara teoretis,
dengan diterapkannya inovasi perubahan kurikulum berdasarkan konsep R-D-D
menunjukkan keseriusan dan profesionalitas Depdiknas. Proses penyiapan dan
rencana implementasi KBK ini relatif lebih terbuka, dalam pengertian, informasi
lengkap soal ini bisa diakses khalayak. Bahkan, sebelum kurikulum ini
dilaksanakan, pemerintah terlebih dahulu melakukan serangkaian uji coba secara
terbuka dan bertahap di sejumlah sekolah pada beberapa daerah. Hal ini
memberikan harapan yang baik terhadap usaha peningkatan mutu pendidikan
secara umum, walaupun harus disadari bahwa isu perubahan kurikulum semata,
tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan pendidikan kita yang multidimensi.
(3) Cita-cita KBK adalah mewujudkan sosok manusia Indonesia yang profesional
pada bidangnya masing-masing. (Walaupun KBK hendaknya jangan direduksi
menjadi kurikulum vocational). Karena itu KBK memberi penekanan yang
dominan pada berbagai kompetensi yang harus dikuasai seseorang dalam setiap
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
46
program studi pada setiap jenjang pendidikan. Kompetensi yang diharapkan pun
bukan sembarang kompetensi, tapi kompetensi yang kontekstual dan dekat, serta
menyentuh domain masyarakat, dapat diterapkan di masyarakat dan diaplikasikan
di dunia kerja. Hal ini adalah hal yang positif yang perlu disambut baik.
3.4 Tantangan Dalam Implementasi KBK
Setelah optimisme tentang KBK diungkapkan, perlu juga dibahas secara
khusus tantangan yang mungkin dapat menjadi hambatan dalam menerapkan KBK
ini, sebagai berikut. (1) Tantangan Nilai, tantangan yang mungkin menjadi
hambatan pertama dalam implementasi KBK adalah berupa nilai-nilai yang telah
mendarah daging pada masyaralat Indonesia. Sebagai contoh harus disadari bahwa
masih ada nilai feodal dalam masyarakat Indonesia, dimana orang mengukur jati
dirinya semata-mata dengan gelar yang disandangnya. Kasus pemalsuan dan jual
beli ijazah kesarjanaan masih menjadi dilema. Hal ini adalah masalah berat yang
bukan saja melecehkan norma-norma pendidkan, tapi sudah berhubungan dengan
prinsip keadilan, terutama dalam hal sertifikasi kompetensi peserta didik. Yang
satu memiliki ijasah (bersertifikat) karena memang memiliki kompetensi yang
valid karena telah menempuh proses pendidikan yang wajar, sementara yang lain
berserifikat tanpa atau dengan kompetensi yang diragukan. (2) Tantangan
Politis, tantangan ini dapat datang dari kalangan pengambil kuputusan baik di
daerah maupun di pusat. Hal ini berhubungan dengan beaya kesinambungan
proses pengembangan kurikulum secara umum. Karena sponsor beayanya
notabene adalah pemerintah, maka tak tertutup kemungkinan adanya pesan-pesan
politis yang masuk ke dalam kurikulum, yang pada akhirnya berdampak pada arah
pengembangan kurukulum itu sendiri. Misalnya yang menyangkut aspek
pengembangan kompetensi "kebebasan" dan demokrasi, serta hak azasi manusia,
kompetensi penghargaan terhadap hak-hak perempuan, dan sebagainya dapat
rentan terhadap pembelokan secara politis. Tantangan yang menyakut kebijakan
juga antara lain dapat berupa kebijakan tentang sistem seleksi dan alokasi yang
diambil pemerintah, seperti UAN, SPMB di perguruan tinggi, seleksi kepegawaian
dan tenaga kerja. Hal ini akan mempengaruhi secara langsung efektifitas
pelaksanaan KBK. Misalnya, walaupun KBK menekankan adanya evaluasi proses,
bukan evalusi produk saja, tetapi jika SPMB untuk masuk perguruan tinggi
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
47
misalnya masih berorientasi pada produk dengan soal-soal multiple choice, maka
amanat KBK tentang pentingnya evaluasi proses akan sia-sia. Karena manusia,
juga peserta didik pada umumnya cenderung berbuat pragmatis, artinya dalam
berbuat akan berorientasi untuk apa dia berbuat, belajar atau melatih.
(3)
Tantangan Psikologis,
tantangan psikologis ini dapat berupa rendahnya
kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Hal ini mengingat
jeleknya track record Depdiknas dalam pengembangan kurikulum. Sekian lama
pengembangan kurikulum dilakukan secara terutup tanpa melibatkan masyarakat,
terutama wakil-wakil guru. Sehingga masyarakat bisa menebak, asal ganti mentri
maka ganti proyek, dan ganti proyek ganti kurikulum. Ditambah lagi dengan
mekanisme pengembangan dan penggantian kurikulum yang sembarangan. Fakta
proses tambal sulam kurikulum 1994 dengan suplemennya tahun 1999 adalah
salah satu contoh ketidakprofesionalan Depdiknas dalam mengembangkan
kurikulum, yang membuat masyarakat dan guru-guru cenderung apatis dan skeptis
terhadap inovasi kurikulum. (4)
Tantangan Praktis, tantangan praktis ini
menyangkut bagaimana dan siapa yang akan mengimplementasikan KBK itu. Hal
pertama adalah tantangan birokrasi yang harus dilewati. Panjangnya birokrasi dari
pusat ke daerah, sampai ke guru-guru dapat menjadi hambatan. Kedua adalah
tantangan yang menyangkut kompetensi dan profesionalitas guru itu sendiri.
Pertanyaannya adalah, apakah guru-guru kita telah memiliki kompetensi yang
memadai dalam mengemban amanat dari KBK ini. Jika telah memiliki
kompetensi apakah mereka mempunyai "will" yang kuat untuk itu. Di samping itu,
apakah organisasi dan birokarasi sekolah, juga prasarana dan lingkungan sekolah
menunjang implementasi KBK ini.
(5) Tantangan Geografis, bagi negara
Indonesia yang luas, dengan infra struktur yang tak merata ini, mau tak mau
faktor geografis unit pendidikan dan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh
nusantara, dapat menjadi hambatan, jika ingin mengimplementasikan KBK secara
nasional.
4. Penutup
Dari pemaparan dan pembahasan di depan dapat disimpulkan sebagai
berikut: (1) Isu inovasi kurikulum melalui KBK yang rencananya akan
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
48
ditetapkan menjadi kurikulum 2004 perlu disikapi secara proporsional, positif dan
tentu saja kritis. Hal-hal yang dapat dijadikan alasan kekritisan adalah misalnya (a)
kurangnya need assessment yand mendasari perubahan kurikulum yang
direncanakan, (b) absurd-nya pengertian konsep kompetensi yang menjadi
trademark dari KBK, dan ketidakjelasan bagaimana mengoperasionalkan konsep
kompetensi yang dimaksud, (c) Rumusan hal-hal yang diangkat menjadi ciri-ciri
KBK belum mampu memberikan sosok dan wujud KBK yang dinginkan,
khususnya belum bisa membuat perbedaan yang segnifikan dengan kurikulum
yang sebelumnnya. Di samping itu, rumusan dalam ciri-ciri KBK memuat
beberapa hal-hal yang kontradiktif, misalnya menyangkut dikotomi antara
pembelajaran berorientasi proses dengan yang berorientasi produk, juga antara
proses bembelajaran, dengan penilaian proses. Kerancuan ini cenderung
membingungkan dari pada menncerahkan. Hal lain juga menyangkut landasan
filosofis yang agak problematis, karena KBK berkesan menempatkan pencapaian
kompetensi (vocational)
oleh peserta didik
secara dominan, cenderung
mengabaikan pembentukan karakter peserta didik secara utuh. (2) Disamping isu
KBK ini harus dilihat secara kritis, rasa optimis pun perlu ditumbuhkan. Hal ini
mengingat adannya beberapa faktor positif yang harus diungkapkan pula secara
objektif, antara lain: (a) Munculnya isu KBK ini bertepatan dengan adanya
gerakan otonomi dan desentralisasi pendidikan, yang memberikan peluang bagi
masyarakat, unit-unit sekolah dan guru-guru untuk ikut berperan aktif dalam
pengembangan kurikulum. Ini akan dapat mendorong guru untuk berkreativitas
dan berinovasi dalam mengembangkan silabus, atau pun model pembelajarannya,
(b) Perencanaan KBK sudah direncanakan dengan lebih baik, dengan model R-DD. Tahapan-tahapan pengembangan pun telah dilakukan secara lebih terbuka,
dimana informasi lengkap tentang KBK dapat diakses secara baik.
KBK perlu di sambut dengan rasa optimis tapi kritis. Tantangan –
tantangan yang dapat menjadi hambatan KBK ini dilapangan cukup banyak.
Sehingga perlu difikirkan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk
memperkecil hambatan-hambatan implementasi KBK nanti. Sebab bagaimana pun
baiknya sebuah perencanaan, mulusnya jalannnya pengembangan dan uji coba,
atau sempurnanya sebuah model dan draft kurikulum, maka akan sia-sia, jika
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
49
faktor-faktor hambatannya yang mungkin muncul di lapangan tidak dikenali
secara dini. Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa kunci keberhasilan
implementasi kurikulum sebagian terbesar terletak di tangan guru-guru di depan
kelas. Guru adalah mediator antara kurikulum dan siswa. Phase penting
implementasi kurikulum adalah proses transformasi secara komprehensif pesanpesan yang terkandung dalam kurikulum ke dalam satuan-satuan pembelajaran.
Ini lah phase terpenting. Karena itu pemerintah harus membantu guru-guru dalam
bidang dan tahap ini. KBK memang memberi peluang bagi guru-guru untuk
berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan silabus dan satuan pembelajaran
yang diasuhnya, dan ini adalah hal yang positif, sepanjang hal ini tidak diartikan
sebagai pembebasan yang sembarangan. Namun hal itu saja tidaklah cukup.
Masih perlu adanya
kontrol dari kalangan luar, yang bisa dilakukan oleh
pengawas, kepala sekolah, atau pun teman-teman guru sejawat, dan harus ada
"wadah pembelajaran" bagi guru-guru. Guru harus diberikan kesempatan untuk
selalu belajar, dan berlatih dalam menggembangkan kreativiatas dan inovasinya
dalam hal pengembangan silabus dan satuan pembelajaran. Dan hal ini perlu
diwadahi, karena guru juga perlu teman belajar, teman dimana mereka bisa
sharing pengalaman. Wadah ini sebenarnya sudah ada, yaitu wadah Musyawarah
Guru Mata Pelajaran (MGMP). Namun sayang, sejak lama
pemerintah
melupakan mereka, membiarkan mereka hidup segan mati tak mau, hidup dengan
semangat menjual LKS pada murid-murid. Potensi MGMP ini dalam
menyukseskan implementasi KBK (juga semua inovasi pendidikan) adalah sangat
besar. Mereka bisa berfungsi sebagai "learning center"-nya guru-guru, sebagai
motor perubahan, sebagai pioner penelitian dan pengembangan kurikulum mata
pelajaran. Karena itu sudah seharusnya Depdiknas memperhatikan mereka dan
menempatkan mereka sebagai motor perkembangan di sekolah-sekolah. Harapan
penulis, jika Depdiknas mempunyai uang, investasikanlah sebagian uang itu
melalui MGMP, kalau ingin ada motor yang dapat mengerakkan pesan-pesan
Depdiknas (khususnya dalam hal ini kurikulum) secara profesional dan
berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA:
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
50
Balitbang Depdiknas, 2001, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijakan
Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Balitbang Depdiknas, 2002. Ringkasan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Depdiknas.
Balitbang Depdiknas, 2002. Ringkasan Kurikulum Hasil Belajar.
Depdiknas.
Jakarta:
Depdiknas, 2003. Draft Final Kurikulum 2004, Mata Pelajaran Matematika
Sekolah Menegah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas, 1995. Kurikulum Sekolah Mengah Umum: Garis-Garis Program
Pengajaran (GBPP). Jakarta: Depdiknas.
Howson, et. Al., 1981. Curriculum Development in Mathematics. London:
Cambridge University Press
Depdiknas, 2003. Kompetensi Guru SLTP. Jakarta: Depdiknas
Depdiknas, 2003. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas
Wirth, J., et. Al., 2001. Problemloesen als faecheruebergreifende Kompetenz.
Berlin: Zeitschrift fuer Paedagogik Nr. 2, 2001.
Sandfuchs, U., 2001. Was Schule leistet. Muenchen: Juwenta Verlag.
Schley, W., 1998. Change Management; Schule als lernende Organisation. Wien:
Studien Verlag
Schratz, M., 1998. Schulleitung als change agent: vom Verwalten zum Gestalten
von Schule. Wien: Studien Verlag
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
Download