ISSN 0215-8250 32 MENCERMATI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI: SEBUAH KAJIAN EPISTEMOLOGIS DAN PRAKTIS oleh I Gst. Putu Sudiarta Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Perubahan kurikulum merupakan isu dominan dalam wacana usaha meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sebentar lagi (kalau tak ada halangan) pemerintah akan meluncurkan kurikulum baru 2004 yang berbasis kompetensi. Perencanaan serta uji coba KBK ini telah dilaksanakan sejak tahun 1999, dan sosialisasinya pun gencar dilakukan. Pendapat pro dan kontra bermunculan, ada yang bersemangat dan ada yang ragu. Tulisan ini mengkaji KBK secara epistemologis dan praktis, kemudian mencermati keunggulan dan kelemahannya. Tantangan dan hambatan yang mungkin dalam impelementasi KBK, serta beberapa solusi pemecahannya juga dipaparkan. Kata Kunci: KBK, Kompetensi, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, R-D-D. ABSTRACT Curriculum changes and innovation dominate the issues of educational quality in Indonesia. It is planned that a new curriculum based on competencies (KBK) will be launched in 2004, named curriculum 2004. The stages of development have begun. Planning, piloting and dissemination of the new curriculum have taken place. Various responses came out. Some are motivated and some are skeptic. This article discusses the KBK epistemologically and practically, and analyzes its strength and weakness. The possible obstacles of its implementation are described and some constructive ideas to overcome those obstacles are suggested. Key Words: Curriculum based on competencies, Competence, Curriculum Development and Innovation, R-D-D. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 33 1. Pendahuluan Perubahan kurikulum pendidikan sebenarnya adalah hal biasa dan merupakan salah satu isu penting dalam reformasi pendidikan di setiap negara. Namun hal ini menjadi tak biasa, jika reformasi pendidikan hanya ditujukan pada perubahan kurikulum saja. Karena perubahan kurikulum hanyalah salah satu aspek di antara banyak faktor penting lainnya yang menentukan kualitas pendidikan suatu bangsa. Kalau dicermati, sejak Indonesia merdeka, kurikulum telah berganti atau direvisi sekurang-kurangnya 7 kali. Kurikulum yang pertama 1947 menggunakan istilah Rencana Pelajaran 1947, kemudian setelah diundangkannya UU Pokok Pendidikan 1950, rencana pelajaran yang digunakan adalah Rencana Pelajaran 1950. Setelah itu istilah rencana pelajaran tidak dipakai lagi, diganti kurikulum 1968. Baru berjalan tujuh tahun kurikulum ini diganti dengan kurikulum 1975, kemudian kurikulum 1975 disempurnakan menjadi kurikulum 1975 yang disempurnakan. Kurang lebih 10 tahun kemudian kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984. Kurikulum ini disempurnakan lagi menjadi kurikulum 1994, dan pada 1999 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dengan diterbitkannya suplemen GBPP pada 1999 untuk digunakan mulai tahun pelajaran 1999/2000. Dan kini kurikulum 1994 rencananya akan diganti dengan kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi. Melihat sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia ini, terbukti bahwa sesungguhnya isu perubahan kurikulum bukanlah suatu wacana baru, yang harus ditanggapi dengan kepanikan. Namum di sisi lain harus diakui, bahwa perjalanan panjang reformasi kurikulum pendidikan di Indonesia ternyata tak mampu mengangkat kualitas pendidikan Indonesia, apalagi membawanya ke arena persaingan regional dan internasional. Sederetan fakta dan laporan internasional menempatkan kualitas pendidikan dan kualitas lulusan pendidikan Indonesia pada posisi deretan bawah di Asia Tenggara. Hal ini berdampak negatif terhadap sikap masyarakat pendidikan Indonesia tentang isu-isu reformasi pendidikan yang dicanangkan pemerintah. Seakan tak ada "kerjaan" yang dapat dilakukan pemerintah kecuali meng-"otak-atik" kurikulum. Terlebih-lebih adanya fakta, bahwa reformasi pendidikan tak secara __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 34 komprehensif menyentuh aspek-aspek makro penentu kwalitas pendidikan. Misalnya aspek yang berhubungan dengan manajemen dan birokrasi sistem pendidikan dibiarkan lama tak tersentuh. Terlebih-lebih dalam hal penghargaan terhadap profesionalitas guru dan tenaga kependidikan, pemerintah hampir tak melakukan apa-apa dalam 4 dasawarsa terkahir ini, yang menyebabkan profesi dan kehormatan guru jatuh ke titik yang paling rendah, dan paling rendah dibandingan dengan guru-guru di Asia Tenggara. Di samping isu makro tadi, isu mikro yang menyangkut reformasi kurikulum itu sendiri, dari proses rencana, pengembangan sampai implementasinya di dalam kelas, terlalu lama hanya menjadi menjadi urusan birokrasi dan politik yang sentralistik, yang menempatkan guru-guru sebagai end user, tempat "membuang" segala kebijakan dan kehendak pusat. Hal ini membenarkan ironi yang mengibaratkan, bahwa mereformasi kurikulum itu, ibarat memukul-mukul kepala ular yang panjang. Kepalanya gerak-gerak, sementara ekornya diam tenang tak tersentuh. Ini disebabkan karena peranan dan kontribusi guru diabaikan secara nyata dalam setiap usaha mereformasi kurikulum. Terlepas dari sejarah masa lalu tadi, dan seiring dengan isu desentralisasi dan otonomi daerah, ada angin perubahan yang memberikan harapan pada dunia pendidikan di Indonesia. Otonomi pendidikan memberikan peluang kepada unitunit lembaga pendidikan yang lebih rendah dan komunitas sekolah untuk berperan dalam mengambil keputusan tentang tujuan dan kebijakan, serta hasil pendidikan yang ingin dicapai. Sehubungan dengan hal ini, secara objektif harus diakui bahwa wacana perubahan kurikulum yang dilakukan kali ini telah mencerminkan sikap terbuka pemerintah. Pemunculan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), nampaknya telah direncanakan dengan lebih baik. Proses penyiapan dan rencana implementasinya relatif lebih terbuka, dalam pengertian, informasi lengkap tentang hal ini bisa diakses khalayak. Bahkan, sebelum kurikulum ini dilaksanakan, pemerintah terlebih dahulu melakukan serangkaian uji coba secara terbuka dan bertahap di sejumlah sekolah pada beberapa daerah. Hal ini adalah positif, dan harus ditanggapi pula dengan positif, tanpa kehilangan kekritisan. Tulisan ini dimaksudkan untuk menkaji kritis wacana KBK ini secara epistemologis dan praktis, mencermati keunggulan dan kelemahannya, serta __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 memberi sumbangan pikiran implementasinya di lapangan. 35 konseptual menyangkut kesuksesan 2. Kajian Epistemologis Pengembangan Kurikulum Pendidikan Berikut ini dipaparkan secara ringkas mengenai pengertian kurikulum, isu yang melatarbelakangi perlunya perubahan dan inovasi kurikulum, landasanlandasan dasar kurikulum, serta tahapan-tahapan pengembangan kurikulum. Dalam arti sempit kurikulum adalah kumpulan berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang dituangkan dalam silabus, diberikan kepada peserta didik melalui proses yang disebut dengan proses pembelajaran. Banyak ahli telah merumuskan definisi kurikulum, misalnya Hooper (1971), Becher dan Maclure (1978), juga Kerr and Kelly (1982). Tetapi kini secara umum diterima, bahwa pengertian kurikulum bukanlah sekedar silabus mata pelajaran. Kurikulum setidaknya harus meliputi: (1) tujuan, untuk menjawab secara menyeluruh tentang apa dan kompetensi apa yang ingin dicapai oleh sekolah untuk peserta didiknya, (2) materi ajar, sebagai gambaran tentang kesempatan atau pengalaman belajar apa yang harus dipilih agar terjadinya perubahan tingkah laku yang selaras dengan tujuan tadi, (3) pendekatan atau metode, untuk memberikan landasan bagaimana unsur-unsur belajar itu disusun, agar tujuan dapat dicapai, (4) evaluasi, untuk mengukur seberapa jauh tujuan itu dapat dicapai. (Bandingkan misalnya dengan, Howson, et. Al. (1981)). Berdasarkan pengertian kurikulum ini dapat dinyatakan bahwa perubahan (inovasi) kurikulum akan terjadi, jika salah satu komponen itu berubah. Jika kurikulum berubah maka tujuannya dapat berubah, begitu pula materi ajar, metode dan prosedur evaluasinya. 2.1 Faktor-Faktor Pemicu Perubahan Kurikulum 2.1.1 Faktor sosial, ekonomi dan politik Boleh dikatakan, bahwa faktor paling dominan yang dapat mendorong perubahan kurikulum adalah tekanan yang datang dari masyarakat. Misalnya tumbuh dan diakuinya nilai egaliter (nilai tentang kesamaan derajat manusia) dalam masyarakat barat di abad ke 19 telah mengubah arah kurikulum pendidikan mereka. Kesamaan memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara, menjadi hal prinsip dalam pengembangan kurikulum di barat saat __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 36 itu. Perkembangan ekonomi dan politik menuntut terselengaranya pendidikan secara lebih baik. Begitu juga, adanya perubahan tuntutan di dunia kerja, memiliki konsequensi langsung terhadap dunia pendidikan pada umumnya, dan terhadap pertimbangan-pertimbangan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan khususnya. 2.1.2 Perkembangan IPTEK Pendorong inovasi perubahan kurikulum juga dapat berasal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan di bidang ilmu komputer misalnya, bukan hanya saja mengubah dunia kerja, tapi telah merevolusi ilmu matematika sendiri. Matematika numerik menjadi sangat maju, dan mendapat ruang aplikasi yang luas dalam bidang ekonomi, geografi, geologi dan sebagainya. Hal ini telah menjadi pendorong perubahan content kurikulum pendidikan di abad ke 19. Juga penemuan-penemuan dalam penelitian pendidikan (psikologi pendidikan) itu sendiri, membawa pengaruh besar terhadap perkembangan kurikulum. Misalnya teori psikologi perkembangan oleh Piaget mempengaruhi secara dominan perubahan tujuan kurikulum, sementara taksonomi Bloom mendominasi masalah kurikulum di abad ke 20. pendekatan dan metode dalam 2.2 Landasan Epistemologis Perkembangan Kurikulum Dalam pengembangan kurikulum ada beberapa landasan yang perlu dipegang antara lain: 2.2.1 Landasan Filosofis Landasan ini memuat tentang pertanyaan - pertanyaan mendasar yang berhubungan dengan: (a) hakekat, apa dan siapakah pebelajar itu, (b) bagaimana hakekat hubungan dan komunikasi antara siswa dan guru, (c) apa yang seharusnya menjadi isi kurikulum itu. Bahasan dan jawaban terhadap ketiga hal itu, merupakan kesatuan bulat yang akan memberi arah "kemana" siswa akan dibawa, apa hasil yang hendak dicapai siswa, bagaimana siswa akan "diantar" untuk mencapai tujuan itu. 2.2.2 Landasan Sosiologis __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 37 Landasan kemasyarakatan ini mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang muncul di masyarakat, misalnya masalah kesempatan kerja, masalah teknologi, masalah kesehatan, serta masalah lingkungan dan pelestarian sumber daya alam. Ini mengingatkan, bahwa kurikulum harus mampu merespon kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, kurikulum (sistem pendidikan) harus dapat membantu memecahkan persoalan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan bentuk pendidikan. 2.2.3 Landasan Psikologis Secara umum psikologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang meneliti hal-hal yang berhubungan dengan proses perkembangan dan tingkah laku pikiran, perasaan dan kejiwaan (mental) orang-orang. Terkenal misalnya adalah teori psikologi perkembangan oleh Piaget, dan teori perkembangan tingkah laku oleh Dewey. Dalam dunia pendidikan, psikologi mendapat tempat aplikasi yang luas pada cabang psikologi pendidikan, yang memberi dasar terhadap bahasan problema pendidikan, khususnya tentang bagaimana siswa belajar. Karena itu setiap pengkajian dan pengembangan kurukulum harus memperhatikan pijakan dan refleksi psikologis ini. 2.3. Tahapan Pengembangan Kurikulum Tahapan-tahapan pengembangan kurikulum pendidikan banyak dipengaruhi oleh prinsip perencanaan dan pengembangan produk baru dalam dunia industri. Prinsip pengembangan ini membagi langkah-langkah inovasinya menjadi lima tahapan-tahapan yang meliputi: perencanaan (Planning), penelitian (Research), pengembangan (Development), Penyebaran (Dissemination), dan Penerapan (Application). Hal ini kemudian diperas dalam tiga tahapan utama yaitu Research, Development and Dissemination (R-D-D). Tahapan perencanaan inovasi kurikulum dimulai dengan langkah meneliti dan mengidentifikasi kebutuhan (need assesment), kemudian memformulasikan dan merencanakan kemungkinan langkah aksi yang bisa dibuat. Dalam tahapan ini perlu digali masukan sebanyak-banyaknya dari masyarakat, sekolah, guru, kalangan peneliti dan para ahli. Tahapan utama berikutnya adalah tahapan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 38 pengembangan model, yang meliputi tahap ujicoba (piloting), dan evaluasi model, serta penyusunan draft kurikulum. Tahapan ini diukuti dengan tahapan penyebaran dan sosialisasi draft hasil piloting tadi ke masyarakat, ke seluruh unit sistem pendidikan, pengguna dan pemerhati untuk mendapatkan masukan yang lebih luas lagi dalam rangka menyusun draft kurikulum final sebelum masuk ke tahapan implementasi dan aplikasi. 3. Kajian Kritis Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu konsekwensi dari pengembangan kurikulum berdasarkan prinsip R-D-D yang terbuka tadi adalah cepat dan luasnya tanggapan yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini sangat positif di satu sisi, tapi menuntut kehati-hatian di sisi lain. Karena terlalu banyaknya informasi turunan yang beredar, baik yang pro dan kontra dapat saja membingungkan. Untuk itu, dalam tulisan ini yang dijadikan sumber acuan dalam membahas KBK adalah naskahnaskah dan draft tangan pertama yang dikeluarkan langsung oleh Depdiknas terutama oleh Balitbang Pusat Kurikulum. Untuk dapat membahas KBK secara komprehensif, kritis, tapi fair, maka dicermati terlebih dahulu latar belakang munculnya KBK, Pengertian, Konsep yang menjadi landasan dasarnya, proses pengembangan dan rencana implementasinya, sbb: 3.1 Lemahnya analisis need assessment Kenapa kurikulum harus diganti, atau lebih tegas: kenapa Kurikulum 1994 (dengan suplemen 1999) harus diganti dengan KBK? Sayang sekali dalam sumber resmi keluaran Depdiknas pertanyaan ini tidaklah dijawab dengan jelas. Sebaliknya alasan-alasan yang diungkapkan terlalu klasik, dan sangat tak precise, misalnya soal perubahan tatanan kehidupan masyarakat dan politik, soal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, soal persaingan global dan lainlain (lihat Kebijaksanaan Umum KBK 2001, 2002). Pertanyaannya, apakan kurikulum 1994 tak dapat menjawab tantangan itu, kenapa dan mengapa? Jawaban menyeluruh terhadap hal ini, adalah sangat penting dalam perencanaan kurikulum baru yang akan dikembangkan. Sebaliknya ketidakjelasan tentang identifikasi "kegagalan kurikulum 1994" dapat: (a) melemahkan konsep pemecahan masalah __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 39 yang direncanakan, dan dengan demikian memperbesar peluang untuk terjadinya kesalahan yang sama, (b) membuka spekulasi bahwa ada stagnasi dalam proses pengembangan kurikulum. Karena dalam konsep R-D-D, berlaku prinsip sirkluler, bahwa evaluasi harus diadakan dulu terhadap kurikulum yang berlaku, untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahannya, sebelum diputuskan untuk mengambil tidakan perbaikan. Barangkali ini sudah menjadi tradisi di Depdiknas, bahwa perubahan itu diadakan bukan karena kebutuhan, tapi karena pengelolanya yang berubah, maka tanpa perlu adanya evalasi dan analisis need assessment, maka perubahan akan harus ada berdasarkan projek pesanan pemegang kebijakan. Dengan lemahnya analisis need assessement ini, perlu dipertanyaakan apakah KBK ini sebuah proyek semata, yang akan habis sejalan dengan habisnya dana proyek. 3.2 Kaburnya Pengertian dan Operasionalisasi Kompetensi Pengertian "kompetensi" dalam KBK yang dapat ditemukan dalam sumbersumber Depdiknas sangan terbatas. Hal ini dapat dilihat pada culpikan asli dari dokumen Puskur sebagai berikut: "Kurikulum yang dibutuhkan adalah kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi yang dikembangkan adalah untuk memberikan keterampilan dan keahlihan bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenentuan, ketidakpastian dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas, dalam membangun identitas budaya dan bangsanya" (Balitbang Depdiknas, 2001: 1) Disebutkan pula dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum sbb: (1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten; (3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilalui siswa setelah proses pembelajaran; dan (4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan dengan jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai, dan diukur (Balitbang Depdiknas, 2003: 2) Kelucuan pertama yang dapat disimak dalam definisi kompetensi ini adalah, jika kata "kompetensi" diganti saja dengan "kemampuan" maka kalimat di __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 40 atas tidaklah berbeda dengan kalimat-kalimat yang dapat ditemukan dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya. Kalau begitu, apa bedanya KBK dengan kurikulum 1994? Kesangsian yang dapat mucul adalah apakah KBK ini bukan hanya barang lama dibungkus dengan "kata-kata" baru saja. Hal kedua yang lebih penting, bahkan terpenting adalah bagaimana meng"operasional"-kan konsep "kompetensi" ini dalam pembelajaran. Jika pengertian kompetensi adalah sebatas itu, bisa dibayangkan betapa sulitnya seorang guru matematika misalnya untuk memilih dan merumuskan "kompetensi" mana yang berguna untuk mengatasi "pertentangan dan ketidakmenentuan" dalam hidup, sesuai dengan yang diinginkan KBK. Disamping itu, terlihat bahwa pengertian kompetensi yang digunakan hanya mengarah pada dua hal, yaitu kompetensi dalam pengertian kemampuan tingkah laku, dan kompetensi yang berhubungan dengan hasil belajar. Padahal menurut Weinert (1999) misalnya, pengertian " kompetensi" teridiri dari 4 katagori: (1) Kompetensi dalam pengertian kemampuan intelektual seseorang secara umum untuk menyelesaikan tugas-tugas berat dalam situasi yang berbedabeda. (2) Kompetensi dalam pengertian kemampuan yang berhubungan dengan prestasi dan kemampuan kognitif seseorang, yang secara psikologis biasa dinyatakan sebagai kemampuan pengetahuan, ketrampilan, strategi, dan teknikteknik dalam hal-hal tertentu. (3) Kompetensi dalam pengertian kemampuan orientasi dan motivasi, sebagai persyaratan dalam memecahkan dan menyelesaikan tugas-tugas. (4) Kompetensi sebagai perbuatan yang dapat meliputi ketiga pengertian kompetensi di atas, yang mengarah kepada kemampuan melakukan pekerjaan dan profesi. (5) Kompetensi Meta (metacompentence) adalah kemampuan untuk dapat memperoleh berbagai jenis kemampuan pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan orientasi, serta dapat menggunakan kemampuan itu dalam berbagai bidang dan dalam situasi yang berbeda. Terlihat ada hal yang sangat penting yang belum di singgung dalam pengembangan konsep kompetensi yaitu, bahwa pada abad pengetahuan ini zaman ekonomi berbasis pengetahuan - diperlukan masyarakat berpengetahuan yang belajar sepanjang hayat. Dalam hal ini kompetensi meta, misalnya __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 41 kompetensi metakognitif adalah mutlak, di samping kompetensi orientasi dan motivasi. Kemampuan metakognitif dapat berupa kompetensi untuk: (a) berpikir bagaimana berpikir dan belajar bagaimana belajar, (b) mengevaluasi bagaimana mengevaluasi, self evaluation termasuk juga self competence, (c) keterpaduan belajar formal dan tidak formal, (d) mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan dalam dunia informasi, dan (e) mampu mengatasi situasi yang ambigus, permasalahan yang tidak dapat diramalkan; dan keadaan-keadaan yang tak terlihat secara kasat mata. Tugas guru dalam hal ini ini bukan saja "menstranfer" pengetahuan, keterampilan dan kemampuan, tetapi yang lebih penting adalah menjadikan anak didik sebagai insan-insan yang mampu mandiri, mandiri dalam berfikir kritis (mengambil keputusan), mandiri dan bertanggung jawab atas perbuatannya, dan tentu juga mandiri dalam mengambil kegiatan belajar. Juga yang tak kalah pentingnya adalah menjadikan insan-insan yang mandiri dalam menghargai nilai – nilai kebebasan yang bertanggung jawab dan demokrasi, toleran dan menghormati harkat dan martabat serta keyakinan orang lain. (Bandingkan dengan Sandfuchs, 2001, 11-29). Di samping itu Weinert (1999) juga memberikan pengertian kompetensi lintas bidang dan menyebutnya sebagai kompetensi kunci (Schluesselkompetenzen) yaitu kompetensi yang dapat meliputi semua pengertian komptensi di atas, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang studi. Pengertian kompetensi di atas, sebenarnya berasal dari tuntutan dunia ekonomi dan dunia kerja. Perdebatan tentang ini telah muncul di barat sejak tahun 80an dan telah terjadi diskusi hebat mengenai bagaimana mengoperasionalkan pengertian "kompetensi" tadi dalam kurikulum, sehingga pengertian kompetensi dengan latar belakang ekonomi tadi, bisa bergeser ke wacana pedagogis, khususnya wacana implementasinya dalam kelas. Pada tahun 1990an orientasi inovasi kurikulum di barat didominasi dengan usaha untuk mengoperasionalkan kompetensi kunci lintas kurikulum ini, antara lain dengan merevisi konsep problem solving. Problem solving tak lagi direduksi menjadi semacam metode belajar yang berorientasi pada penyajian masalah dan memotivasi siswa untuk memecahkan masalah. Melainkan problem solving dimasukkan sebagai kompetensi kunci yang harus dimiliki siswa setelah mengikuti __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 42 pembelajaran. Dalam hal ini problem solving didefinisikan secara ketat sebagai kegiatan berfikir dan berbuat dalam berbagai situasi dan bidang yang berbedabeda, yang berorientasi pada tujuan. Perbedaan dengan persoalan biasa adalah kegiatan problem solving ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan algoritma dan mekanisme rutin biasa. Problem solving harus membangkitkan pemikiran kreativ dan inovatif untuk membangun pengetahuan dan skill, melatih daya argumentasi dan refleksi. Bentuk kegiatan problem solving bisa berupa "open dan atau open ended problem" dengan kerangka persyaratan dan struktur elemen-elemen yang diketahui relatif terbuka, memungkinkan adanya banyak solusi dan banyak prosedur pencapaian solusinya. Siswa harus memiliki kompetensi ini secara lintas kurikulum dan bidang studi. Hal yang lebih penting dari masalah konsep kompetensi adalah masalah bagaimana kompetensi itu dioperasionalkan, diimplementasikan di depan kelas, bagaimana kompetensi itu akan diukur, kapan tercapainya kompetensi itu. Jawaban terhadap persoalan ini dikembalikan lagi kepada bagaimana kompetensi itu didefinisikan. "Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten" (Balitbang Depdiknas, 2002, 4) Implementasi pengertian ini menyebabkan rumusan kompetensi dalam KBK itu mengambil dua bentuk, sebagai berikut: (1) Standar Kompetensi yaitu merupakan seperangkat kompetensi yang dibakukan dan harus ditunjukkan oleh siswa pada hasil belajarnya. Standar kompetensi untuk mata pelajaran matematika, misalnya "menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, ... memahami dan melakukan operasi aljabar, fungsi, persamaan garis dan sistem persamaan serta menggunakan dalam pemecahan masalah" (Draft final Kurikulum 2004, Depdiknas 2003, 2-3; (2) Kompetensi Dasar merupakan kompetensi minimal yang dapat dikembangkan oleh sekolah. Contoh kompetensi dasar adalah "menyelesaikan operasi bilangan bulat dan mengenal sifat operasi bilangan bulat", dengan standar kompetensi "melakukan operasi hitung bilangan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 43 bulat serta dapat mengunakannya dalam pemecahan masalah"(Draft final Kurikulum 2004, Depdiknas 2003, 4-7). Perwujudan kompetensi dalam dalam bentuk "standar kompetensi dan kompetensi dasar" pada KBK ini mengingatkan kembali pada maskot PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional) yang menjadi ciri kurikulum sebelumnya. Pada kurikulum ini, tahapan pertama yang harus dilakukan guru adalah mencermati Tujuan Instruksional Umum (TIU) yang tertuang dalam GarisGaris Besar Program Pengajaran (GBPP), kemudian menguraikan TIU tadi ke dalam tujuan-tujuan instruksional khusus (TIK). Kalau TIU / TIK ini dibandingkan dengan Standar Kompetensi / Kompetensi dasar dalam KBK, maka sesungguhnya tak ada perbedaan. Hal ini bisa dilihat dari kata-kata operasional yang digunakan dalam perumusan standar kompetensi / kompetensi standar persis sama dengan yang digunakan dalam perumusan TIU / TIK. Yang jelas dapat dikatakan bahwa dalam TIU / TIK itu tergambar pula kompetensi apa yang diinginkan dimiliki siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Hal ini kembali menimbulkan keraguaan apakah kata "kompetensi" yang menjadi "trade mark" dari KBK akan dapat membawa perubahan, karena substansi "kompetensi" yang digemborkan ternyata hanyalah barang lama. 3.3 Problematik Landasan KBK Persoalan yang tak kalah pentingya adalah menyangkut apa-apa yang menjadi landasan dasar pengembangan KBK, baik landasan pilosofis, sosiologis dan psikologisnya. Pada buku pedoman KBK tahun 2001 dan direvisi tahun 2003 oleh Depdiknas disebutkan ada 5 ciri-ciri KBK, sebagai berikut: (1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; (2) Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; (3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) Sumber belajar bukan hanya guru tapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; dan (5) Penilaiannya menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi (Balitbang Depdiknas, 2001, 2002:5). __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 44 Dari ciri-ciri nomer 1 dan 2 yang dituliskan di atas dapat dikatakan bahwa KBK menekankan pada aspek pencapaian kompetensi dan pencapain hasil belajar. Untuk hal ini, pertanyaan klasik dapat saja muncul, bagaimana dengan proses belajarnya! Walaupun dalam butir 5 ditekankan bahwa penilaiannya justru menekankan pada proses. Jadi bisa dikatakan, pembelajarannya berorientasi pada hasil belajar dan penilaiannya berorientasi pada proses. Rumusan seperti ini dapat membuat perdebatan yang panjang, karena sudah menyangkut dikotomi klasik, antara pembelajaran berorientasi proses dan berorientasi produk. Kerancuan pengertian antara proses belajar dan penilaian hasil belajar dapat memunculkan masalah-masalah lama. Fakta tentang siswa belajar karena dimotivasi oleh adanya penilaian atau tes, bukan karena motivasinya untuk berkompeten dan mandiri dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan. Sehingga siswa sering menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil yang yang diinginkan, tanpa harus melalui proses belajar yang benar, yaitu "proses mengerti" dan "proses mengalami", dengan membangun pengetahuan dan pengalamannya secara mandiri. (Ini adalah kesalahan umum kurikulum pendidikan dengan pendekatan behavioristik, akibat kurang jelasnya pembatasan antara proses pembelajaran dengan penilaian, maka proses pembelajaran sering direduksi menjadi latihan mengerjakan tes). Ciri-ciri di atas juga menyiratkan bahwa KBK seakan-akan merupakan kurikulum vocational (kejuruan), karena menekankankan aspek pencapaian kompetensi (kemampuan melakukan kerja) secara dominan. Memang ini secara sosilogis dapat diterima, karena landasan sosiologis memberikan wadah terhadap kebutuhan masyarakat dalam kurikulum. Bahwa output lembaga pendidikan harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan dunia kerja dan profesi. Tetapi secara filosofis hal ini agak dilematis, karena hakekat anak didik yang utuh, tidak semata-mata dan tidak cukup digambarkan dengan penguasaan kompetensi – kompetensi yang menjadi tuntuan dunia kerja saja. Seorang pemikir atau seorang penyair misalnya, mungkin tak akan selalu mudah mendapatkan lapangan kerja dalam pengertian biasa, tapi cenderung mampu menghasilkan karya-karya bernilai orisinal yang sangat unik. __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 45 Beberapa titik kritis KBK yang diuraikan tadi, hendaknya jangan ditafsirkan sebagai expresi rasa pesimistis, melainkan sebagai sikap kehati-hatian untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti di masa lampau. Untuk itu momentum perubahan dan inovasi terhadap kurikulum pendidikan ini, seyogyanya dilihat sebagai kesempatan untuk perbaikan, dan disambut dengan rasa optimis. Rasa optimis ini, bukanlah tanpa alasan, karena memang ada faktorfaktor positif yang harus dilihat secara objektif, sebagai berikut: (1) Adanya kebijakan otonomi dan desentralisasi pendidikan memungkinkan partisipasi aktif dari masyarakat, unit-unit sekolah dan guru-guru terlibat dalam menentukan arah pendidikan, khususnya terlibat dan berperan dalam mengembangkan dan mengevaluasi kurikulum secara langsung. Melalui momentum KBK ini, Depdiknas telah melakukan hal yang baik dalam hal deversifikasi kurikulum. Bagi sekolah yang dianggap mampu, dapat mengembangkan silabus-silabusnya secara mandiri, sedangkan bagi yang merasa belum mampu, dapat mencontoh atau memodifikasi silabus buatan pusat. Guru-guru dalam hal ini sudah menempati posisi terhormat, karena tidak dianggap sebagai "tukang" lagi yang harus menuruti kehendak mandornya tanpa boleh bertanya, melainkan sebagai "pengembang", dimana kreativitas dan inovasi bukan saja boleh, tapi wajib. (2) Perencanaan dan inovasi kurikulum kali ini telah dilakukan secara lebih baik. Secara teoretis, dengan diterapkannya inovasi perubahan kurikulum berdasarkan konsep R-D-D menunjukkan keseriusan dan profesionalitas Depdiknas. Proses penyiapan dan rencana implementasi KBK ini relatif lebih terbuka, dalam pengertian, informasi lengkap soal ini bisa diakses khalayak. Bahkan, sebelum kurikulum ini dilaksanakan, pemerintah terlebih dahulu melakukan serangkaian uji coba secara terbuka dan bertahap di sejumlah sekolah pada beberapa daerah. Hal ini memberikan harapan yang baik terhadap usaha peningkatan mutu pendidikan secara umum, walaupun harus disadari bahwa isu perubahan kurikulum semata, tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan pendidikan kita yang multidimensi. (3) Cita-cita KBK adalah mewujudkan sosok manusia Indonesia yang profesional pada bidangnya masing-masing. (Walaupun KBK hendaknya jangan direduksi menjadi kurikulum vocational). Karena itu KBK memberi penekanan yang dominan pada berbagai kompetensi yang harus dikuasai seseorang dalam setiap __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 46 program studi pada setiap jenjang pendidikan. Kompetensi yang diharapkan pun bukan sembarang kompetensi, tapi kompetensi yang kontekstual dan dekat, serta menyentuh domain masyarakat, dapat diterapkan di masyarakat dan diaplikasikan di dunia kerja. Hal ini adalah hal yang positif yang perlu disambut baik. 3.4 Tantangan Dalam Implementasi KBK Setelah optimisme tentang KBK diungkapkan, perlu juga dibahas secara khusus tantangan yang mungkin dapat menjadi hambatan dalam menerapkan KBK ini, sebagai berikut. (1) Tantangan Nilai, tantangan yang mungkin menjadi hambatan pertama dalam implementasi KBK adalah berupa nilai-nilai yang telah mendarah daging pada masyaralat Indonesia. Sebagai contoh harus disadari bahwa masih ada nilai feodal dalam masyarakat Indonesia, dimana orang mengukur jati dirinya semata-mata dengan gelar yang disandangnya. Kasus pemalsuan dan jual beli ijazah kesarjanaan masih menjadi dilema. Hal ini adalah masalah berat yang bukan saja melecehkan norma-norma pendidkan, tapi sudah berhubungan dengan prinsip keadilan, terutama dalam hal sertifikasi kompetensi peserta didik. Yang satu memiliki ijasah (bersertifikat) karena memang memiliki kompetensi yang valid karena telah menempuh proses pendidikan yang wajar, sementara yang lain berserifikat tanpa atau dengan kompetensi yang diragukan. (2) Tantangan Politis, tantangan ini dapat datang dari kalangan pengambil kuputusan baik di daerah maupun di pusat. Hal ini berhubungan dengan beaya kesinambungan proses pengembangan kurikulum secara umum. Karena sponsor beayanya notabene adalah pemerintah, maka tak tertutup kemungkinan adanya pesan-pesan politis yang masuk ke dalam kurikulum, yang pada akhirnya berdampak pada arah pengembangan kurukulum itu sendiri. Misalnya yang menyangkut aspek pengembangan kompetensi "kebebasan" dan demokrasi, serta hak azasi manusia, kompetensi penghargaan terhadap hak-hak perempuan, dan sebagainya dapat rentan terhadap pembelokan secara politis. Tantangan yang menyakut kebijakan juga antara lain dapat berupa kebijakan tentang sistem seleksi dan alokasi yang diambil pemerintah, seperti UAN, SPMB di perguruan tinggi, seleksi kepegawaian dan tenaga kerja. Hal ini akan mempengaruhi secara langsung efektifitas pelaksanaan KBK. Misalnya, walaupun KBK menekankan adanya evaluasi proses, bukan evalusi produk saja, tetapi jika SPMB untuk masuk perguruan tinggi __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 47 misalnya masih berorientasi pada produk dengan soal-soal multiple choice, maka amanat KBK tentang pentingnya evaluasi proses akan sia-sia. Karena manusia, juga peserta didik pada umumnya cenderung berbuat pragmatis, artinya dalam berbuat akan berorientasi untuk apa dia berbuat, belajar atau melatih. (3) Tantangan Psikologis, tantangan psikologis ini dapat berupa rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah dalam hal ini Depdiknas. Hal ini mengingat jeleknya track record Depdiknas dalam pengembangan kurikulum. Sekian lama pengembangan kurikulum dilakukan secara terutup tanpa melibatkan masyarakat, terutama wakil-wakil guru. Sehingga masyarakat bisa menebak, asal ganti mentri maka ganti proyek, dan ganti proyek ganti kurikulum. Ditambah lagi dengan mekanisme pengembangan dan penggantian kurikulum yang sembarangan. Fakta proses tambal sulam kurikulum 1994 dengan suplemennya tahun 1999 adalah salah satu contoh ketidakprofesionalan Depdiknas dalam mengembangkan kurikulum, yang membuat masyarakat dan guru-guru cenderung apatis dan skeptis terhadap inovasi kurikulum. (4) Tantangan Praktis, tantangan praktis ini menyangkut bagaimana dan siapa yang akan mengimplementasikan KBK itu. Hal pertama adalah tantangan birokrasi yang harus dilewati. Panjangnya birokrasi dari pusat ke daerah, sampai ke guru-guru dapat menjadi hambatan. Kedua adalah tantangan yang menyangkut kompetensi dan profesionalitas guru itu sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah guru-guru kita telah memiliki kompetensi yang memadai dalam mengemban amanat dari KBK ini. Jika telah memiliki kompetensi apakah mereka mempunyai "will" yang kuat untuk itu. Di samping itu, apakah organisasi dan birokarasi sekolah, juga prasarana dan lingkungan sekolah menunjang implementasi KBK ini. (5) Tantangan Geografis, bagi negara Indonesia yang luas, dengan infra struktur yang tak merata ini, mau tak mau faktor geografis unit pendidikan dan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh nusantara, dapat menjadi hambatan, jika ingin mengimplementasikan KBK secara nasional. 4. Penutup Dari pemaparan dan pembahasan di depan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Isu inovasi kurikulum melalui KBK yang rencananya akan __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 48 ditetapkan menjadi kurikulum 2004 perlu disikapi secara proporsional, positif dan tentu saja kritis. Hal-hal yang dapat dijadikan alasan kekritisan adalah misalnya (a) kurangnya need assessment yand mendasari perubahan kurikulum yang direncanakan, (b) absurd-nya pengertian konsep kompetensi yang menjadi trademark dari KBK, dan ketidakjelasan bagaimana mengoperasionalkan konsep kompetensi yang dimaksud, (c) Rumusan hal-hal yang diangkat menjadi ciri-ciri KBK belum mampu memberikan sosok dan wujud KBK yang dinginkan, khususnya belum bisa membuat perbedaan yang segnifikan dengan kurikulum yang sebelumnnya. Di samping itu, rumusan dalam ciri-ciri KBK memuat beberapa hal-hal yang kontradiktif, misalnya menyangkut dikotomi antara pembelajaran berorientasi proses dengan yang berorientasi produk, juga antara proses bembelajaran, dengan penilaian proses. Kerancuan ini cenderung membingungkan dari pada menncerahkan. Hal lain juga menyangkut landasan filosofis yang agak problematis, karena KBK berkesan menempatkan pencapaian kompetensi (vocational) oleh peserta didik secara dominan, cenderung mengabaikan pembentukan karakter peserta didik secara utuh. (2) Disamping isu KBK ini harus dilihat secara kritis, rasa optimis pun perlu ditumbuhkan. Hal ini mengingat adannya beberapa faktor positif yang harus diungkapkan pula secara objektif, antara lain: (a) Munculnya isu KBK ini bertepatan dengan adanya gerakan otonomi dan desentralisasi pendidikan, yang memberikan peluang bagi masyarakat, unit-unit sekolah dan guru-guru untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan kurikulum. Ini akan dapat mendorong guru untuk berkreativitas dan berinovasi dalam mengembangkan silabus, atau pun model pembelajarannya, (b) Perencanaan KBK sudah direncanakan dengan lebih baik, dengan model R-DD. Tahapan-tahapan pengembangan pun telah dilakukan secara lebih terbuka, dimana informasi lengkap tentang KBK dapat diakses secara baik. KBK perlu di sambut dengan rasa optimis tapi kritis. Tantangan – tantangan yang dapat menjadi hambatan KBK ini dilapangan cukup banyak. Sehingga perlu difikirkan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk memperkecil hambatan-hambatan implementasi KBK nanti. Sebab bagaimana pun baiknya sebuah perencanaan, mulusnya jalannnya pengembangan dan uji coba, atau sempurnanya sebuah model dan draft kurikulum, maka akan sia-sia, jika __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 49 faktor-faktor hambatannya yang mungkin muncul di lapangan tidak dikenali secara dini. Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa kunci keberhasilan implementasi kurikulum sebagian terbesar terletak di tangan guru-guru di depan kelas. Guru adalah mediator antara kurikulum dan siswa. Phase penting implementasi kurikulum adalah proses transformasi secara komprehensif pesanpesan yang terkandung dalam kurikulum ke dalam satuan-satuan pembelajaran. Ini lah phase terpenting. Karena itu pemerintah harus membantu guru-guru dalam bidang dan tahap ini. KBK memang memberi peluang bagi guru-guru untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengembangkan silabus dan satuan pembelajaran yang diasuhnya, dan ini adalah hal yang positif, sepanjang hal ini tidak diartikan sebagai pembebasan yang sembarangan. Namun hal itu saja tidaklah cukup. Masih perlu adanya kontrol dari kalangan luar, yang bisa dilakukan oleh pengawas, kepala sekolah, atau pun teman-teman guru sejawat, dan harus ada "wadah pembelajaran" bagi guru-guru. Guru harus diberikan kesempatan untuk selalu belajar, dan berlatih dalam menggembangkan kreativiatas dan inovasinya dalam hal pengembangan silabus dan satuan pembelajaran. Dan hal ini perlu diwadahi, karena guru juga perlu teman belajar, teman dimana mereka bisa sharing pengalaman. Wadah ini sebenarnya sudah ada, yaitu wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Namun sayang, sejak lama pemerintah melupakan mereka, membiarkan mereka hidup segan mati tak mau, hidup dengan semangat menjual LKS pada murid-murid. Potensi MGMP ini dalam menyukseskan implementasi KBK (juga semua inovasi pendidikan) adalah sangat besar. Mereka bisa berfungsi sebagai "learning center"-nya guru-guru, sebagai motor perubahan, sebagai pioner penelitian dan pengembangan kurikulum mata pelajaran. Karena itu sudah seharusnya Depdiknas memperhatikan mereka dan menempatkan mereka sebagai motor perkembangan di sekolah-sekolah. Harapan penulis, jika Depdiknas mempunyai uang, investasikanlah sebagian uang itu melalui MGMP, kalau ingin ada motor yang dapat mengerakkan pesan-pesan Depdiknas (khususnya dalam hal ini kurikulum) secara profesional dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA: __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003 ISSN 0215-8250 50 Balitbang Depdiknas, 2001, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Kebijakan Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Balitbang Depdiknas, 2002. Ringkasan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas. Balitbang Depdiknas, 2002. Ringkasan Kurikulum Hasil Belajar. Depdiknas. Jakarta: Depdiknas, 2003. Draft Final Kurikulum 2004, Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menegah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas Depdiknas, 1995. Kurikulum Sekolah Mengah Umum: Garis-Garis Program Pengajaran (GBPP). Jakarta: Depdiknas. Howson, et. Al., 1981. Curriculum Development in Mathematics. London: Cambridge University Press Depdiknas, 2003. Kompetensi Guru SLTP. Jakarta: Depdiknas Depdiknas, 2003. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas Wirth, J., et. Al., 2001. Problemloesen als faecheruebergreifende Kompetenz. Berlin: Zeitschrift fuer Paedagogik Nr. 2, 2001. Sandfuchs, U., 2001. Was Schule leistet. Muenchen: Juwenta Verlag. Schley, W., 1998. Change Management; Schule als lernende Organisation. Wien: Studien Verlag Schratz, M., 1998. Schulleitung als change agent: vom Verwalten zum Gestalten von Schule. Wien: Studien Verlag __ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003