pembelajaran dan penilaian berbasis kompetensi

advertisement
ISSN 0215-8250
89
PELUANG IMPLEMENTASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
DAN PENDIDIKAN BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP
(Suatu Tinjauan Teoretik menurut Perspektif Teknologi Pembelajaran)
oleh
I Wayan Santyasa
Jurusan Pendidikan Fisika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Pendidikan adalah dasar untuk memajukan peradaban manusia.
Peningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari peranan kurikulum. Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) cukup
memberi harapan bagi Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
KBK dan PKH memiliki peluang untuk diimplementasikan dalam sistem
pendidikan Indonesia. Namun, kualitas sumber daya praktisi pendidikan perlu
ditingkatkan, utamanya kemampuan dalam mengemas pembelajaran dan penilaian
yang sesuai dengan tuntutan KBK dan PKH. Untuk melaksanakan KBK dan PKH
secara optimal, dukungan moral dan finansial yang memadai dari pemerintah
dalam mewacanakan pendidikan perlu ditingkatkan operasionalisasinya.
Kata kunci: pendidikan, kompetensi, standar, kecakapan hidup.
ABSTRACT
Education is a fundamental in improving the human civilization.
Improving the quality of education link and match to the curriculum. CompetencyBased Curriculum (CBC) and Life Skill Education (LSE) can be expected for
Indonesian in improving the quality of education. CBC and LSE can be
implemented in the Indonesian education system. But, the quality of the human
resources in education need to be improved especially the capability in designing
the instruction and the evaluation which are conform both with the CBC and the
LSE. For implementing optimally the CBC and the LSE, morally and financially
supporting of the government in discoursing the education need to be increased of
their operationnalization.
Key words: education, competency, standard, life skill
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
90
1. Pendahuluan
Pendidikan sebagai sumber daya insani sepatutnyalah mendapat perhatian
secara terus menerus dalam upaya peningkatan mutunya. Peningkatan mutu
pendidikan berarti pula peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), oleh
karena manusia merupakan produk pertama dan utama pendidikan itu sendiri.
Peningkatan mutu SDM merupakan cerminan keberhasilan suatu bangsa dalam
memajukan peradaban manusia. Kualitas pendidikan sangat menentukan survival
suatu bangsa. Namun, di balik itu pendidikan merupakan suatu kegiatan rekayasa
manusia. Oleh sebab itu, manusia juga yang menentukan keberhasilan pendidikan
itu sendiri demi keberhasilan manusia itu juga.
Keabsahan dalam mempersoalkan pendidikan didukung oleh logika
berpikir manusia. Manusia dalam hidupnya dilingkungi oleh perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin canggih yang akan menuntut
logika berpikir mesti diarahkan ke sana. Manusia sebagai pengguna sekaligus
pengembang IPTEK mau tidak mau harus mampu beradaptasi, beraktivitas, dan
berkreativitas di dalamnya. Dalam lingkup inilah tampak pentingnya pendidikan
manusia dan masyarakat yang berkualitas. Kreativitas, kompetensi, dan kelebihan
manusia dapat dikembangkan lewat pendidikan, dan pendidikan yang akan mampu
meredam cacat dan kekurangan manusia itu sendiri.
Mungkin telah disadari oleh sebagian besar masyarakat, bahwa praktekpraktek pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai kendala. Kendalakendala tersebut antara lain, penghargaan terhadap praktisi pendidikan terlalu
rendah, kurang adanya pemberdayaan sumber daya praktisi dan teoretisi
pendidikan, tuntutan kurikulum yang berlebihan, kurangnya penguasaan para
praktisi pendidikan terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya, kurang
adanya sosialisasi evaluasi kurikulum yang berlaku selama ini, dan lemahnya
sistem pengawasan. Kendala-kendala tersebut cenderung bermuara pada proses
pendidikan dengan model esensialis dan behavioristik yang terimplementasikan
dalam bentuk pengajaran linier yang fasif, model ceramah dan instruksi,
mekanistik, drill, pembelajaran lebih berorientasi pada EBTANAS, dan interaksi
yang kurang harmonis antara sekolah dan realitas sosial. Kendala yang terakhir ini
mengindikasikan sistem pendidikan yang kurang baik, karena menurut Abdul
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
91
Malik Fadjar (Kompas 15/9, 2001) bahwa sistem pendidikan yang baik harus
mampu membangun sistem komunikasi antar semua unsur pendidikan.
Patut diduga bahwa, hasil-hasil pendidikan dengan model tersebut kurang
mendukung pembangunan SDM dan IPTEK, kurang mendukung pembangunan
SDM yang bermoral dan berketerampilan, tidak dapat mempertahankan hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai yang akhirnya bermuara pada krisis ekonomi,
tidak mampu bersaing dalam pasar kerja global, sulit dalam pencapaian
demokratisasi pendidikan, kurang mengantisipasi lulusan sekolah menengah yang
tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi untuk siap kerja.
Untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut, pemerintah melalui
GBHN 1999 mengisyaratkan perlunya pembaharuan sistem pendidikan termasuk
perubahan kurikulum. Untuk menjawab himbauan GBHN 1999 tersebut, maka
diduga perubahan kurikulum yang cocok adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dengan gagasan pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH).
Perubahan kurikulum sangat penting dalam upaya memajukan pendidikan.
Pentingnya perubahan tersebut sesuai dengan pernyataan Abdul Malik Fadjar
bahwa dalam pendidikan, terdapat empat hal yang harus tampak (1) pertumbuhan,
(2) perubahan, (3) pembaharuan, dan (4) kontinuitas (Kompas 15/9, 2001).
Namun, perubahan tersebut hendaknya diikuti oleh pola pikir para praktisi dan
teoretisi pendidikan terhadap konsep belajar. Costa (1999) menyatakan bahwa
changing curriculum means changing your mind. Sedangkan gagasan pendidikan
berorientasi kecakapan hidup didorong oleh alasan bahwa hanya 30% siswa
lulusan SD, SLTP, dan SLTA yang akhirnya terus melanjutkan ke Perguruan
Tinggi (Kompas 17/9, 2001).
Perubahan kurikulum berarti pula perubahan menuju arah baru
pembelajaran dan penilaian proses dan hasil belajar. Pembelajaran dan penilaian
dalam KBK dan PKH hendaknya berorientasi pada pengembangan kompetensi
dan kecakapan hidup seseorang. Oleh sebab itu, artikel ini memusatkan perhatian
pada pembahasan tentang konsep-konsep kompetensi, kecakapan hidup,
pembelajaran, penilaian, dan peluang implementasinya dalam sistem pendidikan
Indonesia. Bahasan tersebut diharapkan pula dapat memprediksi kemungkinan
hambatan-hambatan yang ada.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
92
2. Pengertian Kompetensi
Kompetensi sering disebut sebagai standar kompetensi, adalah
kemampuan yang secara umum harus dikuasai oleh para lulusan. Dalam
pembelajaran, definisi tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa penilaian
hasil belajar haruslah memenuhi kompetensi dan standar tertentu. Kompetensi dan
standar adalah dua konsep yang saling berkaitan satu sama lain. Keterkaitan antara
kompetensi dan standar dapat dianalisis melalui definisi yang dikemukakan oleh
Burke (1995), yaitu A competency is being to perform whole work roles to the
standards expected in employment in real working environment, while standards
are the means by which the model of competence is specified in the current
occupational context. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat tiga kriteria
kompetensi, (1) dapat melaksanakan keseluruhan tugas-tugas dari suatu pekerjaan,
(2) sesuai dengan standar yang diharapkan dalam pekerjaan, (3) dalam lingkungan
pekerjaan yang sebenarnya. Sedangkan standar adalah suatu alat dengan mana
suatu model kompetensi ditentukan dalam konteks pekerjaan yang sedang
berjalan.
Spencer dan Spencer (1993) mengklasifikasi kompetensi menjadi tiga
bagian, (1) karakteristik dasar, (2) hubungan sebab akibat, dan (3) acuan kriteria.
Karakteristik dasar adalah kompetensi sebagai bagian dari kepribadian
individu dan dapat memprediksi prilaku dalam berbagai situasi dan tugas.
Pernyataan ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Marshall (dalam
Santyasa, 2003(a)), A competency is an underlying characteristic of a person
which enables them to deliver superior performance in a given job, role, or
situation. Karakteristik dasar kompetensi dapat digolongkan atas lima tipe. (1)
motif, yaitu dorongan individu secara konsisten dalam melakukan tindakan. Siswa
yang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan
belajar yang menantang dan bertanggungjawab untuk mencapai tujuan serta
mengharapkan umpan balik untuk upaya perbaikan. (2) Sifat/watak, yaitu
karakteristik fisik dan respon yang konsisten terhadap situasi atau informasi
tertentu. Sikap percaya diri, sanggup melakukan kontrol diri, dan memiliki
ketahanan terhadap stress merupakan contoh-contoh tipe kompetensi ini. (3)
Kosep diri, yaitu nilai-nilai sikap atau citra diri yang dimiliki oleh individu. Siwa
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
93
yang memiliki kemampuan untuk percaya diri relatif lebih berhasil dalam belajar.
(4) Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki oleh individu. Pengetahuan
termasuk kompetensi yang kompleks. (5) Keterampilan, yaitu kemampuan untuk
melaksanakan tugas secara fisik atau mental.
Dari lima tipe karakteristik dasar kompetensi tersebut, kompetensi
pengetahuan dan keterampilan dapat tampak lebih nyata, sedangkan konsep diri,
sifat, dan motif bersifat lebih tersembunyi dan berada pada pusat keperibadian
individu. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan relatif lebih mudah
dikembangkan dalam pembelajaran, sedangkan konsep diri, sifat, dan motif relatif
lebih sulit dikembangkan sekaligus dinilai, sehingga memerlukan waktu relatif
lebih lama dalam proses pengembangannya.
Hubungan sebab akibat adalah kompetensi yang menyebabkan dan
memprediksi prilaku dan kinerja. Secara prosedural, kompetensi ini dimulai
dengan tujuan—tindakan—hasil. Tujuan tercermin dari karakteristik pribadi,
tindakan terefleksi lewat prilaku, dan hasil ditunjukkan melalui kinerja.
Karakteristik pribadi terdiri dari motif, sifat/watak, konsep diri, dan pengetahuan.
Kompetensi yang terdiri dari motif, sifat/watak, dan konsep diri dapat
memprediksi tindakan prilaku yang pada akhirnya dapat memprediksi hasil
kinerja. Kompetensi selalu mengandung maksud dan tujuan yang merupakan
dorongan motif yang menyebabkan timbulnya tindakan untuk mencapai suatu
hasil. Jadi prilaku tanpa tujuan tidak dapat didefinisikan sebagai kompetensi.
Acuan kriteria adalah kompetensi paling kritis yang dapat membedakan
kompetensi dengan kinerja tinggi atau rata-rata. Kriteria yang digunakan dalam
kompetensi adalah (1) kinerja superior, yaitu suatu kinerja yang secara statistik
berada di atas kinerja rata-rata, (2) kinerja efektif, yaitu kinerja yang secara
statistik berada pada tingkatan minimal yang dapat diterima.
Berdasarkan pengeratian dan model kompetensi tersebut, kompetensi dapat
dibedakan menjadi dua kategori, (1) kompetensi dasar, yaitu karakteristik esensial
seperti pengetahuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki lulusan agar dapat
melaksanakan pekerjaan, (2) kompetensi pembeda, yaitu faktor-faktor yang
membedakan individu dengan kinerja tinggi dan rendah. Misalnya, kompetensi
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
94
siswa yang memiliki motivasi berprestasi tinggi dapat menetapkan target yang
melampaui kinerja rata-rata yang ditetapkan.
Amstrong (1999) mendefinisikan kompeten (competence) dan kompetensi
(competency) secara berbeda. Kompeten menyatakan apa yang dibutuhkan oleh
individu untuk melakukan pekerjaan dengan baik, sedangkan kompetensi
menyatakan bagaimana melakukan pekerjaan. Kompeten menekankan pada hasil
dan fokus pada output, sedangkan kompetensi menekankan pada upaya dan fokus
pada input dan process. Kompetensi mengacu pada dimensi prilaku yang
mendukung kinerja. Amstrong membagi kompetensi menjadi tiga jenjang (1)
Kompetensi inti, yaitu kompetensi yang diterapkan dalam pembelajaran secara
keseluruhan. Kompetensi ini memiliki empat perspektif, (a) perspektif eksternal,
bagaimana siswa memandang guru, (b) perspektif internal, apa yang harus
diunggulkan, (c) perspektif belajar dan inovasi, berorientasi pada pembaharuan,
dan (d) perspektif pengguna, bagaimana guru memandang siswa. (2) kompetensi
generik, yaitu kompetensi yang memiliki nilai keberlanjutan, dan (3) kompetensi
spesifik, yaitu kompetensi yang unik untuk fungsi dan aktivitas tertentu.
Konsep dan prinsip kompetensi tersebut selain memiliki implikasi pada
siswa, juga berimplikasi pada sumber daya praktisi pendidikan. Para praktisi
pendidikan diharapkan memiliki komitmen, motivasi, dan sikap yang positif
dalam pelaksanaan pembelajaran dan penilaian. Kompetensi menuntut seseorang
untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai serta karakteristik
pribadi yang mendukung pekerjaan dengan kriteria unggul. Kriteria unggul
tersebut sangat penting untuk dicapai oleh seseorang untuk menjadi manusia
unggul. Manusia unggul adalah manusia yang memiliki kompetensi standar dan
kecakapan hidup yang dibutuhkan untuk bisa bersaing dalam percaturan global.
Kompetensi tersebut antara lain: berpikir kreatif-produktif, pengambilan
keputusan, pemecahan masalah,
pengelolaan/pengendalian diri.
belajar
bagaimana
belajar,
kolaborasi,
3. Kompetensi dan Kecakapan Hidup
Suatu kompetensi adalah suatu pernyataan tentang apa yang sepantasnya
dipelajari dan dilakukan siswa secara terus menerus. Dari konsep ini tampak
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
95
adanya pergeseran makna tentang pembelajaran dari semula penekanan pada isi
kurikulum menuju pada bagaimana harus belajar dan bagaimana melakukannya.
Dua indikator kompetensi tersebut memberikan panduan kepada seseorang untuk
menjadi masyarakat belajar dan siap belajar sepanjang hayat. Proses belajar
sepanjang hayat memerlukan dukungan pendidikan sepanjang hayat, yang dalam
skala mikro paling tidak berwujud kurikulum yang mendukung terwujudnya
belajar sepanjang hayat. Implementasi kurikulum yang dimaksud hendaknya
memperhatikan dua dimensi, vertikal dan horizontal.
Dimensi vertikal kurikulum sekolah menyediakan kondisi yang link and
match antar jenjang persekolahan dan kebutuhan untuk hidup di masa yang akan
datang. Untuk tujuan inilah pendidikan hendaknya berorientasi pada kecakapan
hidup yang memfasilitasi seseorang untuk menjadi manusia unggul. Reigeluth
(1999) menyebut dimensi-dimensi kecakapan hidup terdiri dari: integritas,
inisiatif, fleksibilitas, ketekunan, berorganisasi, humor, upaya, berpikir sehat,
pemecahan masalah, tanggung jawab, kesabaran, persahabatan, sikap ingin tahu,
kerja sama, kepedulian dan ketelitian, keberanian dan keteguhan hati, kebanggaan.
Sedangkan dimensi horizontal kurikulum sekolah mengaitkan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan di luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum
yang memperhatikan dua dimensi tersebut akan mengakrabkan peserta didik
dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya.
Kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani
menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan,
kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga
akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2002). Secara garis besar, kecakapan
hidup memiliki dua dimensi, kecakapan hidup generik dan kecakapan hidup
spesifik. Kecakapan hidup generik memiliki tiga subdimensi, kecakapan personal
(integritas, inisiatif, ketekunan, upaya, humor, kesabaran, kebanggaan, kerja
sama), kecakapan sosial (fleksibiltas, berorganisasi, kerja sama, kesabaran,
persahabatan), dan kecakapan berpikir (ketekunan, upaya, berpikir sehat,
pemecahan masalah, kerja sama). Sedangkan kecakapan spesifik memiliki dua
subdimensi, kecakapan intelektual (rasa ingin tahu, upaya, ketekunan, pemecahan
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
96
masalah, kerja sama) dan kecakapan vokasional (tanggung jawab, kepedulian dan
ketelitian, keberanian dan keteguhan hati, kerja sama).
Prinsip pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup di SD dan SLTP
diutamakan kecakapan hidup generik, di SMK diutamakan kecakapan hidup
vokasional, dan di SMU diutamakan kecakapan hidup intelektual. Yang perlu
diperhatikan, adalah bahwa kecakapan hidup generik merupakan fondasi dari
kecakapan hidup lainnnya. Oleh sebab itu, sesungguhnya semua kecakapan hidup
bisa dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan asal diterapkan secara
proporsional.
Di tingkat TK, pendidikan dan pembelajaran sebaiknya secara penuh
diarahkan pada kecakapan hidup dan interaksi sosial dan tidak mengaitkan dengan
mata pelajaran. Hal ini karena anak-anak TK masih berada dalam tahap berpikir
pra operasional yang belum mampu mengaitkan hubungan antar fakta yang
abstrak. Sebaliknya, untuk jenjang S3, mahasiswa diyakini telah matang dan
memiliki kecakapan hidup yang kuat, sehingga dalam studi fokus diarahkan pada
pengembangan kompetensi pada bidang keahlian yang ditekuninya.
Untuk jenjang pendidikan SLTA, proporsi antara kecakapan hidup dan
substasi mata pelajaran adalah sebanding. Pada jenjang pendidikan SD dan SLTP,
pendidikan kecakapan hidup masih lebih mendominasi, sebaliknya pada jenjang
pendidikan S1 dan S2, pendidikan bidang studi memiliki proporsi lebih banyak
dibandingkan pendidikan kecakapan hidup.
Pendidikan sebagai suatu sistem, pada dasarnya merupakan sistematisasi
dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu, secara filosofis pendidikan
diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang diharapkan mampu
mengembangkan potensi dan kompetensi yang dimiliki peserta didik, sehingga
siap digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan secara keilmuan. Untuk
maksud tersebut, integrated learning dan contextual teaching and learning
merupakan model pembelajaran yang mengarah pada kecakapan hidup. Di
samping itu, realistic education juga merupakan upaya mengatur agar pendidikan
sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik. Dalam implementasi KBK dan PKH
diupayakan merefleksikan potensi lingkungan, kegiatan pendidikan mengacu pada
paradigma learning for life dan school to work, dan yang terpenting adalah
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
97
pembelajaran dan penilaian menggunakan prinsip learning to know, learning to
do, learning to be, dan learning to live together.
4. Dimensi Belajar, Strategi Pembelajaran, dan Penilaian
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam
mengelola proses pembelajaran, lebih-lebih pembelajaran di kelas yang berbasis
kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai sistem
pembelajaran di mana hasil belajar berupa komptensi-kompetensi yang harus
dikuasai siswa yang bermanfaat untuk hidup mereka yang meliputi aspek-aspek:
kognitif, afektif, dan psikomotor (Depdiknas, 2002). Dalam pembelajaran berbasis
komptensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai
siswa. Oleh sebab itu, komponen pokok pembelajaran berbasis kompetensi
meliputi: (1) kompetensi yang akan dicapai, (2) strategi pencapaian untuk
mencapai kompetensi, dan (3) sistem evaluasi atau pengujian yang digunakan
untuk menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai kompetensi dan kecakapan
hidup.
Dimensi Belajar. Berbicara tentang pembelajaran berbasis kompetensi dan
kecakapan hidup, tidak terlepas dari dimensi belajar. Dimensi belajar merupakan
suatu paradigma yang dapat dipakai oleh para pengajar, perancang kurikulum, dan
perancang pembelajaran sebagai landasasan ilmiah dalam melakukan reformasi
pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Menurut
Marzano et al (1993), dimensi belajar terdiri dari lima tingkatan, (1) sikap dan
persepsi yang positif terhadap belajar, (2) perolehan dan pengintegrasian
pengetahuan baru, (3) perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, (4) penggunaan
pengetahuan secara bermakna, dan (5) pembiasakan berpikir efektif dan produktif.
Strategi untuk mengembangkan sikap dan persepsi yang positif terhadap
belajar adalah dengan memberikan motivasi melalui model Keller (dalam Dick &
Carey, 1990), yaitu: Attention—Relevance—Confidence—Satisfaction (ARCS).
Attention dapat dibangkitkan dengan informasi atau pertanyaan-pertanyaan yang
menantang, Relevance dapat dibangkitkan dengan menyajikan standar kompetensi
dan standar kinerja yang relevan dengan kebutuhan hidup siswa, Confidence dapat
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
98
dibangkitkan melalui informasi bahwa semua siswa akan mencapai harapan
berhasil, Satisfaction dapat dimunculkan melalui konsep merayakan keberhasilan.
Strategi untuk mengembangkan perolehan dan pengeintegrasian
pengetahuan baru terhadap pengetahuan awal siswa adalah dengan strategi konflik
kognitif melalui demonstrasi, analogi, contoh-contoh tandingan, dan konfrontasi
(Santyasa, 2002). Strategi-strategi tersebut berfungsi sebagai pengaktif
pengetahuan awal siswa. Pengetahuan awal menduduki posisi sangat strategis dan
sebagai springboard untuk mencapai pemahaman mendalam terhadap
pengetahuan yang baru dan meningkatkan hasil belajar.
Strategi untuk memperluas dan menyempurnakan pengetahuan yang telah
diperoleh adalah dengan penugasan yang memberi peluang pelibatan aktivitas
mental seperti membandingkan, mengklasifikasi, membuat induksi, membuat
deduksi, menganalisis kesalahan, mengidentifikasi hal-hal yang dapat mendukung
pemecahan masalah, menganalisis perspektif, dan mengabstraksi.
Strategi untuk mengembangkan dimensi penggunaan pengatahuan secara
bermakna adalah dengan menyajikan tugas-tugas atau masalah-masalah yang
berkaitan dengan dunia nyata. Tugas-tugas atau masalah-masalah tersebut akan
memberikan peluang kepada siswa untuk beraktivitas pengambilan keputusan,
penyelidikan, eksperimen, pemecahan masalah, dan penemuan.
Strategi untuk mengembangkan pembiasaan berpikir efektif dan produktif
adalah dengan penugasan yang menantang siswa untuk beraktivitas selalu mencari
kejelasan, open minded, kritis terhadap pikiran sendiri, mengevaluasi tindakan
sendiri, meningkatkan batas kompetensi.
Dari lima dimensi belajar tersebut, dimensi pertama dan kelima adalah dua
dimensi yang terkait dan bersama-sama mempengaruhi proses belajar yang
tertuang dalam dimensi 2, 3, dan 4. Kelima dimensi belajar tersebut saling
berinteraksi dalam menentukan keefektifan belajar.
Strategi Pembelajaran. Pembelajaran yang dapat mengakomodasi
pengembangan kompetensi dan kecakapan hidup adalah pembelajaran yang
berorientasi pada dimensi belajar. Pembelajaran yang berorientasi pada dimensi
belajar siswa dilandasi oleh paham konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik
yang bersifat kontekstual memberi peluang kepada siswa untuk selalu berpikir
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
99
tingkat tinggi. Hal ini dsebabkan karena siswa harus dihadapkan pada masalahmasalah dunia nyata yang bersifat tidak jelas dan tidak berstruktur.
Paham konstruktivistik menyatakan bahwa setiap individu menciptakan
makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki
(pengetahuan awal) dengan fenomena, ide, atau infomasi baru. Pengetahuan awal
yang dibawa siswa di dalam event belajar senantiasa mengalami pembaharuan,
modifikasi, penambahan, penghalusan, revisi, bahkan perubahan sebagai akibat
informasi baru. Pengkonstruksan pengetahuan merupakan hasil dari pemikiran dan
interaksi siswa dalam suatu koteks sosial. Proses belajar tidak dapat dilepaskan
dari tindakan (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Pengetahuan tidak terpisahkan dari aktivitas di mana
pengetahuan itu dikonstruksi dan dari komunitas belajar di mana pengetahuan
didiseminasikan dan diterapkan. Jadi belajar dan pembelajaran merupakan proses
penciptaan makna sebagai akibat aktivitas dan interaksi sosial.
Dalam interaksi sosial, terjadi proses pembimbingan dan negosiasi antara
siswa dengan siswa lain dan antara siswa dengan guru dalam zone perkembangan
terdekat siswa. Sebagai hasil dari interaksi sosial tersebut adalah siswa menjadi
lebih mandiri dan terjadi transformasi pengetahuan—pengetahuan yang dipersepsi
adalah sebagai sesuatu yang dinamis, diciptakan, dikaji, dianalisis, dan
diinternalisasi oleh siswa.
Kerangka pemikiran konstruktivistik sangat menantang guru dan
perancang pembelajaran untuk mampu menciptakan, mengkreasikan lingkungan
belajar yang memungkinkan guru dan siswa berpartisipasi aktif dalam proses
berpikir, mencari, menemukan, dan menciptakan makna berdasarkan pengalaman
dan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dalam suatu komunitas belajar. Melalui
partisipasi aktif tersebut, guru dan siswa dapat memiliki rasa saling menghormati
dan saling menghargai, bahwa setiap individu dapat belajar, menciptakan makna,
dan berkreasi. Melalui pembelajaran konstruktivistik akan tercipta pula
pembelajaran pekerti dan empati. Di sinilah sumber moral seseorang yang
akhirnya akan melahirkan ketercapaian tujuan pendidikan memanusiakan manusia
(plural humanis), bukan sekedar mencetak robot-robot bermoral sosiopat dan mati
empati.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
100
Secara operasional, pembelajaran konstruktivistik dapat dilakukan melalui
berbagai model dan pendekatan pembelajaran, antara lain: model pembelajaran
perubahan konseptual (Santyasa, 2002), pembelajaran berbasis model rekonstruksi
pengetahuan kognitif (Santyasa, 2003(b)), model pembelajaran kooperatif
(Santyasa, 2003(b)), Pembelajaran dengan pendekatan kontektual (Johnson,
2002), Pembelajaran Berbasis Masalah (Arend, et al., 2001), Pembelajaran dengan
pendekatan Belajar Berbasis Masalah (Fogarty, 1997), Pembelajaran dengan
Pendekatan Belajar Berbasis Projek (Fogarty, 1997). Apabila dikemas dengan baik
dan benar, maka semua model pembelajaran tersebut akan memfasilitasi para
siswa untuk mengembangkan kompetensi dan kecakapan hidup.
Apapun model dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran
berbasis kompetensi dan kecakapan hidup, secara esensial masing-masing dalam
operasionalisasinya sangat bertumpu pada sejumlah proposisi.
Proposisi, bahwa
belajar adalah pengkonstruksian hubungan dan
fenomena alam (Brooks & Brooks, 1993). Bertolak dari proposisi tersebut, maka
stratedi pembelajaran hendaknya mulai dengan membangkitkan siswa agar
menanyakan pertanyaannya sendiri dan mencari jawabannya sendiri, dan
menantang mereka untuk memahami kompleksitas dunia. Mengajar hendaknya
lebih mengutamakan pendekatan “apa yang dikatakan siswa kepada guru tentang
apa yang mereka kerjakan daripada guru mengatakan kepada mereka bagaimana
mengerjakannya”. Pendekatan ini menghargai pandangan siswa dan berusaha
mendorong siswa ke dalam cara yang telah direncanakan untuk mereka sendiri.
Proposisi, bahwa pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi sangat
menetukan efesiensi dan efektivitas proses dan hasil belajar (Duit, 1996).
Implikasi untuk strategi pembelajaran adalah menggali pengetahuan awal,
prakonsepsi, dan miskonsepsi para siswa sebelum proses pembelajaran;
mendorong pemahaman pada siswa bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh siapa
saja dan kapan saja; pembelajaran dilakukan dengan mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa; menyediakan
konflik kognitif untuk membantu siswa mengubah miskonsepsinya menuju
konsepsi ilmiah; menyediakan fakta-fakta bahwa pengetahuan ilmiah lebih ampuh
ketimbang pengetahuan awal, prakonsepsi, dan miskonsepsi siswa.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
101
Proposisi, bahwa belajar adalah proses pemaknaan informasi baru,
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk
strategi pembelajaran adalah mendorong diskusi tentang pengetahuan baru,
mendorong munculnya berpikir divergen, mendorong munculnya berbagai jenis
aktivitas dan peluang debat antar siswa, lebih menekankan pada keterampilan
berpikir kritis.
Proposisi, bahwa kebebasan menjadi unsur yang esensial dalam lingkungan
belajar (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran
adalah menyediakan pilihan tugas yang beragam, menyediakan balikan bahwa
siswa telah menguasai apa yang dipelajari, menyediakan waktu yang cukup bagi
siswa dalam mengerjakan tugas, pemberian tes dengan waktu yang relatif
fleksibel, menyediakan peluang bagi siswa untuk melakukan perbaikan,
melibatkan pengalaman-pengalaman konkrit.
Proposisi, bahwa strategi belajar seseorang akan menentukan kualitas
proses dan hasil belajarnya (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk
strategi pembelajaran adalah memberi kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai
dengan strateginya masing-masing, menyediakan peluang bagi siswa untuk
melakukan evaluasi diri tentang proses dan hasil belajarnya.
Proposisi, bahwa motivasi dan upaya mempengaruhi belajar dan unjuk
kerja (Degeng, 2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran
adalah memberikan motivasi kepada siswa dengan menyediakan tugas-tugas riil
dalam kehidupan sehari-hari dan mengaitkan tugas tersebut dengan pengalaman
pribadinya, mendorong siswa untuk memahami kaitan antara upaya yang
dilakukan dengan hasil yang diperolehnya.
Proposisi, bahwa belajar pada dasarnya memiliki aspek sosial (Degeng,
2000; Herman et al, 1992). Implikasi untuk strategi pembelajaran dan evaluasi
adalah menyediakan kesempatan kepada siswa untuk kerja kelompok, menerapkan
teknik-teknik belajar kooperatif, menyediakan peluang bagi siswa untuk
melakukan peran tersendiri dan bervariasi, evaluasi menyertakan upaya-upaya
kelompok dan individual.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
102
Asesmen
(penilaian)
Kinerja.
Belajar
menurut
pandangan
konstruktivistik memerlukan asesmen yang dapat mengases secara komprehensif
bagaimana para siswa mengorganisasi, menstrukturisasi, dan menggunakan
informasi yang dipelajari dalam konteks memecahkan masalah kompleks tentang
belajar mereka di kelas atau di dunia nyata. Asesmen yang dimaksud harus terpadu
dengan proses belajar dan pembelajaran. Asesmen hendaknya menguji proses dan
juga hasil belajar. Asesmen tidak menyediakan hanya “satu jawaban benar”, tetapi
menantang siswa untuk mengeksplorasi jawaban secara terbuka, memecahkan
masalah kompleks, dan melukiskan kesimpulan sendiri. Untuk maksud tersebud,
Herman et al (1992) menyebutkan enam karakteristik asesmen, yaitu: (1)
menanyakan siswa untuk menampilkan, menciptakan, menghasilkan, atau
mengerjakan sesuatu, (2) merangsang berpikir tingkat tinggi dan keterampilanketerampilan pemecahan masalah, (3) menggunakan tugas-tugas yang mewakili
aktivitas-aktivitas pembelajaran bermakna, (4) meminta penerapan-penerapan
dunia nyata, (5) membuat penskoran dengan penggunaan pertimbangan secara
manusiawi, (6) memerlukan pembelajaran dan peran asesmen baru untuk para
guru.
Apabila para siswa mengkonstruksi informasi dalam belajar mereka dan
menerapkan informasi tersebut dalam setting kelas, maka asesmen hendaknya
menyediakan peluang kepada para siswa untuk mengkonstruksi respon-respon dan
menerapkan belajar mereka dalam memecahkan masalah dan berpikir secara
kompleks yang mencerminkan aktivitas-aktivitas kelas dalam cara-cara yang
otentik (Santyasa, 2003(c)). Dengan kata lain, asesmen otentik sangat diperlukan
dalam pembelajaran yang menerapkan kaedah-kaedah konstruktivisme. Asesmen
otentik sangat relevan dan bermakna untuk para siswa, kontektual, penekanan pada
keterampilan-keterampilan kompleks, menyediakan tidak hanya satu jawaban
benar, memiliki standar umum, dan fleksibel.
Asesmen kinerja merupakan salah satu contoh asesmen otentik. Asesmen
kinerja sangat tepat digunakan dalam pembelajaran agar para siswa dapat
“menunjukkan kemampuannya secara langsung, yaitu dengan menciptakan
beberapa produk atau terlibat dalam beberapa aktivitas”. Asesmen kinerja berfokus
pada kemamuan siswa untuk menerapkan pengetauan dalam kehidupan dunia
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
103
nyata, sehingga menuntut kemampuan untuk membuat keputusan. Terdapat lima
atribut kunci untuk asesmen kinerja, yaitu: (1) asesmen kinerja berfokus pada
kegiatan belajar yang kompleks, (2) melibatkan keterampilan-keterampilan
pemecahan masalah dan tatanan berpikir lebih tinggi, (3) memotivasi sejumlah
respon aktif, (4) melibatkan tugas-tugas menantang yang memerlukan banyak
langkah, dan (5) memerlukan pertimbangan waktu dan upaya yang harus dimiliki
siswa.
Asesmen (penilaian) Portofolio. Pembelajaran holistik menuntut
aktivitas-aktivitas kelas berpusat pada siswa, bermakna, dan otentik. Pembelajaran
holistik menggunakan pengetahuan awal, pengalaman, dan minat siswa dalam
pembelajaran dan mendukung pengkonstruksian pengetahuan secara aktif.
Pembelajaran holistik juga menyediakan makna dan tujuan belajar dan melibatkan
para siswa dalam interaksi sosial untuk mengembangkan pengetahuan (Santyasa,
2003(a).
Pembelajaran holistik menghendaki pergeseran peran siswa dari pengamat
informasi secara fasif menjadi pebelajar aktif, sebagai pebelajar dan evaluator
yang mandiri, sebagai pemikir kritis dan kreatif dalam menganalisis dan
mengaplikasikan fakta-fakta, konsep-konsep, dan prinsip-prinsip yang dipelajari.
Kemandirian, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, dapat ditunjukkan oleh siswa
melalui portofolio. Asesmen portofolio yang merupakan asesmen otentik adalah
asesmen yang menitik beratkan pada upaya mengases aktivitas berpusat pada
siswa, yang berarti bahwa siswa memiliki input tidak hanya ditujukan pada
portofolio, tetapi juga pada bagaimana isi tersebut dievaluasi. Di samping itu,
siswa juga memiliki peranan mengases kemajuan yang dialami sendiri. Dalam
asesmen portofolio, guru dan siswa menjadi partner dalam perundingan isi
portofolio dan interpretasinya hingga mencapai konsensus.
Satu aspek yang paling bermanfaat mengenai asesmen portofolio adalah
bahwa dia mengaitkan asesmen dengan pembelajaran (Santyasa, 2003(c)). Kinerja
siswa dievaluasi dalam hubungannya dengan sasaran pembelajaran, tujuan
pembelajaran, dan aktivitas-aktivitas kelas. Isi portofolio hendaknya mewakili
apakah siswa bekerja dalam kelas dan merefleksikan kemajuannya terhadap
sasaran pembelajaran. Dalam hal ini, portofolio dapat dikatakan memiliki validitas
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
104
isi, yaitu isi merefleksikan aktivitas-aktivitas otentik mengenai apa yang dipelajari
siswa di kelas. Portofolio dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan
berkontribusi terhadap perkembangan kognitif para siswa.
Asesmen portofolio menyediakan suatu perspektif multidimensi mengenai
pertumbuhan para siswa selama waktu tertentu dan memberikan mereka kapasitas
untuk memdemonstrasikan perbaikan dalam kinerja. Penggunaan portofolio dapat
mendorong para siswa merefleksikan pekerjaan mereka sendiri, menganalisis
kemajuan mereka, dan menata perbaikan. Portofolio dapat berupa contoh
pekerjaan siswa, misalnya, benda-benda hasil karya lab, laporan praktikum lab,
solusi masalah-masalah pelajaran, hasil karya elektronik, hasil karya sound
system, dan lain-lain. Isi portofolio bergantung kepada pilihan siswa atau guru,
tujuan portofolio, sasaran pembelajaran, yang semuanya dirancang sebagai bahan
refleksi.
Portofolio sangat strategis dan dengan akurat dapat mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran secara efektif. Portofolio sangat tepat untuk mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran yang otentik. Dengan portofolio, para siswa dapat memahami dan
dapat menerapkan konsep-konsep yang dipelajari, membuat hubungan antar
konsep tersebut dengan pengalaman mereka sendiri di luar kelas, dan
mendemonstrasikan pemahaman mereka dalam suatu format tertentu.
Kriteria Penilaian (Rubrik). Asesmen otentik tidak menggunakan kunci
jawaban yang menentukan suatu kinerja benar atau salah. Asesmen otentik
melakukan penilaian dengan menggunakan penilaian subyektif yang menyangkut
mutu kinerja atau hasil kerja yang ditunjukkan oleh siswa. Untuk menghindari
faktor subyektivitas yang terlalu besar, dan agar menjamin reliabilitas, keadilan,
dan kebenaran penilaian, maka kriteria penilaian atau rubrik sangat dipandang
perlu untuk dikembangkan dalam asesmen otentik. Rubrik digunakan sebagai
pedoman penilaian kinerja siswa. Rubrik dapat membantu guru dalam menentukan
tingkat ketercapaian kinerja yang diharapkan. Penyusunan rubrik hendaknya
dilakukan bersama-sama para siswa, atau paling tidak rubrik hendaknya
dikomunikasikan dengan para siswa. Tujuannya adalah, agar para siswa secara
jelas dapat memahami dasar penilaian yang akan digunakan untuk mengukur
kinerja mereka. Dengan rubrik, baik guru maupun siswa akan memiliki pedoman
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
105
bersama yang cukup jelas tentang tuntutan kinerja yang diharapkan. Rubrik
diharapkan pula dapat menjadi pendorong bagi siswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik terdiri dari senarai, yaitu daftar kriteria yang diwujudkan dengan
dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai, dan
gradasi mutu. Mutu yang ditata secara gradasi tersebut disusun mulai dari tingkat
yang paling sempurna sampai dengan tingkat yang paling buruk. Rubrik dikenal
pula sebagai penskoran rubrik yang terdiri dari beberapa komponen. Setiap
komponen mengandung beberapa dimensi. Setiap dimensi hendaknya
didefinisikan dan diberi contoh atau ilustrasi sehingga menjadi lebih jelas.
Dimensi-dimensi kinerja tersebut selanjutnya ditentukan mutunya atau diberi
peringkat (rating). Untuk mempermudah dalam pemberian peringkat, maka setiap
kategori mutu sebaiknya diberi contoh-contoh kinerja. Unsur-unsur penskoran
rubrik terdiri dari: (1) dimensi, yang akan dijadikan dasar menilai kinerja siswa,
(2) definisi dan contoh, yang merupakan penjelasan setiap dimensi, (3) skala yang
akan digunakan untuk menilai dimensi, dan (4) standar untuk setiap kategori
kinerja.
5. Refleksi dan Peluang Implementasi
Konsep kompetensi dan kecakapan hidup sesungguhnya merupakan dua
konsep yang terkait dan dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk menjadi
masyarakat belajar sekaligus belajar sepanjang hayat. Ini merupakan tujuan
pendidikan yang ideal. Tujuan pendidikan ideal bermuara pada upaya
memanusiakan manusia. Persoalannya, adalah apakah kemasan KBK dan PKH
sudah menyediakan wadah untuk tujuan tersebut ? Jawabnya mungkin ya,
mungkin juga tidak. Jika implementasi KBK dan PKH masih menggunakan pola
instruksi, jawaban terhadap pertanyaan tersebut cenderung tidak. Tetapi apabila
ada komitmen menuju arah baru yaitu konstruksi, jawabnya ya.
Memilih satu di antara dua—instruksi atau konstruksi—sangatlah mudah,
tetapi kita tidak bisa menutup mata, bahwa kita dihadapkan pada realitas yang
masih cukup menyulitkan. Realitas tersebut, adalah kelas klasik, sumber daya
yang belum memadai, komitmen bangsa memajukan pendidikan masih berada
pada tataran wacana, insentif terhadap praktisi dan teoretisi pendidikan masih jauh
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
106
dari memadai, kemungkinan sistem kapitalisme libral mencampuri urusan
pendidikan secara tidak proporsional yang cenderung mematikan tujuan mulia
pendidikan yang populis humanis, dan yang paling parah adalah pemanfaatan
kalangan praktisi pendidikan hanya sebagai objek. Hal ini dalam jangka panjang
menghambat KBK dan PKH untuk terimplementasikan secara optimal.
Katakanlah dalam jangka pendek KBK dan PKH dapat dilaksanakan,
walaupun instruksi dan konstruksi mesti diramu. Inipun masih akan memunculkan
berbagai persoalan yang akhirnya berdampak tidak mulusnya perjalanan
pembelajaran di sekolah. Persoalan tersebut dapat diatasi apabila sekolah dan
jajarannya memiliki komitmen dan pengakuan yang utuh terhadap praktisi dan
teoretisi pendidikan sebagai manusia yang berintensional dan bereksistensional.
Caranya adalah mensosialisasikan secara detail dan memberikan fasilitas kepada
mereka untuk meningkatkan kualifikasi sumber dayanya, misalnya melalui
pelatihan yang intensif dan komprehensif, dengan catatan praktisi dan teoretisi
pendidikan bekerja secara bersinergi menjadi objek sekaligus subjek. Inilah yang
dimaksudkan sebagai peluang implementasi. Sepanjang praktisi dan teoretisi
pendidikan diperlakukan hanya sebagai objek dalam mewacanakan KBK dan
PKH, lebih-lebih pelibatan praktisi yang justru berada di ujung tombak hanya
menyentuh pada tataran sampling yang amat sangat terbatas, rasa pisimis dari
berbagai kalangan terhadap kemungkinan keberhasilan pelaksanan KBK dan PKH
tampaknya akan menjadi kenyataan.
Upaya dan kemampuan melakukan diversifikasi terhadap KBK dan PKH
memungkinkan kurikulum tersebut akan menjadi fleksibel (Kompas, 30/4, 2002).
Hal ini merupakan peluang pula untuk terimplementasikannya KBK dan PKH
secara luas. Diversifikasi tersebut meliputi akomodasi terhadap keberagaman,
penciptaan lingkungan belajar yang menyenangkan, pengurangan substansi
kurikulum, akomodasi kebebasan daerah dan sekolah untuk menentukan metode
dan strategi pembelajaran, pemberdayaan sekolah dan masyarakat. Tampak
bahwa, sumber daya di bidang pembelajaran memiliki porsi paling banyak dalam
melakukan diversifikasi kurikulum. Hal inilah yang menjadikan peluang tersebut
sekaligus menjadi hambatan dalam implementasi KBK dan PKH.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
107
6. Penutup
Pendidikan memiliki tujuan memanusiakan manusia. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pembelajaran seyogyanya diarahkan untuk mengembangkan
potensi, kompetensi, dan kecakapan hidup seseorang, sehinga dia siap
memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan di dunia nyata.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Pendidikan Kecakapan Hidup
(PKH) memiliki peluang sekaligus hambatan dalam implementasinya di sekolah.
Peluangnya, bahwa konsep KBK dan PKH sesungguhnya telah mengakar dalam
budaya Indonesia. Di samping itu, secara kuantitatif sumber daya pendukung telah
memenuhi syarat. KBK dan PKH yang kemungkinan dapat dikemas menjadi
fleksibel juga merupakan peluang untuk mengimplementasikannya dalam sistem
pendidikan Indonesia.
Hambatannya, bahwa komitmen bangsa untuk memajukan pendidikan
masih berada pada tataran wacana, dukungan moral dan finansial pemerintah
terhadap pendidikan relatif rendah, pengakuan akademis terhadap teoretisi dan
praktisi pendidikan belum memadai. Hambatan yang paling dominan adalah
rendahnya kualitas sumber daya praktisi pendidikan dalam mengemas
pembelajaran dan penilaian proses dan hasil belajar yang sesuai dengan tuntutan
KBK dan PKH.
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, M. 1999. The art of HRD: Managing people, Volume 4. London:
Kogan Page.
Arends, R. I., Wenitzky, N. E., & Tannenboum, M. D. 2001. Exploring teaching:
An introduction to education. New York: McGraw-Hill Companies.
Brooks, J.G. & Martin G. Brooks. 1993. In search of understanding: The case for
constructivist classrooms. Virginia: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Burke, J. 1995. Competency based education and training. London: The Falmer
Press.
Costa, A. L., (Ed.). 1999. Teaching for intelligence. Arlington Heights, Illinois:
Skylight Training and Publishing, Inc.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
108
Degeng, I Nyoman Sudana. 2000. Bagaimana merancang, menyajikan, dan
menilai hasil belajar afektif. Makalah. Disajikan dalam seminar
pembelajaran afektif di Perguruan Tinggi, 8 Februari 2000, P3AI. LP3.
Universias Brawijaya Malang.
Depdiknas. 2002. Pola induk pengembangan silabus berbasis kemampuan dasar
SMU. Pedoman umum. Jakarta: Depdiknas. Ditjen Dikdasmen. Direktorak
Pendidikan Menengah Umum.
Depdiknas. 2002. Konnsep pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill)
melalui pendekatan pendidikan berbasis luas (broad-based educationBBE). Tim Broad-Based Education. Depdiknas.
Dick, W., & Carey, L. 1990. The systematic design of instruction, 3rd. Iilinois:
Harper Collins Publisher.
Duit, R. 1996. Preconception and misconception. Corte, E.D., & Weinert, F.
(eds.): International Encyclopedia of Developmental and Instructional
Psychology. New York: Pergamon
Fogarty, R. 1997. Problem-based learning and other curriculum models for the
multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illinois: Skylight
Training and Publishing, Inc.
Herman, J. L., Aschbacher, P. R., & Winters, L. 1992. A practical guide to
alternative assessment. New York: Association for Supervision and
Curriculum Development.
Johnson, E. B. 2002. Contextual teaching and learning. Thousand Oaks,
California: Corwin Press, Inc.
Kompas. 15 September 2001. Pendidikan harus bisa membekali lulusannya
menghadapi hidup. Halaman 9.
Kompas. 17 September 2001. Perlu pendidikan keahlian. Halaman 9.
Kompas. 30 April 2002. Kurikulum dan program life skills. Halaman 33.
Marzano, R., Pickering, D., & McTighe, J. 1993. Assessing student outcome:
Performance assessment using the dimensions of learning model.
Alexandria, Va.: Associatiomn for supervision in curriculum development.
Reigeluth, C. M. (Ed.). 1999. Instructional-design theories and models: A new
paradigm of instructional theory, volume II. New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Publisher.
Santyasa, I W. 2002. Miskonsepsi dan model pembelajaran perubahan konseptual.
Makalah. Disajikan dalam Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran:
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
ISSN 0215-8250
109
“Peningkatan Kualitas dan Produktivitas SDM dengan Penerapan
Teknologi Pembelajaran”, 18-19 Juli 2002, Hotel Indonesia, Jakarta.
Santyasa, I W. 2003(a). Pendidikan, pembelajaran, dan penilaian berbasis
kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar Jurusan Pendidikan Fisika
IKIP Negeri Singaraja, 27 Februari 2003, di Singaraja.
Santyasa, I W. 2003(b). Pengaruh model pembelajaran perubahan konseptual dan
belajar kooperatif terhadap remidiasi miskonsepsi dan hasil belajar fisika
siswa kelas I di SMU. Proposal disertasi. Disajikan dalam ujian kualifikasi
lisan Program Doktor Teknologi Pembelajaran Program Pascasarjana
Universitas Negeri Malang, 26 Maret 2003, di Malang.
Santyasa, I Wayan. 2003(c). Asesmen dan kriteria penilaian hasil belajar fisika
berbasis kompetensi. Makalah. Disajikan dalam seminar dan lokakarya
bidang peningkatan relevansi program DUE-LIKE Jurusan Pendidikan
Fisika IKIP Negeri Singaraja, 15-16 Agustus 2003, di Singaraja
Spencer, L.M., & Spencer, S.M. 1993. Competencce work: Models for superior
performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.
__ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVI Desember 2003
Download