Laporan Studi Pustaka ( KPM 403 ) PERUBAHAN POLA PENGUASAAN LAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI ALIA NISFI JAYANTI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Perubahan pola penguasaan lahan dan implikasinya terhadap kesejahteraan petani” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2014 Alia Nisfi Jayanti NIM. I34120006 iii ABSTRAK ALIA NISFI JAYANTI. Perubahan pola penguasaan lahan dan implikasinya terhadap kesejahteraan petani. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO Perubahan pola penguasaan lahan merupakan perubahan kepemilikan atau hak seseorang atas sebidang tanah. Penguasaan lahan ada dua jenis yaitu milik dan bukan milik seperti sewa, bagi hasil, gadai numpang dan lainnya. Perubahan pola penguasaan lahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah konversi lahan yaitu perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian. Konversi lahan tersebut membuat petani yang memiliki tanah menjadi tidak memiliki tanah atau hak penguasaan atas sebidang tanahnya berubah menjadi nonmilik. Para petani melakukan kegiatan pertanian di atas sebidang tanah dengan menyewa, bagi hasil, gadai numpang atau lainnya. Perubahan pola penguasaan tanah tersebut dianggap akan mempengaruhi aspek kehidupan petani lainnya. Sehingga berpengaruh juga terhadap kesejahteraan petani. Penelitian ini akan menunjukan bagaimana perubahan pola penguasaan lahan terjadi dan faktor apa saja yang mendorongnya serta bagaimana pengaruhnya terhadap kesejahteraan petani. Kata kunci: penguasaan tanah, konversi lahan, kesejahteraan. ABSTRACT ALIA NISFI JAYANTI. Changes in the Pattern of Land Tenure and its Implications for the Welfare of Farmers. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO Changes in the pattern of land tenure is a change of ownership or right of a person on a plot of land. There are two types of land tenure which is owned and non owned such as rent, profit sharing, liens and other. Changes in the pattern of land tenure is caused by several factors, one of which is land conversion. Land conversion is the change in use of farmland in agricultural to non-agricultural. The land conversion makes the farmers who own the land becomes no land or right of possession of a plot of land turned into non owned. The farmers does some of agricultural activities on a plot of land by rent, profit sharing, lien or other. Changes in the pattern of land tenure is considered will affect other aspects of the lives of farmers. Thus also give the implications to the welfare of farmers. This study will show how changes in land tenure patterns occur and what factors are pushing and how they give the imlications to the welfare of farmers. Key words: land tenure, land conversion, welfare. iv PERUBAHAN POLA PENGUASAAN LAHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KESEJAHTERAAN PETANI Oleh Alia Nisfi Jayanti I34120006 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Alia Nisfi Jayanti Nomor Pokok : I34120006 Judul : Perubahan Pola Penguasaan Lahan dan Implikasinya terhadap Kesejahteraan Petani dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan : _______________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Perubahan pola penguasaan lahan dan implikasinya terhadap kesejahteraan petani” ini dengan baik. Penulisan Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Bapak Adjid selaku kakek, Ibu Maesaroh dan Bapak Sobari Mad Ali selaku orangtua yang selalu memberikan saran, masukan, dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan Studi Pustaka ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka duka dan seperjuangan yaitu Azki, Wide, Cici, Citra, Jako, Egi, Syukur, Yosa yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian Laporan Studi Pustaka ini. Serta teman lainnya yang dibimbing oleh dosen yang sama yaitu Astrid dan Pinola. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen SKPM seluruh angkatan, khususnya SKPM 49, yang selalu menemani dalam proses perkuliahan selama beberapa tahun ini dan memberikan pelajaran bermakna kepada penulis. Semoga laporan studi pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, 18 Mei 2015 Alia Nisfi Jayanti I34120006 vii DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR...................................................................................................... ix PENDAHULUAN ....................................................... Error! Bookmark not defined.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 2 Metode Penelitian.......................................................................................................... 2 RINGKASAN DAN ANALISA PUSTAKA ................................................................. 3 Sistem Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani pada Wanatani Kemiri di Kecamatan Camba Kabupaten Maros (Dassir, 2009) ................................................... 3 Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah Pedesaan di Indonesia (Winarso, 2012)............................................................................................................. 4 Produktivitas Lahan dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan pada Usahatani Padi (Kasus di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah) (Mudakir, 2011) ............................................................................................................................. 6 Pengaruh Perubahan Penguasaan Lahan Pertanian terhadap Tingkat Eksistensi Subak di Desa Medewi Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana (Kusuma, 2013) ........... 8 Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang (Sintaningrum, 2008) .................................................................................................... 9 Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani (Darwis, 2008)............................................................................................................. 12 Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan Terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet (Kasus di Kelurahan Condet Balakembang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur) (Sari, 2005) ......................... 14 Pola Penguasaan Tanah oleh Petani dalam Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan (Subekti, 2010) ............................................................................... 17 Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia (Syahyuti, 2006) ......................................................................................... 19 Land Tenure in Jordan (Maddanat, 2010) ................................................................... 21 Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia (Benu et al, 2013) ........................................................ 23 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 25 Konsep Agraria ........................................................................................................... 25 Krisis Lahan Pertanian ................................................................................................ 25 Petani dan Pola Penguasaan Tanah ............................................................................. 26 viii Kesejahteraan Petani dan Pengaruh Perubahan Pola Penguasaan Tahan ................... 28 SIMPULAN ................................................................................................................... 29 Hasil Rangkuman dan Pembahasan ............................................................................ 29 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Analisis Baru .................................................... 31 Usulan Kerangka Analisis Baru .................................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 33 Riwayat Hidup .............................................................................................................. 366 ix DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka Analisis Penelitian Baru.................................................................32 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang di dunia yang juga merupakan negara agraris. Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan sebagian besar berprofesi sebagai petani. Petani-petani Indonesia tersebut banyak yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian sehingga lahan pertanian menjadi salah satu bagian dari bahasan agraria yang banyak diperbincangkan di Indonesia. Lahan dan kehidupan petani merupakan dua hal yang saling berkaitan. Banyaknya pembangunan industri yang terus menerus berkembang menyebabkan lahan pertanian di Indonesia sedikit banyaknya berkurang. Menurut hasil penelitian PATANAS 2007-2010 dalam Winarso 2012 menunjukan bahwa kepemilikan lahan di desa-desa di pulau Jawa maupun di luar Jawa telah mengalami sedikit perubahan baik perubahan yang semakin berkurang atau sebaliknya, walaupun selang pengamatan tersebut hanya tiga tahun. Penyempitan luas kepemilikan lahan terjadi di seluruh jenis lahan yaitu pekarangan, sawah, tegalan dan kebun. Sedangkan jumlah petani yang menguasai lahan bukan milik dengan cara menyewa, menyakap, gadaian dan tanah keluarga semakin bertambah. Hal tersebut menunjukan bahwa banyak petani yang kehilangan lahan milik sendiri dan beralih dengan melakukan kegiatan pertanian di atas lahan yang bukan miliknya sendiri. Fenomena tersebut di atas merupakan gambaran perubahan penguasaan lahan yang bukan lagi hal baru bagi negara kita. Perubahan penguasaan lahan tersebut sudah ada sejak awal abad ke XX. Seperti yang dikemukakan oleh Tjondronegoro, 1984 “masalah penguasaan tanah oleh pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional kita sejak awal abad XX sudah dikenal dan dihayati sebagai masalah dasar yang mengakibatkan kemelaratan di kalangan penduduk Jawa.” Hal tersebut dikarenakan sumberdaya alam Indonesia yang dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda dengan cara tanam paksa (Cultuurstelsel) dan diberlakukannya Domein Verklaring lalu pemerintah Belanda memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan pertanian asing pada saat itu. Pertambahan jumlah penduduk Indonesia terus terjadi seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan luas lahan pertanian semakin berkurang akibat maraknya pembangunan. Hal tersebut membuat lahan pertanian diincar demi memenuhi kebutuhan manusia terutama oleh para pemilik modal. Sehingga tidak sedikit petani yang kehilangan lahan milik mereka, karena lahan tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup petani. Hal tersebut merupakan bentuk perubahan penguasaan lahan berdasarkan pengamatan lapangan dari penelitian PATANAS dalam Winarso, 2012 yang menyatakan bahwa “Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh: (a) Adanya transaksi jual beli lahan, sehingga seseorang dapat bertambah atau berkurang kepemilikan lahannya disebabkan adanya hal tersebut. (b) Proses pembagian warisan atau pembagian hibah, yang menyebabkan seseorang juga dapat bertambah atau berkurang lahan yang dimiliki sebagai akibat proses tersebut. (c) perubahan status sawah menjadi non sawah atau sebaliknya sebagai akibat hilang/munculnya sarana irigasi atau sebab lain seperti adanya perubahan komoditas yang dibudidayakan dari tanaman musiman menjadi tanaman perkebunan. (d) Karena adanya penggunaan di luar kegiatan pertanian, artinya lahan yang semula sebagai lahan pertanian berubah menjadi lahan penggunaan lain, seperti bangunan rumah, infrastruktur dan kegunaan lainnya sebagai kebijakan pemerintah, maupun pribadi pemiliknya.” Akibat dari menyempitnya lahan pertanian dan jumlah penduduk yang semakin meningkat, para petani yang kehilangan lahannya tersebut mulai menguasai lahan milik 2 orang lain agar mereka dapat tetap terus mendapat penghasilan. Menurut Winarso, 2012 “Penguasaan lahan bukan milik dapat dibagi kedalam lima sejenis, yaitu : sewa, sakap (bagi hasil), gadai, numpang, lahan milik adat. Berdasarkan pemaparan tersebut, menarik bagi penulis untuk melihat juga bagaimana perubahan pola penguasaan lahan tersebut mempengaruhi kesejahteraan petani. Tujuan Penelitian Pertambahan jumlah penduduk yang terus terjadi berimplikasi pada luas lahan pertanian yang semakin menyempit. Hal tersebut terjadi akibat adanya pembangunan suatu negara untuk tata ruang hidup penduduk. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah harus dapat mengimbangi penggunaan yang efektif dan efisien demi memenuhi kebutuhan hidup mereka mulai dari pembangunan tempat tinggal, fasilitas, lahan produktif dll. Penyempitan lahan pertanian tersebut menyebabkan petani kehilangan kepemilikan lahan dan beralih dengan menguasai lahan yang bukan miliknya. Berdasarkan hal tersebut penulisan studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan pola penguasaan lahan dan implikasinya terhadap kesejahteraan petani. Metode Penulisan Pembuatan tulisan ini dilakukan dengan cara studi literatur atau studi pustaka yaitu pengumpulan data sekunder dari sumber-sumber yang terkait dengan perubahan penguasaaan lahan, faktor-faktor yang mendorong perubahan penguasaan lahan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan petani. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, hasil penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang relevan dengan topik yang diangkat. Studi literatur ini dilakukan melaui beberapa tahap. Pertama, dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan tulisan yang terkait dengan topik yang akan dibahas. Kedua, mempelajari dan meringkas sumber-sumber tersebut dan disajikan dalam bentuk ringkasan studi pustaka yang relevan dengan topik. Ketiga, adalah menganalisis ringkasan studi pustaka tersebut. Keempat, menarik kesimpulan dan membuat hubungan dari hasil ringkasan dan analisis tulisan-tulisan yang digunakan sebagai sumber tersebut sehingga memunculkan sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan masalah untuk penelitian yang akan dilakukan. RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 3 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Sistem Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani pada Wanatani Kemiri di Kecamatan Camba Kabupaten Maros : 2009 : Jurnal : Elektronik : Muh. Dassir : : Makassar dan Universitas Hasanuddin : Jurnal Perennial : 6(2): 90-98 :http://download.portalgaruda.org/article. php?captcha=plectron&article=29472&val=2161& title=&yt0=Download%2FOpen : 12 Maret 2015 Penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan pergeseran nilai dari kearifan lokal dalam sistem penguasaan lahan wanatani rakyat sejak penerapan teknologi (traktor, huller, bibit unggul) dan program pembangunan pedesaan dari pemerintah. Selain itu banyak petani yang memiliki lahan kurang dari 1 ha membuka areal hutan untuk menjadi areal pertanian baru karena bertambahnya jumlah penduduk. Permasalahan lainnya banyak hutan kemiri yang dikonversi menjadi areal pertambangan, persawahan, peternakan dan pertanian pangan yang malah menyebabkan penurunan kualitas ekologis lahan. Hal tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk sehingga perbandingan lahan dan tenaga kerja semakin menurun. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menopang kebutuhan hidup adalah peningkatan produktivitas lahan dengan peningkatan teknologi benih-pupuk, perluasan sistem irigasi dan penyesuaian pranata yang mengatur pemakaian tanah dan penggunaan tenaga kerja. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Camba Kabupaten Maros, sample yang diambil dari dua desa dengan cara purposive sampling yaitu desa Timpuseng yang mayoritas masyarakatnya memiliki lahan kurang dari 1 Ha dan mengelola wanatani dengan intensif menggunakan teknologi padat modal serta mulai banyak petani yang menggunakan sistem Agroforestry. Sedangkan desa yang kedua adalah desa Mariopulana yang mayoritas masyarakatnya memiliki lahan lebih dari 1 Ha tetapi tidak mengelola wanatani dengan intensif dengan input teknologi padat karya serta banyak petani yang mulai menggunakan sistem pertanian wanatani kemiri monokultur. Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang yang diambil 30 orang dari masing- masing desa. Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan melalui analisis deskriptif dalam menjelaskan struktur hubungan antara pemilik lahan dengan penyakap dan analisis. Sedangkan secara kuantitatif meliputi tahap analisis biaya dan pendapatan petani dengan rumus khusus. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini menunjukan bahwa penguasaan lahan yang masih berlangsung dan diakui di daerah penelitian tersebut berupa kelembagaan kepemilikan dan penyakapan lahan, kelernbagaan pengelolaan agroforestry kemiri, kelembagaan pasca panen, kelembagaan panen. Kelembagaan kepemilikan ada tiga, yaitu : 1) Pemilik Penggarap; 2) Teseng/Ruma; 3) Sanra/Katenni. Sedangkan aspek kelembagaan pada pengelolaan lahan dan tegakannya ada dua, yaitu : Makkoko/Madare dan kelembagaan panen yang terdiri dari kelembagaan Makkampiri, Mabali dan Makkalice. Sedangkan struktur hubungan antara pemilik lahan dengan buruh wanatani kemiri, yaitu sebagian besar dalam bentuk mallolo ampiri. Sedangkan sistem sanra dan teseng sudah tidak banyak 4 yang melakukannya, disebabkan luasan lahan kemiri monokultur sudah sangat sedikit dan banyak terjadi konversi kemiri monokultur menjadi wanatani kemiri dengan coklat. Kelembagaan penguasaan lahan makkalice dan mabbali pada Desa Timpuseng sudah tidak diberlakukan lagi oleh masyarakat melalui peraturan desa karena seringnya terjadi pencurian kemiri dan juga disebabkan oleh luas pemilikan lahan lahan masyarakat yang sudah sangat terbatas (rata-rata 0,5 ha). Sedangkan di Desa Mariopulana sistem tersebut masih diberlakukan karena lahan yang dimiliki masyarakat masih tergolong luas (rata-rata 1,5 Ha). Perbedaan pendapat terlihat dari kegiatan pertanian yang dilakukan. Petani dengan agroforestry kemiri dan coklat memberikan pendapatan yang lebih besar dibadingkan monokultur kemiri. Analisis : Penelitian ini berfokus pada sistem penguasaan lahan dan pendapatan petani karena masuknya teknologi dan program pembangunan dari pemerintah yang menyebabkan lahan pertanian semakin berkurang. Akibatnya sistem penguasaan lahan pada kasus ini di salah satu desa mengalami beberapa perubahan karena terbatasnya lahan pada lokasi tersebut. Sedangkan pada permasalahan pendapatan petani, hasilnya menunjukan bahwa dengan adanya sistem Agroforestry kemiri dan cokelat pendapatan petani lebih besar dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur kemiri. Namun, pada penelitian ini masih kurang spesifik menunjukan bagaimana tingkat pendapatan antara pemilik-penggarap, pemilik-penyakap dan pemilik-penyewa. 2. Judul : Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah Pedesaan di Indonesia Tahun : 2012 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Bambang Winarso Nama Editor : Kota dan Nama Penerbit : Bogor dan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian Nama Jurnal : Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Volume (edisi): hal : Vol. 12 (3): 137-149 Alamat URL : jptonline.or.id/index.php/ojsjpt/article /download/37/29 Tanggal Unduh : 19 Maret 2015 Tulisan tersebut membahas tentang Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah Pedesaan di Indonesia dengan menggunakan sebagian data dari penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) Tahun 2007 dan Tahun 2010 yang dilakukan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Penelitiannya dilakukan di 14 (empat belas) desa contoh khususnya desa padi sawah yang tersebar di lima propinsi baik di Jawa maupun luar Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara), masing-masing desa diambil 40 (empat puluh) responden, baik petani maupun non petani. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa bentuk-bentuk penguasaan lahan di desa-desa yang dijadikan contoh di Jawa mengalami penyempitan atau pergeseran kepemilikan pada semua jenis lahan seperti lahan sawah, tegalan, kebun maupun pekarangan. Sedangkan hasil penelitian di desa-desa contoh di luar Jawa menunjukan peningkatan kepemilikan pada sawah dan tegalan sedangkan untuk lahan pekarangan dan kebun mengalami pengurangan. Penyebabnya antara lain karena 5 adanya transaksi jual-beli lahan, proses pembagian warisan atau pembagian hibah, perubahan status sawah menjadi non sawah atau sebaliknya serta karena adanya penggunaan lahan untuk kegiatan non pertanian. Penguasaan lahan bukan milik dengan cara sewa-menyewa mengalami peningkatan baik di desa-desa contoh di Jawa maupun luar Jawa. Penyebabnya antara lain karena semakin terbatasnya ketersediaan tenaga bidang pertanian, rendahnya daya saing sektor pertanian dengan sektor di luar pertanian, keterbatasan lahan yang dimiliki oleh sebagian besar petani sehingga petani yang berlahan sempit menyewa, menggarap, menggadai ataupun menumpang di lahan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Munculnya pola penguasaan lahan non milik disebabkan oleh faktor ekonomi. Penguasaan lahan non milik juga memiliki kelemahan dalam hal hukum karena pola penguasaan lahan tersebut bersifat sementara dan tidak resmi. Sementara itu penguasaan lahan dengan sistem bagi hasil di Jawa masih lebih rendah daripada penguasaan lahan dengan bagi hasil di luar pulau Jawa. Hal tersebut menunjukan bahwa petani semakin banyak yang membutuhkan hak garap untuk meningkatkan pendapatan keluarga mereka. Namun, dalam sistem bagi hasil petani dihadapkan pada ketidakpastian karena bisa saja pemilik lahan memutuskan untuk meggarap lahan tersebut sendiri. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan juga terjadi di pedesaan penyebabnya adalah adanya sistem waris yang dibagi-bagi secara turun temurun namun lahan yang dibagi tersebut semakin berkurang, penyebab lainnya adalah adanya polarisasi atau penumpukan pemilikan lahan pada petani kaya yang mendapat keuntungan dari kegiatan pertanian di lahannya yang luas tersebut setelah itu ia bisa membeli lebih banyak lahan pertanian dari petani berlahan sempit sehingga petani berlahan luas akan semakin luas kepemilikan lahannya dan sebaliknya. Penyebab yang terakhir adalah adanya lahan pertanian yang dimiliki oleh penduduk dari luar desa. Terdapat hubungan antara penguasaan lahan dengan pendapatan petani seperti yang dikemukakan oleh Wiradi dan Makali (1984), bahwa hubungan antara besarnya pendapatan hasil usaha tani dengan tingkat penguasaan lahan menunjukkan distribusi pendapatan yang dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, semakin besar luas tanah milik semakin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luaslah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non-pertanian. Kegiatan transaksi lahan didominasi oleh pembagian warisan dan transaksi jual beli. Kegiatan transaksi jual beli tersebut biasanya dilakukan pada lahan sempit baik di pulau jawa maupun di luar Jawa karena transaksi jual beli lahan sempit cenderung lebih mudah, masyarakat desa jarang ada yang memiliki lahan luas, transaksi lahan luas jarang dilakukan sekaligus biasanya bertahap karena jarang ada pembeli yang mampu membeli lahan luas dengan kontan. Fragmentasi penguasaan lahan yang mendominasi adalah di luar desa karena banyaknya kebun kelapa sawit yang berkembang terutama di wilayah Sumatera Utara selain itu juga transaksi jual beli lahan di luar desa lebih terbuka karena tidak membatasi orang luar desa untuk ikut dalam adu tawar. Seluas apapun lahan yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh petani, efisiensi usaha tani juga ditentukan oleh tingkat penyebaran persil (fragmentasi) lahan garapannya. Semakin banyak persil yang dikuasai dan semakin terpencarnya persil garapan maka usaha tani cenderung kurang efisien. Analisis : Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang menggunakan data sekunder dari hasil penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) tahun 2007 dan tahun 2010. Hasil penelitian ini sudah menjawab tujuan yang telah dikemukakan dalam latar belakang yaitu untuk melihat dinamika perubahan kepemilikan maupun penguasaan lahan selama 6 periode tiga tahun terakhir (2007 – 2010) di beberapa desa contoh baik di Jawa maupun di luar Jawa. Penulis menganalisis perubahan penambahan atau penyempitan penguasaan lahan yang terjadi dari data sekunder tersebut dan menjelaskannya secara deskriptif dalam hasil dan pembahasan. Penjelasannya juga cukup jelas ditambah lagi adanya penjelasan alasan atau faktor-faktor yang melatarbelakangi atau menyebabkan perubahan penguasaan lahan itu terjadi. 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Produktivitas Lahan dan Distribusi Pendapatan Berdasarkan Status Penguasaan Lahan pada Usahatani Padi (Kasus di Kabupaten Kendal Propinsi Jawa Tengah) : 2011 : Jurnal : Elektronik : Bagio Mudakir : : Semarang dan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang : Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan : Vol. 1 (1): 74-83 : http://bit.ly/1BrKWKQ : 25 Maret 2015 Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan negara Indonesia yang banyak mengalami tumpang tindih penguasaan lahan sebagai bentuk produk kolonialisme. Penguasaan lahan tersebut tentunya mempengaruhi produktivitas lahan dan distribusi pendapatan para petani di kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari beberapa variabel terhadap produktivitas lahan dan distribusi pendapatan berdasarkan status penguasaan lahan dengan melihat ketergantungan petani terhadap lahan pertanian. Status penguasaan lahan pada pokoknya ada 3 yaitu pemilik penggarap, penyewa, dan penyakap. Variabel yang dimaksud dalam penelitian ini berupa faktor-faktor produksi dalam kegiatan pertanian seperti tenaga kerja, luas lahan, penggunaan benih unggul penggunaan pupuk dll. Responden pada penelitian ini berjumlah 121 responden petani di kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Metode analisis dan uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk uji t dan uji F fungsi Cobb-Douglas. Hasil dari penelitian ini juga dibedakan dalam dua macam yaitu pada musim kemarau dan musim penghujan sebab kegiatan pertanian tetap dilakukan pada kedua musim tersebut. Hasil wawancara memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat ini mengatakan pertanian merupakan sumber pendapatan utama tetapi ada juga yang mempunyai pekerjan sampingan lain selain menjadi petani. Berdasarkan penelitian ini kita bisa melihat pemilikan lahan sawah di lokasi tersebut selama musim hujan atau kemarau yang tidak berubah, petani yang memiliki sawah di musim kemarau dan musim hujan tetap sama yaitu sebanyak 73 petani sedangkan yang tidak punya lahan sebanyak 48 petani. Sedangkan berdasarkan luas lahan yang dimiliki, petani yang memiliki lebih dari 0,3 ha berjumlah 72 petani sedangkan yang memiliki lahan diatas 0,3 Ha berjumlah 49 orang. Jumlah tersebut sama antara musim hujan dan musim kemarau. Selain itu terdapat pula data rata-rata penggunaan faktorfaktor produksi dari kedua musim tersebut dan data rata-rata biaya penggunaan faktorfaktor produksi setiap hektar pada kedua musim tersebut yang berdasarkan status penguasaan lahan. 7 Dalam penelitian ini terdapat delapan variabel independen, yaitu : benih, urea, TSP, pupuk lainnya, pestisida, tenaga kerja, luas lahan, dan pengeluaran lain. Berdasarkan analisis fungsi produksi dari penelitian tersebut, kita dapat mengetahui hasil dari estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas usaha tani padi antar status penguasaan lahan pada musim penghujan bahwa terdapat empat variable independen yang signifikan mempengaruhi variabel dependen yaitu penggunaan TSP, pupuk lainnya, tenaga kerja dan luas lahan yang menunjukan bahwa jumlah penggunaan pupuk TSP dan pupuk lainnya yang digunakan dalam usaha tani maka jumlah produksi yang dihasilkan akan meningkat asalkan penggunaan jenis-jenis pupuk tersebut tidak melebihi dari standar yang telah ditentukan. Seiring dengan hal tersebut maka semakin luas lahan garapan maka produksi yang diperolehpun juga akan meningkat. Sedangkan empat variabel lainnya tidak signifikan yaitu jumlah benih padi, pupuk urea, pestisida dan pengeluaran lain karena alasan ilmiah tertentu. Pada musim kemarau, terdapat empat variabel independen yang tidak signifikan pengaruhnya yaitu pupuk lainnya, TSP, jumlah pestisida dan pengeluaran lainnya. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan pada musim penghujan, kita dapat memperoleh data bahwa terdapat lima variabel yang signifikan pengaruhnya yaitu benih, urea, pupuk lainnya, tenaga kerja, dan luas lahan. Artinya jika harga atau jumlah pengeluaran untuk kelima variabel tersebut meningkat maka keuntungan akan berkurang sesuai dengan elastisitas masing-masing faktor produksi tersebut. Pada musim kemarau variabel independen yang signifikan pengaruhnya jumlahnya sama, yaitu benih, urea, pestisida, luas lahan dan pengeluaran lain. Sedangkan dalam analisis distribusi pendapatan secara relatif menunjukan bahwa petani mendapatkan penghasilan tambahan dengan kata lain penghasilannya meningkat setelah adanya pendapatan sampingan di luar kegiatan pertanian. hal tersebut dibuktikan dengan indeks gini yang mengalami penurunan dari 0,5 menjadi 0,48. Dengan kata lain setelah adanya kegiatan di luar pertanian ketimpangan pendapatan semakin berkurang. Dapat disimpulkan bahwa tingkat produksi petani pemilik penggarap, penyewa maupun penyakap tidak berpengaruh secara nyata. Dalam artian bagaimanapun bentuk penguasaan lahannya ternyata tidak berbeda jauh hasilnya atau relatif sama. Dalam distribusi pendapatan dipengaruhi oleh penguasaan lahan dan kegiatan diluar pertanian. semakin luas lahan yang dikuasai maka pendapatan akan lebih besar dan adanya kegiatan di luar pertanian juga akan menambah penghasilan petani. Selain itu, produktivitas dalam kegiatan pertanian dapat ditingkatkan dengan menambah pemakaian beberapa sarana produksi, terutama pemakaian pupuk urea, benih, dan luas lahan. Namun, pemakaian pupuk urea dan benih tersebut harus dalam batasan sesuai dnegan kebutuhan. Selain itu dapat juga dengan menurunkan harga sarana produksi seperti benih, urea, pestisida dan luas lahan. Analisis : Hasil dari penelitian ini sudah menunjukan relevansi antara pertanyaan penelitian dan hasil penelitian. Namun, dalam persoalan status penguasaan lahan yang terdapat di hasil dan pembahasan penelitian ini pembahasan dan penjelasan nya masih kurang. Serta data yang ditampilkan juga tidak mencakup semua penguasa lahan, melainkan hanya dua yaitu pemilik dan penyewa saja. Perlu adanya alasan yang lebih kuat untuk menjelaskan mengapa status penguasaan lahan tersebut tidak terlalu berpengaruh secara nyata dalam kasus pada penelitiain ini. 4. Judul : Pengaruh Perubahan Penguasaan Lahan 8 Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh Pertanian terhadap Tingkat Eksistensi Subak di Desa Medewi Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana : 2013 : Jurnal : Elektronik : Putu Gede Wira Kusuma : : Bali dan Universitas Pendidikan Ganesha : Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan : Vol 2, (1) : : http://bit.ly/1xLbhZl : 29 Maret 2015 Penelitian ini dilatar belakangi oleh keadaan lahan pertanian di Bali khususnya di Desa Medewi Kecamatan Pekutatan Kabupaten Jembrana yang masih dominan kegiatan pertaniannya yang di dalamnya juga terdapat organisasi Subak yaitu suatu sistem pengatur irigasi untuk sawah. Subak ini merupakan pengetahuan lokal yang sudah tertanam sejak dahulu kala hingga saat ini masih ada. Namun, kegiatan pariwisata di Bali juga tidak kalah tingginya. Hal tersebut menyebabkan banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi untuk kegiatan non pertanian khususnya pariwisata. Ditambah lagi dengan adanya dukungan kuat dari pemerintah terhadap sektor pariwisata yang mungkin lebih menguntungkan daripada jika digunakan untuk kegiatan pertanian. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan penguasaan lahan pertanian di Desa Medewi, faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut serta Tingkat eksistensi subak di tengah maraknya perubahan penguasaan lahan pertanian di Desa Medewi. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan mengandalkan data empiris dan didukung data kuantitatif. Metode yang digunakan adalah observasi, interview serta mencatat dokumendokumen dari data (primer/sekunder). Subjek dalam penelitian ini adalah perubahan penguasaan lahan pertanian, faktor penyebabnya serta eksistensi subak. Objek dari penelitian ini adalah populasi petani di Desa Medewi sebanyak 86 orang yang mengalami perluasan ataupun penyempitan lahan pertanian dan mereka yang menggarap lahan pertanian baik berupa hak milik ataupun bukan hak miliknya. Responden yang diambil dalam penelitian ini sejumlah 58 orang petani. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terjadinya penyempitan yang cukup tinggi pada penguasaan lahan yang dikuasai petani pemilik serta terjadi perluasan lahan pertanian yang dikuasai oleh petani bukan pemilik. Namun, hal tersebut juga dibuktikan pada penyempitan penguasaan luas lahan pertanian di setiap jenis lahannya seperti sawah, tegalan, dan kebun. Selain itu, jumlah petani yang menguasai lahan miliknya maupun bukan miliknya juga megalami penurunan. Sistem waris pecah bagi, penjualan lahan dan permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian (pembuatan rumah/toko, dll), penjualan lahan, kerusakan lingkungan dan kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian (harga pupuk yang tinggi sehingga lahan yang digarap dikurangi) di duga sebagai faktor penyebab terjadinya perubahan penguasaan lahan pertanian di Desa Medewi. Namun, hasilnya menunjukan bahwa mayoritas responden memilih faktor utamanya adalah penjualan lahan yang dianggap penyebabnya adalah keadaan ekonomi petani pemilik lahan yang semakin terpuruk sehingga harus menjual lahannya. Faktor yang kedua adalah permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian (pembuatan rumah/toko/dll) dan yang terakhir adalah sistem waris pecah yang diturunkan pada setiap generasi tapi terus mengalami penyempitan. Hasil penelitian yang terakhir yaitu tentang tingkat eksistensi 9 Subak di tengah maraknya perubahan penguasaan lahan pertanian di Desa Medewi menunjukan bahwa semakin dekat wilayah subak dengan pusat desa maka eksistensinya akan semakin rendah. Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian tersebut adalah penguasaan lahan di Desa Medewi mengalami perubahan yang cukup tinggi, dan yang menjadi faktor utamanya yang paling mendominasi adalah penjualan lahan yang disebabkan oleh keadaan ekonomi pemilik lahan yang semakin menurun karena perolehan keuntungan yang tidak sesuai dengan pengeluarannya serta banyaknya hutang yang ditanggung para petani. Sedangkan tigkat eksistensi Subak di Desa Medewi ditentukan oleh jarak dengan pusat kota dengan diukur oleh lima aspek berikut : (1) organisasi pengelola air irigasi; (2) jaringan irigasi, sarana dan prasarana; (3) produksi pangan; (4) ekosistem lahan sawah beririgasi; (5) ritual keagamaan yang terkait dengan Subak. Hasilnya menujukan kelima aspek tersebut telah banyak mengalami penurunan yang drastis yang terjadi di wilayah subak yang terlihat dekat dengan pusat desa karena intensitas perubahan penguasaan lahan pertanian di wilayah subak yang dekat dengan pusat desa lebih tinggi daripada wilayah subak yang berjarak jauh dengan pusat desa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat wilayah Subak tersebut maka eksistensi akan semakin rendah. Analisis : Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel perubahan penguasaan lahan pertanian dan variabel tingkat eksistensi Subak. Dalam penelitian ini dapat terlihat telah adanya konsistensi antara pertanyaan penelitian yang dikemukakan dalam latar belakang dan hasil dari penelitian itu sendiri. Pengukuran eksistensi Subak diukur menggunakan lima indikator yaitu (1) organisasi lahan sawah beririgasi; (5) ritual keagamaan yang terkait dengan subak. Namun, indikator tersebut pengelola air irigasi; (2) jaringan irigasi, sarana dan prasarana; (3) produksi pangan; (4) ekosistem hanya disebutkan di pendahuluan sedangkan di hasil dan pembahasan penjelasannya tidak berdasarkan masing-masing indikator tetapi lebih dalam bentuk penjelasan secara umum. 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang : 2008 : Jurnal : Elektronik : Sintaningrum : : Bandung dan Universitas Padjajaran : Jurnal Kependudukan Padjadjaran : Vol 10, (1) : 23-33 : http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/ download/doc3/2436 : 30 Maret 2015 Penelitian ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kemiskinan petani dengan melihat angka petani gurem yang semakin meningkat hal tersebut disebabkan oleh ketimpangan penguasaan lahan pertanian ditambah lagi tingginya penguasaan tanah absentee. Hal tersebut juga dapat dilihat dari tingginya proporsi pemberian hak yang 10 diberikan Badan Pertanahan Nasional yang terdiri dari hak pengelolaan, hak pakai, hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan yang masih berupa tanah negara, maka luas tanah yang di atasnya melekat Hak Guna Usaha menempati urutan per-tama dalam keluasan tanahnya, yaitu sebanyak 1364 bidang dengan luas 577.170.607, 62 Ha. Sementara tanah hak milik hanya sebanyak 1.777.819,00 bidang dengan luas 17.692.978,82 Ha. (Sintaningrum, dkk, 2004). Penyebab lainnya adalah belum jelasnya pembagian proporsi wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masing-masing menginginkan keuntungan dari adanya perusahaan swasta yang beroperasi di suatu daerah tertentu. hal tersebut didukung oleh pernyataan bahwa “hukum yang cukup kuat berhadapan dengan para stakeholders lain. Jadi, meskipun “agraria dan pertanian” memiliki kaitan yang kuat dan jelas, namun tidak tercermin pada hubungan “BPN dan Deptan” (Forum Agro Ekonomi Vol. 13 No. 2 Th 2004). Selain itu tindakan makelar tanah juga merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan penguasaan lahan dan redahnya kesejahteraan petani. Makelar tanah adalah mereka yang membeli tanah untuk nanti dijual lagi ketika harga sudah tinggi. Tanah dianggap sebagai suatu komoditas dan pemilikan tanah tersebut bukan untuk di manfaatkan untuk produksi tetapi malah diperjual belikan saja. Terakhir adalah pergeseran penguasa dari pemerintah menjadi pasar akibat penerapan prinsip-prinsip efisiensi. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah explanatory research yaitu penelitian yang menyangkut pengujian hipotesis penelitian, dikombinasikan dengan analisis deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan nyata di lapangan pada waktu penelitian dilakukan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan secara purposif yaitu di daerah Subang dan Garut. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan, melalui observasi, wawancara mendalam (indepth interview), focus group discussion, dan penyebaran kuesioner. Jumlah populasi pada penelitian ini adalah 355 orang implementor dan untuk memilih responden digunakan rumus Kerlinger (1978) sehingga terpilihlah 78 orang responden. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara isi kebijakan pertanahan dan struktur penguasaan tanah. Semakin baik isi kebijakan pertanahan maka semakin baik pula struktur penguasaan lahan. Dimensi yang dinilai palin berperan dalam merefleksikan isi kebijakan adalah dimensi derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan dan dimensi jenis manfaat. Selain itu terdapat juga hubungan antara struktur penguasaan tanah dengan konteks implementasi kebijakan pertanahan. Dimensi yang paling berperan dalam konteks implementasi kebijakan adalah dimensi karakteristik kelebagaan dan penguasa serta dimensi kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. Dari hasil tersebutdapat disimpulkan bahwa perubahan struktur penguasaan tanah dipengaruhi oleh variabel isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan pertanahan yang mana variabel isi kebijakan memberi pengaruh lebih besar dibandingkan konteks implementasi. Sedangkan hubungan antara struktur penguasaan juga bersifat positif, artinya semakin baik struktur penguasaan tanah maka semakin baik pula kesejahteraan petani. Selain itu isi dan konteks kebijakan juga berpengaruh secara tidak langsung kepada kesejahteraan petani. Sumbangan terbesar oleh variabel isi kebijakan yang artinya untuk meningkatkan kesejahteraan petani hal utama perlu dilakukan adalah memperbaiki isi kebijakan serta struktur penguasaan tanah. Kesejahteraan petani juga dapat dipengaruhi oleh variabel lain karena tingkat kesejahteraan petani merupakan kondisi yang akan ditentukan oleh banyak variabel baik variabel internal ataupun eskternal. Variabel internal misalnya banyaknya jumlah anggota keluarga, banyaknya sawah yang dimiliki, 11 sedangkan faktor eksternal seperti mahalnya barang-barang kebutuhan pokok dan lainlain. Implementasi kebijakan pertanahan lebih mudah ditemukan di kabupaten Garut dari pada di kabupaten Subang karena perubahan struktur penguasaan tanah lebih dinamis dan sering terjadi akibat dekatnya jarak dengan ibukota kecataman dan kemudahan fasilitas jalan yang memudahkan mobilitas diduga sebagai penyebab utama. Sedangkan hasil penelusuran dokumen redistribusi Tanah Objek Landreform menunjukan bahwa perpindahan pemilikan tanah hasil landreform yang diberikan kepada petani di Desa Padaawas Kabupaten Garut ternyata lebih banyak dari pada perpindahan pemilikan tanah di Desa Cibalandong Jaya Kabupaten Subang. Penyebabnya adalah berbagai kebutuhan yang mendesak dan pengeluaran yang tidak sebanding dengan pendapatan petani membuat petani menjual kembali tanahnya. Hal tersebut mengindikasi tidak tercapainya tujuan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sedangkan kasus di Desa Cibalandong Jaya Kabupaten Subang perpindahan pemilikan lebih sedikit ditemukan. Berdasarkan hasil observasi dapat kita ketahui bahwa gaya hidup petani di Kabupaten Garut ternyata lebih tinggi dibandingkan petani di Kabupaten Subang sehingga kebutuhan uang tunai bagi petani di Kabupaten Garut meningkat. Lain halnya dengan petani di Kabupaten Subang yang masih bergantung kepada ikan-ikan di sungai Sukanegara untuk memenuhi kebutuhan lauk rumah tangganya sehingga pnegeluaran untuk konsumsinya lebih hemat. Kepentingan dari berbagai pihak dianggap sebagai kendala yang membuat program redistribusi tanah tidak berjalan dengan baik. Terjadi kemiripan implementasi program redistribusi tanah pada sejak Belanda meninggalkan Indonesia. Tanah-tanah eks perkebunan dikuasai oleh dua kalangan elite yaitu aristrokasi lokal dan militer. Saat kebijakan pemerintah Pusat tahun 1961 yang mengharuskan tanah tersebut diredistribusikan kepada penduduk, penguasa lokal dan militer mnegatur lokasi dan luasan tanah yang akan dibagikan berdasarkan kepentingan mereka. Hal tersebut juga terjadi di Desa Padaawas Kabupaten Garut dan Desa Cibalandong Jaya Kabupaten Subang, tanah yang lokasinya strategis dan lebih suburdibagikan terlebih dahulu untuk kalangan militer yang tidak berdomisili di desa tersebut dan aparat pemerintah desa setempat. Sedangkan untuk tanah kualitas kedua diberikan kepada penduduk dengan luasan yang lebih kecil. Situasi politik yang demikian berimbas pada prakteknya di tingkat lokal dengan terjadinya konflik sengketa tanah antar berbagai pihak baik antar petani maupun antara petani dan penggarap bahkan yang lebih meluas lagi adalah konflik antara petni dan negara (perhutani di Kabupaten Garut dan PTPN XII di Kabupaten Subang. Dari hasil FGD menunjukan bahwa penyebab konflik adalah perbedaan persepsi tentang riwayat kepemilikan tanah; tentang siapa yang sebenarnya memiliki hak untuk memiliki, menguasai dan menggunakan tanah yang disengketakan. Penyebab lain adalah pengaturan pengusahaan dan pemanfaatan tanah-tanah yang kemudian disepakati dikelola bersama. Sampai pada berakhirnya penelitian ini, konflik di desa Cibalandong Jaya dan PTPN XII belum terselesaikan sedangkan konflik di desa Padaawas Kabupaten Garut relatif sudah mereda dengan disepakatinya program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang mengijinkan petani yang berlokasi di sekitar tanah milik perhutani tetap dapat mengelola lahan seluas kesepakatan masing-masing dengan tanaman kopi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah implementasi kebijakan pertanahan berpengaruh dengan signifikan terhadap struktur penguasaan tanah dan berdampak pada kesejahteraan petanidi Kabupaten Garut dan Subang. Besarnya pengaruh implementasi kebijakan pertananahan ditentukan oleh sub variabel konten dan konteks kebijakan. 12 Selanjutnya kedua sub variabel tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan petani di Kabupaten Garut dan Subang. Analisis : Penelitian ini berfokus untuk melihat pengaruh dari implemetasi kebijakan pertanahan terhadap struktur penguasaan tanah dan dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Sehingga penelitian ini menggunakan lebih dari dua variabel yaitu isi kebijakan (X1), konteks kebijakan (X2), struktur penguasaan tanah (Y), kesejahteraan petani (Z). Berdasarkan pertanyaan penelitan dan hasil penelitian sudah terlihat konsistensi antar keduanya. Penjelasan dalam hasil penelitian juga sudah sesuai dengan metode penelitian yang dikemukakan sebelumnya. Namun, hasil dari penyebaran kuesioner tidak disajikan dalam bentuk tabel. Untuk lebih memudahkan pembaca lebih baik disajikan juga dalam bentuk tabel. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani : 2008 : Prosiding : Elektronik : Valeriana Darwis : : Bogor dan Departemen Pertanian : Prosiding Seminar Nasional "Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan : Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani" 2009 :: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/ pdffiles/MS_A9.pdf : 30 Maret 2015 Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan dalam hal pemanfaatan lahan telah terjadi alih fungsi (konversi) lahan yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan semakin tingginya kebutuhan dan permintaan terhadap lahan baik untuk kegiatan pertanian maupun non-pertanian. Sehingga banyak lahan pertanian yang bergeser ke arah industri. Menurut pakpahan, dkk, 1993 beberapa faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan dalam bentuk sawah adalah keputusan secara langsung dari pemilik lahan tersebut untuk mengalihfungsikan lahannya demi penggunaan lain diluar pertanian. biasanya didorong oleh motif ekonomi karena nilai jual/sewa lahan untuk kegiatan diluar pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan sebagai sawah. Akibat dari alih fungsi tersebut juga akan menyebabkan berkurangnya produksi pertanian dan kesempatan kerja para petani. Disamping itu, sistem penguasaan dapat diklasifikasikan menjadi hak miilik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Bentuk penguasaan tersebut sudah melembaga di masyarakat. Selain hak milik, hak-hak tersebut adalah bentuk pengalihan hak garap dari pemilik ke orang lain dan sifatnya dinamis. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat mengetahui bahwa lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penguasaan lahan dan dampaknya terhadap pendapatan petani padi di lokasi PATANAS. 13 Penelitian ini mengacu pada data PATANAS (Panel Petani Nasional) yang dilaksanakan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian pada tahun Anggaran 2007. Penelitian dilakukan di lima provinsi tetapi dalam tulisan ini hanya ditampilkan dua provisnsi saja agar lebih terlihat keragaman penguasaan lahan dan pendapaan petani. Provisni yang dipilih adalah Jawa Barat dan Sulawes Selatan. Data yang diperoleh langsung dari 25 petani di masing-masing provinsi dengan wawancara menggunakan pertanyaan terstruktur (kuesioner), sedangkan data sekundernya diperoleh dari dinas pertanian setempat dan instansi terkait lainnya. Ada juga beberapa data sekunder yang bersumber dari harian kompas untuk mengetahui kondisi kekinian tentang input pertanian. data-data tersebut kemudian di analisa menggunakan metode analisis deskriptif dan tabulasi silang. Hasilnya menunjukan bahwa ketersediaan pupuk dan benih merupakan faktor yang penting untuk peningkatan produksi pertanian termasuk padi. Ketersediaan pupuk juga di dukung oleh pemerintah dengan pemberian pupuk bersubsidi yang tentunya hanya untuk petani saja bukan untuk perusahaan pertanian.Sedangkan untuk benih, petani cenderung menerima benih dari siapa saja yang dapat meyakinkan petani dengan keunggulan benih tersebut. Namun, terdapat beberapa masalah gagal panen yang dialami petani. Dari beberapa kasus tersebut diakibatkan oleh benih berkualitas buruk, maka pemerintah membuat kebijakan untuk uji coba benih benih tersebut sebelum benih tersebut diperjualbelikan. Laju penyusutan lahan pertanian semakin cepat akibat dari sistem bagi waris dan alih fungsi lahan. Lahan yang terfragmentasi ini rentan untuk berpindah kepemilikan akibatnya petani tunakisma cenderung bertambah dan akumulasi penguasaan lahan pada satu orang banyak terjadi. Padahal dalam pembangunan ertanian berkelanjutan lahan merupakan sumber daya yang pokok dalam kegiatan usahatani karena usaha yang dilakukan bersifat land base agricultural yang artinya peran lahan pertanian sebagai basis produksi pangan tidak dapat tergantikan. Sebagian pendapatan rumah tangga petani berasal dari kegiatan usahatani yang membutuhkan lahan sebagai faktor produksi utamanya. Luas pemilikan lahan pertanian bagi mereka adalah cerminan dari kesejahteraan sehingga terkadang pemilikan lahan diartikan sebagai status sosial rumah tangga. Namun, harga lahan semakin meningkat membuat petani tidak bisa membeli lahan kecuali untuk petani kaya dan lahan yang mereka gunakan kebanyak adalah lahan warisan. Penguasaan lahan pertanian di provinsi Jawa Barat lebih besar dibandingkan di provinsi Sulawei Selatan. Hal tersebut terjadi karena kebijakan yang dahulu diterapkan yang lebih mengutamakan pencetakan sawah di pedesaan pulau Jawa daripada di luar pulau Jawa. Faktor yang melatarbelakangi kebijakan tersebut adalah : (1) sumber daya lahan yang dapat dijadikan sawah lebih tersedia di Jawa, (2) biaya pencetakan sawah di Jawa lebih murah dibanding di luar Jawa, dan (3) pada tataran nasional masalah kelangkaan pangan lebih tinggi di Jawa sehingga pencetakan sawah yang diprioritaskan di Jawa dinilai akan secara langsung megurangi masalah tersebut. (Irawan, dkk. 2007) Pemilikan lahan petani umumnya relatif sempit sehingga untuk mengatasi keterbatasan pemilikan lahan tersebut sebagian dari petani menggarap sawah yang bukan milik mereka yiatu dengan cara menyewa, menyakap (Bagi hasil), gadai, tanah keluarga dan lainnya seperti lahan titisara dan lahan bengkok. Kasus penyewaan lahan paling dominan terjadi di Jawa Barat. Sedangkan di Sulawesi Selatan didominasi oleh sistem bagi hasil atau sakap. Bagi petani berlahan sempit yang paling menguntungkan adalah sistem bagi hasil sebab jika ada resiko usaha akibat ggaal produksi tidak hanya ditanggung ppetani tetapi juga oleh pemilik lahan. Dengan menggunakan sistem 14 penguasaan lahan bukan milik tersebut ternyata berdampak positif bagi petani yaitu peningkatan luas lahan sawah yang dikuasai petani berlahan sempit. Sementara itu, ketimpangan distribusi pemilikan dan penguasaan lahan juga sering terjadi. Faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah pertama, adanya sistem waris pecah-bagi. Dengan sistem tersebut lahan yang diwariskan dari generasi ke generasi akan semakin menurun. Kedua, adanya polarisasi atau penumpukan pemilikan lahan pada sekelompok petani kaya. Ketiga, adanya pemilikanlahan guntai oleh penduduk kota atau penduduk luar desa. Biasanya mereka membeli lahan dari petani berlahan sempit sehingga konsekuensi nya petani tunakisma akan semakin banyak. Hasilnya menunjukan bahwa kelangkaan lahan bukan hanya terjadi di pulau Jawa tetapi di luar Jawa juga karena pemilikan lahan sawah sangat menentukanpendapatan petani yang sebagaian besar berasal dari lahan pertanian. sehingga upaya peningkatan pendapatan petani yang berbasis lahan sawah akan sulit dilakukan. Curahan waktu kerja untuk menggarap lahan sawah dilakukan oleh hampir 50 persen responden Jawa Barat yang lebih banyak dibandingkan responden di Sulawesi Selatan yang hanya 32,7 persen. Sedangkan dari segi pendapatan di desa Tugu dan Simpar (Jawa Barat) dan Carawali (Sulawesi Selatan) rata-rata 80 persen menggantungkan pendapatan mereka pada hasil sawah tersebut. Berdasarkan sumber pendapatannya petani yang mendapatkan pendapatan rendah dari pertanian mengahruskan mereka memiliki sumber pendapatan lebih di luar usahat tani. Hasilnya menunjukan bahwa sumber pendapatan responden di Jawa Barat masih mengandalkan pertanian lebih dari 80 persen hal yang sama juga terjadi di Sulawesi Selatan namun hanya terjadi di desa Carawali saja degan persentase 72,2 persen yang masih mengandalkan pendapatan dari pertanian. sumbangan pendapatan dari pertanian juga dipengaruhi oleh luas lahan. Semakin tinggi penguasaan lahan maka akan semakin tinggu pula sumbangan pendapatan yang berasal dari usaha tani padi. Analisis : Penelitian ini merupakan penelitian yang mengacu pada data-data sekunder PATANAS dan instansi lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penguasaan lahan dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Dalam hasil dan pembahasan sudah terlihat konsistensi untuk menjawab tujuan tersebut dan pembahasannya pun sudah lebih baik dengan memasukan pembahasan kondisi input pertanian dan lahan pertanian. 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL : Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan Terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet (Kasus di Kelurahan Condet Balakembang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur) : 2005 : Tesis : Elektronik : Wati Nilam Sari : : Bogor dan Institut pertanian Bogor ::: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle /123456789 /13982/2005wni.pdf?sequence=2 15 Tanggal Unduh : 5 April 2015 Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peningkatan jumlah penduduk dan laju pembangunan di DKI Jakarta yang berdampak pada perubahan tata guna lahan. Perubahan tersebut terjadi di lahan yang dulu nya memiliki fungsi ekonomi seperti persawahan, pertanian dan perkebunan yang berubah menjadi wilayah pemukiman. Namun, perhatian masyarakat untuk memenuhi kebutuhan lahan yang semakin berkurang malah berpindah ke wilayah pinggiran yaitu wilayah yang berbatasan langsung dengan kota salah satunya adalah Condet. Dahulu Condet dikenal sebagai wilayah penghasil buah-buahan namun sekarang mengalami perubahan dalam penguasaan dan penggunaan lahan dengan dipenuhinya oleh bangunan-bangunan yang membuat lahan pertanian kian menyempit. Pertumbuhan penduduk di Condet juga semakin pesat dengan adanya pendatang karena daya tarik Condet sebagau salah satu kawasan cagar budaya dan konservasi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur melalui SK No. D.IV/1511/e/1974. Hal tersebut malah membuat Condet dipadati pendatang untuk dijadikan pemukiman. Selain itu, Condet juga lokasinya berdekatan dengan pasar Rebo dan Pasar Induk yang merupakan sentra penjualan buah dan sayur mayur, akibatnya mobilitas pendatang semakin tinggi dan banyak tenaga kerja yang datang dari luar daerah Condet. Telah banyak juga hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa telah terjadinya perubahan pola usaha ekonomi akibat pemekaran dan pembangunan yang pesat ke kegiatan usaha non pertanian seperti jasa. Sedangkan respon penduduk dengan etnis betawi sebagai penduduk asli memilih untuk menjual lahan nya kepada para pendatang karena ketidakmampuannya untuk berpartisipasi dalam memanfaatkan peluang kerja di perkotaan. Berdasarkan hal tersebut lah penelitian ini dilakukan untuk mengakaji tentang perubahan penguasaan dan penggunaan lahan yang terjadi pada rumah tangga etnik Betawi. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menelaah perubahan penguasaan dan penggunaan lahan yang terjadi di Condet pada tingkat rumah tangga. 2) mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam perubahan penguasaan dan penggunaan lahan pada tingkat individu. 3) menelaah pengaruh perubahan penguasaan dan penggunaan lahan terhada pola usaha ekonomi rumah tangga. 4) menelaah pengaruh pola usaha ekonomi terhadap pendapatan rumah tangga. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan strategi studi kasus. Informasi yang diperoleh digali melalui studi riwayat hidup. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dnegan metode triangulasi data yaitu dengan mengkombinasikan berbagai sumber data. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Subjek dari penelitian ini dipilih secara sengaja sesuai dengan tipologi kasus yang diteliti, subjek yang merupakan penduduk asli etnik Betawi Condet, subjek yang dahulunya bekerja sebagai petani dan sekarang bekerja di luar sektor pertanian, subjek yang telah mengalihkan penggunaan lahan nya untuk kegiatan non pertanian. berdasarkan kriteria tersebut responden yang sesuai berjumlah 15 orang. Selanjutnya kelima belas responden tersebut dikelompokan berdasarkan perubahan luas penguasaan lahan. Sehingga didapatlah 4 kategori kelompok petani berdasarkan perubahan luas penguasaan lahan yaitu 1) petani yang luasan lahannya tetap. 2) petani yang luasan lahannya mengalami perubahan sedikit. 3) petani yang luasan lahannya mengalami perubahan sedang. 4) petani yang luasan lahannya mengalami perubahan besar. Informan dalam penelitian ini terdiri dari tokoh-tokon formal dan informal dari kalangan tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa. Teknik analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan sekunder dan di analisis menggunakan metode analisa 16 data kualitatif sehingga data tersebut diolah dan dianalisa secara deskriptif dan empirik serta diinterpretasikan dari hasil wawancara, pengamatan dan informan kunci. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ita dapat mengetahui bahwa pertambahan jumlah penduduk yang tinggi dan pembanguanan di daerah DKI Jakarta telah membuat permintaan terhadap lahan semakin tinggi salah satu nya terjadi di daerah Condet. Tingginya permintaan lahan tersebut membuat perubahan penguasaan dan penggunaan lahan tidak dapat terelakan lagi. Perubahan penguasaan dan penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal nya adalah faktor dari dalam individu yaitu makna lahan, subjek penelitian lebih memaknai lahan secara ekonomi dibandingkan dengan pemaknaan sosiologi, psikologis, teologi, an budaya. Pemaknaan secara ekonomi tersebut memandang bahwa tingginya harga jual lahan sehingga menyebabkan etnik Betawi Condet termotivasi untuk menjual lahannya. Kedua, status sosial ekonomi yang berfokus pada pendidikan dan pekerjaan subyek penelitian. Hasilnya menunjukan bahwa pendidikan tidak secara langsung menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan dan penggunaan lahan. Rata-rata juga tingkat pendidikan responden tergolong rendah sehingga pendidikan menjadi variabel yang tidak menentukan, terdapat variabel antara yaitu minimnya keterampilan subjek yang membuat responden tidak memeiliki pekerjaan lain yang lebih sesuai. Demikian juga dengan tingkat pekerjaan responden yang awalnya petani dan beralih ke pekerjaan non pertanian tetap saja menggeluti pekerjaan non pertanian yang tidka memerlukan keterampilan khusus karena kurang nya keterampilan responden tersebut. Ketiga, nilai-nilai sosial budaya. Hasilnya menujukan adanya nilai agama yang kuat juga mendorong responden untuk menjual lahan. Dengan nilai agama tersebut responden menilai bahwa rukun islam yang kelima juga harus dipenuhi yaitu dengan pergi ke tanah suci yang memerlukan biaya tinggi. Disamping itu juga terdapat nilai kekrabatan yang turut menyebabkan perubahan penguasaan dan penggunaan lahan. Nilai kekerabatan yang dimaksud berkaitan dengan tradisi warisan yang diberikan orang tua ke anak-anak nya selain itu juga perubahan penggunaan lahan terjadi karena tanah orang tua yang dulunya dijadikan kebun setelah diwariskan malah didirikan rumah untuk anak-anak nya. Sementara itu faktor-faktor eksternal yang menyebabkan perubahan penguasaan dan penggunaan lahan ini adalah perkembangan fisik kota dan aspek kebijakan pemerintah. Perkembangan fisik kota menyebabkan semakin banyak nya peluang kerja yang diincar para pendatang, mereka juga membutuhkan lahan untuk tinggal sehingga pembangunan semakin tinggi dan menyebabkan perubahan dan penguasaan lahan. Selain itu faktor kebijakan pemerintah yang dahulu menyatakan bahwa Condet sebagai cagar budaya dan konservasi lagi, saat ini sudah berpengaruh lagi bagi penduduk asli. Perubahan penguasaan lahan ke pendatang terus terjadi meskipun ada kebijakan karena pemerintah tidak memiliki solusi untuk membuat etnik betawi mempertahankan lahanya. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap perubahan pola usaha ekonomi rumah tangga yaitu dnegan beralihnya pekerjaan di sektor pertanian ke non pertanian. saat sebelum mengalami perubahan lahan, subjek penelitian juga memiliki pekerjaan informasi tetapi sebagai pekerjaan sampingan namun setelah perubahan terjadi pekerjaan informal tersebut menjadi pekerjaan utama.perubahan pola usaha ekonomi tersebut tidak meningkat kan pendapatan subjek penelitian karena sektor informal yang digeluti juga berada pada strata bawah yang sifatnya subsisten. Analisis : Penelitian ini menggunakan variabel perubahan penguasaan dan penggunaan lahan dan pola usaha ekonomi rumah tangga etnik Betawi. Variabel perubahan penguasaan dan penggunaan lahan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor 17 internal nya adalah makna lahan, status sosial ekonomi dan nilai-nilai sosial budaya. Makna lahan diukur berdasarkan pandangan subjek penelitian secara ekonomis, sosiologis, psikologis, budaya dan teologis. Status sosial ekonomi nya dilihat dari pendidikan dan pekerjaan subjek penelitian. Nilai-nilai sosail budayanya dilihat dari nilai agama dan nilai kekerabatan. Sedangkan faktor eksternal nya adalah perkembangan fisik kota dan aspek kebijakan pemerintah. Hasil perubahan penguasaan dan penggunaan lahan tersebut ternyata mempengaruhi adanya perubahan pola usaha tani yang tadinya disektor pertanian menjadi sektor non pertanian. akan tetapi jika perubahan pola usaha rumah tangga tersebut dihubungkan dengan pendapatan rumah tangga tidak meningkatkan pendapatan karena pekerjaan non pertanian tersebut berada di strata bawah yang sifatnya subsisten. Dari hasil tersebut dapat kita analisis bahwa tidak adanya peningkatan pendapatan dari pekerjaan non pertanian yang subsisten tersebut disebabkan oleh kurangnya keterampilan khusus dari subjek penellitian untuk menghadapi kegiatan usaha diluar sektor pertanian tersebut. 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Pola Penguasaan Tanah oleh Petani dalam Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan : 2010 : Jurnal : Elektronik : Rahayu Subekti : : Solo dan Universitas Sebelas Maret : Yustisia : Vol 80 (80) : : http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia /article/view/226/213 : 5 April 2015 Latar belakang dari penelitian ini adalah keadaan tanah yang sifat nya tetap sedangkan jumlah manusia yang terus meningkat membuat permintaan terhadap tanah semakin meningkat guna memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk perumahan, kemajuandan perkembangan ekonomi, sosial budaya dan teknologi dll. sehingga ketersediaan tanah semakin sempit padahal bagi masyarakat agraris tanah dianggap sebagai asset penghasil komoditas pertanian baik pangan atau pun perdagangan. Untuk mengatur hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria/ Ka BPN No 3 tahun 1998 tentang pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip dalam UUPA yaitu penggunaan tanah harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi keperluannya sendiri juga tidak boleh merugikan kepentigan masyarakat. Pemegang hak atas tanah adalah 1) perorangan atau badan hukum yang menjadi pemegang hal atas tanah. 2) perorangan atau badan hukum yang telah memperoleh penguasaan atas tanah akan tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Instansi pemerintah, Pemerintah daerah, atau badan lain yang diberi pelimpahan kewenangan pelaksanaan sebagian hal menguasai dari negara atas negara dengan pemberian hal pengelolaan. Pihak tersebut wajib menggunakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuan haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku, apabila tanahnya belum digunakan maka tidak boleh dibiarkan kosong dan wajib dimanfaatkan dengan menanami tanaman pangan sesuai dengan kemampuan dari tanah tersebut. Salah satu contohnya 18 adalah kawasan disekitar bandara Adi Sumarno yang berupa tanah kosong, tanah tersebut dimanfaatkan oleh penduduk sekitar yang mayoritas adalah petani karena tanah tersbeut belum dimanfaatkan oleh pihak Bandara. Mereka menggarap tanah tersebut dengan menenami singkong, sawi, bayam dll. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mengambil masalah tentang pola penguasaan tanah kososng untuk tanaman di kawasan Bandara Adi Sumarno, lalu faktor-faktor yang menyebabkan petani ikut dalam pemanfaatan tanah kosong, terakhir adalah hak dan kewajiban dari pihak Bandara dan petani yang ikut dalam pemanfaatan tanah kosong di kawasan Bandara Adi Sumarno tsb. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian yuridis sosiologis. Jenis data ynag digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara dan studi pustaka. Sedangkan teknik analisis datanya dengan teknik analisis kualitatif dengan pola berpikir deduktif dan induktif secara kombinasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi manusia berubah ketika mulai hidup menetap, awalnya tanah hanya dipandang sebagai tempat singgah namun saat ini tanah dianggap sebagai tempat hidup. Semakin lama tanah menjadi semakin langka dan mahal, keadaan tersebut menimbulkan adanya hubungan antara pemilik tanah dan penggarap dengan istilah pola penguasaan tanah. Untuk mencegah adanya penindasan dalam hubungan tersebut pemerintah banyak mengeluarkan ketentuan-ketentuan salah satunya adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Pada pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tersebut ang menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak “penggarap” berdasarkan perjanjian tersebut ditentukan penggarap diperkenankan untuk menlakukan usaha pertanian diatas tanah miliknya dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Pola penguasaan di kawasan Bandara Adi Sumarno menggunakan pola bagi hasil dengan memanfaatkan tanah pada musim hujan dengan ditanami padi, singkong, dan kacang. Pada musim kemarau ditanami bayam, sawi, kemangi dll. Berdasarkan pembagian luas tanah, responden menyatakan tidak mendapat luas tanah yang sama dan tergantung pembagian dulu. Hasilnya sebagian besar dari 25 Responden mendapat tanah garapan seluas 1000-1500m2. Luas lahan garapan akan mempengaruhi besarnya uang yang harus dibayarkan ke pemilik karena semakin luas lahan yang digarap maka hasil pertanian nya akan semakin banyak kecuali pada kondisi tertentu. Pembayaran dilakukan di akhir panen dengan ketentuan untuk tanaman padi hasil yang diperoleh dibagi dua. Faktor penyebab pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan adalah adanya fungsi sosial bahwa tanah kosong yang belum dipakai Bandara akan lebih bermanfaat jika ditanami oleh masyarakat. Selain itu tanah juga memiiki segi ekonomis yang dibutuhkan petani untu melakukan kegiatan pertanian. seluruh responden adalah petani yang tidak memiliki tanah ditambah lagi lahan tersebut belum digunakan oleh pihak Bandara. Hasil penelitian lainnya adalah hak dan kewajiban para pihak dalam pemanfaatan tanah kosong tersebut. Penggarap tanah kosong memiliki hak untuk : 1) mengusahakan tanah yang bersangkutan. 2) menerima bagian dari hasil tanah itu sesuai dengan imbangan yang ditetapkan atas dasar kesepakatan oleh kedua belah pihak. Sedangkan pemilik tanah memiliki hak untuk : 1) menerima bagian hasil tanah yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak. 2) menuntut pemutusan hubungan bagi hasil jika ternyata kepentingan dirugikan oleh penggarap, yaitu hal-hal yang memang bertentangan dengan kewajiban penggarap yang baik dan jujur, tidak mengusahakan tanah sebagaimana mestinya, tidak memenuhi kewajiban memberikan sebagian hasil tanah yang telah disetujui kepada pemilik, tidak memenuhi beban-beban yang menjadi tanggungannya, tanpa izin pemilik tanah menyerahan pengusahaan tanahnya kepada pihak lain. Dalam hal kewajiban, penggarap berkewajiban untuk : 1) mengusahakan tanah tersebut dengan 19 baik. 2) menyerahkan bagian hasil tanah yang menjad hak pemilik tanah. 3) menyerahkan kembali tanah garapannya kepada pemilik tanah dalam keadaan baik setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian bagi hasil. Pemilik tanah berkewajiban untuk : 1) menyerahkan tanah garapan kepada penggarap. 2) membayar pajak atas tanah garapan yang bersangkutan. Analisis : Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis sosiologis. Oleh karena itu, penelitian ini tidak menghubungkan variabel-variabel yang ada. Berdasarkan hasil penelitian ini sudah terlihat konsistensi antara tujuan dari penelitian ini yang telah disebutkan dalam latar belakang dengan hasil penelitian dalam pembahasannya. Pemanfaatan tanah kosong ini lebih cenderung melihat fungsi sosial ekonomi dari suatu tanah. Sehingga pemanfaatan tanah kosong pun dilakukan agar tanah yang ada bisa produktif dan bermanfaat bagi masyarakat. 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia : 2006 : Artikel Ilmiah : Elektronik : Syahyuti : : Bogor dan Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbang, Kementerian Pertanian : Forum Penelitian Agro Ekonomi : Vol 24 (1) : 14-27 : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/ pdffiles/MS_A9.pdf : 6 April 2015 Permasalahan penguasaan/pemilikan sebidang lahan berkaitan dengan hukum manusia dengan tanah. Permasalahan ini juga merupakan hal paling pokok dalam sistem agraria di suatu negara maupun di suatu kelompok mayarakat. Terdapat lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme dan ekonomi islam (Achyar, 2005). Kapitalisme adalah bentuk penguasaan tanpa batas berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah yang menggunakannya dengan sesuka hati serta bertujuan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan sistem kepemilikan tanah di negara sosialis mengalihkan hampir seluruh kepemilikan pribadi menjadi milik negara. Komunisme adalah bentuk paling ekstrem dari sosialisme. Sementara dalam fasisme, asosiasi-asosiasi yang mencakup seluruh industri atau sindikat pekerja mengoperasikan kegiatan produksi, pemerintah melakukan pengendalian, sedangkan kekayaan dimiliki swasta. Dalam ekonomi islam pendiistribusian sumber-sumber daya berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Tulisan ini akan mengkaji bentuk kepemilikan dari kearifan hukum aday yang tampak nya memiliki banyak kemiripan dengan penguasaan tanah dalam ekonomi islam. Lebih mengutamakan fungsi sosial dari tanah dan memandang bahwa tanah tidak dimiliki secara mutlak. Dengan pandangan yang demikian maka kesejahteraan petani akan lebih seimbang. Bentuk hukum penguasaan tanah di masyarakat adat secara umum disebut sebagi hak ulayat. Namun pada setiap etnik tentunya memiliki istilah masing-masing. Di suku Minangkabau tanah ulayat dibagi menjadi tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan 20 tanah ulayat kaum. Tanah ulayat nagari adalah tanah yang didalamnya terdapat hak penduduk satuan “nagari”, pengelolaan dan pendistribusanya diserahkan pada penghulu nagari yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN). Tanah ulayat suku adalah tanah yang dikuasai dan sikeloa oleh suatu suku secara turun temurun, pengaturannya dikuasai oleh penghulu suku tersebut. Tanah ulayat kaum penggunaannya terbagi dalam keluargakeluarga separuik yang lingkupnya lebih kecil. Di suku Dayak mengenal (Jamal et all, 2001) kepemilikan “seko menyeko” atau kepemilikan perseorangan, kepemilikan parene’ant yaitu tanah warisan yang beserta isinya menjadi milik beberapa keluarga dalam satu garis keturuna, kepemilikan saradangan adalah kepemilikan oleh suatu kampung, kepemilikan binua dimiliki oleh beberapa kampung satuan wilayah adat ketemanggungan. Tanah komunal selain yang dikuasai oleh pribadi, dikenal juga di Bali sebagai “tanah duwe” yang merupakan milik “desa pakraman” atau desa adat di Bali. Selain itu ada “tanah pelaba pura” yaitu tanah untuk membiayai tempat suci pura (Sedjati et al, 2002) selain itu di Papua tanah dianggap sebagai “ibu kandung” yang memberi kehidupan kepada anak-anaknya. (Anonimous 2006) Sedangkan hak ulayat menurut hukum menurut Rizal 2003, disebut juga dengan hak Persekutuan yang dipertahankan oleh sekelompok masyarakat adat yang bertempat tinggal disana. Pengertian “ulayat di Minangkabau lebih kuat ke arah pengertian sebgaai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwwariskan turun temurun yang haknya berada pada perempuan namun sebagai pemegang hak atas tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaannya secara umum untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat. Karakteristik hak penguasaan tanah menurut hukum adat ada empat, yaitu 1) tanah tidak dapat dikuasai secara mutlak. 2) penguasaan tanah bersifat inklusif. 3) tanah tidak boleh diperjual belikan. 4) manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai daripada tanah. Keempat karakteristik atau ciri tersebut berkaitan dengan sistem ekonomi Islam. Misalnya dalam Al-Qur’an isebutkan : “Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah” (Al-Quran Surah An-Najm: 31). Selain itu pada ciri ke empat kaitannya dnegan ekonomi islam adalah bahwa tidak ada sesuatu yang boleh diperoleh gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Allah juga membenci sumberdaya yang diterlantarkan dan juga orang pemalas. Orang yang bekerja kesar untuk hidup, di mata Islam sama saja naiknya dengan berjihad di jalan Allah. Penguasaan tanah menurut hukum negara di Indonesia pada zaman Belanda terbagi dua, yaitu tanah domein negara yang bebas dan tidak bebas. Tanah domein negara yang bebas adalah taah-tananh yang dikuasai langsung oleh pemeitah Belanda seperti pelabuhan, pasar dll. sedangkan tanah domein negara yang tidak bebas adalah tanah adat. Jadi tanah negara adalah tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh seseorang. Sedangkan tanah yang dikuasai rakyat pribumi adalah tanah yang tidak pernah mendapat hak eigendom. Penguasaan tanah berdasarkan hukum di Indonesia, masih ada intervensi pemerintah dalam pengaturannya tidak seperti hukum barat yang membebaskan tanah dimiliki seseorang. Sebab jika bebas maka akan terjadi akumulasi tanah tanpa batas dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah. Sehingga negara berwenang membatasi individu atau baan hukum dalam menguasai tanah dala jumlah besar, sehingga lahirlah peraturan land reform (UU No. 56 tahun 1960), misalnya orang tidak boleh punya tanah lebih dari lima hektar(di Jawa) atau tanah absentee. Penguasaan tanah menurut UUPA juga tidka terlepas dari negara Indonesia namun, pada pelaksanaannya tidak berjalan seluruhnya. Kesimpulannya terdapat kesejajaran antara hukum adat dengan hukum Islam sementara adanya UUPA yang berusaha menjembatani penguasaan kapitalis dan hukum 21 adat tidak terimplementasikan sehingga negara Indonesia cenderung mengadopsi sistem kapitalis. Indonesia cenderung terus meninggalkan hukum adat dan Islam yang sebenarnya lebih mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan dengan manganut 4 ciri penguasaan tanah menurut hukum adat di Indonesia, yaitu . 1) tanah tidak dapat dikuasai secara mutlak. 2) penguasaan tanah bersifat inklusif. 3) tanah tidak boleh diperjual belikan. 4) manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai dari pada tanah. Analisis : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimen. Variabel yanng digunakan adalah niai-nilai kearifan dan penguasaan tanah menurut hukum adat. Pembahasan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk deskripsi yang mengacu pada data-data sekunder. Penguasaan lahan dengan hukum adat dapat disimpulkan sejajar dengan hukum Islam. Hal tersebut dapat terjadi karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah Agama Islam. Ditambah lagi dengan sejarah agama Islam yang masuk ke Indonesia pada zaman dahulu yang mungkin mendasari hukum-hukum adat di Indonesia yang dibangun oleh masyarakat adat itu sendiri. 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Land Tenure in Jordan : 2010 : Journal : Electronic : Husam Jamil Maddanat : : Aman dan Department of Lands and Survey (DLS) : Land Tenure Journal : No. 1 (2010) : http://www.fao.org/nr/tenure/land-tenure journal/index.php/LTJ/article/view/12/6 : 12 April 2015 Wilayah Jordania yang modern saat ini menjadi sepi untuk beberapa waktu pada pemerintahan Usmani. Hal tersebut membuat lahan di Yordan banyak yang menjadi lahan Miri. Lahan miri adalah lahan yang tidak ada pemiliknya dan diakui sebagai milik negara. Hal tersebut juga di dukung oleh keputusan kekaisaran pada waktu itu yang menyatakan bahwa tanah Kharajia yang pemiliknya tewas bertahun-tahun lalu, tanah tersebut menjaddi tanah miri. (tanah kharajia kata sifat dari kharaj, yang menggambarkan jenis tanah yang dari tanah itu dikumpulkan pajak hasil tani (kharaj)). Pengklaiman tanah tersebut berdasarkan peraturan tanah usmani yang pada penerapannya masih mengalami korupsi, birokrasi dan sentralisasi. Misalnya saja dalam pembuatan akta tanah yang harus dikeluarkan secara resmi dari Ibu Kota, Istanbul. Dari keadaan tersebut Jordan membuat kelembagaan yang berurusan dengan pendaftaran tanah pada tahun 1857 ketika pemerintahan Usmani membuat Tapu atau kantor pendaftaran tanah. Disamping itu terdapat juga buku Tapu, yaitu dokumen yang berisi tentang informasi tanah seperti nilai sewa, pemilik, pemanfaat dll. Departement of Lands and Survey (DLS) muncul pertama kalinya pada 30 September 1929 setelah disatukannya Departments of Surveying, Treasury Land and Land Registration dan mulai memproduksi peta kadaster. Pada tahun 1975 Royal Jordanian Geographic Centre (RJGC) kemudian mengambil tanggung jawab untuk pembuatan kadaster tersebut. 22 DLS saat ini mengurusi tiga hal utama yaitu kadaster survei, pendaftaran kepemilikan tanah, dan pengelolaan perbendaharaan tanah. Seluruh transaksi tanah harus dengan persetujuan DLS. Namun, ada beberapa daerah khusus seperti Jordan Valley Authority (JVA) yang telah bertahun-tahun mengelola berbagai aspek ekonomi dan sosial di lembah jordan termasuk yang menyangkut tanah. DLS juga mengeluarkan peraturanperaturan dengan tujuan melestarikan lahan pertanian dan menentukan luas minimum kepemilikan lahan. Pengelolaan lahan di Jordania telah kokoh berkat peran kedua dirjen Inggris dari DLS. Undang-Undang sampai saat ini masih terus dikembangkan sesuai dengan perubahan kondisi. Namun, masih juga terdapat sisi negatif dari prosedural yang berakar dari Peraturan Tanah Usmani yang harus di perbaiki. Disamping itu keadaan demografi Jordan yang terjadi adalah depopulasi penduduk Jordan asli dan selama rezim Usmani dapat membantu Jordan menyerap imigran. Imigran yang ada dapat memiliki lahan untuk bangunan maupun pertanian namun ada keengganan dari mereka untuk mendaftarkan tanah nya karena tidak mau membayar pajak tahunan. Begitupun saat era Usmani berlangsung. Keadaan perekonomian yang tidak menentu menjadikan harga jual tanah menjadi tinggi sehingga banyak warga Jordan yang menjual tanah nya sehingga berimplikasi pada hasil pertanian yang menurun seperti gandum. Selain itu kondisi ekologis Jordan juga menurun seperti kekeringan dll. terdapat juga lahan cadangan untuk penggembalaan yang didirikan untuk menyelaatkan sebagian kecil dari hutan dan padang rumput Jordania dari tren ‘penggurunan kota’. Untuk menghentikan degradasi lahan yang terjadi di Jordania, perlu disediakannya supply makanan untuk generasi mendatang dengan tidak dilakukannya proyek pembangunan diseluruh wilayah barat termasuk Aman yang juga banyak terjadi kemacetan.peraturan pertanahan yang ada juga harus dibuat transparan, layanan lebih cepat, pajak lebih rendah sehingga korupsi semakin berkurang. Terdapat juga keraguan tentang keadilan dan perpajakan dan biaya transaksi tanah yang berbeda sudah tersebuar luas. Analisis : Berdasarkan jurnal tersebut dapat kita ketahui bahwa penguasaan tanah di Jordanian berakar dari pemerintahan Usmani. Disamping itu, peran kelembagaan dalam masalah pertanahan di suatu negara sangat penting dan diperlukan, terutama dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada. Peraturan-peraturan tanah di Jordania di terapkan tidak dengan transparan sehingga membuat masyarakat yang memiliki tanah tidak mau mendaftarkan tanah nya karena mahalnya pajak tahunan selain itu terdapat pula perbedaan biaya transaksi tanah yang membuat masyarakat ragu akan keadilan tentang pertanahan di negara nya sendiri. begitu juga dalam hal pembuatan akta tanah sebaiknya tidak diperumit agar tidak menyusahkan pemilik tanah. 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Kota dan Nama Penerbit : Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia : 2013 : Jurnal : Elektronik : Noortje M. Benu, Maryunani, Sugiyanto, dan Paulus Kindangen : : - 23 Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Asian Transactions on Basic and Applied Sciences : Vol 03 (02) : 65-726 : www.asiantransactions.org/Journals/ Vols03Issue02/ATBS/ATBAS-40329021.pdf : 14 April 2015 Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya peranan lahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tekanan penduduk dan pembangunan menyebabkan adanya konversi lahan yaitu pengalihfungsian lahan dari pertanian ke non-pertanian yang juga akan menyebabkan penurunan carrying capacity dari lahan pertanian sebagai penyedia pangan. Jika terus berlanjut maka akan berdampak pada ketidak seimbangan antara ketersediaan pangan dan penduduk yang membutuhkan pangan. Tomohon sebagai salah satu wilayah yang banyak mengalami pembangunan melalui konversi lahan karena letaknya yang berada diantara Manado dan Minahasa. Tomohon dianggap sebagai wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi area yang bernilai ekonomi tinggi. Penelitian ini berfokus pada bagaimana mengembangkan strategi dalam menangani konversi lahan yang terjadi di Tomohon. Studi ini juga diarahkan untuk menguji faktor dominan yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon dan meninjau ulang stratergi pengembangan yang dapat menyingkirkan konversi lahan di Tomohon. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori yang dilakukan di Tomohon sejak bulan April dampai Oktober 2011. Pemilihan responden menggunakan teknik sampling random proposional. Responden pada penelitian ini berjumlah 100 orang yang berasal dari Tomohon Utara, selatan, barat, timur dan tengah, masing masing responden berjumlah 20 orang. Responden merupakan petani yang melakukan konversi lahan. Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif. Analisis faktor untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi konversi lahan. Analisis Proses Hierarki (AHP) digunakan untuk menentukan prioritas beragam alternatif strategi dalam konversi lahan. Sementara itu analisis kualitatf deskriptif digunakan untuk menguraikan proses konversi dan pengaruhnya (diuraikan dengan verbal). Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat 3 faktor yang masing-masing terdiri dari 3 sub variabel, hasilnya seluruh varabel tersebut berkorelasi koefisien positif yang mempengaruhi konversi lahan. Faktor tersebut terdiri dari 1) faktor ekonomi (tingkat pendapatan petani, harga lahan, aktivitas ekonomi), 2) Lansekap (aksesibilitas tanah, kepemilikan infrastruktur atau yang berdekatan dengan tanah, tingkat permintaan tanah), 3) Pertanian (tingkat fertilitas tanah, tingkat pendapatan petani, tingkat produktivitas tanah). Selain itu, hasil strategi pencegahan konversi lahan di Tomohon menunjukan bahwa AHP menemukan beberapa kriteria untuk membuat keputusan, perencanaan, prediksi dan alokasi sumberdaya. Terdapat dua tipe hierarki, yaitu struktural dan fungsional hierarki. Hasilnya menunjukan bahwa prioritas yang utama adalah keamanan pangan. Ini berarti publik percaya bahwa konversi lahan di Tomohon akan sangat berpengaruh kepada kemanan pangan. Sedangkan jika dilihat dari sub variabel masing masing aspek, pada aspek ekonomi prioritas yang utama adalah tingkat pendapatan petani yang paling berpengaruh sebab petani yang penghasilan nya tidak terlalu tinggi lebih memilih menjual lahan dan bekerja diluar sektor pertanian. Jika dilihat dari aspek lansekap, prioritas yang utama adalah kepemilikan infrastruktur atau kedekatan infrastruktur dengan lahan tersebut. konversi lahan ynag terlalu berlebihan akan berdampak pada kenyamanan lingkungan misalnya ketersediaan pangan, air bersih, sanitasi dll. sedangkan dilihat dari aspek ketahanan pangan yang paling dominan adalah diversifikasi pangan. Pembangunan yang membutuhkan lahan lebih luas akan menekan 24 produktivitas lahan tersebut. Sehingga dari pendapat para ahli, alternatif strategi pembangunan di Tomohon yang paling cocok adalah Strategi pengembangan Ecotourism agar lahan pertanian tetap terjaga. Analisis : Penelitian ini telah menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah disebutkan di awal. Penelitian ini juga tidak hanya melibatkan responden saja tetapi juga melibatkan 15 orang ahli yang memberi masukan tentang strategi pengembangan untuk Tomohon. Namun, terdapat kekeliruan pada pembahasan di bagian faktor ketiga yang mempengaruhi konversi lahan yaitu ketahanan pangan. Kekeliruan tersebut terdapat di tabel II dan penjelasannya yg tidak sinkron. Dalam tabel II prioritas paling utama adalah tingkat kesuburan tanah dengan nilai 0,759 sedangkan dalam penjelasannya tingkat kesuburan tanah memperoleh nilai 0,730. Disamping itu, penelitian ini telah memberi masukan tentang faktor apa saja yang mendorong pelaksanaan konversi lahan di Tomohon serta berkontribusi dalam memberikan sumbangan ide tentang strategi pembangunan yang paling cocok untuk Tomohon yaitu Strategi Pengembangan Ecotourism. 25 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Konsep Agraria Istilah agraria banyak diartikan hanya sebatas hal-hal yang berada di atas permukaan bumi. Padahal agraria itu sendiri memiliki arti yang cukup luas. Menurut Luthfi, 2011 “...Agraria bukan saja menyangkut tanah, namun apa yang ada dibawah dan diatasnya. Apa yang tumbuh di atasnya dapat berupa tanaman pertanian, perkebunan dan perhutanan, lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi di bawahnya adalah air dan berbagai bahan tambang dan mineralnya.” Hal tersebut dipertegas oleh UndangUndang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pasal 1 ayat 2, Agraria diartikan sebagai “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa...” seluruh bumi yang dimaksud juga tertera dalam UUPA pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.” Salah satunya adalah pertanian, pertanian merupakan bagian dari konsep agraria yang berada di atas permukaan tanah. Menurut Luthfi et. al 2010, “Agraria mulamula adalah tanah. Di atas tanah itu terdapat tetumbuhan, sehingga kita menyebutnya pertanian atau kehutanan...”. berdasarkan hal tersebut maka pertanian merupakan bagian dari Agraria. Berbicara soal pertanian, pasti erat kaitannya dengan tanah yang merupakan faktor produksi pertanian yang paling utama. Menurut Bakri, 2011 tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia, bukan saja karena fungsinya sebagai faktor produksi pertanian yang menghasilkan berbagai macam bahan pangan, lebih-lebih di Negara agraris seperti di Indonesia, tetapi juga karena fungsi sosialbudayanya. Sebab, berdasarkan luas pemilikan/penguasaan lahan tersebut akan mempengaruhi stastus sosial masyarakat setempat. Menurut Bakri, 2011 berdasarkan pasal 4 ayat 2 UUPA pengertian hak atas tanah adalah: pertama, hak yang bersangkutan. Pengertian tanah menurut UUPA (pasal 4 ayat 1) adalah, permukaan bumi, tidak termasuk lapisan bumi dibawahnya yang disebut tubuh bumi. Oleh karena itu, yang dapat digunakan dan dihaki oleh pemegang hak hanyalah terbatas pada permukaan bumi tidak termasuk tubuh bumi. Wewenang untuk menggunakan tanah sekaligus juga berisi wewenang untuk menguasai tanahnya sebab, tanpa penguasaan seseorang tidak dapat mengguanakan tanahnya. Berdasarkan hal tersebut, kita dapat melihat bahwa tanah memiliki kaitan yang erat dengan hak untuk menguasai serta penting bagi petani untuk memiliki hak atau wewenang tersebut agar ia bisa melakukan kegiatan di atas sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Krisis Lahan Pertanian Lahan merupakan faktor produksi utama yang digunakan dalam kegiatan pertanian di Indonesia. Lahan memberikan manfaat yang beragam bagi para petani yang yang memanfaatkannya. seperti yang dikemukakan oleh Irawan, 2005 “secara garis besar manfaat lahan pertanian dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : pertama, use values atau nilai penggunaan yang dapat pula disebut sebgaai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usaha tani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian. kedua, non-use values yang dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan....salah satu contohnya adalah terpeliharanya keragaman biologis atau keberadaan spesies tertentu...” oleh karena itu kelestarian dan ketersediaan lahan pertanian harus dijaga agar generasi mendatang masih bisa merasakan manfaat dari lahan tersebut. 26 Di sisi lain pembangunan negara Indonesia sedang berlangsung, sehingga kondisi negara Indonesia berada pada masa transisi dari negara agraris ke industrialis. Indutrialis berasal dari kata industri yang menurut kamus besar bahasa Indonesia industri adalah kegiatan memproses atau mengolah barang dengan mengguankan sarana dan peralatan, misalnya mesin. Industri juga bisa dalam berbagai bentuk misalnya saja indutri pangan, perumahan, jasa, wisata, pariwisata dll. Pembangunan negara Indonesia menjadi negara Industri juga bersamaan dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang menuntut ketersediaan lahan yang luas sehingga menimbulkan fenomena pengalihfungsian lahan. Pengalihfungsian lahan pertanian menjadi non pertanian disebut sebagai konversi lahan. Menurut Irawan, 2005 dalam Dwipradyana, 2014 “Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri dan seterusnya." Berdasarkan hasil sensus pertanian 2003 dalam Irawan, 2005 “...sumber permasalahan konversi lahan sawah di pulau Jawa berbeda dengan di luar Jawa. Konversi lahan sawah di pulau Jawa terutama didorong oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertambahan jumlah penduduk yang tinggi.” Hal tersebut akan mengancam ketersediaan lahan pertanian yang menjadi tempat bergantung para petani. Luasnya lahan konversi lahan menyebabkan minimnya ketersediaan lahan pertanian yang memberikan berbagai macam manfaat. Menurut Irawan, 2005 “Sumberdaya lahan pertanian memberikan manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial dan lingkunga. Oleh karena itu hilangnya lahan pertanian akibat dikonversi ke penggunaan nonpertanian akan menimbulkan dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan.” Salah satu dampak negatif yang diberikan oleh konversi lahan adalah krisis lahan pertanian yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Lah...2011 “Indonesia saat ini mengalami krisis lahan pangan. Hal ini akibat alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, serta alih fungsi lahan dari yang semula ditanami padi ke nonpangan.” Dengan menyempitnya lahan pertanian tersebut akan merubah pola penguasaan lahan diantara para petani. Petani dan Pola Penguasaan Tanah Definisi petani seringkali diartikan dengan singkat. Menurut Syahyuti, 2013 “Pengertian tentang ‘petani’ di Indonesia cenderung umum dan dangkal. Petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya berasal dari sektor pertanian”. Petani dalam kehidupan sehari-harinya pasti berhubungan dengan lahan pertanian yang mereka gunakan untuk memproduksi hasil pertanian yang nantinya akan mereka jual ataupun mereka gunakan demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lain halnya dengan yang dikaji dalam tulisan “ Batasan Definisi Petani (Peasant)” yang ditulis oleh Sjaf, 2010 menyatakan bahwa untuk membedakan pendefinisian antara peasant dan petani farmer berdasarkan batasannya dengan kota secara sosial-ekonomi-politik-budaya dapat dilihat dari sifat usaha pertanian mereka. Sifat usaha pertanian peasant berupa pengolahan lahan/tanah dengan bantuan keluarga sendiri untuk menghasilkan bahan makanan bagi keperluan hidup sehari-hari keluarga petani tersebut (cara hidup subsistensi). Sedangkan petani farmer sebaliknya, dimana pengolahan lahan pertanian dengan bantuan tenaga buruh tani, dan mereka menjalankan produksi dalam rangka untuk mencari keuntungan yang mana hasil produksi pertanian mereka dijual ke pasar untuk memperoleh uang kontan. Dalam melakukan kegiatan pertanian di atas sebidang tanah, seorang petani harus memiliki hak untuk menguasai tanah tersebut sehingga mereka dapat melakukan kegiatan 27 pertanian di atas sebidang tanah tersebut. Menurut Ningtyas dan Dharmawan, 2010 “tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak”. Pola penguasaan lahan terbagi menjadi dua macam yaitu milik dan bukan milik seperti yang dikemukakan oleh Winarso, 2012 ia menyebutkan bahwa ada beberapa pola penguasaan tanah, “Bentuk-bentuk penguasaan tanah secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok besar yaitu: (1) Milik, dan (2) Bukan milik, bukan milik terdiri atas sewa, bagi hasil, gadai numpang dan lainnya.”. Sedangkan lebih rinci lagi hak – hak atas tanah telah disebutkan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 yaitu “hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lainnya..“. Menurut Winarso, 2012 “Pemilikan maupun penguasaan lahan merupakan faktor penting bagi penduduk di pedesaan yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian.” Bagi petani yang memiliki tanah sendiri tentunya akan mudah bagi mereka untuk melakukan kegiatan usaha tani. Lain halnya dengan petani yang tidak memiliki tanah atau petani tuna kisma, dengan adanya hak penguasaan tanah tersebut petani tuna kisma dapat tetap melakukan kegiatan usaha tani di atas sebidang tanah. Perubahan kepemilikan ataupun penguasaan lahan disebabkan oleh beberapa hal, menurut Winarso, 2012 “Proses tersebut dapat saja terjadi karena adanya transaksi jual beli, transaksi pembagian waris, hibah atau transaksi lainnya seperti bagi hasil, sewa, gadai atau numpang.” Lebih jauh lagi Winarso, 2012 mengemukakan bahwa : “Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh: (a) Adanya transaksi jual beli lahan, sehingga seseorang dapat bertambah atau berkurang kepemilikan lahannya disebabkan adanya hal tersebut. (b) Proses pembagian warisan atau pembagian hibah, yang menyebabkan seseorang juga dapat bertambah atau berkurang lahan yang dimiliki sebagai akibat proses tersebut. (c) perubahan status sawah menjadi non sawah atau sebaliknya sebagai akibat hilang/munculnya sarana irigasi atau sebab lain seperti adanya perubahan komoditas yang dibudidayakan dari tanaman musiman menjadi tanaman perkebunan. (d) Karena adanya penggunaan di luar kegiatan pertanian, artinya lahan yang semula sebagai lahan pertanian berubah menjadi lahan penggunaan lain, seperti bangunan rumah, infrastruktur dan kegunaan lainnya sebagai kebijakan pemerintah, maupun pribadi pemiliknya.” Kutipan diatas menjelaskan lebih jauh bahwa perubahan penguasaan lahan salah satunya disebabkan oleh konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Tidak hanya itu saja, perubahan pola penguasaan lahan juga berkaitan dengan perubahan struktur penguasaan lahan yang timpang akibat luasnya kepemilikan tanah absentee, menurut Sintaningrum, 2008 ”Pertimbangan lain adalah tingginya penguasaan tanah absentee. Di daerah Kawedanaan Indramayu misalnya, tercatat dari 20.488 pemilik sawah, ternyata 6.010 orang adalah pemilik di luar desa (absentee).” Dapat dikatakan bahwa kepemilikan lahan yang pemiliknya berasal dari luar desa (absentee) mempengaruhi ketimpangan struktur penguasaan lahan. Ketimpangan struktur penguasaan tanah juga terlihat dari proporsi pemberian hak menguasai tanah yang telah terdaftar. Hasil penelitian pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dari berbagai hak atas tanah yang diberikan Badan Pertanahan Nasional terhadap pemohon, yang terdiri dari hak pengelolaan, hak pakai, hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan yang masih berupa tanah negara, maka luas tanah yang di atasnya melekat Hak Guna Usaha menempati urutan pertama dalam keluasan tanahnya, yaitu sebanyak 1364 bidang dengan luas 577.170.607, 62 Ha. Sementara tanah 28 hak milik hanya sebanyak 1.777.819,00 bidang dengan luas 17.692.978,82 Ha. (Sintaningrum, dkk, 2004). Kesejahteraan Petani dan Pengaruh Perubahan Pola Penguasaan Tahan Kesejahteraan merupakan kondisi kehidupan seseorang atau suatu rumah tangga yang dikatakan baik atau dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Kesejahteraan biasanya bersifat relatif yang berarti setiap orang atau setiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana seseorang atau suatu rumah tangga dikatakan sejahtera. Kesejahteraan petani juga biasanya digunakan untuk melihat kualitas kehidupan petani di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu dengan menggunakan beberapa indikator. Namun, secara umum Badan Pusat Statistik telah mempublikasikan indikator-indikator yang dapat mengukur kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menurut BPS, 2014 Indikator-indikator tersebut antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta kemiskinan. Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat juga dapat dilihat melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga maupun pendapatan rumah tangga. Pendekatan pengeluaran rumahtangga menurut Dwipadyana, 2014 adalah Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah ratarata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun. Sedangkan jika menggunakan pendekatan pendapatan Dwipadyana, 2014 juga menyatakan bahwa Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga juga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Semakin besar pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan juga akan meningkat maka tingkat kesejahteraan juga akan menigkat. Struktur Penguasaan lahan yang timpang akan mempengaruhi kesejahteraan petani. Hal tersebut dapat dilihat dalam hasil penelitian Sintaningrum, 2008 yang menunjukan bahwa “semakin baik struktur penguasaan tanah maka semakin baik pula kesejahteraan petani.” Struktur penguasaan tanah tersebut pada awalnya dipengaruhi oleh konten dan konteks implementasi kebijakan pertanahan di kabupaten Garut dan Subang. Semakin baik konten dan konteks kebijakan pertanahan maka akan semakin baik struktur penguasaan tanah yang juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan petani setempat. Sebab salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah pendapatannya dari pertanian dan nonpertanian. Menurut Dwipradyana, 2014 Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga juga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Semakin besar pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan juga akan meningkat maka tingkat kesejahteraan juga akan meningkat. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Yunilisiah, 1996 yang menunjukan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai oleh petani maka akan semakin tinggi pendapatannya. “tingkat pendapatan petani luas jauh lebih besar dari pada petani sempit. Rata-rata pendapatan perkapita petani luas dua kali lebih tinggi dari pada pendapatan perkapita petani sempit. Bagi petani luas dan petani sempit usahatani merupakan sumber utama pendapatan rumah tangga..” hal tersebut menunjukan bahwa struktur penguasaan lahan sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani. 29 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa lahan sebagai faktor poduksi utama petani telah memberikan banyak manfaat secara luas. Namun, perkembangan industri yang terjadi di negara Indonesia terjadi dengan pesat sehingga menuntut dilaksanakannya pembangunan dalam berbagai bidang. Pembangunan tersebut tentunya menuntut ketersediaan lahan yang luas untuk dibangun berbagai fasilitas yang menunjang kebutuhan masyarakat di negara Indonesia. Pengalihfungsian lahan pertanian ke nonpertanian tersebut disebut sebagai konversi lahan. Di tambah lagi, peningkatan jumlah penduduk yang tinggi juga meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia yaitu perumahan. Menurut Irawan, 2005 dalam Dwipradnyana, 2014 “Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri dan seterusnya." Dapat dikatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan adalah pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk terutama di pulau Jawa. Hal tersebut sesuai dengan data sensus pertanian 2003 dalam Irawan, 2005 yang menyatakan bahwa “...sumber permasalahan konversi lahan sawah di pulau Jawa berbeda dengan di luar Jawa. Konversi lahan sawah di pulau Jawa terutama didorong oleh kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan yang dapat dirangsang oleh pertambahan jumlah penduduk yang tinggi.” Hal tersebut terjadi karena pulau Jawa notaben nya adalah pulau dimana pusat perekonomian, politik dan pembangunan negara Indonesia berpusat di dalamnya. Konversi lahan memiliki dampak negatif terhadap ketersediaan lahan pertanian sebagai penghasil pangan. Salah satu dampak negatif yang diakibatkan oleh konversi lahan adalah krisis lahan pertanian yang terjadi di Indonesia sebagaimana yang tertera dalam Lah...2011 “Indonesia saat ini mengalami krisis lahan pangan. Hal ini akibat alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, serta alih fungsi lahan dari yang semula ditanami padi ke nonpangan.” Ketersediaan lahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan perubahan pola penguasaan lahan pertanian. pola penguasaan lahan pertanian ada dua macam yaitu milik dan non milik. Petani yang tadinya memiliki sendiri lahan pertanian bisa saja menjual lahan pertaniannya akibat kebutuhan ekonomi yang mendesak. Penelitian Nilam Sari, 2005 di Condet, DKI Jakarta menunjukan bahwa Perubahan penguasaan dan penggunaan lahan tersebut disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal nya adalah makna lahan, status sosial ekonomi dan nilai-nilai sosial budaya. Sedangkan faktor eksternal nya adalah perkembangan fisik kota dan aspek kebijakan pemerintah. Sementara itu perubahan penguasaan lahan dapat terjadi ke arah peningkatan penguasaan lahan non milik. Menurut Winarso, 2012 semakin meningkatnya penguasaan lahan non milik baik sewa, sakap maupun pola lainnya, mengindikasikan bahwa pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada pihak penggarap menjadi semakin intens. Ada beberapa sebab yang bisa muncul diantaranya (a) semakin terbatasnya ketersediaan tenaga bidang pertanian. Hal yang demikian sebenarnya bisa diatasi secara mekanis, namun tidak semua aktivitas budidaya tanaman pangan maupun tanaman lainnya bisa diatasi secara mekanis dalam pengelolaannya. (b) Rendahnya daya saing sektor pertanian dengan sektor di luar pertanian. Dalam kegiatan sehari-hari terutama untuk menambah penghasilan, sebagian 30 masyarakat cenderung memilih alternatif lain di luar sektor pertanian jika ada kesempatan yang lebih baik. (c) Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh sebagian besar petani. Sehingga bagi petani yang berlahan sempit dalam mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, maka perluasan penguasaan lahan perlu dilakukan, baik dengan cara menyewa, menggarap, menggadai maupun dengan cara numpang. Sementara itu, perubahan penguasaan lahan yang terjadi dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Kesejahteraan petani dapat kita ukur menggunakan beberapa indikator. Menurut Sintianingrum, 2008 menyatakan bahwa Tingginya pengaruh dari variabel lain terhadap kesejahteraan petani tentunya wajar karena tingkat kesejahteraan petani merupakan kondisi yang akan ditentukan oleh banyak variabel yang berperan, baik variabel internal ataupun eskternal. Variabel internal semisal banyaknya jumlah anggota keluarga, banyaknya sawah yang dimiliki, sedangkan faktor eksternal seperti mahalnya barangbarang kebutuhan pokok dan lain-lain. Sedangkan BPS, 2014 menyatakan secara nasional bahwa terdapat beberapa indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan yaitu kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta kemiskinan. Disamping itu, kesejahteraan juga dapat diukur dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan rumah tangga petani. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Dwipadyana, 2014 Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menurun sehingga tingkat kesejahteraan juga akan menurun. Sedangkan jika menggunakan pendekatan pendapatan Dwipadyana, 2014 juga menyatakan bahwa Tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga juga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Semakin besar pendapatan seseorang maka kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan juga akan meningkat maka tingkat kesejahteraan juga akan menigkat. Hal tersebut didukung oleh Wiradi dan Makali, 1984 dalam Winarso, 2012 bahwa hubungan antara besarnya pendapatan hasil usaha tani dengan tingkat penguasaan lahan menunjukkan distribusi pendapatan yang dikaitkan dengan strata luas pemilikan tanah, semakin besar luas tanah milik semakin besar pula pendapatan rata-rata rumah tangga. Dengan demikian, rumah tangga yang memiliki tanah luaslah yang mempunyai jangkauan lebih besar ke sumber non-pertanian. namun, lain halnya dengan hasil penelitian dari yang bertentanganan dengan teori tersebut Hasil perubahan penguasaan dan penggunaan lahan tersebut ternyata mempengaruhi adanya perubahan pola usaha tani yang tadinya disektor pertanian menjadi sektor non pertanian. akan tetapi jika perubahan pola usaha rumah tangga tersebut dihubungkan dengan pendapatan rumah tangga tidak meningkatkan pendapatan karena pekerjaan non pertanian tersebut berada di strata bawah yang sifatnya subsisten. Dari hasil tersebut dapat kita analisis bahwa tidak adanya peningkatan pendapatan dari pekerjaan non pertanian yang subsisten tersebut disebabkan oleh kurangnya keterampilan khusus dari subjek penellitian untuk menghadapi kegiatan usaha diluar sektor pertanian tersebut. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perlunya keterampilan khusus untuk petani agar petani bisa meningkatkan pendapatannya meskipun terjadi perubahan pola penguasaan lahan. 31 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Analisis Baru Berdasarkan rangkuman penelitian, analisis dan rangkuman dan pembahasan serta kesimpulan yang dibuat, maka muncullah pertanyaan analisis baru yang akan dijadikan dasar penelitian selanjutnya, pertanyaan tersebut diantaranya: 1. Bagaimana perubahan pola penguasaan lahan terjadi dan apa saja faktor yang mendorong perubahan tersebut ? 2. Bentuk - bentuk perubahan apa saja yang menyertai pola penguasaan lahan yang terjadi ? 3. Implikasi apa yang terjadi menyusul perubahan pola penguasaan lahan terhadap kesejahteraan petani ? Usulan Kerangka Analisis Baru Konversi lahan terjadi tanpa bisa dipungkiri akibat pengaruh dari berbagai faktor. Salahsatunya adalah tingginya tingkat pertumbuhan penduduk sehingga menyebabkan permintaan lahan untu dibangun perumahan semakin tinggi. Pengalihfungsian lahan dari pertanian ke nonpertanian tersebut memberikan dampak negatif untuk kita yaitu berubahnya pola penguasaan lahan yang di pengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut adalah (a) Adanya transaksi jual beli lahan, sehingga seseorang dapat bertambah atau berkurang kepemilikan lahannya disebabkan adanya hal tersebut. (b) Proses pembagian warisan atau pembagian hibah, yang menyebabkan seseorang juga dapat bertambah atau berkurang lahan yang dimiliki sebagai akibat proses tersebut. (c) perubahan status sawah menjadi non sawah atau sebaliknya sebagai akibat hilang/munculnya sarana irigasi atau sebab lain seperti adanya perubahan komoditas yang dibudidayakan dari tanaman musiman menjadi tanaman perkebunan. (d) Karena adanya penggunaan di luar kegiatan pertanian, artinya lahan yang semula sebagai lahan pertanian berubah menjadi lahan penggunaan lain, seperti bangunan rumah, infrastruktur dan kegunaan lainnya sebagai kebijakan pemerintah, maupun pribadi pemiliknya.” Berdasarkan pola penguasaan lahan tersebut maka akan mempengaruhi kesejahteraan petani secara langsung maupun tidak langsung. Kesejahteraan itu sendiri dapat diukur menggunakan indikator kesejahteraan dari BPS tahun 2014. Indikator tersebut adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta kemiskinan. 32 Konversi lahan Krisis Lahan Perubahan Pola penguasaan lahan 1. Milik 2. Non Milik, terdiri dari : - Gadai - Sewa - Bagi hasil Faktor yang mendorong : - Kesejahteraan petani - Tingkat Kependudukan Tingkat Kesehatan dan gizi Tingkat Pendidikan Tingkat Ketenagakerjaan Tingkat Taraf dan pola konsumsi Tingkat Perumahan dan lingkungan Tingkat Kemiskinan Tingkat Sosial lainnya Gambar 1. Kerangka Analisis Keterangan : : Fokus penelitian : hubungan sebab : hubungan pengaruh Jual beli tanah Sistem warisan atau hibah Perubahan status sawah menjadi non sawah Perubahan penggunaan pertanian ke nonpertanian 33 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Indikator Kesejahteraan Masyarakat. [Internet]. [diunduh tanggal 27 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://bps.go.id/index. php/publikasi/downloadFile/883 [UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Presiden Republik Indonesia. [Internet]. [diunduh tanggal 13 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://dkn.or.id/wpcontent/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentangPokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf Bakri M. 2011. Hak Menguasai Tanah oleh Negara (Paradigma baru untuk reforma agraria). Malang[ID] : Universitas Brawijaya Press. Benu NM, Mayunani, Sugiyanto, Paulus K. 2013. Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia. Asian Transactions on Basic and Applied Sciences. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 14 April 2015]. Dapat diunduh dari : www.asiantransactions.org/Journals/ Vols03Issue02/ATBS/ATBAS-40329021.pdf Darwis V. 2008. Keragaan Penguasaan Lahan Sebagai Faktor Utama Penentu Pendapatan Petani. Di dalam : Suradisastra K, Yusdja Y, Nurmanaf AR Dassir M. 2009. Sistem Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani pada Wanatani Kemiri di Kecamatan Camba Kabupaten Maros. Jurnal Perennial. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 12 Maret 2015]; 6(2) : 90-98. Dapat diunduh dari: http://download.portalgaruda.org/article.php?captcha=plectron&article=29472&v al=2161&title=&yt0=Download%2FOpen Dwipradyana IMM. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian serta dampaknya terhadap kesejahteraan petani (studi kasus di Subak Jadi, Kecamatan Kediri, Tabanan). [Internet]. Tesis. [diunduh tanggal 27 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1076283548412tesis%20 lengkap%20mahadi.pdf Irawan B. 2005. Konversi lahan : potensi dampak, pola pemanfaatannya, dan faktor determinan. Forum Agro Ekonomi. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 26 April 2015]; 23(1) : -. Dapat diunduh dari : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles /FAE23-1a.pdf Krisis lahan pertanian pangan terjadi. 2011. Kompas. [Internet]. [diunduh tanggal 26 April 2015]; Dapat diunduh dari : http://nasional.kompas.com/read/2011/11/03/ 02304357/Krisis.Lahan.Pertanian.Pangan.Terjadi Kusuma PGW. 2013. Pengaruh perubahan penguasaan lahan pertanian terhadap tingkat eksistensi subak di desa Medewi kecamatan pekutatan kabupaten Jembrana. Jurnal dinamika ekonomi pembangunan. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 29 Maret 2015]; 2(1) : -. Dapat diunduh dari: http://bit.ly/1xLbhZl 34 Luthfi AN, Razif, Fauzi M. 2010. Kronik Agraria Indonesia : Memperluas Imajinasi Lintas Zamn, Sektor dan Aktor. Yogyakarta[ID] : STPN Press. Luthfi AN. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria : Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Yogyakarta[ID] : STPN Press. Maddadnat HJ. Land tenure in Jordan. 2010. Land Tenure Journal. [Internet]. Tesis. [diunduh tanggal 12 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://www.fao.org/nr/tenure/land-tenurejournal/index.php/LTJ/article/view/12/6 Mudakir B. 2011. Produktivitas lahan dan distribusi pendapatan berdasarkan status penguasaan lahan pada usahatani padi (kasus di kabupaten kendal propinsi jawa tengah). Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 25 Maret 2015]; 1(1) : 74-83. Dapat diunduh dari: http://bit.ly/1BrKWKQ Nilamsari W. Pengaruh perubahan penguasaan dan penggunaan lahan terhadap pola usaha ekonomi rumah tangga etnik betawi di Condet (kasus di kelurahan Condet Balakambang, kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur). [Internet]. Tesis. [diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/ handle/123456789/13982/2005wni.pdf?sequence=2 Ningtyas PMK, Arya HD. 2010. Dampak Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) terhadap keadilan sosail ekonomi dan ekologi masyarakat lokal. Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 12 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari : http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5840/4505 Sari WN. 2005. Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan Terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet (Kasus di Kelurahan Condet Balakembang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur). [Internet]. Tesis. [diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/13982/2005wni.pdf?seque nce=2 Sintianingrum. 2008. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pertanahan Terhadap Struktur Penguasaan Tanah dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Petani di Kabupaten Garut dan Subang. Jurnal Kependudukan Padjadjaran. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 30 Maret 2015]; 10(1) : 23-33. Dapat diunduh dari: http://jurnal.unpad.ac.id/kepen dudukan/article/download/doc3/2436 Sjaf S. 2010. Batasan definisi pertani (Peasent). Artikel. [internet]. diunduh tanggal 13 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/13 /batasan-definisi-petani-peasent/ Subekti R. 2010. Pola Penguasaan Tanah oleh Petani dalam Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan. Yustisia. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/ Yustisia/article/view/226/213 35 Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. [Internet]. Artikel Ilmiah. [diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari :http://pse.litbang.pertanian.go. id/ind/pdffiles/MS_A9.pdf Syahyuti. 2013. Pemahaman terhadap petani kecil sebagai landasan kebijakan pembangunan pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 13 April 2015]; 31(1) : -. Dapat diunduh dari : http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/ pdffiles/FAE31-1b.pdf Winarso B. 2012. Dinamika pola penguasaan lahan sawah di wilayah pedesaan Indonesia. jurnal penelitian Pertanian Terapan. [Internet]. Jurnal. [diunduh tanggal 19 Maret 2015]; 12(3) : 137-149. Dapat diunduh dari: jptonline.or.id/index.php/ojsjpt /article/download/37/29 Yunilisiah. 1996. Pola penguasaan tanah dan kualitas hidup rumah tangga petani di desa transmigrasi (studi di desa transmigrasi marga sakti, kecamatan padang jaya, kabupaten bengkulu utara, provinsi bengkulu). [Internet]. Tesis. [diunduh tanggal 27 April 2015]. Dapat diunduh dari : http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle /123456789/22188/1996yun.pdf?sequence=1 36 RIWAYAT HIDUP Alia Nisfi Jayanti dilhirkan di Bogor pada tanggal 16 Januari 1995. Penulis adalah anak ke dua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sobari Mad Ali dan Ibu Maesaroh. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah SDN Purbasari 3 pada periode 2000-2006, SMP Al-Ghazaly Bogor periode 2006-2009, dan MAN 1 Bogor periode 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan dan organisasi di kampus maupun luar kampus. Penulis aktif dalam International Association of Agricultural student and related Sciences (IAAS) pada tahun 2012-2014. Selain itu penulis juga aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota pengurus divisi Community Development pada periode 2013-2014, serta aktif menjadi anggota Majalah Komunitas dalam divisi Layouter pada tahun 2015 - sekarang. Tidak hanya kegiatan di dalam kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar kampus seperti Earth Hour Bogor di tahun 2012-2014. Selain itu pada tahun 2015, penulis sempat magang di Sajogyo Institute.