Menengok Ulang Relevansi UU Pokok Agraria Menyongsong Hari Tani Nasional, 24 September 2002 23-09-02 * Erpan Faryadi TANGGAL 24 September, 42 tahun lalu, lahir Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau biasa dikenal sebagai UUPA. Oleh Presiden Soekarno, hari lahir UU ini lalu ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional Indonesia. Sudah banyak analisis atas substansi maupun praktik UUPA ditulis para ahli dalam berbagai bentuk dan perspektif tinjauannya. Dalam tulisan ini akan dicoba menengok ulang relevansi UUPA dalam konteks dinamika politik agraria mutakhir, khususnya setelah terbitnya Ketetapan (Tap) MPR No IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Saat kita menyaksikan tiga kelompok besar sedang "bertarung" dalam menginterpretasi UUPA Tahun 1960. Pertama, kelompok pro-pasar yang diwakili Bank Dunia melalui berbagai agennya di Indonesia. Dalam kelompok ini masuk lembaga-lembaga dana yang memberi berbagai dukungan kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil Indonesia. Kelompok ini, kurang lebih ingin menghapus UUPA dari bumi Indonesia karena UU ini dipandang sebagai penghalang utama terciptanya pasar tanah (land market) di Indonesia. Kedua, kelompok yang gigih mempertahankan UUPA sebagaimana adanya, seperti ditetapkan tahun 1960. Moto kelompok ini, "laksanakan UUPA 1960 secara murni dan konsekuen". Kelompok ini memandang UUPA sebagai prestasi bangsa Indonesia untuk membentuk suatu politik hukum agraria nasional yang kuat dan populis (berwatak kerakyatan). Ketiga, kelompok yang berpandangan, meski watak kerakyatan UUPA harus tetap dipertahankan, namun perlu dilakukan sejumlah amandemen atau perubahan atas UUPA. Kelompok ini memandang UUPA tetap dapat dijadikan panduan bagi peletakan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional. UUPA (yang diperbarui) diyakini dapat menjadi alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil makmur. Tampaknya, kelompok pertama paling getol mempromosikan agar Indonesia memasuki era pasar tanah. Langkah ini dilatari kegagalan model penyediaan tanah melalui kekuatan paksa, yang kerap menuai konflik agraria serta memicu krisis legitimasi terhadap negara. Pandangan dasar kelompok pro pasar tanah adalah transaksi jual beli tanah secara sukarela di pasar merupakan proses alamiah. Pada gilirannya, konsentrasi penguasaan tanah yang terjadi lewat mekanisme pasar tidak lagi dapat diganggu gugat. Bila ditilik secara cermat, metode pelepasan tanah melalui pasar tetap akan mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah yang berujung pada konsentrasi kekuasaan atas modal. Pasar tanah hanya akan memaksa penduduk atau pemilik tanah sempit "menyerahkan" tanahnya kepada mereka yang memiliki uang cukup untuk membeli tanah lewat suatu transaksi jual beli. Alat penguat yang lazim digunakan dalam transaksi ini adalah sertifikat tanah. Dengan begitu, sebenarnya pasar tanah adalah suatu konsep sekaligus praktik politik pertanahan yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip UUPA yang memandatkan dijalankannya land reform untuk kepentingan si lemah. Adapun kelompok kedua dan ketiga sebenarnya ada dalam satu garis pemahaman yang relatif sama, memandang UUPA sebagai; (1) landasan bagi penyusunan undang-undang agraria nasional, (2) dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan (3) dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Tiga hal ini merupakan tujuan pokok dibentuknya UUPA 1960. Nasionalisme Salah satu prinsip utama UUPA adalah nasionalisme dalam penguasaan dan pemilikan kekayaan alam Indonesia. Pasal 1 Ayat (1) UUPA berbunyi, "Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia." Juga Pasal 1 Ayat (2): "Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional." Ini berarti, bumi, air, dan ruang angkasa di wilayah Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan bangsa, menjadi hak bangsa Indonesia, tidak semata-mata menjadi hak para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidak sematamata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau bersangkutan saja. Dengan pengertian ini maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Indonesia. Adapun antara bangsa dan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi [Pasal 1 Ayat (3)]. Artinya, selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada, dalam keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan itu. "Land reform" UUPA juga memberi mandat atas satu soal mahapenting bagi negeri agraris Indonesia, untuk melaksanakan land reform. Yakni dalam rumusan Pasal 10 Ayat (1), "Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri." Ini menjadi dasar perubahanperubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara telah/sedang menyelenggarakan land reform atau pembaruan agraria (agrarian reform). Timbulnya gerakan land reform karena tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat pertanian. Dalam catatan sejarah, land reform pertama muncul bersama Revolusi Perancis, di mana para petani menuntut emansipasi dari petani di Eropa Barat. Tuntutan itu terus meluap ke Eropa Tengah dan sesudah Perang Dunia I merembes ke Eropa Timur, terutama di Rusia, dijalankan secara konsekuen. Bung Karno sendiri menyatakan, land reform adalah bagian mutlak Revolusi Indonesia." Meski demikian, patut dicatat, land reform juga dilakukan di negara-negara kapitalis (Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan) serta Islam (Mesir, Iran), selain dilakukan di negara-negara sosialis (Rusia, Cina, Kuba). Dengan begitu land reform merupakan suatu instrumen penting untuk penataan kembali terhadap ketimpangan penguasaan tanah-tanah (pertanian), terlepas dari orientasi politik negara-negara yang menjalankannya. Dalam konteks gerakan land reform di Indonesia dewasa ini, perlu dicermati perkembangan terbaru politik hukum agraria, dengan ditetapkannya Ketetapan (Tap) MPR No IX/MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001. UUPA ke depan Bila UUPA tetap hendak dijadikan landasan perkembangan dalam konteks baru, maka perlu dirumuskan atau disepakati bersama misalnya, UUPA (dengan sejumlah perubahan yang diperlukan) adalah undang-undang baru yang menjalankan mandat untuk pelaksanaan pembaruan agraria dan penerapan prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan SDA, dalam rangka pelaksanan Tap MPR No IX/MPR/2001. Dalam hal ini, UUPA telah membicarakan prinsip-prinsip pengelolaan SDA, yakni dalam Pasal 15 yang berbunyi, "Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah". Karena itu, sejatinya kini semangat yang dikandung UUPA tengah memperoleh momentum baru untuk diletakkan (lagi) sebagai aturan-aturan dasar bagi pelaksanaan land reform dan penerapan prinsip-prinsip baru pengelolaan SDA di Indonesia sehingga lebih berkeadilan sosial dan berkelanjutan. Sejalan dengan itu, segala peraturan perundang-undangan sektoral lain yang mengatur agraria, tanah, dan SDA lain yang kini ada, harus dicabut lebih dulu, dengan menggunakan Pasal 6 TAP MPR No IX/ MPR/2001; "Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan ini". Dengan demikian, menengok ulang UUPA (yang diperbarui) untuk pelaksanaan pembaruan agraria, bukan saja relevan, tetapi kini sudah menjadi kewajiban negara. Lantas, apa kabar tuantuan di Senayan dan Istana? ERPAN FARYADI Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tinggal di Bandung