Penelitian yang Berpihak - Kongres Sungai Indonesia

advertisement
Kebijakan Tata Ruang Terpadu dalam
Pengelolaan Sumber Daya Air, Sungai dan
Kawasan
“De-Kolonisasi” Politik dan Kebijakan
Pengelolaan Sumber Agraria dan Ruang
Hidup Rakyat
(Menegaskan Titik Koordinat Politik
Pengetahuan)
Eko Cahyono
Kongres Sungai II, Malang, 24 Sept 2016
Pegunungan Kars
Kendeng, Kawasan dan
Ruang Hidup-nya
siapa?
Sumber air, sumber
hidupnya siapa?
Tata ruang yang
bagaimana?
pembangunan, demi
siapa?
Kesejahteraan rakyat
yang bagaimana?
Salim Kancil,
Korban untuk Apa?
Pesisir (pasir besi)
kawasannya siapa?
Penataan tata
ruang yang
bagaimana?
Keterpaduan
untuk siapa?
Pengingkaran Dasar Pandang ??
1. Tanah dan sumber-sumber agraria bukan sepenuhnya barang dagangan
(komoditas). Sehingga pengelolaannya tidak boleh diserahkan sepenuhnya ke
mekanisme pasar.
2. Hubungan manusia dengan tanah dan sumberdaya alamnya bersifat
kompleks dan berlapis (Sosial, Budaya, Ekonomi, Ekologi, dan Spiritual).
Sehingga dalam praktriknya tidak dapat boleh disederhanakan hanya pada satu
dimensi saja. Pemisahan kompleksitas dan lapisan-lapisan hubungan tersebut
secara terus menerus akan dapat menggoncangkan sendi-sendi sosial, ekonomi,
politik dan keberlanjutan ekologis.
3. Masalah-masalah agraria bersifat historis. Masalah-masalah agraria yang hadir
sekarang ini adalah (sebagian atau keseluruhan) adalah endapan dan akumulasi
(residual consequency) dari persoalan panjang dasar kebangsaan, akibat belum
tuntasnya Reforma Agraria (genuine).
Menegaskan Duduk Perkara
(1)
Dalam Warisan
Ketimpangan
Struktural
Agraria
(2)
Dalam Wajah
Buram Krisis
Agraria
(3)
Dalam
Gelombang
Reorganisasi
Ruang Kapital
Duduk Perkara Warisan Ketimpangan
(“Recidual Consequences”)
1. Rezim “tanah negara” melalui Domein Varklaring (1870).
Sebagai tonggak awal di era Kolonial Belanda, mendapatkan
tanah murah untuk penguasa
2. “Payung Hukum” Agraria berupa Undang-Undang Pokok
Agraria No.5/1960, sebagai tonggak pembeda dan peruntuh
pengelolaah sumber agraria ala kolonial menjadi tata kelola
sumber agraria negara merdeka belum dilaksankan.
3. Tonggak pengkaplingan sumber-sumber agraria awal Orde Baru,
tahun 1967 dan UU sektoral pelanjutnya. Lahirlah the jugle of
regulation.
“Mazhab Paradigma Politik SDA”
1.Paradigma Konservasionistik
2.Paradigma Developmentalistik
3.Paradigma Eko-Populis
(Witter dan Bitmer, 2005)
“Kebijakan pembangunan bangsa ini
Masih bercorak paradigma “developmentalistik” dan
“developmentalis-konservasionistik”
Teritorialisasi dan Kontrol Hutan di Indonesia
“Usaha seseorang atau sekelompok orang
untuk mempengaruhi atau mengontrol
orang, fenomena, dan relasi-relasi dengan
cara membatasi dan menegaskan kontrol
terhadap sebuah area geografis” (Sack 1986)
“Sebuah proses yang dibuat oleh negara
untuk mengontrol orang dan aktifitasnya
dengan cara membuat garis di sekeliling
ruang geografis, menghalangi orang-orang
tertentu masuk ke ruang tersebut, dan
dengan mengizinkan atau melarang aktifitas
di dalam batas-batas dari ruang tersebut”
(Vandergeest 1996, p. 159).
Tiga tahap Teritorialisasi Kontrol Negara atas Hutan
(Vandergeest, 1996)
I
• Negara mengklaim semua tanah yang dianggap 'bukan tanah siapasiapa' sebagai milik negara. Pada tahap ini negara bermaksud untuk
mendapatkan pendapatan dari ekstraksi sumberdaya alam.
II
• Menetapkan batas-batas tanah yang dinyatakan sebagai milik negara
untuk menekankan kontrol wilayah oleh negara terhadap sumberdaya
alam
III
• Negara meluncurkan program yang bisa disebut sebagai
'teritorialisasi fungsional.'
Tonggak-tonggak Teritorialisasi dan Kontrol Hutan
“Penanda” Penting Tiap Periode
A.Periode Kolonial
1. Ekstraksi kayu oleh VOC untuk pembangunan Kota Batavia dan Fasilitas publik
lainnya. (AwalVOC, 1600)
2. Ekstraksi Jati Jawa (periode I: 1600-1677), II . 1677-1745)
3. UU Kolonial untuk Hutan Jawa dan Madura (1865)
4. Domeinverklering (1870)
B. Periode Orba
1. UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967
2. KebijakanTGHK (Permen. No.33/1981 dan Permemtan, 1980/1981)
3. Ekstraksi industri kayu dan Semarak Industry Plywood (1980-an)
C. Periode Pasca Orba – (Teritorialisai Kontemporer?)
1. UU Kehutanan No. 41/1999 dan turunannya
2. Beragam Bentuk Program dan Kebijakan “atasnama” Konservasi
3. Green Grabbing, Land Grabbing, Food Estate, Eko-Wisata, dll
Cerita tentang Pembangunan di Wilayah Adat Lusan di Kecamatan
Muara Komam Kab. Paser-Kaltim
Wilayah Adat Lusan (53.542 Ha)
Konsensi
Pertambangan
PERUSAHAAN
Hutan Lindung
Luas
PT. RAHAYANA INDONESIA
PT. INTEREK SACRA RAYA
PT. HAMISAH
PT. SATRIA PRATAMA BERLIAN
PT. TAMINDO BUMI LESTARI
(21.750,933 Ha)
3081,48
6683,06
21997,2
258,9
10158,07
WilayaTersisa
(409 Ha)
HPH
PERUSAHAAN
PT. RIZKI KACIDA REANA
PT. TELAGA MAS KALIMANTAN
Luas (Ha)
18043,16
9639,43
HGU
PT. Trimadu Murni Asri
(3.026 Ha
)
Hasil olahan peta partisipatif dan sumber
sekunder lain oleh Riza (JKPP)
Potret Penguasaan Tanah dan SDA di
Wilayah Masyarakat Adat





Penguasaan Hutan Lewat HPH, HTI (IUPHHK-HA,
IUPHHK-HT)
Ijin Perkebunan lewat Skema HGU (terutama
Perkebunan Sawit)
Kuasa Pertambangan (KP, KK, KKBB, PKP2B)
Kawasan Lindung/Konservasi ( TN, Suaka
Margasatwa, Hutan Raya)
Dulu HP3 sekarang menjadi Ijin P3
(Nababan, 2014)
Bagaimana Kondisi Sumber Agraria dan SDA
Hari ini?
“Tiga Bentuk Krisis Agraria”
Ketimpangan Penguasaan SDA
Beberapa Kasus:
1. Hutan Tanaman Industri (HTI): 9,39 juta ha oleh
262 perusahaan
2. Hak Pengelolaan Hutan (HPH): 21,49 juta ha oleh
303 perusahaan
3. Perkebunan sawit: 9,4 juta ha oleh 600 perusahaan
4. Pertambangan: 64,2 juta hektar , dengan 33,7%
nya di daratan (belum termasuk migas)
5. Kurang lebih 56 % aset nasional dikuasai hanya
oleh 0,2 persen dari penduduk Indonesia.
Konsentrasi ini 62-87 persen dalam bentuk tanah.
(BPN-RI, 2010). World Bank (2015) 1 %
penduduk Indonesia menguasai 50,3 % dari
seluruh kekeyaan negeri ini.
6. Sekitar 85% kekayaan migas, 75% batubara, 50%
lebih kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai
modal asing. Kekayaan air tawar dikuasai 246
perusahaan Air Minum dalam kemasan (AMDK).
(Daeng, 2012)
7. Monopoli teknologi dan globalisasai Monokultur. Melalui monopoli dan koorporasi
benih oleh segelintir Multi National Coorporation [MNC], seperti Monsanto Groups,
Cargiil, Bunge, dll). (Khudori 2004). 90% perdagangan pangan dikuasai 5 MNC:
Archer Daniels Midland (AMD), Cargill, Bunge, 90% pasar benih dan input pertanian
dikuasai 6 MNC. 99,9% benih transgenik dikuasi 6 MNC, dengan Monsanto menguasi
90% (Andreas DS ,2009).
8. Tanah dan teritorial Indonesia (tanah dan laut) telah dibagi dalam bentuk KK
Migas, KK Pertambangan, HGU Perkebunan, dan HPH Hutan. Total 175 juta
hektar (93% luas daratan Indonesia) milik pemodal swasta/asing. Dan sebanyak
85% kekayaan migas, 75% batubara, 50% lebih kekayaan perkebunan dan
hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati oleh negaranegara maju.
9. PETRONAS menguasai 1 juta ha PSC MIGAS dan 400 ribu ha (ada yang
menyebut dua juta ha) lahan sawit dikuasai Malaysia. Sementara kekayaan air
tawar dikuasai 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang 65%
dipasok oleh perusahaan asing (AQUA DANONE dan ADES COCACOLA).
(Diolah dari berbagai sumber)
“Konflik Agraria Struktural”
Pertentangan klaim atas satu
wilayah (SDA tertentu) yang
berakibat pada penghilangankan
satu hak atas lainnya. Akibatnya,
terpisahlah manusia dari tanah
dan sumberdaya alamnya secara
paksa. Dalam kasus lahan dan SDA,
konflik terjadi akibat diberikannya
ijin dan konsesi oleh Negara
kepada pemilik modal (dalam negeri
dan asing) di beragam sektor SDA
untuk tujuan-tujuan ekstraksi,
ekploitasi dan industrialisasi
sumberdaya alam yang
menghilangkan hak masyarakat
lokal/tempatan. Sehingga masyarakat
lokal/tempatan menuntut hak
nya kembali yang terampas.”
> 926.700 KK
Data Konflik Agraria dan SDA
Laporan KPA, 2015 terjadi 252 konflik agraria dengan luas 400.430 hektar, meliputi 108.714
keluarga. Jika di tahun 2014 sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang tertinggi,
tahun 2015 ini bergeser ke sektor perkebunan, yaitu 127 kasus (50 persen), pembangunan
infrastruktur 70 kasus (28%), lalu di sektor kehutanan 24 kasus (9,60%), sektor pertambangan 14
kasus (5,2%), lain-lain 9 kasus (4%), serta pertanian dan pesisir 4 kasus. Korban tewas sebanyak 5
orang, tertembak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang. Dalam kurun
waktu 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang
melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, 2 hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesi. Sebaran
teritorinya, ada 7 provinsi yang menyumbang konflik agraria paling banyak, yakni Riau (36 konflik),
Jawa Timur (34 konflik), Sumatra Selatan (23 konflik), Sulawesi Tenggara (16 konflik), Jawa Barat
dan Sumatra Utara, masing-masing 15 konflik.
Data Komnas HAM RI tahun 2013, dari 6000 kasus yang masuk, sekitar lebih 70 % kasus
berbasis tanah dan SDA (Negara dan Swasta). Dari 40 kasus, Inkuiri Nasional Komnas HAM
(2013-2014) terjadi pelanggran HAM sistematis dan kronis atas MHA di kawasan Hutan.
Melibatkan pihak TNI/Polri, Perusahaan (negara dan swasta): Tambang (Emas, Batubara, Nikel),
Perkebunan (Sawit, Tebu, Kakao, PTPN), Kehutanan (Konservasi, Hutan Lindung, HTI),
melibatkan Pemernitah Pusat dan Daerah serta masyarakat (kelembagan adat bentukan pemerintah).
Semarak Krisis Sosial-Ekologis:
Pengabaian Prinsip Dasar “Keberlanjutan”
Krisis Sosial-Ekologis
Meningkat:
1) Konflik Agraria, Kemiskinan Struktural dan
Pelanggaran HAM (Inkuiri Nasional)
2) Krisis: Air, Energy dan Pangan dan kerusakan
lingkungan semakin kronis.
3) Masyarakat Desa mengalami “Tiga De-”: DePeasanisasi,
De-Ruralisasi
dan
DeAgrarianisasi
Dampak Lanjutan di Pedesaan
Krisis Tiga-”De-”
Per-menit, 1 rumah tangga petani, dan 0,25
hektar lahan pertanian hilang
Sensus Pertanian 2013 dibandingkan dengan Sesnsus Pertanian 2003
Pengurangan Petani (2003 – 2013)
 Jumlah petani pemilik lahan <0,5 hektar dan petani tuna tanah mencapai 56%
di Indonesia dan 78% di Jawa. Pendapatan petani rata-rata Rp 1,03 jt/bulan.
(Olahan data BPS)
 Guremisasi petani makin meningkat. Ketiadaan jaminan (lahan, dana, bibit,
pupuk) dan proteksi dalam kompetensi dan akses pasar yang timpang. Hasil
pengolahan Sensus pertanian 1963-2003 (Bachriadi dan Wiradi, 2011)
menunjukkan rumah tangga petani landless, meningkat terus, hingga tahun
2003 berjumlah 24.300.000.
 Penyempitan lahan bagi pertanian, khususnya untuk pangan (dengan beragam
penyebabnya) berkorelasi erat dengan meningkatnya buruh tani dan landless
(Bachriadi dan Wiradi, 2011).
 Kalangan muda yang makin emoh pertanian. Who will own the countryside?
Dispossession, rural youth and the future of farming (Pidato Purna Bakti Ben
White, 2012).
Kebijakan Negara yang Memiskinkan
CEK ULANG?
“All ecological project (and arguments) are simultaneuosly
political-economic projects (and arguments) and vice versa.
Ecological arguments are never socially neutral any more than
socio-political arguments are ecologically neutral “
(Harvey, 1996)
“Semua proyek-proyek ekologi (berikut argumentasinya) pada
dasarnya secara simultan juga merupakan proyek ekonomi politik
(dan argumentasinya), demikian pula sebaliknya. Argumentasi
ekologi tidak pernah lagi bebas dari nilai-nilai sosial, dibanding
argumentasi ekonomi politik yang umumnya masih bebas ekologi”
Perebutan
Agraria,
KEKAYAAN ALAM
UTAMASumber
INDONESIA
YANG DIPEREBUTKAN
Siapa Diuntungkan dan Dirugikan?
MP3EI: “Naturalisasi Atas Nama Infrastuktur”
MP3EI: “Infrastruktur untuk Apa dan Siapa?”
Tiga ”Mantra Suci…”
Koridor Ekonomi Indonesia (MP3EI)
MIFEE: Naturalisasi Atas Nama Krisis Pangan dan
Energy (Siapa Dapat Apa)?
Konteks Pelanjut dan Pelestari Kolonisasi Pengelolaan Agraria
dan SDA : “Demi dan Atas Nama Modal-Pasar”
Reorganisasi Ruang dan masifitas ekpansi kapital global. Pasca
runtuhnya kapitalisme negara menjadi pasar. Negara-negara dunia
membentuk beragam koalisi-koalisi dan kesatuan negara-negara
berdasarkan tujuan penguasaan ekonomi. Mengatasi krisis kapitalisme
dengan “spacio temporal fix capital ” (Harvey, 2010)
”””Made in the World
REORGANISASI RUANG DALAM RANGKA PERLUASAN
PRODUKSI, SIRKULASI DAN KONSUMSI KOMODITAS GLOBAL
@ Hendro Sangkoyo 2013
ASEAN - Masyarakat Politik ke Masyarakat Ekonomi
Titik Koordinat Politik Pengetahuan
Kebijakan Politik Pengelolaan SDA Berkelanjutan
yang Bagaimana?
Perspektif 1:
Pespektif 2:
“Prinsip Pembangunan Berkelanjutan”
(Cato, 2009)
“Krisis Lingkungan”: Whose Knowledge?
Setidaknya ada dua aliran besar dalam memahami “Krisis
Lingkungan (global)”:
1. Perspektif “Modernisme Ekologi”
2. Peskpektif “Politik Ekonomi Ekologi”
Menguji Kasus dengan: “Modernisme Ekologi”
1. Akar krisis lingkungan adalah penggunaan sumberdaya yang tidak efisien dan efektif.
Penyebab dari kekuatiran dan ketakutan global sekaligus menyusun “stuktur” dan kultur
masyarakat modern.
2. Variabel utama penyebab kelangkaan sumberdaya diantaranya akibat populasi berlebihan,
terbatasnya sumberdaya dan ketidakjelasan relasi properti dan teknologi yang kurang maju.
3. Krisis SDA terjadi karena pemanfaatan sumberdaya secara terbuka dan tidak berdasar pada
imu pengetahuan modern. (Hardin, The Tragedy of the Common, 1968).
4. Pengaturan lahan dengan sistem tradisional dan kolektif sebagai penghambat
pembangunan. Agar produktif dan tidak boros, pengelolaan sumberdaya harsu diganti oleh
negara dan perusahaan besar berbasiskan kepemilikan privat dan menajeemen modern.
5. Narasi dominan: Perilaku manusia yang tidak efisien. Solusi atas krisis adalah perbaikan
etika lingkungan, pengelolan alam yang bertanggung jawab, pemanfaatan alam secara
bijaksana, penganjuran nilai “deep ekology”.
“Modernisme ekologi” ; Penambangan pasir besi di pesisir Lumajang dan Pantai dan
Pabrik Semen Kendeng boleh selama menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan, modern serta berpinsip efektif dan efisien
Menguji Kasus dengan: Ekonomi Politik Ekologi
1. Krisis ekologi terjadi hasil dari kompleksitas relasi kekuasaan – pengetahuan diantara beragam aktor
dalam konjungtur global.
2. Pendekatan ini melihat pada relasi kekuasaan yang dapat dikenali dari pertentangan klaim-klaim atas
persepsi, pengalaman, pengetahuan, dan wacana dalam setiap perubahan lingkungan.
3. Di tingkat epistimologi, pendekatan ini menganalis konstruksi sosial dan produksi narasi “krisis
lingkungan”. Sebab kontruksi krisis lingkungan menjadi kendaraan bagi kekuatan dominan untuk
mendapatkan akses dan kontrol atas sumberdaya. Wacana lingkungan dan penyelamatan lingkungan
tidak pernah bersifat “innocent” .
4. Wacana lingkungan dikreasikan untuk melegitimasi dan membenarkan praktik pengelolaan
sumberdaya yang biasanya, meski tidak selalu, bersifat tidak adil.
5. Fakta historisnya bahwa perubahan lingkungan atau krisis ekologi tidak pernah terdistribusikan
secara merata dan tidak memberi akibat yang sama di semua tempat bagi semua kelompok.
Umumnya kelompok miskin dan marjinal menjadi korban.
Ekonomi Politik: Penambangan pasir besi di pesisir Lumajang dan Pabrik Semen di Kendneg
adalah akumulasi modal atas nama pembangunan demi kepentingan negara yang
berselingkuh dg pemilik modal dan pasar global yg mengabaikan keadilan sosial-ekologis
masyarakat.
Pengembangan Kawasan, yang
bagaimana?
1. Dalam orientasi “Land Use Planning”: “Use”
dan “Land” untuk siapa?
2. Dalam orientasi pengambangan kawasan
berbasis produk unggulan, kesamaan ekologis
(ekowisata)
3. Dalam pengembangan kawasan untuk
perombakan ketimpangan struktural dan peka
sosial justice
Aras
Desa
Aras
Nasional/
Global
Kawasan
Perdesaan
RMT
Non-Tani
Areal Produktif
Lintas
Areal
Pertanian
RMT
Petani
RMT
Petani
RMT
NonTani
RMT
Petani
Lintas
Kawasan
Perdesaan
RMT
Non-Tani
Aras
Kabupaten/
Provinsi
Tanah dan kekayaan alam bukanlah komuditi dan tidak sepenuhnya bisa
diperlakukan sebagai komuditi. Memperlakukan tanah (dan alam) sebagai barang
dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial
yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan goncangan-goncangan yang
akan menghancurkan sendi-sendi keberlajutan hidup masyarakat itu, dan kemudian
akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang
lebih parah.
Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah sikap
merendahkan hakekat masyarakat dan dengan demikian menyerahkan begitu
saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Dengan sendirinya
akan melahirkan gejolak perlawanan.
(Karl Polanyi, The Great Transformation, 1944).
Mari “kembali ke kampung”
“Belajar Bersama, Bertindak Setara”
Email: [email protected]
HP : 08231 201 6658
Terima Kasih
Download