BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka Pada sub-bab ini, peneliti akan menyajikan ulasan teori dari berbagai sumber yang berkaitan dengan marketing secara umum, serta variabel-variabel yang diteliti, antara lain experiential marketing, relationship marketing, experiential value, dan customer behavioral intention. 2.1.1 Grand Theory of Marketing Pemasaran secara mendasar berkaitan dengan identifikasi dan pemenuhan kebutuhan konsumen yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. AMA (The American Marketing Association) mendefinisikan pemasaran sebagai fungsi organisasi dan serangkaian proses dalam menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada pelanggan serta untuk mengelola hubungan dengan pelanggan yang menguntungkan bagi perusahaan dan seluruh pemangku kepentingan (Kotler dan Keller, 2006:4). Pemasaran juga dipandang sebagai pertukaran nilai antara perusahaan dengan pelanggan, seperti yang dikemukakan oleh Kotler dan Armstrong (2010:29) bahwa pemasaran meliputi proses sosial dan manajerial yang dilakukan oleh individu dan organisasi untuk mendapatkan yang mereka inginkan dan butuhkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai. Berbagai definisi pemasaran telah banyak berkembang dari masa ke masa. Awalnya, pemasaran hanya dikenal sebagai proses menjual dan beriklan, atau 10 11 dengan kata lain hanya sebuah proses transaksi saja. Namun, dewasa ini pemasaran dikenal sebagai proses dalam memuaskan kebutuhan pelanggan. Seorang pemasar yang memahami kebutuhan pelanggan dapat mengembangkan produk atau jasa yang memberikan nilai superior bagi pelanggan, menetapkan harga, mendistribusikan, serta melakukan promosi secara efektif. Dengan demikian, bauran pemasaran berkaitan dengan 4P (product, price, place, promotion). Komponen 4P dikembangkan oleh beberapa tokoh seperti disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. 1 Pengembangan Bauran Pemasaran Tokoh Bauran Pemasaran McCarthy (1960) 4P Product, Price, Place, Promotion Judd (1987) 5P Product, Price, Place, Promotion, People Kotler (1986) 6P Product, Price, Place, Promotion, Political Power, Public Opinion Formation Booms & Bitner (1982) 7P Product, Price, Place, Promotion, Participants, Physical Evidence, Process Baumgartner (1991) 15P Product/service, Price, Place, Promotion, People, Politics, Public Relations, Probe, Partition, Prioritize, Position, Profit, Plan, Performance, Positive Implementations Sumber: Gummesson dalam Harwood, Garry, Broderick (2008:8) Meskipun banyak dikembangkan, bauran pemasaran yang paling banyak digunakan hingga saat ini adalah 4P dan 7P (untuk pemasaran di bidang jasa). Berdasarkan penjelasan di atas, maka proses pemasaran dapat dirangkum ke dalam lima tahapan berikut ini: 12 Gambar 2. 1 The Marketing Process Sumber: Kotler dan Armstrong (2010) 2.1.2 Experiential marketing Para peneliti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai definisi pengalaman dalam pemasaran. Carbone (Yang, 2009:248) mendefinisikan pengalaman sebagai citra (image) yang dimiliki konsumen dalam benaknya setelah berhadapan dengan produk, jasa, dan perusahaan, serta merupakan persepsi yang berasal dari kombinasi berbagai informasi yang diterima oleh panca indera. Sementara Schmitt dalam Yang (2009:248) berpendapat bahwa pengalaman adalah peristiwa terjadinya umpan balik individu dalam beberapa rangsangan atau stimulasi. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan experiential marketing selalu mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Bernd H. Schmitt selaku pencetus konsep experiential marketing pada tahun 1999. Menurut Schmitt (Wang dan Lin, 2010:110) experiential marketing didefinisikan sebagai suatu rangsangan atau 13 stimulus yang mempengaruhi perasaan, pikiran, dan perilaku individual konsumen setelah mengalami suatu kejadian tertentu. Pada dasarnya experiential marketing berfokus pada pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa melalui penciptaan lingkungan yang tepat oleh marketer (Schmitt, 1999:60). Hemsley di dalam Marketing Week (2006) menganggap experiential marketing sebagai interaksi langsung yang bertujuan untuk mengkomunikasikan kepribadian merek agar dapat mengubah persepsi dan perilaku konsumen, mengaktifkan merek agar konsumen dapat melihat, bahkan merasakan pengalaman emosional dari suatu merek. Sementara itu, Smilansky (2009:5) menganggap bahwa experiential marketing adalah suatu proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan secara menguntungkan, melibatkan mereka dalam komunikasi dua arah yang membawa kepribadian merek menjadi nyata dan menambah nilai bagi target audiens. Experiential marketing berbeda dari traditional marketing yang hanya menekankan fitur dan keuntungan produk atau jasa untuk menarik perhatian konsumen agar penjualan meningkat (Chou, 2009:994). Perbedaan tersebut dideskripsikan melalui karakteristik utama dari experiential marketing yang diadaptasi dari pendapat Schmitt (1999:25-30) sebagai berikut: 1) Fokus pada pengalaman konsumen Pengalaman terjadi melalui perjumpaan dengan suatu situasi. Pengalaman merupakan stimulasi terhadap panca indera, perasaan, dan pikiran seseorang. Maka, pengalaman memberikan nilai sensorik, 14 emosional, kognitif, perilaku, dan relasional yang menggantikan nilai fungsional. 2) Situasi konsumsi sebagai pengalaman holistik Fokus pada produk apa yang sesuai dengan situasi konsumsi serta bagaimana produk, kemasan, dan media komunikasi dapat meningkatkan pengalaman konsumsi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa periode pasca pembelian (pada saat konsumsi) merupakan hal yang terpenting dalam experiential marketing. 3) Memahami pendorong rasional dan emosional konsumen Konsumen tidak hanya dimotivasi oleh pemikiran rasional dalam pengambilan keputusan pembelian, tetapi juga dipengaruhi oleh emosi karena konsumen ingin mendapatkan pengalaman konsumsi yang menyenangkan. Experiential marketing adalah bagaimana menciptakan memori atau pengalaman yang tak terlupakan di benak konsumen yang dapat mendorong keinginan konsumen untuk membeli serta meningkatkan nilai tambah suatu produk atau jasa (Lee, Hsiao, Yang, 2010:356). Andreani (2007:2) menyimpulkan bahwa experiential marketing bukan sekadar memberikan informasi dan peluang kepada pelanggan untuk merasakan pengalaman atas manfaat yang diperoleh dari produk atau jasa, tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak pada pemasaran, khususnya penjualan. Namun, Hauser berpendapat dalam Experiential marketing Forum (Juli 26, 2007) bahwa experiential marketing merupakan pendekatan holistik terhadap 15 hubungan konsumen dan merek, dirancang untuk mempengaruhi konsumen secara rasional dan emosional. Dengan demikian penerapan experiential marketing tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan penjualan dan profit perusahaan saja, namun juga untuk mempertahankan hubungan dengan pelanggan. Struktur konseptual dari experiential marketing terbagi menjadi dua, yaitu Strategic Experiential Modules (SEMs) dan Experiential Providers (ExPros), yang akan dijelaskan dalam sub-bab berikutnya. 2.1.2.1 Strategic Experiential Modules Strategic Experiential Modules terdiri dari lima tipe pengalaman konsumen yang digagas oleh Schmitt seperti dikutip dalam Chou (2009:996), maka yang menjadi struktur experiential marketing antara lain sebagai berikut: 1) Senses Senses melibatkan rangsangan fisik yang direspon oleh panca indera, dapat berupa ciri-ciri visual atau verbal yang dapat menciptakan kesan secara utuh. Sense marketing berkaitan dengan penciptaan pengalaman panca indera melalui penglihatan (sight), pendengaran (hearing), peraba (touch), perasa (taste), dan penciuman (smell). Sense marketing digunakan untuk membedakan perusahaan dan product, memotivasi pelanggan, serta memberikan nilai tambah bagi produk. Kunci sukses dalam menciptakan pengalaman panca indera adalah dengan menjamin konsistensi dan menciptakan keragaman (Schmitt dalam Yang, 2009:250) 16 2) Emotions/feel Perasaan berbeda dari pengalaman sensorik karena melibatkan aspek batin atau spiritual seseorang. Feel marketing bertujuan untuk mempengaruhi perasaan terdalam/batin (inner feeling) dan emosi konsumen dengan menciptakan perasaan positif terhadap merek serta kesan yang diasosiasikan dengan kegembiraan atau kebanggaan. 3) Intellect/think Think marketing bertujuan untuk menciptakan pengalaman kognitif dan problem-solving yang menuntut konsumen untuk berpikir kreatif. Menurut Guilford (Li, 2008:99) pemikiran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen berarti menganalisa dan menyimpulkan masalah yang spesifik. Sedangkan pemikiran divergen merupakan proses berpikir untuk menghasilkan ideide kreatif dengan mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi atas masalah. 4) Actions/Act Act marketing dirancang untuk menciptakan pengalaman yang berkaitan dengan jasmani fisik, pola perilaku yang nyata dan gaya hidup, serta interaksi dengan orang lain. Kesuksesan act marketing tergantung pada penciptaan produk yang tepat, stimulasi, dan atmosfer untuk merangsang pelanggan melakukan pembelian. 17 5) Connections/relate Relate mencakup nilai budaya dan kelompok referensi yang menjadi acuan dan identitas sosial bagi individu. Relate marketing meliputi aspek sense, feel, think, dan act. Relate marketing bertujuan untuk memberikan pengalaman individual sehingga individu dapat menghubungkannya dengan konsep diri, budaya, atau orang lain. 2.1.2.2 Experiential Providers Experiential Providers (ExPros) merupakan komponen-komponen yang mampu menciptakan pengalaman sensorik, emosional, kognitif, aksi, dan relasional (Schmitt, 1999:72-92) yang terdiri dari: 1) Communications Komunikasi dalam experiential marketing meliputi iklan, media komunikasi internal dan eksternal perusahaan (buletin, brosur, laporan tahunan, dsb.), serta public relation. 2) Visual/verbal identity Identitas visual terdiri dari nama, logo, dan simbol. Nama, logo, dan simbol suatu produk dibuat agar terkesan unik dan mampu menciptakan daya tarik sensorik, emosional, kognitif, perilaku, dan relasional. 3) Product presence Product presence meliputi desain produk, kemasan, point-of-sale display, serta karakter merek yang digunakan sebagai bagian dari kemasan dan materi promosi pada titik penjualan. 18 a. Desain produk Desain produk mencakup bentuk, ukuran, dan warna produk b. Kemasan Kemasan menjadi experiential provider yang mudah diamati. Konsumen saat ini cenderung menjadi lebih atentif dan tertarik terhadap kemasan daripada produk itu sendiri. Bahkan, kemasan menjadi pertimbangan konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian. c. Karakter merek Karakter merek dapat berupa tokoh fiktif yang diciptakan khusus untuk mengasosiasikan suatu merek tertentu, atau menggunakan karakter film tertentu. 4) Co-Branding Co-branding yang dapat digunakan untuk mengembangkan SEMs, antara lain: a. Event marketing & sponsorship b. Alliances & partnership c. Licensing d. Product placement in movies 5) Spatial environment Lingkungan spasial meliputi arsitektur gedung, desain eksterior dan interior kantor dan pabrik, tempat umum, toko ritel, tempat parkir, dan lokasi. 19 6) Websites and electronic media Websites dan media elektronik menjadi media interaktif yang mampu memberikan pengalaman komunikasi, interaksi, dan transaksi bagi konsumen. 7) People People sebagai experiential provider meliputi tenaga penjual, customer service, endorser, dan pihak lain yang diasosiasikan dengan perusahaan atau merek. 2.1.3 Relationship marketing Sejak awal tahun 1990-an, para praktisi dan akademis mulai mengalihkan fokus pada pemasaran berbasis hubungan pelanggan. Para penulis di bidang marketing mengemukakan bahwa terjadi pergeseran paradigma pemasaran dari pemasaran tradisional yang menekankan transaksi dengan pelanggan menjadi pemasaran yang berorientasi pada hubungan pelanggan (Harwood, Garry, dan Broderick, 2008:9). Seperti tampak pada gambar di bawah ini, di abad ke-21 pelayanan memiliki peran yang semakin dominan dalam pemasaran. 20 Gambar 2. 2 The Changing Focus of Marketing Sumber: Harwood, Garry, dan Broderick (2008:9) Berikut ini peneliti sajikan beberapa pengertian relationship marketing berdasarkan hasil kajian pustaka. Relationship marketing yang didefinisikan oleh Berry (Chou, 2009:995) merupakan strategi untuk memikat, mengembangkan, dan menjaga hubungan dengan pelanggan. Gummeson (Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73) memandang relationship marketing sebagai hubungan, jaringan, dan interaksi. Sedangkan Grönroos (Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73) menyatakan bahwa relationship marketing adalah mengidentifikasi dan menetapkan, menjaga dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya, atas dasar suatu keuntungan, sehingga tujuan dari semua pihak dapat tercapai; dan hal ini terwujud melalui pertukaran antara satu pihak dengan yang lain serta pemenuhan janji-janji. 21 Relationship marketing juga diartikan sebagai pemahaman, penjelasan, dan pengelolaan hubungan bisnis kolaboratif yang berlangsung antara pemasok dan pelanggan (Sheth dalam Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73). Sheth dan Parvatiyar (Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:73) berpendapat bahwa relationship marketing merupakan usaha untuk melibatkan dan mengintegrasikan pemasok, pelanggan, mitra infrastruktur lainnya ke dalam aktivitas pemasaran dan pengembangan perusahaan. Perusahaan yang menerapkan relationship marketing dideskripsikan oleh Harker (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:157) sebagai organisasi yang terlibat secara proaktif dalam menciptakan, mengembangkan, dan mempertahankan pertukaran yang berkomitmen, interaktif, dan menguntungkan dengan pelanggan dari waktu ke waktu. Strategi relationship marketing dapat membantu perusahaan untuk lebih memahami kebutuhan konsumen, sehingga perusahaan memiliki keunggulan kompetitif melalui penyediaan layanan yang lebih baik dari kompetitor, yang pada akhirnya akan menyebabkan pengurangan biaya dan pelanggan yang lebih loyal. 2.1.3.1 Faktor Penentu Kesuksesan Relationship marketing Kesuksesan penerapan relationship marketing sangat dipengaruhi oleh kompetensi perusahaan dalam membangun hubungan kerja sama dengan pelanggan. Kompetensi ini dideskripsikan oleh Arnett dan Badrinarayan dalam Alrubaiee dan Al-Nazer (2010:157) sebagai kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengelola hubungan kerja sama dengan 22 pelanggan kunci yang ditandai dengan kepercayaan, komitmen hubungan, dan komunikasi. Usulan ini diperkuat oleh pernyataan Gundlach dan Murphy dalam Chattananon dan Trimetsoontorn (2009:254) bahwa relationship marketing bergantung pada isu-isu seperti kepercayaan, ekuitas, tanggung jawab, dan komitmen. Alrubaiee dan Al-Nazer (2010:158-160) mengemukakan bahwa orientasi relationship marketing terdiri dari lima komponen perilaku berikut ini: 1) Kepercayaan Anderson dan Weitz (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:158) mendefinisikan kepercayaan sebagai keyakinan seseorang bahwa kebutuhannya di masa mendatang akan dipenuhi oleh pihak lain. Menurut Mishra (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:158), kepercayaan memiliki empat dimensi yaitu keandalan, keterbukaan, kompetensi, dan kepedulian. 2) Komitmen Komitmen merupakan keinginan atau janji untuk terus menjalin hubungan dengan pihak lain. Komitmen menjamin terbinanya hubungan antara perusahaan dan pelanggan dalam jangka panjang. 3) Komunikasi Komunikasi berkaitan dengan penyediaan informasi yang bermakna pada waktu yang tepat. Komunikasi dianggap penting dalam relationship marketing karena merupakan dasar untuk membangun kepercayaan antar pihak yang bermitra. 23 4) Ikatan Ikatan menurut Callaghan et al. (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:159) merupakan dimensi dalam hubungan bisnis di mana dua pihak (pembeli dan penjual) bertindak secara terpadu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses terbentuknya ikatan berawal dari kebutuhan mendasar penjual untuk menemukan pembeli produk, dan keinginan pembeli untuk memperoleh produk yang dapat memuaskan kebutuhannya (Chattananon dan Trimetsoontorn, 2009:257). Semakin besar ikatan maka semakin besar pula komitmen antara kedua belah pihak. 5) Kepuasan Kepuasan merupakan suatu keadaan emosional konsumen terhadap keuntungan yang diperolehnya atas hubungan dengan perusahaan. Oliver (Alrubaiee dan Al-Nazer, 2010:160) menghubungkan kepuasan dengan penilaian evaluatif konsumen yang berkaitan dengan tingkat pemenuhan konsumsi oleh perusahaan. 2.1.3.2 Keuntungan Relationship marketing Pelanggan bersedia melakukan pertukaran relasional dengan perusahaan karena mereka yakin bahwa keuntungan yang didapatkan akan melebihi biaya yang harus dikeluarkan. Morgan dan Hunt (Hunt, Arnett, dan Madhavaram, 2006:75) mengidentifikasikan keuntungan hubungan sebagai pendorong timbulnya komitmen hubungan yang mencirikan konsumen yang terlibat dalam pertukaran relasional. Lebih lanjut, konsumen ingin menjalin hubungan dengan 24 mitra yang dapat dipercaya untuk mengurangi resiko yang dapat timbul akibat pertukaran relasional. Kepercayaan diasosiasikan sebagai keandalan, integritas, dan kompetensi mitra. Morgan dan Hunt juga beranggapan bahwa konsumen termotivasi untuk melakukan pertukaran dengan mitra yang mana mereka dapat berbagi nilai. Mereka mencari perusahaan yang sepaham dengan mereka mengenai apa yang baik dan buruk, yang penting dan tidak penting, yang sesuai dan tidak sesuai, dan sebagainya. Hunt, Arnett, dan Madhavaram (2006:76) menyimpulkan keuntungan yang diperoleh pelanggan melalui relationship marketing terdiri dari: 1) Keyakinan bahwa perusahaan dapat dipercaya karena dapat diandalkan, kompeten, dan memberikan penawaran yang berkualitas. 2) Perusahaan berbagi nilai dengan konsumen. 3) Pelanggan dapat mengurangi biaya pencarian produk/jasa. 4) Persepsi pelanggan bahwa resiko yang diasosiasikan dengan penawaran pasar berkurang. 5) Pertukaran yang konsisten dengan kewajiban moral. 6) Pertukaran yang memungkinkan adanya kostumisasi yang mampu memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, dan preferensi pelanggan. Sedangkan keuntungan mengimplementasikan yang relationship diperoleh perusahaan dengan marketing berdasarkan tinjauan Abdullah dan Kanyan (2012:1256) antara lain: 1) Meningkatkan loyalitas pelanggan 25 2) Mengurangi sensitivitas harga pelanggan 3) Biaya pemasaran yang lebih rendah 4) Meningkatkan keuntungan perusahaan dan word-of-mouth 5) Kinerja finansial yang baik 6) Meningkatkan kepuasan pelanggan 7) Mengembangkan dan meningkatkan retensi pelanggan 8) Menciptakan stabilitas dan mengurangi ketidakpastian 2.1.3.3 Dimensi Relationship marketing Berbagai studi dan literatur mengenai relationship marketing cenderung mengarah pada konteks B2B (business-to-business). Chattananon dan Trimetsoontorn (2009:255) menyimpulkan bahwa relationship marketing dianggap lebih penting dalam konteks industri business-to-business dibandingkan dengan konteks konsumen individu, sehingga penelitian lebih banyak dilakukan dalam konteks B2B, bahkan dalam industri tertentu saja. Oleh sebab itu, dimensi pengukuran yang diaplikasikan dalam penelitian B2B belum tentu relevan untuk mengukur relationship marketing dalam konteks B2C (business-to-customer). Untuk mengatasi kendala ini, Abdullah dan Kanyan (2012) melakukan studi dalam industri foodservice untuk menentukan dimensi yang relevan untuk konteks B2C, dan hasil analisis menunjukkan empat dimensi yang terdiri dari: 1) Communication: Menekankan pentingnya berkomunikasi dengan cara yang mudah dimengerti, memberikan penjelasan yang jelas, memberikan saran-saran 26 yang membantu pelanggan, dan mengetahui bagaimana menghargai pelanggan. Dimensi ini juga menekankan pentingnya penilaian dan penggunaan umpan balik dari pelanggan dalam meningkatkan pemberian layanan serta secara berkala menanyakan opini dan saran dari pelanggan. 2) Trust: Menekankan pentingnya keyakinan pelanggan terhadap layanan yang diberikan. Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan penyedia layanan dalam memenuhi kewajibannya dan menunjukkan respek kepada pelanggan. 3) Empathy: Mengacu pada kemampuan personil atau staf untuk menunjukkan simpati ketika berhadapan dengan pelanggan. Penting bagi karyawan untuk menampilkan perilaku yang ramah, sopan, dan menyenangkan dalam memberikan pelayanan untuk menumbuhkan keyakinan pelanggan. 4) Commitment: Mendeskripsikan komitmen dan usaha perusahaan dalam menyediakan layanan yang terbaik untuk mewujudkan dan mempertahankan hubungan dengan pelanggan dalam jangka panjang. Komitmen menekankan kemampuan perusahaan menyediakan produk dan jasa yang superior dengan harga yang pantas/masuk akal dan memberikan servis secara tepat dan benar, serta memenuhi kebutuhan dan keperluan pelanggan. 27 Chou (2009:997) mengacu pada klasifikasi relationship marketing menurut Berry (1995) yang berdasarkan pada level ikatan (bond) dengan konsumen sebagai dimensi pengukuran relationship marketing: 1) Financial bond: perusahaan mengandalkan insentif finansial seperti memberikan harga yang lebih murah untuk volume pembelian yang lebih besar, untuk menjaga agar pelanggan tetap loyal dan mendorong mereka untuk membeli lebih banyak dan menjadi pembeli rutin. Kelemahan dari insentif finansial adalah tidak dapat menjamin hubungan jangka panjang dengan pelanggan karena tidak dapat mendiferensiasikan perusahaan dengan pesaing lainnya. 2) Social bond: merupakan pendekatan interpersonal di mana perusahaan mengutamakan proses penyampaian jasa, menjaga komunikasi yang lebih dekat dengan konsumen untuk mengubah konsumen menjadi pelanggan. Ikatan sosial terdiri dari interaksi, kedekatan, dan kepuasan, yang dibangun melalui kepercayaan, komitmen, dan pemenuhan janji kepada konsumen. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa empat dimensi menurut Abdullah dan Kanyan merupakan bagian dari ikatan sosial. 3) Structural bond: perusahaan menyediakan layanan yang bernilai bagi konsumen yang biasanya berbasis teknologi, yang dirancang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan untuk membantu konsumen menjadi lebih efisien dan produktif. 28 Schultz dan Schultz (1998) serta Schmitt (1999) menegaskan bahwa konsumen melekatkan karakteristik manusia ke dalam merek dan mengaitkan merek dengan emosi, pemikiran, dan angan-angan. Ketika karakter merek dibangun melalui kampanye pemasaran perusahaan dan sesuai dengan kepribadian konsumen, maka konsumen akan membangun hubungan dengan merek tersebut (Chou, 2009:997). 2.1.4 Experiential value Konsumen melihat nilai dari produk atau jasa berdasarkan harga, kualitas, manfaat yang diterima, dan pengorbanan yang dikeluarkan. Nilai dianggap sebagai pertukaran antara harga dan kualitas, atau manfaat dan pengorbanan. Suatu produk atau jasa dikatakan bernilai apabila kualitas atau manfaatnya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan harga yang dibayar atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Holbrook (Kim, 2002:597) mendefinisikan nilai konsumen sebagai preferensi relatif yang mencirikan pengalaman konsumen dalam berinteraksi dengan objek tertentu seperti produk, jasa, tempat, kejadian, atau ide. Menurut pandangan Holbrook, nilai pelanggan memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Komparatif: berdasarkan penilaian atau peringkat antara satu objek terhadap objek lainnya. 2) Personal: berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. 3) Situasional: berbeda-beda tergantung pada konteks situasi. 29 Pengalaman bukanlah hal yang bersifat spontan, tetapi sesuatu yang diciptakan. Pine dan Gilmore (Wong dan Tsai, 2010:60) mengatakan bahwa pengalaman bersifat internal, terjadi di dalam benak seseorang. Karena setiap orang berbeda, maka pengalaman yang mereka rasakan pun berbeda. Pengalaman aktual bersifat sesaat dan hanya dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan nilai pengalaman yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka. Nilai pengalaman didefinisikan oleh Mathwick (Wong dan Tsai, 2010:60) sebagai tingkat sejauh mana pengalaman membantu konsumen mencapai tujuan konsumsinya. Persepsi nilai pengalaman didasarkan pada interaksi yang mencakup penggunaan langsung atau apresiasi terhadap produk dan jasa. Holbrook (Chou, 2009:997) menggolongkan nilai konsumen ke dalam tiga dimensi yaitu extrinsic/intrinsic, self-oriented/other-oriented, dan active/reactive, yang selanjutnya dibagi menjadi delapan tipe nilai seperti pada tabel berikut ini: Tabel 2. 2 Tipologi Nilai Konsumen Dimensions Active Self-oriented Reactive Active Otheroriented Reactive Extrinsic Efficiency (convenience) Excellence (quality) Status (success, fashion) Esteem (reputation, materialism) Intrinsic Play (amusement, fun) Aesthetics (beauty) Ethics (virtue, justice) Spirituality (faith) Sumber: Holbrook (1999) dalam Gallarza dan Gill (2008:11) 30 Tiga dimensi nilai konsumen dijelaskan sebagai berikut: 1) Nilai ekstrinsik versus intrinsik: konsumen melihat nilai atas kepemilikan atau penggunaan produk atau jasa sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir tertentu atau hanya untuk pengalaman itu sendiri. 2) Orientasi diri/orientasi pada orang lain: konsumen melihat nilai sebagai manfaat bagi dirinya sendiri atau manfaat bagi orang lain. 3) Nilai aktif versus reaktif: konsumen melihat nilai melalui penggunaan langsung suatu objek atau melalui pemahaman, apresiasi, dan respon terhadap suatu objek. 2.1.4.1 Tipologi Nilai Konsumen Berdasarkan tabel 2.2, dimensi yang digunakan untuk mengukur experiential value terdiri dari delapan tipologi nilai Holbrook. Berikut ini adalah penjelasan dari delapan nilai tersebut seperti dikutip dalam Chou (2009:997-998) dan juga diadaptasi dari Kim (2002:598-601) : 1) Efficiency: pengalaman konsumen yang memiliki nilai ekstrinsik yang berasal dari penggunaan aktif suatu objek untuk mencapai tujuan yang berorientasi pada diri sendiri, biasanya diukur dengan rasio output terhadap input. Dengan kata lain, konsumen ingin mendapatkan kenyamanan (convenience) yang maksimum, namun mereka juga ingin mengurangi sumber pengeluaran (resources) seperti waktu, uang, dan energi. 31 2) Excellence: pengalaman konsumen yang mengandung nilai ekstrinsik yang ditujukan untuk memuaskan tujuan yang berorientasi pada diri sendiri, dan merupakan hasil respon reaktif. Umumnya performa produk (kualitas, harga, dan ragam pilihan produk) dan customer service dijadikan standar pengukuran nilai excellence. 3) Status: pengalaman konsumen yang memiliki nilai ekstrinsik, berasal dari penggunaan aktif produk untuk memuaskan tujuan yang berorientasi pada orang lain. Status dapat terwujud melalui konsumsi atau penggunaan produk tertentu yang mampu menciptakan citra kesuksesan dan prestise bagi konsumen. 4) Esteem: pengalaman konsumen yang memberikan nilai ekstrinsik, berupa respon reaktif, dan berorientasi pada orang lain. Pengukuran esteem dilihat melalui reputasi, kepemilikan, dan materi. 5) Play: merupakan ciri-ciri intrinsik dari pengalaman yang ingin dicapai dan dinikmati. Konsumen memperoleh nilai intrinsik atas konsumsi aktif untuk memuaskan tujuan yang berorientasi diri. Play melibatkan fantasi, kesukaan atau kesenangan yang muncul ketika individu mengakses produk atau jasa, dan dihasilkan oleh hiburan (entertainment) atau rangsangan sensorik (sensory stimulation: sight, sound, touch, smell, taste) dan interaksi sosial. 6) Aesthetics: konsumen memiliki apresiasi reaktif positif yang berorientasi pada diri sendiri terhadap beberapa objek (produk atau jasa) . Estetika berkaitan dengan keindahan yang dinikmati bukan untuk memuaskan 32 tujuan tertentu. Nilai estetika meliputi suasana (ambience) yang terbentuk melalui arsitektur, desain interior, tata letak, dan dekorasi, serta tampilan visual produk yang atraktif bagi konsumen. 7) Ethics: konsumen mendapatkan nilai intrisik, aktif, dan berorientasi pada orang lain dari pengalamannya sendiri. Nilai etika diekspresikan melalui pelayanan yang baik kepada konsumen yang menjunjung nilai-nilai moral. 8) Spirituality: konsumen memperoleh nilai intrinsik, berupa respon reaktif, dan berorientasi pada orang lain dari pengalamannya. Nilai spiritual merupakan hasrat untuk bersatu dengan orang lain atau bergabung dalam komunitas. 2.1.5 Customer Behavioral Intention Behavior atau perilaku merupakan tindakan nyata konsumen yang dapat diobservasi secara langung. Perilaku berhubungan dengan apa yang sebenarnya dilakukan oleh konsumen. Perilaku konsumen merupakan keseluruhan keputusan konsumen yang berkaitan dengan akuisisi, konsumsi, dan penyimpanan barang, jasa, waktu, dan ide. Perilaku konsumen tidak hanya berkaitan dengan barang berwujud, tetapi juga mencakup penggunaan layanan, aktivitas, pengalaman, dan pemikiran (Hoyer dan Macinnis, 2008:3). Sedangkan Schiffman dan Kanuk seperti dikutip oleh Semuel, Kosasih, dan Novia (2007:74) berpendapat bahwa perilaku konsumen adalah perilaku pada saat konsumen mencari, menggunakan, mengevaluasi, dan mengganti produk atau jasa untuk dapat memuaskan kebutuhan konsumen. 33 Schmitt dalam Wong dan Tsai (2010:61) mengatakan bahwa nilai sebuah pengalaman dapat dibentuk, karena pengalaman merupakan sesuatu yang diciptakan melalui stimulus atau rangsangan tertentu. Oleh sebab itu perusahaan harus mampu memberikan pengalaman yang baik dan berkesan kepada konsumen. Pengalaman yang baik akan meningkatkan kepuasan konsumen dan mendorong perilaku konsumen yang positif. Oliver (Wang & Chen, 2012) mengatakan bahwa behavioral intention mendeskripsikan kecenderungan yang kuat untuk terlibat dalam perilaku tertentu. Sedangkan Anderson et al. (Bendall-Lyon & Powers, 2004) menyatakan bahwa behavioral intention merupakan hasil dari proses kepuasan pelanggan. Ketika konsumen membeli dan mengkonsumsi produk atau jasa, mereka akan mengalami tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan tertentu (Wong dan Tsai, 2010:61). Konsumen puas jika nilai produk atau jasa paling tidak setara atau melebihi nilai yang diharapkan diterima konsumen. Sebaliknya, konsumen tidak puas apabila nilai produk atau jasa tidak sesuai dengan yang diharapkan. Smith (1999) dalam Bendall-Lyon & Powers (2004:115) membagi behavioral intention ke dalam dua kategori, yaitu economic behaviors dan social behaviors. Economic behavioral intentions merupakan perilaku pelanggan yang berdampak pada aspek finansial perusahaan, seperti perilaku pembelian ulang, kesediaan untuk membayar lebih, dan perilaku berpindah (switching behavior). Szymanski dan Henard (Bendall-Lyon & Powers, 2004) menekankan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kepuasan pelanggan dengan pembelian 34 ulang. Ketika konsumen merasa puas, mereka memiliki tingkat kemungkinan pembelian kembali (repurchase intention) yang lebih tinggi. Sementara itu, social behavioral intentions adalah perilaku pelanggan yang berdampak pada respon pelanggan lain dan pelanggan potensial perusahaan. Social behavioral intentions mempengaruhi individu pelanggan sekaligus opini pelanggan lain, seperti perilaku komplain dan komunikasi word-of-mouth. Menurut Anderson et al. (Bendall-Lyon & Powers, 2004:116) informasi yang disebarkan melalui word-of-mouth oleh pelanggan dapat dijadikan masukan bagi ekspektasi pelanggan di masa depan. Salah satu bentuk word-of-mouth yang positif adalah intensi untuk merekomendasikan produk atau jasa kepada orang lain. Akan tetapi, dengan memberikan pengalaman dan memuaskan konsumen tidak menjamin bahwa konsumen akan loyal terhadap perusahaan. Seperti pemikiran Newman dan Werbel yang dikutip oleh Wong dan Tsai (2010:61) bahwa konsumen yang puas belum tentu loyal karena sangat mungkin untuk berpindah ke perusahaan lain. Sementara itu, dalam beberapa kasus konsumen yang tidak puas bahkan secara kontinu menunjukkan kesetiaannya terhadap perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumen cenderung sulit diprediksi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal baik yang berkaitan dengan aspek kognitif maupun afektif. Gronholdt (Wong dan Tsai, 2010:61) mengemukakan empat perilaku yang mengarah pada loyalitas yang menjadi dimensi pengukuran variabel customer behavioral intention, yaitu: 1) Repurchase intention: kecenderungan konsumen untuk membeli kembali produk atau jasa. 35 2) Recommendation of brand or company to others : rekomendasi kepada orang lain merupakan suatu bentuk word-of-mouth yang positif. Konsumen memberikan rekomendasi ketika mereka memberikan saran yang positif berkaitan dengan produk atau jasa tertentu kepada orang lain secara sukarela tanpa paksaan atau stimulus tertentu. 3) Price tolerance: merupakan rentang perubahan harga yang dapat diterima oleh masing-masing konsumen. 4) Cross-buying: merupakan perilaku konsumen membeli tambahan produk atau jasa dari perusahaan selain dari yang telah dibelinya. Dengan mengacu pada kategori behavioral intention yang dikemukakan oleh Smith (Bendall-Lyon & Powers, 2004), maka repurchase intention, price tolerance, dan cross-buying termasuk dalam kategori economic behavioral intention, sedangkan recommendation to others merupakan bagian dari social behavioral intention. 2.1.6 Hubungan Antara Variabel Experiential Marketing, Relationship Marketing, Experiential Value, dan Behavioral Intention Berikut ini adalah penjelasan mengenai hubungan-hubungan yang terjadi antara variabel-variabel yang diteliti: a) Experiential Marketing dan Relationship Marketing Dalam penelitian sebelumnya, Chou (2009) menghubungkan antara variabel experiential marketing dan relationship marketing. Dikatakan bahwa experiential marketing membangun hubungan yang tercipta 36 dalam relationship marketing dan menjadikannya bagian dari pengalaman. Hasil dari penelitian Chou (2009) membuktikan bahwa experiential marketing secara signifikan memiliki pengaruh terhadap relationship marketing dengan P-value < 0.01, dan keduanya memiliki hubungan yang positif dalam arti jika experiential marketing meningkat, maka relationship marketing juga akan meningkat. b) Experiential Marketing dan Experiential Value Banyak penelitian-penelitian terdahulu yang membuktikan hubungan antara experiential marketing dengan experiential value, diantaranya adalah penelitian oleh Chou (2009), Wang dan Lin (2009), yang samasama menyatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Di samping itu, penelitian yang dilakukan Huang sebagaimana dikutip dalam Lin, Chang, Lin, Tseng, dan Lan (2009, p231) juga mengungkapkan bahwa experiential marketing memiliki hubungan positif terhadap experiential value. Experiential marketing menekankan pada penyediaan pengalaman yang unik dan mengesankan sehingga dapat meningkatkan nilai pengalaman pelanggan. Dengan kata lain, experiential value diperoleh dari pengalaman, dan untuk itu experiential marketing yang baik akan menimbulkan experiential value yang dirasakan oleh pelanggan (Lin, Chang, Lin, Tseng, & Lan, 2009). 37 c) Relationship Marketing dan Experiential Value Chou (2009) mengutip Kotler dan Armstrong yang mendeskripsikan bahwa relationship marketing adalah strategi pemasaran jangka panjang yang bertujuan untuk menyampaikan nilai pelanggan dalam jangka panjang. Hasil penelitian Chou (2009) juga menunjukkan adanya pengaruh langsung yang signifikan dan positif antara relationship marketing terhadap experiential value. Adanya kaitan antara kedua variabel ini juga diperkuat oleh pernyataan Peng dan Wang (2006) dalam Alrubaiee dan Al-Nazer (2010) bahwa relationship marketing merupakan seluruh aktivitas pemasaran yang diarahkan untuk membangun loyalitas pelanggan dengan menyediakan nilai bagi semua pihak yang terlibat dalam pertukaran relasional. d) Experiential Marketing dan Behavioral Intention Menurut Caru dan Cova dalam Wong dan Tsai (2010), pengalaman merupakan kejadian-kejadian individual yang memiliki potensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Wang (2003) yang dikutip oleh Wang dan Lin (2009) menyatakan adanya hubungan antara variabel-variabel experiential marketing, experiential value, dan purchasing intention. Dalam penelitian tersebut, experiential value berfungsi sebagai mediating variable di mana hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa experiential marketing berhubungan secara positif dengan experiential 38 value, dan experiential value secara positif berhubungan dengan purchasing intention. e) Relationship Marketing dan Behavioral Intention Hubungan antara kedua variabel ini didukung oleh pernyataan Kang dan Ridgway (1996) dalam Khan, Kadir, dan Wahab (2010) bahwa pelanggan akan merasa wajib untuk meningkatkan minat (intention) mereka ketika perusahaan menghargai dan berinvestasi dalam hubungan dengan pelanggan. Selain itu, Parasuraman dalam Khan, Kadir, dan Wahab (2010) juga mengusulkan bahwa minat perilaku pelanggan berkaitan dengan kemampuan penyedia jasa untuk mempertahankan mereka agar tetap loyal. Kemampuan untuk mempertahankan pelanggan agar loyal dibangun melalui relationship marketing. Kemudian, seperti yang dikutip oleh Alrubaiee dan Nazer (2010) dari pernyataan Bolton, et al. (2000), De Wulf, et al. (2001), dan Verhoef (2003) diketahui bahwa penelitian-penelitian empiris terdahulu telah membuktikan bahwa relationship marketing mempengaruhi behavioral loyalty. Shoemaker dan Lewis dalam Chen dan Chen (2010) menyebutkan bahwa behavioral intention yang baik merepresentasikan conative loyalty (behavioral loyalty). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa relationship marketing dan behavioral intention saling berhubungan satu sama lain. 39 f) Experiential Value dan Behavioral Intention Lin dan Chiang (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perceived experiential value memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap behavioral intention. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Chang dan Wildt (1994) yang dikutip oleh Lin dan Chiang (2010) bahwa persepsi nilai adalah faktor mendasar yang mempengaruhi minat pembelian pelanggan. Selain itu, hasil penelitian dari Keng, Huang, Zheng, dan Hsu (2007) juga membuktikan bahwa dimensi-dimensi dari experiential value secara positif berhubungan dengan behavioral intention. 2.1.7 Konsep Restoran Secara etimologis, kata restoran berasal dari kata “restaurer” yang dalam bahasa Inggris berarti to restore (restorasi) dan dalam bahasa Indonesia berarti memperbaiki atau memulihkan, sehingga restoran merupakan tempat untuk menyediakan makanan dan minuman kepada konsumen untuk memulihkan kembali kondisi stamina mereka yang telah berkurang setelah melakukan aktivitas (Wiwoho, 2008:1). Selain itu, definisi menurut Ditjen Pariwisata 1990/1991 yang juga dikutip oleh Wiwoho (2008:1) “restoran adalah salah satu jenis usaha pangan yang bertempat di sebagian atau seluruh bangunan yang permanen, dilengkapi dengan peralatan penyimpanan, penyajian, dan penjualan makanan dan minuman bagi umum di tempat usahanya”. Sedangkan di dalam SK Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. KM 73/PW 105/MPPT-85 dijelaskan bahwa “rumah 40 makan adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan hidangan dan minuman untuk umum” (Bina UKM, 2010). Walker (2007:13) menyatakan bahwa bisnis restoran memiliki elemen produksi (penyajian makanan) dan penyampaian (delivery). Disebutkan pula bahwa makanan merupakan produk yang unik karena untuk dapat merasakan cita rasa makanan yang sama, pelanggan harus datang kembali ke restoran yang sama. Di samping itu, Walker juga menegaskan bahwa selain makanan, atmosfer restoran pun penting pagi pelanggan. Oleh karenanya, restoran dapat digolongkan sebagai bisnis yang menyediakan pengalaman yang mengesankan bagi pelanggan. Secara umum bisnis restoran dikategorikan dalam bidang hospitality karena sangat terkait dengan jasa atau pelayanan. Susskind, Kacmar, dan Borchgrevink (2007) menegaskan bahwa jasa restoran merupakan suatu proses yang secara bersamaan dihasilkan oleh tiga kelompok individu, yaitu manajer (termasuk pemilik restoran), karyawan/staf restoran, dan tamu/pelanggan. Karena jasa bersifat kompleks, Ford dan Etienne (2003) menyimpulkan bahwa proses tersebut dipengaruhi oleh variabel yang berkaitan dengan pelanggan seperti demografi atau perilaku pelanggan; variabel yang berkaitan dengan penyedia jasa restoran seperti demografi, perilaku, suasana hati, dan emosi; serta keadaaan yang meliputi lingkungan organisasi, struktur, kepemimpinan, dan para karyawan (Susskind, Kacmar, dan Borchgrevink, 2007:371). 41 2.2 Kerangka Pemikiran (X1) Experiential Marketing H1 H4 H2 (X2) Relationship Marketing (Y) Experiential Value H3 (Z) Behavioral Intention H5 Gambar 2. 3 Kerangka Pemikiran Sumber: peneliti (2012) 2.3 Hipotesis H1: experiential marketing memiliki pengaruh terhadap relationship marketing. H2: experiential marketing dan relationship marketing secara simultan atau parsial mempengaruhi experiential value. H3: experiential value memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention. H4: experiential marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value. 42 H5: relationship marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan melalui experiential value.