BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Pada sub-bab ini, peneliti akan menyajikan ulasan teori dari berbagai sumber yang berkaitan dengan marketing secara umum, serta variabel-variabel yang diteliti, antara lain experiential marketing, service quality, experiential value, dan customer behavioral intention. 2.1.1 Pemasaran Kotler (2007) menyatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan, dan bertukar sesuatu yang bernilai satu sama lain. Definisi pemasaran ini bersandar pada konsep inti: kebutuhan (needs), keinginan (wants), dan permintaan (demands); produk (barang, jasa dan gagasan); nilai, biaya dan kepuasan; pertukaran, transaksi dan hubungan; pasar dan pemasaran serta pemasar. Pemasaran merupakan salah satu dari kegiatan-kegiatan pokok yang harus dilakukan perusahaan dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang, dan mendapatkan laba. Kegiatan pemasaran sendiri dimulai jauh sebelum barang-barang diproduksi, dan tidak berakhir dengan penjualan. Kegiatan pemasaran perusahaan harus dapat memberikan kepuasan kepada konsumennya, sehingga konsumen mempunyai pandangan yang lebih positif terhadap perusahaan, dimana hal ini adalah kunci sukses keberhasilan perusahaan. Berbagai definisi pemasaran telah banyak berkembang dari masa ke masa. Awalnya, pemasaran hanya dikenal sebagai proses menjual dan beriklan, atau dengan kata lain hanya sebuah proses transaksi saja. Namun, dewasa ini pemasaran dikenal sebagai proses dalam memuaskan kebutuhan pelanggan. Seorang pemasar yang memahami kebutuhan pelanggan dapat mengembangkan produk atau jasa yang memberikan nilai superior bagi pelanggan, menetapkan harga, mendistribusikan, 7 8 serta melakukan promosi secara efektif. Dengan demikian, bauran pemasaran berkaitan dengan 4P (product, price, place, promotion).Bauran pemasaran yang paling umum digunakan adalah 4P dan 7P untuk pemasaran di bidang jasa. 2.1.2 Experiential Marketing Menurut Kotler (2003) ada dua tipe pemasaran yaitu pemasaran tradisional dan pemasaran modern. Pemasaran modern telah menyusul pemasaran tradisional karena penekanan pada konsep customer experience dan experiential marketing. Kotler (2003) juga menyebutkan bahwa ada lebih banyak perusahaan mulai mengembangkan citra non rasional dan mereka meminta bantuan dari psikolog dan antropolog untuk menciptakan dan mengembangkan pesan yang dapat menyentuh jiwa pelanggan secara mendalam. Holbrook (2000) percaya bahwa ketika pasar memasuki periode customer experience, fokus utama akan berubah dari kinerja produk ke pengalaman dan entertainment. Tabel 2.1 Traditional Marketing Vs. Modern Marketing Traditional Marketing Experiential Marketing Focus Product features and benefits Scope Narrow definition of product Broader consumption situation Customer Holistic consumer experience categories and consumption and socio-cultural context Rational decision maker Rational and emotional beings – Mental Model Feeling, Fantasies, and Fun Marketer’s Analytical, Approach quantitative verbal and Ecletic, verbal, visual, and intuitive Sumber : Kotler (2003) Para peneliti memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai definisi pengalaman dalam pemasaran. Schmitt (1999) menciptakan istilah experiential marketing dan mendefinisikannya sebagai pengakuan pelanggan atas pembelian barang atau jasa dari suatu perusahaan atau merek setelah mereka mengalami kegiatan dan stimulasi. Lee et al. (2011) mendefinisikan experiential marketing sebagai kenangan yang berkesan atau pengalaman yang masuk dalam ke benak pelanggan. Carbone (2009) mendefinisikan pengalaman sebagai citra (image) yang 9 dimiliki konsumen dalam benaknya setelah berhadapan dengan produk, jasa, dan perusahaan, serta merupakan persepsi yang berasal dari kombinasi berbagai informasi yang diterima oleh panca indera. Hemsley (2006) menganggap experiential marketing sebagai interaksi langsung yang bertujuan untuk mengkomunikasikan kepribadian merek agar dapat mengubah persepsi dan perilaku konsumen, mengaktifkan merek agar konsumen dapat melihat, bahkan merasakan pengalaman emosional dari suatu merek. Sementara itu, Smilansky (2009:5) menganggap bahwa experiential marketing adalah suatu proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan secara menguntungkan, melibatkan mereka dalam komunikasi dua arah yang membawa kepribadian merek menjadi nyata dan memiliki nilai tambah bagi target audiens. Andreani (2007) menyimpulkan bahwa experiential marketing bukan sekadar memberikan informasi dan peluang kepada pelanggan untuk merasakan pengalaman atas manfaat yang diperoleh dari produk atau jasa, tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak pada pemasaran, khususnya penjualan. Namun, Hauser (2007) berpendapat dalam Experiential Marketing Forum bahwa experiential marketing merupakan pendekatan holistik terhadap hubungan konsumen dan merek, dirancang untuk mempengaruhi konsumen secara rasional dan emosional Pada dasarnya experiential marketing berfokus pada pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa melalui penciptaan lingkungan yang tepat oleh marketer. Namun demikian, experiential marketing tidak mengabaikan kualitas dan fungsi dari produk dan jasa; melainkan meningkatkan emosi pelanggan dan stimulasi sense. Poin utama dari experiential adalah untuk berhubungan dengan pelanggan melalui pendekatan di berbagai tingkat. 2.1.3 Dimensi Experiential Marketing Berdasarkan strategic experience model, Schmitt (1999) membagi jenis experiential marketing menjadi lima dimensi yaitu :Sense Experience, Feel Experience, Think Experience, Act Experience, dan Relate Experience. 10 a) Sense Experience Senses melibatkan rangsangan fisik yang direspon oleh panca indera, dapat berupa ciri-ciri visual atau verbal yang dapat menciptakan kesan secara utuh. McCole (2004) mendefinisikan sense experience sebagai pengalaman yang didapat pelanggan dari penglihatan, perasa, penciuman, sentuhan dan pendengaran mereka. Berdasarkan Yuan dan Wu (2008), sense experience adalah pesan yang dibentuk pelanggan terhadap produk atau jasa dengan indra mereka. Melalui pengalaman indrawi, konsumen akan mampu mengembangkan pengalaman logika dan kemudian mereka menggunakan pengalaman logika tersebutuntuk membentuk penilaian pribadi yang selanjutnya akan membedakan produk dan jasa yang dialami oleh mereka (Varga dan Lusch, 2004). Sense marketing digunakan untuk membedakan perusahaan dan product, memotivasi pelanggan, serta memberikan nilai tambah bagi produk. Kunci sukses dalam menciptakan pengalaman panca indera adalah dengan menjamin konsistensi dan menciptakan keragaman (Schmitt, 2009). b) Feel Experience Feel experience ini mengacu pada emosi, suasana hati, dan perasaan pelanggan yang berasal dari proses mengkonsumsi produk dan jasa (Yang dan He, 2011; Yuan dan Wu, 2008). Feel experience dapat berupa berbagai bentuk, dan biasanya berkisar dari suasana hati yang sedang sampai ke suasana hati yang intens (Yang dan He, 2011). Dengan perasaan positif yang dihasilkan dalam proses konsumsi, konsumen mengembangkan emosi positif (Schmitt, 1999). Menurut Mattila (2001), emosi yang kuat dan positif dalam feel experience akan meningkatkan manajemen hubungan pelanggan antara pelanggan dan penjual. Feel experience berbeda dari sense experience karena melibatkan aspek batin atau spiritual seseorang. Feel marketing bertujuan untuk mempengaruhi perasaan terdalam/batin (inner feeling) dan emosi konsumen dengan menciptakan perasaan positif terhadap merek serta kesan yang diasosiasikan dengan kegembiraan atau kebanggaan. 11 c) Think Experience Think experience menekankan pada kecerdasan konsumen dalam menghasilkan pengalaman kognitif (Lee et al., 2008). Menurut Schmitt (1999), think experience merangsang pemikiran kreatif pelanggan dalam mengembangkan ide baru atau berpikir tentang sebuah perusahaan atau produknya. Melalui proses menciptakan ide baru atau berpikir, konsumen membentuk evaluasi mereka sendiri terhadap perusahaan dan mereknya. Menurut Guilford (2008) pemikiran dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pemikiran konvergen dan divergen. Pemikiran konvergen berarti menganalisa dan menyimpulkan masalah yang spesifik. Sedangkan pemikiran divergen merupakan proses berpikir untuk menghasilkan ide-ide kreatif dengan mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi atas masalah. d) Act Experience Menurut Schmitt (1999), act experience memungkinkan konsumen untuk mengembangkan pengalaman yang berhubungan dengan fisik tubuh, perilaku, gaya hidup dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi sosial dengan orang lain. Melalui act experience, konsumen mengembangkan rasa sensasi, pengaruh dan hubungan dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Kesuksesan act marketing tergantung pada penciptaan produk yang tepat, stimulasi, dan atmosfer untuk merangsang pelanggan melakukan pembelian. e) Relate Experience Relate experience memungkinkan konsumen untuk membangun hubungan dengan komunitas sosial dan entitas sosial melalui proses pembelian dan mengkonsumsi produk dan jasa (Chang et al., 2011). Dengan kata lain, relate experience yang dipromosikan melalui kampanye relate marketing memungkinkan konsumen untuk perbaikan diri, yang dirasakan secara positif oleh orang lain dan mengintegrasikan individu pada komunitas sosial (Schmitt, 1999). Relate mencakup nilai budaya dan kelompok referensi yang menjadi acuan dan identitas sosial bagi individu. Relate marketing meliputi aspek sense, feel, think, dan act. Relate marketing bertujuan untuk memberikan pengalaman individual sehingga individu dapat menghubungkanya dengan konsep diri, budaya, atau orang lain. 12 2.1.4 Service Quality Kualitas pelayanan adalah salah satu unsur penting dalam organisasi jasa. Hal ini disebabkan oleh kualitas pelayanan merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi jasa. Oleh karena itu, kualitas pelayanan harus mendapat perhatian yang serius dari manajemen organisasi jasa. Untuk menetapkan kualitas pelayanan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi jasa, terlebih dahulu organisasi tersebut harus mempunyai tujuan yang jelas. Berbagai definisi diberikan para ahli terhadap kualitas pelayanan. Parasuraman (1988) mengartikan kualitas sebagai suatu bentuk sikap, berhubungan namun tidak sama dengan kepuasan, yang merupakan hasil dari perbandingan antara harapan dengan kinerja aktual. Namun kualitas pelayanan dan kepuasan dibentuk dari hal yang berbeda. Selanjutnya disebutkan bahwa pengertian yang paling umum dari perbedaan kualitas pelayanan dan kepuasan adalah bahwa kualitas pelayanan merupakan satu bentuk sikap, penilaian dilakukan dalam waktu lama, sementara kepuasan merupakan ukuran dari transaksi yang spesifik. Perbedaan antara kualitas pelayanan dan kepuasan mengarah pada cara diskonfirmasi yang dioperasionalkan. Dalam mengukur kualitas pelayanan yang dibandingkan adalah apa yang seharusnya didapatkan, sementara dalam mengukur kepuasan yang diperbandingkan adalah apa yang pelanggan mungkin dapatkan (Parasuraman,1998). Dari berbagai pendapat tentang kualitas pelayanan di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi kualitas pelayanan secara umum adalah bahwa kualitas harus memenuhi harapan-harapan pelanggan dan memuaskan kebutuhan mereka. Namun demikian meskipun definisi ini berorientasi pada konsumen, tidak berarti bahwa dalam menentukan kualitas pelayanan penyedia jasa harus menuruti semua keinginan konsumen. Dengan kata lain, dalam menetapkan kualitas pelayanan, perusahaan harus mempertimbangkan selain untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan, juga tersedianya sumberdaya dalam perusahaan. 2.1.5 Penilaian Service Quality Swan dan Comb (1976) adalah penulis awal yang peduli dengan isu-isu pengukuran kualitas layanan dan faktor-faktor dari kualitas pelayanan. Mereka 13 memiliki pandangan bahwa kualitas layanan memiliki dua faktor dasar: kualitas bahan dan kualitas interaktif selama terjadinya interaksi staf organisasi dengan pelanggan. Dalam arah yang sama, Sasser dan Arbeit (1976) membedakan antara tiga faktor pelayanan, yang merupakan elemen fisik, fasilitas, dan personil. Lehtinen (1982) menambahkan faktor keempat dalam pengukuran kualitas layanan, yang merupakan kualitas organisasi. Gronroos (1984) juga membagi faktor kualitas menjadi tiga faktor utama, yaitu kualitas teknis, kualitas fungsional, dan kualitas citra organisasi. Pasuraman et al. (1985) mengembangkan sepuluh faktor dasar kualitas, yang menentukan kualitas pelayanan sesuai dengan persepsi dan harapan konsumen. Pada tahun 1988, para peneliti sebelumnya mengurangi faktor-faktor tersebut menjadi hanya lima faktor untuk mengevaluasi aspek layanan: tangibility, responsiveness, reliability, assurance, dan empathy. Kemudian, Gummesson (1990) menentukan elemen dasar berikut ini untuk mengidentifikasi harapan pelanggan pada jasa konsultasi administrasi: profesionalitas penyedia layanan, kualitas layanan khusus, ketepatan diagnosa, penerapan mandat, pemecahan masalah, dan implementasi solusi. Dalam studi berikutnya Mary (1995) mempelajari tentang peningkatan kualitas layanan Underground di Inggris, faktor kualitas adalah: rute reguler yang kontinu, kebersihan, efisiensi staf layanan, perlakuan yang baik terhadap masyarakat, dan kemudahan untuk membeli tiket. Curry dan Herbert (1998) menemukan bahwa kualitas dapat ditentukan dan diukur melalui tiga skala: kualitas pelanggan, kualitas profesional dan kualitas manajemen. Kemudian Oh (1999) hanya memilih unsur perceived price, dan delapan elemen persepsi peralatan hotel, sementara Dabholker et al. (2000) menetapkan tiga faktor: kepercayaan, perawatan pribadi dan kenyamanan. Adapun Broderick dan Vachirapornpuk (2002), mengidentifikasikan tiga faktor: layanan peralatan, harapan pelanggan, dan citra mental organisasi jasa. Selain itu Li et al. (2002) menentukan enam faktor untuk mengukur e-Servicequality yaitu kenyaman, kualitas informasi, simpati, bantuan dari situs web, komunikasi, dan responsiveness. Al-Hawari et al. (2005) menyediakan model kualitas layanan otomatis di bank dengan menggunakan lima faktor, yaitu ATM, telephone banking, bank online, harga, dan kualitas produk. Pada tahun yang sama, Gaunaris (2005) menyajikan 14 empat faktor kualitas pengembangan dan pembangunan perangkat lunak untuk komputer. Faktor-faktor ini adalah kualitas potensi, kualitas proses fisik, kualitas program, dan kualitas output. Dalam hal rantai pasokan Seth et al. (2006) mengidentifikasi tujuh faktor: keandalan, kredibilitas, efisiensi, komunikasi internal organisasi, fleksibilitas layanan, kepercayaan keuangan, dan lingkungan layanan. Kaul (2007) menyajikan lima faktor untuk mengukur kualitas pelayanan di toko-toko ritel, termasuk aspek alam, kehandalan, interaksi personal, pemecahan masalah dan kebijakan akuntansi yang diterapkan. Banyak penelitian telah mengadopsi model SERVQUAL dalam upaya mereka untuk mengukur kualitas pelayanan. 2.1.6 Konsep SERVQUAL Parasuraman et al. (1988) mendefinisikan penilaian kualitas pelayanan sebagai pertimbangan global atau sikap yang berhunbungan dengan keunggulan (superiority) dari suatu pelayanan (jasa). Dengan kata lain, penilaian kualitas pelayanan adalah sikap individu secara umum terhadap kinerja perusahaan. Selanjutnya mereka menambahkan bahwa penilaian kualitas pelayanan adalah tingkat dan arah perbedaan antara persepsi dan harapan pelanggan. Selisih antara persepsi dan harapan inilah yang mendasari munculnya konsep gap (perceptionexpectation gap) dan digunakan sebagai dasar skala SERVQUAL. Dari penelitian ini ditemukan bahwa penilaian kualitas pelayanan didasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Tangibility, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi. Reliability, yaitu kemampuan perusahan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan. Responsiveness, yaitu kemampuan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Assurance, mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Dan terakhir Emphaty, mencakup kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan. Pasuraman (1988) mengelompokkan dimensi kualitas jasa ke dalam lima kategori, yaitu: 15 a) Reability (reabilitas) Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang ditepati. b) Responsiveness (daya tanggap) Berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat. c) Assurance (jaminan) Adalah perilaku para karyawan mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya.Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai setiap pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan. d) Empathy (empati) Berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman. e) Tangibles (bukti fisik) Berkenaan dengan daya tarik fisik, perlengkapan dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan. 2.1.7 Experiential Value Konsumen melihat nilai dari produk atau jasa berdasarkan harga, kualitas, manfaat yang diterima, dan pengorbanan yang dikeluarkan. Nilai dianggap sebagai pertukaran antara harga dan kualitas, atau manfaat dan pengorbanan.Suatu produk atau jasa dikatakan bernilai apabila kualitas atau manfaatnya relatif lebih besar bila dibandingkan dengan harga yang dibayar atau pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperolehnya. Holbrook (2000) mendefinisikan nilai konsumen sebagai preferensi relatif yang mencirikan pengalaman konsumen dalam berinteraksi dengan objek tertentu seperti produk, jasa, tempat, kejadian, atau ide. Menurut pandangan Holbrook, nilai pelanggan memiliki karakteristik sebagai berikut: 16 a) Komparatif: berdasarkan penilaian atau peringkat antara satu objek terhadap objek lainnya. b) Personal: berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. c) Situasional: berbeda-beda tergantung pada konteks situasi. Pengalaman bukanlah hal yang bersifat spontan, tetapi sesuatu yang diciptakan. Pine dan Gilmore (1999) mengatakan bahwa pengalaman bersifat internal, terjadi di dalam benak seseorang. Karena setiap orang berbeda, maka pengalaman yang mereka rasakan pun berbeda. Pengalaman aktual bersifat sesaat dan hanya dirasakan pada saat konsumsi, sedangkan nilai pengalaman yang dimiliki konsumen akan melekat dalam memori mereka. Nilai pengalaman didefinisikan oleh Mathwick (2001) sebagai tingkat sejauh mana pengalaman membantu konsumen mencapai tujuan konsumsinya. Persepsi nilai pengalaman didasarkan pada interaksi yang mencakup penggunaan langsung atau apresiasi terhadap produk dan jasa. 2.1.8 Dimensi Experiential Value Tipologi nilai pengalaman yang diusulkan oleh Holbrook (1994) menunjukkan landscape nilai yang dibagi menjadi empat kuadran dengan sumber nilai intrinsik / ekstrinsik pada satu sumbu dan nilai aktif / reaktif di sisi lain. Mengacu pada penelitian sebelumnya keempat dimensi experiential value yaitu: customer return on investment, service excellence, playfulness, dan aesthetic appeal. a) Sumber aktif nilai ekstrinsik: customer return on investment (CROI) Customer return on investment (CROI) terdiri dari investasi aktif sumber daya keuangan, temporal, perilaku, dan psikologis yang berpotensi menghasilkan keuntungan. Konsumen mungkin mendapatkan return berupa utilitas ekonomi serta utilitas yang berasal dari efisiensi pertukaran. Karena itu dalam penelitian ini kedua aspek ini dikonseptualisasikan sebagai indikator dari dimensi CROI. b) Sumber reaktif nilai ekstrinsik: service excellence Pelayanan prima mencerminkan respon reaktif di mana konsumen datang untuk mengagumi entitas pemasaran dalam kapasitasnya untuk melayani sebagai sarana akhir untuk berorientasi diri (Holbrook dan Corfman, 1985; 17 Holbrook, 1994). Oliver (1999) menandai dimensi nilai sebagai standar penilaian kualitas yang ideal. Ia mencirikan hubungan antara perceived service excellence dan kualitas layanan yang dimoderatori oleh hasil kinerja. Dengan kata lain, nilai yang diperoleh dari persepsi pelayanan prima mencerminkan apperiation konsumen umum dari penyedia layanan untuk memenuhi janjinya melalui keahlian yang ditunjukkan dan kinerja yang berhubungan dengan tugas (Zeithaml, 1988). c) Sumber reaktif nilai intrinsik: aesthetic appeal Tanggapan estetika adalah reaksi terhadap simetri, proporsi dan kesatuan benda fisik, sebuah karya puisi atau kinerja (Olson, 1981; Veryzer, 1993). Dalam konteks retail, estetika tercermin dalam dua dimensi kunci yaitu elemen-elemen visual dari lingkungan ritel dan aspek menghibur atau dramatis kinerja pelayanan itu sendiri (Bellenger, Steinberg dan Stanson, 1976; Deighton dan Grayson, 1995; Mano dan Oliver , 1993). Daya tarik visual didorong oleh desain, daya tarik fisik dan keindahan yang melekat dalam pengaturan ritel (Holbrook, 1994). Dalam kasus katalog merchandising seperti majalah sangat bergantung pada pengaturan format fotografi untuk menampilkan barang dagangan dan menyiratkan pengalaman konsumsi yang diinginkan. (Schmit, 1998). Sedangkan pada media online, kombinasi dari penggunaan warna, tata letak grafis dan kualitas fotografi sangat mempengaruhi dimensi ini. Konsumen yang merasa pengalaman belanja lebih dari sekedar pembelian menganggap pengalaman tersebut sebagai salah satu kenikmatan dan menghargainya dalam semua nuansa. Konsumen ini menanggapi dimensi hiburan pada respon estetika. Bagi mereka yang berbelanja untuk kepentingan hiburan, jenis pengalaman beroperasi sebagai "pick-me-up", yang dalam beberapa kasus dengan secara sadar digunakan untuk mendorong pembelian (Babin, Darden dan Griffin, 1994). Dimensi daya tarik visual dan hiburan menawarkan kesenangang langsung untuk kepentingan diri sendiri, terlepas dari kemampuan lingkungan ritel untuk memfasilitasi pemenuhan kegiatan belanja tertentu (Deighton dan Grayson, 1995; Driefus, 1997). d) Sumber aktif nilai intrinsik: playfulness Pertukaran nilai playfulness tercermin dalam kenikmatan intrinsik yang berasal dari keterlibatan dalam kegiatan yang menawarkan konsumen untuk 18 terlepas dari tuntutan dunia sehari-hari (Huizinga, 1955; Unger dan Kernan, 1983). Kenikmatan intrinsik perilaku playful berfungsi sebagai tujuan tujuan tersendiri, terlibat dalam kegiatan tanpa memperhatikan pertimbangan praktis (Babin, Darden dan Griffin, 1994). Escapism adalah aspek playfulness yang memungkinkan pelanggan untuk melepaskan diri dari tuntutan keseharian mereka untuk sementara waktu. 2.1.9 Customer Behavioral Intention Perilaku niat pelanggan terhadap produk dan jasa merupakan hasil dari proses kepuasan yang dirasakan pelanggan terhadap produk dan jasa yang telah diberikan oleh penyedia produk dan jasa. Kepuasan yang dirasakan pelanggan terhadap produk dan jasa yang telah diberikan dapat memberikan pengaruh perilaku niat pelanggan yang tinggi atau rendah tergantung seberapa besar kepuasan yang dirasakan pelanggan. Pemahaman terhadap perilaku konsumen akan memudahkan manajemen dalam upaya untuk mengembangkan produk atau jasanya sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Keinginan berperilaku konsumen seringkali didasarkan pada kemungkinan tindakan yang akan dilakukan. Niat berperilaku (behavioral intention) didefinisikan Mowen (2012) sebagai keinginan konsumen untuk berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang dan menggunakan produk atau jasa. Jadi konsumen dapat membentuk keinginan untuk mencari informasi, memberitahukan orang lain tentang pengalamamannya dengan sebuah produk, membeli sebuah produk atau jasa tertentu, atau membuang produk dengan cara tertentu. Menurut Olson dan Peter (2008) niat berperilaku (behavioral intention) adalah suatu proporsisi yang menghubungkan diri dengan tindakan yang akan datang. Schiffman dan Kanuk (2010) mendefinisikan behavioral intention sebagai frekuensi pembelian atau proporsi pembelian total dari pembeli yang setia terhadap merek tertentu. Pada penelitian lainnya Anderson dan Mittal (Liestyana, 2009) berpendapat bahwa niat perilaku adalah hasil dari proses kepuasan, yang dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu perilaku ekonomis dan perilaku sosial. 19 Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa behavioral intentions adalah suatu indikasi dari bagaimana orang bersedia untuk mencoba dan menanamkan kepercayaaan pelanggan terhadap perusahaan sehingga menimbulkan kepuasan tersendiri. 2.1.10 Dimensi Customer Behavioral Intention Menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985), ditemukan dimensi untuk niat perilaku yaitu: a) WOM (Word of Mouth) Komunikasi informal tentang produk atau jasa berbeda dengan komunikasi formal karena dalam komunikasi informal pengirim tidak berbicara dalam kapasitas seorang profesional atau komunikator komersial, tetapi cenderung sebagai teman. Komunikasi ini juga disebut komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication) yang cenderung lebih persuasif karena pengirim pesan tidak mempunyai kepentingan sama sekali atas tindakan si penerima. Sebagian besar proses komunikasi antar manusia dilakukan melalui mulut ke mulut. Setiap hari seseorang berbicara dengan yang lainnya, saling bertukar pikiran, saling tukar informasi, saling memberikan pendapat dan proses komunikasi lainnya. Mungkin sebenarnya pengetahuan konsumen atas berbagai macam produk lebih banyak disebabkan adanya komunikasi dari mulut ke mulut. Hal itu terjadi karena informasi dari teman akan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari iklan. b) Sensitivitas harga Sensitivitas harga merupakan sikap atau perasaan pelanggan dalam membayar produk pada harga tertentu yang ditawarkan perusahaan terhadap produk yang mereka inginkan. Reaksi pelanggan tersebut berupa pengalihan terhadap produk/merek lain, menunda pembelian atau mereka tidak jadi melakukan pembelian atas produk atau jasa tersebut. Pelanggan memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap harga untuk produk atau jasa yang memiliki harga yang tinggi atau yang sering dibeli pelanggan. Pelanggan kurang peka terhadap harga untuk produk atau jasa yang memilki harga 20 rendah atau yang jarang mereka beli. Mereka juga kurang peka terhadap harga apabila harga hanya dianggap sebagai sebagian kecil dari biaya total untuk memperoleh, menggunakan dan memperbaiki produk sepanjang masa pakainya (Kotler, 2005). Sensitivitas harga dapat digunakan untuk mengukur tingkat perpindahan pelanggan ke perusahaan pesaing, setiap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan dalam hal perubahan harga atau segala sesuatu yang bertujuan untuk memenangkan persaingan harga dengan perusahaan lain akan lebih baik jika dijelaskan dengan menggunakan pelanggan yang sensitif terhadap harga dibandingkan dengan menggunakan pelanggan yang puas terhadap kinerja perusahaan c) Pembelian ulang (repeat purchasing) Niat beli didefinisikan sebagai kemungkinan seorang konsumen untuk berminat membeli suatu produk tertentu yang dilihatnya, jika seseorang menginginkan produk dan merasa tertarik untuk memiliki produk tersebut maka mereka berusaha untuk membeli produk tersebut, selain itu faktor yang lainnya adalah rekomendasi dari pihak lain sangatlah penting karena dapat mempengaruhi seseorang untuk terjadinya proses pembelian. Minat membeli merupakan dorongan konsumen untuk melakukan pembelian atau dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pembelian ulang. Perilaku pembelian ulang seringkali dihibungkan dengan loyalitas merek. Akan tetapi, ada perbedaan di antara keduanya. Bila loyalitas untuk mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu, maka perilaku pembelian ulang semata-mata menyangkut pembelian merek tertentu yang sama secara berulang kali. d) Loyalitas pelanggan Menurut Lovelock dan Wirtz (2011) dimana loyalitas merupakan keinginan pelanggan untuk terus berlangganan pada perusahaan dalam jangka waktu yang panjang, dan merekomendasikan produk tersebut kepada teman dan kolega. Loyalitas pelanggan merupakan salah satu tujuan inti yang diupayakan dalam pemasaran modern. Hal ini dikarenakan dengan loyalitas diharapkan perusahaan akan mendapatkan keuntungan jangka panjang atas hubungan mutualisme yang terjalindalam kurun waktu tertentu. 21 2.2 Kerangka Pemikiran H1 H5 H2 Ga mbar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti (2014) 2.3 Hipotesis a) H1 : experiential marketing memiliki pengaruh terhadap experiential value. b) H2 : service quality memiliki pengaruh terhadap experiential value. c) H3 : experiential marketing memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention. d) H4 : service quality memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention. e) H5 : experiential value memiliki pengaruh terhadap customer behavioral intention.