1 MANUSKRIP LAPORAN KASUS PENGELOLAAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA Tn. M DI RUANG P8 WISMA ANTAREJA RSJ. Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG Oleh: I PUTU ASTRA ADNYANA 0121618 AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2015 Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 2 LAPORAN KASUS PENGELOLAAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA Tn. M DI RUANG P8 WISMA ANTAREJA RSJ. Prof. Dr. SOEROJO MAGELANG I Putu Astra Adnyana1, Abdul Wakhid2, Wulansari3 123 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Masalah gangguan jiwa pada manusia di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Salah satu bentuk gangguan kesehatan jiwa adalah resiko perilaku kekerasan. Resiko perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Apabila tidak segera diatasi maka akan mengakibatkan resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengelolaan resiko perilaku kekerasan di RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, pengkajian primer dan sekunder. Pengelolaaan ini dilakukan selama 2 hari pada Tn. M. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa perawatan pasien dalam memenuhi kebutuhan pencegahan resiko perilaku kekerasan dengan memberikan SP I danSP II. Hasil pengelolaan pada klien selama 2 hari didapatkan hasil klien telah mampu mengontrol marah dengan cara fisik: nafas dalam dan masih belum mampu mengontrol marah dengan obat secara mandiri serta tidak menyebabkan masalah lain akibat dari resiko perilaku kekerasan pada klien. Saran bagi perawat di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang agar untuk lebih meningkatkan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien resiko perilaku kekerasan dengan mengajarkan cara mengontrol marah pada klien secara mandiri untuk menunjang pengelolaan resiko perilaku kekerasan pada klien. Kata kunci Kepustakaan : Resiko perilaku kekerasan. : 16 (2007-2014) 1 Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 3 ABSTRACT Mental disorder problem of human around the world has become a very serious problem. WHO states that at least, there is one of four people in the world has mental health disorder and estimates there are about 450 million people in the world have mental health disorder. One kind of mental disorder is risk of violent behavior. The risk of violent behavior is a condition where a person can do actions that can endanger the physic, such as hurting himself, others and the environment. When it is not overcomed, it can lead to the risk of injuring himself, others and the environment. The purpose of this writing was to know the risk management of violent behavior in RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang. The techniques of data collecting were, interview technique, physical examination, observation, assessment of primary and secondary. The management was conducted for two days in Mr. M. The method was used to provide a form of management of patient care in fulfilling the needs of the risk of violent behavior prevention by providing SP I and SP II. The result of management of the client for 2 days showed the client had been able to control anger physically : breath in and still was not able to control anger with drugs independently; furthermore, did not cause other problems as a result of the risk of violent behavior of the client. The suggestion for nurses at RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang is to further improve to give health services and provide nursing care, especially for the client with risk of violent behavior by teaching them how to control anger independently to support the risk management of violent behavior in the client. Keyword Literatures : The Risk Of Violent Behavior : 16 (2007-2014) PENDAHULUAN Era globalisasi adalah suatu era dimana tidak lagi ada pembatas antara negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi, dan politik. Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas yang merupakan ciri era ini, berdampak pada semua sektor termasuk sektor kesehatan. Salah satu dampak dari era globalisasi terjadi di sektor kesehatan, yaitu masalah kesehatan jiwa akan meningkat. Sebagai contoh jumlah penderita sakit jiwa di provinsi lain dan daerah Istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi mendominasi masyarakat kelas bawah tetapi kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif ( Yosep & Sutini, 2014). Kesehatan jiwa adalah kesehatan jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari stres yang serius (Rosdahi, 1999 dalam Kusumawati & Hartono, 2010). Hal ini didukung oleh pernyataan dari Maria Jahoda (Depkes, 2000 dalam dalam Kusumawati & Hartono, 2010) individu yang sehat jiwa ditandai dengan enam hal, yaitu: sikap positif terhadap diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, Integrasi (keseimbangan/keutuhan), otonomi, persepsi realitas, kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan. Adapun seperti yang dijelaskan faktor-faktor diatas individu dikatakan sehat jiwa apabila memiliki enam kriteria tersebut. Kemudian jika individu mengalami salah satu masalah dan menyimpang dari batas kriteria sehat jiwa maka, individu tersebut dapat dikategorikan mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya kekacauan pikiran, persepsi Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 4 dan tingkah laku dimana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan. Gangguan jiwa dapat mengenai manusia secara seutuhnya bukan hanya jiwa, badan, dan lingkungannya saja. Gangguan jiwa meliputi gejala-gejala patologi dominan yang berasal dari unsur psikis yang timbul secara menyeluruh. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa berat yaitu Skizofrenia (Yosep, 2009). Menurut Aris Sudiyanto dalam yosep (2007), ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, bilogis atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria, dan lainlain), kecanduan obat dan alcohol, dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (patern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain). Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan jiwa pada manusia di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001 dalam Yosep & Sutini, 2014) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia yang mengalami gangguang kesehatan jiwa. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO Wilayah Asia Tenggara, hampir satu pertiga dari penduduk diwilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, Hasil Riskesdas (2013), prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Artinya, Jawa Tengah termasuk 5 besar provinsi dengan gangguan jiwa terbanyak. Masalah utama dari gangguan jiwa adalah Skizofrenia. Penyakit Skizofrenia atau Schizophrenia artinya kepribadian yang terpecah antara pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam artian apa yang dilakukan tidak sesuai dengan pikiran dan perasaannya. Secara spesifik skizofrenia adalah orang yang mengalami gangguan emosi, pikiran, dan perilaku (Faisal, 2008 dalam Prabowo 2014). Gejala positif sering tampak di awal fase skizofrenia dan biasanya menjadi alasan klien dirawat di rumah sakit. Gejala positif salah satunya adalah perilaku kekerasan, yaitu respon dan perilaku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atau sesuatu. Survey yang dilakukan oleh (Videbeck, 2008 dalam Hidayati, 2011) angka kejadian perilaku kekerasan yang sering muncul pada klien Skizofrenia salah satunya sering bertengkar. Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 5 Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan. Menurut Kusumayanti & Hartono (2010) kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari marah atau ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain. Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan koping yang kurang bagus. Menurut Prabowo (2014) akibat pasien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah gangguan jiwa pada manusia diseluruh dunia relatif banyak dan menjadi masalah yang sangat serius. Salah satu bentuk gangguan jiwa ialah perilaku kekerasan, adapun perilaku kekerasan bisa berakibat sangat serius dan merugikan seperti mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengangkat Karya Tulis Ilmiah dengan judul pengelolaan risiko perilaku kekerasan pada Tn. M di Wisma Antareja (P.8) Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soerojo Magelang. METODE PENGELOLAAN Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa perawatan pasien dalam memenuhi kebutuhan pencegahan resiko perilaku kekerasan dengan memberikan SP I dan SP II. Pengelolaaan ini dilakukan selama 2 hari pada Tn. M. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tehnik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, pengkajian primer dan sekunder. Setelah didapatkan data dari proses pengkajian, penulis menegakan diagnose Resiko Perilaku Kekerasan di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. HASIL PENGELOLAAN Hasil pengelolaan Resiko Perilaku Kekerasan tidak menyebabkan masalah lain akibat dari resiko perilaku kekerasan pada klien dan didapatkan klien telah mampu mengontrol marah dengan cara fisik: nafas dalam dan masih belum mampu mengontrol marah dengan obat secara mandiri. DISKUSI Berdasarkan tinjauan kasus yang dilakukan, penulis akan membahas tentang pengelolaan resiko perilaku kekerasan yang muncul pada klien yaitu Tn. M dengan diagnosa medis F. 20. 5 skizofrenia residual, setelah dilakukan pengelolaan selama 2 hari, yaitu tanggal 16 Maret 2015 dan 17 Maret 2015. Pembahasan dalam proses pengelolaan klien Tn. M dengan resiko perilaku kekerasan yaitu meliputi: pengertian dari masalah keperawatan yang muncul, data yang mendukung ditegakkannya masalah keperawatan, prioritas masalah, intervensi, implementasi, evaluasi, faktor yang mendukung Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 6 serta faktor penghambat dalam proses pengelolaannya. Indikatorindikator diatas akan diuraikan secara lebih lengkap dan jelas menurut beberapa sumber. Dimulai dengan tahap yang pertama yaitu tahap pengkajian. Menurut Direja (2011) pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presifikasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Pada klien Tn. M didapatkan beberapa data dari hasil pengkajian yang dilakukan oleh penulis pada hari Senin, tanggal 16 Maret 2015. Data tersebut terdiri dari data subjektif dan data objektif, data subjektif Tn. M yaitu pasien mengatakan dirumah sering marahmarah, mengamuk, sering membanting barang-barang, dan pernah mengancam istrinya. Pasien juga mengatakan terkadang ingin marah jika merenungi keadaanya dan juga pasien mengatakan merasa minder, karena pasien sebagai kepala keluarga belum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian data objektif yang didapatkan dari proses pengkajian, yaitu mudah tersinggung, berbicara cepat dan keras, pasien tampak gelisah dan tegang, sering melamun, kontak mata kurang fokus, dan pandangan mata kosong. Menurut Keliat dan Akemat (2012) menyatakan bahwa tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan yang muncul pada klien biasanya adalah muka merah dan tegang, pandangan tajam, mengantupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul benda atau orang lain, merusak barang atau benda, dan tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan perilaku kekerasan. Dari keseluruhan data yang didapatkan melalui proses pengkajian, proses selanjutnya adalah menganalisa data dan hasil dari analisa data akan didapatkan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan adalah interpretasi ilmiah dari data pengkajian yang digunakan untuk mengarahkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan (Nanda-I, 2012). Dari analisa data yang dilakukan penulis akhirnya didapatkan 3 masalah keperawatan antara lain yaitu resiko perilaku kekerasan , resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan dan gangguan konsep diri: harga diri rendah. Menurut Kusumawati & Hartono (2010) prioritas masalah keperawatan adalah masalah utama klien dari beberapa masalah yang dimiliki oleh klien. Dari 3 diagnosa diatas penulis memprioritaskan masalah keperawatan resiko perilaku kekerasan sebagai prioritas utama karena menurut penulis jika perilaku kekerasan tidak ditangani segera maka akan terjadi resiko tinggi mencederai diri, orang lain, dan lingkungan. Menurut (Stuart & Sundeen, 1995 dalam Direja 2011) resiko perilaku kekerasan merupakan Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 7 keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Masalah resiko perilaku kekerasan dapat ditegakkan jika terdapat data yang mendukung, seperti data subyektif dan data obyektif yang didapatkan dari proses pengkajian. Data yang didapatkan dari pengkajian pada tanggal 16 Maret 2015 didapatkan data subyektif dari Tn. M yaitu pasien mengatakan di rumah sering marahmarah, mengamuk dan juga pasien mengatakan terkadang ingin marah jika merenungi keadaanya dan data obyektifnya mudah tersinggung, berbicara cepat dan keras, pasien tampak gelisah dan tegang. Untuk menegakkan diagnosa resiko perilaku kekerasan ada beberapa indikator yang ada dalam pengkajian, yaitu menurut Fitria (2009) klien dengan risiko perilaku kekerasan sering menunjukan adanya data subjektif, klien mengancam, klien mengumpat dengan kata-kata kotor, klien mengatakan dendam dan jengkel, klien mengatakan ingin berkelahi, klien menyalahkan dan menuntut, klien meremehkan. Data objektif diantaranya mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, postur tubuh kaku dan suara keras. Setelah ditinjau kembali, ada beberapa perbedaan data yang diperoleh dari hasil pengkajian pada klien Tn. M berbeda dengan teori, karena disebabkan oleh latar belakang seseorang berisiko melakukan perilaku kekerasan pada masing-masing individu berbeda, menurut Patricia (1998) dalam Yosep (2009) ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perikau kekerasan yaitu faktor psikologis, faktor sosial budaya, faktor biologis, faktor presipitasi sehingga tidak semua data pada teori terdapat pada klien secara langsung. Ini terjadi karena klien bukan baru pertama kali ini dirawat di rumah sakit jiwa dan tentunya juga karena klien telah menjalani perawatan dari waktu klien masuk pada tanggal 3 Maret 2015 sampai saat penulis melakukan pengkajian tanggal 16 Maret 2015 sekitar 2 minggu. Hal ini dikarena telah banyaknya intervensi keperawatan yang diberikan oleh perawat ruangan Bangsal P.8 Wisma Antareja dan intervensi medis dari tim medis RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. Sehingga data yang seharusnya muncul pada saat pengkajian akhirnya tidak muncul. Tetapi dari data yang diperoleh dipengkajian, sudah dapat mengkuatkan untuk mengambil diagnosa resiko perilaku kekerasan menjadi masalah keperawatan utama (core problem). Dari hasil pengkajian Tn. M didapatkan masalah kedua yaitu gangguan konsep diri: harga diri rendah sebagai causa, dimana menurut Keliat & Akemat (2012) harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan diri. Kemudian, masalah ketiga yang didapatkan dari hasil pengkajian Tn. M yaitu resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sebagai effect. Menurut Prabowo (2014) resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang memungkinkan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan. Setelah penulis meprioritaskan masalah Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 8 selanjutnya penulis menyusun intervensi keperawatan. Intervensi adalah pada tingkat penilaian kognitif terhadap kehidupan terdiri dari persepsi, keyakinan, dan pendirian. Intervensi keperawatan membantu klien dalam meningkatkan pemahaman perilaku dan memberi motivasi untuk mengubah perilakunya yang maladaptif (Sujono Riyadi & Teguh Purwanto, 2013). Intervensi yang disusun pada klien dengan resiko perilaku kekerasan adalah membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip terapeutik. Bina hubungan saling percaya yaitu tehnik yang dilakukan oleh perawat untuk menumbuhkan rasa saling percaya antara klien dan perawat Bina hubungan saling percaya dilakukan dengan cara meyakinkan klien bahwa perawat adalah teman sekaligus patner yang akan membantu klien. Intervensi yang kedua yaitu bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya, bantu klien mengungkapkan tandatanda perilaku kekerasan yang dialaminya, diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukan selama ini, diskusikan dengan klien akibat negatif yang dilakukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, diskusikan pada klien apakah klien mau mempelajari cara baru untuk mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah, jelaskan cara sehat untuk mengungkapkan marah, yaitu cara fisik: nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olahraga; cara verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal pada orang lain; cara sosial: latihan asertif dengan orang lain; cara spiritual: sholat atau berdoa, zikir, meditasi, dan lain lain, diskusikan cara yang akan dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang memungkinkan untuk mengungkapkan kemarahan. Intervensi selanjutnya yaitu membantu klien untuk membuat dan mengisi jadwal kegiatan harian, dan menganjurkan klien untuk mengisi jadwal harian setiap melakukan kegiatan yang telah diajarkan. Intervensi ini adalah intevensi yang dilakukan untuk mendokumentasikan semua kegiatan yang telah dilakukan oleh klien. Dari intervensi keperawatan diatas maka penulis melakukan implementasi untuk melaksanakan perencanaan yang sudah disusun selama dua kali interaksi. Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, interpersonal, intelektual, dan teknikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan (Direja, 2011). Implementasi pertama dilakukan pada hari Senin tanggal 16 Maret 2015, yaitu membina hubungan saling percaya, pada saat bertemu dengan klien antara lain menyapa klien dengan ramah seperti mengucapkan salam, selamat pagi, siang, atau sore, berjabat tangan dengan klien, memperkenalkan diri dengan sopan, menyebutkan nama lengkap atau nama panggilan, dan tujuan intervensi, menanyakan nama lengkap klien atau nama yang disukainya, menepati janji setiap kali berinteraksi dan jujur, menanyakan alasan masuk RSJ, menanyakan masalah yang dihadapi klien dan membuat kontrak interaksi dengan jelas, mendengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien, hal ini dilakukan agar hubungan Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 9 saling percaya dengan klien terjalin dengan baik. Menurut Stuart dan Sundeen dalam Sujono Riyadi dan Teguh Purwanto (2013) mengatakan tujuan dari hubungan terapeutik perawat dan klien adalah kesadaran diri, penerimaan diri dan meningkatkan kehormatan diri, identitas pribadi yang jelas dan meningkatkan integritas pribadi, kemampuan untuk membentuk suatu keintiman, saling ketergantungan, hubungan interpersonal dengan kapasitas memberi dan menerima cinta, meningkatkan fungsi dan kemampuan terhadap kebutuhan yang memuaskan dan mencapai tujuan pribadi yang realistis. Untuk mencapai tujuan, perawat harus memberikan kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan, presepsi, dan pikirannya. Setelah dilakukan bina hubungan saling percaya kemudian membantu klien untuk melakukan SP I yaitu dengan mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, akibat perilaku kekerasan yang dilakukan serta melatih cara mengontrol marah dengan cara fisik: nafas dalam. Melatih cara mengontrol marah dengan cara fisik: nafas dalam merupakan salah satu cara sehat untuk mengungkapkan marah. Menurut Kaplan & Saddock (2005 dalam Hidayati, 2011), pencegahan perilaku kekerasan dengan cara fisik merupakan pengetahuan dan kegiatan untuk klien tentang pencegahan perilaku kekerasan secara fisik. Implementasi yang kedua dilakukan pada hari Selasa tanggal 17 Maret 2015 pada pukul 09.00 WIB. Sebelum dilanjutkan implementasi selanjutnya penulis mengevaluasi kembali kemampuan klien cara mengontrol marah dengan nafas dalam, setelah itu penulis melanjutkan intervensi selanjutnya yaitu melakukan SP II mengontrol marah dengan cara obat 6 benar (jenis, guna, dosis, frekuensi, cara dan kontinuitas obat). Intervensi ini ialah cara mengontrol perilaku kekerasan dengan obat, yang dimaksud yaitu mengkolaborasikan obat untuk mengurangi perilaku kekerasan klien. Obat yang didapatkan oleh klien yaitu clozapine, trihexilpenidyl, dan resperidone. Clozapine ini termasuk obat anti psikosis fungsinya untuk pasien yang mengalami epilepsy. Obat ini dapat diminum 1 x sehari dengan sekali minum 2 mg. Yang kedua trihexilpenidyl berfungsi untuk memberikan rasa relaksasi, obat ini dapat diminum sehari 2x dengan sekali minum 2 mg dan diminum lewat mulut. Yang ketiga yaitu resperidone, obat ini fungsinya untuk meredakan gejala skizofrenia dan masalah perilaku atau emosional, serta masalah kejiwaan lainnya diminum 2 x 2 mg sehari lewat mulut. Kemudian penulis menginstruksikan klien untuk mengulang kembali penjelasan yang sudah dijelaskan penulis. Penulis juga memberikan pujian terhadap klien. Dengan pemberian reinforcement positif klien diharapkan mampu mengontrol perilaku kekerasan. Kemudian menganjurkan klien memasukkan kedalam jadwal harian setiap kegiatan tersebut dilakukan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perawat dan bisa memperpanjang proses penyembuhan pada pasien dengan gangguan jiwa yaitu penderita tidak minum obat, tidak kontrol secara teratur, menghentikan sendiri obat Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 10 tanpa persetujuan tenaga medis, padahal obat tersebut disimpan disaku baju, terkadang dibuang, dan beberapa pasien sering meletakan obat dibawah lidah pasien (Riyadi & Purwanto, 2009). Untuk mengetahui hasil dari tindakan, penulis juga harus melakukan evaluasi terhadap implementasi yang sudah dilakukannya. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan dan dilakukan terus-menerus untuk menilai efek dari tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Kusumawati & Hartono 2010). Setelah dilakukan implementasi dan evaluasi selama 2 kali pertemuan yaitu pada tanggal 16 Maret 2015 dan 17 Maret 2015 dapat disimpulkan bahwa pasien sudah mampu mengenal penyebab tanda gejala perilaku kekerasan serta pasien mampu melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik: nafas dalam dan memukul bantal. Namun, pasien belum optimal dalam melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan obat. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor penghambat dan factor pendukung. Faktor penghambat saat dilakukan tindakan keperawatan, yaitu saat diajak berinteraksi klien terlihat kurang fokus, pandangan mata kosong dan ketika akan diajak berinteraksi klien sering kehilangan konsentrasi. Faktor pendukungnya adalah pasien saat dikaji tanda-tanda perilaku kekerasan tidak muncul sehingga memudahkan untuk diajak berinteraksi, dan klien merasa senang apabila klien diajak berinteraksi atau ngobrol serta pasien cukup kooperatif. CONCLUSION Dapat disimpulkan resiko perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu atau riwayat perilaku kekerasan. Adapun akibat dari resiko perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi melukai dan membahayakan diri orang lain dan lingkungan. Dari penjabaran diatas penulis menyarankan bagi institusi pendidikan dapat memberikan fasilitas yang lengkap seperti laboraturium jiwa, dan dapat menambahkan literatur yang memadai sehingga mahasiswa dapat memberikan gagasan-gagasan yang lebih akurat dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiyah. Saran bagi instalasi rumah sakit ialah diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan memberikan fasilitas serta prasarana yang memadai agar dapat membantu penyembuhan klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan yang optimal khususnya pada klien dengan resiko perilaku kekerasan. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan (Terjemahan. Monika Ester) Jakarta : EGC. Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 11 Damaiyanti, M. Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama Prabowo, Eko. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika. Dermawan, D. Rusdi. Keperawatan Jiwa dan Kerangka Kerja Keperawatan Yogyakarta : Publishing. Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika. (2013). Konsep Asuhan Jiwa. Gosyen Direja, Ade, H, S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta : Yogyakarta : Nuha Medika. Fitria, Nitta. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Edisi ke 1. Jakarta : Salemba Medika. Hidayati, E. (2011). Pengaruh terapi kelompok suportif terhadap kemampuan mengatasi perilaku kekersan pada klien skizofrenia di rumah sakit jiwa dokter amino gondo utomo semarang. http://lib.ui.ac.id/file?file=dig ital/20280699T%20Eni%20Hidayati.pdf (Diakses pada tanggal 12 april 2015 pukul 12.49 WIB) Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. http://depkes.go.id/download s/riskesdas2013/Hasil%20Ris kesdas%202013.pdf (Diakses pada tanggal 18 April 2015 pukul 20.00 WIB). Riyadi, S. Purwanto, T. (2009). Asuhan Keperawatan jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu. Yosep, I. Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama. Yosep, Iyus. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama. Yosep, Iyus. (2009). Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi. Bandung : PT Refika Aditama. UCAPAN TERIMAKASIH Keliat, B, A. Akemat. (2012). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC. Kusumawati, F. Hartono. Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika. Nanda. (2012). Diagnosa Keperawatan Nanda 2012-2014 Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah ini. Ucapan terima kasih ini terutama disampaikan kepada: 1. Joyo Minardo, S.Kep., Ns.,M.Kes, selaku Direktur Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran 2. Basuki Rohmad, S.Kep, selaku Kepala ruang Antareja P8 RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang Akademi Keperawatan Ngudi waluyo 12 3. Abdul Wakhid, M.Kep.,Ns.Sp.Kep. J, selaku Pembimbing I yang banyak memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan laporan kasus ini. 4. Wulansari, S.Kep., Ns, sebagai Pembimbing II yang banyak memberi saran dan petunjuk dalam pembuatan laporan kasus ini. 5. Bapak, Ibu, kakak, dan adik yang telah memberikan dukungan dan semangat serta doa yang tiada henti. Akademi Keperawatan Ngudi waluyo