1 Pengelolaan Nyeri Pada Tn. M Dengan Vulnus Laseratum Pedis di ruang Cempaka RSUD Ambarawa Ruslan Hidayat Perdana*, Joyo Minardo**, Tri Susilo*** Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengelolaan nyeri pada pasien dengan vulnus laseratum pedis di RSUD Ambarawa. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa perawatan pasien dalam memenuhi kebutuhan menghilangkan nyeri. Pengelolaan nyeri dilakukan selama 3 hari pada Tn. M. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi dan pemeriksaan penunjang. Hasil pengelolaan didapatkan pasien masih merasakan nyeri pada lukanya. Di karenakan kurangnya waktu perawatan. Saran bagi perawat di rumah sakit agar lebih memperhatikan keadaan pasien dan selalu memotivasi pasien agar cepat sembuh. Kata kunci: Nyeri Dalam bahasa medis luka dapat diartikan dengan vulnus hingga dewasa ini, kecelakaan lalu lintas belum mendapat perhatian masyarakat sebagai penyebab kematian yang cukup besar. Padahal setiap tahunnya di seluruh dunia terdapat sekitar 1,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan 50 juta lainnya mengalami luka-luka (anonim, 2007). Tingginya insiden kecelakaan lalu lintas pada beberapa tahun terakhir, mendasari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia (World Bank) pada 14 April 2004 lalu mengeluarkan laporan yang berjudul World Report on Road Traffic Injury Prevention. Laporan tersebut antara lain menyebutkan, setiap hari setidaknya 3.000 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dari jumlah itu setidaknya 85 persen terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan sedang (WHO, 2004). Kecelakaan lalu lintas juga telah menjadi penyebab 90 persen cacat seumur hidup (diasbility adjusted life years/DALYs). Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Kepolisian RI, terdapat sekitar 30 orang per hari. yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Jika dirata-rata, setiap tahun 10.000 orang meninggal dunia dalam 13.000-an kasus kecelakaan lalu lintas. Penyebab kecelakaan lalu lintas di Indonesia paling banyak atau 91% disebabkan oleh faktor manusia. Faktor kedua kecelakaan sebanyak 5 % adalah faktor kendaraan, faktor jalan 3 % dan faktor lingkungan 1 %. WHO Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 2 mengatakan bahwa saat ini kecelakaan lalu lintas telah menjadi pembunuh nomor 3, setelah penyakit jantung dan stroke (WHO 2004). Sedangkan di Indonesia dewasa ini menghadapi permasalahan kecelakakaan lalu lintas jalan yang cukup serius. Menurut data dari mabes polri setiap tahun tercatat 9.856 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas jalan tersebut. Tingginya korban tersebut disadari telah mendorong tingginya pemakai jalan raya, Secara ekonomis menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya. Berbagai upaya penanganan juga telah dilakukan untuk mengurangi jumlah dan kelas kecelakaan lalu lintas ( Accident Severity ) tersebut. Di Jakarta sendiri dari 614 kasus kecelakaan lalu lintas yang di autopsi sepanjang tahun 1982, 490 kasus sebab kematiannya merupakan hasil kecelakaan lalu lintas yang fatal yang mana korban kecelakaan lalu lintas mengalami luka-luka dibagian kepala, ekstermitas bawah, tubuh depan dan tubuh belakang. Luka adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan, penyebanya antara lain mekanik,kimia dan fisik misalnya luka bakar, luka yang di buat untuk pembedahan misalnya luka oprasi, luka yang terjadi karena ischemia jaringan yang berat sehingga berakibat nyeri pada anggota ekstremitas tubuh seperti buerger’s desease, terjadinya trauma pada kulit beserta struktur dibawahnya sebagai akibat dari tekanan, gesekan karena masalah usia, ketidakmampuan/ secara neurogik seseorang, misalnya luka tekan atau decubitus, luka hasil dari infiltrasi kanker yang menghasilkan nodul-nodul dan sering menimbulkan infeksi, perdarahan dan eksudat yang bau misalnya Ca. Mamae. (Ekaputra, 2013). Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hepertropik scar dan juga infeksi luka (InETNA (Indonesia Enterostomal Therapy Nurse), 2004:6). Luka yang bersih biasanya tidak kuat menghadapi sters normal selama 15 sampai 20 hari setelah pembedahan. Perawat menggunakan teknik aseptik saat mengganti balutan dan merawat luka. Drain bedah harus tetap paten sehingga akumulasi sekret dapat keluar dari dasar luka. Observasi luka secara terus-menerus dapat mengidentifikasi adanya tanda gejala awal terjadinya infeksi. Klien lansia terutama mengalami beresiko mengalami infeksi luka pasca operatif, sehingga perawat preoperatif menuturkan resiko ini dengan cara memberi lingkungan yang aman dan asuhan keperawatan yang komperhensif ( Potter, 2006 ). Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis di RSUD Ambarawa pada tanggal 16 April 2014, didapatkan data jumlah kasus vulnus yang dirawat di RSUD Ambarawa tahun 2013-2014 yaitu sebanyak 276 kasus, dengan jumlah pasien laki-laki sebanyak 183 kasus sedangkan untuk pasien perempuan sebanyak 93 kasus. Berdasarkan data dari RSUD Ambarawa selama 14 bulan terakhir terhitung dari bulan Januari 2013 hingga Februari 2014 angka kejadian vulnus mencapai 276 kasus. Terhitung pada tahun 2013 paling Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 3 banyak terjadi pada triwulan ke I sebanyak 123 kasus dan pada triwulan ke II mencapai 52 kasus. Sedangkan paling rendah terjadi pada triwulan ke III sebanyak 21 kasus, dan paling banyak terjadi pada rentang umur 25-44 tahun yaitu 87 kasus. HASIL PENGELOLAAN Intervensi yang telah disusun kemudian diimplementasikan pada hari berikutnya. Salah satu implementasi yang dilakukan adalah mengurangi nyerinya dengan tekhnik relaksasi nafas dalam tanggal 20 Maret 2014. Setelah melakukan semua implementasi keperawatan, penulis melakukan evaluasi pada hari Rabu, 21 Maret 2014 dengan kesimpulan masalah belum teratasi. Dikarenakan adanya faktor penghambat yaitu kurang efektifnya kondisi ruangan. PEMBAHASAN Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Definisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya (Potter & Perry, 2006; Nanda, 2006; Smeltzer & Bare, 2002). Diskontinuitas jaringan merupakan terputusnya kontinuitas jaringan akibat dari cidera atau trauma (Smeltzer & Bare, 2002). Ketika suatu organ atau sistem tubuh tergores, teriris ataupun terkena benda tumpul mengakibatkan suatu sensasi nyeri yang di hantarkan oleh reseptor nyeri, dimana reseptor nyeri itu adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak. Stimulus tersebut sifatnya bisa mekanik, termal dan kimia. Sedangkan yang tergolong stimuli kimiawi adalah histamin prostaglandin bermacam-macam asam. Sebagian bahan tersebut dilepas oleh jaringan yang rusak seperti anoksia yang menimbulkan nyeri, spasmus otot menimbulkan nyeri karena penekanan pembuluh darah yang menjadi anoksia (Long, 2001). Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujungujung saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstraseluler sebagai akibat dari kerusakan jaringan. Zat-zat kimiawi yang meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamine, bradikinin, asetilkolin dan substansi p.prostaglandin adalah zat kimiawi yang diduga dapat meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang menimbulkan nyeri dari bradikinin (Smeltzer dan Bare, 2002). Adapun batasan karakteristik nyeri yaitu batasan karakteristik mayor (80%-100%) ada deskripsi nyeri. Karakteristik minor 60%-79% antara lain mengatupkan rahang atau mengepalkan tangan, perubahan kemauan untuk melanjutkan aktifitas sebelumnya, agitasi, ansietas, peka rangsang, menggosok bagian yang nyeri, mengorok, postur tidak biasa (lutut ke abdimen), ketidak aktivan fisik atau imobilitas, gangguan konsentrasi, perubahan pada pola tidur, rasa takut mengalami cedera ulangmenarik bila disentuh, mata terbuka lebar atau sangat tajam, gambaran kurus, mual dan muntah Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 4 (Carpenito, 2006). Sedangkan menurut NANDA (2005: 322) seseorang yang mengalami nyeri akut akan menunjukkan batasan karakteristik seperti laporan secara verbal, atau non verbal, fakta dan observasi, posisi antalgetik untuk menghindari nyeri, gerakan melindungi, tingkah laku berhatihati, muka topeng, mengalami gangguan tidur, perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku) serta mengalami perubahan dalam nafsu makan dan minum. Pengkajian dilakukan penulis pada tanggal 20 Maret 2014 pukul 09.30 dengan hasil data subjektif: pasien mengatakan nyeri pada kaki sebelah kiri, pasien mengatakan nyeri saat beraktivitas atau bergerak, nyeri seperti di tusuk-tusuk, saat diminta menunjukkan skala nyeri pasien menunjukkan skala nyeri 5, pasien mengatakan nyeri timbul pada waktu bergerak, durasinya hilang timbul. Data Obyektif: pasien terlihat meringis kesakitan saat dilakukan. Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri dijadikan sebagai prioritas diagnosa pertama karena masalah tersebut membuat pasien merasakan ketidaknyamanan bila masalah tersebut tidak diatasi segera maka dapat menyebabkan penderitaan dan menggangu psikologi individu (Potter & Perry, 2005). Dimana dalam kebutuhan dasar manusia menurut Maslow dalam Potter & Perry (2005), nyeri merupakan kebutuhan urutan kedua yaitu kebutuhan rasa aman dan nyaman. Apabila nyeri tidak segera diatasi maka akan menimbulkan nyeri yang bertambah, syok neurogenik, dapat mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi rasa nyaman serta dapat mempengaruhi kebutuhan fisiologis yang lain misalnya gangguan istirahat tidur pasien dan kebutuhan nutrisi (Potter & Perry, 2005). Rencana tindakan keperawatan pada hari kamis 20 maret 2014 agalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapakan rasa nyeri yang dialami klien berkurang dengan kriteria hasil: klien tidak tampak meringis kesakitan atau menahan sakit lagi. Rencana keperawatan yang disusun oleh penulis adalah ajarkan manajemen nyeri, dorong klien melakukan teknik relaksasi nafas dalam, atur posisi klien senyaman mungkin, dan anjurkan klien banyak istirahat. Intervensi yang telah disusun kemudian di implementasikan pada hari kamis 20 Maret 2014, salah satu implementasi yang di lakukan yaitu mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Evaluasi dilakukan dilakukan pengelolaan selama 2 hari yaitu pada tanggal 21 Maret 2014 pada pukul 10.00, setelah dilakukan tindakan keperawatan didapatkan data subyektif: pasien mengatakan nyeri masih ada, skala nyeri 5. Data obyektif: pasien terlihat menahan sakit, A: masalah belum teratasi, P: mengulangi lagi intervensi yang sudah di ajarkan, anjurkan teknik relaksasi, kolaborasi pemberian analgetik. Dalam mengatasi masalah nyeri penulis menemukan faktor pendukung di bagi menjadi 2 yaitu Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 5 faktor pendukung ekstrinsik dan intrinsik. Adapun faktor pendukung intrinsik yaitu klien tampak mau mencoba dan melakukan apa yang perawat ajarkan dalam setiap kegiatan yang dapat menurunkan nyeri, karena klien ingin cepat sembuh dan segera pulang ke rumah, faktor pendukung ekstrinsik yaitu dari tenaga kesehatan yang ikut dalam proses pemberian asuhan keperawatan Adapun faktor yang menghambat pada proses ini adalah suasana lingkungan yang kurang nyaman sehingga klien tidak bisa berkonsentrasi dengan tenang sehingga respon nyeri yang ada pada Tn. M masih belum teratasi. Untuk alternatif pemecahan masalah penulis menganjurkan untuk membatasi pengunjung yang masuk dalam ruangan untuk menjaga kondisi tetap tenang dan nyaman, dan mengikutsertakan keluarga klien untuk memberikan motivasi terhadap klien. KESIMPULAN Hasil pengelolaan yang penulis dapatkan setelah melakukan tindakan keperawatan selama 2 hari yaitu dari pengkajian awal yang dilakukan penulis pada Tn. M data yang didapat dari hasil pengkajian kasus Tn. M yaitu data subyektif pasien mengatakan nyeri pada lukanya dan data obyektifnya dari pengkajian nyeri PQRST, yaitu luka di kaki sebelah kiri, skala nyeri 5, nyeri seperti di tusuk-tusuk, nyeri timbul terus menerus, nyeri saat mobilisasi. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 haripenulis melakukan evaluasi akhir tindakan ini adalah pasien masih mengeluhkan nyeri dengan skala nyeri 5. Dari data tersebut analisa yang dapat di simpulkan yaitu masalah belum teratasi. Karena masih belum sesuai dengan kriteria hasil yang telah di buat. Sehubungan dengan hal tersebut penulis telah membuat pendelegasian kepada perawat di Ruang Cempaka RSUD Ambarawa agar dapat melanjutkan intervensi yang telah di buat dan di rencanakan sebelumnya. REFRERENSI Carpenito-Moyet, L.J. 2001. Buku saku Diagnosa Keperawatan. Text Book : Hand Book Of Nursering Diagnosis. Translator : Monica Ester. Jakarta; EGC. Carpenito, L.J. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (Terj. Monica Ester). Jakarta: EGC. Carpenito, L.J. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Text Book : Hand Book Of Nursing Diagnosis . Translator: Monika. Jakarta: EGC. Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC Doenges, Marllyn. E. 2000. Nursing care plans guidelines for planing and documenting patient care.edisi ke 3. Terjemahan I Made Kariyasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Edisi 25. Jakarta: EGC Wilkinson, Judith M. 2006 Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan Kriteria hasil NOC. Edisi 7 . Jakarta : EGC Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo 6 Mansjoer, Arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: FKUI. Nanda. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Philadhelphia: Prima Medika. Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Definisi dan klasifikasi (Terj. Bundi Santoso ) Jakarta: Prima, Medika Smeltzer, C. Suzanne & Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Sudarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (Terj. Brahma U. Pendik, dkk )Edisi 6. Revisi. Jakarta EGC. Potter & Perry (2005), Buku Ajar – Fundamental Keperawatan, Konsep – Proses dan Praktik, Ecisi 4, Volume 1, (Terjemah Asih Yasmin, dkk), Jakarta : EGC. Nanda., 2011. Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika. Ekaputra, E. (2013). Evolusi manajemen luka. Jakarta: ETN Arisanty, I. P. (2012). Panduan praktis pemilihan balutan luka kronik. Jakarta: mitra wacana medika Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7 (Widyawati, Eny Meiliya, Monica Ester, Penerjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. http://feekesdam.blogspot.com/2011/07/askep -klien-dengan-vulnuslaseratum.html. diakses pada tanggal 8 maret 2014 Mulawardi. (2013). Bedah Vaskuler dan Endovaskuler Indonesia. http://efotisme789.blogspot.com/201 2/07/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html. diakses pada tanggal 10 maret 2014 Utama, H.W. (2006) Infeksi Nosokomial (Internet) Tersedia dalam: http://id.klikharry.wordpress.com200 61221infeksi-nosokomial/, diakses 9 maret 2014 Nanda., 2013. Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika Brunner and Keperawatan Jakarta: EGC. Suddarth. 2002. Medikal Bedah. Lusianah., indaryani. E. D., suratun. (2012) prosedur keperawatan. Jakarta: perpustakaan nasional Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo