Teori Vygotsky, Zone of Proximal Development

advertisement
ISSN 0215-8250
IMPLEMENTASI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
DALAM PENGAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR DENGAN
MENGGUNAKAN LKS BERBASIS MASALAH
oleh
I Wayan Sukra Warpala
Jurusan Pendidikan Biologi
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji implementasi
pendekatan pembelajaran kontekstual melalui strategi pemberian LKS berbasis
masalah untuk pengajaran IPA di sekolah dasar. Selanjutnya akan ditelusuri
landasan teoritik dan empiriknya agar dapat digunakan sebagai dasar untuk
memecahkan masalah kurangnya pemahaman siswa sekolah dasar terhadap IPA,
sehingga siswa memiliki literasi sains dan teknologi. Implementasi pendekatan
pembelajaran kontekstual merupakan suatu inovasi disain pembelajaran yang
mengarah kepada paradigma konstruktivisme dalam belajar. Dalam hal ini,
pembelajaran IPA di sekolah dasar harus mengembangkan aspek-aspek kognitif,
afektif, psikomotorik siswa, dan sosio-kulturalnya. Mengacu pada tujuan
pendidikan IPA di sekolah dasar seperti tercantum dalam Pedoman Kurikulum
Pendidikan Dasar Tahun 1994, pada hakekatnya bahwa pembelajaran tidak akan
menjadikan siswa SD sebagai ahli dalam bidang sains (IPA) tetapi mempersiapkan
siswa agar memiliki sikap ilmiah dan pemikiran inkuiri keilmuan. Diharapkan,
siswa mampu memahami dirinya dan lingkungan sekitarnya melalui
pengembangan keterampilan inkuiri-ilmiah, pemecahan masalah, keterampilan
berpikir tingkat tinggi, dan penguasaan konsep esensial IPA. Dengan kata lain,
bahwa siswa memiliki penguasaan dan/atau pemahaman yang mendalam terhadap
pengetahuan IPA dan pemikiran disiplin keilmuan.
Kata-kata kunci: pembelajaran kontekstual (CTL), LKS berbasis masalah,
pendidikan sains, sekolah dasar
ABSTRACT
This paper aims to examine the implementation of contextual teaching and
learning (CTL) approach by using problem-based student work sheet startegy for
teaching science in elementary shcool. Furthermore, it will be tried to find out of
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
the theoritical basis and the empirical basis which it can be used for solving a
problem about understanding of elementary student in science knowledge, so that
student has science and technology literacy. The implementation of contextual
teaching and learning is an instruction design inovation that based on
constructivism paradigm in learning. In this case, the instruction of science in
elementary school should develop the aspects of cognitive, affective, psychomotor,
and socio-cultural of student. Based on purpose of science education in elementary
education curriculum 1994, it has been stated that the instruction will not to make
the student becomes a science expert but it tries to prepare the student has
scientific attitude and disciplined-inquiry mind. Hopefuly, students have self
efficacy and self regulation in their enviroment by developing some skills such as
scientific-inquiry, problem-solving, and high order thinking, and also mastery in
essensial concept of science. In another word, student has mastery and/or deep
understanding in the science knowledge and the disciplined mind.
Key words: contextual teaching and learning (CTL), problem-based student work
sheet, science education, elementary school
1. Pendahuluan
Berbagai inovasi pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah maupun
pihak swasta dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Inovasi (pembaharuan) ini dilakukan mulai pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah sampai pada jenjang pendidikan tinggi. Pada jenjang pendidikan dasar
(khususnya SD) mutu pendidikan belum sesuai dengan harapan, yang tercermin
dari nilai NEM IPA yang cukup rendah. Bahkan disinyalir mutu pendidikan di SD
sangat rendah (kemampuan berpikir anak didik rendah dalam menghadapi masalah
kehidupan sehari-hari) dan guru belum mampu meningkatkan motivasi dan
prestasi belajar siswa (Halimah, 1998; Mustafa, 1998).
Data empiris menunjukkan bahwa masih ada komponen-komponen lain
sebagai faktor pembatas untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa,
terlebih bagi siswa-siswa sekolah dasar di daerah pedesaan. Hasil observasi
penulis selama menjadi tenaga pengajar “sukarela” selama dua tahun (1999 s.d
2001) di SD No. 1 Tamblang (Kabupaten Buleleng-Bali), menunjukkan bahwa
kebiasaan guru-guru SD mengajar di kelas tampaknya semata-mata hanya
berorientasi pada materi yang tercantum dalam buku teks (buku paket). Buku
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
paket yang dipakai guru dianggap merupakan materi utama yang diajarkan secara
ketat, walaupun sebenarnya konsep atau teori yang dipaparkan banyak kurang
tepat dan fakta (contoh-contoh) yang dipakai sering tidak ada di lingkungan lokal
siswa.
Halimah (1998) melaporkan bahwa kemandirian guru IPA SD dalam
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar sangat rendah. Guru pada
umumnya lebih banyak menyampaikan informasi konsep-konsep dan fakta-fakta
IPA dengan metode ceramah secara klasikal, daripada memberikan permasalahan
yang relevan untuk dipecahkan dan didiskusikan secara kooperatif dalam
kelompok kecil (4-5 orang tiap kelompok). Padahal, krisis yang melanda dunia
pendidikan saat ini adalah sebagian besar berkutat di sekitar kesulitan siswa
menguasai isi materi pelajaran yang merupakan substansi kurikulum (Gardner,
1991).
Bertitik tolak dari tujuan pengajaran IPA di sekolah dasar seperti yang
tercantum dalam Kurikulum Pendidikan Dasar (GBPP Mata Pelajaran IPA SD)
Tahun 1994, pada hakekatnya bahwa pembelajaran tidak akan menjadikan siswa
sebagai ahli (expert) dalam bidang IPA tetapi mempersiapkan siswa agar memiliki
literasi sains dan teknologi (melek ilmu dan teknologi). Siswa mampu memahami
dirinya dan lingkungan sekitarnya melalui pengembangan keterampilan proses,
sikap ilmiah, keterampilan berpikir, dan penguasaan konsep esensial untuk
melakukan teknologi. Dengan kata lain bahwa siswa memiliki penguasaan
(mastery) dan/atau pemahaman terhadap pengetahuan dan disiplin keilmuan
(Gardner, 1999a). Pencapaian tujuan ini sering mengalami benturan dan kegagalan
dalam praktek pengajaran keseharian di dalam kelas.
Fenomena kegagalan penetrasi tujuan esensial pendidikan IPA ini
disebabkan karena siswa diperlakukan tidak menjadi bagian dari realitas dunia
(sosio-kultural) mereka dalam proses belajar mengajar (PBM) di kelas. Guru
kurang kreatif untuk menciptakan kondisi yang mengarahkan siswa agar mampu
mengintegrasikan konstruksi pengalaman kehidupannya sehari-hari di luar kelas
(sekolah) dengan konstruksi pengetahuannya di kelas. Pengajaran hanya bersifat
sebagai sesuatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa,
yang wajib diingat dan dihafal (Freire, 1999), kurang memperhatikan pengetahuan
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
awal (prior knowledge) siswa (Dochy, 1996), dan isu-isu sosial yang ada di
masyarakat. Menurut Paris (2000), guru seharusnya menyelenggarakan
pembelajaran dan aktivitas yang autentik, sehingga siswa mampu
mengintegrasikan konstruksi pengetahuannya di kelas dengan konstruksi selama
kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan paparan di atas, kiranya perlu dilakukan inovasi pelaksanaan
pembelajaran yang mengarah kepada implementasi paradigma konstruktivistik.
Mengacu pada pandangan Atmaja (2000), perlu dikembangkan suatu model
penyelenggaraan pendidikan praksis (teori dan praktek merupakan satu kesatuan)
yang merupakan manunggalnya karsa, kata dan karya karena manusia (siswa)
pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara dan berbuat.
Penyelenggaraan pembelajaran IPA di sekolah dasar harus mengembangkan
aspek-aspek kognitif, afektif, psikomotorik siswa (Gunter, et al., 1990) dan sosiokulturalnya (Lie,2002).
Inovasi dan perbaikan penyelenggaraan proses belajar mengajar IPA di SD
sudah sangat mendesak dan segera harus dilakukan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan sebagai berikut: disain pembelajaran di SD masih
bersifat statik mekanistik, guru masih menerapkan strategi bottom-up, guru sering
mengabaikan pendekatan direct learning dan guided discovery dalam PBM
(Kardi, 1998), pembelajaran belum memanfaatkan potensi lingkungan sekitar
sekolah sebagai sumber belajar, dan pembelajaran konsep-konsep IPA sering
bersifat dekontekstual. Temuan terhadap beberapa permasalahan inilah yang
mendorong penulis untuk mengkaji implementasi pendekatan pembelajaran
kontekstual melalui pemberian LKS berbasis masalah. Selanjutnya, perlu
ditelusuri landasan teoritik dan empiriknya agar dapat digunakan sebagai dasar
memecahkan masalah kurangnya pemahaman siswa dalam pendidikan IPA di SD
untuk menuju siswa yang literasi sains dan teknologi.
2. Pembahasan
2.1 Pendidikan IPA di Sekolah Dasar
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada hakekatnya adalah menyangkut proses
dan produk (Amien, 1987). Nur dan Samani (1996), bahkan menyebutkan bahwa
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
pendidikan IPA terdiri atas tiga komponen yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan
produk ilmiah. Oleh karenanya, pengajaran IPA di sekolah tidak hanya
mementingkan penguasaan siswa terhadap fakta, konsep dan teori-teori IPA
(sebagai produk), tetapi yang lebih penting adalah siswa mengerti terhadap proses
bagaimana fakta, konsep dan teori-teori tersebut ditemukan. Dengan kata lain
bahwa siswa harus mendapat pengalaman langsung dan mememukan sendiri
proses tersebut. Program pengajaran pendidikan IPA seharusnya diarahkan
kepada pencapaian tujuan dalam arti luas yaitu pengembangan kepribadian siswa,
Susilo (1997) menyebutnya siswa memiliki literat ilmu dan teknologi.
Perencanaan dan implementasi program pembelajaran yang dilakukan oleh
para guru IPA di sekolah dasar dewasa ini, tampaknya dilandasi oleh asumsi
tersembunyi bahwa “ pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru
ke pikiran siswa” (Halimah, 1998; Kardi, 1998; Mustafa, 1998). Tindak
pengajaran seperti ini merupakan ciri dari penyelenggaraan pembelajaran
konvensional (teacher centered), yang hasilnya berupa kebiasaan siswa untuk
menghafal fakta, konsep, dan teori. Di sisi lain, dalam upaya untuk mewujudkan
tujuan pendidikan IPA, telah terjadi pergeseran paradigma pembelajaran kearah
teori pembelajaran konstruktivistik. Proses belajar mengajar IPA lebih diwarnai
student centered (Nur, 2001), yang penekanannya pada keterlibatan aktif siswa
melalui pendekatan proses mental (Slavin, 1994; Burden & Byrd, 1999) untuk
mengkonstruk dan mentransformasikan pengetahuannya.
Pelibatan keterampilan proses sebagai upaya mental dalam proses
generatif
(Jonassen,
1996),
seperti
mengamati,
mengklasifikasi,
mengkomunikasikan, mengukur, memprediksi, dan menginferensi (sebagai
keterampilan proses dasar) dapat meningkatkan pemahaman (deep understanding),
kemampuan berpikir kritis (Johnson, 2002) dan keterampilan pemecahan masalah.
Suasana pembelajaran seperti ini menuntut seorang guru yang mampu bertindak
sebagai fasilitator, reflektif dan dapat memodelkan cara belajarnya kepada siswa.
Sumber belajar yang dikenal baik oleh siswa (tersedia di lingkungan sekitar siswa,
relevan, dan praktis), juga merupakan prasyarat pendukung. Dengan kata lain
bahwa pencapaian hasil belajar maksimal memerlukan lingkungan pembelajaran
yang menggabungkan bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi,
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
yang nampaknya bisa terwujud lewat implementasi teori pembelajaran kontekstual
atau dalam istilah lain (Johnson, 2002) disebut contextual teaching and learning –
CTL.
Dari perspektif psikologi sebagai dasar pengajaran, teori pembelajaran
kontekstual memiliki kaitan yang erat dengan teori psikologi perkembangan
Vygotsky. Teori Vygotsky tentang zone of proximal development (ZPD)
mengandung suatu pengertian bahwa anak memiliki kemampuan memecahkan
masalah secara berbantuan (oleh guru, orang dewasa atau teman sebaya yang lebih
berkompeten), tetapi masalah tersebut masih berada dalam zona perkembangan
terdekat anak (Elliot, et al., 1996; Moll, 1994; Slavin, 1994). Konsep ZPD
memiliki implikasi untuk mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dan
penilaian autentik (keduanya sebagai unsur pembelajaran kontekstual). Di
dalamnya juga terkandung aspek-aspek normatif perkembangan, di mana arah
perkembangan tersebut dipedomani oleh pengajaran konsep-konsep ilmiah, yang
mengarahkan bagaimana siswa berpikir dan bagaimana siswa mampu memandang
lingkungan sosialnya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan IPA, konsep ZPD dapat
digunakan sebagai piranti psikologis karena dalam konsep ZPD terkandung di
dalamnya suatu pandangan teleologis (Tudge, 1994). Pandangan ini secara implisit
memiliki makna bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk
menggunakan pikiran dalam mengendalikan perilaku diri memerlukan syarat
berupa penuntasan sistem-sistem dalam komunikasi budaya. Selanjutnya belajar
menggunakan sistem tersebut untuk menyesuaikannya dengan proses-proses
berpikir diri sendiri. Jadi sebagai piranti psikologis, konsep ZPD dapat digunakan
sebagai basis pengajaran sains (Hedegaard, 1994) sehingga pada anak akan terjadi
revolusi perkembangan dari proses alami ke proses mental yang lebih tinggi
melalui peer collaboration, menuju siswa yang literasi sains dan teknologi.
2.2 Implikasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) menekankan
pada kegiatan proses belajar mengajar yang berbasis pada aktivitas siswa dan
melibatkan sumber belajar yang nyata dan ada di sekitar siswa. Untuk pendidikan
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
IPA, khususnya di SD yang bertujuan untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa
(menjadi seorang anak yang melek sains, bukan ahli sains), penerapan prinsipprinsip pembelajaran kontekstual sangat cocok dilakukan dalam proses belajar
mengajar IPA. Menurut National Academy of Sciences (dalam Nur, 2001) prinsipprinsip dalam perangkat pembelajaran kontekstual IPA tersebut meliputi: (1) IPA
adalah untuk semua siswa dan (2) pembelajaran IPA merupakan proses aktif.
Prinsip yang pertama, IPA adalah untuk semua siswa, mengandung arti
bahwa semua siswa dapat mencapai pemahaman apabila mereka diberikan
kesempatan, tetapi akan dicapai dengan cara dan pada kedalaman yang berbeda,
serta kecepatan yang berbeda pula. Untuk mengakomodasi kemampuan siswa
yang beragam tersebut, maka perlu disusun suatu perangkat kegiatan (Nur, 2001)
sebagai berikut. (1) Kegiatan dasar yang dirancang untuk seluruh rentang
kemampuan pemahaman siswa, sebagai upaya untuk memperkuat konsep yang
disajikan, misal demonstrasi, lab mini, LKS sebagai panduan belajar, dan
pengembangan keterampilan proses. (2) Kegiatan penerapan yang dirancang untuk
siswa-siswa yang telah menguasai konsep-konsep yang telah disajikan, misalnya
aplikasi beberapa materi (judul) LKS dalam kehidupan sehari-hari. (3) Kegiatan
menantang yang direncanakan bagi siswa-siswa yang mampu belajar melampaui
konsep-konsep dasar yang disajikan, misalnya berupa kegiatan penelitian
sederhana untuk menguji hipotesis atau merancang eksperimen sendiri.
Prinsip yang kedua, pembelajaran IPA merupakan proses aktif, memiliki
makna bahwa pembelajaran IPA merupakan sesuatu yang dilakukan oleh siswa,
bukan sesuatu yang dilakukan untuk siswa (Nur, 2001). Pernyataan ini memiliki
implikasi terjadinya proses aktif untuk siswa berupa: (i) aktivitas mental, yaitu:
mendeskripsikan
obyek
dan
kejadian,
mengajukan
pertanyaan,
mengkomunikasikan ide-ide; dan (ii) aktivitas fisik, berupa pengalaman sensori
motor untuk mengembangkan ide-ide abstrak. Intinya bahwa pengajaran IPA harus
melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan berorientasi inquiri (Lawson, 2000).
Perangkat pembelajaran IPA seperti ini juga memberikan kemudahan bagi guru
untuk menerapkan strategi pengajaran yang bervariasi untuk kelompok-kelompok
siswa dengan gaya belajar yang berbeda (kinestetik, visual, dan auditorial).
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Pembelajaran kontekstual menurut Blanchard (2001) dapat diterapkan
melalui strategi-strategi berikut : (i) menekankan pada pemecahan masalah; (ii)
menyadari kebutuhan akan pembelajaran yang terjadi dalam konteks, seperti di
rumah, masyarakat, dan lingkungan kerja; (iii) mengajar siswa memonitor dan
mengarahkan pembelajarannya sendiri (menjadi pebelajar mandiri); (iv)
mengkaitkan pengajaran pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda; (v)
mendorong siswa untuk belajar dari sesama teman dan belajar bersama; dan (vi)
menerapkan penilaian autentik. Penerapan strategi-strategi pembelajaran
kontekstual tersebut di atas (dalam PBM IPA), memberikan implikasi pada
perlunya pemberian bantuan (scaffolding) dalam proses pembelajaran melalui peer
collaboration oleh teman sebaya yang lebih berkompeten (Tudge, 1994). Untuk
mewujudkan belajar bersama (belajar dari sesama teman) dalam PBM IPA, maka
perlu diupayakan pengaturan kegiatan kelas dalam bentuk kelompok-kelompok
kecil siswa (peer mediated instruction) dari pada bentuk kelas utuh.
Peer mediated instruction dapat diwujudkan melalui pengaturan kelas
dengan cara menerapkan teknik-teknik belajar kooperatif sebagai rancangan
pembelajaran yang bernuansa kolaborasi (Nelson, 1999; Nur & Samani, 1996;
Slavin, 1994; Slavin, 1995). Implementasi strategi ini secara ekstensif akan
membawa siswa ke arah terjadinya perkembangan kognitif dalam konteks sosiokulturalnya (Hedegaard, 1994), yang dalam istilah lain (Gardner, 1991)
menyebutnya sebagai “pemagangan kognitif”. Di samping itu, pembelajaran
kooperatif berimplikasi pada terjadinya cognitive elaboration dan peer copying
model.
Berdasarkan perspektif psikologi sosial dan psikologi kognitif, strategi
pembelajaran kooperatif sejalan dengan teori perkembangan Vygotsky yang
menyatakan bahwa pengetahuan dibangun melalui proses interaksi sosial (Moll,
1994), yaitu interaksi siswa dengan anggota komunitasnya yang lebih “mumpuni”
(masyarakat, sekolah, keluarga, dan teman sebaya). Interaksi sosial tersebut akan
dapat menciptakan terjadinya pemrosesan informasi pada individu siswa, sehingga
siswa mampu melakukan self-efficacy dan self-regulation. Hal ini akan
berpengaruh positif terhadap motivasi dan prestasi akademik (Slavin, 1995),
penghargaan diri, perbaikan sikap siswa (kecintaannya) terhadap teman sebaya,
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
sekolahnya (Jacob, 1999), serta mata pelajarannya, gurunya, dan lebih terdorong
untuk belajar dan berpikir (Lie, 2002).
2.3 Pembelajaran IPA dengan Menggunakan LKS Berbasis Masalah
Implementasi pendekatan pembelajaran kontekstual dengan strategi LKS
berbasis masalah adalah suatu pembelajaran bernuansa konfrontatif, yang
menghadapkan siswa pada masalah-masalah praktis. Dalam pelaksanaannya,
pendekatan ini memiliki ciri-ciri: (a) belajar dimulai dari suatu permasalahan, (b)
permasalahan yang diberikan, berhubungan dengan dunia nyata siswa dan ada di
lokal sekitar siswa, (c) pelajaran diorganisasikan di seputar permasalahan, (d)
memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa untuk menjalankan secara
langsung proses belajar mereka sendiri, (e) seting pembelajaran menggunakan
kelompok-kelompok kecil, dan (f) menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa
yang telah dipelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja (Savoie & Hughes,
1994).
Berdasarkan karakteristik-karakteristik di atas, maka dalam mendesain
strategi pembelajaran dengan menggunakan LKS Berbasis Masalah akan
didasarkan atas model desain lingkungan pembelajaran konstruktivistik (Jonassen,
1999), yang didukung oleh pemodelan (modelling), pelatihan (coaching), dan
perancahan (scaffolding). Modelling menyangkut kegiatan “pemodelan tingkah
laku” untuk mendorong pengembangan kinerja dan “pemodelan kognitif” untuk
mendorong proses kognisi. Coaching menyangkut kegiatan pemberian motivasi,
monitoring, dan meregulasi kegiatan siswa, serta mendorong terjadinya refleksi
diri para siswa. Scaffolding menyangkut kegiatan pemberian dukungan/bantuan
secara temporal yang sesuai dengan kapasitas kemampuan siswa, baik oleh teman
sebaya atau guru. Oleh karena itu, scaffolding juga mencakup penentuan tingkat
kesulitan tugas, restrukturisasi tugas, dan pemberian penilaian alternatif (Moll,
1994).
Proses pembelajaran dengan menggunakan LKS Berbasis Masalah untuk
pengajaran IPA di SD akan dilaksanakan dengan langkah-langkah kegiatan belajar
sebagai berikut (dimodifikasi dari Fogarty, 1997). Langkah pertama berupa
apersepsi, yaitu melaksanakan kegiatan menemukan masalah dan mendefinisikan
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
masalah. Langkah kedua adalah eksplorasi, yang menyangkut kegiatan
mengumpulkan fakta-fakta, menyusun dugaan sementara, menyelidiki, dan
menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan sebelumnya. Langkah
ketiga adalah diskusi dan penjelasan konsep,
yaitu berupa kegiatan
menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan masalah secara kolaboratif.
Langkah keempat berupa pengembangan dan aplikasi, yang menyangkut
kegiatan menguji solusi (jawaban) permasalahan, atau mengaitkannya dengan
peristiwa kehidupan sehari-hari.
Sebagai contoh, misalnya dalam materi Hubungan Antar Mahluk Hidup
(manusia, hewan, dan tumbuhan). Sebagai langkah pertama, kepada siswa akan
diajukan pertanyaan sebagai berikut: Apakah kamu tahu berapa jumlah tanaman
dan hewan yang hidup (ada) di halaman sekolah ? Terdiri dari berapa jeniskah
tanaman dan hewan yang ada ? Bagaimana kamu menemukan/mengetahuinya ?
Beberapa pertanyaan ini nantinya akan dapat mengungkap pada tingkat zona
perkembangan yang mana siswa berada (sesuai dengan teori Vygotsky).
Selanjutnya guru membuat ringkasan materi dengan menampilkan beberapa bagan
sesuai dengan model germ-cell (Hedegaard, 1994) dan menentukan sub-sub tema
dari pokok bahasan tersebut, yaitu: ketergantungan antara hewan dan tumbuhan;
ketergantungan antara manusia, hewan dan tumbuhan; dan rantai makanan.
Selanjutnya dengan panduan LKS, siswa melakukan pegamatan (mencari
data/informasi) di kebun sekolah (atau sawah, tegalan, hutan desa) atau kolam
sekolah, atau tempat lain yang sesuai dengan materi ajar. Langkah berikutnya
adalah diskusi kelompok untuk memformulasi dan menginternalisasi informasi
(misal ulat makan daun, burung makan ulat, kupu-kupu mengisap sari bunga, dsb.)
untuk mencari hubungan-hubungannya, sehingga dihasilkan kesimpulan sebagai
konsep.
Untuk lebih jelasnya, operasionalisasi tindak pembelajaran seperti di atas,
dapat dideskripsikan sebagai berikut. Didahului dengan kegiatan mengelompokkan
siswa menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4–5 orang siswa dengan
berkemampuan campur dan variasi jenis kelamin, suku, ras, serta status sosial.
Setiap anak pada masing-masing kelompok mendapatkan LKS Berbasis Masalah
(yang sudah disiapkan/disusun sebelumnya) sebagai panduan dalam proses
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
pembelajaran. Adapun operasionalisasi proses pembelajarannya, yang menyangkut
aktivitas guru dan siswa, adalah seperti yang dideskripsikan di bawah ini.
Tindakan tahap apersepsi, sebagai kegiatan awal pembelajaran, meliputi:
(a) aktivitas guru yang terdiri dari: mengemukakan topik yang akan dibahas secara
jelas, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan secara problematis sebagai
stimulasi awal bagi siswa dan untuk “melacak” konsepsi awal (pemahaman awal)
siswa, memberikan tanggapan-tanggapan atas pertanyaan/jawaban yang diajukan
siswa dengan memberikan fakta-fakta di seputar permasalahan; dan (b) aktivitas
siswa terdiri dari: memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh guru
dan/atau mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan kejadian/pengalaman
sehari-harinya, merumuskan masalah dengan kata-kata sendiri, dengan mencari
hubungan-hubungan antar fakta , mendefinisikan masalah dengan parameter yang
jelas sebagai informasi awal untuk melakukan suatu pengamatan.
Tindakan tahap eksplorasi, meliputi aktivitas-aktivitas sebagai berikut: (a)
aktivitas guru meliputi: membuat struktur belajar yang memungkinkan siswa dapat
menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami dunianya,
melakukan demonstrasi/simulasi (jika diperlukan) dengan menggunakan sumber
belajar dari lingkungan sekitar siswa, membimbing siswa untuk melakukan
pengamatan, bereksperimen, dan berdiskusi dalam kelompoknya, menanggapi
pertanyaan atau permasalahan-permasalahan yang muncul selama pengamatan
atau diskusi kelompok (jika dipandang perlu); dan (b) aktivitas siswa berupa:
melakukan pengamatan langsung di lingkungan luar sekolah atau menggunakan
sumber belajar lain yang ada di sekitar siswa (untuk pelaksanaan demonstrasi atau
simulasi), mengumpulkan data-data (fakta/informasi) yang ada hubunganya
dengan permasalahan, mengorganisasikan informasi-informasi yang telah
diperoleh untuk menganalisis permasalahan, selanjutnya menyusun jawabanjawaban sementara, dan akhirnya menyempurnakan kembali perumusan masalah
dengan merefleksikannya dalam gambaran (setting) nyata yang mereka pahami.
Tindakan tahap diskusi dan penjelasan konsep terdiri atas: (a) aktivis guru,
berupa: memfasilitasi dan mengatur jalannya diskusi (presentasi, bertanya,
menanggapi), membimbing siswa menyimpulkan hasil temuan atau hasil diskusi,
memberikan penjelasan mengenai konsep-konsep yang esensial untuk membantu
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
siswa membuat kesimpulan akhir; dan (b) aktivitas siswa, berupa: mendiskusikan
data dan informasi yang relevan dengan permasalahan dalam kelompok
belajarnya, mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah sebagai kesimpulan,
mempresentasikan hasil temuan/hasil diskusi kelompoknya, merumuskan
kesimpulan akhir dan penjelasannya.
Tindakan tahap pengembangan dan aplikasi, sebagai kegiatan akhir
pembelajaran, meliputi: (a) aktivitas guru, yang terdiri dari: memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan materi (masalah
masih berada di zona ZPD siswa), membimbing/membantu siswa untuk mencari
solusi (cara pemecahan) suatu masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan
menggunakan konsep-konsep yang sudah dipahami siswa; dan (b) kegiatan siswa
berupa menguji alternatif pemecahan yag sesuai melalui diskusi komprehensif
antar anggota kelompok untuk menetapkan pemecahan terbaik, pemecahan
masalah dilakukan dengan membuat sketsa, peta konsep, gambar dengan
narasinya, atau deskripsi ide-ide.
Dari gambaran langkah-langkah pembelajaran tersebut, maka pembelajaran
dengan menggunakan LKS Berbasis Masalah tidak diawali dan diakhiri dari suatu
titik yang jelas. Wilson dan Cole (1996) menyatakan tindak pembelajaran seperti
ini sebagai pembelajaran yang berjalan dalam suatu siklus belajar yang memuat
tahap-tahap berulang (recursive). Pembelajaran dengan strategi penerapan LKS
Berbasis Masalah juga memberikan peluang kepada siswa untuk melibatkan
kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang dimilikinya (Fogarty, 1997;
Gardner, 1999b). Dengan demikian, proses pembelajaran seperti ini merupakan
suatu wahana bagi siswa yang memiliki kecerdasan majemuk dan kemampuan
kognitif beragam untuk melibatkan kemampuannya secara optimal dalam
menguasai keterampilan proses dan memahami konsep-konsep IPA, agar menjadi
siswa yang literasi sains dan teknologi.
3. Penutup
IPA yang pada dasarnya menyangkut proses dan produk, memiliki ciri
pengajaran yang seharusnya diarahkan kepada pencapaian tujuan belajar IPA
dalam arti luas yaitu pengembangan kepribadian siswa, di mana siswa memiliki
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
literasi ilmu dan teknologi. Oleh karenanya, untuk pencapaian hasil belajar
maksimal memerlukan lingkungan pembelajaran yang menggabungkan bentuk
pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi, yang nampaknya bisa terwujud
lewat implementasi pendekatan pembelajaran kontekstual atau dalam istilah lain
disebut contextual teaching and learning –CTL.
Salah satu strategi yang bisa dipakai adalah penerapan LKS Berbasis
Masalah sebagai panduan belajar, sekaligus juga sebagai tindak mengajar oleh
guru. Dari perspektif psikologis, penerapan LKS ini dalam pembelajaran IPA SD
sesuai dengan teori perkembangan Vygotsky tentang konsep zona perkembangan
terdekat (zone of proximal development). Dalam arti bahwa konsep ini dapat
digunakan sebagai piranti psikologi dalam pengajaran. Kelas menjadi lebih aktif,
penuh dengan kegiatan atau aktivitas siswa yang menuntut kemandirian dan
mampu melatih lebih dini sikap discovery dan inquiry siswa (memupuk kebiasaan
bertindak yang didasarkan atas sikap ilmiah). Pendekatan aktivitas pengajaran
seperti ini merupakan tantangan bagi guru untuk terus mengembangkan diri dan
mengeksplorasi sumber dan materi ajar yang bervariasi dan relevan, sehingga
lebih awal bisa menumbuh kembangkan sikap ilmiah siswa.
Sebagai tindak lanjut makalah ini dan dalam rangka mewujudkan tindak
pembelajaran konsep-konsep IPA lebih interaktif (di sekolah dasar), maka
penerapan LKS Berbasis Masalah sebagai strategi pembelajaran dapat dilengkapi
dengan perangkat audio-visual (misalnya film flora dan fauna, animasi dalam
bentuk VCD) dan penggunaan preskripsi component display theory. Disain
pembelajaran seperti ini kemudian dapat dikemas dalam bentuk sebuah “modul
kooperatif “, lembar kerja rumah, atau bentuk lain, sebagai suatu paket
pembelajaran yang menawarkan peluang cukup produktif bagi pemercepatan
pemahaman konsep dan memupuk sikap ilmiah siswa. Strategi pembelajaran ini
bisa dipadukan dengan teknik pembelajaran kooperatif (teknik STAD atau GI).
Seberapa besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar siswa (peningkatan
prestasi belajar) dan penguasaan keterampilan proses dalam bidang IPA bagi siswa
sekolah dasar perlu diteliti lebih lanjut.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
DAFTAR PUSTAKA
Amien, Moh. 1987. Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan
Menggunakan Metode Discovery dan Inquiry. Jakarta: Depdikbud,
P2LPTK.
Atmaja, Nengah Bawa. 2000. Model Pendidikan Yang Membebaskan : Dari Gaya
Bank ke Praksis. Orasi Dalam Rangka Dies Natalis VII dan Wisuda XIII
STKIP Singaraja (Karya tidak diterbitkan).
Blanchard. A. 2001. Contextual Teaching and Learning. Copyright B.E.S.T
Burden, P.R. & Byrd, D.M. 1999. Methods for Effective Teaching. 2nd edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Depdikbud. 1993. Kurikulum Pendidikan Dasar (GBPP Kelas V SD). Jakarta:
Depdikbud.
Dochy, F.J.R.C. 1996. Prior Knowledge and Learning. Dalam Corte, E.D., &
Weinert, F. (Eds): International Encyclopedia of Development and
Instructional Psychology. New York: Pergamon.
Elliott, Stephen N., et.al., 1996, Educational Psychology; effective teaching
effective learning, 2nd Edition, USA: Brown & Benchmark Publisher
Fogarty, R. 1997. Problem –Based Learning and Other Curriculum Models for the
Multiple Intelligences Classroom. Illinois: Sky LightTraining and
Publishing, Inc.
Freire, P. 1999. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.
(Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto Penerjemah). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gardner, H. 1991. The Unschooled Mind: How children think and how school
should teach. New York. Basic Books.
Gardner, H. 1999(a). The Disciplined Mind: What all students should understand.
New York: Simon & Schuster Inc.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Gardner, H. 1999(b). Intelligences Reframed: Multiple intelligences for the 21st
century. New York: Basic Books.
Gunter, M.A., Estes, T.H., dan Schwab, J.H. 1990. Instruction, a models
approach. Boston: Allyn and Bacon.
Halimah, L. 1998. Kemandirian Profesional Guru Dalam Pemanfaatan
Lingkungan Sebagai Sumber Belajar. Jurnal Pendidikan Penelitian Dasar.
No. 5, tahun II. (1): 1–12.
Hedegaard, M. 1994. The zone of proximal development as basis for instruction.
dalam Moll, L.C. (Ed): Vygotsky and Education: Instructional
Implications and Applications of Sociohistorical Psychology. Cambridge:
University Press. pp. 349-371
Jacob, E. 1999. Cooperative Learning in Context: An educational innovation in
everyday class-room. New York: State University.
Johnson, E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press,
Inc.
Jonassen, D. H. 1999. Designing Constructivist Learning Environments. Dalam
Reigeluth, C. M. (Ed): Instructional Design Theories and Models: A new
paradigm of instructional theory, Vol. II. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Publisher. pp. 215-239.
Jonassen, D. H., & Henning, P. 1999. Mental Model: Knowledge in the head and
knowledge in the world. Educational Technology. 39 (3): pp. 37-42.
Kardi, S. 1998. Upaya Peningkatan Kualitas Pembelajaran Konsep-Konsep Ilmu
Pengetahuan Alam di SD. Jurnal Pendidikan Penelitian Dasar. No. 4,
tahun II. (3): 29–37.
Lawson, A.E. 2000. Managing the Inquiry Classroom: Problem and Solutions.The
American Biology Teacher, Vol. 62, No.9: 641 – 648.
Lie, A. 2002. Cooperative Learning, mempraktikkan cooperative learning di
ruang-ruang kelas. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Moll, L.C. 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and
Applications of Sociohistorical Psychology. Cambridge: University Press.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
Mustafa. 1998. Peningkatan Kemampuan Guru Dalam Penggunaan Lembar Kerja
Rumah (LKR) Sebagai Upaya Meningkatkan Pemahaman dan Aplikasi
Konsep Dasar IPA Pada siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan
Penelitian Dasar. No. 6, tahun II. (5): 51–66.
Nelson, L.M. 1999. Collaborative problem solving. Dalam Reigeluth, C.M. (Ed):
Instructional-Design Theories and Models: A new paradigm of
instructional theory, Vol. II. London: Lawrence Erlbaum Associates,
Publishers. pp. 241 - 292
Nur, Moh. & Samani, M. 1996. Teori Pembelajaran IPA dan Hakekat Pendekatan
Keterampilan Proses. Bahan Kegiatan Latihan Kerja Instruktur PKP IPA.
Bandung: Depdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Nur, Moh. 2001. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual. Makalah yang
disajikan pada Pelatihan TOT guru mata pelajaran SLTP dan MTs.
Surabaya: Depdiknas, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Paris, S.G., & Winograd, P. 1998. The Role of Self-Regulated Learning in
Contextual Teaching: Principles and practices for teacher preparation.
(Teach 2000, the Indicator Guide to the International and World Wide
Web), diakses Oktober 2002.
Savoie, J. M. & Hughes, A. S. 1994. Problem-Based Learning as Classroom
Solution. Educational Leadership, November, pp. 54-57
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology: theory and practice. 5th edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning. 2nd edition. Boston: Allyn and Bacon.
Susilo, H. 1997. Implementasi Pendekatan Konstruktivistik Dalam Pembelajaran
Sains. MIPA, Tahun 26, Nomor 2: 215 – 225.
Tudge, J. 1994. Vygotsky, the zone of proximal development, and peer
collaboration: Implication for classroom practice. Dalam Moll, L.C. (Ed):
Vygotsky and Education: Instructional Implications and Applications of
Sociohistorical Psychology. Cambridge: University Press.
Wilson, B. G. & Cole, P. 1996. Cognitive Teaching Models. Dalam Jonassen, D.
H. (Ed): Handbook of Research for Educational Communication and
Technology. London: Prentice Hall International. pp. 601-621.
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
ISSN 0215-8250
___________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVI Juli 2003
Download