II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ibu Hamil Ibu hamil rata-rata mengalami kenaikan berat badan sebesar 12 hingga 14 kg selama periode kehamilannya (Pilliteri, 1995). Hal ini menyebabkan kelompok khusus seperti ibu hamil membutuhkan nutrisi tambahan hingga lebih dari dua kali lipat dibandingkan kebutuhan nutrisi wanita lain yang tidak hamil pada usia sama, sekitar 25-50 tahun, per orang per hari (Tabel 1). Peningkatan kebutuhan nutrisi tidak hanya untuk menjaga stamina ibu tetapi juga untuk perkembangan janin yang dikandung. Lebih jauh lagi, nutrisi yang tidak tercukupi selama kehamilan dapat berakibat fatal bagi keduanya, yakni ibu dan janin (US FDA, 1989). Oleh karena itu, kebutuhan nutrisi ibu hamil tidak hanya ditingkatkan dari segi kuantitas saja tetapi juga kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsinya. Misalnya protein makanan yang dikonsumsi sebaiknya merupakan protein lengkap (protein yang mengandung delapan asam amino esensial) begitu pula lemak sebaiknya ibu hamil banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak tidak jenuh khususnya asam linoleat (Pilliteri, 1995). Menurut Institute of Medicine (1986), saat kelahiran, bayi seringkali menderita defisiensi vitamin E. Hal ini disebabkan karena rendahnya asupan vitamin E oleh ibu selama kehamilan. Defisiensi vitamin E ini dapat berakibat kebutaan (Retinophaty of Prematurity/ROP) apabila bayi prematur tidak sanggup menghadapi stress oksigen udara luar atau yang disebut keracunan oksigen. Selain vitamin E, bayi dan balita juga membutuhkan nutrisi penting lainnya untuk perkembangannya. Untuk perkembangan kecerdasan janin, bayi, dan balita membutuhkan ALTJ (Asam Lemak Tidak Jenuh) terutama asam lemak linoleat. ALTJ jamak sangat dibutuhkan kelompok umur tersebut bagi pertumbuhan dinding sel otak dan perkembangan sel baru (Pilliteri, 1995). Dinding sel otak akan mendukung kecerdasan bayi dan balita hingga kelak dewasa. 4 Tabel 1. Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan untuk Wanita Berumur 19-50 Tahun Komponen Wanita Tidak Hamil Wanita Hamil (per orang per hari) trisemester II dan III (per orang per hari) Energi (kkal) 1900 2200 Protein (g) 50 67 Vitamin larut lemak: Vitamin A (RE) 600 900 Vitamin D (µg) 5 5 Vitamin E (mg) 15 15 Vitamin K (µg) 55 55 Vitamin larut air: Thiamin (mg) 1.0 1.3 Riboflavin (mg) 1.1 1.4 Niacin (mg) 14 18 Asam folat (µg) 400 600 Piridoksin (mg) 1.3 1.7 Vitamin B12 (µg) 2.4 2.6 Vitamin C (mg) 75 85 Mineral: Kalsium (mg) 800 950 Fosfor (mg) 600 600 Magnesium (mg) 240 270 Besi (mg) 26 35 dan 39 Yodium (µg) 150 200 Seng (mg) 9.3 13.5 dan 18.3 Selenium (µg) 30 35 Mangan (mg) 1.8 2.0 Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI (2004) Brody (1991) menyatakan bahwa defisiensi asam folat selalu menjadi masalah potensial selama masa kehamilan karena peningkatan kebutuhan fisiologis yang luar biasa saat kehamilan. Kenaikan kebutuhan asam folat lebih ditekankan pemenuhannya saat kehamilan dibandingkan saat menyusui. Defisiensi asam folat selama kehamilan dapat berakibat lebih jauh kepada kekurangan asam folat saat menyusui. Wanita hamil beresiko tinggi melahirkan bayi menderita NTD (Neural Tube Defects) pada kondisi defisien asam folat di periode awal kehamilan. Selain memperhatikan nutrisi makanan yang dikonsumsinya, ibu hamil juga harus menghindari makanan-makanan yang berbahaya bagi janinnya. Beberapa makanan yang harus dihindari oleh ibu hamil adalah 5 makanan atau minuman yang mengandung kafein seperti coklat, kopi, teh, maupun softdrink, makanan yang mengandung pemanis buatan, dan makanan yang bertujuan untuk menurunkan berat badan (Pilliteri, 1995). B. Kacang Hijau (Phaseolus radiatus, Linn) Phaseolus radiatus, Linn merupakan nama botani kacang hijau (Kay, 1979). Kacang hijau termasuk dalam family Leguminoceae, sub family Papillionideae, genus Phaseolus dan spesies radiatus (Marzuki, 1977). Sebutan kacang hijau lebih dari satu, diantaranya: mungo, mung bean, green gram, dan mung. Buah kacang hijau berbentuk pedang-pedangan, kecil memanjang. Warna buahnya hijau sewaktu masih muda dan nantinya akan berubah menjadi ungu tua setelah cukup tua. Setiap buah terdapat 5 sampai lebih dari 10 biji kacang hijau. Biji tersebut ada yang mengkilap dan ada pula yang kusam (Kay, 1979). Biji kacang hijau terdiri dari 3 bagian, yaitu kulit biji, endosperma dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, mekanis, dan serangan kapang atau serangga. Endosperma merupakan bagian biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut. Komposisi kimia kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Kimia Kacang Hijau per 100 gram Bagian yang Dapat Dimakan Komponen Jumlah Energi (kal) 345.00 Air (g) 10.00 Lemak (g) 1.26 22.20 Protein (g) Karbohidrat (g) 62.90 Kalsium (mg) 125.00 320.00 Fosfor (mg) Besi (mg) 6.70 157.00 Vitamin A (IU) Vitamin B1 (mg) 0.64 Vitamin C (mg) 6.00 Sumber: Suprapto dan Sutarman (1982) 6 Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar dibandingkan dengan komponen-komponen lain yang terdapat pada kacang hijau. Karbohidrat tersusun atas pati, gula, dan serat kasar (Sathe et al, 1982). Menurut Kay (1979), pati kacang hijau terdiri atas 28.8% amilosa dan 71.2% amilopektin. Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa. Pati pada kacang hijau mempunyai daya cerna 99.8% (Fleming dan Vote, 1976 yang dikutip oleh Sathe et al, 1982), sehingga dapat dikatakan bahwa daya cerna karbohidrat pada kacang hijau tinggi. Protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat yang terdiri dari berbagai asam amino yang diantaranya merupakan asam amino esensial. Tabel 3 menunjukkan kandungan asam amino esensial pada kacang hijau. Seperti kacang-kacangan pada umumnya, protein kacang hijau hanya sedikit mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin) namun kaya akan lisin. Tabel 4 juga menunjukkan PER (Protein Eficiency Ratio) beberapa jenis kacang-kacangan. Kacang hijau mempunyai nilai daya cerna protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi adanya inhibitor tripsin. Aktivitas enzim tripsin dapat pula dipengaruhi oleh adanya tannin atau polifenol (Elias, 1979; Fernandez, 1975; dan Ordones, 1976 yang dikutip oleh Bressani et al, 1982). Tabel 3. Komposisi Asam Amino Esensial Kacang Hijau Asam amino Jumlah (mg/g) Triptofan 10.88 Threonin 32.72 Isoleusin 42.18 Leusin 77.28 Lisin 69.62 20.75 Methionin dan Sistin Fenilalanin dan Tirosin 90.25 Valin 51.76 Sumber: USDA (2008) 7 Tabel 4. PER Beberapa Jenis Kacang-Kacangan Jenis Kacang PER Kacang hijau 2.12 Kedelai 2.32 Kacang tunggak 1.41 Kacang tanah 1.65 1.68 Chick peas Sumber: Engel (1977) Kacang hijau dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan campuran. Dalam hal ini kacang hijau yang banyak mengandung lisin digunakan sebagai pelengkap bahan makanan yang kekurangan asam amino lisin, misalnya beras (Payumo, 1978). Kacang hijau sudah sering diolah menjadi berbagai jenis pangan seperti bubur kacang hijau, makanan bayi, kue, tahu, dan minuman kacang hijau. C. Tepung Beras Penggilingan butir beras ke dalam bentuk tepung dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara basah. Kedua cara ini pada prinsipnya berusaha memisahkan lembaga dari bagian tepung (Hubeis, 1984). Tepung beras diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan ukuran partikelnya, yaitu butir halus (> 10 mesh), tepung kasar atau bubuk (< 40 mesh), tepung agak halus (65-80 mesh), dan tepung halus (≥ 100 mesh) (Hubeis, 1984). Tepung beras dapat dihasilkan dari beras patah maupun menir, baik dari beras pratanak maupun beras biasa. Demikian pula dapat digunakan beras berbutir panjang, sedang, maupun pendek. Tepung beras yang dibuat dari beras patah mempunyai komposisi kimia yang sama dengan tepung beras yang dibuat dari beras utuh, tetapi antar varietas terdapat perbedaan terutama dalam kandungan protein, lemak, pati, dan rasio amilosa dengan amilopektin. Perbedaan komposisi kimia beras turut menentukan keragaman sifat fisikokimia tepung beras, seperti sifat visikometrik, suhu gelatinisasi, penyerapan air, dan sifat-sifat lainnya (Luh dan Liu, 1980). Penggilingan beras menjadi bentuk tepung dapat meningkatkan daya gunanya sebagai penyedia kebutuhan kalori dan protein bagi manusia, serta bahan baku 8 industri pangan, meskipun kandungan zat gizinya menjadi lebih rendah, seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Kimia Beras per 100 gram Beras Komposisi Tumbuk Giling Kalori (kkal) 359 360 Protein (g) 7.5 6.8 Lemak (g) 0.9 0.7 Karbohidrat (g) 77.6 78.9 Kalsium (mg) 16 6 Fosfor (mg) 163 160 Besi (mg) 0.3 0.8 Vitamin A (SI) 0 0 Vitamin B (mg) 0.21 0.12 Vitamin C (mg) 0 0 Air (%) 13.0 13.0 Sumber: Hubeis (1984) Tepung 364 7.0 0.5 80.0 5 140 0.8 0 0.12 0 12.0 Beras beramilosa rendah (9-20%) cocok untuk pembuatan makanan bayi, makanan sarapan, dan makanan selingan, karena sifat gelnya yang lunak. Pembuatan roti dari tepung beras atau campuran tepung beras:terigu (30:70) menggunakan beras dengan kadar amilosa rendah, suhu gelatinisasi rendah, dan viskositas gel yang rendah akan menghasilkan roti yang baik (Siwi dan Damardjati, 1986). Beras yang mengandung kadar amilosa sedang sampai tinggi (2027%) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan beras pratanak dalam kaleng dan sup nasi dalam kaleng. Beras beramilosa tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bihun. Beras jenis ini mempunyai stabilitas dan daya tahan untuk tetap utuh dalam pemanasan yang tinggi, serta mempunyai sifat retrogradasi yang kuat, sehingga setelah dingin pasta yang terbentuk menjadi kuat, tidak mudah hancur, atau remuk (Siwi dan Damardjati, 1986). Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak 9 digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Nishita dan Bean, 1982). Kandungan asam amino esensial beras dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Asam Amino Esensial Beras Asam amino Kandungan (mg/g) Isoleusin 41.36 Leusin 82.71 Lisin 35.08 Metionin dan Sistin 42.54 Fenilalanin dan Tirosin 106.95 Treonin 35.29 Valin 58.49 Triptofan 12.10 Sumber: USDA (2008) Tepung beras mempunyai kandungan asam amino lisin yang lebih rendah dibandingkan dengan beras utuh. Hal ini disebabkan dalam perikarp, embrio, dan lapisan aleuron terdapat kandungan lisin yang lebih tinggi, padahal ketiga bagian tersebut terlepas dari beras pada saat proses penggilingan (Juliano, 1980 dan Hubeis, 1984). Menurut Grist (1975), pada perikarp terdapat banyak fitin yang dapat membentuk kompleks dengan kalsium dan besi, sehingga penyosohan pada beras mengakibatkan kehilangan kalsium 84%, besi 67%, protein 29%, dan lemak 79%. Penyimpangan fisikokimia yang terjadi pada tepung beras dapat berupa warna (pencoklatan) yang diakibatkan waktu dan tingginya suhu pengeringan, serta cepat menjadi berbau asam bila bahan kurang kering setelah diperlakukan atau berbau tengik bila lemak yang tersisa dari hasil penggilingan sebelumnya dihidrolisis oleh enzim lipase yang dikeluarkan oleh serangga (Hubeis, 1984). 10 D. Isolat Protein Kedelai Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya sebesar 95% berdasarkan presentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Koswara, 1995). Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dibuat dari kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Jika dibuat dari tepung kedelai, maka mula-mula tepung harus dicampur dengan air (perbandingan tepung:air = 1:8), kemudian pH-nya ditingkatkan menjadi 8.5-8.7 dan diaduk pada suhu 50-55oC selama 30 menit, sehingga proteinnya terekstrak. Sedangkan ekstraksi protein dari biji utuh dilakukan dengan perendaman 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai kupas kulit dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), lalu diencerkan hingga perbandingan kedelai kering:air = 1:8, setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga 8.5-8.7 dan diaduk 30 menit. Setelah proses tersebut, dilakukan pengaturan pH untuk kedua kalinya dengan melakukan penambahan larutan NaOH 2 N, sambil dipanaskan hingga suhu 50-55oC untuk mengefisiensikan ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu non-protein harus dipisahkan dengan sentrifugal atau pemusingan. Semakin cepat sentrifugal dilakukan, isolat yang dihasilkan makin murni, sehingga kandungan proteinnya makin tinggi dan sifat fungsionalnya makin baik (Koswara, 1995). Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (yang berisi protein yang larut), kemudian diturunkan pH-nya sampai 4.5 sehingga protein mengendap. Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan penambahan larutan HCl atau larutan TCA (trikloroasetat). Endapan protein yang diperoleh kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Kemudian endapan tersebut dicuci (dicampur air lalu disentrifugal kembali) dan dikeringkan dengan pengering beku (freeze 11 dryer) atau dapat juga endapan dibuat suspensi kental dengan air (1:2) lalu dikeringkan dengan pengering semprot (spray dryer). Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein kedelai adalah pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Kemampuan ekstraksi protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak. Sebagai gambaran nutrisi pada bungkil kedelai tanpa lemak, protein konsentrat, dan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Kimia Produk Protein Kedelai Parameter Protein (Nx6.25) Lemak Serat kasar Abu Kadar air Karbohidrat (by difference) Sumber: Liu (1997) Bungkil kedelai tanpa lemak (% bk) 56-59 0.5-1.1 2.7-3.8 5.4-5.6 0 32-34 Konsentrat protein kedelai (% bk) 65-72 0.5-1.0 3.5-5.0 4.0-6.5 0 20-22 Isolat protein kedelai (% bk) 90-92 0.5-1.0 0.1-0.2 4.0-5.0 0 3-4 Dari segi nutrisi, isolat protein kedelai kekurangan asam amino bersulfur yaitu metionin dan diikuti asam amino sistein dan treonin, namun kelebihan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas dari protein pada serealia. Secara umum protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia, namun yang menjadi asam amino pembatas adalah metionin dan diikuti triptofan. Oleh karena itu sebenarnya kedelai sangat cocok dikombinasikan dengan protein yang bersumber dari serealia. Daya cerna protein kedelai dipengaruhi beberapa faktor yaitu: faktor internal berupa kadar faktor anti-nutrisi dan struktur protein, serta faktor eksternal berupa perlakuan pemanasan dapat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena inaktivasi tripsin inhibitor dan faktor antinutrisi lainnya. Selain 12 itu proses pemurnian kedelai menjadi isolat protein kedelai dapat meningkatkan kecernaan protein kedelai karena menghilangkan faktor-faktor antinutrisi lainnya pada proses pencuciannya. Isolat protein kedelai memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Daya serap air isolat protein sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan memudahkan penanganannya. Di samping itu, sifat menahan air akan memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti (Koswara, 1995). Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada produk sosis, produk bakeri dan sup (Koswara, 1995). Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti dan biskuit (Koswara, 1995). E. Cookies Menurut SNI (1992), cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah bila dipatahkan dan penampang potongannya bertekstur padat. Husain (1993) juga menyatakan bahwa cookies termasuk jenis biskuit yang mengandung kadar lemak dan gula yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis biskuit lainnya. Cookies dengan tepung non terigu termasuk kedalam golongan short dough (Manley, 1983). 1. Bahan Penyusun Bahan-bahan penyusun cookies terdiri atas bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat adalah tepung, air, padatan susu, putih telur atau telur utuh, dan garam. Sedangkan bahan pelembut adalah gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Husain, 1993). Tepung merupakan komposisi dasar pada produk bakery. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan 13 lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa (Matz dan Matz, 1978). Manley (1983) membagi tepung menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal 12%), terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar protein sebesar 7-9%). Tepung yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah tepung gandum lunak dengan kadar protein 8-9%. Tepung terigu lunak juga biasa digunakan untuk membuat bolu, kue kering, crackers, dan biskuit karena terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 1992). Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U.S Wheat Associates, 1983). Semakin keras tepung gandum, semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk memperoleh tekstur yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam serta penampakan permukaan. Bila jumlah tepung sangat sedikit, sedangkan lemak yang ditambahkan cukup banyak maka cookies akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz, 1978). Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi sebagai pemanis nutririf, pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Gula yang ditambahkan dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi aw bahan pangan sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi penyebaran cookies. Gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula. Jenis pemanis lain yang dapat digunakan adalah brown sugar, invert syrup laktosa atau madu (Matz, 1978). Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening yang dapat digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti lemak babi atau lemak sapi. 14 Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies (Matz, 1978). Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya ditambahkan margarin (Matz, 1978). Selama proses pencampuran adonan, lemak memutuskan jaringan gluten di dalamnya sehingga karakteristik makan setelah pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek, dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley, 1983). Telur mempengaruhi tekstur produk kue karena sifat pengemulsi, pengaerasi, pelembut, dan pengikat yang dimilikinya. Selain itu telur juga berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi, memberikan warna dan flavor yang disukai. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. Seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan struktur cookies yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur dalamnya tidak sebaik yang menggunakan seluruh telur (Matz, 1978). Manley (1983) menjelaskan bahwa susu yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies berbentuk serbuk dan memiliki aroma khas yang kuat. Susu berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan aroma, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu merupakan disakarida pereduksi yang jika dikombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan proses pemanasan akan memberikan warna coklat yang menarik pada permukaan setelah dipanggang. Gas karbondioksida, uap air, dan udara berperan pada pengembangan produk-produk kue. Sumber karbondioksida pada kue antara lain sodium bikarbonat, amonium bikarbonat, dan baking powder. Amonium bikarbonat digunakan untuk menghasilkan produk kue kering yang kadar airnya rendah, tetapi tidak untuk produk yang kadar airnya tinggi, karena aroma amoniak lebih terasa bila kadar air produk masih tinggi. Amonium bikarbonat larut pada air dan dapat terdekomposisi pada suhu 104oC (Stauffer, 1990). Sodium bikarbonat lebih sering digunakan karena toksisitasnya rendah, mudah ditangani, tidak meninggalkan rasa pada produk dan lebih murni. Baking 15 powder merupakan campuran dari sodium bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Baking powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium (Matz, 1978). Menurut Kaplan (1971), peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Matz (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang. Penambahan flavor pada cookies ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai flavor adalah vanilla, keju, almond, coklat, kopi dan caramel. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Kategori flavor meliputi minyak esensial yang diekstrak dari jaringan tanaman, campuran bahan-bahan kimia aromatik sintetik, maupun dari proses alami bahan karena bahan-bahan tersebut mempunyai aroma kuat dan menyenangkan (Manley, 1983). Menurut Manley (1983), biskuit dan produk yang dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1) ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2) ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang, 3) flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam, icing ataupun mallow. 2. Proses Pembuatan Cookies Pada prinsipnya proses pembuatan cookies atau kue kering meliputi tahapan persiapan bahan, pencampuran yang terdiri dari pembentukan krim dan pembuatan adonan, pencetakan atau pembentukan kue, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan. Mentega atau sumber lemak dibuat menjadi krim terlebih dahulu bersama dengan gula, telur, garam, dan susu (creaming method) agar semua bahan menyebar rata di dalam adonan. Selanjutnya pencampuran krim 16 dengan tepung dan bahan lainnya diberikan sehingga bahan-bahan menjadi satu adonan yang rata (homogen). Setelah adonan menjadi homogen, maka dilakukan proses pencetakan. Pencetakan cookies dapat bervariasi tergantung selera. Tahap akhir adalah pemanggangan. Suhu yang biasa dipakai untuk pemanggangan kue kering berkisar antara 180-2000C selama 16-20 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi. Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies. Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Perubahan yang kompleks terjadi selama pemasakan. Pada awal pemasakan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40oC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 55-99oC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65oC. Selanjutnya pada suhu 70oC terjadi penguapan air, denaturasi dan koagulasi protein (Faridi, 1994). Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Seluruh tahap proses pembuatan cookies tersebut sangat berpengaruh pada penampakan dan kualitas produk akhir. Cookies yang dihasilkan, secara organoleptik harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen dan dari segi nilai gizi dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia). Persyaratan untuk cookies dapat dilihat pada SNI No. 01-2973-1992 pada Tabel 8. 17 Tabel 8. Syarat Mutu Biskuit, SNI No. 01-2973-1992 Kriteria Uji Satuan Keadaan Air % maksimum 5 Protein % minimum 9 Lemak % minimum 9.5 Karbohidrat % minimum 70 Abu % maksimum 1.5 Logam berbahaya negatif Serat kasar % maksimum 0.5 Energi kkal/100 minimum 400 gram Bau dan rasa normal dan tidak tengik Warna normal Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992) 3. Sifat – Sifat Fisik Cookies Sifat- sifat fisik memegang peranan sangat penting dalam pengawasan dan standarisasi produk, karena sifat fisik lebih mudah dan lebih cepat dikenali atau diukur dibandingkan dengan sifat kimia dan mikrobiologi. Sifatsifat fisik yang penting dalam pengawasan mutu dapat dikelompokkan menjadi sifat morfologi, sifat aspektral, sifat termal dan reologi (Soekarto, 1990). Sifat morfologi yang penting dalam pengawasan mutu adalah: bentuk, ukuran, sifat permukaan, susunan dan warna. Sifat-sifat morfologi dikenali dengan pengamatan visual (organoleptik) atau dengan alat (secara objektif). Tekstur pangan adalah sifat fisik yang berasal dari struktur pangan dan berhubungan dengan perubahan bentuk, pemecahan dan aliran karena gaya yang diberikan (sifat reologi), dan diukur secara subjektif dengan indera pengecap, pendengar dan penglihat. Tekstur pangan juga dapat diukur secara objektif sebagai fungsi dari massa, jarak, tekanan dan waktu. Beberapa sifat fisik cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah: hardness atau firmness, brittleness, crumbly dan sticky. Hardness/firmness (keteguhan/kekerasan), menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuknya bila dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness), yaitu suatu sifat cookies yang mudah pecah bila diberikan suatu gaya; sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang mudah hancur menjadi 18 partikel-partikel yang kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat partikel-partikel cookies yang lengket dimulut (Gaines, 1994). Menurut Gaines et al (1992), kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies. Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lambat air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Anderson et al (1979) menyatakan ada korelasi antara kerapuhan dengan ukuran partikel remah. Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994). F. Komplementasi Protein Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Winarno, 1997). Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan nilai gizi suatu protein, yaitu : daya cerna protein dan kandungan asam amino esensial. 19 Ada berbagai metode untuk mengevaluasi nilai gizi protein, namun secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu metode in vitro (metode skor kimia) dan metode in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan termasuk manusia). Efek komplementasi ditentukan dengan menggunakan metode skor kimia dimana kandungan asam amino esensial bahan dibandingkan dengan asam amino esensial standar menurut pola FAO tahun 1973 sehingga didapatkan skor asam amino pembatas (skor asam amino terendah) pada bahan tersebut. Skor asam amino pembatas pada masingmasing bahan inilah yang memungkinkan terjadi efek komplementasi antara kedua bahan tersebut. Menurut Muchtadi (2008), pencampuran antara dua jenis protein dengan rasio tertentu akan memberikan empat kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah tidak terjadinya komplementasi maupun suplementasi karena kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama. Kemungkinan kedua adalah terjadinya komplementasi parsial dimana kedua jenis protein memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, namun protein yang satu mengandung asam amino esensial tersebut lebih banyak daripada protein lainnya. Kemungkinan ketiga adalah komplementasi nyata dimana terjadinya efek sinergis bila kedua protein tersebut dicampurkan, dan kemungkinan keempat hampir sama dengan komplementasi parsial namun selain memiliki defisiensi asam amino esensial yang sama, kedua protein juga kaya akan asam amino esensial yang sama sehingga protein dengan jumlah asam amino esensial defisiensi lebih banyak akan lebih banyak memberikan pengaruh. 20