Evaluasi mutu gizi dan pendugaan umur simpan

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Gizi Ibu Hamil
Pada masa kehamilan rata-rata ibu hamil mengalami kenaikan berat
badan sebesar 12 hingga 14 kg (Pilliteri 1995). Hal ini menyebabkan kelompok
khusus seperti ibu hamil membutuhkan nutrisi tambahan lebih dari dua kali lipat
dibandingkan kebutuhan nutrisi wanita lainnya yang tidak hamil pada usia yang
sama, sekitar 20-50 tahun, per orang per hari.
Kehamilan menyebabkan daya metabolisme energi meningkat. Dua
proses anabolik fundamental yang saling bebas terjadi selama kehamilan.
Proses pertama adalah pertumbuhan serta pematangan janin dan plasenta.
Proses kedua adalah penyesuaian fisiologik dan metabolik tubuh ibu selama
kehamilan. Kedua proses tersebut menyebabkan kebutuhan zat gizi meningkat
(Duhring 1988).
Masa kehamilan dibagi dalam tiga tahapan atau trisemester. Trisemester
pertama (usia kehamilan 1-3 bulan) merupakan masa penyesuaian tubuh ibu
terhadap awal kehamilannya. Penambahan kebutuhan zat-zat gizi pada tahap ini
masih relatif kecil karena pertumbuhan janin masih lambat. Pada trisemester
kedua (usia kehamilan 4-6 bulan) pertumbuhan janin mulai pesat. Kecepatan
pertumbuhannya mencapai 10 gram per hari. Peningkatan kualitas gizi sangat
dibutuhkan karena tahap ini tubuh ibu mulai mengalami perubahan dan adaptasi,
serta mulai menyimpan cadangan zat-zat gizi untuk membentuk air susu. Pada
tahap terakhir atau trisemester ketiga (usia kehamilan 7-9 bulan), janin tumbuh
dengan pesat dan terjadi pembentukan otak sehingga dibutuhkan vitamin dan
mineral yang cukup (Haryanto 1999).
Selama masa kehamilan, kebutuhan energi meningkat menjadi sekitar
80.000 kkal, dimana 36.000 kkal untuk pembakaran tubuh dan 44.000 kkal untuk
pembuatan jaringan baru (Nadesul 2005). Protein juga merupakan zat gizi yang
penting selama masa kehamilan. Menurut Nadesul (2005), hampir 70 % protein
digunakan untuk kebutuhan janin. Kekurangan protein dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan janin, keguguran, bayi lahir dengan berat badan kurang,
serta tidak optimalnya pertumbuhan jaringan tubuh dan jaringan pembentukan
otak (Haryanto 1999).
5
Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk wanita
Komponen
Wanita tidak hamil
(per orang per hari)
Wanita hamil
Trisemester II dan III
(per orang per hari)
2200
67
Energi (kkal)
1900
Protein (g)
50
Vitamin larut lemak
Vitamin A (RE)
600
900
Vitamin D (µg)
5
5
Vitamin E (mg)
15
15
Vitamin K (µg)
55
55
Vitamin larut air
Thiamin (mg)
1
1.3
Riboflavin (mg)
1.1
1.4
Niacin (mg)
14
18
Asam folat (µg)
400
600
Piridoksin (mg)
1.3
1.7
Vitamin B12 (µg)
2.4
2.6
Vitamin C (mg)
75
85
Mineral
Kalsium (mg)
800
950
Fosfor (mg)
600
600
Magnesium (mg)
240
270
Besi (mg)
26
35 dan 39
Yodium (mg)
150
200
Seng (mg)
9.3
13.5 dan 18.3
Selenium (µg)
30
35
Mangan (mg)
1.8
2
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 2004
Vitamin yang penting selama masa kehamilan, antara lain vitamin A,
asam folat, dan vitamin C. Vitamin A dalam bentuk retinol diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin (Sizer dan Whitney 2000). Asam folat
berfungsi untuk membantu sintesis DNA yang diperlukan untuk pembentukan
sel-sel baru. Kekurangan folat dapat mengubah morfologi inti sel terutama sel-sel
yang dapat membelah cepat, seperti servik rahim. Sedangakan vitamin C
berperan dalam pembentukan kolagen, meningkatkan daya tahan terhadap
infeksi, mencegah pembentukan nitorsamin yang bersifat karsinogenik, dan
meningkatkan adsorpsi besi dalam bentuk nonhaem sampai empat kali lipat.
Kolagen adalah protein yang menjadi dasar pembentukan jaringan penghubung
yang diperlukan oleh fetus (Sizer dan Whitney 2000).
Selain vitamin, terdapat beberapa mineral yang juga penting selama
masa kehamilan. Mineral yang penting selama masa kehamilan diantaranya
kalsium, besi, iodium, dan seng. Kalsium digunakan untuk menunjang
pembentukan tulang dan gigi, serta persendian janin. Zat besi dibutuhkan untuk
mengikat oksigen, pembentukan sel-sel baru, asam-asam amino, hormonhormon, dan neurotransmitter. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan anemia
6
atau kekurangan sel darah merah. Anemia zat besi merupakan gangguan yang
sering terjadi selama masa kehamilan (Duhring 1988). Kekurangan iodium pada
ibu hamil dapat menyebabkan bayi lahir dalam keadaan cacat mental yang
permanen serta menghambat pertumbuhan bayi atau kretinisme. Seng
merupakan kofaktor enzim sehingga seng berperan dalam sintesis dan degradasi
karbohidrat, protein, lipid, asam nukleat, dan kolagen. Kekurangan seng dapat
mengganggu fungsi tiroid, memperlambat energi metabolisme tubuh, dan
menghilangkan nafsu makan.
Karakteristik Talas Banten
Talas Banten (Xanthosoma undipes K. Koch) atau yang dikenal juga
sebagai beneng (besar dan koneng/kuning) atau giant taro atau big elephant’s
ear mempunyai ukuran besar dan bagian umbinya berwarna kuning. Umbi talas
yang sudah berumur 3 tahun bisa mencapai panjang 2 meter dengan diameter
15 cm, dimana sebagian umbi masuk ke dalam tanah dan sebagian lainnya
berada di atas permukaan tanah (Manner 2010). Selain potensi ukurannya, talas
ini memiliki kadar protein dan mineral yang relatif tinggi. Menurut Noviamayasari
(2010) talas Banten memiliki kandungna protein yang lebih tinggi dibandingkan
dengan talas Bogor, talas Pontianak dan talas Malang. Potensi ini didukung pula
oleh kemudahan budidayanya baik pada lahan basah maupun kering (Basyir
1999) sehingga pengembangan pertanamannya dapat dilakukan di lahan
marjinal.
Di Banten, talas ini ditemukan tumbuh liar di lereng bukit dan pekarangan.
Pada umumnya di Indonesia, talas lebih banyak digunakan sebagai bahan
pangan pelengkap seperti kudapan (keripik, kolak, ubi goreng dan ubi rebus)
atau tambahan sayur. Di negara-negara lain seperti di Jepang dan New Zealand,
talas telah dimanfaatkan sebagai bahan baku produk berbasis karbohidrat
seperti roti, kue-kue, makanan bayi atau produk-produk ekstrusi yang bernilai
ekonomi tinggi.
Tabel 2 Komposisi kimia umbi talas Banten per 100 gram bahan
Kandungan gizi
Energi (kkal)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Serat kasar (%)
Pati (%)
Sumber: Berkah 2010
Jumlah
83.7
2.01
0.27
18.3
0.73
15.21
7
Salah satu kendala dalam penggunaan talas sebagai bahan baku produk
olahan adalah kandungan oksalatnya yang tinggi (61.783 ppm). Konsumsi
makanan berkadar oksalat tinggi dapat mengganggu kesehatan karena dapat
menyebabkan pembentukan batu oksalat atau batu ginjal. Selain itu, adanya
oksalat dapat menurunkan penyerapan kalsium oleh tubuh (Njintang dan
Mbofung 2003).
Metode fisik yang paling umum digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan
pemanasan, dikarenakan kalsium oksalat labil terhadap panas. Pemanasan
dapat dilakukan melalui perebusan atau pengukusan. Secara biologis kandungan
kalsium oksalat dapat dikurangi dengan fermentasi anaerobic (Iwuoha dan Kalu
1995). Perendaman dengan larutan garam 1% selama 20 menit dilaporkan dapat
menurunkan kadar oksalat secara maksimal. Perendaman dengan larutan garam
dikombinasikan dengan blanching dapat menurunkan kadar oksalat (dalam
bentuk asam oksalat) hingga 37.2% (Dahal dan Swamylinappa 2006).
Perendaman dalam larutan garam (NaCl) juga banyak dilakukan untuk
mengurangi efek gatal pada talas.
Pembuatan Tepung Talas Banten
Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara pengilingan
atau penepungan. Kadar air yang dimiliki tepung rendah, hal ini berpengaruh
terhadap keawetan suatu bahan pangan. Jumlah air yang terkandung dalam
bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis/asal
bahan, perlakuan yang telah dialami oleh bahan pangan, kelembaban udara,
tempat penyimpanan dan jenis pengemasan. Cara yang paling umum dilakukan
untuk menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan
penjemuran atau dengan alat pengering biasa. Proses pembuatan tepung umbiumbian sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbiumbian itu sendiri (Lingga 1986). Proses pembuatan tepung talas diawali dengan
pencucian dan pengupasan umbi segar, yang kemudian diiris. Pengirisan
dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan. Setelah itu dilakukan
perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena
secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian dilakukan
proses pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC yaitu, pada saat kadar air
mencapai 12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang
dikeringkan tersebut dibolak-balik agar kering secara merata. Hasil dari
8
pengeringan adalah berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk
menghasilkan tepung talas yang seragam dilakukan proses pengayakan.
Karakteristik Kacang Hijau
Phaseolus radiatus, Linn merupakan nama botani kacang hijau (Kay
1979). Kacang hijau termasuk ke dalam family Leguminoceae, sub family
Papillionideae, genus Phaseolus, dan spesies radiates (Marzuki 1977).
Buah kacang hijau berbentuk pedang-pedangan, kecil dan memanjang.
Warna buahnya hijau sewaktu masih muda dan nantinya akan menjadi ungu tua
setelah cukup tua. Setiap buah terdapat 5 sampai lebih dari 10 biji kacang hijau.
Biji tersebut ada yang mengkilap dan ada pula yang kusam (Kay 1979). Biji
kacang hijau terdiri dari 3 bagian, yaitu kulit biji, endosperma dan lembaga. Kulit
biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik mekanis, dan
serangan kapang atau serangga. Endosperma merupakan bagian biji yang
mengandung makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga akan membesar
selama pertumbuhan biji tersebut.
Tabel 3 Komposisi kimia kacang hijau per 100 gram bahan
Komponen
Jumlah
Energi (kkal)
345
Air (g)
10
Lemak (g)
1.26
Protein (g)
22.2
Karbohidrat (g)
62.9
Kalsium (mg)
125
Fosfor (mg)
320
Besi (mg)
6.7
Vitamin A (IU)
157
Vitamin B1 (mg)
0.64
Sumber: Suprapto dan Sutarman 1982
Komponen karbohidrat merupakan bagian terbesar dibandingkan
dengan
komponen-komponen
lain
yang
terdapat
dalam
kacang
hijau.
Karbohidrat tersusun atas pati, gula dan serat kasar (Sathe et al 1982). Menurut
Kay (1979), pati kacang hijau terdiri atas 28.8% amilosa dan 71.2 % amilopektin.
Gula kacang hijau didapatkan dalam bentuk sukrosa, fruktosa, glukosa, rafinosa,
stakiosa, dan verbaskosa. Pati pada kacang hijau mempunyai daya cerna 99.8%,
sehingga dapat dikatakan bahwa daya cerna karbohidrat kacang hijau tinggi.
Protein merupakan penyusun utama kedua setelah karbohidrat yang
terdiri dari berbagai asam amino diantaranya merupakan asam amino essensial.
Tabel 4 menunjukan kandungan asam amino essensial pada kacang hijau.
Seperti kacang-kacangan pada umumnya, protein kacang hijau hanya sedikit
9
mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin) namun kaya akan lisin.
Kacang hijau mempunyai daya cerna protein yang cukup tinggi yaitu, sebesar
81%, namun daya cerna protein ini dipengaruhi adanya inhibitor tripsin. Aktivitas
tripsin tersebut dapat pula dipengaruhi oleh adanya tannin dan polifenol.
Tabel 4 Komposisi asam amino essensial kacang hijau
Asam amino
Triptofan
Threonin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Methionin dan Sistin
Fenilalanin dan Tirosin
Valin
Sumber: USDA 2008
Jumlah (mg/g)
10.88
32.72
42.10
77.28
69.62
20.75
90.25
51.76
Karakteristik Cookies
Cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan
lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila dipanaskan penampang
potongannya bertekstur kurang padat (BSN 1992). Cookies yang dihasilkan
harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan agar aman untuk dikonsumsi.
Syarat mutu cookies yang digunakan merupakan syarat mutu yang berlaku
secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 012973-1992) adalah sebagai berikut.
Tabel 5 Syarat mutu cookies menurut SNI 01-2973-1992
Kriteria uji
Kalori (Kal/100 gram)
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Karbohidrat (%)
Serat kasar (%)
Abu (%)
Logam berbahaya
Bau dan rasa
Warna
Sumber : BSN 1992
Klasifikasi
Min 400
Max 5
Min 9
Min 9.5
Max 70
Max 0.5
Max 1.5
Negative
Normal dan tidak tengik
Normal
Bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan cookies
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahanbahan yang berfungsi sebagai bahan pengikat adalah sebagai berikut tepung,
susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut
adalah gula, lemak, dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).
10
Fungsi Tepung Terigu dalam Pembuatan Cookies
Tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan cookies adalah
tepung terigu. Tepung terigu berfungsi sebagai bahan dasar untuk membentuk
adonan selama proses pencampuran, mengikat bahan lainnya, membentuk
struktur cookies, serta memberi cita rasa. Tepung terigu dapat dibagi
berdasarkan kadar proteinnya yaitu, soft flour, medium flour, dan strong flour.
Komponen penting yang membedakan tepung terigu dengan bahan
lainnya adalah kandungan protein, jenis gluten dan gliadin, yang pada kondisi
tertentu dengan air dapat membentuk massa yang elastis dan dapat
mengembang yang disebut gluten. Kandungan gluten dalam tepung terigu
sebanyak 80% dari protein total. Adanya gluten yang menghasilkan sifat
viskoelastis membuat adonan terigu mampu dibuat lembaran, digiling, maupun
dibuat mengembang. Dari karakter khas tersebut dihasilkan beratus-ratus produk
yang sulit ditiru oleh bahan non-terigu (Utami 1998).
Untuk menghasilkan cookies yang bermutu baik digunakan tepung terigu
dari gandum lunak yang mempunyai kadar protein 8-9% dan kadar abu kurang
dari 0.6%. Tepung jenis ini sifat glutennya kurang baik sehingga cocok untuk
jenis makanan yang tidak menghendaki terbentuknya gluten. Bila tepung
gandum yang digunakan semakin keras, maka semakin banyak gula dan lemak
yang harus ditambahkan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Tepung terigu
dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan
kekerasan remah bagian dalam, serta penampakan permukaan (Matz dan Matz
1978).
Fungsi Telur dalam Pembuatan Cookies
Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan
pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan untuk
menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata
pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, flavour, dan melembutkan
tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat pada kuning telur.
Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur.
Dalam pembuatan cookies penggunan kuning telur tanpa putih telur
akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang
sempurna, tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunan telur secara
keseluruhan. Oleh karena itu agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan
putih telur secukupnya (Matz dan Matz 1978)
11
Fungsi Lemak dalam Pembuatan Cookies
Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan
cookies. Di dalam adonan lemak mempunyai fungsi sebagai shortening dan
pemberi flavor. Selama pengadukan adonan, lemak akan mengelilingi tepung
terigu sehingga jaringan gluten didalamnya akan diputus dan karateristik
makanan setelah dipanggang menjadi tidak keras dan cepat meleleh di dalam
mulut (Manley 1983).
Jenis lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies biasa
disebut shortening. Jumlah dan jenis shortening dalam formula berpengaruh
terhadap adonan dan kualitas akhir produk. Shortening bisa berasal dari lemak
hewani (mentega) maupun lemak nabati (margarine). Shortening yang biasanya
digunakan dalam pembuatan cookies adalah mentega. Rendahnya titik cair pada
mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek
berminyak yang dihasilkan oleh mentega biasanya ditambahkan margarine (Matz
dan Matz 1978).
Fungsi Susu Skim dalam Pembuatan Cookies
Susu skim adalah bagian dari susu yang tertinggal setelah krim diambil
sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari
susu, kecuali lemak dan vitamin larut lemak. Susu skim ditambahkan untuk
memperbaiki penerimaan seperti warna, rasa, dan aroma, serta sebagai bahan
pengisi,
menyerap
air,
mengontrol
pengembangan
adonan,
dan
dapat
meningkatkan nilai gizi (Matz dan Matz 1978).
Fungsi Gula dalam Pembuatan Cookies
Dalam formulasi cookies, gula tidak hanya berfungsi sebagai pemanis
tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna, dan kontrol pengembang
adonan. Penambahan gula membuat susunan dan butiran remah menjadi halus
serta membuat kerak cookies berwarna coklat tua. Gula yang digunakan
biasanya dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus, atau tepung gula.
Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak
menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar (Matz dan Matz 1978).
Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan
Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam
kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi
mutu tertentu (Arpah dan Syarief 2000). Penentuan umur simpan suatu produk
12
dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi
perubahan yang tidak dapat diterima oleh konsumen (Ellis 1994).
Secara alami produk pangan akan mengalami kerusakan. Kerusakan
tersebut dapat terjadi pada saat proses produksi dan penyimpanan. Pada masa
simpan, satu atau beberapa atribut dari produk dapat mengalami perubahan ke
arah yang tidak diinginkan. Pada saat tersebut, produk tidak layak untuk
dikonsumsi dan telah mencapai akhir dari masa simpannya (Ellis 1994).
Ciri-ciri produk pangan yang telah kadaluarsa yang paling mudah untuk
diamati adalah perubahan warna, perubahan aroma, timbulnya kapang,
berlendir, dan lain sebagainya. Disamping ciri-ciri fisik yang mudah diamati,
ternyata ada pula kerusakan yang tidak menampakkan gejala-gejala apapun,
sehingga sulit diamati. Kerusakan-kerusakan yang tidak menampakan gejala fisik
tersebut umumnya disebabkan oleh mikroba (Arpah 2001).
Menurut Syarief dan Halid (1993), analisis penurunan mutu perlu beberapa
pengamatan, yaitu harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan
parameter tersebut mencerminkan keadaan mutu dari produk yang dikemas.
Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji organoleptik, uji
kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya.
Parameter penurunan mutu didasarkan pada parameter yang paling sensitif
terhadap mutu suatu produk.
Hasil analisis menggunakan metode-metode pendugaan umur simpan
pangan dan diikuti dengan penentuan umur simpan pangan (Shelf Life Testing)
yang dilakukan secara laboratories dan mengikuti prosedur dan standar tertentu
menghasilkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa (Arpah 2001).
Floros (1993) menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga dan
kemudian ditetapkan waktu kadaluarsa dengan menggunakan dua konsep studi
penyimpanan produk pangan, yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS)
atau penentuan umur simpan dan Accelerated Storage Studies (ASS) atau
pendugaan umur simpan. ESS yang sering juga disebut sebagai metode
konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan
suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode
ini sangat akurat dan tepat, namun pelaksanaannya memerlukan waktu yang
panjang, analisa karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak dan biaya yang
dikeluarkan besar.
13
Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan suatu produk
digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode
akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal
sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat
lebih cepat dilakukan (Arpah dan Syarief 2000). Penggunaan metode akselerasi
harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan
produk yang bersangkutan (Ellis 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang
dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme
berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta
kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan
dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan
kelembaban dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum
digunakan, serta kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya
air, gas, dan bau termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang
terlipat (Labuza 1982).
Salah satu metode akselerasi yang diterapkan pada produk pangan
kering adalah model air kritis. Pada metode ini, kondisi lingkungan memiliki
kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim sehingga kadar air kritis lebih
cepat tercapai daripada kondisi normal. Produk pangan kering yang disimpan
akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap air. Pendugaan umur
simpan dengan metode pendekatan model air kritis pada umumnya digunakan
untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari
lingkungan.
Dalam metode air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata pada
kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batasan yang
tidak dapat diterima secara organoleptik. Kadar air pada kondisi dimana produk
pangan mulai tidak dapat diterima secara organoleptik disebut kadar air kritis.
Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu organoleptik yang
akan spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk
mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang
umur simpannya dapat ditentukan dengan metode air kritis antara lain biskuit,
wafer, permen, makanan ringan (snack dan chips), dan produk insatan (powder)
Model kadar air kritis ini dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
salah satunya yaitu menggunakan kurva sorpsi isotermis. Pendekatan kurva
14
sorpsi isotermis digunakan untuk produk yang mempunyai kurva isotermis yang
biasanya berbentuk sigmoid (bentuk S)(Buckle et al 1987). Pada kenyataannya,
grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan
grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (desorpsi) tidak pernah
berhimpit. Keadaan demikian disebut fenomena histerisis. Fenomena ini
diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh
dari proses adsorpsi dan desorpsi. Besarnya histerisis dan bentuk kurva sangat
beragam tergantung faktor-faktor seperti bahan pangan, perubahan fisik yang
terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi atau adsorpsi, dan
tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi atau adsorpsi (Fennema 1996).
Formulasi Produk dengan Metode Response Surface Methodology (RSM)
RSM adalah metode yang mengeksplorasi hubungan dari masing-masing
unsur dalam penelitian, misalnya hubungan suatu hasil penelitian dengan
sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik
optimasi RSM bekerja berdasakan pada proses atau siklus pengetahuangagasan-analisis desain secara berulang.
Efektivitas teknik optimasi RSM tergantung pada lima asumsi sebagai
berikut: 1. faktor kritis dari suatu produk atau proses diketahui; 2. daerah atau
batasan dimana level faktor dapat mempengaruhi produk diketahui; 3. faktorfaktor bervariasi secara berkesinambungan sepanjang sebaran penelitian yang
diuji; 4. ada fungsi matematis yang menghubungkan faktor dengan respon
terukur; dan 5. respon yang ditetapkan oleh teknik optimasi ini merupakan suatu
permukaan halus. Kegunaan teknik optimasi antara lain adalah dapat
menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang akan
mendapatkan
respon
(peubah
tak
bebas)
yang
diinginkan
dan
dapat
mengambarkan bahwa respon mendekati optimum, dapat menetukan bagaimana
suatu pengukuran respon tertentu dipengaruhi oleh perubahan faktor-fakor pada
level tertentu, dan dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan
sekumpulan spesifikasi yang diinginkan secara simultan (Rahmawati 2010).
Download