1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi dan wawancara yang
dilakukan terhadap penerapan sistem menajemen mutu dan keamanan produk bakso
daging sapi di produsen bakso A, B dan C di Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Penelitian dimulai dari proses pemilihan bahan, penggilingan dan pencampuran
bumbu, pencetakan, perebusan bakso, penirisan dan penyimpan bakso.
A. Analisis Pembuatan Bakso Sapi A, B, dan C
Observasi pertama yang dilakukan yaitu membandingkan proses
pengolahan bakso di lapangan dengan standar prosedur dari sumber pustaka.
Pengamatan dilakukan pada semua tahap mulai dari bahan baku daging utuh sampai
menjadi butiran bakso.
Tabel 6. Pemilihan Bahan Baku Daging
Sampel Bakso
A
B
C
Aktual (yang memenuhi standar)
Point
Persentase
4
100 %
2
50 %
4
100 %
Standar
4 point
Standar pemilihan bahan baku daging untuk bakso ada 4 yaitu daging yang
1) bersih, 2) segar, 3) daging tebal ( misalnya topside), dan 4) reparasi daging atau
membuang lemak pada daging.
Produsen bakso A, B dan C menggunakan daging sapi yang masih segar.
Produsen bakso A membeli langsung dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
Segoroyoso yang dibungkus dengan kantong plastik dan keranjang kemudian
diangkut dengan sepeda motor sedangkan produsen bakso B dan C membeli dari
1
pasar dibungkus dengan kantong plastik dan diangkut dengan sepeda motor. Daging
sapi yang dipilih, berbeda-beda sesuai dengan jenis bakso sapi yang dibuat, namun
umumnya digunakan bagian topside, mayang dan tetelan. Topside merupakan
bagian pangkal kaki belakang. Bagian ini memiliki bentuk yang ramping, cukup
lembut, dan mudah matang. Daging sapi bagian mayang daging berwarna merah
segar dan banyak bergajih (lemak). Bagian tetelan pada daging sapi biasanya terdiri
dari daging-daging yang melekat pada tulang. Daging yang melekat langsung pada
tulang memiliki komposisi serat otot yang teksturnya cukup kenyal. Bagian tetelan
sangat cocok digunakan untuk membuat bakso urat. Preparasi daging sapi sebelum
digunakan hanya dilakukan oleh produsen bakso A yaitu dengan memisahkan
lemak / gajih dan dagingnya. Lemak pada bakso dapat mencipatakan rasa gurih
namun apabila terlalu banyak mengakibatkan bakso menjadi lembek.
Tabel 7. Penggilingan dan Pencampuran Bumbu
Sampel Bakso
A
B
C
Aktual (yang memenuhi standar)
Point
Persentase
4
100 %
4
100 %
4
100 %
Standar
4 point
Standar penggilingan daging sekaligus pencampuran bumbu ada 4, yaitu 1)
mesin penggiling dan alat harus bersih, 2) penambahan es selama penggilingan, 3)
daging harus dicincang kasar terlebih dahulu, 4) bebas dari bahan daging babi.
Daging sapi dicincang kasar sebelum digiling yang tujuannya agar serat
daging dapat hancur saat digiling dengan mesin. Penambahan air es selama
penggilingan berlangsung bertujuan agar suhu adonan tidak panas yang
memungkinkan bakteri lebih cepat tumbuh oleh karena itu diberi es agar adonan
2
dingin. Penambahan es juga bertujuan agar bakso kenyal meski tanpa bahan
pengenyal. Pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap selama
proses penggilingan seperti celemek, sarung tangan, penutup kepala, sepatu boot
malah ada yang tidak menggunakan APD sama sekali. Hal tersebut dapat
menyebabkan kontaminasi silang dari kulit atau kuku ke bahan adonan bakso.
Ketiga tempat penggilingan yaitu di penggilingan pasar Condongcatur,
penggilingan pasar Terban, dan penggilingan pasar Demangan tidak menerima
penggilingan daging babi, sehingga daging yang digiling ditempat tersebut tidak
tercampur daging babi.
Tabel 8. Pencetakan dan Perebusan Bakso
Sampel Bakso
A
B
C
Aktual (yang memenuhi standar)
Total Point
Persentase
2
66,7 %
1
33,3 %
2
66,7 %
Standar
3 point
Standar pencetakan dan perebusan bakso ada 3 yaitu 1) pencetakan
menggunakan plastik dan sarung tangan, 2) perebusan pertama pada suhu 60-80 oC,
3) perebusan kedua pada suhu 100 oC selama 15 menit.
Pencetakan bakso dilakukan secara manual menggunakan tangan dan
sendok. Pekerja tidak menggunakan sarung tangan, celemek, dan penutup kepala
selama proses pencetakan sehingga beresiko terjadi kontaminasi dari pekerja ke
adonan bakso. Menurut Sutrisna (2009b: 15) pemasakan/ perebusan bakso
dilakukan 2 tahap namun ketiga produsen bakso A, B, dan C hanya melakukan satu
kali proses perebusan. Produsen bakso A dan C langsung merebus bakso yang
selesai dicetak ke air hangat yang langsung dipanaskan di atas kompor kemudian
3
menunggu sampai bakso mengapung sedangkan produsen bakso B, mencetak bakso
kemudian dimasukan dalam air keran biasa, setelah semua bakso selesai dicetak
baru dipanaskan diatas kompor sampai bakso mengapung.
Perebusan pertama yaitu mencetak bakso dan merebusnya dalam air hangat
dengan suhu kurang lebih 60-80oC. Langkah kedua yaitu merebus bakso dengan
suhu 100 oC (mendidih) selama 15 menit hingga bakso matang yang ditandai
dengan mengapung di permukaan. Tujuan dari perebusan pertama dengan air
hangat yaitu agar permukaan produk bakso yang dihasilkan tidak keriput dan tidak
pecah sedangkan tujuan perebusan kedua mencapai suhu 100 oC (titik didih air)
selama 15 menit yaitu agar bakso matang sempurna dan membunuh bakteri patogen
seperti Staphylococcus aureus yang mati pada suhu 72 oC namun ada pula yang
baru mati dengan pemanasan mencapai 100 oC.
Tabel 9. Penirisan dan Penyimpanan Bakso
Sampel Bakso
A
B
C
Aktual (yang memenuhi standar)
Total Point
Persentase
2
66,7 %
1
33,3 %
2
66,7 %
Standar
3 point
Standar penirisan dan penyimpanan bakso ada 3 yaitu 1) wadah penirisan
bersih dan terbuat dari bahan yang aman ( Food grade), 2) penyimpanan bakso
dalam plastik yang tebal/ wadah tertutup, 3) penyimpanan pada suhu -14oC.
Bakso yang telah matang diangkat dan ditiriskan dalam keranjang plastik
besar. Keranjang plastik yang digunakan diketiga produsen bakso bersimbol PP
(kode 5) yaitu plastik yang terbuat dari bahan polipropilena yang aman digunakan
sebagai wadah makanan. Hal tersebut sesuai dengan Mamang (2015) kode 5
4
merupakan pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan
dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum
dan botol minum untuk bayi. Bakso yang telah dingin pada suhu ruang, bakso dapat
langsung dijual dengan kuah bakso ataupun disimpan.
Produsen bakso A dan C menyimpan dan menjual produk bakso frozen yang
dibungkus dengan plastik klip tebal dan kedap udara kemudian disimpan dalam
chest freezer (suhu -14 oC sampai -18 oC). Penyimpanan dengan cara demikian
dapat bertahan hingga kurang lebih 1 bulan. Produsen bakso B menyimpan bakso
hanya menggunakan kantong plastik dan disimpan dalam chiller suhunya berkisar
0-10 oC. Penyimpanan dengan cara demikian hanya dapat bertahan selama 2 hari
sejak produksi, jadi penjual harus segera menjual bakso kurang dari 48 jam.
Penyimpanan bakso pada suhu kurang dari -14oC beresiko tumbuhnya bakteri
patogen yang terus meningkat (Inoy, 2012: 5).
Penyimpanan dengan kantong plastik biasa dapat menyebabkan tekstur
bakso menjadi tidak kenyal dan kompak. Menurut Tahrir (2009: 7) penyimpanan
vakum dengan plastik klip selama tiga minggu dalam suhu refrigerator tidak
menunjukkan perubahan kekenyalan yang berarti. Hal ini dikarenakan pengaruh
daya mengikat air yang tidak berbeda nyata. Keberadaan air dalam produk bakso
sapi mempengaruhi kekenyalan bakso.
5
B. Analisis Penerapan GMP dan SSOP Produksi Bakso Sapi
Tabel 10. Hasil Analisis Penerapan GMP dan SSOP Sampel Bakso A, B, dan C
Aspek
GMP
SSOP
Kriteria
Skor Memenuhi Syarat
A
B
C
1. Lokasi
4
4
4
2. Bangunan
15
1
9
3. Fasilitas sanitasi
11
5
8
4. Alat produksi
6
3
6
5. Bahan baku dan tambahan
1
1
1
6. Pengolahan
6
5
6
7. Produk akhir
0
0
0
8. Karyawan
2
2
2
9. Wadah dan kemasan
5
5
5
10. Penyimpanan
5
3
5
11. Pemelliharaan
4
2
4
1. Keamanan Air Proses Produksi
5
5
5
2. Kondisi Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Bahan 5
5
5
Pangan
3. Pencegahan Kontaminasi Silang
8
6
6
4. Menjaga Fasilitas Pencuci Tangan, Sanitasi, dan Toilet
7
4
7
5. Perlindungan dari Bahan-Bahan Kontaminasi
6
2
6
6. Pengawasan Kesehatan Karyawan
2
1
2
7. Pengendalian Hama dari Unit Pengolahan
1
1
1
Jumlah
93
55
82
Persentase (%)
71,54
42,31 63,08
Skor Tidak Memenuhi Syarat
A
B
C
0
0
0
3
17
9
0
6
3
0
3
0
1
1
1
0
1
0
4
4
4
3
3
3
0
0
0
1
3
1
3
5
3
1
1
1
4
4
4
2
3
6
4
2
37
28,46
4
6
10
5
2
75
57,69
4
3
6
4
2
48
36,92
Tabel 10 dapat menunjukkan persentase penerapan seluruh aspek GMP dan
SSOP pada ketiga produsen A, B, C berturut-turut yaitu 71,54 % ; 42,31 % ; 63,08%
seperti pada gambar 5 di mana produsen A lebih baik penerapan GMP dan SSOP
nya dibandingkan produsen B dan produsen C. Analisis GMP dan SSOP dilakukan
dengan observasi/ pengamatan langsung dilapangan, kemudian dihitung total skor
yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat SSOP dan GMP produksi
bakso.
80
71,54
70
63,08
60
50
42,31
40
30
20
10
0
Produsen A
Produsen B
Produsen C
Gambar 5. Grafik Penerapan GMP dan SSOP Produsen Bakso A, B, dan C
Penerapan GMP dan SSOP terendah yaitu pada proses produksi produsen
bakso B yang artinya banyak aspek GMP dan SSOP yang tidak memenuhi standar
produksi. Aspek GMP yang tidak memenuhi syarat paling banyak yaitu pada aspek
bangunan. Kondisi bangunan tempat produksi bakso B sulit dibersihkan karena
lantainya tidak rata, karena lantai hanya semen tidak keramik sehingga pekerja
menggunakan alas kaki dari luar ke dalam dan mengakibatkan lantai sangat kotor.
7
Lantai yang terkena air menjadi agak becek karena tidak landai ke arah drainase.
Ruang penyimpanan bahan, alat, dan tempat memasak tidak terpisah, tidak ada
pintu pembatas, sehingga aktivitas dan lalu lintas pekerja tidak lancar. Langit-langit
ruangan sulit untuk dibersihkan dan tidak rata. Jendela tidak ada, hanya ada pintu
keluar ke arah pembuangan sampah sehingga penerangan dan peredaran udara
kurang. Banyaknya aspek GMP yang tidak memenuhi syarat juga berkaitan dengan
SSOP, yaitu aspek perlindungan dari bahan-bahan kontaminasi, dari 12 poin 10
poin diantaranya tidak memenuhi syarat. Kondisi bangunan yang layak berdampak
pada kurangnya perlindungan dari bahan atau hal-hal yang dapat mengkontaminasi
produk dan beresiko tinggi menurunkan mutu bakso B dari segi organoleptik dan
biologis.
Ketiga tempat produksi bakso A, B, dan C semua pekerjanya tidak
menggunakan alat pelindung diri (APD)
lengkap selama bekerja. Kesadaran
pekerja untuk tidak bercakap-cakap selama bekerja masih kurang, khususnya saat
pencetakan bakso. Pengawasan kesehatan pekerja juga tidak dilakukan oleh pemilik
usaha, sehingga kemungkinan pekerja yang sakit tetap bekerja, yang dapat
menyebabkan kontaminasi atau penularan penyebab penyakit ke bahan makanan.
Ketiga produsen juga tidak memiliki mekanisme penanganan dan pencegahan
serangga dan hewan pengerat yang dapat menjadi vektor penyakit bawaan
makanan. Produk akhir bakso tidak dilakukan pemeriksaan fisik, kemis dan
mikrobiologi.
8
C. Analisis Bahaya, Titik Kendali Kritis dan Batas Kritis Pada Proses
Pembuatan Bakso
Analisis berikutnya, setelah mengetahui bagaimana penerapan GMP dan
SSOP pada tiap tempat produksi bakso A, B, C dilanjutkan dengan menganalisis
bahaya pada tiap tahapan proses produksi bakso A, B, dan C yang disajikan pada
tabel 10. Analisa bahaya dilakukan pada tiap proses tahapan, disertai bahaya yang
menurunkan mutu pangan, dan tingkat keparahan/ dampak yang terjadi. Mencari
tindakan preventif atau pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan
atau mengurangi dampak negatifnya.
Titik kendali kritis/ Critical Control Points (CCP) didefinisikan sebagai
suatu titik lokasi, setiap langkah/tahap dalam proses, atau prosedur, apabila tidak
terkendali (terawasi) dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak
amannya makanan, kerusakan, dan resiko kerugian ekonomi. CCP ini ditentukan
setelah proses produksi yang sudah teridentifikasi potensi bahaya pada setiap tahap
produksi. Penentuan titik kendali kritis (CCP) dilakukan dengan menggunakan
pohon keputusan (decission tree) sebagai berikut:
9
Sumber: Sere, 2011: 12
Gambar 6. Alur Penentuan Titik Kendali Kritis (CCP Decission Tree)
10
Tabel 11. Analisa Bahaya Bakso A
Tahapan
Bahaya
Pemilihan
daging
1. Resiko kontaminasi E.coli dan S.aureus
lingkungan dan penjual daging
Preparasi dan
Pencacahan
kasar daging
1. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan sarung tangan
2. Kontaminasi alat yang digunakan
Penggilingan
dan
pencampuran
bumbu
Pencetakan
1. Kontaminasi alat yang digunakan
Perebusan
Penirisan
Penyimpanan
2. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan APD lengkap
1. Kontaminasi dari pekerja yanng tidak
menggunakan APD khususnya sarung tangan dan
masker.
1. Pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD).
2. Bakteri patogen seperti E.coli dan Staphylococcus
aureus tidak mati apabila tidak dipanaskan
dengan benar.
1. Kontaminasi dari lingkungan, wadah dan
penjamah (pekerja) yang tidak menggunakan
APD khususnya sarung tangan.
1. Bakso yang langsung dijual diletakkan di rak
kaca tanpa penutup sehingga terkontaminasi
udara dan tempat penyimpanan.
Kategori Bahaya Tindakan Pencegahan
S
T
ST
V
Memilih daging yang bersih, bebas dari
kotoran/feses, memilih tempat pemotongan yang
bersih.
V
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap
V
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
V
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
V
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap.
V
Pekerja diberikan APD lengkap. Pengetahuan dan
penerapan mengenai hygiene pekerja dan disiplin
kerja
V
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap.
V
Merebus bakso kedua dengan air mendidih mencapai
suhu 100oC selama 15 menit
V
Gunakan wadah yang tertutup, dan sarung tangan
selama kontak dengan produk makanan.
V
Bakso yang langsung dijual disimpan dalam chiller
agar mikroorganisme tidak berkembang. Bakso yang
tidak langsung dijual sebaiknya dibungkus plastik
tebal kedap udara disimpan dalam freezer.
Tabel 12. Analisa Bahaya Bakso B
Tahapan
Bahaya
Pemilihan
daging
1. Resiko kontaminasi E.coli dan S.aureus dari
feses, lingkungan dan penjual daging.
Kategori Bahaya
S
T
ST
V
2. Daging yang dibeli dari sapi sehat atau sakit
V
Preparasi dan
Pencacahan
kasar daging
1. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan sarung tangan
2. Kontaminasi alat yang digunakan
V
Penggilingan
dan
pencampuran
bumbu
Pencetakan
1. Kontaminasi alat yang digunakan
V
2. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan APD lengkap
1. Kontaminasi dari pekerja yanng tidak
menggunakan APD. Bekerja sambil berbicara dan
makan sehingga dapat terjadi kontaminasi silang
dari pekerja ke adonan bakso.
1. Pekerja tidak menggunakan APD.
2. Bakteri patogen seperti E.coli dan sel bakteri
Staphylococcus aureus tidak mati apabila tidak
dipanaskan dengan benar.
1. Kontaminasi dari lingkungan, wadah dan
penjamah (pekerja) yang tidak menggunakan
APD khususnya sarung tangan.
V
Perebusan
Penirisan
V
V
V
V
V
Tindakan Pencegahan
Memilih daging yang bersih, bebas dari
kotoran/feses, memilih tempat pemotongan yang
bersih.
Pengetahuan tentang ciri-ciri daging yang berasal
dari sapi sakit atau sapi sehat.
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap.
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap. Pengetahuan dan
penerapan mengenai hygiene pekerja dan disiplin
kerja
Pekerja diwajibkan dan diberikan APD lengkap.
Merebus bakso kedua dengan air mendidih mencapai
suhu 100oC selama 15 menit
Gunakan wadah yang tertutup, gunakan sarung
tangan selama kontak dengan produk makanan.
Penyimpanan
1. Bakso yang langsung dijual diletakkan di rak
kaca tanpa penutup sehingga terkontaminasi
udara dan tempat penyimpanan
V
Bakso yang langsung dijual sebaiknya disimpan
dalam chiller agar mikroorganisme tidak
berkembang. Bakso yang tidak langsung dijual
sebaiknya dibungkus plastik tebal kedap udara
disimpan dalam freezer.
Tabel 13. Analisa Bahaya Bakso C
Tahapan
Bahaya
Pemilihan
daging
1. Resiko kontaminasi E.coli dan S.aureus dari
feses, lingkungan dan penjual daging.
Kategori Bahaya
S
T
ST
V
2. Daging yang dibeli dari sapi sehat atau sakit
V
Preparasi dan
Pencacahan
kasar daging
1. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan sarung tangan
2. Kontaminasi alat yang digunakan
V
Penggilingan
dan
pencampuran
bumbu
Pencetakan
1. Kontaminasi alat yang digunakan
V
1. Kontaminasi dari pekerja yang tidak
menggunakan APD lengkap
1. Kontaminasi dari pekerja yanng tidak
menggunakan APD. Bekerja sambil berbicara dan
makan sehingga dapat terjadi kontaminasi silang
dari pekerja ke adonan bakso.
1. Pekerja tidak menggunakan APD
V
Perebusan
V
V
V
Tindakan Pencegahan
Memilih daging yang bersih, bebas dari
kotoran/feses, memilih tempat pemotongan yang
bersih.
Pengetahuan tentang ciri-ciri daging yang berasal
dari sapi sakit atau sapi sehat.
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
Pengecekan dan pembersihan/ sterilisasi alat yang
akan digunakan
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap.
Pekerja sebaiknya diwajibkan dan diberikan alat
pelindung diri (APD) lengkap. Pengetahuan dan
penerapan mengenai hygiene pekerja dan disiplin
kerja
Pekerja diwajibkan dan diberikan APD lengkap.
Penirisan
Penyimpanan
2. Bakteri patogen seperti E.coli dan Staphylococcus
aureus tidak mati apabila tidak dipanaskan
dengan benar.
1. Kontaminasi dari lingkungan, wadah dan
penjamah (pekerja) yang tidak menggunakan
APD khususnya sarung tangan.
1. Bakso yang langsung dijual diletakkan di rak
kaca tanpa penutup sehingga terkontaminasi
udara dan tempat penyimpanan
Keterangan:
S = Sedang
T = Tinggi
ST = sangat Tinggi
V
Merebus bakso kedua dengan air mendidih mencapai
suhu 100oC selama 15 menit
V
Gunakan wadah yang tertutup, gunakan sarung
tangan selama kontak dengan produk makanan.
V
Bakso yang langsung dijual sebaiknya disimpan
dalam chiller agar mikroorganisme tidak
berkembang. Bakso yang tidak langsung dijual
sebaiknya dibungkus plastik tebal kedap udara
disimpan dalam freezer.
Kategori bahaya sedang apabila bahaya pada tahapan proses tidak terlalu
berdampak terhadap mutu bakso, misalnya pada tahap perebusan pekerja tidak
menggunakan alat pelindung diri, kategori bahayanya sedang karena selama proses
perebusan tidak terjadi kontak antara bakso dengan pekerja. Pengadukan
menggunakan pengaduk berbahan stainless steel dan lingkungan bakso yang
terendam air panas selama proses perebusan. Tahap preparasi/ pencacahan daging,
kontaminasi dari alat pencacahan (pisau dan talenan kayu) kategori bahayanya
sedang, karena risiko serbuk kayu menempel pada daging dapat dihilangkan,
penjelasan tiap tahap dapat dilihat pada lampiran 10.
Semua tahapan proses pengolahan bakso mulai dari pemilihan/ pembelian
daging, preparasi daging dan pencacahan kasar, penggilingan dan pencampuran
bumbu, pencetakan bakso, perebusam, penirisan, dan penyimpanan dianalisis yang
memiliki bahaya (hazard) ditentukan apakah merupakan CCP atau bukan CCP
yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 14
Tabel 14. Penentuan CCP Pada Tahapan Proses
Tahap Proses
Pembelian/
pemilihan daging
Preparasi/
Pencacahan kasar
daging
Penggilingan dan
pencampuran bumbu
Pencetakan
Perebusan
Penirisan
Penyimpanan
Jenis
Bahaya
Biologi
P1
P2
P3
P4
Ya
Tidak Ya
Ya
Fisik
Ya
Tidak Tidak -
Non CCP
Biologi
Fisik
Ya
Ya
Tidak Ya
Ya
Tidak Tidak -
Non CCP
Non CCP
Biologi
Biologi
Biologi
Biologi
Biologi
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Non CCP
Non CCP
CCP
CCP
CCP
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
CCP /
BUKAN
Non CCP
15
Tiga dari tujuh tahapan proses produksi sebagai CCP, yaitu pada tahap
perebusan, penirisan, dan penyimpanan. Ketiga proses akhir ini dianggap sebagai
titik kendali kritis karena tidak ada tahapan proses lain yang mampu menghilangkan
bahaya (hazard). Penentuan batas kritis dicari setelah CCP sudah ditetapkan. Batas
kritis dapat berupa suhu, waktu, kandungan kimia, total bakteri dan lainnya. Tidak
hanya menentukan batas kritis, tetapi juga ditentukan cara monitoring atau cara
pemantauan, waktu, hal apa saja yang perlu dipantau dan orang yang melakukan
pemantauan. Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap
batas kritis suatu CCP. Batas kritis ketiga CCP dapat dilihat pada tabel 15.
16
Tabel 15. Penentuan Batas Kritis dan HACCP Plan
Tahapan
proses
Perebusan
Penirisan
Penyimpa
nan
Bahaya
Bakteri patogen seperti
E.coli dan sel bakteri
Staphylococcus aureus
tidak mati apabila tidak
dipanaskan dengan
benar.
Terkontaminasi bakteri
dari pekerja yang tidak
menggunakan APD dan
dari lingkungan
Kontaminasi bakteri
dari penjamah dan
lingkungan
penyimpanan
Batas Kritis
Suhu perebusan
bakso dengan air
mendidih (100oC)
selama 15 menit
Menggunakan
wadah tertutup dan
penjamah
menggunakan
sarung tangan saat
kontak dengan
produk makanan.
Bakso sebelum
dijual disimpan
pada suhu 0 oC
(chiller) sedangkan
bakso untuk
penyimpanan
jangka lama
disimpan pada suhu
dibawah -14oC
(freezer)
Apa
Suhu dan
lama waktu
perebusan
Proses
penirisan
dan lokasi
pengolahan
makanan
terbuka
Suhu
penyimpan
an dan
tempat
penyimpan
an
Monitoring
Bagaimana Kapan
Pengukuran Setelah
suhu dan
proses
waktu.
pencetakan
Pengamatan bakso dan
visual
perebusan
pertama
Pengamatan Setelah
visual
perebusan
dan selama
packing
Pengaturan
suhu lemari
pendingin
Setelah
penirisan
(bakso sudah
dingin suhu
ruang)
Siapa
Pekerja
Pekerja
atau
produsen
Pekerja
atau
produsen
Tindakan koreksi
Merebus bakso
kedua dengan air
mendidih
mencapai suhu
100oC selama 15
menit
Gunakan wadah
yang tertutup,
gunakan sarung
tangan selama
kontak dengan
produk makanan.
Bakso yang
langsung dijual
disimpan dalam
chiller.
Bakso yang tidak
langsung dijual
dibungkus plastik
tebal kedap udara
disimpan dalam
freezer.
D. Uji Mikrobiologis Bakso Sapi A, B dan C
Uji mikrobiologis yang dilakukan pada penelitian ini yaitu uji Angka
Lempeng Total (ALT), Uji Escherichia coli, dan Uji Staphylococcus aureus.
Sampel bakso yang digunakan umur 1 hari setelah produksi.
Tabel 16. Hasil Uji Bakteriologis Bakso A, B, dan C
Sampel
Bakso A
Ulangan
1
2
Bakso B 1
2
Bakso C 1
2
Baku mutu bakso
Uji
E.coli (APM/gr) S.aureus (koloni /gr)
460
< 10
240
< 10
>1100
< 10
>1100
< 10
>1100
< 10
460
< 10
<3
1 x 102
ALT (cfu/gr)
1,26 x 104
1,11 x 104
1,25 x 104
1,36 x 104
1,05 x 104
1,26 x 104
1 x 105
Hasil pemeriksaan uji bakteri Escherichia coli pada 3 sampel bakso A, B, C
dapat dilihat pada tabel 16, ketiga sampel diuji menggunakan metode MPN (Most
Probable Number) seri 3 tabung. Masing-masing dibuat 2 kali ulangan.
Uji pertama yang dilakukan yaitu uji pendugaan dengan media LB (Lactosa
Broth) yang di dalamnya sudah terisi tabung durham. Komposisi media LB yaitu
Laktosa sebagai sumber C, beef extract dan pepton sebagai sumber nutrisi essensial
untuk metabolisme bakteri. Media LB digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
kehadiran bakteri coliform (bakteri Gram negatif) berdasarkan terbentuknya asam
dan gas yang disebabkan karena fermentasi laktosa oleh bakteri golongan coli. Gas
yang terbentuk akan terperangkap ke dalam tabung durham. Berikut hasil uji bakteri
Escherichia coli seri 3 tabung dapat dilihat pada tabel 17 dibawah
Tabel 17. Hasil Uji Bakteri Escherichia coli pada Bakso A, B dan C
Sampel
A
B
C
Ulangan
1
2
1
2
1
2
Jumlah Tabung Positif
0,1 ml
0,01 ml
0,001 ml
3
3
1
3
3
0
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
Berdasarkan tabel 17 ada 47 tabung positif koliform , yang ditandai dengan
adanya gelembung gas pada tabung durham lebih 10% dari volume di dalam tabung
durham selain itu terjadi kekeruhan pada tabung reaksi. Tabung yang positif
tersebut dapat dilakukan uji penegasan untuk memastikan keberadaan Escherichia
coli pada sampel bakso.
Uji penegasan menggunakan media EC broth (Escherichiacoli broth).
Media ini juga mengandung laktosa, dimana jika ada E.coli maka bakteri ini akan
memfermentasi laktosa sehingga menghasilkan gelembung gas. EC broth juga
mengandung bile salts yang berfungsi sebagai penghambat bakteri gram positif dan
gram negatif selain coliform (Novianti, 2015: 3). Tabung reaksi diinkubasi selama
24 jam pada suhu 40 oC hasilnya semuanya (47 tabung) positif menunjukan adanya
Escherichia coli ditandai dengan adanya gelembung gas pada tabung durham dan
kekeruhan pada tabung reaksi kemudian hasilnya dihitung dan dicocokkan dengan
tabel MPN seri 3 tabung, hasilnya seperti pada tabel 16. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa seluruh sampel bakso A, B, dan C tidak memenuhi baku mutu
pangan produk bakso, di mana syarat baku mutunya < 3/gr (tidak terdapat E.coli
pada semua tabung).
Uji bakteri Staphylococcus aureus dilakukan di Balai Laboratorium
Kesehatan Yogyakarta. Uji S.aureus dilakukan dengan metode tuang menggunakan
media Baird Parker Agar (BPA) yang dicampur dengan Egg Yolk Tellurite
Emulsion. Fungsi Egg Yolk adalah untuk mendeteksi produksi Lecithinase dan
aktivitas lipase. Staphylococcus aureus yang dibiakan pada media BPA terlihat
jelas adanya clear zone. Media BPA sering digunakan untuk pengujian screening
awal dan biasa digunakan untuk mendeteksi S. aureus pada makanan, produk susu,
dan bahan-bahan lainnya. Media BPA akan menghambat bakteri selain
Staphylococcus karena media BPA mengandung glycine, lithium chlorida, dan
potassium tellurite yang berperan sebagai agen selektif koloni S.aureus (Sylvia,
2015: 8).
Sumber : www.biocorp.com
Gambar 7. Koloni Staphylococcus aureus Pada Media Baird Parker Agar
Koloni Staphylococcus aureus pada media BPA mempunyai ciri khas
bundar, konvex, basah/lengket bila disentuh dengan ose, hitam, dikelilingi zona
opak dengan zona luar yang jelas (clear zone). Warna koloni hitam disebabkan oleh
reduksi tellurite, clear zone disebabkan adanya produksi lecitihinase yang
memecah egg yolk sehingga menyebabkan clear zone disekitar koloni sedangkan
zona opak muncul karena adanya aktivitas lipase yang dihasilkan oleh S.aureus
(Patricia, 2014: 45). Semua sampel menunjukkan S. aureus dalam bakso A, B, dan
C kurang dari 10 koloni/gr. Semua sampel juga ditumbuhi Staphylococcus jenis
lain. Hasil tersebut menunjukan seluruh sampel bakso A, B, dan C memenuhi
standar keamanan Staphylococcus aureus pada produk bakso, yaitu standarnya
sebesar 1x102 koloni / gr.
Tabel 18. Hasil Uji Angka Lempeng Total Bakteri pada Bakso A,B dan C
Sampel
A
B
C
Angka Lempeng Total (cfu/gr)
1
2
4
1,15 x 10
1,11 x 104
1,25 x 104
1,36 x 104
1,05 x 104
1,26 x 104
Angka Lempeng Total (ALT) merupakan merupakan suatu metoda
pendugaan jumlah koloni mikroorganisme secara keseluruhan dalam suatu bahan
pangan maupun hasil olahannya. Metode ini dapat menggambarkan kualitas
mikrobiologi pada bahan pangan, apabila nilai ALT tinggi maka kualitas
mikrobiologi pangan dianggap rendah karena tingginya nilai ALT pada pangan
mengindikasikan
jumlah
mikroorganisme
yang
banyak,
sehingga
dapat
membahayakan konsumen (BPOM, 2008: 6) . Uji ini menggunakan media Buffer
Pepton Water (BPW) sebagai media pengencer, dan media Nutrient Agar (NA)
sebagai media tumbuh. Pengenceran sebelumnya sampai 10 -9 namun bakteri tidak
tumbuh, kemudian diambil setengah dari pengenceran 10-9 yaitu pengenceran 10-4 .
Sampel diinkubasi selama 24 jam secara terbalik pada media NA dengan suhu 37 oC
kemudian dihitung cawan petri yang ditumbuhi mikroba antara 25 – 250 koloni.
Untuk menghitung nilai ALT menggunakan rumus dibawah ini:
N = jumlah koloni per cawan x
1
faktor pengenceran
Hasil perhitungan angka lempeng total dapat dilihat pada tabel 18.
Pengenceran 10-1 semua cawan petri tidak dapat dihitung karena koloni tumbuh
spreader. Pertama, dihitung ALT tiap pengenceran kemudian dibandingkan hasil
pengenceran berturut-turut antara pengenceran yang lebih besar dengan
pengenceran sebelumnya. Nilai rata-rata ALT dari dua ulangan bakso A yaitu
sebesar 1,13 x 104 cfu/gr, bakso B yaitu 1,31 x 104 cfu/gr dan bakso C sebesar 1,16
x 104 cfu/gr. Angka Lempeng total terendah pada bakso A, apabila dikaitkan
dengan presentase penerapan SSOP dan GMP bakso A sebesar 71,54 % maka dapat
dikatakan penerapan SSOP dan GMP yang baik berpengaruh terhadap mutu pangan
dilihat dari aspek mikrobiologis yaitu jumlah ALT yang paling rendah. Baku mutu
bakso menurut BPOM yaitu 1 x 105 koloni/gr sehingga seluruh sampel bakso A, B,
dan C memenuhi baku mutu bakso untuk kriteria pengujian Angka Lempeng Total.
E. Uji Kemis Bakso Daging Sapi A, B dan C
Uji kemis yang dilakukan pada penelitian ini yaitu uji kualitatif borak dan
uji kualitatif formalin/ formaldehid. Pengujian dilakukan dua ulangan.
Tabel 19. Hasil Uji Boraks dan Formalin pada Bakso A, B, dan C
Uji
Boraks
Formalin
Sampel A
1
2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Sampel B
1
2
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Sampel C
1
2
Negatif Negatif
Negatif Negatif
Pengujian formalin secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan
metode KMnO4 (Merck). Senyawa KMnO4 yang direaksikan pada makanan yang
mengandung formalin akan terjadi perubahan warna dari ungu menjadi warna pudar
atau tidak berwarna. Menurut Cahyadi (2006: 46) perubahan warna tersebut
disebabkan gugus fungsi yang dimiliki oleh aldehid dan keton adalah karbonil.
Posisi gugus karbonil ini menyebabkan kereaktifan aldehid lebih tinggi
dibandingkan keton. Gugus aldehid akan dengan mudah dioksidasi menjadi gugus
karboksilat dengan oksidator seperti KMnO4 tetapi jika tidak terjadi perubahan
pada sampel berarti makanan tersebut tidak mengandung formalin. Hasil uji
kandungan formalin pada semua sampel bakso A, B dan C hasilnya negatif yaitu
ditandai dengan tidak terjadi perubahan warna KMnO4 (tetap warna violet).
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi
dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antar protein yang
berdekatan akibatnya protein mengeras dan tidak dapat larut. Formaldehid juga
dapat menbunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri terdehidrasi
sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru yang dapat
melindungi dari serangan bakteri. Perbedaan formaldehid dengan desinfektan
lainnya yaitu formaldehid akan beraksi secara kimiawi dan tetap ada dalam materi
tersebut untuk melindungi dari serangan bakteri berikutnya (Eka, 2003: 23).
Uji kualitatif boraks pada bakso dengan menggunakan metode pengabuan
yaitu dengan memanaskan sampel bakso yang telah dilhaluskan diatas porselen
sampai menjadi arang kemudian diteteskan metanol dan asam sulfat selanjutnya
disulutkan api. Tujuan pengabuan tersebut untuk menghilangkan senyawa-senyawa
organik yang ada dalam sampel sehingga tersisa hanya bentuk logam serta garamgaram. Tujuan penambahan asam sulfat pekat yaitu memberi suasana asam pada
arang sampel. Jika menghasilkan nyala api yang pinggirannya hijau atau terbakar
hal tersebut menunjukkan bahwa makanan tersebut mengandung boraks. Warna
hijau pada nyala api disebabkan adanya reaksi antara api dan tembaga barium yang
terbentuk karena reaksi metanol dan boraks (Svehla, 1985: 44).
H3BO3 + 3CH3OH → B(OCH3)3 ↑ + 3H2O
(asam borat)
(metanol)
(metil borat)
Gambar 8. Reaksi Metanol dan Asam Borat
Mengonsumsi boraks dalam makanan tidak secara langsung berakibat
buruk, namun sifatnya terakumulasi sedikit demi sedikit dalam organ hati, otak, dan
testis. Boraks dapat mengganggu enzim-enzim metabolisme dan juga alat
reproduksi pria. Boraks menyandung senyawa boron yang merupakan bakterisida
lemah. Cara kerjanya dengan mengikat logam yang menjadi kofaktor enzim
sehingga metabolisme bakteri tidak jalan (Eka, 2003: 23).
Hasil uji boraks pada ketiga sampel bakso A, B, dan C menunjukan hasil
negatif ditandai dengan tidak munculnya nyala api dengan pinggiran hijau. Semua
sampel menunjukkan nyala api berwarna merah.
F. Uji Sensoris/Organoleptik Bakso Sapi
Parameter uji organoleptik pada penelitian ini yaitu warna, bau/aroma,
tekstur dan rasa. Selain parameter uji, dilakukan pengujian daya terima untuk
mengetahui bakso mana yang lebih disukai panelis.
Tabel 20. Hasil Uji Organoleptik Bakso A, B, dan C
Sampel
Warna
Bau
A
Putih keabuabuan
Putih keabuabuan
Putih keabuabuan
Cukup khas
daging
Kurang
khas daging
Kurang
khas daging
B
C
Parameter
Tekstur
Kurang
kenyal
Tidak
kenyal
Cukup
kenyal
Rasa
Cukup
gurih
Kurang
gurih
Cukup
gurih
Daya
Terima
Suka
Tidak suka
Suka
Hasil uji organoleptik dari 15 panelis dengan rentang usia 19-24 tahun
menunjukan ketiga sampel bakso A, B, C berwarna putih keabu-abuan, bakso A
berbau cukup khas daging sedangkan B dan C kurang khas daging, tekstur masingmasing bakso berbeda dan untuk rasa bakso A dan C sudah cukup gurih sedangkan
bakso B kurang gurih.
Menurut Wibowo (1999 : 44) mutu sensori bakso memiliki bau khas daging
segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi atau busuk, bau bumbu cukup
tajam. Hal tersebut menerangkan bahwa aroma bakso sangat dipengaruhi oleh
jumlah daging dan bahan lain yang digunakan. Bakso A memiliki aroma khas
daging karena bakso A menggunakan 3 macam daging sapi, yaitu topside, mayang,
dan tetelan. Perbandingan daging dan tepung tapioka untuk membuat bakso A yaitu
6 kg daging (topside dan mayang) dan 1 kg tepung ( satu adonan) oleh karena itu
aroma yang dihasilkan berbau khas daging. Bakso B hanya menggunakan daging
mayang yang berlemak dengan perbandingan daging dan tepung yaitu 3 kg daging
sapi mayang dan 0,5 kg tepung tapioka. Bakso C menggunakan daging sapi mayang
dan tetelan, dengan perbandingan 4 kg daging (mayang dan tetelan) dan 0,5 kg
tepung tapioka. Bau khas daging lebih menonjol pada bakso A dikarenakan jumlah
daging yang digunakan ada 3 macam khususnya menggunakan daging sapi topside
yang berkualitas baik.
Menurut Siska (2013: 7) menyatakan bahwa sebagian besar responden
menyukai bakso dengan rasa daging yang kuat. Rasa bakso juga dipengaruhi oleh
kadar air pada bakso. Rasa bakso yang sangat menentukan penerimaan konsumen
ada 3 macam yaitu kegurihan, keasinan, dan rasa daging. Ketiga bakso A, B dan
C hanya bakso B yang dianggap kurang gurih dikarenakan bakso B hanya
menggunakan daging sapi mayang dan adonannya terlihat lembek (terlalu banyak
air) sehingga rasa bumbu dan daging kurang terasa.
Kekenyalan bakso merupakan kemampuan produk pangan untuk kembali
ke produk asal sebelum pecah akibat daya tekan. Kekenyalan merupakan bagian
pembentuk tektur yang diperhitungkan konsumen dalam menilai kesukaan dan
penerimaan daging serta produknya. Menurut Wibowo (1999: 47) mutu sensori
bakso memiliki tekstur kompak, elastis, kenyal tapi tidak liat atau membal, tidak
lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh. Berdasasrkan SNI 3818-2014 bahan
pengisi dalam pembuatan bakso tidak boleh lebih dari 50%. Peningkatan
penggunaan bahan pengisi menyebabkan peningkatan kekerasan bakso.
Masing-masing tekstur bakso berbeda-beda, bakso A memiliki tektur yang
kurang kenyal, bakso B bertekstur tidak kenyal sama sekali, sedangkan bakso C
bertekstur cukup kenyal. Menurut Agung (2013: 8) kekenyalan bakso sapi
dipengaruhi oleh tepung tapioka, air, dan jenis daging. Bakso B bertekstur paling
lembek atau tidak kenyal, dikarenakan bakso B terbuat dari daging mayang yang
berlemak, dan lemaknya tidak dibuang. Lemak pada bakso dapat membuat citarasa
gurih, tetapi apabila terlalu benyak membuat bakso menjadi lembek, mudah pecah
Selain itu adonan yang dibuat juga lebih lembek dibanding adonan bakso A dan C.
Daya terima merupakan penilaian secara keseluruhan dari kriteria
organoleptik (warna, rasa, aroma, kekenyalan). Hasil penelitian menunjukan bakso
A dan C disukai panelis, sementara bakso C tidak disukai. Kriteria organoleptik
bakso C memang memiliki rasa, tekstur, dan bau yang tidak disukai oleh panelis.
G. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki 4 keterbatasan, yaitu:
1. Penelitian ini belum dilakukan uji kadar protein untuk mengetahui kadar
protein pada masing-masing jenis daging sapi yang digunakan dalam
pembuatan bakso dan pengaruhnya terhadap jumlah cemaran mikroba. Hal
ini terjadi karena keterbatasan alat pengukur.
2. Uji mikrobiologis bakso yang belum dilakukan yaitu uji Salmonella sp dan
Clostridium perfingens dikarenakan keterbatasan media differensial untuk
kedua bakteri tersebut.
3. Variabel bebas yaitu bahan baku daging yang seharusnya dihomogenkan
belum dilaksanakan. Hal ini terjadi karena sulit mencari beberapa outlet
produsen bakso yang menggunakan bahan baku daging yang sama.
4. Pengukuran tekstur/ kekenyalan yang seharusnya menggunakan alat texture
analyzer belum dilakukan karena keterbatasan alat yang sulit didapat.
Download