APARATUR PEMERINTAH BAB XXII APARATUR PEMERINTAH A. PENDAHULUAN Sukses pembangunan nasional tidak lepas dari kualitas dan kemampuan aparatur pemerintah, baik dalam menyelenggarakan tugas-tugas umum maupun pembangunan. Sebab itu dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama (PJPT I), pendayagunaan aparatur pemerintah ditempatkan sebagai bagian tak terpisah dari keseluruhan strategi pembangunan nasional serta dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Pendayagunaan aparatur pemerintah dalam lima tahun terakhir ini dari 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, ditujukan untuk menciptakan aparatur yang berdaya guna, berhasil guna, bersih dan berwibawa serta mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan, dilandasi semangat dan sikap pengabdian bagi bangsa, negara dan tanah air, bersifat meneladani, mengayomi dan melayani masyarakat, serta sanggup menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan. Keseluruhannya itu didasarkan pada dan merupakan realisasi dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan UUD 1945. Sesuai ketetapan Garis-garis Bestir Haitian Negara (GBHN) 1988, XXII/3 langkah-langkah kebijaksanaan pendayagunaan aparatur pemerintah dalam Repelita V, diarahkan pada upaya-upaya sebagai berikut: (1) Meningkatkan pengabdian dan kesetiaan aparatur pemerintah selaku abdi negara dan abdi masyarakat kepada cita-cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) Meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan; (3) Melakukan pembinaan, penyempurnaan, dan penyesuaian baik terhadap aparatur pemerintah di pusat dan di daerah, maupun Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, sehingga dapat meningkatkan kemampuan, pengabdian, disiplin dan keteladanannya. Di samping itu makin mampu melayani, mengayomi dan menumbuhkan prakarsa dan partisipasi masyarakat dalam pemb angunan serta tanggap terhadap pandangan-pandangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat; (4) Melanjutkan dan meningkatkan penertiban aparatur pemerintah untuk mengurangi korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan kekayaan dan keuangan negara, pungutan liar dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya; (5) Meningkatkan dan memantapkan hubungan fungsional antara pemerintah dengan lembaga-lembaga perwakilan rakyat di pusat dan di daerah; (6) Mengembangkan hubungan kerja yang serasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan yang diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab; (7) Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara aparatur pemerintah pusat yang ada di daerah dengan aparatur pemerintah daerah untuk memperlancar tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan di daerah; dan (8) Meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan desa dalam melayani dan mengayomi masyarakat, dan mendorong prakarsa dan peran serta rakyat dalam pembangunan. Dengan berbagai upaya pendayagunaan yang telah dilakukan secara berkelanjutan selama sekitar seperempat abad dan lebih ditingkatkan dalam lima tahun terakhir ini, menjelang akhir PJPT I Indonesia telah memiliki aparatur pemerintah dengan struktur organisasi yang lebih mantap dari pusat sampai dengan daerah-daerah, disertai sistem manajemen yang lebih efisien dilengkapi piranti teknologi informasi dan komunikasi yang maju; serta didukung oleh pegawai negeri yang lebih bersemangat pengabdian, memiliki kecakap an teknis d an manaj er ial yang me mad ai, siap menghadap i XXII/4 tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam PJPT II. Meningkatnya kemampuan dan efisiensi pelayanan aparatur antara lain tercermin dengan terus meningkatnya tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan (Rp 27,2 miliar tahun 1969/70, Rp 3.321,8 miliar tahun 1987/88 dan Rp 13.311,8 miliar tahun 1992/93), anggaran pembangunan yang dapat dikelola dan direalisasikan (Rp 118,2' miliar tahun 1969/70, Rp 9.447,4 miliar tahun 1987/88 dan Rp 22.912,0 miliar tahun 1992/93); investasi swasta baik dalam maupun luar negeri (PMA: 127,5 juta USD tahun 1969, 1.520,3 juta USD tahun 1987 dan 10.178,1 juta USD tahun 1992; PMDN: Rp 33,5 miliar tahun 1969, Rp 10.449,6 miliar tahun 1987 dan Rp 27.017,7 miliar tahun 1992), demikian pula perkembangan ekspor baik migas maupun non migas. Semua itu dapat meningkat karena ketepatan langkah kebijaksanaan yang diambil, dan pelaksanaannya oleh aparatur pemerintah. Selain itu, sarana dan prasarana pelayanan kebutuhan dasar seperti diuraikan dalam bab-bab terdahulu, antara lain untuk pendidikan, pelayan kesehatan, industri, pertanian, keluarga berencana dan lain sebagainya terus meningkat, berkat meningkatnya kemampuan dan pengabdian aparatur negara. Dalam dasawarsa terakhir ini pembangunan Indonesia berhasil mencapai dan mempertahankan swasembada pangan disertai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan perubahan struktur ekonomi yang ditandai oleh meningkatnya peranan sektor industri dan jasa, serta sektor pertanian yang lebih maju. Dalam hubungan ini dapat dicatat pula bantuan pembangunan daerah (Program Inpres), yang terus ditingkatkan dalam lima tahun terakhir ini. Apabila pada akhir Repelita I (1973/74) biaya Program Inpres mencapai Rp 61,9 miliar, pada akhir Repelita IV (1988/89) dan pada tahun keempat Repelita V (1992/93) meningkat masing-masing menjadi Rp 1.142,1 miliar dan Rp 4.148,8 miliar. Secara kumulatif dana pembangunan untuk Program Inpres dalam lima tahun terakhir ini mencapai Rp 12.118,5 miliar, dibandingkan dengan 4 kali Repelita sebelumnya yang masing-masing secara kumulatif adalah Rp 201,8 miliar (Repelita I), Rp 1.474,8 miliar (Repelita II), Rp 5.028,4 miliar (Repelita III) dan Rp 6.230,0 miliar (Repelita IV), maka jumlah pembiayaan dalam lima tahun terakhir besarnya 60 kali Repelita I. Peningkatan dana yang terus membesar ini juga menggambarkan meningkatnya kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program tersebut. Kemampuan teknis dan manajerial kepegawaian selama PJPT I terus meningkat berkat diselenggarakan dan terus ditingkatkannya berbagai XXII/5 kegiatan pendidikan dan pelatihan, dengan peningkatan yang lebih besar lagi. Sekalipun demikian, disadari berbagai kelemahan masih melekat da lam sistem aparatur negara kita, baik dalam aspek-aspek organisasi dan manajemennya, maupun dalam kualitas sumber daya manusianya. Sistem manajemen, meskipun telah menunjukkan kemajuan tetapi masih perlu ditingkatkan khususnya dalam pengambilan keputusan dalam kegiatan perencanaan dan penentuan berbagai langkah kebijaksanaan. Sedangkan kasus-kasus penyimpangan yang diketahui sebagai hasil pemeriksaan dalam rangka pengawasan masih cukup besar. Semuanya ini merupakan tantangan dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di masa yang akan datang. Berbagai keberhasilan pembangunan dalam PJPT I sebentar lagi sudah akan merupakan catatan sejarah, berbagai kelemahan dan kekurangan yang masih dihadapi merupakan acuan untuk penentuan langkah-langkah pendayagunaan selanjutnya dalam PJPT II. B. PERKEMBANGAN PELAKSANAAN APARATUR PEMERINTAH PENDAYAGUNAAN Sebagai kelanjutan langkah-langkah pendayagunaan sejak Repelita I, berpedoman pada GBHN 1988 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Buku Repelita V (Keppres No. 13 Tahun 1989), upaya yang dilakukan dalam lima tahun terakhir ini, pada pokoknya tetap diarahkan pada perbaikan struktur kelembagaan; penyempurnaan ketatalaksanaan; perbaikan administrasi kepegawaian termasuk peningkatan kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusianya; perbaikan sistem perencanaan dan pengendalian pelaksanaan, serta penyempurnaan sistem dan peningkatan pelaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan; baik pada aparatur pemerintahan pusat dan daerah maupun badan-badan usaha milik negara. Selain itu dilakukan pula peningkatan tertib hukum dan disiplin aparatur. Langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang sudah dimulai menjelang Repelita IV, untuk meningkatkan kelancaran dan efisie nsi kegiatan aparatur dan pelayanannya kepada masyarakat dan dunia usaha, juga diteruskan dan lebih dimantapkan dalam lima tahun terakhir ini. Untuk mendukung langkah-langkah kebijaksanaan pendayagunaan aparatur pemerintah tersebut dilakukan pula kegiatan-kegiatan penelitian. XXII/6 Selain itu, dengan keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 90 Tahun 1989 tanggal 7 Juni 1989 tentang Program Pemacu sebagai Prioritas Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), langkah-langkah pendayagunaan aparatur pemerintah juga ditekankan pada program-program sebagai berikut: Pelaksanaan Pengawasan Melekat; Penerapan Analisis Jabatan; Penyusunan Jabatan Fungsional; Penyederhanaan Tatalaksana Pelayanan Umum; Penitikberatan Otonomi di Daerah Tingkat II; Penyederhanaan Prosedur Kepegawaian; Sistem Informasi Administrasi Pemerintahan; dan Peningkatan Mutu Kepemimpinan Aparatur. 1. Pendayagunaan Bidang Kelembagaan Pendayagunaan kelembagaan berisikan usaha penataan kembali susunan organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah dan desa serta perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Di samping itu dilakukan pemantapan hubungan pemerintah pusat dan daerah, pengembangan satuan-satuan pelayanan dasar dibidang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Tujuan pendayagunaan kelembagaan tersebut adalah agar wewenang, tugas, tanggung jawab, dan fungsi dari setiap unsur lembaga pemerintahan semakin jelas dan tidak tumpang tindih, sehingga dapat dilaksanakan secara semakin berdaya guna dan berhasil guna. a. Aparatur Pemerintah Pusat Dalam lima tahun terakhir ini, sebagai kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan sejak Repelita I, penataan yang telah dilakukan pada aparatur pusat meliputi pembentukan baru, penghapusan dan penyempurnaan susunan organisasi departemen dan lembaga pemerintah non departemen serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, sejalan dengan kebutuhan pembangunan. Upaya tersebut dimaksudkan agar aparatur pemerintah pusat mampu secara efisien dan efektif menanggapi perkembangan, tuntutan dan tantangan yang dihadapi sebagai akibat peningkatan dan keberhasilan pembangunan serta perubahan-perubahan lingkungan internasional. Dalam Repelita I, Keputusan Presidium Kabinet Nomor 15 dan Nomor 75 Tahun 1966 dijadikan dasar penataan organisasi. Kemudian, pada tahun per tama Repelita II diganti dengan Keppres No. 44 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen dan Keppres No. 45 Tahun 1974 Tentang Susunan Organisasi Departemen. Menghadapi Repelita IV XXII/7 diterbitkan Keppres No. 15 Tahun 1984 tanggal 6 Maret 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen yang merupakan penyempurnaan dari Keppres No. 45 Tahun 1974. Upaya penataan organisasi aparatur Pemerintah Pusat yang dilakukan selama Repelita I hingga Repelita IV antara lain: pembentukan Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal, Keppres No. 83 Tahun 1969), penyempurnaan Organisasi Sekretariat Negara (Keppres No. 30 Tahun 1972), dan pembentukan susunan organisasi Departemen Tenaga Kerja dan Koperasi (Keppres No. 25 Tahun 1973), penyempurnaan kedudukan, tugas pokok, fungsi dan organisasi Arsip Nasional Republik Indonesia (Keppres No. 26 Tahun 1974); penyempurnaan Sekretariat Jenderal Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Keppres No. 31 Tahun 1975). Selama lima tahun terakhir ini hingga tahun keempat Repelita V, telah dilakukan antara lain: pembentukan Badan Pertanahan Nasional (Keppres No. 26 Tahun 1988), Perpustakaan Nasional (Keppres No. 11 Tahun 1989), Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (Keppres No. 30 Tahun 1989), Badan Pengelola Industri Strategis (Keppres No. 44 Tahun 1989), Dewan Pembina Industri Strategis (Keppres No. 56 Tahun 1989), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Keppres No. 23 Tahun 1990) dan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (Keppres No. 21 Tahun 1991); Perubahan Susunan Organisasi Departemen Keuangan (Keppres 27 Tahun 1992 terakhir dengan Keppres No. 35 Tahun 1992); penyempurnaan Organisasi Departemen Perhubungan (Keppres No. 16 Tahun 1989) dan Bappenas (Keppres No. 7 Tahun 1988); penghapusan Keppres No. 5 Tahun 1971 dan menetapkan kedudukan, tugas pokok dan fungsi organisasi, serta tata kerja dan anggaran belanja Lembaga Administrasi Negara (LAN); penyempurnaan Organisasi Departemen Perdagangan (Keppres No. 4 Tahun 1990); pembentukan Unit Swadana dan Tata Cara Pengelolaan Keuangannya (Keppres No. 38 Tahun 1991); dan pembukaan Konsulat RI di Ho Chi Minh, Vietnam (Keppres No. 45 Tahun 1992). Berbagai upaya penataan organisasi departemen dan lembaga pemerintah non departemen dalam jangka waktu 1969/70 - 1992/93 serta dasar hukumnya, disajikan dalam Tabel XXII-1. XXII/8 TABEL XXII – 1 PENATAAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA APARATUR PEMERINTAH 1969/70 – 1992/93 XXII/9 XXII/10 XXII/11 XXII/12 XXII/13 XXII/14 XXII/15 XXII/16 XXII/17 XXII/18 b. Aparatur Pemerintah Daerah dan Desa Untuk meningkatkan dan memantapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah guna memenuhi berbagai kebutuhan dan melayani berbagai kepentingan masyarakat baik di kota-kota maupun di pedesaan, dalam kurun waktu Repelita I sampai dengan Repe lita V dilakukan pula pendayagunaan aparatur pemerintah daerah dan desa. Langkah-langkah tersebut ditingkatkan dalam lima tahun terakhir ini dan ditujukan untuk, pertama, mewujudkan aparatur daerah yang mampu, efektif dan efisien, bersih dan berwibawa dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan di daerah. Kedua, mewujudkan keserasian pelaksa naan tugas pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dalam Repelita I, upaya pendayagunaan aparatur pemerintah daerah diarahkan pada perubahan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian menghasilkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pembangunan. Dengan diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1974, maka telah diletakkan landasan bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan Saling hubungan antar aparatur pusat dan daerah menurut asas-asas pendelegasian tugas pelaksanaan (dekonsentrasi), pendelegasian kewenangan (desentralisasi), dan fungsi pembantuan (medebewind). Sesuai dengan perkembangan pembangunan daerah yang semakin meningkat, dalam awal Repelita II diterbitkan Keppres No. 15 Tahun 1974 yang mengatur pembentukan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tingkat I di setiap propinsi di seluruh Indonesia sebagai pengganti Bakopda. Selanjutnya, dengan Keppres No. 27 Tahun 1980 dibentuk pula Bappeda Tingkat II. Tugas dan fungsi Bappeda Tingkat I dan II tersebut antara lain membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan koordinasi atas kegiatan perencanaan pembangunan di daerah, serta melakukan penilaian atas pelaksanaannya. Selain itu dilakukan pula langkah-langkah pendayagunaan meliputi antara lain, penyempurnaan susunan organisasi Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I dan Sekretariat DPRD Tingkat I (SK Mendagri No. 240 Tahun 1980), Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat II dan Sekretariat DPRD Tingkat II (SK Mendagri No. 130 Tahun 1978), Badan Penanaman Modal Daerah (SK Mendagri No. 167 XXII/19 Tahun 1980), Dinas-dinas Daerah (SK Mendagri No. 363 Tahun 1977) serta Inspektorat Wilayah Propinsi (SK Mendagri No. 219 Tahun 1979), dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya (SK Mendagri No. 220 Tahun 1979). Dalam hubungan ini, telah ditetapkan pula organisasi kecamatan beserta organisasi sekretariat wilayah pemerintah kecamatan, dalam arti menetapkan tipe-tipe kecamatan sesuai dengan kondisi kecamatan yang bersangkutan. Mengingat pembangunan pedesaan akan menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat luas, maka di samping pendayagunaan aparatur Pemerintahan Desa, pembangunan pedesaan itu sendiri juga mendapat perhatian sungguh-sungguh. Sehubungan dengan itu, dalam Repelita I telah diterbitkan Inpres No. 4 Tahun 1973 untuk menunjang aparatur desa dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan upaya pendayagunaan aparatur desa, dalam Repelita III telah diterbitkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam lima tahun terakhir, sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut, telah diambil langkah-langkah yang ditujukan untuk semakin meningkatkan kemampuan aparatur desa dalam pelaksanaan pembangunan desa, termasuk dalam menggali dan mengelola sumber keuangan asli desa serta dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD). Hal tersebut dilakukan antara lain dengan meningkatkan kegiatan pelatihan pengurus Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), pelatihan Kader Pembangunan Desa dan Pelatihan Kepala Desa. Tidak diabaikan pula pembinaan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) dalam rangka pendayagunaan aparatur kecamatan. Dalam rangka peningkatan pembangunan desa, Inpres Bantuan Pembangunan Desa sangat ditingkatkan dalam lima tahun terakhir ini, apabila anggaran Inpres Desa pada tahun 1988/89 berjumlah Rp 112 miliar, pada tahun keempat Repelita V meningkat menjadi Rp 326,5 miliar, sehingga secara kumulatif dalam lima tahun terakhir ini mencapai jumlah Rp 981 miliar. Hasil-hasil lain yang telah dicapai dalam bidang pembangunan daerah dan Desa sampai dengan tahun keempat Repelita V disajikan dalam Bab XIV tentang Pembangunan Daerah, Desa dan Kota dalam Lampiran Pidato ini. c. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Sistem hubungan dan kerja sama aparatur Pemerintah Pusat dan XXII/20 Pemerintah Daerah akan menentukan daya guna dan hasil guna pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah. Untuk itu, sejak Repelita I dan lebih ditingkatkan lagi dalam lima tahun terakhir ini, penataan hubungan aparatur Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan terus menerus diserasikan dan dimantapkan. Dalam Repelita I, penataan hubungan kerja tersebut antara lain berupa upaya pengaturan kembali bentuk kerja sama dan tata kerja aparatur pemerintah daerah dan dinas-dinas vertikal yang ada di daerah serta didasarkan pada Inpres No. 7 Tahun 1967. Penyempurnaan di bidang keuangan daerah telah pula diupayakan. Upaya tersebut didasarkan pada PP No. 36 Tahun 1972, PP No. 48 Tahun 1973 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 1974 yang pada pokoknya mengadakan pemisahan anggaran belanja rutin dengan anggaran pembangunan daerah, agar penyusunan dan penatausahaan anggaran pembangunan daerah dapat dilakukan dengan lebih baik. Dalam kurun waktu Repelita II, hubungan dan kerja sama aparatur pusat dan daerah tersebut lebih dipertegas dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang antara lain memuat dasar pengaturan hubungan pemerintah pusat dan daerah berlandaskan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas perbantuan. Di samping itu, untuk memantapkan upaya pengembangan otonomi daerah, dengan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1975 telah dibentuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Dalam Repelita III berlanjut sampai dengan tahun ketiga Repelita V sebagai pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1974, telah dilakukan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah sehingga menjadi urusan rumah tangganya, antara lain mengenai: (1) Urusan Perkebunan Besar (PP. No. 22/1979); (2) Urusan Pariwisata (PP. No. 24/1979); (3) Urusan Pekerjaan Umum (PP. No. 14/1987); (4) Urusan Pertambangan Bahan Galian Golongan C (PP. No. 57/1986) dan (5) Urusan Kesehatan (PP. No. 7/1987). Dalam lima tahun terakhir ini, langkah pendayagunaan mengenai hubungan pusat dan daerah ditingkatkan, antara lain berupa penyerahan Urusan Lalu Lintas Angkutan Jalan (PP. No. 22/1990). Kemudian, untuk lebih memantapkan penyelenggaraan dan mewujudkan otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan titik berat otonomi Daerah Tingkat II telah ditetapkan PP No. 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan XXII/21 Otonomi Daerah Dengan Titik Berat Pada Tingkat II. Menurut PP tersebut urusan-urusan yang dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah adalah semua urusan pemerintahan; kecuali bidang pertahanan keamanan, bidang peradilan, bidang luar negeri, bidang moneter, sebagian urusan pemerintahan umum yang menjadi wewenang, tugas dan kewajiban Kepala Wilayah, serta urusan pemerintahan lainnya yang secara nasional lebih berdaya guna dan berhasil guna jika diurus oleh Pemerintah Pusat. Dalam rangka pembinaan keuangan daerah telah pula diambil langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali dan mengelola sumber dana untuk membiayai urusan pemerintahan daerah, termasuk sumber pendapatan yang berdasarkan hubungan pusat dan daerah. Untuk itu, telah ditetapkan antara lain beberapa ketentuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU No. 12 Tahun 1985) dan Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PP No. 47 Tahun 1985), Pedoman Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor (Permendagri No. 3/1991), Pedoman Pemungutan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Permendagri No. 4/1991), Sumbangan Sebagian Hasil Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor kepada Dati II (Kepmendagri No. 30/1991), Tarip Pajak Kendaraan Bermotor (Kepmendagri No. 97/1991), serta Pedoman Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C (Kepmendagri No. 32/1991), pembagian hasil iuran kepada daerah berupa iuran hasil hutan/IHH (Kepmendagri No. 90/1991) dan iuran pertambangan (Kepmendagri No. 73-161 dan Imendagri No. 2/1992). Selain itu, telah diupayakan pula peningkatan retribusi daerah, antara lain retribusi sumber air (Keputusan Bersama Dirjen PUOD, Dirjen Minyak dan Gas Bumi, dan Dirjen Pengairan No. KEP-4802/M/1991; 974-718,107.K/101/DDJM/91; 137/KPTS/A/1991) dan retribusi terminal angkutan penumpang (Kepmendagri No. 82/1992). Akibat langkah-langkah pendayagunaan tersebut, pendapatan asli daerah (PAD) telah berkembang positif baik dalam jumlah maupun komposisinya. Hal ini ditunjukkan dengan terus meningkatnya PAD seluruh Daerah Tingkat I dalam kurun waktu lima tahun yaitu tahun 1987/88 Rp 717,070 miliar, tahun 1988/89 Rp 814,156 miliar, tahun 1989/90 Rp 1.041,487 miliar, tahun 1990/91 Rp 1.438,308 miliar, dan tahun 1991/92 Rp 1.604,037 miliar. XXII/22 Selain itu, untuk memantapkan administrasi pendapatan daerah, telah dikembangkan Manual Pendapatan Daerah (MAPATDA) di 26 Propinsi, meliputi 293 Dati II dan 34 Kota Administratip (Kotip), sebagai realisasi Kepmendagri No. 23/1989 dan No. 102/1990. Pelaksanaan MAPATDA tersebut ditindaklanjuti dengan penggunaan komputer untuk Tahap I di 22 Dati I, meliputi 42 Dati II dan 2 Kotip. Sejalan dengan itu, dalam rangka pembinaan kekayaan daerah, telah ditetapkan berbagai Keputusan Mendagri mengenai barang daerah, dan penyusunan Buku Induk Inventarisasi B -I dan B-II berdasarkan inventarisasi barang-barang Daerah I, II, Kelurahan/Desa, Depdagri dan barang-barang Departemen lainnya yang digunakan oleh Pemerintah Daerah. Untuk menunjang langkah-langkah tersebut, pembinaan terhadap bendaharawan umum dan barang di Dati I dan II terus ditingkatkan antara lain dengan penataran sensus barang daerah di 21 Propinsi dan penyediaan tenaga pengajar/penatar yang bermutu. Selanjutnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini juga telah dilakukan peninjauan kembali peraturan perundangan mengenai penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada daerah dan diupayakan untuk menambah penyerahan urusan pemerintah kepada Daerah Tingkat II. Kemudian, dalam rangka meningkatkan ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan untuk lebih mewujudkan keserasian pelaksanaan serta keberhasilan pembangunan telah ditetapkan PP No. 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah. PP ini antara lain memberikan wewenang kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II untuk melakukan koordinasi kegiatan semua instansi vertikal dan antara instansi vertikal dengan dinas-dinas daerah. 2. Pendayagunaan Bidang Kepegawaian Dalam lima tahun terakhir ini, pendayagunaan di bidang kepegawaian ditujukan untuk mewujudkan pegawai negeri sipil yang memiliki tingkat kemampuan profesional dan kesejahteraan yang memadai, semangat pengabdian dan disiplin yang tinggi dalam mengemban tugas, serta didukung sistem administrasi dan informasi kepegawaian yang mantap. Pendayagunaan di bidang kepegawaian yang telah ditempuh sejak Repelita I, didasarkan pada UU No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok-pokok Kepegawaian, selanjutnya sejak awal Repelita II didasarkan XXII/23 pada UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang dalam lima tahun terakhir ini sampai dengan tahun keempat Repelita V lebih dimantapkan lagi antara lain dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Penetapan Formasi dan Pengadaan Pegawai Agar satuan-satuan organisasi pemerintah dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang cukup dan sesuai dengan beban kerjanya maka dilakukan penetapan formasi untuk masing-masing. Formasi diputuskan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara setelah mendengar pertimbangan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Pada Repelita I, II, III, dan IV penyusunan formasi lebih didasarkan pada analisis kebutuhan (lowongan pekerjaan), kurang memperhatikan analisis jabatan (lowongan jabatan). Sejak tahun pertama Repelita V penyusunan forma si di departemen, lembaga pemerintah non departemen, dan pemerintah daerah tidak hanya didasarkan pada analisis kebutuhan (lowongan pekerjaan), tetapi juga berdasarkan analisis jabatan (lowongan jabatan). Adapun keuntungan menetapkan formasi berdasarkan analisis jabatan dan analisis kebutuhan antara lain: (1) penambahan pegawai dapat benar-benar direncanakan sesuai dengan kebutuhan dan tersedianya jabatan, sehingga mencegah kelebihan jumlah pegawai dan menghemat keuangan negara; (2) pegawai yang bersangkutan dapat mengetahui secara jelas tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya; dan (3) lebih mempermudah upaya pembinaan pegawai, seperti kenaikan pangkat/jabatan serta pendidikan dan pelatihan. Jumlah formasi yang tersedia selama Repelita I sebanyak 167.688 orang, Repelita II 522.035 orang, Repelita III 783.888 orang, dan Repe lita IV berjumlah 762.537 orang. Sedangkan jumlah formasi dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat (per Desember 1992) Repelita V adalah 325.553 orang, terdiri dari 75.553 orang pada tahun 1989/90, 80.000 orang pada tahun 1990/91, 90.000 orang pada tahun 1991/92 dan 80.000 orang pada tahun 1992/93. Dengan demikian jumlah formasi pegawai negeri sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah sebanyak 2.561.701 pegawai. Penetapan formasi pegawai tersebut, selanjutnya ditindaklanjuti dengan pengadaan pegawai negeri untuk mengisi formasi yang lowong pada masing-masing satuan organisasi Pemerintah. Walaupun demikian pada XXII/24 kenyataannya jumlah pengadaan pegawai tidak selalu sesuai dengan jumlah formasi yang telah ditetapkan. Sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah pengadaan atau tambahan pegawai negeri mencapai 2.591.005 orang. Jumlah tersebut merupakan akumulasi tambahan selama Repelita I sebanyak 167.688 pegawai, Repelita II 302.588 pegawai, Repelita III 956.249 pegawai, Repelita IV 841.969 pegawai, dan Repelita V (sampai dengan tahun keempat) sebanyak 322.511 pegawai yang terdiri dari 124.391 pegawai (1989/90), 72.109 pegawai (1990/91), 63.451 pegawai (1991/92) dan 62.560 pegawai (1992/93). Dengan adanya penambahan pegawai negeri sebanyak 2.591.005 tersebut, maka jumlah pegawai negeri sipil yang pada tahun keempat Repelita V 3.950.126 pegawai. Sedangkan tambahan pegawai dalam lima tahun terakhir mencapai 446.896 orang. Kualitas dan komposisi pegawai dari Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V juga mengalami kemajuan. Hal ini ditunjukkan dalam perubahan persentase pegawai menurut tingkat pendidikan dalam kurun waktu sejak tahun terakhir Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Komposisi pegawai menurut pendidikan menunjukkan perubahan sebagai berikut. Pada akhir Repelita I (1973/74) yang berpendidikan sampai dengan SD, SLTP, SLTA, Sarjana Muda/DII-DIII, Sarjana (S1, S2, S3), dan yang tidak jelas masing-masing adalah 564.359 (36,9%), 336.453 (22,0%), 511.017 (33,5%), 75.159 (4,9%), 39.667 (2,6%), dan 154 (0,01 %), dalam tahun keempat Repelita V persentase tersebut berubah masing-masing menjadi 547.074 (13,9%), 402.902 (10,2%), 2.319.700 (58,7%), 390.993 (9,9%), dan 289.457 (7,3%). Apabila dalam tahun 1973/74 masih tercatat pegawai yang tidak jelas latar belakang pendidikannya, dalam tahun 1992/93 dengan perbaikan informasi kepegawaian hal tersebut teratasi sehingga seluruh pegawai menjadi jelas latar belakang pendidikannya. Data-data tersebut menunjukkan perubahan jumlah yang besar dalam komposisi kepegawaian menurut latar belakang pendidikan, misalnya jumlah tenaga yang berpendidikan sarj ana muda ke atas pada akhir Repelita I hanya 114.826 (7,5%), pada tahun keempat Repelita V menjadi 680.450 (17,2%). Perubahan ini merupakan hasil dari upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas kepegawaian. Dilihat dari komposisi jenis kelamin, peranan wanita dalam persentase terhadap jumlah seluruh pegawai pada tahun 1992/93 adalah 1.307.871 (33,1%), sedangkan dalam tahun 1973/74 hanya 291.538 (19,1%). Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap peranan wanita telah dimulai sejak awal XXII/25 Repelita dan terus meningkat hingga dewasa ini. Perhatian yang besar dari pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ditunjukkan pula dengan besarnya jumlah tenaga profesional antara lain di bidang pendidikan yang masing-masing dalam tahun 1973/74 adalah sebanyak 543.505 (35,6%), sedangkan dalam tahun 1992/93 adalah sebanyak 1.729.229 (43,8%). Perbaikan-perbaikan di bidang kepegawaian ini, telah meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial aparatur kita, baik dalam penentuan berbagai rencana dan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya, termasuk dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, juga dalam mendorong prakarsa, kegiatan dan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan ekonomi dan sosial. Adapun perkembangan jumlah dan komposisi pegawai negeri sipil untuk setiap Repelita disajikan pada Tabel XXII-2. b. Pembinaan Karier Pegawai Negeri Sipil Tujuan pembinaan karier pegawai negeri sipil adalah untuk mengembangkan dan menempatkan pegawai pada jenis pekerjaan ataupun jabatan yang tepat berdasarkan kemampuan, sistem karier dan prestasi kerja, sehingga dapat dicapai produktivitas yang optimal. Pelaksanaan pembinaan karier ini dilakukan melalui: (1) pendidikan dan pelatihan; (2) penerapan disiplin pegawai; (3) penilaian pelaksanaan pekerjaan; (4) kenaikan pangkat; dan (5) pengembangan jabatan fungsional. (1) Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Pembinaan karier dicerminkan antara lain oleh adanya jenjang kepangkatan atau kedudukan yang menunjukkan posisi seorang pegawai negeri sipil dalam susunan kepegawaian, yang juga digunakan sebagai dasar penggajian. Kenaikan pangkat tersebut dimaksudkan sebagai: (1) penghargaan yang diberikan atas pengabdian pegawai negeri sipil yang bersangkutan terhadap Negara; dan (2) dorongan kepada pegawai negeri sipil untuk lebih meningkatkan pengabdiannya. Kenaikan pangkat dapat berupa kenaikan pangkat reguler, pilihan, istimewa, pengabdian dan kenaikan pangkat sebagai penyesuaian ijaz ah. Kenaikan pangkat tersebut dilakukan atas dasar usulan dari Departemen/ Lembaga kepada BAKN (kenaikan pangkat biasa/KPB). Sejak Repelita I XXII/26 TABEL XXII – 2 KOMPOSISI PEGAWAI NEGERI PUSAT DAN DAERAH 1968 – 1992/93 1) 1) 2) Angka kumulatif sejak Repelita I Angka sementara XXII/27 sampai dengan tahun keempat Repelita V (per Desember 1992), pegawai negeri sipil yang mengalami kenaikan pangkat reguler adalah sebanyak 1.715.731 pegawai. Jumlah ini terdiri dari kenaikan pangkat selama kurun waktu Repelita I sebanyak 54.061 pegawai, Repelita II 143.094 pegawai, Repelita III 253.164 pegawai, dan Repelita IV 433.189 pegawai. Sedangkan pada tahun terakhir Repelita IV adalah sebanyak 206.712 orang. Dengan adanya kenaikan pangkat pada tahun pertama, kedua, ketiga sampai dengan tahun keempat Repelita V masing-masing sebanyak 239.129 pegawai, 254.688 pegawai, 278.632 pegawai dan 59.774 pegawai, maka dalam lima tahun terakhir ini jumlah pegawai negeri yang telah mengalami kenaikan pangkat reguler adalah sebanyak 1.038.935 orang. Sementara itu, sejak I April 1984 diberlakukan Kenaikan Pangkat Otomatis (KPO) untuk pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Guru SD dan Penjaga SD, Guru TK, SMTP, SMTA, Penilik dan Pengawas) dan Departemen Agama (Guru Agama, Penjaga Madrasah Ibtidaiyah, Penilik dan Pengawas) serta tenaga kesehatan di lingkungan Departemen Kesehatan (tenaga medis dan paramedis). Tujuan KPO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai melalui jalur non gaji serta mengurangi hambatan waktu dan administrasi kenaikan pangkat pegawai yang bersangkutan yang telah memenuhi persyaratan untuk naik pangkat. Jumlah pegawai yang memperoleh KPO pada Repelita IV adalah sebanyak 1.717.010. Pada tahun pertama, kedua, ketiga dan keempat Repelita V pegawai yang mengalami KPO masing-masing sebanyak 480.932 pegawai, 401.996 pegawai, 290.803 pegawai dan 246.095 pegawai, ditambah dengan yang pada tahun terakhir Repelita IV sebanyak 424.828 orang, maka jumlah pegawai negeri sipil yang mengalami KPO dalam lima tahun terakhir ini adalah sebanyak 1.844.645 pegawai. (2) Pengembangan Jabatan Fungsional Pengembangan jabatan fungsional dimaksudkan agar para pegawai negeri sipil yang mengemban tugas dalam kegiatan-kegiatan pekerjaan tertentu dapat memperoleh kepastian dalam kariernya, tidak terhambat karena terbatasnya jabatan struktural, sehingga diharapkan mereka akan terdorong untuk terus meningkatkan prestasi dan kemampuan profesional nya. Perkembangan jabatan fungsional didasarkan pada PP No. 3 Tahun 1980. XXII/28 Kenaikan pangkat dalam jabatan fungsional, sesuai dengan Pasal 12 PP No. 3 Tahun 1980, selain harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan seperti sekurang-kurangnya telah 2 (dua) tahun dalam pangkat yang dimilikinya dan setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan bernilai baik, juga harus memenuhi angka kredit yang telah ditetapkan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dengan memperhatikan usulan Pimpinan instansi yang bersangkutan setelah mendengar pertimbangan Kepala BAKN. Sejak jabatan fungsional mulai diterapkan sampai dengan tahun keempat Repelita V (per Desember 1992) telah dikembangkan sebanyak 50 jabatan fungsional terdiri dari akhir Repelita III sebanyak 1 jabatan fungsional, Repelita IV 19 jabatan fungsional, dan Repelita V sampai dengan tahun keempat sebanyak 30 jabatan fungsional. Dalam lima tahun terakhir ini telah dikembangkan 31 jabatan fungsional, antara lain terdiri dari jabatan fungsional Peneliti, Tenaga Dokter, Tenaga Perawatan, Tenaga Pengajar Perguruan Tinggi, Pengamat Meteorologi dan Geofisika, Pustakawan, Pekerja Sosial, Penyuluh KB, Penguji Mutu Barang, Jaksa, Pemeriksa Bea dan Cukai, Guru (di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan Departemen Perindustrian), Pengawas Radiasi, Pranata Komputer, Statistisi, Arsiparis, dan Sandiman. Besarnya jumlah jabatan fungsional yang telah dikembangkan dalam lima tahun terakhir ini menunjukkan perhatian yang besar terhadap peningkatan mutu dan kemampuan profesional di bidang kepegawaian. (3) Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan (diklat) juga merupakan bagian penting dalam pembinaan pegawai negeri sipil agar dapat lebih meningkatkan mutu dan produktivitas kerjanya. Berbagai jenis diklat pegawai negeri sipil yang dikembangkan selama ini meliputi diklat prajabatan (pre-service training) dan diklat dalam jabatan (in-service training). Diklat prajabatan diselenggarakan dengan tujuan memberikan orientasi kepada calon pegawai negeri sipil berkenaan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil agar mengerti dan menghayati norma, etika, kewajiban dan hak-haknya serta mengetahui peraturan-peraturan yang harus XXII/29 dipatuhinya. Sedangkan diklat dalam jabatan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugas yang menjadi atau akan menjadi tanggung jawabnya. Pada Repelita I diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972 yang mengatur ruang lingkup tugas dan tanggung jawab pelaksanaan pembinaan pendidikan dan pelatihan antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Tenaga Kerja, dan Lembaga Administrasi Negara. Dengan Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974, yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1989, Lembaga Administrasi Negara diberi tugas dan tanggung jawab pembinaan pendidikan dan pelatihan khusus untuk pegawai negeri sipil. Diklat prajabatan dimulai secara teratur sejak tahun 1981 dengan Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1981. Sedangkan diklat dalam jabatan dikembangkan sejak Repelita I dan terdiri dari diklat penjenjangan dan diklat non penjenjangan atau diklat khusus dan teknis fungsional. Diklat non penjenjangan meliputi antara lain kursus-kursus organisasi dan metode, teknik-teknik manajemen, perencanaan pembangunan, manajemen proyek, manajemen perusahaan negara, pengawasan, analisa jabatan dan diklat khusus lain. Diklat penjenjangan terdiri dari beberapa tingkatan, yang pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial pegawai sesuai bidang tugas, jenjang kepangkatan serta kebutuhan administrasi dan pembangunan, baik untuk tenaga Staf maupun Pimpinan administrasi. Di samping diklat penjenjangan dan diklat non penjenjangan untuk lebih meningkatkan kualitas kepegawaian, bagi pegawai negeri dimungkinkan pula untuk mengikuti program pendidikan S-2 dan S-3 secara selektif di dalam dan di Luar negeri. Sesuai dengan Surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. B-97/1/1992 tanggal 29 Januari 1992 kepada para Sekjen Departemen, para Pimpinan SETLEMTERTINA dan para Deputi Administrasi LPND, pelaksanaan diklat Luar negeri dikoordinasikan oleh "Overseas Training Office" (OTO)/Bappenas. (a) Diklat Prajabatan Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 30 Tahun 1981 tentang Latihan Prajabatan, setiap Pegawai Negeri Sipil diwajibkan mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Prajabatan. Diklat ini terdiri dari 3 (tiga) XXII/30 tingkat yaitu Tingkat I, II dan III yang disesuaikan dengan golongan pegawai yaitu Golongan I, II dan III. Selama Repelita III Diklat Prajabatan diikuti oleh 47.115 peserta terdiri dari Prajabatan Tingkat I sebanyak 15.794 peserta, Tingkat II sebanyak 29.542 peserta dan Tingkat III sebanyak 1.779 peserta. Dalam Repelita IV jumlah peserta diklat tersebut meningkat menjadi 271.356 peserta meliputi Diklat Prajabatan Tingkat I, II dan III masing-masing 48.514 peserta, 213.632 peserta dan 9.210 peserta. Dalam tahun terakhir Repelita IV, Diklat Prajabatan diikuti oleh 57.087 orang, masing-masing 15.264 Tingkat I, 40.898 Tingkat II, dan 925 Tingkat III, sedangkan selama Repelita V, sampai dengan Desember 1992, Diklat Prajabatan diikuti sebanyak 82.028 peserta meliputi Diklat Prajabatan Tingkat I, II dan III masing-masing 15.019 peserta, 41.563 peserta dan 25.446 peserta. Dengan demikian dalam lima tahun terakhir ini, telah diselenggarakan Diklat Prajabatan untuk sebanyak 139.115 orang, terdiri dari Tingkat I sebanyak 30.283 peserta, Tingkat II sebanyak 82.461 peserta, dan Tingkat III sebanyak 26.371 peserta. (b) Diklat Dalam Jabatan Diklat dalam jabatan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya. Perkembangan pelaksanaan diklat dalam jabatan baik yang bersifat penjenjangan maupun yang non penjenjangan dalam lima tahun terakhir ini hingga tahun keempat Repelita V, antara lain adalah sebagai berikut: (i) Diklat Penjenjangan Diklat Penjenjangan terdiri dari 4 tingkatan, yaitu (1) Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Nasional (SESPANAS), (2) Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya (SEPADYA), (3) Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Lanjutan (SEPALA), dan (4) Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Dasar (SEPADA). SESPA dilaksanakan oleh masing-masing departemen SESPANAS diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan peserta XXII/31 dari departemen, LPND, BUMN/D, pemerintah daerah. Penyelenggaraan SESPA, termasuk SESPANAS, sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat dilihat pada Tabel XXII-3. Dari Tabel tersebut dapat dilihat adanya kenaikan yang berarti dalam jumlah peserta Diklat Tingkat SESPA. Pada Repelita I sampai dengan akhir Repelita IV masing-masing adalah 692 orang, 2.082 orang, 2.313 orang dan 2.486 orang, dan dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah 2.132 orang; jumlah peserta SESPA dan SESPANAS dalam lima tahun terakhir sebanyak 2.501 orang. Jumlah lulusan SEPADYA selama Repelita III sebanyak 2.481 orang, Repelita IV sebanyak 4.478 orang, dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita V sebanyak 6.909 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah pegawai negeri yang telah mengikuti SEPADYA adalah sebanyak 8.128 orang. Jumlah lulusan SEPALA selama Repelita III sebanyak 7.199 orang dan 10.452 orang pada Repelita IV. Sedangkan dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita V sebanyak 13.580 orang. Jumlah lulusan SEPALA dalam lima tahun terakhir Repelita V adalah 15.641 orang. Jumlah lulusan SEPADA selama Repelita III adalah sebanyak 3.926 orang, pada Repelita IV berjumlah 6.277 orang. Dari tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita V sebanyak 5.105 orang, dan dalam lima tahun terakhir jumlah pegawai yang mengikuti SEPADA adalah 5.947 orang. (ii) Diklat Non Penjenjangan Pelaksanaan diklat non penjenjangan umumnya dilakukan oleh departemen atau instansi bersangkutan di samping oleh LAN. Di antara diklat non penjenjangan terdapat diklat teknis fungsional, yang para pesertanya terus meningkat sejak Repelita I hingga tahun pertama Repelita V. Dalam tahun terakhir Repelita III jumlah peserta adalah 2.830 orang, selama Repelita IV adalah 11.717 peserta, sedangkan perkembangan dalam lima tahun terakhir hingga tahun keempat Repelita V masing-masing adalah sebanyak 1.720 peserta pada tahun 1988/89, 5.792 peserta pada tahun 1989/90, 1.256 peserta pada tahun 1990/91, 21.646 peserta pada tahun 1991/92, dan 55.020 peserta pada tahun 1992/93. Dalam hubungannya dengan diklat non penjenjangan, sejak Rape XXII/32 TABEL XXII – 3 1) JUMLAH LULUSAN SESPA 1968 – 1992/93 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) *) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan Angka tahunan sementara per Desember 1992 Repelita III mencakup Ditjen Pariwisata dan Ditjen Postel (Repelita IV: Deparpostel) Repelita III mencakup Ditjen Kehutanan (Repelita IV: Departemen Kehutanan) Repelita III mencakup Ditjen Transmigrasi (Repelita IV: Departemen Transmigrasi) Repelita III mencakup Ditjen Koperasi (Repelita IV: Departemen Koperasi) Mulai Repelita IV termasuk Program SESPANAS Termasuk Astek sebanyak 30 orang XXII/33 lita I dikembangkan pula kursus Program Perencanaan Nasional (PPN) khusus bagi para perencana baik instansi pusat maupun daerah yang terdiri dari jenis-jenis kursus sebagai berikut: Perencanaan Jangka Panjang, Perencanaan Proyek-proyek Pembangunan, Perencanaan Proyek-proyek Pertanian dan Agro Industri, dan Perencanaan Proyek-proyek Transportasi. Jumlah peserta PPN secara kumulatif lima tahunan dalam Repelita I sebanyak 86 orang, Repelita II 483 orang, Repelita III 651 orang, dan Repelita IV 651 orang. Data tahunan sejak 1987/88 menunjukkan perkembangan sebagai berikut: 1987/88 sebanyak 133 orang, 1988/89 132 orang; 1989/90 132 orang, 1990/91 131 orang, 1991/92 129 orang, dan 1992/93 sebanyak 123 orang. Sehingga jumlah seluruh peserta PPN sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah sebanyak 2.386 orang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini jumlah peserta Diklat PPN mencapai sekitar 647 orang yang pada umumnya dari daerah-daerah. Sejalan dengan itu, untuk meningkatkan kemampuan Bappeda, sejak Januari tahun 1991 telah diselenggarakan kursus Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Daerah (TMPP) Tingkat Dasar. Program TMPP ini akan melatih sekitar 1.200 Staf Perencana seluruh Bappeda Tingkat II dari seluruh Indonesia dan akan berlangsung selama 3,5 tahun. Penyelenggaraannya dilakukan atas kerja sama OTO Bappenas dengan Departemen dalam Negeri dan 4 Universitas di Indonesia (Unsyiah, UI, UGM dan UNHAS). Dalam dua tahun terakhir ini, sejak tahun 1991 sampai dengan 1992 program TMPP telah dilaksanakan sebanyak 6 angkatan dengan jumlah peserta sebanyak 734 orang, terdiri dari 374 peserta tahun 1991 dan 360 peserta tahun 1992, setiap tahun diselesaikan sebanyak 3 angkatan. Angka-angka di atas memperlihatkan perhatian yang besar dari pemerintah untuk meningkatkan kemampuan aparatur daerah dan pembangunan daerah, serta untuk lebih memantapkan pelaksanaan otonomi daerah yang bertitik berat pada Dati II. Hal ini dibuktikan juga dengan besarnya program Diklat Perencanaan Pembangunan Daerah yang telah dilakukan dalam 5 tahun terakhir ini, yaitu hampir menyamai upaya yang dilakukan dalam 20 tahun sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir ini, diklat perencanaan pembangunan untuk Staf Bappeda mencapai 1.381 orang, peserta diklat serupa dari Repelita I sampai dengan Repelita IV adalah 1.871 orang. Mengingat proses pembangunan sudah dan akan semakin kompleks, XXII/34 maka bukan saja jumlah program dan peserta diklat teknik dan manajemen perencanaan yang ditingkatkan, tetapi juga mutu kurikulum dan proses belajar dan mengajarnya. Dengan berbagai peningkatan dan pendayagunaan dalam program-program diklat di bidang perencanaan pembangunan tersebut, kemampuan aparatur perencanaan pusat maupun daerah dapat ditingkatkan, termasuk dalam identifikasi masalah, potensi serta kebutuhan daerah, dalam penyediaan informasi yang diperlukan, dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan dan penganggaran, serta dalam pemantauan dan pelaporan pelaksanaannya. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan kemampuan Bappeda dan unsur Pemda lainnya dalam menyusun Repelitada serta dalam menyusun rencana, program dan proyek-proyek tahunannya, yang kemudian dituangkan dalam RAPBD. Lancarnya pelaksanaan Program Inpres dan berbagai program dan proyek-proyek pembangunan lainnya di daerah, demikian pula dalam pemantauan dan pelaporan pelaksanaannya, memperlihatkan adanya peningkatan kemampuan dari aparatur daerah dan Bappeda. Selain mengenai bidang perencanaan pembangunan telah juga diadakan beberapa uji coba dan persiapan perencanaan program diklat di bidang kebijaksanaan dan manajemen pembangunan. Langkah-langkah ini akan lebih memantapkan aparatur dalam menghadapi tantangan-tantangan pembangunan dalam era PJPT II. Rincian jenis kursus dan jumlah peserta dalam program diklat di bidang perencanaan pembangunan disajikan dalam Tabel XXII-4. c. Penghasilan Pegawai Negeri Sipil Pemerintah menyadari pentingnya unsur gaji dan penghasilan dalam peningkatan kesejahteraan dan produktivitas pegawai. Karena itu sejak Repelita I telah diadakan perbaikan penghasilan pegawai negeri. Dan tahun 1970 sampai tahun 1976 perbaikan penghasilan didasarkan PP No. 12 Tahun 1967 tentang PGPS 1968. Dalam PP No. 12 Tahun 1967 perbandingan gaji pokok yang terendah dengan yang tertinggi adalah 1 banding 25. Dalam tahun 1977 penghasilan pegawai negeri kembali mengalami perbaikan mendasar yaitu dengan diterbitkannya PP No. 7 Tahun 1977, yang merubah perbandingan gaji pokok yang terendah dengan yang tertinggi menjadi 1 banding 10. XXII/35 TABEL XXII – 4 1) JUMLAH PESERTA KURSUS-KURSUS PROGRAM PERENCANAAN NASIONAL 1968 – 1992/93 1) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan; sedangkan angka kumulatif 5 tahunan pada Repelita IV adalah 651 peserta meliputi kursus Perencanaan Jangka Panjang 193 orang, Proyek-proyek Pembangunan 150 orang, proyek-proyek Pertanian dan Agro Industri 156 dan Proyek-proyek Transportasi 152 orang. 2) Angka tahunan sementara per Desember 1992. XXII/36 Pada tahun 1977, PP No. 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil diganti dengan PP No. 15 Tahun 1985 yang mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dengan langkah kebijaksanaan ini terjadi perubahan mendasar berupa perubahan sistem dan peningkatan gaji pokok pegawai negeri, sehingga perbandingan gaji pokok yang terendah dan tertinggi meningkat secara lebih progresif menjadi 1 banding 8. Gaji pokok terendah menurut PP No. 7 Tahun 1977 adalah sebesar Rp 12.000,-, dan menurut PP No. 15 Tahun 1985 adalah sebesar Rp 33.200,- yang berarti peningkatan sebesar 176%. Sementara itu gaji pokok tertinggi meningkat dari Rp 120.000,- menurut PP No. 7 Tahun 1977 menjadi Rp 265.000,berdasarkan PP No. 15 Tahun 1985, berarti adanya kenaikan sebesar 121%. Hal ini mencerminkan peningkatan pemerataan secara substansial. Sejalan dengan meningkatkan kemampuan keuangan negara dan semakin beratnya tugas dan tanggung jawab yang harus dipikulnya, menjelang Repelita V Pemerintah kembali meningkatkan gaji pegawai negeri sipil dan anggota ABRI. Gaji pegawai negeri sipil dan anggota ABRI, mulai bulan Januari 1989 dinaikkan sebesar 10% dan sejak April 1989 dinaikkan sebesar 15% masing-masing dari penghasilan yang diterimanya pada bulan Desember 1988. Selanjutnya pada bulan Januari 1990 dilakukan pula peningkatan gaji pegawai negeri dan anggota ABRI sebesar 10% dari penghasilan yang diterima pada bulan Desember 1989. Dengan demikian, dalam tahun pertama Repelita V Pemerintah telah dua kali menaikan gaji pegawai negeri , sipil dan anggota ABRI dengan jumlah kenaikan seluruhnya sebanyak 25% (PP No. 50 Tahun 1990). Sejalan dengan langkah-langkah perbaikan penghasilan pegawai negeri tersebut, untuk meningkatkan kesejahteraan para pensiunan, dengan PP No. 51 Tahun 1990 Pemerintah juga melakukan perbaikan penghasilan bagi para pensiun/tunjangan yang bersifat pensiun. Kemudian, berdasarkan PP No. 51 Tahun 1992 tentang Perubahan PP No. 7 Tahun 1977 Tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan PP No. 15 Tahun 1985, sejak 1 April 1992 Pemerintah kembali menaikan gaji pokok dan tunjangan istri/suami pegawai negeri sipil. Menurut PP No. 51 Tahun 1992 ini gaji terendah berubah dari Rp 33.000,-/menjadi Rp 51.000,- atau naik 54,5%, dan gaji tertinggi berubah dari Rp 265.600,- menjadi Rp 399.200,- atau naik 50,3%. Perbandingan antara gaji terendah dengan gaji tertinggi tetap XXII/37 sama yaitu 1 banding 8. Perubahan lainnya adalah mengenai tunjangan istri/suami yaitu dari 5% menurut PP No. 15 Tahun 1985 menjadi 10% menurut PP No. 51 Tahun 1992. Di samping peningkatan gaji pokok, dilakukan pula perbaikan pemberian tunjangan khusus jabatan fungsional tertentu seperti peneliti, hakim, panitera pengadilan, penyuluh pertanian, penyuluh keluarga berencana dan Widyaiswara. Perbaikan penghasilan juga telah beberapa kali bagi pemegang jabatan struktural, yang terakhir dilakukan dengan diterbitkannya PP No. 16 Tahun 1987. Selain itu, untuk meningkatkan efisiensi pelayanan dalam pembayaran gaji pegawai, telah pula dilakukan pula pembakuan prosedural, yaitu melaksanakan sistem pembayaran gaji PNS khususnya Gol. III dan IV melalui Bank di 12 Propinsi. Sementara itu, dalam tahun kedua Repelita V, Pemerintah juga telah memberikan tunjangan kompensasi bagi pegawai negeri yang bertugas di bidang persandian. Dalam tahun ketiga Repelita V telah dilakukan perbaikan Tabungan Hari Tua (THT) dari PT Taspen sebesar 17% yang dibayarkan terhitung mulai tanggal 1 Juli 1991 serta ditetapkan tunjangan jabatan bagi Hakim dan Panitera pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama. Kemudian, dalam tahun keempat Repelita V, tunjangan Istri/Suami telah ditingkatkan dari 5% menurut PP 15 Tahun 1985 menjad i 10% sesuai dengan PP No. 51 Tahun 1992 dan berlaku sejak 1 April 1992. Selain itu, telah ditetapkan pula tunjangan bahaya nuklir bagi PNS di lingkungan BATAN, dan tunjangan pengabdian PNS yang bekerja dan bertempat tinggal di wilayah terpencil. Menjelang tahun terakhir Repelita V, kembali Pemerintah secara progresif melakukan perbaikan struktur penghasilan pegawai negeri dan ABRI serta tunjangan jabatan struktural pegawai negeri sipil. Ketentuan ini berlaku sejak Januari 1992 (SE Direktur Jenderal Anggaran No. SE-2/A/522/0193, tanggal 7 Januari 1993), dengan perbaikan struktur sebagai berikut: gaji pokok pegawai negeri sipil yang terendah meningkat dari Rp 51.000,- menjadi Rp 78.000,-, dan gaji tertinggi meningkat dari Rp 399.200,- menjadi Rp 537.600,-. Sedangkan perbaikan tunjangan struktural antara lain Eselon terendah (Vb) meningkat dari Rp 14.000, menjadi 50.000,- dan Eselon tertinggi (Ia) dari Rp 166.000,- menjadi Rp 500.000,-. Selain untuk jabatan struktural, tunjangan jabatan fungsional XXII/38 juga mengalami perbaikan struktur; antara lain untuk dosen Perguruan Tinggi, peneliti, widyaiswara, tenaga kesehatan, tenaga persandian, penyuluh Keluarga Berencana, dan lain-lain. d. Manajemen Informasi Kepegawaian Pendayagunaan sistem informasi kepegawaian ditujukan agar tersedia data kepegawaian yang lengkap, dapat dipercaya dan mudah ditemukan, sehingga berbagai keputusan yang diperlukan dalam rangka pembinaan kepegawaian dapat dilakukan secara tepat dan lebih cepat. Dalam hubungan ini perbaikan informasi kepegawaian telah dilakukan secara sistematis sejak Repelita I, dalam lima tahun terakhir ini telah dilaksanakan secara lebih intensif langkah-langkah antara lain sebagai berikut: (1) Penetapan Nomor Induk Pegawai Negeri Sipil (NIP); (2) Pemberian Kartu Pegawai Negeri Sipil (Karpeg); (3) Perekaman data Pegawai Negeri Sipil berikut perkembangan ke dalam pita magnetik; (4) Penyusunan berkas Pegawai Negeri Sipil ke dalam almari khusus; (5) Penyusunan nama-nama Pegawai Negeri Sipil menurut abjad; (6) Pemberian Kartu Isteri/Suami Pegawai Negeri Sipil (KARIS/KARSU); (7) Penyajian jumlah Pegawai Negeri Sipil menurut umur, kepangkatan, golongan ruang, kedudukan, dan wilayah kerja sebagai bahan informasi dan bahan perencanaan Anggaran Belanja Pegawai. Mengingat jumlah pegawai negeri sipil sekarang telah mencapai 3.950.126 orang yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, untuk mening katkan efisiensi administrasi kepegawaian, pada tahun ketiga Repelita V telah dibangun Kantor Perwakilan BAKN di Ujung Pandang. Dengan demikian, sampai dengan tahun keempat Repelita V, BAKN telah memiliki 4 Kantor Perwakilan yaitu di Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Ujung Pandang. Diharapkan dengan pembangunan Kanwil-kanwil baru tersebut, pengelolaan administrasi dan pembinaan pegawai negeri dapat lebih didesentralisasikan sehingga dapat meningkatkan efisiensi pelayanan kepegawaian antara lain untuk mempercepat proses kenaikan pangkat, pensiun dan mutasi pegawai. Di samping itu, untuk mendukung proses pengolahan data dan informasi kepegawaian untuk berbagai kebutuhan dalam pengambilan keputusan sejak tahun 1983 BAKN telah dilengkapi dengan perangkat komputer. Untuk lebih mendayagunakan komputer dan terminal tersebut, XXII/39 telah dirancang suatu Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian Republik Indonesia (SIMKRI) yang dapat menghubungkan BAKN Pusat di Jakarta dengan seluruh Kanwil tersebut di atas serta dengan berbagai Instansi terkait antara lain Kantor Menpan, LAN, Departemen Keuangan, PT. Taspen, Sekretariat Kabinet, Bappenas, dan Perum Husada Bakti. e. Penyempurnaan gawaian Peraturan Perundang-undangan Kepe- Upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian pada hakekatnya dilandasi semangat dan diarahkan pada tujuan untuk menunjang upaya mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa, efisien dan efektif dalam pelaksanaan tugas-tugasnya yang dilandasi dengan Pancasila dan UUD 1945. Upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan tersebut antara lain meliputi ketentuanketentuan tentang administrasi kepegawaian, disiplin pegawai, pendidikan dan pelatihan pegawai, pembinaan karier pegawai, dan lain-lain. Selama Repelita I, pendayagunaan kepegawaian didasarkan pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian. Karena tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan kebutuhan pembangunan, maka disiapkan rancangan undang-undang tentang pokok-pokok kepegawaian sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 1961 tersebut, hasilnya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian. Sejak diberlakukannya UU tersebut sampai dengan tahun keempat Repelita V telah ditetapkan sebanyak 216 peraturan terdiri dari 114 Peraturan Pemerintah (PP) dan 102 Keputusan Presiden (Keppres). Dari 216 peraturan tersebut, sebanyak 32 PP dan 21 Keppres diterbitkan pada Repelita III, 44 PP dan 33 Keppres pada Repelita IV, 17 PP dan 35 Keppres pada Repelita IV, 4 PP dan 4 Keppres pada TA 1989/90, 6 PP pada TA 1990/91, 1 PP dan 6 Keppres pada TA 1991/92 serta 10 PP dan 3 Keppres pada TA 1992/93 (sampai dengan Nopember 1992). Dengan penyempurnaan peraturan-peraturan tersebut, maka pendayagunaan bidang kepegawaian dapat ditingkatkan dan diselenggarakan secara tertib dan teratur, antara lain dalam penetapan formasi dan pengadaan pegawai; pembinaan karier pegawai yang terdiri dari kenaikan pangkat pegawai, pengembangan jabatan XXII/40 fungsional; pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai; dan lain-lain. Sebagian dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tersebut disajikan dalam Tabel XXII-5. f. Pembinaan di Luar Kedinasan (KORPRI) Berbagai upaya pendayagunaan kepegawaian seperti diuraikan di atas, telah dapat meningkatkan kwalitas aparatur, baik sumber daya manusia maupun sistem administrasinya, sehingga lebih meningkatkan kemampuan dan kelancaran penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha. Hal tersebut telah memberikan dampak yang besar terhadap keberhasilan pembangunan. Meningkatnya kelancaran dan efisiensi pelayanan kepada dunia usaha misalnya, bukan saja telah dapat meningkatkan investasi dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan swasta tetapi juga penerimaan pajak dan dana pembangunan pemerintah; meningkatnya sarana dan prasarana pelayanan dasar di bidang kesehatan dan pendidikan telah berhasil meningkatkan angka harapan hidup menjadi 61,5 tahun pada tahun 1990, demikian juga angka partisipasi pendidikan di tiap jenjang pendidikan. Kinerja-kinerja pembangunan lainnya seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, menurunnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, tercapai dan dapat dipertahankannya swasembada pangan serta berhasilnya penyelenggaraan Keluarga Berencana dan lain-lain, sebagaimana diuraikan pada Bab-bab terdahulu, tidak lepas dari keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan dan kualitas aparatur. Selain langkah-langkah yang ditujukan kepada "inner system" dari aparatur, ditempuh pula langkah-langkah yang sifatnya diluar kedinasan. Dalam hubungan ini untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia guna lebih meningkatkan perjuangan, pengabdian, serta kesetiaannya kepada cita-cita perjuangan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diupayakan pembentukan wadah pembinaan pegawai di luar kedinasan. Hal tersebut akhirnya terwujud dengan terbentuknya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) berdasarkan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1971 tanggal 29 Nopember 1971. Adapun yang merupakan tujuan KORPRI antara lain adalah: (1) ikut XXII/41 TABEL XXII – 5 1) PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 1974/75 – 1992/93 XXII/42 XXII/43 XXII/44 XXII/45 XXII/46 XXII/47 XXII/48 XXII/49 memelihara dan memantapkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) ikut menciptakan aparatur pemerintah yang lebih berdaya guna dan berhasil guna, bersih, dan berwibawa serta mampu melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan; (3) membina watak, memelihara rasa persatuan dan kesatuan secara kekeluargaan, mewujudkan kerja sama yang bulat dan jiwa pengabdian kepada masyarakat, meningkatkan kemampuan, disiplin, dan keteladanan para anggota, sehingga makin mampu melayani, menumbuhkan prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta peka dan tanggap terhadap pandangan-pandangan dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, dan mengembangkan rasa kesetiaan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, KORPRI mempunyai tugas pokok, sebagai berikut: (1) mensukseskan pelaksanaan program-program Pemerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 dan GBHN; (2) membina korps baik terhadap anggotanya masing-masing maupun terhadap keseluruhan korps, dengan memanfaatkan hubungan fungsional yang telah ada, sehingga terwujud kesatuan landasan berfikir, ucapan, dan tindakan; (3) membina dan memelihara mutu serta kesejahteraan rohani dan jasmani para anggota sehingga menjadi pegawai Republik Indonesia yang bermoral tinggi, berwibawa, berkemampuan baik, berdaya guna, dan berhasil guna. Dalam lima tahun terakhir ini, guna menunjang suksesnya pelaksanaan panca krida kabinet pembangunan telah dilakukan berbagai kegiatan disemua tingkat secara berencana dan terarah, dengan antara lain memberikan penjelasan kepada para anggota, agar setiap anggota KORPRI memahami dan melaksanakan secara konsisten sesuai dengan tugasnya masing-masing. 3. Pendayagunaan Bidang Ketatalaksanaan Ketatalaksanaan akan menentukan efisiensi dan kelancaran pelaksanaan pekerjaan, saling hubungan dalam dan antar lembaga, serta pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat dan dunia usaha. Sebab itu sejak sekitar seperempat abad lebih terakhir ini, pendayagunaan ketatalaksanaan telah dilakukan secara berkesinambungan, baik yang XXII/50 menyangkut administrasi umum maupun administrasi kebijaksanaan pembangunan. Upaya tersebut lebih dimantapkan lagi dalam lima tahun terakhir ini, sejak 1988/89 hingga tahun keempat Repelita V, antara lain dengan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang lebih maju, sehingga semakin meningkatkan kemampuan, kelancaran dan efisiensi, baik dalam aparatur pemerintah sendiri maupun dalam pelayanan aparatur kepada masyarakat. Hal tersebut telah meningkatkan dinamika, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial. a. Administrasi Umum Untuk meningkatkan kelancaran dan efisiensi pelaksanaan pekerjaan dan saling hubungan di dalam dan antar lembaga pemerintah, dalam lima tahun terakhir ini semakin ditingkatkan langkah-langkah penyempurnaan peraturan, ketentuan dan prosedur di bidang administrasi umum, antara lain mengenai surat menyurat, pengelolaan keuangan; pengadaan, pemeliharaan dan inventarisasi barang milik pemerintah; serta sistem pembukuan dan akuntansi pemerintah. Di samping itu ditingkatkan pula kelancaran dan efisiensi pelayanan umum kepada masyarakat antara lain mengenai pencatatan sipil, pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin Mengemudi (SIM). Kegiatan pendayagunaan yang dilakukan dalam Repelita I, meliputi penyempurnaan bidang administrasi keuangan dan administrasi pengadaan barang pemerintah, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk pelaksanaan proyek pembangunan, termasuk pelaksanaan inventarisasi kekayaan milik negara. Dalam Repelita II dan III langkah-langkah tersebut terus ditingkatkan. Dalam hubungan dengan administrasi keuangan, dalam Repelita II dilakukan berbagai perbaikan administrasi, perpajakan, demikian juga di bidang penerimaan bukan pajak. Sejak Repelita IV pendayagunaan administrasi umum khususnya dalam rangka pelayanan kepada masyarakat mulai dilakukan penggunaan teknologi komputer, seperti untuk pembuatan KTP, SIM, STNK, pelaksanaan sistem Catatan Sipil dan sebagainya. Dalam lima tahun terakhir ini, upaya tersebut semakin ditingkatkan dan diperluas sampai ke daerah-daerah, yang dipergunakan pula untuk menunjang penyempurnaan peraturan, surat menyurat, pengelolaan keuangan, pengadaan pemeliharaan serta XXII/51 inventarisasi barang milik pemerintah, sistem perbukuan dan akuntansi pemerintah, inventarisasi kekayaan milik negara, dan sebagainya. Selain itu, telah disempurnakan pula sistem pengelolaan keuangan dengan lebih memberikan otonomi kepada unit-unit pelayanan masyarakat seperti rumah sakit, perguruan tinggi, puskesmas dan lembaga-lembaga penelitian. Selanjutnya dalam rangka pemberian otonomi kepada Unit Pelayanan Teknis (UPT) maupun Non UPT dalam mengelola manajemen keuangan dan administrasi telah dikeluarkan Keppres No. 38 Tahun 1991 tentang Pemantapan Unit Swadana dan Tata Pengelolaannya, yang merupakan pemberian otonomi kepada UPT maupun non UPT dalam mengelola manajemen keuangan dan administrasi yang lebih luas. Sejak ditetapkannya sampai dengan tahun keempat Repelita V telah ditetapkan beberapa unit swadana antara lain 1 Puslitbang dan 1 Pusat Pengembangan Tenaga Migas di Departemen Pertambangan dan Energi, 4 rumah sakit di Departemen Kesehatan, 1 Pusdiklat, 1 Puslahta dan Pemetaan serta 3 Puslitbang di Departemen Pekerjaan Umum. Selain kelancaran pelayanan kepada masyarakat semakin meningkat, dengan langkah ini, mobilisasi dana telah pula dapat ditingkatkan dengan cara yang lebih efisien. b. Administrasi Kebijaksanaan Pembangunan Pendayagunaan administrasi kebijaksanaan pembangunan pada pokoknya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan memperlancar pelayanan kepada masyarakat, khususnya dunia usaha. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan secara berkesinambungan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, upaya-upaya tersebut lebih ditingkatkan, dan lebih dikenal dengan langkah-langkah "deregulasi dan debirokratisasi", ditujukan untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi, meningkatkan daya saing komoditi ekspor non migas, dan menciptakan iklim yang mendorong masyarakat untuk meningkatkan prakarsa dan peran sertanya dalam kegiatan pembangunan baik dalam bidang ekonomi maupun sosial, terutama dalam kegiatan yang menunjang peningkatan ekspor non migas, seperti penanaman modal, perdagangan, perhubungan khususnya pelayaran dan telekomunikasi, serta industri pengolahan. Dalam rangka itu dilakukan pula langkah-langkah penyempurnaan di bidang perpajakan dan perbankan. XXII/52 Di bidang penanaman modal, upaya meningkatkan efisiensi dan memperlancar pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha, sebagaimana diuraikan pada bab dunia usaha, dalam lima tahun terakhir hingga tahun keempat Repelita V lebih ditingkatkan dengan penyempurnaan berbagai peraturan pelaksanaan Undang-undang PMA dan PMDN (UU No. 1 Tahun 1967 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo No. 12 Tahun 1970). Untuk meningkatkan koordinasi dalam penyelenggaraan dan proses penyelesaian penanaman modal, telah dibentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 1973 sebagai satu pusat pelayanan kegiatan penanaman modal menggantikan Panitia Teknis Penanaman Modal yang dibentuk dengan Keppres No. 286 Tahun 1968. Kedudukan, tugas, fungsi dan susunan organisasi BKPM ini terus disempurnakan, terakhir dengan Keppres No. 25 Tahun 1991. Dengan Inpres No. 5 Tahun 1984 telah dilakukan penyederhanaan prosedur perizinan penanaman modal yang harus dipenuhi para calon investor sebelumnya berjumlah 36 buah, disederhanakan menjadi 15 buah, dan pada bulan April 1985 disederhanakan lagi menjadi 14 buah. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Paket 6 Mei 1986 kesempatan untuk memperluas penanaman modal dan perpanjangan izin PMA makin terbuka, dan jangka waktu izin perusahaan PMA yang semula dibatasi hanya sampai 30 tahun sejak berproduksi, dapat diperpanjang 30 tahun lagi sejak tambahan investasinya disetujui pemerintah. Selain penyederhanaan prosedur perizinan, dalam rangka upaya meningkatkan penanaman modal tersebut juga telah ditempuh langkah penetapan Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan Keppres No. 21 Tahun 1989 dan diperbaharui dengan Keppres No. 23 Tahun 1991 dan terakhir disempurnakan dengan Keppres No. 32 Tahun 1992, sebagai pengganti DSP yang telah berlaku pada tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu telah diterbitkan Paket 3 Juni 1991 sebagai penyempurnaan Paket 28 Mei 1990 yang berisi antara lain peninjauan kembali daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, dan penyederhanaan terhadap bea masuk dan bea masuk tambahan. Dengan penyederhanaan ini maka proses perizinan penanaman modal lebih cepat sehingga dapat mendorong dan meningkatkan jumlah investasi, baik melalui PMA maupun PMDN. Usaha peningkatan ekspor non migas, juga dilakukan melalui penyederhanaan berbagai prosedur pelaksanaan ekspor dan impor, antara lain melalui p enetapan Inp res No . 4 Tahun 19 85, yang antara lain XXII/53 menetapkan: (a) pengurangan dan penghapusan biaya kepelabuhanan, (b) penyederhanaan prosedur kepabeanan, dan (c) perubahan peranan bea cukai. Langkah-langkah tersebut secara operasional meliputi antara lain, pemeriksaan barang yang semula dilakukan oleh Bea Cukai di pelabuhan ekspor diganti oleh Surveyor swasta (SGS) maupun Sucofindo yang ditunjuk Pemerintah di negara tujuan ekspor; pengurusan dokumen ditempatkan dalam satu atap dan dapat diselesaikan dalam beberapa jam; barang dapat segera naik ke kapal untuk dikirim tanpa harus digudangkan lebih dulu. Sedangkan dalam hal impor, pemeriksaan barang dilakukan di tempat muat barang. Selain itu ketentuan AVI (Pemberitahuan Muat Barang Antar Pulau) ditiadakan di seluruh Indonesia. Langkah tersebut telah dapat memper lancar dan meningkatkan kegiatan perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar pulau. Dalam kegiatan produksi dan perdagangan hasil industri telah dikeluarkan Paket 15 Januari 1987 (Pakjan) yang mencakup industri tekstil, besi, baja, dan mesin listrik serta kendaraan bermotor. Pelaksanaan Pakjan ini dituangkan dalam SK Menteri Keuangan No. 20/KMK.05/ 1987 berisikan pembebasan atau keringanan bea masuk, dan No. 23/KMK.05/1987 memuat penyempurnaan klasifikasi barang dalam pos tarif tertentu, dan SK Menteri Perdagangan No. 09/KP/I/ 1987 mengenai penyempurnaan ketentuan tata niaga di bidang impor. Sementara itu dalam hubungannya dengan tata niaga ekspor-impor berbagai komoditi pertanian dan industri, serta tarif bea masuk dan bea masuk tambahan komoditi-komoditi pertanian, obat-obatan dan sejumlah komoditi industri manufaktur telah diterbitkan Paket 28 Mei 1990 meliputi langkah-langkah penghapusan tata niaga komoditi ekspor, sehingga barang-barang dapat langsung diekspor oleh eksportir umum yang telah mempunyai SIUP. Di samping itu juga diadakan penyempurnaan mengenai mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan, serta tata niaga impor atas sejumlah bahan baku/penolong yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Langkah kebijaksanaan deregulasi terakhir dalam lima tahun ini adalah Paket 7 Juli 1992 (Pakjul), mencakup: (1) tata niaga impor, (2) bea masuk dan bea masuk tambahan, (3) barang modal bekas, (4) tenaga kerja asing, (5) daftar negatif investasi, (6) Hak Guna Usaha untuk penanaman modal asing dan patungan, (7) tata cara penanaman modal, (8) site plan, IMB, Izin Undang-undang Gangguan (UUG) di kawasan industri, XXII/54 (9) Pelayanan site plan, IMB, dan izin UUG di luar kawasan industri , (10) Pengurusan izin lokasi dan perolehan tanah. Dengan berbagai langkah deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang tersebut, arus penanaman modal terus meningkat dalam lima tahun terakhir ini, sedangkan perkembangan ekspor non migas, sebagaimana telah diuraikan dalam Bab Neraca Pembayaran dan Perdagangan Luar Negeri, menunjukkan hasil-hasil yang lebih cepat dan lebih besar lagi. Dalam dasa warsa terakhir ini ekspor Indonesia tidak lagi didominasi komoditi migas, sejak 1987/88 peranan ekspor non migas telah berada di atas ekspor migas. Selain itu, mulai Agustus tahun keempat Repelita V ekspor non migas Indonesia telah berhasil untuk pertama kalinya dalam sejarah perdagangan luar negeri kita mencapai nilai di atas 2 miliar USD per bulan. Dalam pada itu, untuk mendorong bank-bank mengoptimalkan pengerahan dana masyarakat dan mengurangi ketergantungannya pada kredit likuiditas Bank Indonesia, maka telah dikeluarkan Paket 1 Juni 1983 yang antara lain berisi penghapusan sistem penetapan pagu kredit perbankan. Dengan adanya ketentuan tersebut, Bank Indonesia mengatur j umlah uang beredar melalui penetapan target uang primer, melalui penetapan pagu likuiditas minimum, penyediaan fasilitas diskonto dan kebijaksanaan pasar terbuka yang dilakukan dengan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU); serta kebebasan untuk menetapkan suku bunga deposito berjangka, kecuali untuk deposito 24 bulan yang suku bunganya ditetapkan 12% setahun, sebelumnya suku bunga deposito berjangka bank-bank pemerintah tidak mengalami perubahan yaitu sekitar 5%-6% setahun. Selain itu, kepada penabung diberikan fasilitas perpanjangan secara otomatis terhadap deposito yang telah jatuh tempo serta fasilitas berupa deposito atas nama dan atas unjuk. Dalam rangka lebih menggalakkan pengerahan dana masyarakat, meningkatkan efisiensi perbankan dan lembaga-lembaga keuangan lainnya, serta meningkatkan kemampuan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mendorong iklim pengembangan pasar modal, diterbitkan Paket 24 Desember 1987 (Pakdes) dan Paket 27 Oktober 1988 (Pakto) yang pada dasarnya berisi langkah-langkah penyederhanaan prosedur pembukaan kantor bank, pemberian izin pembukaan kantor cabang lembaga keuangan bukan bank di luar Jakarta, kemudahan dalam pendirian bank swasta baru XXII/55 dan bank perkreditan rakyat, penurunan likuiditas wajib minimum serta penyempurnaan sistem operasi pasar terbuka. Kemudian, ditetapkan pula Paket 21 Nopember 1988 (Paknop) dan Paket 20 Desember 1988 (Pakdes). yang bertujuan antara lain, meningkatkan peran serta dan kemampuan pelayaran nasional serta meningkatkan pelayanannya kepada produsen dan masyarakat umum, dan meningkatkan pengerahan dana masyarakat melalui penyempurnaan iklim pengembangan pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Selanjutnya dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang berisi perubahan peraturan tentang peleburan usaha dan penggabungan usaha bank, penyempurnaan ketentuan pendirian dan usaha BPR, pemilikan modal bank campuran, penjelasan mengenai kredit ekspor dan modal sendiri serta penjelasan tentang batas maksimum pemberian kredit. Beberapa paket lain dibidang perbankan adalah Paket 29 April 1989, Paket 5 Oktober 1989 mengenai ketentuan jual beli valuta asing; Paket 29 Januari 1990 pengurangan ketergantungan bank dan lembaga keuangan secara bertahap pada peranan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dimaksudkan untuk mengendalikan salah satu sumber inflasi; dan Paket 28 Pebruari 1991 mengatur mengenai penyempurnaan atas ketentuan pengawasan dan pembinaan bank, termasuk penyempurnaan atas ketentuan di bidang perkreditan. Hasil-hasil positif yang telah dicapai dengan langkah-langkah tersebut di atas, antara lain adalah (1) dana perbankan, terutama deposito berjangka telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Dengan terjadinya perubahan suku bunga dan kemudahan yang ditawarkan tersebut, maka bank-bank dapat menjaring lebih banyak dana dari masyarakat sehingga ketergantungan bank-bank kepada kredit likuiditas Bank Indonesia menjadi berkurang, (2) mekanisme pasar uang mulai berkembang ke arah yang lebih baik sehingga suku bunga lebih mencerminkan perkembangan dan keadaan pasar, serta fragmentasi pasar menjadi berkurang, (3) dengan adanya persaingan dalam investasi perbankan terdapat indikasi bahwa bank bank lebih berusaha untuk meningkatkan efisiensi kerjanya. Selain itu, untuk meningkatkan penerimaan pajak, sistem dan administrasi perpajakan yang telah disempurnakan melalui UU No. 6, 7 dan 8 Tahun 1983, antara lain berisikan penyesuaian tarif pajak, penyederhanaan formulir dan kebebasan penghitungan kepada wajib pajak, XXII/56 bukan saja dalam rangka pajak pertambahan nilai (PPN) tetapi juga pajak penghasilan (PPh), terus didayagunakan pelaksanaannya. Langkah-langkah pendayagunaan aparatur perpajakan tersebut telah berhasil meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam lima terakhir ini penerimaan pajak meningkat berturut-turut dari 1988189 sampai dengan 1992/93 masing-masing sebesar Rp 8.454,7 miliar, Rp 11.324,4 miliar, Rp 14.218,0 miliar, Rp 18.506,5 miliar dan Rp 21.962,2 miliar. Sistem perpajakan yang penting dan langsung dipungut serta selanjutnya dapat dipergunakan oleh Pemerintah Daerah telah diterbitkan dalam tahun 1985 berupa UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan berikut peraturan pelaksanaannya berupa PP No. 6 Tahun 1985 dan PP No. 47 Tahun 1985. Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagian besar (81 %) diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Perubahan ini telah membuahkan hasil positif berupa kenaikan yang sangat berarti dalam penerimaan PBB, apabila dalam tahun 1987/88 baru mencapai Rp 275,1 miliar, dalam tahun 1991/92 telah mencapai Rp 874,6 miliar dan dalam tahun 1992/93 direncanakan sebesar Rp 990,6 miliar. 4. Sistem Perencanaan, Pelaksanaan, Pengendalian Proyek Pembangunan Pemantauan dan Sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian mempunyai peran penting dalam manajemen pembangunan nasional, dan akan menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara keseluruhan. Sebab itu, sejak tahun pertama Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, pendayagunaan sistem perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengendalian proyek pembangunan telah dilaksanakan secara berkesinambungan, dan dalam lima tahun terakhir ini makin ditingkatkan. Langkah-langkah perbaikan meliputi bidang administrasi perencanaan dan penganggaran, administrasi pelaksanaan dan pembiayaan, dan administrasi pemantauan serta pengendalian pelaksanaan. Bidang-bidang tersebut di atas, diatur dalam suatu Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. Hingga tahun keempat Repelita V telah ditetapkan 13 buah Keppres, yaitu Keppres No. 33/1969, Keppres No. 24/1970, Keppres No. 14/1971, Keppres No. 28/1972, , Keppres No. 11/1973, Keppres No. 17/1974, Keppres No. 7/1975, Keppres No. 14/1976, Keppres No. 12/1977, Keppres No. 14/1979, Keppres No . 14A/1980, dan Keppres XXII/57 No. 18/1981. Pelaksanaan APBN dalam lima tahun terakhir ini dilakukan dengan Keppres 29/1984. Dengan langkah-langkah pendayagunaan tersebut, maka kemampuan sistem perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semakin meningkat. Hal ini ditunjukan dengan terselesaikannya secara efektif penyu sunan rencana dan pelaksanaan pembangunan, sekalipun jumlah dan jenis proyek serta volume anggaran terus meningkat. Apabila dalam Repelita I jumlah anggaran pembangunan rupiah murni dan bantuan proyek hanya Rp 1.163,9 miliar dalam Repelita II, Repelita III, Repelita IV, dan Repe lita V hingga tahun keempat masing-masing mencapai Rp 8.339 miliar, Rp 32.811 miliar, Rp 46.056,5 miliar, Rp 72,264,6 miliar. Sedangkan jumlah DIP yang dalam Repelita I hanya 11.806, dalam Repelita II, Repe lita III, Repelita IV, dan Repelita V hingga tahun keempat mencapai jumlah masing-masing 15.986 DIP, 25.286 DIP, 21.306 DIP, dan 15.507 DIP. Menurunnya jumlah DIP dalam kurun waktu sekitar lima tahun terakhir, padahal anggarannya meningkat, menunjukkan meningkatnya kemampuan dan efisiensi perencanaan dan pengelolaan anggaran. a. Administrasi Perencanaan dan Penganggaran Dalam sistem perencanaan pembangunan kita, setiap Repelita dijabarkan lebih jauh dalam rencana operasional tahunan yang terdiri dari sektor, sub sektor, program-program dan dituangkan dalam RAPBN. Selanjutnya program-program pembangunan tersebut dijabarkan dalam berbagai proyek-proyek pembangunan yang dituangkan dalam Daftar Usulan Proyek (DUP) ataupun Daftar Isian Proyek (DIP) yang pada pokoknya memuat sasaran, pokok-pokok kegiatan, volume pekerjaan dan pembiayaan proyek yang diperlukan dalam satu tahun anggaran, serta lokasi proyek. Usulan proyek tersebut dibuat dan diajukan oleh Departemen/Lembaga kepada Bappenas dan Departemen Keuangan sesuai sektor/sub sektor yang menjadi tanggung jawab masing-masing, dengan memperhatikan permasalahan dan kebutuhan daerah melalui instansi vertikalnya masing-masing. Dalam upaya untuk lebih menampung aspirasi daerah dalam proses perencanaan dan penganggaran, sejak tahun pertama Repelita I telah diselenggarakan Forum Konsultasi Nasional yang dikoordinasikan oleh Bappenas dan Departemen Dalam negeri. Forum konsultasi tersebut didahului oleh musyawarah-musyawarah pembangunan daerah pada tingkat XXII/58 Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, dan Konsultasi Regional antar Propinsi dengan mengikutsertakan bukan saja unsur aparatur daerah, tetapi juga unsur aparatur pusat di daerah. Dengan demikian sistem perencanaan pembangunan kita telah memadukan sistem dan proses perencanaan dari bawah dan dari atas, sehingga diperoleh informasi yang lebih tepat mengenai aspirasi daerah dan dicapai keputusan-keputusan yang lebih optimum. Untuk lebih memperlancar proses perencanaan dan pengendalian format DIP terus disempurnakan sehingga lebih ringkas dan jelas. Sejak Repelita I sampai dengan tahun pertama Repelita III, DIP terdiri dari 6 halaman/bagian. Kemudian, sejak tahun kedua Repelita III format DIP lebih disederhanakan yaitu menjadi 3 halaman/bagian; dan terakhir pada tahun keempat Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V DIP hanya terdiri 2 halaman/bagian. Sejak tahun kedua Repelita III hingga kurun waktu lima tahun terakhir ini, untuk memperjelas sasaran dan kegiatan yang harus dilakukan DIP dilampiri dengan Petunjuk Operasional (PO) dan Lembaran Kerja (LK). PO merupakan bagian tidak terpisahkan dari DIP dan diterbitkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat setingkat pada Departemen/Lembaga. Isinya berupa petunjuk pelaksanaan yang harus ditaati oleh Pemimpin Proyek. Sedangkan LK merupakan dokumen pembantu dari DIP yang berisikan uraian rinci mengenai pembiayaan proyek. Selain itu PO dan LK tersebut dipergunakan pula sebagai dasar penilaian dan pemberian persetujuan oleh Bappenas dan Direktorat Jenderal Anggaran atas DUP/DIP yang diajukan oleh Departemen/Lembaga. Untuk dapat melakukan penilaian tersebut, sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V disusun pula satuan harga oleh Bappenas dan Departemen Keuangan berdasarkan perkembangan keadaan ekonomi dan masukan-masukan dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta. Untuk satuan harga konstruksi bangunan, digunakan pula pedoman dari Departemen Pekerjaan Umum. Di samping DUP/DIP, PO dan LK terdapat pula ketentuan tentang Surat Keputusan Otorisasi (SKO) sebagai dasar untuk dapat mengeluarkan dana atas beban APBN dan ketentuan penggunaan Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP). Sejak Repelita I sampai dengan akhir Repelita II, SKO diterbitkan oleh Departemen/Lembaga berdasarkan DIP yang telah disahkan oleh Departemen Keuangan dan Bappenas. Pada awal Repelita III, XXII/59 DIP diberlakukan pula sebagai SKO tetapi hanya untuk proyek-proyek yang tidak mendapat bantuan luar negeri. Kemudian, sejak tahun kedua Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V seluruh DIP termasuk untuk proyekproyek yang mendapat bantuan luar negeri berlaku sebagai SKO. Penggunaan SIAP dimaksudkan agar dana yang belum terpakai pada tahun anggaran sebelumnya dapat , digunakan untuk menyelesaikan proyek yang bersangkutan pada tahun anggaran berikutnya. Ketentuan mengenai SIAP ini mulai diberlakukan pada tahun kedua Repelita I. Sejak tahun ini sampai dengan tahun ketiga Repelita III, SIAP dapat digunakan tetapi tanpa penjelasan mengenai pembatasan waktu (tahun anggaran) penggunaannya. Sejak tahun keempat Repelita I ketentuan-ketentuan tentang SIAP diperjelas dengan adanya SIAP " mati" yaitu SIAP yang memang tidak akan digunakan lagi untuk maksud yang direncanakan. Perkembangan yang penting mengenai SIAP ini antara lain sisa uang untuk dipertanggungjawabkan (UUDP) tidak lagi diperhitungkan. Sejak tahun keempat Repelita III sampai dengan tahun kelima Repelita IV, ketentuan mengenai SIAP yang dapat digunakan kembali untuk tahun anggaran berikutnya dibatasi selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun anggaran berturut-turut. Sejak tahun pertama sampai dengan tahun kedua Repelita IV, ketentuan tersebut diubah lagi menjadi 2 (dua) tahun. Selanjutnya, akibat timbulnya SIAP yang terus meningkat, maka sejak tahun ketiga Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V, penggunaan SIAP Rupiah Murni tidak diperkenankan lagi. Untuk proyek-proyek yang memerlukan dana luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman, Departemen/lembaga menyampaikan usulan proyek tersebut yang disertai studi kelayakan kepada Bappenas, kemudian dievaluasi dan hasilnya dikumpulkan dalam suatu dokumen yang disebut "Buku Biru" (Blue Book). Buku Biru ini terdiri atas daftar usulan bantuan teknik (List of Technical Assistance Proposal) dan daftar usulan bantuan proyek (List of Project Proposal). Buku Biru merupakan salah satu dokumen yang disampaikan Pemerintah Indonesia kepada negara/Lembaga keuangan badan internasional pada pertemuan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) untuk memperoleh dana hibah dan pinjaman lunak yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan. Pertemuan IGGI diseleng - XXII/60 garakan sejak tahun 1967 sampai dengan 1991 diketuai oleh Pemerintah Belanda, kemudian pada tahun 1992 IGGI dibubarkan dan diganti dengan Consultative Group for Indonesia (CGI) diketuai oleh Bank Dunia. b. Administrasi Pelaksanaan dan Pembiayaan Pendayagunaan administrasi pelaksanaan dan pembiayaan bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu, ketertiban dan kelancaran pengadaan barang dan jasa pemerintah termasuk pengambilan keputusan pemenang lelang; penentuan lokasi lelang; perubahan dan pergeseran (revisi ) anggaran proyek; dan penatausahaan dana luar negeri. Kesemuanya itu diarahkan untuk meningkatkan kelancaran dan efisiensi pelaksanaan pembangunan dengan pengendalian anggaran serta pertanggungjawaban keuangan yang mantap. (1) Pengadaan Barang dan Jasa Untuk lebih meningkatkan efisiensi dan kelancaran pengadaan barang dan jasa yang diperlukan pemerintah, telah dilakukan beberapa kali penyempurnaan mengenai ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pengadaan barang dan jasa. Penyempurnaan sistem dan mekanisme tersebut meliputi antara lain penyesuaian tata cara dan nilai pekerjaan pembelian/pemborongan dan pembayarannya, serta penetapan pemenang lelang dan lokasi atau tempat pelelangan dilakukan. Pada dasarnya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dapat dilakukan melalui pengadaan langsung, lelang umum atau lelang terbatas. Sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, sejalan dengan tingkat perkembangan pembangunan telah dilakukan penyesuaian besarnya nilai minimum pelaksanaan pembelian barang/pemborongan pekerjaan yang memerlukan Surat Perjanjian/Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK). Dalam hubungan ini telah dilakukan penyesuaian nilai minimum pelaksanaan pemborongan pekerjaan yaitu dari Rp 500.000,- pada tahun pertama Repelita I menjadi Rp 5 juta pada akhir Repelita II. Dalam periode tersebut ketentuan untuk menggunakan SPK dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan belum ditetapkan; yang ditetapkan adalah penggunaan Surat Perjanjian/Kontrak. Selanjutnya, dalam Repelita III ketentuan -ketentuan XXII/61 mengenai pengadaan barang dan jasa kembali disempurnakan. Dalam hal ini, perjanjian pelaksanaan pemborongan pekerjaan tidak saja dilakukan dengan Surat Perjanjian/Kontrak tetapi juga dengan SPK. Pada tahun pertama Repelita III semula SPK atau Surat Perjanjian/Kontrak dapat digunakan untuk pengadaan yang bernilai Rp 1 juta sampai dengan Rp 10 juta, kemudian sejak tahun kedua Repelita III diubah menjadi Rp 3 juta sampai dengan Rp 20 juta. Sedangkan Surat Perjanjian/Kontrak digunakan hanya untuk pekerjaan pemborongan yang pada tahun pertama Repelita III semula bernilai di atas Rp 10 juta kemudian diubah menjadi di atas Rp 20 juta dan berlaku sejak akhir Repelita III hingga sekarang. Di samping itu, sejak awal Repelita III ditetapkan pula ketentuan pelaksanaan lelang berdasarkan lokasi dan mengutamakan rekanan golongan ekonomi lemah setempat, di samping mengutamakan hasil produksi/rekanan dalam negeri yang sudah ditekankan Pemerintah sejak tahun kedua Repelita II. Dalam Repelita IV ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah lebih disempurnakan lagi dengan ditetapkannya Keppres 29/1984 yang meliputi antara lain: (1) kejelasan dan ketertiban pengaturan terutama mengenai sistem dan persyaratan pelelangan; (2) menekankan pemerataan khususnya kepada perusahaan golongan ekonomi lemah; (3) menekankan hasil produksi dalam negeri ataupun barang impor yang memuat komponen lokal paling besar; (4) meningkatkan pengendalian pengadaan secara lebih efisien dan efektif; dan (5) lebih meningkatkan usaha pembauran dengan meniadakan istilah pribumi dan non pribumi di bidang kegiatan ekonomi. Adapun penyempurnaan tata Cara dan penyesuaian nilai yang dituangkan dalam Keppres No. 29 Tahun 1984 tersebut meliputi pelaksanaan pemborongan/pembelian yang berjumlah: (1) sampai dengan Rp 1 juta dilakukan secara pengadaan langsung oleh Kantor, Satuan Kerja, atau proyek di antara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah; (2) di atas Rp 1 juta sampai dengan Rp 5 juta dilakukan secara pengadaan langsung dengan SPK dari satu penawar atau lebih di antara pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah; (3) di atas Rp 5 juta sampai dengan Rp 20 juta dilakukan berdasarkan penunjukan langsung dengan SPK atau Surat Perjanjian/Kontrak, di antara sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar golongan ekonomi lemah yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM); (4) pelaksanaan pemborongan/pembelian yang berjumlah di atas Rp 20 juta dilaksanakan dengan Surat Perjanjian/Kontrak berdasarkan pelelangan umum atau pelelangan terbatas. XXII/62 Menurut lokasi, tempat pelaksanaan pelelangan dapat dipilih menurut lokasi kantor, satuan kerja, Ibu kota Kabupaten/Kotamadya, atau Ibu kota Propinsi bersangkutan dengan mempertimbangkan tingkat efisiensi pengambilan keputusan dan besarnya nilai pengadaan barang dan jasa yang diperlukan sesuai Keppres No. 10/1980. Sementara itu, usaha untuk memecah pemborongan/pembelian menjadi beberapa bagian yang masing-masing di bawah Rp 500 juta tidak diperkenankan. Adapun pejabat yang berwenang mengambil keputusan mengenai penetapan pemenang pelelangan adalah: (1) Kepala Kantor, Satuan Kerja, atau Pemimpin Proyek untuk pelelangan yang bernilai sampai dengan Rp 100 juta sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Tim Pengendali Departemen/Lembaga ditetapkan oleh Kepala Kantor; (2) Tim Pengendali Pengadaan Departemen/Lembaga untuk pelelangan yang bernilai di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta; (3) Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah (TPPBPP) untuk pelelangan yang bernilai di atas Rp 500 juta. Sedangkan untuk pemborongan/pembelian barang dan jasa yang dilakukan melalui cara penunjukan langsung dengan nilai di atas Rp 20 juta sampai dengan Rp 200 juta, dan pelelangan dengan nilai di atas Rp 100 juta sampai dengan Rp 500 juta, penyelenggaraannya dikendalikan dan dikoordinasikan oleh Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Peme rintah di Departemen/Lembaga, sesuai dengan Keppres No. 30/1984 tanggal 21 April 1984. Dalam lima tahun terakhir ini, sejak tahun 1988/89 hingga tahun keempat Repelita V, sekalipun pengaturan pengadaan barang dan jasa pemerintah pada prinsipnya masih menggunakan Keppres 29/1984, tetapi mekanismenya secara teknis lebih disempurnakan melalui Keppres No. 6/1988 yang menghapus tentang TPPBPP dan Inpres No. 1/1988, sehingga terjadi desentralisasi wewenang pengambilan keputusan mengenai penetapan pemenang lelang lebih ditingkatkan lagi yaitu: (1) Kepala Kantor, Satu an Kerja, atau Pimpro untuk pengadaan yang bernilai sampai dengan Rp 500 juta; (2) Dirjen atau Pejabat setingkat, untuk pengadaan yang bernilai Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 miliar; (3) Menteri/Pimpinan LPND atau setingkat, untuk pengadaan yang bernilai di atas Rp 1 miliar sampai dengan Rp 3 miliar; dan (4) Menteri/Pimpinan LPND setelah XXII/63 mendapat persetujuan dari Menko Ekuin dan Wasbang untuk yang bernilai di atas Rp 3 miliar. Pada tahun keempat Repelita V (1992/93), berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 647/KMK.03/1992, pemberian uang muka untuk pekerjaan borongan khususnya yang dilakukan oleh kontraktor/rekanan golongan ekonomi lemah yang semula 20% ditingkatkan 10% sehingga menjadi setinggi-tingginya 30%. (2) Administrasi Pembayaran dan Penerimaan Seiring dengan penyempurnaan sistem pengadaan barang dan jasa tersebut di atas, dilakukan pula penyempurnaan administrasi pembayarannya. Untuk administrasi pembayaran beban tetap baik untuk anggaran rutin maupun pembangunan, sejak Repelita I, telah dilakukan penyempurnaan yaitu Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk pembayaran beban tetap semula tidak ditentukan waktunya, kemudian disempurnakan dengan harus diajukan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah diterima tagihan dari pihak penagih. Ketentuan ini tidak mengalami perubahan sampai dengan tahun keempat Repelita V. Di samping itu, untuk pembayaran beban tetap dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan oleh pihak ketiga dan pembelian barang serta bahan-bahan untuk pekerjaan swakelola (eigeen beheer) yang semula nilainya di atas Rp 1 juta pada Repelita I ditingkatkan menjadi di atas Rp 3 juta pada Repelita II; selanjutnya ditingkatkan menjadi Rp 5 juta sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V. Sedangkan tata cara pengajuan SPPR/SPPP untuk pembayaran beban sementara selama Repelita I belum ada ketentuannya. Tata cara tersebut baru ditentukan dalam Repelita II yaitu sebesar Rp 2 juta untuk setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan, kemudian sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V naik menjadi Rp 5 juta untuk keperluan setinggi-tingginya 3 bulan. Berkaitan dengan pengajuan SPPR/SPPP baik untuk pembayaran beban tetap maupun sementara, KPN dapat mengajukan penolakan secara tertulis. Dalam Repelita I, ketentuan penolakan tersebut tidak diatur, sedangkan dalam Repelita II diatur sebagai berikut; untuk anggaran rutin ditentukan waktunya yaitu 6 (enam) hari setelah diterimanya SPPR, dan 3 (tiga) hari untuk anggaran pembangunan. Kemudian, sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V disempurnakan menjadi 3 (tiga) hari untuk anggaran rutin dan 2 (dua) hari untuk anggaran pembangunan. XXII/64 Dalam hal KPN menyetujui SPPR/SPPP tersebut, maka KPN dapat menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Selama Repelita I sampai dengan Repelita II, ketentuan mengenai waktu penerbitan SPM tersebut dipersingkat dari 8 (delapan) hari pada awal Repelita I menjadi 3 (tiga) hari. Kemudian, sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V dipersingkat menjadi 2 (dua) hari. Selanjutnya, sejak Repelita I telah dilakukan upaya peningkatan penerimaan negara melalui mekanisme pemungutan pajak dengan cara Memungut Pajak Orang lain (MPO) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Bendaharawan Departemen, Lembaga, Satuan Kerja dan BUMN. Hasil penerimaan MPO dan pajak lainnya tersebut wajib disetorkan sebulan sekali oleh Bendaharawan. Dalam hubungan ini, tidak diperkenankan melakukan pemecahan pembelian barang/jasa yang merupakan satu kesatuan ke dalam beberapa bagian dengan maksud untuk menghindari batas pengenaan MPO dan pajak lainnya. Kemudian, sejak Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V ketentuan waktu penyetoran diubah menjadi sekurang-kurangnya sekali seminggu. Penyetoran penerimaan pajak tersebut dapat dilakukan melalui KPN atau Bank Indonesia. (3) Perubahan dan Pergeseran (Revisi) Anggaran Proyek Untuk lebih mendayagunakan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, Pemerintah terus melakukan penyempurnaan tata cara atau prosedur perubahan/pergeseran anggaran (revisi) dalam Daftar Isian Proyek (DIP). Sejak tahun pertama sampai dengan tahun keempat Repelita I, revisi kegiatan anggaran antar subproyek maupun antar proyek dalam satu sektor tidak diperkenankan, kecuali atas persetujuan Ketua Bappenas dan Menteri Keuangan. Untuk itu perlu diajukan DIP baru. Kemudian, pada akhir Repelita I, usulan revisi DIP tidak lagi dengan mengajukan DIP baru, tetapi cukup dengan mengajukan revisi anggaran DIP melalui surat yang berisi perubahan DIP yang sudah ada. Sedangkan wewenang untuk menyetujui revisi tersebut tetap berada pada Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas. Dalam Repelita II, pengajuan revisi DIP melalui surat dan tanpa mengajukan DIP baru tetap berlaku. Sedangkan sejak awal Repelita II, Pejabat yang berwenang menilai dan mengambil keputusan atas usulan revisi yang semula menjadi wewenang Menteri Keuangan dan Ketua Bappenas XXII/65 kemudian didelegasikan kepada Kepala Kantor KBN dan Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan sesuai dengan lingkup permasalahannya yaitu, pertama, Kepala Kantor Bendahara Negara (KBN) untuk: (a) revisi antar bagian proyek dengan ketentuan bahwa revisi tersebut tidak boleh melampaui batas biaya dalam kolom pengeluaran; dan (b) revisi yang dise babkan kesalahan administratif, kecuali kesalahan angka misalnya kesalahan penjumlahan atau perkalian. Mengenai butir (b) ini, terjadi perubahan lagi sejak tahun kedua Repelita II yaitu kesalahan angka dianggap juga sebagai kesalahan administratif, sehingga wewenang untuk mengambil keputusan atas usulan revisi yang disebabkan kesalahan ini menjadi wewenang Kepala KBN dan bukan lagi wewenang Menteri/Ketua Lembaga. Kedua, Menteri/Ketua Lembaga yang bersangkutan untuk revisi antar jenis pengeluaran dengan ketentuan tidak boleh mengakibatkan: (a) penamb ahan jumlah biaya untuk gaji dan honorarium, luas gedung yang akan dibangun, jumlah dan type kendaraan yang akan dibeli; (b) pengurangan dana yang disediakan untuk keperluan biaya Bea Masuk dan Pajak-pajak, kecuali apabila biaya-biaya tersebut telah nyata-nyata dilunasi; maupun (c) perubahan akibat kesalahan angka misalnya penjumlahan atau perkalian. Wewenang untuk memberikan persetujuan revisi tersebut di atas, tidak termasuk: (1) revisi anggaran yang mengakibatkan perubahan target tahunan yang tercantum dalam DIP dan atau batas biaya yang dilampaui; (2) dalam hal target tahunan tidak jelas diuraikan dalam DIP karena antara lain tidak dapat diukur/dihitung; (3) pengunaan dana menurut catatan dalam DIP penggunaannya memerlukan izin tersendiri dari Menkeu dan Meneg Ekuin/Ketua Bappenas; (4) revisi anggaran yang menimbulkan bagian proyek/kegiatan baru yang semula tidak tercantum dalam DIP. Pada awal Repelita III dengan Keppres 14/1979, prosedur revisi DIP disempurnakan kembali yaitu dengan lebih memperjelas bates anggaran yang direvisi serta pendelegasian wewenang untuk mengambil keputusan atas usulan revisi DIP kepada Pejabat yang terkait. Dalam hubungan ini, Pejabat yang berwenang untuk menyetujui revisi lebih diperluas dengan mel ibatkan Pimpro yang bersangkutan, Sekjen Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Panitera Mahkamah Agung di samping Kepala Kantor KBN dan Menteri/Ketua Lembaga. Selama Repelita IV, tata cara dan mekanisme revisi anggaran DIP XXII/66 tetap sama dengan yang ditetapkan dalam Repelita III kecuali untuk perubahan/pergeseran anggaran dalam DIP yang mempunyai pagu sampai dengan Rp 100.000.000,- untuk proyek-proyek fisik yang berdiri sendiri dan dengan target yang dapat diukur. Sebagaimana diatur dalam Keppres 29/1984 usulan revisi diputuskan oleh Kepala Kanwil Ditjen Anggaran, Kepala Kanwil Departemen/Lembaga yang bersangkutan dan Ketua Bappeda sepanjang tidak menyangkut DIP yang mendapat bantuan proyek atau tidak akan berakibat pada: perubahan/pergantian target, penambahan anggaran DIP, penambahan anggaran untuk gaji/upah, honorarium dan perjalanan dinas, pencairan dana yang menurut catatan DIP harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan atau Pejabat yang ditetapkan dalam DIP tersebut, serta kenaikan standar/norma/tarif menurut peraturan yang berlaku. Sejak tahun keempat Repelita V, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.840JKMK.03/1992 tanggal 29 Juli 1992, ketentuan mengenai pagu tersebut diubah dari Rp 100.000.000,- menjadi Rp 200.000.000,-. (4) Pencairan dan Penatausahaan Dana Luar Negeri Sejak tahun keempat Repelita IV, Tata Cara Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan atau Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan APBN diatur berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. 48/KMK.012/1987 dan No. Kep.004/KET/1/1987. SKB tersebut pada pokoknya bertujuan (1) menyederhanakan prosedur, (2) mengurangi birokrasi, dan (3) mempercepat pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini, penarikan pinjaman luar negeri untuk proyek yang dibiayai melalui DIP dapat dilakukan dengan 4 (empat) cara yaitu: (1) pembukaan L/C oleh Bank Indonesia dengan cara Pemimpin Proyek mengajukan Surat Permintaan Persetujuan Kontrak (SPPK) menurut Form I disertai salinan Kontrak kepada Meneg PPN/Ketua Bappenas. Kemudian, berdasarkan SPPK Bappenas menerbitkan Surat Persetujuan Kontrak Jual Beli (SPKJB) menurut Form II disertai Kontrak Jual Beli (KJB) kepada Bank Indonesia yang kemudian memberitahukan rekanan/importir; (2) pembayaran langsung (direct payment) oleh Pemberi Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PPHLN) kepada rekanan atau pihak yang bersangkutan dengan cara Pemimpin Proyek mengajukan SPPK menurut Form 1 disertai KJB kepada Meneg PPN/Ketua Bappenas. Selanjutnya, berdasarkan SPPK Bappenas menerbitkan SPPKJB menurut Form 2 dan menyampaikannya kepada Bank XXII/67 Indonesia; (3) penggantian pembiayaan pendahuluan (reimbursement) yaitu penggantian oleh PPHLN atas pembiayaan pendahuluan yang telah dilakukan oleh pemerintah atau Pemimpin Proyek/Penerima pinjaman dengan cara Bendaharawan mengajukan Surat Permintaan Pembiayaan Pendahuluan (SP3) menurut Form 3 disertai KJB dan DIP kepada Dirjen Anggaran. Berdasarkan SP3 tersebut Menteri Keuangan melalui Dirjen Anggaran menerbitkan SPM Giro dan dikirimkan kepada Bank Indonesia guna pembayaran pembiayaan pendahuluan dari dana pemerintah sebagai perhitungan pihak ketiga untuk pinjaman luar negeri yang dapat dirupiahkan; (4) rekening khusus di Bank Indonesia dengan cara Ditjen Anggaran mengajukan permintaan kepada PPHLN untuk kebutuhan pembiayaan proyek selama periode tertentu berdasarkan DIP untuk disetorkan ke dalam rekening khusus. Kemudian, Pemimpin Proyek mengajukan Surat Permohonan Pembayaran (SPP) dengan dilampir i DIP serta bukti-bukti pengeluaran kepada Ditjen Anggaran. Berdasarkan SPP tersebut, Menteri Keuangan melalui Ditjen Anggaran menerbitkan SPM rekening khusus dan dikirimkan kepada Bank Indonesia guna pembayaran pembiayaan dari rekening khusus sebagai perhitungan pihak ketiga untuk pinjaman luar negeri yang dapat dirupiahkan. c. Administrasi Pemantauan dan Pengendalian Pelaksanaan Agar sasaran pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, dilakukan langkah-langkah pendayagunaan sistem dan administrasi pemantauan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan. Pendayagunaan sistem pemantauan proyek-proyek ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan pelaksanaan proyek secara cepat, lengkap dan cermat melalui laporan perkembangan proyek yang disampaikan oleh Pemimpin Proyek. Hasil pemantauan ini digunakan untuk mengetahui tingkat pelaksanaan suatu proyek dan langkah korektif yang diperlukan serta merupakan umpan balik untuk perbaikan rumusan dan pelaksanaan rencana, kebijaksanaan, program dan proyek pembangunan. Pemantauan dan pengendalian pelaksanaan proyek yang dilakukan sejak awal Repelita I (1969/70) sampai dengan tahun ketiga Repelita II (1976/77) didasarkan pada SKB Menteri Keuangan dan Menteri Negara EKUIN/Ketua Bappenas No. B-370/MK/V/9/1969 - No. 1133/KET/1969 tentang Laporan Kemajuan Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun XXII/68 1969-1973 yang merupakan tindak lanjut dari Keppres No. 33 Tahun 1969. Dalam hal ini, digunakan Sistem Laporan Proyek dengan menggunakan Formulir Laporan Triwulanan Proyek yang terdiri dari 6 halaman dengan 3 lembar Lampiran yang lebih menitikberatkan pada realisasi keuangan. Kemudian, Sistem Laporan Proyek tersebut dikembangkan menjadi Sistem Pengendalian Proyek yang lebih dikenal sebagai sistem pemantauan (monitoring) dalam bentuk penyeragaman dan penyederhanaan bentuk laporan yang semula terdiri dari 6 (enam) halaman menjadi 2 (dua) halaman. Dibandingkan dengan Sistem Laporan Proyek, Sistem Pengendalian Proyek ini lebih berorientasi pada pemecahan masalah dengan menitikberatkan pada pelaksanaan fisik dan fungsional sehingga terdapat kepastian untuk melaksanakan tindak lanjut penyelesaian masalahnya. Sistem Pengendalian Proyek ini digunakan dalam lima tahun terakhir ini, sejak tahun keempat Repelita IV sampai dengan tahun keempat Repelita V adalah dengan menggunakan Formulir B-1 yang terdiri dari 4 halaman dan memuat pencapaian proyek per tolok ukur, realisasi fisik dan pembiayaan, serta masalah-masalah yang menghambat kelancaran pelaksanaan proyek. Selain itu, untuk lebih meningkatkan peran Pemerintah Daerah Tingkat I dalam pemantauan dan pengendalian proyek, Bappeda Tingkat I diminta pula untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan Proyek yang ada di wilayahnya dengan menggunakan Formulir B-1 yang dipakai sebagai pengecekan silang atas laporan Pemimpin Proyek. Keterlibatan Bappeda ini sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 27 Tahun 1980 bahwa Bappeda Tingkat I mempunyai fungsi pemantauan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan di daerah. Selain laporan dalam bentuk Formulir B-1, sejak awal Repelita V upaya pemantauan dan pengendalian juga dilakukan dengan menggunakan laporan realisasi keuangan berdasarkan SPM yang diterima dari Pusat Pengolahan Data dan Informasi Anggaran, Direktorat Jendera l Anggaran, Bandung. Proyek-proyek yang penyerapan dananya masih rendah, diinformasikan kepada Pimpinan Departemen/Lembaga yang membawahi proyek yang bersangkutan, untuk mendapatkan penjelasan mengenai keterlambatan realisasi dan langkah-langkah apa yang akan atau telah diambil untuk mengatasi keterlambatan tersebut. Adapun manfaat pemantauan dan pengendalian pelaksanaan proyek XXII/69 baik melalui Formulir B-1 maupun realisasi SPM antara lain meningkatkan koordinasi antara Bappenas, Ditjen Anggaran, Departemen Keuangan dan Departemen/Lembaga terkait sehingga dapat mempercepat penyelesaian permasalahan guna membantu kelancaran pelaksanaan proyek. Dengan semakin mantapnya sistem pemantauan, maka identifikasi masalah dapat ditelusuri selama lima tahun terakhir secara lebih cepat dan cermat. Dalam Repelita V hingga tahun keempat dari pemantauan atas 14.284 proyek telah ditemukan 18.790 masalah. Permasalahan tersebut meliputi: (1) administrasi proyek 2.063 masalah; (2) kwalifikasi rekanan 968 masalah; (3) pelaksanaan lelang 1.200 masalah; (4) gangguan cuaca 566 masalah; (5) revisi DIP 512 masalah; (6) koordinasi dalam dan antar instansi 737 masalah; (7) kelembagaan 111 masalah; (8) tanah 208 masalah; (9) personalia 44 masalah; (10) peralatan dan mesin 82 masalah; (11) lain-lain 12.299 masalah. Dengan diketahuinya faktor penyebab permasalahan, upaya mengatasinya dapat lebih efektif. Ini dibuktikan dengan perkembangan pencairan dana atau daya serap anggaran rupiah murni berdasarkan SPM yang telah dikeluarkan terus meningkat pula. Selain itu, untuk lebih mendayagunakan pelaksanaan proyek dengan dana luar negeri dengan Keppres Nomor 2 Tahun 1986 telah dibentuk Tim P4DLN (Tim Pendayagunaan Pelaksanaan Proyek-Proyek dengan Dana Luar Negeri), yang kemudian disempurnakan dengan Keppres Nomor 10 Tahun 1988. Tugas pokok Tim P4DLN adalah meningkatkan kelancaran pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dengan dana luar negeri. Di samping itu, dilakukan pula penyempurnaan administrasi dan penatausahaan dana luar negeri yang diatur oleh Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dengan Surat Keputusan Bersama No. 48/KMK.012/1987 dan No. Kep. 004/Ket/1/1987 tanggal 27 Januari 1987 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Penatausahaan Pinjaman dan atau Hibah Luar Negeri Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan langkah-langkah pendayagunaan yang dilakukan Tim P4DLN tersebut, pencairan dari pemanfaatan dana luar negeri untuk proyek-proyek pembangunan dapat ditingkatkan secara sangat berarti. Pendayagunaan sistem dan peningkatan pelaksanaan pemantauan yang dilakukan Tim P4DLN telah berhasil meningkatkan "absorptive XXII/70 capacity" atau "disbursement" dana luar negeri. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai dana yang dicairkan untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan dalam lima tahun terakhir dari tiga pemberi pinjaman terbesar, yaitu ADB, OECF, dan IBRD. Sejalan dengan langkah-langkah tersebut di atas, dalam tahun ketiga Repelita V telah dibentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (Keppres No. 39/1991) yang bertugas mengkoordinasikan pengelolaan semua pinjaman komersial luar negeri agar tidak terlalu membebani neraca pembayaran dan agar beban pembayaran kembali pinjaman luar negeri tetap dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia. Pinjaman yang dikoordinasikan tersebut adalah pinjaman komersial luar negeri yang diperlukan oleh Pemerintah, BUMN (termasuk Bank Pemerintah dan Pertamina) dan badan usaha milik swasta (termasuk Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank). 5. Aparatur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Upaya Pemerintah dalam pendayagunaan BUMN telah dilakukan sejak Repelita I sampai dengan Repelita V meliputi langkah-langkah kebijaksanaan Pemerintah dalam pendayagunaan baik mengenai kedudukan, organisasi maupun manajemennya. Upaya pendayagunaan tersebut dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pelayanan BUMN kepada masyarakat dengan menyelenggarakan kemanfaatan umum yang lebih baik dan lebih merata, meningkatkan penerimaan negara, turut aktif mengamankan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program Pemerintah termasuk dalam pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah dan stabilitas ekonomi. Dalam periode Repelita I dan II upaya penyederhanaan badan-badan usaha milik negara pada dasarnya dilakukan dengan berpedoman pada Instruksi Presiden No. 17 Tahun 1967 yaitu dengan mengatur bentuk usaha-usaha negara menjadi tiga bentuk pokok yaitu: Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum dan Perusahaan Perseroan. Kemudian, melalui Perpu No. 1 Tahun 1969 jo Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dilakukan pembagian BUMN berdasarkan status hukum, organisasi, pertanggungjawaban, dan kedudukan karyawan BUMN. Dalam hal ini, BUMN dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan) XXII/71 yang tunduk kepada IBW (Undang-undang Perusahaan jaman Belanda), Perusahaan Umum (Perum) yang tunduk kepada Undang-undang No. 19 Prp Tahun 1960 dan Perusahaan Perseroan (Persero) yang tunduk kepada KUHP. Selanjutnya pada Repelita III, untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap BUMN dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1983 yang menetapkan tata cara pembinaan dan pengawasan BUMN sebagai pedoman bagi BUMN dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian, agar BUMN yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara berdaya guna dan berhasil guna serta mampu berkembang dengan baik. Dalam lima tahun terakhir ini, untuk lebih mendorong pengembangan serta kemajuan BUMN dalam rangka meningkatkan pembangunan dan efisiensi perekonomian secara nasional, melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 ditetapkan kriteria tingkat kesehatan dan langkah-langkah penyempurnaan pengelolaan BUMN yang dilengkapi dengan petunjuk teknis sebagaimana dituangkan dalam SK Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN. Sejalan dengan itu, dikeluarkan pula SK Menteri Keuangan Nomor 741/KMK.00/1989 tentang Rencana Jangka Panjang, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan serta Pelimpahan Kewenangan Pengambilan Keputusan. Dengan ditetapkannya kriteria penilaian tingkat kesehatan BUMN yang dimulai sejak tahun terakhir Repelita IV, jumlah BUMN yang sehat sekali dan sehat berjumlah 60 dari 189 BUMN pada tahun terakhir Repe lita IV, jumlah tersebut hingga tahun keempat Repelita V makin meningkat masing-masing menjadi 96 dari 184 BUMN, 100 dari 186 BUMN, 105 dari 186 BUMN, dan 106 BUMN dari 181 BUMN. Sedangkan BUMN yang kurang sehat dan tidak sehat berjumlah 129 dari 189 BUMN pada akhir Repelita IV, jumlah tersebut sejak akhir Repelita IV hingga tahun keempat Repelita V cenderung menurun, masing-masing menjadi 88 dari 184 BUMN, 86 dari 186 BUMN, 81 dari 186 BUMN, dan 75 BUMN dari 181 BUMN. Sejak tahun kedua Repelita V (1990/91), peranan BUMN dalam XXII/72 memajukan dunia usaha khususnya usaha golongan ekonomi lemah dan koperasi lebih ditingkatkan. Upaya tersebut dituangkan dalam SK Menteri Keuangan No. 1232/KMK.013/1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara. Atas dasar Surat Keputusan Menteri Keuangan tersebut, BUMN diwajibkan melakukan pembinaan terhadap pengusaha golongan ekonomi lemah dan koperasi. Pembinaan yang dilakukan meliputi: (a) peningkatan kemampuan manajerial; (b) peningkatan kemampuan dalam keterampilan teknik produksi; (c) peningkatan kemampuan modal kerja, antara lain melalui penyisihan dana sebesar 1% sampai dengan 5% dari laba setelah pajak, bantuan pengadaan bahan baku; (d) peningkatan kemampuan pemasaran atau bantuan pemasaran, dan (e) pemberian jaminan untuk mendapatkan kredit perbankan. Berbagai kebijaksanaan tersebut di atas, telah meningkatkan hasil usaha BUMN dari Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V atau sepanjang PJPT I. Keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai dalam lima tahun terakhir ini ditunjukkan dengan perkembangan antara lain sebagai berikut: (1) Nilai total aktiva BUMN menunjukkan peningkatan sebesar 125% dari Rp 102.233 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 230.255 miliar pada akhir tahun keempat Repelita V. Hasil penjualan BUMN pada akhir tahun keempat Repelita V mencapai nilai Rp 69.729 miliar, jumlah tersebut meningkat 100% dibandingkan dengan tahun 1987/88 sebesar Rp 34.870 miliar. Sedangkan besarnya laba sebelum pajak mengalami peningkatan sebesar 61,7% dari Rp 4.233 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 6.884 miliar pada akhir tahun keempat Repelita V. (2) Kontribusi BUMN dalam bentuk pajak penghasilan menunjukkan kenaikan sebesar 136% dari Rp 678,6 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp l.600 miliar dalam tahun keempat Repelita V. Sedangkan hasil penerimaan bukan pajak dalam bentuk deviden/DPS/bagian labs pemerintah dari BUMN dalam tahun keempat Repelita V mencapai nilai Rp 979 miliar, jumlah tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 5% dibanding dengan tahun 1987/88 sebesar Rp 932,8 miliar. Kemajuan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kemampuan dan efisiensi dalam pengelolaan BUMN. Dalam kaitannya dengan usaha pembinaan pengusaha ekonomi lemah dan koperasi, yang dimulai sejak tahun kedua sampai dengan tahun keempat Repelita V, telah dikeluarkan bantuan BUMN sebesar Rp 47.958 juta XXII/73 kepada 5.898 unit usaha perorangan dan 1.249 koperasi. Rincian perkembangan bantuan tersebut dapat dilihat dalam Tabel III-12 dan 13 Bab Dunia Usaha. Langkah lainnya yang ditempuh BUMN juga mencakup perubahan status hukumnya yang dicerminkan dalam bentuk Persero, Perum, Perjan, Perusahaan Negara (PN), Status Khusus, dan PT Lama. Dalam tahun 1987/88 jumlah BUMN secara keseluruhan adalah 214 buah terdiri Persero Tunggal 122 buah, Persero Patungan berjumlah 33 buah, berbentuk Perum 33 buah, berbentuk Perjan 2 buah, PN 8 buah, PT Lama 7 buah, dan Status Khusus 9 buah. Dalam lima tahun terakhir ini, diadakan perubahan dan penyesuaian-penyesuaian lebih lanjut sehingga dalam tahun keempat Repelita V jumlah BUMN secara keseluruhan tinggal 181 buah. Dari 181 buah BUMN tersebut yang berbentuk Persero Tunggal dan Persero Patungan berjumlah 158 buah, berbentuk Perum 20 buah, dan yang berstatus khusus adalah 1 buah (PT Pertamina), sedangkan Badan Usaha Milik Negara yang belum diubah ke dalam bentuk yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 terdiri atas 1 buah PN dan 1 buah PT Lama, serta 1 buah dengan Status Khusus. Di antara yang mengalami perubahan adalah 2 buah Perjan (Pegadaian dan Kereta Api) masing-masing menjadi Perum. Rincian perkembangan status BUMN sejak Repelita I sampai dengan Repelita V disajikan dalam Tabel XXII-6. 6. Pengawasan dan Penertiban Operasional Untuk mewujudkan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa, serta berdaya guna dan berhasil guna dikembangkan sistem pengawasan dan penertiban operasional. Pendayagunaan pengawasan dan penertiban operasional tersebut telah dilaksanakan sejak Repelita I dan terus berlanjut hingga tahun keempat Repelita V. Langkah-langkah pendayagunaan BUMN dalam lima tahun terakhir ini antara lain meliputi pengembangan sistem, penyempurnaan kelembagaan, dan peningkatan kemampuan profesional tenaga pengawas, diikuti dengan langkah-langkah penertiban sebagai tindak lanjut kegiatan pengawasan. Sistem pengawasan yang dikembangkan meliputi Pengawasan Fungsional (Wasnal), Pengawasan Melekat (Waskat), Pengawasan Legislatif (Wasleg), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas) yang pada umumnya terarah pada pengawasan keuangan dan pembangunan. Selain itu, mulai tahun 1989/90 pada Kantor Wakil Presiden dibuka pula Tromol Pos 5000 sebagai sarana pengawasan masyarakat. XXII/74 TABEL XXII – 6 STATUS BADAN USAHA MILIK NEGARA, 1968 – 1992/93 1) 1) 2) Angka tahunan Angka tahunan sementara per Desember 1992 XXII/75 a. Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Kegiatan pengawasan sejak Repelita I sampai dengan Tahun keempat Repelita V disajikan dalam Tabel XXII-7 khususnya mengenai perkembangan pelaksanaan pemeriksaan tahunan oleh aparatur pengawas fungsional. Dari hasil pelaksanaan pengawasan fungsional dalam Repelita V sejak tahun 1989/90 sampai dengan Desember 1992/93 ditemukan adanya 11.066 kasus peristiwa/perbuatan yang digolongkan sebagai tindakan penyimpangan. Kasus penyimpangan tersebut terdiri dari 9.325 kasus (84,26%) pelanggaran disiplin; 906 (8,20%) penggelapan dan pemborosan keuangan negara; 509 (4,6%) penyalahgunaan wewenang, dan 326 (2,94%) berupa pungutan liar. Sebagai tindak lanjut pengawasan, BPKP melaporka n antara lain hasil pemeriksaan yang diperkirakan mengandung unsur tindak pidana korupsi kepada Kejaksaan Agung. Sejak tahun 1983/84 hingga tahun 1992/93 telah diserahkan oleh BPKP kepada Kejaksaan Agung kasus -kasus yang merugikan negara dan diduga ada unsur-unsur tindak pidana korupsi sebanyak 162 kasus dengan nilai sebesar Rp 151,055 miliar. Selain itu sejak tahun 1988/89 hingga tahun 1992/93 BPKP telah melakukan pemeriksaan yang menghasilkan penghematan pengeluaran Negara dan penambahan penerimaan Negara, berjumlah Rp 394,558 miliar, termasuk penambahan penerimaan negara sebanyak Rp 297,023 miliar. Kegiatan dan hasil-hasil pengawasan yang terus meningkat tersebut di atas adalah berkat upaya pendayagunaan sistem dan pelaksanaan pengawasan yang terus menerus dilakukan sejak Repelita I hingga Repelita V. Pada Repelita I, langkah-langkah pengembangan sistem dan tata cara pengawasan berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 15/U/Kep/8/1966 dan No. 75/U/Kep/1966 tentang pembentukan aparat inspektorat pengawasan di tiap departemen. Langkah tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1971 yang menginstruksikan kepada para Menteri dan Pimpinan Lembaga Non Departemen untuk mengambil langkah-langkah penertiban terhadap pegawai-pegawai yang melakukan tindakan penyelewengan di lingkungannya masing-masing. Kemudian dengan Keppres No. 70 Tahun 1971 ditetapkan tata kerja pengawasan keuangan negara dan pedoman pelaksanaan pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara. XXII/76 TABEL XXII – 7 KEGIATAN PEMERIKSAAN OLEH APARATUR PENGAWASAN FUNGSIONAL 1) 1968 – 1992/93 1) Angka tahunan 2) Angka tahunan sementara per Desember 1992 XXII/77 Dalam Repelita II, diterbitkan Keppres No. 25 Tahun 1974 tentang pengangkatan beberapa Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang) yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang meliputi proyek-proyek pelaksanaan program sektoral, proyek-proyek Inpres bantuan desa, maupun daerah. Selama periode ini telah dilakukan pula pemeriksaan atas proyek-proyek pembangunan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara sebanyak 13.513 proyek dengan hasil temuan penyimpangan sebanyak 1.046 kejadian. Dalam Repelita III, dengan Keputusan Mendagri No. 220 Tahun 1979 pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan di desa-desa diserahkan kepada Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya dengan pertimbangan tanggung jawab Pemerintah Daerah Tingkat II dalam pembangunan di daerah, semakin luas. Dalam Repelita IV dengan Keppres No. 31 Tahun 1983 telah dibentuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); selain itu dengan Keppres No. 32 Tahun 1983 telah ditetapkan Kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja Menko Ekuin dan Wasbang, dimana pedoman pelaksanaannya ditetapkan dengan Inpres No. 15 Tahun 1983 tentang pedoman pelaksanaan pengawasan. Inpres tersebut merupakan pedoman pengawasan yang memungkinkan seluruh pengawasan dapat dilaksanakan secara lebih terpadu dan terarah, baik dalam perumusan langkah-langkah kebijaksanaan dan penyusunan rencana, maupun dalam pembidangan kewenangan pelaksanaan pengawasan. Dalam hal ini BPKP merupakan aparat pengawasan fungsional yang ditujukan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan baik secara intern maupun ekstern agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Untuk menunjang fungsi tersebut telah ditetapkan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) yang penyusunan tiap tahunnya dikoordinasikan oleh BPKP dan disahkan oleh Menko Ekuin dan Wasbang. Dengan adanya pengawasan fungsional ini maka tumpang tindih pemeriksaan antara aparat pengawasan pusat dan daerah, aparat pengawasan fungsional lainnya, dan frekuensi pemeriksaan yang tidak merata dapat dihindarkan. Di samping itu, sebagai tindak lanjut Inpres No. 15 Tahun 1983 telah ditetapkan Inpres No. 2 Tahun 1988 tentang Penataran Para Pejabat dan dibukanya Tromol Pos 5000 sebagai sarana pengawasan dari luar. Dalam tahun terakhir Repelita IV pendayagunaan pengawasan XXII/78 ditingkatkan lagi dengan lebih dikembangkannya pengawasan melekat melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1988 tentang pengawasan melekat dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 tentang pedoman pelaksanaan pengawasan melekat. Memasuki Repelita V, sebagai implementasi pelaksanaan waskat telah dikeluarkan Kep. Menpan No. 92/Menpan/1989 tentang Susunan Organisasi, Tugas, Tata Kerja dan Susunan Anggota Tim Asistensi dan Evaluasi pelaksanaan Waskat; Kep. Menpan No. 93/Menpan/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Waskat; Kep.Menpan No. 94/Menpan/1989 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Lembaga Administrasi Negara dalam Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Waskat; dan Kep. Menpan No. 120/Menpan/1989 tentang Pembentukan Tim Penelitian dan Evaluasi Pelaksanaan Waskat. Salah satu keputusan itu mensyaratkan perlunya setiap departemen/instansi pemerintah baik di Pusat maupun Daerah termasuk BUMN dan perguruan tinggi negeri untuk melaporkan P3 waskat dan tindak lanjut pelaksanaan waskat secara berkala setiap tahun. Sampai dengan bulan Desember 1992 hasil tindak lanjut pelaksanaan Waskat sebanyak 331 Instansi berjumlah 164 (49,55%). Di samping pelaksanaan pengawasan melekat tersebut di atas, dimantapkan pula pengawasan legislatif dan pengawasan masyarakat. Pengawasan legislatif dilakukan oleh DPR dan DPRD melalui pelaksanaan hak-budget dan pelaksanaan kunjungan kerja komisi-komisi DPR ke daerah-daerah. Hasil kunjungan kerja tersebut dilaporkan kepada Sidang Pleno DPR dan disampaikan kepada Pemerintah untuk mendapatkan perhatian dan tanggapan. Pengawasan Masyarakat (Wasmas) merupakan pengawasan dari luar yang bertujuan untuk menampung segala informasi dari masyarakat luas mengenai tindakan/perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Pelaksanaan Wasmas tersebut dilakukan melalui media massa dan Tromol Pos 5000. b. Penertiban Operasional Pendayagunaan aparatur Pemerintah di samping diarahkan pada penyempurnaan langkah-langkah kebijaksanaan, juga pada berbagai langkah penertiban operasional yang dimaksudkan untuk mencegah dan menanggulangi berbagai bentuk korupsi, penyalahgunaan jabatan, komersialisasi jabatan, pemborosan, pungutan liar dan perbuatan tercela lainnya baik terhadap lingkungan aparatur Pemerintah Pusat dan Daerah, maupun BUMN dan BUMD. Dalam hubungan ini, dalam 10 tahun terakhir ini antara lain XXII/79 telah dilakukan penertiban terhadap pemilikan dan penggunaan ijazah palsu serta ijazah asli tetapi palsu untuk kepentingan karier kepegawaian, operasi tertib, serta penertiban yang dilakukan secara fungsional dan operasional oleh atasan langsung terhadap bawahan, dan lain-lain. Di samping itu, telah dilakukan pula pengamatan dan penanganan keluhan atau pengaduan yang diajukan oleh masyarakat maupun yang diketahui melalui media massa dan Tromol Pos 5000 pada kantor Wakil Presiden pada tanggal 4 April 1988. Sejak dibukanya Tromol Pos 5000 sampai dengan 30 September 1992 jumlah surat yang diterima mencapai 70.846 surat. Hasil pengawasan dan penertiban yang telah dicapai disajikan pada Tabel XXII-8. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa sejak dimulainya operasi tertib pada tahun 1978/79 hingga tahun keempat Repelita V oknum aparatur Pemerintah yang ditindak meliputi 34.387 orang yang tersangkut dalam 26.553 kasus. Dari jumlah tersebut, 32.822 orang dikenakan tindakan administratif, 1.325 orang dikenakan tindakan hukum dan 240 orang dikenakan tindakan lain-lain. Dalam lima tahun terakhir ini jumlah personil yang ditindak adalah sebanyak 17.460 orang, yang tersangkut dalam 14.150 kasus. Dari jumlah tersebut, 17.215 orang dikenakan tindakan administratif, lainnya sebanyak 245 orang dikenakan tindakan hukum. Pelaksanaan pengawasan dan penertiban tersebut menciptakan iklim yang mencegah penyimpangan dan penyelewengan serta telah memberikan dampak positif terhadap pendayagunaan aparatur pemerintah. 7. Disiplin Aparatur dan Tertib Hukum Peningkatan disiplin aparatur dan tertib hukum. bertujuan agar setiap aparatur pemerintah dalam berperilaku, berpikir dan bertindak tetap berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pendekatan realistis rasional berdasar ilmu pengetahuan yang mengacu pada kepentingan nasional, serta mentaati berbagai kebijaksanaan dan aturan perundang-undangan. Peningkatan disiplin aparatur merupakan unsur penting dalam upaya peningkatan disiplin nasional. Dalam hubungan penegakan disiplin aparatur ini, di samping langkah-langkah penertiban operasional sebagaimana diuraikan di atas, ditempuh pula langkah-langkah pendayagunaan disiplin kepegawaian berupa pengembangan dan penegakan XXII/80 TABEL XXII – 8 LANGKAH-LANGKAH PENERTIBAN DI LINGKUNGAN APARATUR NEGARA 1968 – 1992/93 1) 1) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom bertuliskan Akhir Repelita, yang lainnya adalah angka tahunan 2) Angka tahunan sementara per Desember 1992 XXII/81 hukum serta aturan perundangan lainnya, serta melalui kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan. Untuk menunjang usaha peningkatan disiplin aparatur tersebut, sejak Repelita I telah diberlakukan berbagai ketentuan antara lain larangan judi bagi pegawai negeri/anggota ABRI (Inpres Nomor 13 Tahun 1973), pola hidup sederhana (Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974), dan pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam usaha swasta (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974). Dalam tahun pertama Repelita II diterbitkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 yang antara lain menetapkan bahwa setiap pegawai negeri wajib setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah. Sejak Repelita II, dalam rangka pelaksanaan Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1978 segenap pegawai negeri diwajibkan mengikuti penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Dengan demikian peningkatan disiplin pegawai negeri sipil juga dilakukan melalui penataran P -4 yang diikuti oleh para pejabat dari berbagai instansi, yang dalam rangka peningkatan disiplin nasional juga diikuti oleh berbagai kelompok dalam masyarakat seperti pemuda, pelajar, dan pemuka agama. Penataran P -4 dari tahun 1979/80 sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diikuti oleh 14.140.616 orang dengan rincian sebagai berikut; (1) Tipe A sebesar 2.462.256 orang; (2) Tipe B sebesar 6.046.067 orang; dan (3) tipe C sebesar 5.632.293 orang. Kemudian, sejak tahun pertama Repelita IV (1979/80), langkah-langkah penegakan disiplin aparatur ditingkatkan lagi dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dimana ditetapkan 26 kewajiban dan 18 larangan bagi Pegawai Negeri serta 3 tingkatan sanksi berupa hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. Selain itu, dengan Keppres No. 67 Tahun 1980 telah dibentuk Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) yang bertugas memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh PNS golongan/ruang IV/a ke bawah, memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman disiplin, pemberhentian dengan hormat sebagai PNS golongan/ruang IV/b ke atas, dan mengenai usul pembebasan dari jabatan bagi pejabat eselon I. XXII/82 Sejak dibentuk sampai dengan tahun keempat Repelita V, Badan Pertimbangan Kepegawaian telah memberhentikan tidak dengan hormat sebanyak 1954 orang pegawai; terdiri dari 1909 orang dari golongan IV/a ke bawah dan 16 orang golongan IV/b ke atas. Dari jumlah ini seluruhnya mengajukan keberatan berjumlah 45 orang, yang sebagian besar telah diselesaikan. Langkah-langkah lain yang ditempuh dalam upaya peningkatan disiplin aparatur meliputi pembudayaan demokrasi Pancasila, Upacara Bendera, kegiatan KORPRI, pertemuan sosial, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, pemantapan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku, pembudayaan pengawasan melekat dan pengawasan lainnya, termasuk hal-hal yang diatur oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk atas dasar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan mulai efektif dilaksanakan pada tanggal 29 Desember 1991. Sejak diterbitkannya PP No. 7 Tahun 1991 tentang pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1986 hingga bulan Desember 1992, jumlah perkara yang masuk pada Pengadilan TUN dan Pengadilan Tinggi TUN masing-masing 774 dan 195 perkara, jumlah perkara yang telah diputus masing-masing sejumlah 502 perkara dan 112 perkara. Dari sekian jumlah tersebut, perkara yang paling menonjol adalah kasus-kasus pertanahan 236, kepegawaian 226, perumahan 154, dan perizinan 103 perkara. 8. Pendayagunaan Administrasi Kearsipan Langkah-langkah pendayagunaan kearsipan mencakup pembinaan kearsipan dinamis dan kearsipan statis pada keseluruhan aparatur pemerintahan di pusat dan di daerah. Hal ini dimaksudkan agar dokumen-dokumen pemerintah sebagai hasil penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat terpelihara secara baik dan tertib. Pembinaan kearsipan dinamis meliputi kegiatan penataran, bimbingan teknis, dan konsultasi dalam menata dan menyusutkan arsip inaktif dan menyiapkan jadwal retensi arsip. Pembinaan kearsipan statis antara lain berupa pelatihan di bidang konservasi dan preservasi, serta membuat dan merawat mikrofilm. Dengan disempurnakannya fungsi dan kedudukan Arsip Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1974, sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan, maka terus menerus diambil berbagai langkah pendayagunaan XXII/83 kearsipan, antara lain, pengembangan sistem kearsipan kartu kendali dan peningkatan penyimpanan, penataan dan pengawetan arsip statis. Hingga tahun keempat Repelita V telah ditempuh langkah-langkah peningkatan pembinaan kearsipan melalui upaya meningkatkan keterampilan, memantapkan sistem dan tata kerja kearsipan di lembaga-lembaga pemerintah, badan usaha milik negara/daerah, dan lembaga perbankan yang telah dan akan menerapkan sistem kearsipan dinamis sehingga informasi tersusun lebih baik. Di bidang pengembangan tenaga kearsipan, telah dilakukan kerja sama dalam pelatihan dan bantuan tenaga ahli dengan Lembaga Arsip Kerajaan Belanda untuk periode 1990 - 1993. 9. Peran Serta Masyarakat Dalam Pembangunan Peran serta masyarakat merupakan prinsip yang melandasi kebijaksanaan dan manajemen pembangunan nasional kita. Dengan semakin meluas dan meningkatnya kegiatan pembangunan, aparatur pemerintah juga dituntut untuk mampu melayani dan mengayomi serta menumbuhkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan. Sebab itu, sejak Repelita I hingga tahun keempat Repelita V ditempuh langkah-langkah pendayagunaan untuk terus meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Upaya tersebut dilaksanakan antara lain melalui proyek padat karya, PKK, program bantuan pembangunan kepada daerah (antara lain melalui Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres Desa), dan sebagainya. Dalam Repelita II ditempuh pula langkah-langkah pengembangan unit usaha kecil melalui kebijaksanaan perkreditan seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Mini, Kredit Candak Kulak, dan Kredit Pembangunan dan Pemugaran Pasar. Dalam Repelita III upaya meningkatkan peran serta masyarakat di perluas dengan pengembangan proyek-proyek pembangunan yang dapat menumbuhkan peran serta masyarakat, seperti pemugaran perumahan dan lingkungan desa, serta Inpres Penghijauan dan Reboisasi. Selanjutnya dikembangkan pula proses perencanaan pembangunan dari bawah melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Dalam Repelita IV upaya tersebut lebih diperluas lagi melalui XXII/84 langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi secara lebih menyeluruh; dan melalui upaya peningkatan pengawasan masyarakat; serta kerja sama antara usaha besar, menengah, dan kecil khususnya dengan koperasi; dan peningkatkan peran serta lembaga swadaya masyarakat khususnya dalam usaha-usaha lokal dalam pelaksanaan berbagai proyek pembangunan. Dalam lima tahun terakhir ini hingga tahun keempat Repelita V peran serta masyarakat dalam pembangunan makin ditingkatkan dengan menciptakan iklim yang mendorong prakarsa dan peran serta dunia usaha dan masyarakat pada umumnya dalam berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi; peningkatan program-program Inpres khususnya Inpres Desa, Dati II dan Dati I; peningkatan kualitas dan kemampuan masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan sehingga dapat bekerja secara lebih berdaya guna dan berhasil guna dengan daya saing serta nilai tambah yang meningkat; peningkatan hubungan antara kelompok usaha kecil, menengah dan besar; meningkatkan dan memantapkan jaringan antara berbagai hirarki pusat-pusat produksi dan pemasaran; pemantapan perilaku birokrasi sehingga lebih menunjang prakarsa dan peran serta masyarakat tersebut. 10. Penelitian Aparatur Pemerintah Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah, dan memantapkan sistem administrasi pembangunan diperlukan dukungan yang tepat dalam kebijaksanaan dan langkah-langkah penelitian di bidang aparatur pemerintah. Oleh karena itu sejak Repelita I, penelitian aparatur pemerintah diarahkan pada pengembangan ilmu administrasi pembangunan, sistem administrasi pembangunan dan pada upaya untuk menghasilkan saran kebijaksanaan dalam rangka pendayagunaan aparatur pemerintah. Hasil penelitian dapat dijadikan masukan dalam merumuskan strategi dan kebijaksanaan pendayagunaan aparatur secara tepat, memberikan informasi yang diperlukan bagi kebutuhan analisa dan penilaian pelaksanaan pembangunan, serta mengidentifikasikan perkembangan-perkembangan baru di bidang administrasi pembangunan. Sampai dengan tahun keempat Repelita V kegiatan penelitian aparatur pemerintah dilaksanakan oleh berbagai pusat penelitian di lingkungan Departemen/Lembaga Pemerintah non Departemen seperti Departemen Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara, Arsip Nasional dan Perguruan Tinggi. XXII/85 Penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V. Dalam lima tahun terakhir ini, dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, penelitian-penelitian yang telah dilakukan antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang Mutasi Pegawai dalam rangka Pembinaan Aparatur Daerah Tingkat II, (b) Penyempurnaan Rancangan Isi Bab tentang Aparatur Pemerintah pada Repelita VI, (c) Penelitian tentang Pelaksanaan Kebijaksanaan Pusat di Daerah, (d) Pengkajian dan Pemantauan Sistem Kearsipan Dinamis, dan (e) Evaluasi Kebijaksanaan Pemerintah di Bidang BUMN. Sedangkan langkah-langkah penelitian yang telah dilakukan dalam Repelita-repelita sebelumnya dapat dirinci sebagai berikut: (1) Dalam Repelita I antara lain meliputi: (a) Penelitian Administrasi Pemerintah Tingkat Pusat, (b) Penelitian Administrasi Pemerintah Tingkat Daerah, (c) Penelitian Administrasi Keuangan, (d) Penelitian tentang Koordinasi Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah, (e) Penelitian tentang Struktur Organisasi Pemerintahan Kota. (2) Dalam Repelita II antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang Sistem Penilaian Prestasi Kerja, (b) Penelitian tentang Informasi Administrasi Pemerintahan, (c) Penelitian tentang Sistem Perizinan, (d) Penelitian tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, (e) Penelitian tentang Hubungan Struktural dan Fungsional antara LMD, LKMD dan Lembaga-lembaga Pedesaan lainnya. (3) Dalam repelita III antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang Pembagian Tugas dan Kewenangan Perangkat Pelaksana Wilayah dan Perangkat Daerah di Propinsi Daerah Tingkat I, (b) Penelitian tentang Peningkatan Proses Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan di Daerah Tingkat II, (c) Penelitian tentang Administrasi untuk Meningkatkan Pelaksanaan Transmigrasi Spontan, (d) Penyusunan Pedoman tentang Tata Persuratan Dinas. (4) Dalam Repelita IV antara lain meliputi: (a) Penelitian tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 Tahun 1974, (b) Penelitian tentang Kemampuan Pembiayaan Pembangunan oleh Pemerintah Daerah, (c) Penelitian tentang Koordinasi Pembinaan Koperasi, (d) Pemantauan dan Evaluasi Waskat, dan (e) Penelitian tentang Efisiensi Pelaksanaan Tugas Pemerintah Desa/Kelurahan. XXII/86