KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA BAB XVIII KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA A. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan, kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana, serta kependudukan dan keluarga sejahtera dalam Repelita VI diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar menjadi kekuatan pembangunan bangsa yang efektif dan bermutu. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk makin meningkatkan kualitas dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan dan gizi, mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi, mendorong peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembangunan kesehatan, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup XVIII/3 sehat dan bersih serta peduli terhadap lingkungannya. Pembangunan kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana ditujukan untuk makin meningkatkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi masalah sosial termasuk penanggulangan bencana, serta menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial. Sejalan dengan itu, pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera ditujukan untuk meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan kehidupan keluarga yang berlandaskan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. Dalam tahun ketiga Repelita VI (1996/97), hasil pembangunan di bidang kesehatan antara lain tampak nyata dalam kegiatan imunisasi. Vaksinasi polio melalui pekan imunisasi nasional (PIN) telah berhasil mencakup 23,5 juta anak balita. Imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio, Campak) pada bayi mencapai 91 persen; melampaui sasaran Universal Child Immunization (UCI) yang telah ditetapkan oleh konferensi tingkat tinggi anak sedunia (World Summit for Children), yaitu sebesar 80,0 persen. Imunisasi hepatitis B bagi bayi baru lahir mulai dikembangkan di seluruh propinsi walaupun masih terbatas di beberapa Dati II. Kegiatan penanggulangan berbagai penyakit menular juga menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Dalam upaya penanggulangan penyakit Tuberkulosa Paru (TB-Paru), pemeriksaan bakteriologis mencapai sekitar 659,9 ribu sediaan dahak dan pengobatan dilaksanakan terhadap sekitar 148,9 ribu penderita melalui penggunaan panduan obat jangka pendek (6 bulan) dan pengawasan langsung menelan obat (Directly Observed Treatment Shortcourse/DOTS) sesuai dengan rekomendasi WHO. XVIII/4 Dalam kegiatan perbaikan gizi, pada tahun 1996/1997 telah dilaksanakan penyuluhan gizi masyarakat perdesaan di sekitar 250,3 ribu posyandu, pemberian kapsul iodium kepada sekitar 10,5 juta penduduk yang bertempat tinggal di daerah endemik, pemberian tablet besi kepada sekitar 2,6 juta ibu hamil, dan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi terhadap 12,6 juta anak balita. Peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit juga menunjukkan penyebaran yang makin merata, didukung dengan peningkatan jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan terutama dokter, dokter gigi, tenaga paramedis, dan bidan yang makin baik. Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesehatan ibu dan anak, keadaan gizi masyarakat, menurunkan angka kematian bayi dan balita dan memperpanjang usia harapan hidup rata-rata penduduk. Di bidang kesejahteraan sosial, pada tahun 1996/97 kegiatan penyantunan sosial telah dilaksanakan terhadap 260,8 ribu orang anak terlantar dan 48,1 ribu orang lanjut usia yang tidak mampu; pelayanan rehabilitasi sosial bagi 46,6 ribu orang penyandang cacat; pembinaan dan pemberian bantuan modal usaha bagi 21,5 ribu kepala keluarga (KK) miskin di luar desa-desa IDT; dan pembinaan terhadap 6,5 ribu KK masyarakat terasing. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pelayanan sosial telah dilakukan pembinaan bagi 8.160 orang pekerja sosial masyarakat (PSM); pemberian bantuan paket sarana usaha bagi 2.953 karang taruna; dan peningkatan kemampuan 2.685 organisasi sosial (orsos) melalui pelatihan manajemen dan pekerjaan sosial serta pemberian bantuan pengembangan organisasi dan pelayanan sosial. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan secara lintas bidang dan lintas sektor, antara lain meliputi kesiapsiagaan XVIII/5 menghadapi bencana, tanggap darurat terhadap kejadian bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana. Pada tahun 1996/97 dilakukan pemetaan daerah rawan bencana, perbaikan dan pengendalian arus sungai sepanjang 184 km, pengendalian daya rusak banjir lahar, peningkatan keselamatan penerbangan dan pelayaran, serta peningkatan kemampuan pertahanan sipil dan perlindungan masyarakat yang diikuti dengan pelatihan satuan tugas sosial penanggulangan bencana (Satgasos PB). Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi ditempuh antara lain melalui perbaikan sarana umum dan pemberian bantuan rehabilitasi rumah yang rusak akibat bencana. Pembangunan kependudukan dan keluarga sejahtera yang pelaksanaannya didukung oleh berbagai pembangunan bidang lainnya, pada tahun 1996/97 antara lain telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,57 persen, menurunkan angka kematian kasar menjadi 7,6 per 1.000 penduduk, angka kelahiran kasar menjadi 23,3 per 1.000 penduduk, dan meningkatkan angka rata-rata harapan hidup menjadi 63,9 tahun. Pada tahun 1996 jumlah penduduk diperkirakan mencapai 198,3 juta orang yang terdiri dari 98,9 juta orang laki-laki dan 99,4 juta orang perempuan. Kegiatan pemberian bantuan Tabungan Keluarga Sejahtera (Takesra) dan Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra), Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), dan Gerakan Keluarga Sadar Menabung, telah berhasil meningkatkan motivasi berusaha keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera (KS) I. Pada tahun 1996 jumlah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I telah menurun menjadi 48,2 persen dari 56,0 persen pada tahun 1995. Selain itu, kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat dalam pembangunan keluarga sejahtera telah berhasil meningkatkan jumlah peserta KB baru menjadi 5,8 juta orang dan peserta KB aktif menjadi 25,5 juta orang pada tahun 1996/97. XVIII/6 B. KESEHATAN 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI adalah meningkatnya derajat kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pelayanan kesehatan yang makin menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka itu, sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya angka harapan hidup waktu lahir menjadi sekitar 64,6 tahun, menurunnya angka kematian kasar menjadi sekitar 7,5 per 1.000 penduduk, menurunnya angka kematian bayi menjadi 50 per 1.000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. Sasaran keadaan gizi masyarakat pada akhir Repelita VI adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi kurang, yaitu gangguan akibat kurang iodium menjadi 18 persen; anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen, balita menjadi 40 persen dan tenaga kerja wanita menjadi 20 persen; kurang energi protein menjadi 30 persen; dan kurang vitamin A pada anak balita menjadi 0,1 persen. Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, pokok kebijaksanaan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dan desa tertinggal; meningkatkan status gizi masyarakat; meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada tenaga kerja; meningkatkan penyuluhan kesehatan masyarakat; mengembangkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu; meningkatkan peran serta masyarakat dan organisasi profesi; XVIII/7 meningkatkan mobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan kesehatan; meningkatkan manajemen upaya kesehatan; serta mengoptimasikan penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas disusun tujuh program pokok yang meliputi (1) penyuluhan kesehatan masyarakat; (2) pelayanan kesehatan masyarakat; (3) pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit; (4) pencegahan dan pemberantasan penyakit; (5) perbaikan gizi; (6) pengawasan obat dan makanan; dan (7) pembinaan pengobatan tradisional. Programprogram di atas didukung oleh beberapa program penunjang, yang dilaksanakan secara terkoordinasi dengan program pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha. Beberapa program penunjang tersebut antara lain mencakup program penyediaan dan pengelolaan air bersih, penyehatan lingkungan permukiman, pendidikan dan pelatihan kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, dan pengembangan informasi kesehatan. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga Repelita VI Pembangunan kesehatan pada tahun ketiga Repelita VI (1996/97) yang merupakan kelanjutan, perluasan dan peningkatan pelaksanaan program dari tahun-tahun sebelumnya, ditujukan untuk meningkatkan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat melalui upaya pemerataan sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit, didukung oleh peningkatan jumlah dan jenis tenaga kesehatan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta peningkatan peran serta masyarakat, dunia usaha dan organisasi profesi. Upaya tersebut dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut. XVIII/8 a. Program Pokok 1) Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatkan peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kegiatan pokok yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut, antara lain meliputi penyebarluasan informasi kesehatan, pengembangan dan pembinaan penyelenggara penyuluhan, dan pengembangan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan. Kegiatan penyebarluasan informasi kesehatan dilaksanakan melalui sarana media cetak, elektronik dan media tradisional. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan melalui radio sebanyak 101,6 ribu kali siaran, media televisi pemerintah dan swasta sebanyak 1.500 kali tayangan dalam bentuk wawancara, filler, sinetron dan siaran pembangunan, dan melalui poster, leaflet, buku pedoman dan kartu konsultasi sebanyak 3,5 juta lembar. Kegiatan penyuluhan kesehatan yang paling menonjol pada tahun 1996/97 adalah penyebarluasan informasi PIN (Pekan Imunisasi Nasional) melalui berbagai media dan jalur kampanye, pendekatan kelompok dan individu secara intensif, didukung oleh peran serta aktif dari pihak swasta dan masyarakat. Pelaksanaan PIN dilaksanakan secara serentak mulai dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten dan kecamatan serta desa-desa di seluruh Indonesia. Dalam rangka pengembangan dan pembinaan penyelenggaraan penyuluhan telah dilaksanakan berbagai pendidikan dan pelatihan bagi para petugas kesehatan. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan penyuluhan kesehatan bagi petugas kesehatan di tingkat XVIII/9 propinsi, kabupaten dan puskesmas sebanyak 4 ribu orang. Sementara itu, untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan di rumah sakit telah dilaksanakan penyuluhan kesehatan masyarakat di rumah sakit (PKMRS) yang mencakup 954 rumah sakit. Untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS, peran serta aktif lembaga swadaya masyarakat (LSM) lebih ditingkatkan, terutama di propinsi yang rawan penyakit HIV/AIDS seperti propinsi DKI Jakarta, Riau, Bali dan Irian Jaya. Dalam upaya mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat, telah dilakukan penyuluhan lintas program dan lintas sektoral antara lain melalui gerakan Jum'at bersih yang merupakan gerakan dari, oleh dan untuk masyarakat. Dalam rangka pengembangan potensi swadaya masyarakat untuk lebih berkiprah dalam pembangunan kesehatan, telah dilaksanakan pembinaan dan pengembangan posyandu, pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), peningkatan peran serta LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan peningkatan upaya kesehatan kerja. Selain itu, telah dilaksanakan pula pembinaan generasi muda dan peningkatan peranan wanita dalam pembangunan kesehatan. Pada tahun 1996/97 telah dilatih kader kesehatan dari komponen generasi muda dan wanita di 302 kabupaten/kodya yang diharapkan mampu membina kesehatan diri dan lingkungannya sebagai salah satu bentuk peran aktifnya dalam pembangunan kesehatan. 2) Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat Program pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk lebih memperluas cakupan dan sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar serta menumbuhkembangkan sikap dan kemandirian dalam pemeliharaan kesehatan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Program ini dilaksanakan secara terpadu melalui XVIII/10 puskesmas dan jaringannya yaitu puskesmas perawatan, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, dan bidan di desa. Kegiatan pokok dari program ini antara lain mencakup peningkatan sarana pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan keluarga, kesehatan sekolah dan remaja, kesehatan kerja, penyembuhan dan pemulihan, kesehatan olah raga, kesehatan matra, pelayanan laboratorium dan penyuluhan kesehatan masyarakat serta pembinaan peranserta masyarakat. Peningkatan sarana pelayanan kesehatan antara lain meliputi pengadaan dan peningkatan sarana fisik pelayanan, ketenagaan dan obat. Pada tahun 1996/97 melalui Inpres bantuan sarana kesehatan telah ditingkatkan sarana fisik pelayanan kesehatan dasar antara lain berupa pembangunan 42 unit puskesmas, 500 unit puskesmas pembantu, dan 200 unit rumah dokter (Tabel XVIII-1A). Dengan demikian sampai dengan tahun ketiga Repelita VI telah tersedia sebanyak 7.056 puskesmas, 21.435 puskesmas pembantu, dan 4.224 buah rumah dokter (Tabel XVIII-1B). Untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, berbagai jenis sarana pelayanan tersebut dilengkapi dengan peralatan medis yang lengkap. Selain itu, dalam upaya meningkatkan mobilitas pelayanan kesehatan dasar telah dilaksanakan pengadaan 360 buah puskesmas keliling yang terdiri dari 335 kendaraan dan 25 perahu bermotor, dan pengadaan 500 sepeda motor. Bagi sarana pelayanan kesehatan dasar yang mengalami kerusakan, telah dilaksanakan perbaikan 816 puskesmas dan 1.482 puskesmas pembantu (Tabel XVIII-1A). Biaya untuk perbaikan dan pemeliharaannya, dialokasikan dalam bentuk bantuan langsung (block grant) melalui Inpres Dati II. Untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan, telah dilakukan percepatan penempatan tenaga khususnya tenaga dokter, dokter gigi dan bidan dengan pola pegawai tidak tetap (PTT). Dengan pola penempatan PTT ini maka penyebaran tenaga XVIII/11 bagi daerah terpencil dapat dipercepat. Bagi tenaga PTT tersebut diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilannya. Pada tahun 1996/97 telah ditempatkan sebanyak 2.994 orang dokter dan 875 dokter gigi (Tabel XVIII-2). Khusus untuk bidan di desa telah ditempatkan sebanyak 13.278 bidan PTT, sehingga sampai dengan tahun 1996/97 tercatat 62 ribu orang. Untuk mendukung kegiatan bidan di desa diberikan bantuan alat transpor, biaya pemondokan, biaya operasional, peralatan medis dan non medis. Upaya pelayanan kesehatan keluarga diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan kontrasepsi, pemeliharaan kesehatan anak dan ibu sesudah persalinan, perbaikan gizi dan pemberian imunisasi, serta pelayanan kesehatan bagi kelompok usia lanjut. Pada tahun 1996/97, telah dilaksanakan pelayanan kontrasepsi dengan metoda efektif dengan cakupan sekitar 68 persen dari pasangan usia subur. Pada tahun 1996/97, kunjungan anak balita ke sarana pelayanan kesehatan dasar dan pos pelayanan terpadu (posyandu) telah mencakup 70 persen. Selain tenaga bidan, dalam pelayanan kesehatan ibu, peranan dukun bayi juga cukup penting. Dengan bekal pelatihan dan melalui pembinaan yang terus-menerus, dukun bayi berperan besar dalam meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan ibu melahirkan. Jumlah dukun bayi yang dibina pada tahun 1996/97 adalah sebanyak 109 ribu orang, sedangkan dukun bayi yang dilatih mencakup 6.300 orang. Sebagai dampak dari bertambahnya tenaga bidan di desa dan makin intensifnya pembinaan dukun bayi maka cakupan pelayanan kepada ibu hamil pada tahun 1996/97 telah mencapai 87,4 persen, meningkat sebesar 12 persen dibanding tahun 1995/96. XVIII/12 Pelayanan kesehatan anak sekolah dan remaja diselenggarakan melalui wadah usaha kesehatan sekolah (UKS), meliputi penjaringan kesehatan anak sekolah, pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa (anak berkelainan) dan pelayanan kesehatan bagi remaja. Pada tahun 1996/97 pelayanan anak sekolah telah mencakup lebih dari 149 ribu sekolah, pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa pada 1.065 puskesmas atau meningkat 54 persen dibandingkan dengan tahun 1995/1996. Pelayanan kesehatan terhadap remaja telah dilaksanakan melalui penyuluhan dan konseling kesehatan bagi sekitar 24.500 orang di 27 propinsi. Sementara itu, mutu pelayanan kesehatan gigi di sekolah semakin ditingkatkan antara lain melalui peningkatan pelayanan usaha kesehatan gigi di sekolah (UKGS) di 81.346 SD dan peningkatan pelayanan klinik gigi dasar mencakup 4.962 puskesmas Untuk memperluas jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan mata, pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelayanan kesehatan mata pada 552 puskesmas. Kegiatannya antara lain mencakup pemeriksaan kesehatan mata bagi anak sekolah, operasi katarak yang dilaksanakan oleh Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKKM) dan rumah sakit bekerja sama dengan Puskesmas. 3) Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan, mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit serta mengembangkan dan memantapkan pelayanan rujukan yang dilaksanakan dari puskesmas ke rumah sakit kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit di tingkat pusat. Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit dilaksanakan melalui berbagai kegiatan antara lain pemerataan persebaran dan penambahan tenaga dokter ahli; penyediaan bantuan obat-obatan; penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit; pembangunan dan XVIII/13 rehabilitasi rumah sakit; penggantian, perbaikan dan penyediaan peralatan medis; serta peningkatan keterampilan petugas di berbagai bidang pelayanan, baik melalui pelatihan maupun pendidikan. Disamping itu, untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di puskesmas dilaksanakan rujukan dokter ahli untuk melayani penderita di puskesmas. Pada tahun 1996/97, jumlah keseluruhan rumah sakit tercatat sebanyak 1.880 buah dengan tempat tidur sebanyak 134.376 buah, terdiri dari 858 buah rumah sakit umum (RSU) dengan 102.042 tempat tidur dan 1.022 rumah sakit khusus (RSK) dengan 32.334 tempat tidur (Tabel XVIII-3). Dengan demikian pada tahun ketiga Repelita VI terjadi penambahan rumah sakit sebanyak 12 buah dan tempat tidur sebanyak 1.877 buah. Dalam rangka peningkatan dan perluasan pelayanan spesialistik kepada masyarakat, pada tahun 1996/97 sebanyak 19 rumah sakit kabupaten ditingkatkan dari kelas D menjadi kelas C. Untuk memenuhi kebutuhan dokter ahli di berbagai rumah sakit kelas D dan C, pada tahun 1996/97 telah ditempatkan 152 tenaga dokter ahli baru dari empat keahlian dasar yaitu ahli bedah, ahli anak, ahli penyakit dalam serta ahli kebidanan dan kandungan. Untuk mempercepat penempatan para dokter ahli di rumah sakit kabupaten terutama di daerah-daerah terpencil, sejak awal Repelita VI prioritas pemberian beasiswa pendidikan dokter ahli diberikan kepada dokter yang ditempatkan atau akan ditempatkan di kabupaten, khususnya untuk 4 keahlian dasar dan 3 keahlian penunjang yaitu ahli radiologi, anestesi, dan patologi klinik. Agar para dokter ahli tersebut dapat menjalankan masa baktinya di rumah sakit kabupaten secara optimal, disediakan berbagai paket peralatan sesuai kebutuhan. Pada tahun 1996/97 antara lain disediakan 73 paket peralatan keahlian dasar, 35 paket peralatan keahlian penunjang, dan 68 paket peralatan dokter spesialis lainnya. XVIII/14 Untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, secara bertahap pada tahun 1996/97 telah dilakukan penggantian atau penambahan peralatan terdiri dari 1,1 ribu unit peralatan medik, 1,8 ribu unit peralatan non-medik, dan pengadaan 98 unit kendaraan operasional/ ambulans. Disamping itu dilaksanakan pembangunan baru RS antara lain RS Lhokseumawe, RS Tapak Tuan, RS Dumai, RS Sekayu, RS Liwa, dan penyelesaian fisik RS Bengkulu. Secara keseluruhan rehabilitasi/renovasi rumah sakit telah dilakukan pada 64 rumah sakit. Dalam rangka mewujudkan kemandirian rumah sakit, secara bertahap rumah sakit pemerintah yang dinilai mampu mulai dikembangkan menjadi unit swadana. Diharapkan dengan pengembangan unit swadana ini dimungkinkan terjadinya subsidi silang kepada rumah sakit yang lemah, sedangkan rumah sakit yang telah mandiri dapat meningkatkan mutu pelayanannya, dan juga memungkinkan adanya subsidi silang antara penderita yang mampu kepada yang tidak mampu. Sampai dengan tahun 1996/97, sebanyak 48 rumah sakit telah terdaftar sebagai unit swadana terdiri dari 12 RSU vertikal, 1 RS mata vertikal, dan 35 RSU Pemda. 4) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Program ini ditujukan untuk menurunkan angka kematian dan angka kesakitan penyakit terutama yang dapat menimbulkan wabah dan menyerang bayi, anak dan golongan usia produktif, serta mengurangi akibat buruk penyakit, baik yang menular maupun tidak menular. Pencegahan dan pemberantasan penyakit dilaksanakan secara terpadu melalui upaya pelayanan kesehatan masyarakat, kesehatan rujukan dan rumah sakit, serta upaya lain yang dilakukan oleh masyarakat dan dunia usaha. XVIII/15 Penyakit malaria masih merupakan penyakit menular yang perlu ditingkatkan pemberantasannya yang diprioritaskan pada daerahdaerah yang masih dianggap rawan, seperti daerah-daerah transmigrasi, daerah perbatasan dan permukiman baru di luar pulau Jawa-Bali. Kegiatan pemberantasan penyakit malaria dilaksanakan melalui pemberantasan vektor berupa penyemprotan rumah penduduk dan lingkungannya dengan menggunakan insektisida. Pada tahun 1996/97 jumlah rumah yang disemprot mencakup sekitar 1,1 juta rumah (Tabel XVIII-4). Selain itu telah dilaksanakan penemuan dan pengobatan tersangka penderita malaria yang mencapai jumlah sekitar 3,3 juta orang. Angka kesakitan malaria pada tahun 1996/97 sekitar 0,11 per 100.000 penduduk meningkat dibandingkan tahun 1995/96 sekitar 0,06 per 100.000 penduduk. Kegiatan pemberantasan penyakit diare dititikberatkan pada upaya pencarian dan pengobatan penderita diare sedini mungkin. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan penemuan dan pengobatan terhadap sekitar 3,8 juta penderita diare. Kegiatan lainnya berupa penyuluhan kesehatan terutama melalui puskesmas dan jaringannya. Materi penyuluhan meliputi upaya pencegahan seperti membiasakan minum air yang telah dimasak, cara menggunakan oralit, cara membuat larutan gula garam, serta cara memelihara lingkungan yang sehat. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang makin meluas sejalan dengan meningkatnya arus transportasi antar wilayah serta makin padatnya jumlah penduduk di suatu kawasan. Selain itu meluasnya penyebaran penyakit ini juga disebabkan oleh kebersihan lingkungan yang belum memadai dan rendahnya pengetahuan masyarakat tentang cara penularan penyakit ini. Upaya menanggulangi penyakit DBD dilakukan antara lain melalui abatisasi dan penyemprotan masal di tempat-tempat XVIII/16 pembiakan nyamuk Aedes Aegypti, serta pengasapan (fogging) pada rumah-rumah yang diduga menjadi sarang nyamuk. Pada tahun 1996/97, kegiatan abatisasi masal telah dilaksanakan terhadap sekitar 1,8 juta rumah, dan pengasapan terhadap sekitar 3,3 juta rumah (Tabel XVIII-4). Angka kesakitan DBD pada tahun 1996/97 masih cukup tinggi yaitu sekitar 23,2 per 100.000 penduduk, sehingga perlu dilakukan pemantauan dan pengobatan penderita secara dini. Upaya ini juga didukung oleh kegiatan pemberantasan penyakit menular secara terpadu dan efektif melalui berbagai sarana pelayanan kesehatan yang ada. Peran serta masyarakat terus ditingkatkan dalam bentuk pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara menguras, mengubur dan menutup sarang nyamuk. Salah satu penyakit menular yang banyak diderita oleh masyarakat berpenghasilan rendah adalah penyakit Tuberkulosa Paru (TB-Paru). Sejak tahun pertama Repelita VI (1994/95) telah dilaksanakan upaya penyempurnaan dalam penanggulangan penyakit ini, meliputi penggunaan panduan obat jangka pendek (6 bulan) dan pengawasan langsung menelan obat (Directly Observed Treatment Short-course/DOTS) kepada setiap penderita TB yang baru. Upaya pemberantasan TB-Paru di puskesmas diintegrasikan dengan sarana pelayanan kesehatan lainnya seperti balai pengobatan penyakit paru (BP4) dan rumah sakit. Kerjasama dengan perkumpulan pemberantasan tuberkulosa Indonesia (PPTI) terus ditingkatkan dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pemeriksaan bakteriologis yang meliputi sekitar 659,9 ribu sediaan dahak dan pengobatan terhadap sekitar 148,9 ribu penderita (Tabel XVIII-4). Selain penyakit TB-Paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit menular yang perlu ditanggulangi. Penyakit ini merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian XVIII/17 bagi bayi dan anak. Pemberantasan penyakit ISPA meliputi penemuan dan pengobatan penderita, dilaksanakan di puskesmas dan jaringannya, serta rujukan ke rumah sakit untuk penanganan kasus yang berat. Pada tahun 1996/97 kegiatan pemberantasan ISPA telah dilaksanakan di seluruh propinsi dengan jumlah penderita yang ditemukan dan diobati mencakup sekitar 1,2 juta orang. Untuk mencegah secara dini berjangkitnya berbagai penyakit menular, dilakukan peningkatan kegiatan imunisasi. Vaksinasi polio melalui pekan imunisasi nasional (PIN) telah berhasil mencakup 23,5 juta anak balita. Imunisasi dasar (BCG, DPT, Polio, Campak) pada bayi mencapai 91 persen; melampaui sasaran Universal Child Immunization (UCI) yang telah ditetapkan oleh konferensi tingkat tinggi anak sedunia (World Summit for Children), yaitu sebesar 80,0 persen. Imunisasi hepatitis B bagi bayi baru lahir mulai dikembangkan di seluruh propinsi walaupun masih terbatas di beberapa Dati II. Untuk meningkatkan cakupan dan mutu kegiatan imunisasi, telah dilakukan pemantauan pelaksanaan di lapangan, terutama terhadap mutu vaksin serta penigkatan petugas yang dilatih. Penyakit AIDS, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1987 menunjukkan kecenderungan meningkat dan meluas penyebarannya. Sampai bulan September 1996 tercatat 108 orang penderita AIDS dan 341 orang terinfeksi HIV. Penanggulangan AIDS kegiatannya diintegrasikan dengan pemberantasan penyakit kelamin, meliputi sero survai AIDS dan sifilis, dan pemeriksaan (skrining) donor darah. Kegiatan lainnya adalah berupa penyuluhan tentang pencegahan AIDS melalui berbagai media massa. Pada tahun 1996/97, telah dilaksanakan sero survai AIDS dan sifilis yang mencakup 89.213 sediaan. XVIII/18 Di samping itu dilaksanakan upaya pemberantasan penyakit menular lainnya seperti penyakit kaki gajah (filariasis), demam keong (schistosomiasis), gila anjing (rabies), pes, kusta, dan patek (frambusia). Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pengobatan masal terhadap sekitar 105 ribu penderita kaki gajah dan survai darah sebanyak 60 ribu sediaan. Selain itu dilaksanakan pula kegiatan penyuluhan, penyediaan sarana air bersih dan jamban serta pemberantasan fokus-fokus keong penular. Kegiatan penanggulangan rabies dilaksanakan melalui vaksinasi hewan sebanyak 393 ribu ekor dan vaksinasi pada manusia sebanyak 6.707 orang. Pemberantasan penyakit rabies dilaksanakan secara lintas sektoral. 5) Program Perbaikan Gizi Program perbaikan gizi ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan keadaan gizi masyarakat. Kegiatan utama program ini meliputi penyuluhan gizi masyarakat, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), upaya perbaikan gizi institusi, fortifikasi pangan, dan peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Penyuluhan gizi masyarakat ditujukan untuk memasyarakatkan pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan makanan yang bermutu gizi seimbang. Penyuluhan gizi masyarakat perdesaan dilaksanakan melalui posyandu yang tersebar di seluruh desa. Pada tahun 1996/97 jumlah posyandu yang melaksanakan penyuluhan gizi adalah sebanyak 250,3 ribu posyandu. Pelaksana penyuluhan adalah para kader di bawah bimbingan petugas kesehatan dan petugas sektor lainnya seperti petugas pertanian, BKKBN, agama, pamong desa dan penggerak PKK. Selain di posyandu, penyuluhan gizi juga dilaksanakan di luar posyandu dengan menggunakan pendekatan XVIII/19 kelompok antara lain melalui kelompok pengajian, arisan, kelompok wanita tani, PKK dan kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (Kelompencapir). Untuk melaksanakan penyuluhan gizi telah disusun pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Pedoman ini merupakan pegangan bagi petugas kesehatan dan petugas sektor terkait lainnya serta masyarakat luas tentang perilaku gizi yang baik dan benar. Dalam rangka menyebarluaskan informasi tentang PUGS, pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan untuk pelatih PUGS sebanyak 2.625 orang, dan pelatihan tentang peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) secara eksklusif terhadap 165 orang petugas. Selain itu pesan-pesan gizi juga diinformasikan melalui media TVRI sebanyak 52 kali tayangan, media RRI sebanyak 4.150 kali siaran berbentuk drama seri dan kuis, dan melalui pameran pembangunan dan hari-hari besar seperti Hari Kesehatan Nasional, Hari Gizi Nasional, dan Hari Pangan Sedunia. Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) merupakan gerakan sadar gizi masyarakat, yang ditujukan untuk memacu upaya masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan gizinya, melalui pemanfaatan aneka ragam pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga dan lingkungan masyarakat setempat. Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi masyarakat perdesaan, pelayanan gizi di posyandu dan peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan. Kegiatan UPGK dilaksanakan secara lintas sektor dan didukung peran serta aktif masyarakat. Pelayanan gizi di posyandu, terutama ditujukan kepada kelompok masyarakat yang rawan gizi yaitu wanita pranikah, ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita. Posyandu merupakan ujung tombak dalam penanggulangan masalah gizi kurang seperti kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB) dan kurang energi protein (KEP). Kegiatan pemantauan XVIII/20 pelayanan gizi di posyandu antara lain meliputi pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemberian paket pelayanan gizi, pemberian makanan tambahan dan pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, dilaksanakan melalui penimbangan berat badan bayi dan balita secara teratur sekali sebulan, yang hasilnya dapat diamati melalui kartu menuju sehat (KMS). Selain itu dilaksanakan pemberian paket pertolongan gizi, antara lain berupa pemberian kapsul iodium terhadap sekitar 10,5 juta penduduk terutama terhadap penduduk yang bertempat tinggal di desa endemik berat dan sedang. Selanjutnya dilakukan pula penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi garam beriodium. Dalam upaya menanggulangi masalah AGB pada ibu hamil telah didistribusikan tablet besi kepada sekitar 2,6 juta ibu hamil. Prioritas pemberian tablet besi diberikan terhadap ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi di desa tertinggal. Selain itu telah dilaksanakan pula kegiatan pemasaran sosial untuk meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber zat besi. Upaya penanggulangan kurang vitamin A meliputi penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi pangan yang kaya vitamin A, terutama sayuran dan buah-buahan, dan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi. Pada tahun 1996/97 telah didistribusikan kapsul vitamin A kepada sekitar 12,6 juta anak balita, diiringi dengan peningkatan penyuluhan tentang manfaat sayuran hijau dan buah-buahan berwarna kuning untuk pencegahan KVA. Pemberian makanan tambahan untuk anak balita yang menderita KEP, kegiatannya dikaitkan dengan pemanfaatan lahan pekarangan melalui program diversifikasi pangan dan gizi dari sektor pertanian. Kegiatan pemberian makanan tambahan diupayakan menjadi tanggung XVIII/21 jawab keluarga dan masyarakat setempat dengan bimbingan dan dukungan teknis dari petugas lintas sektor terkait seperti petugas gizi puskesmas, penyuluh pertanian lapangan (PPL), dan pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Sebagai alat penyuluhan, kepada anak balita diberikan juga makanan tambahan di Posyandu. Kegiatan utama lainnya dari program perbaikan gizi adalah usaha perbaikan gizi institusi (UPGI). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, prestasi belajar anak didik sejak dini, daya saing dan prestasi olahragawan, dan mempercepat masa penyembuhan penyakit, serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan kelompok di lembaga terkait. Perhatian diberikan terutama kepada lembaga pendidikan, khususnya SD termasuk pesantren di daerah miskin, dan panti-panti sosial. Kegiatan UPGI antara lain meliputi pembinaan teknis, pelatihan, penyuluhan dan intervensi gizi. Pada tahun 1996/97 kegiatan ini telah dilaksanakan melalui pelatihan terhadap 450 petugas pengelola gizi perusahaan, 130 petugas panti sosial, dan 150 petugas pesantren. Pada tahun 1996/97 program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang merupakan salah satu kegiatan UPGI bukan merupakan uji coba lagi tetapi mulai dikembangkan menjadi program nasional. Sasaran pelaksanaan PMT-AS adalah seluruh SD/MI di desa IDT di luar Jawa dan Bali, mencakup 175 kabupaten, 14.445 desa IDT, 18.518 SD/MI, dan mencakup sekitar 2,3 juta orang murid. Cakupan tersebut jika dibandingkan dengan tahun 1995/96 meningkat lebih 85 kali lipat untuk jumlah SD/MI, dan 100 kali lipat untuk jumlah murid. Dana yang dialokasikan untuk program ini berjumlah Rp. 67,4 milyar. Dana tersebut digunakan untuk pengadaan bahan makanan, peralatan masak, obat cacing, buku juklak dan juknis, bahan-bahan penyuluhan, dan biaya pelatihan bagi para pengelola/petugas PMT-AS. Untuk pengadaan makanan jajanan per XVIII/22 anak disediakan biaya sebesar Rp 250,- untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Rp 350,- untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang diberikan 3 kali seminggu selama 108 hari dalam satu tahun belajar efektif. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan PMT-AS diberikan bantuan peralatan masak sebesar Rp. 200 ribu per SD/MI. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas pemberian makanan jajanan, diberikan pula obat cacing dua kali setahun masing-masing satu tablet. Disamping itu juga dilakukan penyuluhan secara aktif kepada anak didik mengenai kebersihan diri dan lingkungan. Berdasarkan laporan dari daerah, pelaksanaaan PMT-AS berhasil meningkatkan kehadiran siswa (menurunkan absensi) sehingga diharapkan pada gilirannya jumlah anak yang putus sekolah menurun. Upaya fortifikasi bahan pangan ditujukan untuk meningkatkan mutu gizi bahan makanan dengan memperkaya kandungan zat gizi melalui penambahan zat gizi tertentu untuk menanggulangi masalah gizi masyarakat. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan rintisan fortifikasi zat besi pada mie instant dan jamu sehat wanita, dan rintisan fortifikasi vitamin A pada mie instant. Rintisan ini diharapkan dapat dioperasionalkan pada tahun 1997/98. Khusus mengenai pentingnya garam beriodium, telah dilaksanakan lebih intensif kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), peningkatan pengawasan produksi dan distribusi, dan penindakan pada produsen yang melanggar. Upaya peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) ditujukan untuk: a) memberikan isyarat dini tentang kemungkinan timbulnya kekurangan pangan yang terjadi di suatu wilayah atau daerah tertentu; b) menyediakan informasi tentang perkembangan penyediaan beranekaragam konsumsi pangan serta keadaan gizi masyarakat yang berguna bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi program penganekaragaman pangan dan gizi daerah; dan XVIII/23 c) meningkatkan kemampuan daerah dalam memecahkan masalah pangan dan gizi berdasarkan keadaaan setempat. Pada tahun 1996, konsumsi energi dan protein masing-masing telah mencapai 2.019,8 kilokalori per kapita per hari dan 54,5 gram per kapita per hari, sedangkan konsumsi energi dan protein yang dianjurkan masingmasing sebesar 2.150 kilokalori per kapita per hari dan 46,2 gram per kapita per hari. 6) Program Pengawasan Obat dan Makanan Program pengawasan obat dan makanan bertujuan: pertama, tersedianya obat dan alat kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang didukung oleh industri farmasi; kedua, terlindungnya masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya; ketiga, terlindungnya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotik, dan zat adiktif, serta bahan berbahaya lainnya; dan keempat, meningkatnya penggunaan obat tradisional yang terbukti bermanfaat untuk pelayanan kesehatan sejalan dengan program pengembangan pengobatan tradisional. Dalam upaya menyediakan obat yang makin merata, bermutu dan terjamin khasiatnya serta terjangkau harganya, pemakaian obat generik secara bertahap terus ditingkatkan. Untuk menunjang ketersediaan obat dan alat kesehatan yang merata, maka pembinaan dan pengembangan industri farmasi terus ditingkatkan. Pada tahun 1996/97 tercatat sebanyak 224 industri farmasi dan 1.593 pedagang besar farmasi (PBF). Sedangkan nilai ekspor obat meningkat dari US$ 47 juta pada tahun 1995/96 menjadi US$ 48,5 juta pada tahun 1996/97. Untuk menjaga kelangsungan industri farmasi dalam negeri, kemampuan untuk memproduksi bahan baku di dalam negeri terus XVIII/24 ditingkatkan. Pada tahun 1996/97 bahan baku yang sudah bisa diadakan di dalam negeri mencapai nilai produksi Rp 85 milyar. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan obat dati II, maka pengawasan obat dan makanan ditingkatkan dengan sistem dan mekanisme operasional yang makin efisien. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan tenaga pengelola obat terpadu terhadap 930 orang Dalam rangka melindungi masyarakat dari penggunaan produk farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya, telah diupayakan pengendalian mutu produk secara ketat dan menyeluruh. Upaya tersebut meliputi; pertama, persyaratan bahwa setiap produk obat yang beredar harus memenuhi cara-cara pembuatan obat yang baik (CPOB); kedua, penilaian produk sebelum dan sesudah beredar; ketiga, penetapan standar mutu; keempat, pengujian laboratorium dan kelima, dengan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan penilaian registrasi data teknis terhadap 1,4 ribu jenis obat, 5,3 ribu jenis makanan, 2,1 ribu jenis alat kosmetika, alat kesehatan dan peralatan kesehatan rumah tangga, dan 1,5 ribu jenis obat tradisional. Penetapan standar upaya pengendalian mutu dilakukan dengan menyusun buku monografi yang tiap tahun diterbitkan. Pada tahun 1996/97 telah disusun buku yang mencakup 100 monografi bahan makanan tambahan, 100 monografi kosmetika, dan 150 monografi obat tradisional. Pengujian laboratorium terhadap produk obat, makanan dan alat kesehatan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan produk yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan gangguan kesehatan yang disebabkan karena produk yang dikonsumsi mengandung bahan yang berbahaya. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan pengujian terhadap 31,8 ribu sampel obat, 21,9 ribu sampel makanan dan minuman, 12,6 ribu sampel kosmetika dan alat XVIII/25 kesehatan serta 10,7 ribu sampel obat tradisional. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, dan zat adiktif, serta bahan berbahaya lainnya, pada tahun 1996/97 telah dilakukan penyidikan obat dan makanan sebanyak 395 kasus, dengan jumlah kasus yang dapat diselesaikan sebanyak 47 kasus. 7) Program Pembinaan Pengobatan Tradisional Program ini ditujukan untuk meningkatkan pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional baik secara tersendiri atau terpadu dalam pelayanan kesehatan paripurna, dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dalam rangka pendayagunaan obat tradisional untuk kesehatan diupayakan pengembangan obat tradisional melalui penggalian, penelitian, pengujian serta penemuan obat-obatan termasuk budidaya obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu dibentuk sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (P3T). Pada tahun 1996/97 telah terbentuk 5 (lima) sentra P3T di propinsi DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Melalui sentra tersebut dilakukan penyiapan sarana dan prasarana serta pendataannya, pembinaan petugas terlatih, dan penelitian potensi pengobatan tradisional untuk dapat digunakan di pelayanan kesehatan formal. Dalam rangka meningkatkan pembinaan pengobatan tradisional, telah dilaksanakan inventarisasi tenaga pengobat tradisional. Pada tahun 1996/97 jumlah tenaga pengobat tradisional yang telah diinventarisasi mencapai 195.345 orang. Kepada tenaga pengobat tradisional tersebut secara bertahap diupayakan pembinaan langsung antara lain melalui serangkaian sarasehan. XVIII/26 b. Program Penunjang 1) Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih Program penyediaan dan pengelolaan air bersih di sub sektor kesehatan ditujukan untuk meningkatkan pengamanan kualitas air bagi berbagai kebutuhan dan kehidupan penduduk, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan. Kegiatan pokok dari program ini meliputi pembakuan dan pengaturan kualitas air, pengawasan kualitas air, perbaikan kualitas air, dan pembinaan pemakai air serta kegiatan pendukung. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pengawasan kualitas air yang mencakup pengambilan dan pemeriksaan sampel air sebanyak 74,4 ribu sampel. Untuk menunjang pengawasan dan pemeriksaan kualitas air telah disusun profil penyediaan dan pengelolaan air bersih (PAB) pada 800 desa yang merupakan data dasar atau gambaran mengenai keadaan sanitasi sarana dan kualitas air. Selain itu juga telah dilaksanakan perbaikan kualitas air di 2 ribu desa. Pembentukan dan pembinaan kelompok pemakai air (Pokmair) sebanyak 286 kelompok, merupakan upaya untuk menyediakan wadah bagi peranserta masyarakat dalam pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan sarana penyediaan air bersih. 2) Program Penyehatan Lingkungan Permukiman Program ini ditujukan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan. Kegiatannya meliputi pengawasan dan pemeliharaan kualitas lingkungan, penyuluhan kesehatan lingkungan, pendidikan dan pelatihan tenaga. XVIII/27 Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pengawasan dan pemeliharaan kualitas lingkungan di 200 Dati II yang mencakup 22,8 ribu sarana. Sarana yang dimaksud antara lain meliputi tempat pengelolaan makanan, pengelolaan pestisida, tempat pembuangan sampah, sarana angkutan umum dan kawasan industri. Sementara itu penyuluhan kesehatan lingkungan telah dilaksanakan di 2,3 ribu desa, terutama di desa tertinggal, daerah kumuh perkotaan, daerah endemis penyakit menular, daerah transmigrasi, masyarakat terasing, daerah nelayan, dan desa pengrajin makanan. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan pula pemantauan, pemaparan dan pengendalian pencemaran di 972 lokasi dengan jumlah sampel yang diperiksa oleh balai teknik kesehatan lingkungan (BTKL) sebanyak 2,5 ribu sampel serta penanggulangan 30 kasus kejadian luar biasa. Untuk membangun kemampuan sumber daya manusia telah dilaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan lingkungan di tingkat puskesmas, kabupaten dan propinsi. 3) Program Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan Program pendidikan dan pelatihan kesehatan terdiri atas dua komponen yaitu pendidikan kedinasan dan pelatihan tenaga kesehatan. Program ini ditujukan untuk menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah, jenis dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan program kesehatan. Sedangkan pelatihan tenaga kesehatan bertujuan meningkatkan mutu sumber daya dibidang kesehatan agar dapat meningkatkan hasil kerjanya dalam menunjang mutu pelayanan kesehatan, memperkuat tim kerja serta menunjang pengembangan karier. XVIII/28 Kegiatan pokok pendidikan kedinasan antara lain meliputi penyelenggaraan pendidikan kedinasan bidang kesehatan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, peningkatan kesempatan belajar (karya siswa), dan peningkatan mutu pendidikan kedinasan. Pada tahun 1996/97 dilaksanakan pendidikan tenaga bidan bagi 5.660 orang calon bidan melalui program A (lulusan SPK ditambah pendidikan bidan 1 tahun), dan 6.547 orang calon bidan melalui program C (lulusan SLTP ditambah pendidikan bidan 3 tahun). Di samping pendidikan tenaga bidan dan perawat, juga dididik berbagai tenaga kesehatan lainnya pada tingkat D-I dan D-III untuk jurusan gizi, sanitasi, fisioterapi, radiodiagnostik dan radioterapi serta teknik elektromedik. Sementara itu, guna meningkatkan mutu pendidikan kedinasan pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan peningkatan kualitas tenaga pendidik, termasuk guru bidan dan instruktur klinis. Melalui program AKTA III dan IV telah dilaksanakan pendidikan bagi 643 orang dan pendalaman bidang studi bagi 1.436 orang. Dalam komponen pelatihan tenaga kesehatan, kegiatan yang dilaksanakan antara lain meliputi pengembangan institusi pendidikan dan pelatihan (diklat), dan pengembangan sumber daya tenaga kesehatan. Dalam rangka pengembangan institusi diklat pada tahun 1996/97 dilaksanakan pelembagaan 10 unit diklat di rumah sakit dan 16 unit laboratorium kelas dan lapangan. Sedangkan untuk meningkatkan sumber daya tenaga kesehatan dilaksanakan pelatihan struktural bagi 1.113 orang, pelatihan teknis fungsional bagi 6.355 orang, pelatihan manajemen bagi 2.113 orang dan pendidikan (fellowship) baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebanyak 46 orang. XVIII/29 4) Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Program ini ditujukan untuk menunjang pembangunan kesehatan secara optimal khususnya yang menyangkut perluasan jangkauan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta pengembangan ilmu kedokteran bagi kepentingan masyarakat banyak. Di samping itu, program ini ditujukan untuk memantapkan dan mengembangkan kemampuan institusional penelitian dan pengembangan kesehatan serta meningkatkan sistem informasi kesehatan termasuk sistem informasi Iptek Kesehatan dan kedokteran. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan beberapa penelitian penting diantaranya yaitu penelitian untuk pengembangan jaringan iptek jaminan pemeliharaan kesehatan, pengembangan model pembinaan pelayanan reproduksi, analisis lanjutan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1995, dan penelitian serologis pada anak setelah pekan imunisasi I dan II di daerah terpencil. Secara keseluruhan kegiatan penelitian berjumlah 63 penelitian yang meliputi penelitian dibidang pelayanan kesehatan 12 penelitian, penyakit menular 7 penelitian, ekologi kesehatan 15 penelitian, farmasi 11 penelitian, gizi 11 penelitian dan penyakit tidak menular 7 penelitian. Untuk menunjang penyebaran informasi hasil penelitian kepada masyarakat luas, pada tahun 1996/97 telah dilakukan kegiatan penyebarluasan informasi penelitian melalui 238 buku ilmiah, 633 majalah, 742 anotasi bidang kesehatan, dan 257 abstrak penelitian. 5) Program Pengembangan Informasi Kesehatan Program ini ditujukan untuk meningkatkan, mengembangkan dan memantapkan sistem informasi kesehatan sehingga mampu memberikan data dan informasi yang akurat, tepat waktu dan sesuai dengan kebutuhan untuk proses pengambilan keputusan di berbagai XVIII/30 tingkat adminitrasi. Selain itu juga bertujuan memberikan data dan informasi untuk peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan dan menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan. Dalam rangka memantapkan sistem informasi kesehatan terutama pada tingkat propinsi, pada tahun 1996/97 ditingkatkan kemampuan manajemen pada bidang kesehatan dan penguasaan wilayah, antara lain melalui penyusunan profil kesehatan sebanyak 3.000 eksemplar, laporan eksekutif 1.000 eksemplar, informasi tenaga kesehatan 2.000 eksemplar, informasi ringkas kesehatan 2.000 eksemplar dan pengembangan Jaringan Informasi di 27 propinsi. Selain itu dilaksanakan pula kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data berupa 27 profil kesehatan propinsi dan 306 profil kesehatan kabupaten. Untuk mendapatkan data yang lengkap dan berkualitas dilakukan pemutakhiran data, yang dilakukan secara bertahap setiap tahunnya. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keterampilan tenaga pengelola data dan informasi, telah dilatih sebanyak 113 orang. Selain itu, untuk menunjang pengembangan sistem informasi dilaksanakan pula pengadaan peralatan komputer sebanyak 32 set komputer server dan work station beserta jaringan Local Area Network (LAN) di 13 lokasi. Berbagai upaya tersebut telah menambah ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu, sehingga kemampuan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan kesehatan pada berbagai tingkat administrasi makin meningkat. XVIII/31 TABEL XVIII – 1 A PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PUSKESMAS 1) 1993/94, 1994/95 – 1996/97 1) 2) 3) Angka tahunan Angka diperbaiki Peningkatan puskesmas pembantu menjadi puskesmas XVIII/32 GRAFIK XVIII – 1 PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS 1993/94, 1994/95 – 1996/97 XVIII/33 TABEL XVIII – 1 B PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS 1) 1993/94, 1994/95 – 1996/97 1) Angka diperbaiki XVIII/34 TABEL XVIII – 2 PELAKSANAAN PENEMPATAN BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN 1993/94, 1994/95 – 1996/97 1) Angka diperbaiki XVIII/35 TABEL XVIII – 3 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS) DAN TEMPAT TIDUR (TT) 1993/94, 1994/95 – 1996/97 XVIII/36 GRAFIK XVIII – 2 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS) 1993/94, 1994/95 – 1996/97 XVIII/37 TABEL XVIII – 4 PERKEMBANGAN USAHA PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (ribuan) 1) 2) 3) 4) Angka tahunan Mulai tahun 1994/95, diintegrasikan dengan kegiatan Puskesmas Mulai tahun 1996/97, Termasuk pengobatan di Rumah Sakit Mulai tahun 1990/91, diintegrasikan dengan kegiatan Rumah Sakit XVIII/38 1) C. KESEJAHTERAAN SOSIAL 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Dalam Repelita VI sasaran pembangunan kesejahteraan sosial adalah terlayani dan terehabilitasinya 230 ribu orang penyandang cacat, dan terlayaninya 225 ribu lanjut usia. Sasaran selanjutnya adalah terbinanya 202,3 ribu Kepala Keluarga (KK) fakir miskin, 48,3 ribu KK masyarakat terasing, 450 ribu orang anak terlantar, 23 ribu karang taruna, 4.100 organisasi sosial, dan 62 ribu tenaga kesejahteraan sosial. Selain itu diupayakan terlayani dan terehabilitasinya 15 ribu anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika serta 31 ribu orang tunasosial. Sasaran lainnya adalah meningkatnya jumlah dan kualitas tempat-tempat penitipan anak dan balita bagi para ibu yang bekerja. Meningkatnya nilai-nilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan juga merupakan sasaran yang diupayakan. Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, ditempuh berbagai kebijaksanaan antara lain meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat, meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia, meningkatkan pembinaan fakir miskin, meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing, meningkatkan pembinaan kesejahteraan anak terlantar, meningkatkan pembinaan karang taruna, meningkatkan peranan organisasi sosial, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika serta tunasosial, dan meningkatkan penyuluhan dan bimbingan sosial, serta meningkatkan upaya penanggulangan bencana. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut, ditetapkan tiga program pokok yang meliputi : (1) program pembinaan kesejahteraan sosial; (2) program pelayanan dan rehabilitasi sosial; dan (3) program XVIII/39 peningkatan partisipasi sosial masyarakat. Ketiga program pokok tersebut didukung oleh beberapa program penunjang yang dilaksanakan secara terpadu dengan program pembangunan bidang lainnya dan dengan mengikutsertakan masyarakat. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga Repelita VI Pembangunan kesejahteraan sosial diselenggarakan sebagai salah satu upaya mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial dalam tahun ketiga (1996/97) Repelita VI merupakan kelanjutan, peningkatan dan perluasan pelaksanaan program-program dua tahun pertama Repelita VI (1994/95 dan 1995/96), yaitu untuk meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan sosial, meningkatkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat untuk turut mengatasi masalah-masalah sosial melalui penyelenggaraan pelayanan sosial. a. Program Pokok 1) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Program ini bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial, dan mewujudkan kondisi sosial masyarakat yang dinamis untuk mendukung berkembangnya kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat. Kegiatan-kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam program ini meliputi : a) pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing; b) pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin; c) pembinaan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan, dan kepahlawanan; d) pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia; dan e) pembinaan kesejahteraan sosial anak yang terlantar. XVIII/40 a) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing Dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat serta taraf kehidupan masyarakat terasing agar setara dengan masyarakat di desadesa sekitarnya, dilakukan kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial, penataan dan pembangunan permukiman yang dilengkapi dengan penyediaan lahan, jaminan hidup, pemberian bimbingan keterampilan seperti pertanian dan peternakan termasuk pemberian bermacam bibit. Pembinaan bagi masyarakat terasing dilakukan secara terpadu dengan berbagai sektor pembangunan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, agama, pertanian, kehutanan, transmigrasi dan terutama dengan pemerintah daerah. Disamping itu pembinaan bagi masyarakat terasing juga dilakukan bersama dengan organisasi sosial (orsos), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi keagamaan. Pembinaan bagi masyarakat terasing terus dilanjutkan agar arah pembinaannya sesuai dengan aspirasi dan tingkat perkembangan mereka, antara lain melalui kegiatan studi yang mendalam di 18 propinsi mengenai kondisi sosial budaya dan lingkungan mereka. Pada tahun 1996/97 pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing dilakukan bagi 6.485 KK. Jumlah ini meningkat sebanyak 492 KK dibandingkan dengan pembinaan tahun 1995/96 (Tabel XVIII-5). Agar pembinaan masyarakat terasing lebih berhasilguna, para petugas lapangan yang ditempatkan di lokasi permukiman masyarakat terasing diberikan pula pelatihan teknik-teknik bimbingan sosial dan pendampingan bagi masyarakat terasing. Keberhasilan pembinaan masyarakat terasing antara lain dapat dilihat pada lokasi pembinaan di permukiman Mauwa Propinsi Irian Jaya yang telah mengembangkan usaha produksi pertanian sayursayuran, peternakan sapi perah dan usaha kerajinan anyam-anyaman XVIII/41 berupa tas noken yang hasilnya sudah dipasarkan. Di permukiman Pelaik I Propinsi Sulawesi Selatan dengan bekerja sama dengan swasta telah dikembangkan produksi kelapa sawit, sedangkan permukiman di Malaoge Propinsi Sulawesi Tenggara dikembangkan tanaman kakao. Permukiman Metar Propinsi Maluku berhasil mengembangkan industri rumah penyulingan minyak kayu putih dan peternakan sapi. b) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam penanggulangan kemiskinan, pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin dilakukan untuk menyiapkan dan memberikan kemampuan serta keterampilan berusaha agar mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya. Pembinaan bagi fakir miskin dilakukan di dalam kelompok dan masing-masing kelompok usaha bersama (KUBE) terdiri dari 10 KK. Di dalam kelompok mereka dibimbing untuk memiliki kemampuan bekerjasama, membahas rencana kerja, dan membagi tugas dalam melaksanakan kegiatan usaha yang mereka pilih. Disamping itu mereka diberi bimbingan motivasi, konsultasi dan pelatihan keterampilan sesuai dengan bantuan jenis usaha yang diberikan seperti usaha peternakan kambing atau sapi, industri rumah tangga seperti pembuatan batu bata, pembuatan kerupuk, pembuatan gula dan minyak kelapa, tenun dan sulam, dan penangkapan ikan. Pada tahun 1996/97 keluarga miskin yang telah dibina melalui program ini berjumlah 21,5 ribu KK yang tersebar di 592 desa di luar desa IDT di seluruh Indonesia (Tabel XVIII-6). Untuk mendukung pelaksanaan program IDT pada tahun 1996/97 dilakukan pula pembinaan bagi 718 orang petugas sosial kecamatan (PSK) yang ditempatkan di desa-desa miskin dengan penanganan khusus sebagai pendamping purna waktu bagi kelompok masyarakat (pokmas) yang memperoleh bantuan program IDT. XVIII/42 c) Pembinaan Nilai-nilai Kepeloporan, Keperintisan dan Kepahlawanan Upaya untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan pada seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda sebagai penerus bangsa, terus dilanjutkan. Untuk itu antara lain dilakukan kegiatan pembangunan dan pemugaran Taman Makam Pahlawan, Makam Pahlawan Nasional, Makam Perintis Kemerdekaan dan upaya-upaya penanaman dan penyebarluasan nilai-nilai perjuangan para pahlawan. Untuk memberikan penghargaan dan terima kasih atas jasa, pengorbanan dan perjuangan yang telah diberikan kepada nusa, bangsa dan negara, diberikan bantuan sosial kepada keluarga para pahlawan nasional dan pejuang keperintisan yang kurang mampu. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan pemugaran 40 Taman Makam Pahlawan yang tersebar di 25 propinsi, 3 buah Makam Pahlawan Nasional dan 104 Makam Perintis Kemerdekaan. Pemberian bantuan perbaikan rumah pada tahun 1996/97 dilakukan bagi 489 orang perintis kemerdekan dan keluarganya. Disamping itu dilakukan pula seminar dan sarasehan mengenai nilai-nilai kepahlawanan, kepeloporan, dan keperintisan bagi para pelajar SLTA, organisasi pemuda dan mahasiswa dalam rangka mamperingati harihari besar. d) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Perhatian khusus bagi para lanjut usia yang terlantar dan tidak mampu terus dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat. Pelayanan sosial yang diberikan bagi mereka meliputi bimbingan mental dan sosial, pemberian jaminan hidup, pelayanan kesehatan, XVIII/43 kegiatan kegamaan, dan rekreasi. Bagi lanjut usia yang masih potensial untuk berusaha dan berkarya diberikan pula bimbingan keterampilan dan bantuan modal usaha. Pelayanan sosial dilakukan baik di dalam panti maupun luar panti sosial. Pada tahun 1996/97 telah diberikan bantuan dan santunan bagi 48,1 ribu orang lanjut usia yang tidak mampu. Jumlah ini meningkat sebanyak 1,1 ribu orang bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel XVIII-7). Untuk mendukung peningkatan kualitas pelayanan sosial bagi lanjut usia dilakukan pula rehabilitasi dan penyempurnaan 8 panti lanjut usia (Panti Sosial Tresna Werdha) milik pemerintah dan masyarakat. e) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak yang Terlantar Pembinaan kesejahteraan sosial bagi anak terlantar dilakukan melalui asuhan, pendidikan, bimbingan sosial dan keagamaan, serta pelatihan keterampilan yang dilengkapi dengan pemberian bantuan modal usaha, dan pemberian kesempatan untuk mengikuti praktek belajar kerja di perusahaan-perusahaan. Dari hasil pendataan jumlah anak terlantar, pada tahun 1995 tercatat sekitar 2,4 juta anak dan pada tahun 1996 turun menjadi 2,2 juta anak. Penurunan tersebut diantaranya disebabkan oleh meningkatnya peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program ini. Pada tahun 1996/97 telah diberikan pelayanan bagi 260,8 ribu orang anak yang terlantar baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat atau meningkat sebanyak 9,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel XVIII-7). Peningkatan jangkauan pelayanan sosial bagi anak yang terlantar merupakan cerminan dari semakin besarnya kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat untuk turut menyelenggarakan pelayanan sosial bagi XVIII/44 masyarakat yang kurang beruntung. Disamping itu dalam rangka meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan sosial bagi anak terlantar dalam tahun 1996/97 dilakukan pula rehabilitasi dan penyempurnaan 9 panti sosial anak terlantar baik milik pemerintah maupun masyarakat. 2) Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Program ini terutama bertujuan untuk mengembalikan dan meningkatkan kemampuan penyandang masalah agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan terutama bagi para penyandang cacat, anak nakal, dan penyalahgunaan narkotika, serta tuna sosial. Dalam rangka memulihkan fungsi sosial dan meningkatkan kesejahteraan sosial para penyandang cacat sehingga dapat menjadi manusia yang produktif, diberikan bimbingan sosial, rehabilitasi fisik, mental dan sosial, serta pelatihan keterampilan sesuai dengan bakat dan kemampuannya yang diikuti dengan pemberian modal usaha. Disamping itu diberikan pula kesempatan praktek belajar kerja agar mereka lebih siap untuk bekerja dan dibantu untuk disalurkan menjadi pekerja pada perusahaan-perusahaan. Pelayanan sosial tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti sosial. Disamping itu dilakukan pula penyelenggaraan asrama bagi murid-murid sekolah dasar luar biasa (SDLB). Pada tahun 1996/97 pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat diberikan bagi 46.579 orang atau meningkat sebanyak 1.554 orang bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel XVIII-8). Untuk mendukung proses rehabilitasi sosial bagi para penyandang cacat dilakukan rehabilitasi dan penyempurnaan 15 XVIII/45 panti dan diadakan 3 unit mobil sosial keliling (UMSK). Pelatihan bimbingan dan penyuluhan diberikan pula bagi pekerja sosial panti sebanyak 210 orang, pelatihan petugas instruktur keterampilan sebanyak 112 orang, pelatihan petugas manajemen rehabilitasi dan pelayanan panti sebanyak 114 orang dan pelatihan petugas pembuatan orthesis dan prothesis sebanyak 18 orang. Khusus untuk penyantunan tuna netra yang dilakukan di panti, pada tahun 1996/97 telah diberikan mesin tik Braille sebanyak sebanyak 50 buah. Di samping itu melalui Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Bandung telah pula diproduksi buku-buku bacaan untuk panti-panti tuna netra. Pada tahun 1996/97 para penyandang cacat tubuh yang telah dibina melalui 6 panti sosial bina daksa dan 1 Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta berjumlah 995 orang. Pada tahun yang sama telah dirintis kerjasama dengan beberapa pengusaha untuk membantu kelancaran penyaluran para penyandang cacat di perusahaan-perusahaan sesuai dengan jenis kecacatan dan atau keterampilannya. Sementara itu perintisan penciptaan lapangan kerja bagi penyandang cacat netra, khususnya yang dibina pada Panti Sosial Bina Netra "Tan Miyat" Jakarta, yaitu sebagai operator telepon yang mulai dirintis tahun 1995/96 terus dilanjutkan. Pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika dilakukan bagi anak nakal yang belum sampai pada tindak pidana termasuk korban penyalahgunaan narkotika, bahan adiktif lainnya, dan minuman keras. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembalikan mereka agar dapat hidup secara baik dan layak. Pelayanan yang diberikan kepada mereka meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, pelatihan keterampilan dan pemberian bantuan modal usaha. Dalam pelaksanaan bimbingan XVIII/46 sosial, sejak tahun 1994/95 diberikan pula penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penyakit HIV/AIDS. Pada tahun 1996/97 pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika diberikan bagi 3.045 ribu orang. Disamping itu dilakukan pula upaya untuk merehabilitasi dan menyempurnakan 12 panti agar mutu pelayanan bagi mereka meningkat. Sementara itu bagi para tunasosial, yaitu gelandangan dan pengemis, tunasusila dan bekas narapidana, diberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bertujuan untuk mengembalikan kemauan dan kemampuan mereka untuk dapat hidup sebagai warga masyarakat yang berguna, berkualitas dan produktif. Pelayanan dan rehabilitasi tersebut meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, pelatihan keterampilan dan pemberian bantuan modal usaha. Mengingat khususnya para tuna susila adalah salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap tertularnya penyakit HIV/AIDS, penyuluhan tentang bahaya dan penularan serta cara-cara pencegahan dan penggulangan penyakit HIV/AIDS juga diberikan. Pada tahun 1996/97 telah direhabilitasi dan diresosialisasi sebanyak 4,4 ribu orang tunasosial yang terdiri dari 1,2 ribu orang tuna susila, 1,7 ribu orang gelandangan dan pengemis, dan 1,6 ribu orang bekas narapidana. 3) Program Peningkatan Partisipasi Sosial Masyarakat Peranserta masyarakat dalam menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial secara melembaga dan terorganisasi terus dikembangkan dan ditingkatkan. Guna mencapai tujuan tersebut dilakukan upaya untuk meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap permasalahan sosial, meningkatkan mutu pelayanan sosial secara profesional, dan mendorong golongan mampu untuk ikut berperan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi XVIII/47 penyuluhan dan bimbingan sosial bagi masyarakat, pembinaan organisasi sosial, dan pembinaan tenaga kesejahteraan sosial. Kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial dilakukan bagi seluruh masyarakat termasuk golongan masyarakat mampu terutama di wilayah yang rawan permasalahan sosial seperti di kawasan permukiman kumuh, serta kawasan yang angka kriminalitas dan prostitusinya tinggi. Pada tahun 1996/97 telah dilakukan penyuluhan dan bimbingan sosial di 5.467 desa/kelurahan yang tersebar di seluruh propinsi yang dilakukan oleh Orsos, LSM, tokoh masyarakat, pemuda dan wanita, pemimpin formal dan informal dengan memanfaatkan berbagai media massa. Pada tahun 1996/97 organisasi sosial yang dibina berjumlah 2,7 ribu orsos. Pembinaan bagi orsos dilakukan melalui pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan pemberian pelayanan sosial yang profesional bagi 1.950 orsos, dan pemberian bantuan organisasi dan pelayanan bagi 735 orsos. Untuk meningkatkan kemampuan pelayanan orsos dikembangkan forum konsultasi antara orsos lemah dan orsos kuat, dan antara orsos lemah dengan warga mampu di 10 propinsi. Melalui pengembangan sistem informasi orsos pada tahun 1996 tercatat 5,9 ribu orsos yang bergerak di bidang pembangunan kesejahteraan sosial. Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat sebagai agen pembaharu untuk membantu memberikan pelayanan sosial bagi masyarakat baik di tingkat desa atau kelurahan adalah pekerja sosial masyarakat (PSM) dan relawan sosial yang umumnya berasal dari golongan masyarakat mampu. Pada tahun 1996/97 dilakukan pembinaan dan pelatihan PSM bagi 8.160 orang yang terdiri dari PSM yang baru sebanyak 4 ribu orang dan dari forum komunikasi PSM dan relawan sosial sebanyak 4,1 ribu orang (Tabel XVIII-9). XVIII/48 b. Program Penunjang 1) Program Pembinaan Generasi Muda Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan melembaganya Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan di tingkat desa/kelurahan yang dapat berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi permasalahan sosial dikalangan generasi muda, seperti masalah kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika atau obat adiktif lainnya. Disamping itu karang taruna juga diharapkan dapat berperan serta dalam menegakkan ketertiban dan keamanan lingkungan. Untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan organisasi serta bekal untuk memperoleh lapangan kerja, pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pelatihan dan pemberian bantuan modal kerja kepada 2.953 buah karang taruna di seluruh Indonesia (Tabel XVIII-10). Jenis pelatihan keterampilan yang diberikan antara lain meliputi pembudidayaan udang windu di Jepara, pelatihan pertanian di Balai Pertanian Ciawi, kerajinan kayu di Jepara dan di Ubud dan pelatihan peternakan dan pertanian terpadu di Tapos. 2) Program Penelitian dan Pengembangan Sosial Program penelitian dan pengembangan sosial ini bertujuan untuk menunjang perumusan kebijaksanaan dan meningkatkan kualitas perencanaan program pembangunan kesejahteraan sosial serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan 7 buah penelitian mengenai peningkatan profesionalisasi pengelola organisasi sosial, evaluasi program pembinaan masyarakat terasing melalui permukiman tempat asal, pengembangan metode dan tehnik XVIII/49 TABEL XVIII -5 PEMBINAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TERASING MENURUT DAERAH TINGKAT I 1) 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (Kepala Keluarga) 1) Angka kumulatif 2) Merupakan kegiatan perintisan kerja sama dengan Pemda setempat 3) Mulai tahun 1995/96 Pemda setempat mengusulkan pembinaan baru masyarakat terasing XVIII/50 TABEL XVIII -6 PENYATUNAN DAN PENGENTASAN FAKIR MISKIN MENURUT DAERAH TINGKAT I 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (desa dan kepala keluarga) XVIII/51 TABEL XVIII -7 PELAKSANAAN PENYATUNAN KEPADA PARA LANJUT USIA DAN ANAK TERLANTAR MENURUT DAERAH TINGKAT I 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (desa dan kepala keluarga) XVIII/52 TABEL XVIII -8 PELAKSANAAN PENYATUNAN DAN PENGENTASAN PARA CACAT MENURUT DAERAH TINGKAT I 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (orang) XVIII/53 TABEL XVIII -9 PEMBINAAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) MENURUT DAERAH TINGKAT I 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (orang) 1) Angka diperbaiki XVIII/54 TABEL XVIII -10 BANTUAN PAKET SARANA USAHA KARANG TARUNA MENURUT DAERAH TINGKAT I 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (Karang taruna) XVIII/55 penyuluhan dan bimbingan sosial masyarakat perdesaan dan perkotaan, dan pengkajian permasalahan kesejahteraan sosial serta peningkatan kemampuan peneliti. 3) Program Pendidikan dan Pelatihan Sosial Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintah maupun dari masyarakat sebagai pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatannya meliputi pemberian kesempatan belajar untuk pendidikan D-4, S1, dan S2, serta pelatihan administrasi dan profesi pekerjaan sosial. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan pendidikan S2 di dalam negeri untuk bidang ilmu kesejahteraan sosial bagi 94 orang. Selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas pegawai telah diselenggarakan pelatihan fungsional bagi 150 orang, pendidikan pelatihan teknis bagi 1.475 orang dan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja sosial masyarakat (TKSM) sebanyak 1.100 orang. Untuk meningkatkan kemampuan administrasi pegawai, dalam tahun 1996/97 telah dilaksanakan pendidikan dan pelatihan Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) bagi 90 orang, dan Administrasi Umum (ADUM) bagi 761 orang. D. PENANGGULANGAN BENCANA 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Sasaran penanggulangan bencana pada akhir Repelita VI adalah meningkatnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menanggulangi bencana dan musibah lainnya. Selain itu, penguasaan teknologi penanggulangan bencana yang didukung oleh peralatan yang andal, serta jumlah dan mutu tenaga pelaksana akan meningkat pula. XVIII/56 Dalam Repelita VI pemetaan daerah rawan bencana dilanjutkan dan informasi mengenai kerawanan suatu daerah dimanfaatkan secara optimal untuk penyusunan rencana umum tata ruang pada setiap tingkat pemerintahan. Di samping itu, terus diupayakan adanya koordinasi yang makin meningkat dan mantap dalam menanggulangi bencana melalui penyusunan sistem dan satuan perlindungan masyarakat (linmas) serta mekanisme penanggulangan bencana secara nasional menyeluruh dan terpadu. Selanjutnya pada Repelita VI dapat terwujud satuan-satuan linmas di tingkat kecamatan dan ruang data pusat pengendalian operasional penanggulangan bencana di tingkat pusat. Undang-undang linmas diharapkan telah dapat diundangkan pada akhir Repelita VI. Dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam Repelita VI, kebijaksanaan penanggulangan bencana adalah sebagai berikut. Prioritas tinggi dalam upaya penanggulangan bencana diberikan kepada peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dan jajaran pemerintah daerah setempat, khususnya di daerah rawan bencana dalam menghadapi terjadinya bencana. Kemampuan dan penguasaan teknologi untuk mendeteksi bencana ditingkatkan melalui penyediaan sarana, prasarana serta peningkatan kualitas dan jumlah tenaga. Hal ini juga didukung dengan pengembangan sistem informasi bencana sehingga dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana. Dalam upaya pencarian, penyelamatan dan pemberian pengobatan serta perawatan korban, kemapuan petugas dan masyarakat ditingkatkan baik dalam kecepatan maupun ketepatan waktu penyelamatan dengan dukungan peralatan yang memadai. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, maka upaya penanggulangan bencana dilaksanakan secara lintas bidang dan XVIII/57 lintas sektor melalui satu program yaitu program penanggulangan bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga Repelita VI Tujuan program penanggulangan bencana adalah meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi akibat bencana, sehingga mengurangi jumlah korban serta kerugian materi. Di samping itu, program ini juga bertujuan untuk memberi bantuan guna meringankan beban masyarakat, khususnya mereka yang tidak mampu, yang diberikan dalam bentuk bantuan bahan makanan, obat-obatan dan bahan bangunan rumah untuk memperbaiki rumah mereka yang rusak atau hancur akibat bencana. Selanjutnya, program ini juga bertujuan menolong dan menyelamatkan para korban bencana melalui bantuan darurat dan memulihkan kembali fungsi sosial perorangan, keluarga dan masyarakat korban bencana untuk hidup secara normal. Kejadian bencana alam yang terjadi pada tahun 1996/97 antara lain bencana alam banjir, tanah longsor, angin ribut, gempa bumi dan kebakaran. Untuk membantu para korban bencana alam tersebut, telah diberikan pelayanan gawat darurat berupa pertolongan pertama pada saat awal terjadinya bencana, pemberian bantuan darurat obat dan bahan kesehatan lainnya, pengobatan dan perawatan kesehatan baik di sekitar lokasi kejadian, di puskesmas-puskesmas terdekat maupun di rumah-rumah sakit bagi korban yang memerlukan perawatan khusus dokter ahli, serta pengungsian dan penampungan korban bencana di tempat yang lebih aman dengan didukung penyediaan dapur umum. Pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi sarana umum dan rumah yang rusak akibat bencana di 10 XVIII/58 propinsi. Selain itu telah diberikan pula bantuan rehabilitasi rumah yang rusak akibat bencana alam lainnya yang terjadi di 16 propinsi bagi sebanyak 10,8 ribu rumah. Kegiatan pokok dalam program penanggulangan bencana meliputi kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat terhadap kejadian bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana, yang pelaksanaannya melibatkan berbagai instansi terkait seperti Departemen Sosial, Dalam Negeri, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, ABRI, dan Pemerintah Daerah, dibawah koordinasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana meliputi penelitian dan pemetaan daerah rawan bencana, penyuluhan, pendidikan dan pelatihan bagi petugas maupun masyarakat, dan pengembangan sistem informasi penanggulangan bencana. Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam geologis dilakukan kegiatan pemetaan, identifikasi, dan penyelidikan daerah-daerah rawan bencana. Dalam tahun 1996/97 telah dilakukan pemetaan seismik daerah rawan gempa berskala 1:250.000 sebanyak 8 peta; pemetaan geologi gunung api skala 1:50.000 sebanyak 93 gunung api; pemetaan topografi aliran lahar skala 1:10.000 sebanyak 20 peta; dan pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 sebanyak 14 peta. Selain itu pada tahun 1996/97 telah dilaksanakan identifikasi pada 2 daerah sesar aktif yaitu di Jayapura dan Parigi (Sulawesi Tengah), pengamatan secara terus menerus pada 40 gunungapi aktif, dan pemantauan pada 5 lokasi daerah rawan longsor serta penyuluhan di 13 lokasi gunungapi aktif. Guna melindungi dan mengamankan daerah produksi pertanian dan permukiman dari daya rusak air dan bahaya banjir, pada tahun XVIII/59 1996/97 dilakukan perbaikan dan pengendalian alur sungai pada beberapa ruas sungai yang dianggap kritis sepanjang 184 km, antara lain berupa; waduk tunggu, tanggul, perbaikan alur, perkuatan tebing, saluran banjir, dan stasiun pompa. Kegiatan tersebut ditujukan untuk meningkatkan keamanan terhadap bencana banjir di kota-kota Jakarta, Semarang, Surabaya, Padang dan Bandung, serta daerah sentra produksi pertanian di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Selanjutnya, untuk mengendalikan data rusak banjir lahar akibat letusan gunung berapi yang sekaligus melindungi desa dan kota di bagian hilirnya, telah diselesaikan beberapa unit bangunan pengendali dan kantung lahar di Gunung Semeru, Gunung Merapi, dan Gunung Kelud. Dalam rangka menunjang dan meningkatkan keselamatan penerbangan yang memenuhi persyaratan penerbangan, kondisi dan jumlah peralatan navigasi, telekomunikasi dan kelistrikan telah ditingkatkan. Pada tahun 1996/97 telah dipasang alat bantu navigasi penerbangan untuk bandar udara kecil di kawasan timur Indonesia, alat bantu penjejak arah dan jarak pesawat, alat bantu pendaratan pesawat, alat komunikasi penerima berita di bandar udara, alat komunikasi antar bandar udara untuk bandar udara kecil, dan alat untuk memberikan informasi penerbangan bagi penumpang. Keselamatan pelayaran juga ditingkatkan antara lain dengan menyediakan fasilitas navigasi, telekomunikasi pelayaran, pemeliharaan kedalaman alur pelayaran yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan keselamatan pelayaran. Pada tahun 1996/97 telah dibangun fasilitas sarana bantu navigasi mencakup 11 menara suar, 40 rambu suar, dan pengerukan alur pelayaran sebanyak 12,0 juta m3 di alur pelayaran utama seperti Belawan, Jambi, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda. XVIII/60 Upaya mendayagunakan dan menyiapkan tenaga pertahanan sipil (hansip) dan satuan perlindungan masyarakat (linmas) dalam penanggulangan bencana terus dilanjutkan. Guna memelihara kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, pada tahun 1996/97 telah dilatih sebanyak 100 orang instruktur penanggulangan bencana, dan 800 orang satuan tugas sosial penanggulangan bencana (SATGASOS - PB). Kegiatan tanggap darurat terhadap kejadian bencana ditujukan untuk meningkatkan kemampuan penanggulangan ketika terjadi bencana. Kegiatan tersebut dilakukan melalui : pertama, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan pembinaan fungsi satuan tugas pelaksana dalam pengelolaan dan koordinasi bantuan darurat; kedua, penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pencarian, penyelamatan, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial terhadap korban bencana; dan ketiga peningkatan kemampuan masyarakat dan petugas dalam mengkonsolidasi diri segera sesudah terjadi bencana melalui penyediaan sarana dan prasarana darurat agar akibat bencana tidak meluas dan berkepanjangan. Pada tahun 1996/97 fasilitas pencarian dan penyelamatan (search and rescue/SAR) ditingkatkan antara lain melalui penambahan 4 buah helikopter SAR, pengembangan satelit komunikasi SAR dan unit sistem informasi manajemen operasi SAR (SAROIMS) yang tersebar di 19 lokasi, pengadaan 2 unit perahu penyelamatan yang dilengkapi dengan peralatan medis, 3 unit hydrolik rescue pump dan 2 unit lifting bag untuk pengangkatan pesawat maupun pertolongan bencana alam, serta pengadaan 2 set peralatan pendakian, dan 36 buah baju tahan api. XVIII/61 E. KEPENDUDUKAN 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Pada akhir Repelita VI, sasaran laju pertumbuhan penduduk adalah 1,51 persen dengan jumlah penduduk sekitar 204,4 juta orang, yang terdiri atas 101,9 juta orang laki-laki dan 102,5 juta orang perempuan. Sasaran penurunan laju pertumbuhan penduduk tersebut dapat dicapai apabila angka kelahiran kasar dan angka kematian kasar dapat diturunkan menjadi masing-masing 22,6 dan 7,5 per seribu penduduk. Sasaran lainnya adalah menurunnya angka kematian bayi menjadi sekitar 50 kematian per seribu kelahiran hidup dan meningkatnya angka harapan hidup menjadi sekitar 64,6 tahun. Dalam Repelita VI telah digariskan beberapa kebijaksanaan untuk mencapai sasaran pembangunan kependudukan, yaitu peningkatan kualitas penduduk; pengendalian pertumbuhan dan kuantitas penduduk; pengarahan persebaran dan mobilitas penduduk; penyempurnaan sistem informasi kependudukan; dan pendayagunaan dan kesejahteraan penduduk usia lanjut. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, pembangunan kependudukan dilaksanakan dalam satu program, yaitu program kependudukan yang pelaksanaannya didukung oleh berbagai bidang pembangunan lainnya secara terpadu. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga Repelita VI Program kependudukan yang dilaksanakan secara lintas bidang telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,57 persen pada akhir tahun 1996, dari 1,60 persen pada tahun 1995. XVIII/62 Angka kelahiran kasar dan angka kelahiran total juga menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Sementara itu, kualitas penduduk semakin meningkat yang ditandai oleh semakin menurunnya angka kematian kasar dan angka kematian bayi seiring dengan meningkatnya angka rata-rata harapan hidup penduduk. Beberapa kegiatan untuk menyeimbangkan persebaran penduduk antara Pulau Jawa dan daerah di luar Pulau Jawa terus dilakukan antara lain melalui transmigrasi dan persebaran tenaga kerja antar daerah. Kegiatan penyempurnaan sistem informasi kependudukan secara lintas sektor terus ditingkatkan dan dikembangkan. a. Peningkatan Kualitas Penduduk Berbagai kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas penduduk terus dilaksanakan secara lintas bidang, sektor, dan program. Pengembangan kualitas penduduk tersebut dilaksanakan antara lain melalui upaya-upaya peningkatan kualitas keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, mental spiritual, dan peningkatan usaha kesejahteraan lainnya. Melalui upaya-upaya tersebut di atas, angka kematian kasar dan angka kematian bayi berhasil diturunkan masing-masing menjadi 7,6 per seribu penduduk dan 54 per seribu kelahiran pada tahun 1996, dari 7,7 per seribu penduduk dan 55 per seribu kelahiran pada tahun sebelumnya. Sementara itu, angka harapan hidup penduduk meningkat menjadi 63,9 tahun pada tahun 1996 dari 63,5 tahun pada tahun 1995. Kegiatan yang dilaksanakan dalam upaya peningkatan kualitas penduduk secara lebih rinci telah dijabarkan pada laporan di berbagai sektor yang terkait dengan program kependudukan. Untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia dari segi produktivitasnya, dilaksanakan pengembangan etos kerja penduduk XVIII/63 melalui Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera dengan menitikberatkan pada penduduk usia kerja, wanita, dan usia lanjut, serta diperluas kepada keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I sebagai sasaran prioritasnya. Di samping itu juga dilaksanakan Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan penduduk. dengan cara menanamkan nilai-nilai budaya religius sejalan dengan nilai-nilai budaya nusantara untuk mempersiapkan sumber daya keluarga dan manusia yang siap usaha di abad 21. b. Pengendalian Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk Kegiatan pengendalian kuantitas penduduk bersifat lintas bidang dan lintas sektor, dan meliputi upaya-upaya penurunan angka kelahiran, penurunan angka kematian, penetapan serta pengelolaan perubahan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk, serta pendidikan kependudukan. Upaya ini mencakup beberapa tahap kegiatan, yaitu: 1) perencanaan kebijaksanaan, 2) pemantauan pelaksanaan kebijaksanaan, dan 3) penilaian dampak kebijaksanaan. Hal ini dilengkapi pula dengan pengembangan teknis analisa data, pembinaan teknis bagi peneliti muda dari berbagai Pusat Studi Kependudukan (PSK), dan penyusunan profil penduduk propinsi dan nasional. Laju pertumbuhan penduduk mengalami penurunan yaitu dari 1,60 persen pada tahun 1995 menjadi sekitar 1,57 persen pada tahun 1996, dengan jumlah penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai sekitar 198,3 juta orang yang terdiri atas 98,9 juta penduduk laki-laki dan 99,4 juta penduduk perempuan, atau bertambah sekitar 3,1 juta orang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1995. Jumlah penduduk secara keseluruhan telah berkembang menjadi sekitar 200 juta pada tanggal 4 Februari 1997. Program keluarga XVIII/64 berencana yang didukung oleh program pembangunan lainnya telah dapat menurunkan angka kelahiran total dari 2,75 per wanita pada tahun 1995 menjadi 2,70 pada tahun 1996; serta menurunkan angka kelahiran kasar dari 23,6 menjadi 23,3 per seribu penduduk dalam periode yang sama. c. Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk Kegiatan ini bertujuan untuk mengarahkan dan mengendalikan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya-upaya : 1) penyusunan indikator keseimbangan penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, 2) penyusunan konsep pembangunan daerah penyangga kutub-kutub pertumbuhan wilayah, dan 3) analisa mobilitas penduduk, pemantauan pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan pelatihan teknis bagi para peneliti muda dari PSK dan staf Bappeda. Selain itu dilakukan pula pembangunan ekonomi perdesaan antara lain melalui program Takesra-Kukesra, dalam rangka pemberdayaan ekonomi dan motivasi berusaha masyarakat perdesaan dan mengurangi derasnya arus urbanisasi. Dalam upaya pengarahan keseimbangan penduduk dengan kerangka pembangunan yang seimbang antara daerah perkotaan dan perdesaan, pada tahun 1996/1997 telah diujicobakan Indikator Dinamis Keseimbangan Penduduk dengan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan di 5 propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Riau, Bali, dan Kalimantan Timur. Untuk meningkatkan pembangunan daerah penyangga pusat-pusat pertumbuhan wilayah perkotaan, sejak akhir 1996 telah dilakukan ujicoba di propinsi Lampung, sebagai daerah percontohan untuk XVIII/65 pembangunan daerah penyangga bagi Jakarta dan Pulau Jawa pada umumnya, dalam kaitannya dengan pengembangan 2 kabupaten baru di propinsi lampung, yaitu Tulang Bawang dan Tanggamus. Di samping itu telah dilakukan pula pelatihan analisa data mobilitas penduduk bagi 42 orang peneliti muda dari PSK dan staf Bappeda, dilanjutkan dengan pelatihan secara lintas sektor terhadap pejabat eselon III dan IV Pemerintah Daerah se- Jabotabek. Pada tahun yang sama, telah dapat dilaksanakan analisa mobilitas penduduk di 13 propinsi dan di tingkat nasional. d. Penyempurnaan Sistem Informasi Kependudukan Sebagai kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya, telah dilakukan pengembangan Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) pada Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dan perintisan untuk jaringan informasi dengan daerah, yaitu PSK Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selain itu telah dirintis pula pengembangan informasi kependudukan dengan beberapa instansi terkait, seperti Biro Pusat Statistik, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Kesehatan, Kelestarian Lingkungan Hidup, dan Departemen Dalam Negeri. Pada tahun 1996/97 telah dihasilkan Indikator Kualitas Perkembangan Kependudukan (IKPK), yang proses penyusunannya telah dilakukan sejak 1994/1995. IKPK tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan relatif kualitas perkembangan kependudukan secara umum dari seluruh daerah tingkat II di Indonesia. Sementara itu, untuk mendukung peningkatan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan administrasi penduduk dan keluarga, telah dikembangkan Kartu Motivasi dan Rujukan (KMR), yang telah diujicobakan di 5 propinsi. XVIII/66 e. Pendayagunaan dan Kesejahteraan Penduduk Usia Lanjut Pendayagunaan dan kesejahteraan penduduk usia lanjut dimaksudkan untuk lebih mendayagunakan dan mensejahterakan penduduk usia lanjut baik yang masih produktif maupun orang tua yang sudah jompo. Bagi penduduk usia lanjut yang masih produktif diupayakan untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan dan keahliannya, sementara bagi orang tua yang sudah jompo disediakan fasilitas dan sarana pelayanan antara lain berupa pemberian santunan oleh Departemen Sosial bagi mereka yang tinggal di dalam dan di luar panti lanjut usia. Pendayagunaan dan peningkatan kesejahteraan penduduk usia lanjut pada periode ini dilakukan antara lain melalui: 1) pelembagaan masa persiapan pensiun (MPP), 2) perluasan lapangan kerja bagi usia lanjut, 3) pemberian potongan biaya dan harga bagi usia lanjut dan keluarganya, 4) pembudayaan tabungan dan asuransi untuk hari tua, 5) pembudayaan dan pelembagaan warga senior dalam masyarakat, 6) pembentukan kelompok-kelompok usia lanjut dan keluarganya, 7) pendidikan bagi kesehatan keluarga, 8) pengembangan kegiatan spiritual, dan 9) pengembangan kegemaran. Kemajuan pembangunan di segala bidang telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan angka harapan hidup, yang secara langsung meningkatkan pula jumlah penduduk usia lanjut. Jika pada akhir Repelita V jumlah penduduk usia lanjut, yaitu penduduk berumur 60 tahun ke atas, adalah sekitar 11,7 juta orang, maka pada tahun 1996 jumlahnya telah meningkat menjadi 13,3 juta orang yang terdiri atas 6,2 juta penduduk laki-laki dan 7,1 juta penduduk perempuan. XVIII/67 F. KELUARGA SEJAHTERA 1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan keluarga sejahtera pada Repelita VI adalah menurunkan angka kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR) menjadi 2,60 per wanita, serta meningkatnya kepedulian dan peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan sikap dan perilaku kemandirian. Sasaran berikutnya adalah terwujudnya tatanan gerakan keluarga berencana (KB) secara menyeluruh sebagai landasan pembangunan selanjutnya. Di samping itu, sasaran lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga, yang tercermin dari berkurangnya jumlah Keluarga Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, ditetapkan kebijaksanaan pembangunan keluarga sejahtera yang ditempuh melalui: pengembangan ketahanan dan peningkatan kualitas keluarga, untuk mewujudkan kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; peningkatan kelembagaan gerakan KB, dengan menggalakkan keperdulian dan peran serta pemuka agama, pemuka masyarakat, organisasi kemasyarakatan serta lembaga kemasyarakatan lainnya; dan pengembangan kerjasama internasional program KB. Program pokok yang dilaksanakan untuk mendukung kebijaksanaan dalam mencapai sasaran pembangunan keluarga sejahtera tersebut adalah program keluarga berencana, yang dilakukan secara terpadu antara berbagai bidang pembangunan lainnya beserta partisipasi masyarakat. XVIII/68 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Ketiga Repelita VI Program keluarga berencana pada tahun ketiga pelaksanaan Repelita VI merupakan kelanjutan, perluasan, dan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Program ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap pendewasaan usia perkawinan, penurunan angka kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a) komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE); b) pelayanan keluarga berencana; c) pembangunan keluarga sejahtera; d) pemantapan pelembagaan program, e) pendidikan dan pelatihan, serta f) pelaporan dan penelitian. Upaya-upaya tersebut telah meningkatkan jumlah peserta KB, meningkatkan kesejahteraan keluarga, dan mengajak masyarakat melaksanakan KB secara mandiri. a. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Kegiatan penerangan dan motivasi bertujuan untuk mendorong terjadinya proses perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap penerimaan KB sebagai bagian dari kehidupannya dalam upaya mewujudkan norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera secara mandiri. Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, kegiatan KIE dikembangkan antara lain melalui: 1) peningkatan kepedulian dan peran serta Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat (LSOM), 2) pengembangan materi KIE Gerakan KB, pembangunan KS, dan kependudukan, 3) pengembangan KIE yang difokuskan pada Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera, dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera, 4) pengembangan KIE kemandirian melalui pendekatan pemasaran sosial, 5) peningkatan kualitas pelayanan KIE, XVIII/69 6) pengembangan KIE Multi Media, dan 7) penataan jaringan informasi KIE lini lapangan. b. Pelayanan Keluarga Berencana Pelayanan KB pada umumnya disediakan di rumah sakit dan klinik KB. Untuk mendekatkan pelayanan KB agar mudah dijangkau oleh masyarakat, pelayanan KB diberikan pula oleh bidan-bidan di desa. Di samping itu pelayanan KB dilaksanakan pula melalui kegiatan Tim KB Keliling (TKBK), terutama untuk daerah-daerah terpencil dan untuk pemakaian kontrasepsi efektif seperti IUD, Suntikan dan implant. Pada tahun 1996/97, masyarakat yang berhasil diajak menjadi peserta KB baru berjumlah 5,8 juta PUS, meningkat dari 5,5 juta PUS pada tahun 1995/96 (Tabel XVIII-11). Dari jumlah tersebut, PUS pemakai alat kontrasepsi efektif adalah sebanyak 70,5 persen (Tabel XVIII-12). Sedangkan jumlah peserta KB aktif pada tahun 1996/97 adalah sebesar 25,5 juta PUS meningkat dari 24,2 juta PUS pada tahun 1995/96 (Tabel XVIII-13). Dari seluruh peserta KB aktif tersebut 64,7 persen diantaranya menggunakan alat kontrasepsi efektif, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel XVIII-14. c. Pembangunan Keluarga Sejahtera Pembangunan Keluarga Sejahtera merupakan upaya menyeluruh dan terpadu yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan Pembangunan Keluarga Sejahtera mencakup: XVIII/70 Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera (GRKS), Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera (GEKS), dan Gerakan Ketahanan Keluarga Sejahtera (GKKS). GRKS meliputi kegiatan pelayanan KB dan Gerakan Ibu Sehat Sejahtera. Sedangkan GEKS mencakup kegiatan: 1) pengembangan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS), 2) Takesra dan Kukesra, 3) pengiriman remitan dari kota ke desa, 4) gerakan membangun desa oleh paguyuban masyarakat daerah yang tinggal di kota, 5) pasar Minggon, dan 6) Bangga Suka Desa. Sedangkan GKKS dilaksanakan melalui berbagai upaya pembinaan, seperti Bina Keluarga Muda Mandiri (BKMM), Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Anak dan Remaja (BKR), Bina Keluarga Dewasa (BKD), dan Bina Keluarga Lanjut usia (BKL). Sampai dengan tahun 1996/97, jumlah kelompok UPPKS telah meningkat menjadi 550,3 ribu, di mana peningkatannya antara lain didukung oleh program kegiatan baru seperti Takesra dan Kukesra. Jumlah anggota kelompok UPPKS yang memiliki usaha produktif secara nasional adalah sebanyak 967,8 ribu. Dari jumlah tersebut, 43,2 persen bergerak di bidang perdagangan, 30,3 persen di bidang pertanian, 14,0 persen di bidang industri rumah tangga/kecil, dan 12,5 persen bergerak di bidang usaha jasa. Di samping itu diberikan pula Takesra dan Kukesra kepada anggota keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I. Secara nasional, dana Takesra telah disalurkan kepada 8,5 juta keluarga yang tergabung dalam 407,6 ribu kelompok usaha. Sedangkan realisasi dananya adalah sebesar 74,1 persen, dari total dana Takesra yang dialokasikan sebesar Rp.22,9 miliar. Adapun realisasi penyerapan dana Kukesra sampai dengan Maret 1997 adalah sebesar Rp. 45,7 miliar yaitu sebesar 80,5 persen dari total dana yang disediakan pada saat itu. Dari jumlah dana yang telah disalurkan kepada penerima XVIII/71 Kukesra, 23,4 persen di antaranya atau sebesar Rp. 10,7 miliar telah dibayarkan angsurannya. d. Pemantapan Pelembagaan Program Pelembagaan pelaksanaan KB diupayakan melalui pembinaan dan peningkatan institusi masyarakat. Upaya tersebut diharapkan lebih meningkatkan kualitas peran serta masyarakat, sehingga secara bertahap peran serta masyarakat dalam pengelolaan KB semakin besar. Jumlah Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), Sub-PPKBD, dan kelompok peserta KB terus mengalami perkembangan. Pada tahun 1995/96 telah terbentuk 671,2 ribu kelompok KB, dan pada tahun 1996/97 meningkat menjadi 771,4 ribu. Upaya pemantapan kelembagaan juga dilaksanakan melalui peningkatan kerjasama dengan pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan lembaga sosial dan organisasi masyarakat (LSOM). Dalam rangka memantapkan dan mempercepat penerimaaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) di masyarakat, telah diberikan penghargaan KB lestari kepada peserta KB yang telah menggunakan alat kontrasepsinya minimal selama 16 tahun. Upaya peningkatan pemantapan peserta KB ditempuh pula melalui pemberian beasiswa bagi anak peserta KB lestari yang berbakat bekerjasama dengan Yayasan Supersemar. Pada tahun 1995/96 dan tahun 1996/97 masing-masing telah diberikan beasiswa bagi 12,6 ribu dan 12,0 ribu siswa. e. Pendidikan dan Pelatihan Mutu dan jangkauan pelayanan GRKS, GEKS, dan GKKS sangat XVIII/72 ditentukan oleh jumlah dan kualitas tenaga pelaksananya. Dalam rangka peningkatan kualitas tenaga tersebut, dilakukan pendidikan jangka pendek dan jangka panjang, serta pelatihan teknis pekerjaan. Pada tahun 1996/1997, telah diadakan pelatihan teknis bagi 7.912 orang dokter, 15.224 orang bidan, 10.127 orang Pengawas Petugas Lapangan KB(PPLKB)/Petugas Lapangan KB (PLKB)/Penyuluh KB (PKB), 170.118 orang PPKBD/Sub-PPKBD/Kader, dan 6.387 orang tenaga lainnya. Sedangkan pendidikan lanjutan untuk tenaga pelaksana program pembangunan KS telah diberikan kepada 4.381 orang, yang meliputi 3.946 orang peserta pendidikan jangka panjang dalam negeri, dan 435 orang peserta pendidikan jangka panjang luar negeri. f. Pelaporan dan Penelitian Sistem pencatatan dan pelaporan diarahkan untuk menjamin tersedianya data secara teratur, benar, dan tepat waktu. Oleh sebab itu komponen pencatatan dan pelaporan sebagai unsur penunjang terus dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan data bagi upaya pemantauan kegiatan dan pengambilan keputusan. Dengan adanya substansi baru, yaitu Pembangunan Keluarga Sejahtera melalui Gerakan KB, yang mencakup lebih banyak program dan kegiatan, maka bidang pencatatan dan pelaporan mengalami penyesuaian, untuk dapat memonitor perkembangan GRKS, GKKS, dan GEKS. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada awal tahun ketiga Repelita VI ini telah dilakukan penelaahan untuk penyesuaian Sub Sistem Pelaporan Gerakan Keluarga Berencana Nasional dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, yang mencakup pula sub sistem pendataan keluarga. Selanjutnya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan Gerakan KB, serta mengurangi efek samping pemakaian XVIII/73 alat/obat kontrasepsi, penelitian dan pengembangan terhadap program KB terus dilanjutkan. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1996/97 antara lain adalah pengembangan obat suntik KB bulanan (Cyclofem) dan susuk KB satu batang Implanon, Penelitian Analisis Situasi, dan Penelitian Tracking Implant, yang ditujukan untuk mengembangkan sistem pelayanan dan mengembangkan alat kontrasepsi baru. Di samping itu juga dilakukan penelitian KIE Kontrasepsi dan Client Orientation Perspective (COP) untuk memberdayakan klien dalam memperoleh pelayanan berkualitas. Dalam rangka pengembangan kelembagaan dan jaringan kemitraan, telah dibentuk kelompok-kelompok studi/Sentra Biomedis dan Reproduksi Manusia di 16 Fakultas Kedokteran, yang terletak di 16 propinsi. Dari 16 sentra tersebut, telah diakui 4 buah Center of Excellence (Sentra Paripurna), yaitu di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (Medan), FK Universitas Indonesia (Jakarta), FK Universitas Airlangga (Surabaya), dan FK Universitas Hasanuddin (Ujung Pandang). Selain itu telah dilaksanakan pula pengembangan indikator keluarga sejahtera dan studi yang mendukung kebijaksanaan pemberdayaan wanita (women empowerment). Studi ini bertujuan untuk meningkatkan status dan peranan wanita dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, maupun dalam ruang lingkup kegiatan pembangunan yang lebih luas. XVIII/74 TABEL XVIII – 11 PENCAPAIAN HASIL SASARAN PESERTA KB BARU 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (ribu orang) XVIII/75 TABEL XVIII – 12 JUMLAH PESERTA KELUARGA BERENCANA BARU MENURUT METODE KONTRASEPSI 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (ribu orang) XVIII/76 TABEL XVIII – 13 PENCAPAIAN HASIL SASARAN PESERTA KB AKTIF 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (ribu orang) XVIII/77 TABEL XVIII – 14 JUMLAH PESERTA KELUARGA BERENCANA AKTIF MENURUT METODE KONTRASEPSI 1993/94, 1994/95 – 1996/97 (ribu orang) XVIII/78