kesehatan, kesejahteraan sosial

advertisement
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL,
DAN PERANAN WANITA
BAB XVIII
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN
PERANAN WANITA
A. KESEHATAN
1. Pendahuluan
Pembangunan
kesehatan
merupakan
bagian
integral
dari
pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, maka
derajat kesehatan rakyat perlu makin ditingkatkan. Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) Tahun 1988 antara lain menetapkan bahwa pembangunan
kesehatan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan termasuk keadaan
gizi masyarakat. Atas dasar GBHN tersebut, maka dalam Repelita V
prioritas pembangunan kesehatan ditekankan pada upaya peningkatan
kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit, tanpa mengabaikan upaya
penyembuhan dan pemulihan penyakit. Sejalan dengan prioritas tersebut,
sasaran pokok pembangunan kesehatan dalam Repelita V diarahkan untuk
menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Anak Balita
(AKABA), Angka Kematian Ibu Hamil, dan peningkatan umur hara pan
hidup, serta peningkatan status gizi masyarakat.
Program-program pembangunan kesehatan dalam Repelita V pada
dasarnya merupakan kelanjutan dan peningkatan dari hasil -hasil
XVIII/3
pembangunan kesehatan yang dicapai sejak Repelita I sampai dengan akhir
Repelita IV. Jadi program kesehatan tahunan Repelita V diarahkan untuk
pertama, memperluas jangkauan dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan dasar melalui Puskesmas. Kedua, meningkatkan upaya pencegahan
dan pemberantasan penyakit menular. Dan ketiga, meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan rujukan. Ketiga program tersebut ditunjang oleh
program-program lain seperti Penyediaan Air Bersih, Penyehatan
Lingkungan dan Pemukiman, Penyuluhan Kesehatan, Pengembangan
Laboratorium Kesehatan, serta Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan
Obat dan Makanan. Di samping itu untuk mendukung peningkatan berbagai
program di atas, ditingkatkan pula kegiatan-kegiatan Pelatihan dan
Pendidikan Tenaga Kesehatan serta Penelitian Kesehatan.
Keberhasilan peningkatan program pembangunan kesehatan sejak
Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dan dampaknya pada
derajat kesehatan antara lain adalah sebagai berikut. Dalam Repelita II yaitu
pada tahun 1974 oleh WHO Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara
yang telah bebas dari penyakit cacar. Pernyataan tersebut penting artinya
bagi peningkatan pembangunan kesehatan dalam Repelita III dan seterusnya.
Selain itu sukses tersebut telah meningkatkan kepercayaan kepada dunia
akan kemampuan bangsa Indonesia dalam memberantas penyakit menular
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya. Dalam
Repelita IV dan Repelita V berbagai indikator kesehatan yang penting
seperti angka kematian bayi, keadaan gizi balita dan angka rata -rata harapan
hidup, menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan dan keadaan gizi
masyarakat.
Beberapa keberhasilan kesehatan yang telah dicapai oleh program
pembangunan kesehatan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat
Repelita V, digambarkan oleh berbagai indikator kesehatan sebagai berikut.
Angka Kematian Bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju penurunan
rata-rata 3,4% setiap tahunnya yang dicapai dalam periode Repelita I dan
Repelita IV terus dapat dipertahankan sampai tahun 1992/93. Kecepatan laju
penurunan ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat penurunan
AKB yang dialami oleh negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Dengan
laju penurunan yang bermakna tersebut, maka AKB yang dalam Repelita I
masih berkisar sekitar angka 142 per 1.000 kelahiran hidup telah dapat
ditekan menjadi 112 per 1.000 kelahiran pada tahun 1980 dan kurang lebih
63 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Namun demikian, AKB
XVIII/4
tersebut masih belum serendah yang diharapkan. Sementara itu dalam
periode yang sama Angka Kematian Anak Balita dan Angka Kematian Ibu
Hamil juga menunjukkan adanya penurunan.
Dampak dari makin menurunnya AKB di atas, antara lain tercermin
pada Angka Harapan Hidup. Angka Harapan Hidup penduduk Indonesia
terus meningkat dari rata-rata kurang dari 50 tahun pada awal Repelita I
menjadi rata-rata 52,2 tahun pada tahun 1980 dan meningkat lagi menjadi
61,5 tahun pada tahun 1990 dan diperkirakan rata-rata 65 tahun pada akhir
Repelita V.
Melalui program perbaikan gizi, penurunan AKB dan peningkatan
rata-rata Angka Harapan Hidup tersebut diikuti oleh perbaikan mutu anak
Balita dan masyarakat pada umumnya. Perbaikan mutu tersebut antara lain
dapat terlihat dengan makin baiknya keadaan gizi rata-rata anak Balita.
Angka prevalensi gizi kurang anak Balita menurun dari 15,9% pada tahun
1978 menjadi 10,5% pada tahun 1989; atau menurun dengan 30% dalam
satu dasawarsa. Sedangkan prevalensi gizi buruk selama itu juga turun dari
3% menjadi 1,4%. Demikian pula dalam hal masalah gizi lainnya, seperti
kebutaan akibat kekurangan vitamin A, anemia gizi besi, dan kekurangan zat
iodium. Dari penelitian gizi tahun 1991/92, masalah kebutaan akibat
kekurangan vitamin A di daerah-daerah rawan gizi di Indonesia ternyata
hampir hilang. Artinya dimasa yang akan datang tidak lagi banyak anak
yang harus menderita buta karena kekurangan vitamin A. Demikian juga
prevalensi anemia gizi besi dan kekurangan iodium dalam lima tahun
terakhir ini (1988/89 sampai tahun 1992/93), menunjukkan angka -angka
yang menurun dibanding keadaan pada Repelita I. Perbaikan keadaan gizi
ini penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat. Dampaknya tidak saja
pada pertumbuhan fisik anak-anak yang menjadi makin baik, tetapi juga
tingkat perkembangan intelektual anak menjadi makin meningkat pula.
Secara keseluruhan perbaikan gizi masyarakat juga meningkatkan
produktivitas kerja yang diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi.
Makin baiknya derajat kesehatan dan keadaan gizi masyarakat yang
dicapai selama ini tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang
ekonomi, terutama dengan makin berkurangnya penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan, dan keberhasilan pembangunan di bidang-bidang
lain. Bidang-bidang tersebut antara lain adalah pencapaian swasembada
pangan, keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk melalu i KB,
XVIII/5
peningkatan pendidikan, makin baiknya perumahan dan pemukiman rakyat
termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya.
Dalam hal pelaksanaannya, program pembangunan kesehatan sejak
Repelita II didukung oleh adanya Program Inpres Bantuan Sarana
Kesehatan. Tujuan Inpres Bantuan Sarana Kesehatan adalah untuk makin
memeratakan dan mendekatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan
masyarakat di semua daerah dan desa termasuk desa-desa terpencil.
Pada awal Repelita I sarana pelayanan kesehatan masyarakat masih
sangat terbatas. Untuk penduduk yang jumlahnya lebih dari 118 juta pada
waktu itu baru tersedia 1.227 Puskesmas dan 1.125 rumah sakit dengan
tenaga medis dan paramedis yang sangat terbatas. Pada awal Repelita I baru
tersedia rata-rata 1 Puskesmas bagi 96.000 penduduk, 1 dokter bagi 23.000
penduduk, dan 1 tenaga perawat/bidan bagi 15.000 penduduk. Dengan
adanya Inpres Bantuan Sarana Kesehatan, pada tahun 1992/93 satu
Puskesmas (termasuk Puskesmas Pembantu) rata-rata hanya melayani 6.200
orang. Sedangkan seorang dokter dan tenaga perawat atau bidan rata -rata
masing-masing melayani 6.100 orang dan 1.700 orang. Dibandingkan
dengan keadaan dalam Repelita I maka jumlah masyarakat yang dilayani
oleh Puskesmas dengan tenaga dokter dan perawat atau bidan makin
memadai. Rasio-rasio tersebut merupakan ukuran yang baik bagi tercapainya
perluasan pelayanan kesehatan.
Salah satu kegiatan pembangunan kesehatan yang besar pengaruhnya
terhadap angka kematian balita dan ibu melahirkan adalah kegiatan
imunisasi. Pada awal Repelita I kegiatan ini sangat tidak memadai, yaitu
masih terbatas pada pemberian beberapa jenis vaksinasi dengan cakupan
yang relatif terbatas. Kemudian selama Repelita-repelita berikutnya jenis dan
cakupan pemberian vaksinasi makin ditingkatkan. Demikianlah maka dalam
Repelita IV secara nasional cakupan imunisasi mencapai 64,2%. Selama 5
tahun terakhir sejak tahun 1988/89 sampai tahun keempat Repelita V secara
nasional Indonesia sasaran imunisasi bayi secara lengkap terus meningkat
sehingga pada tahun 1991/92 mencapai 88,6%, di atas sasaran yang
ditetapkan WHO sebesar 80,0%. Artinya kegiatan imunisasi yang
dilaksanakan selama ini telah mencapai sasaran sebagian besar penduduk
yang harus memperoleh perlindungan kekebalan terhadap penyakit melalui
imunisasi. Dengan demikian upaya pencegahan penyakit-penyakit infeksi
yang membahayakan kehidupan terutama bagi anak-anak, telah diperluas
jangkauannya di masyarakat.
XVIII/6
2. Pelaksanaan Program Pembangunan
a. Program Upaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Upaya pelayanan kesehatan masyarakat merupakan suatu bentuk
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya pencegahan penyakit,
pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar terutama bagi ibu dan
anak. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan melalui berbagai lembaga seperti
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Pembantu, Puskesmas
Perawatan, dan Puskesmas Keliling atau Terapung disertai penempatan
tenaga medis dan paramedis secara merata di setiap Puskesmas. Di
daerah-daerah yang belum terjangkau sarana transportasi, seperti beberapa
daerah di Irian Jaya, Maluku, Timor Timur dan Sulawesi Tenggara,
pelayanan diberikan melalui pelayanan Puskesmas Keliling dengan Jalan
Kaki. Artinya setiap kali tenaga Puskesmas harus berkeliling dari desa ke
desa terpencil dengan berjalan kaki berhari-hari untuk dapat memberikan
pelayanan kesehatan bagi penduduk secara teratur.
Pelayanan kesehatan di tingkat desa diberikan oleh tenaga Puskesmas
yang dibantu oleh Kader-kader kesehatan desa melalui kegiatan masyarakat
dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Selain itu, mulai tahun
kedua Repelita V sejumlah desa telah dilayani oleh seorang tenaga bidan
yang khusus ditempatkan di desa.
(1)
Peningkatan
(Puskesmas)
Lembaga
Pelayanan
Kesehatan
Dasar
Sebelum Repelita I dimulai di seluruh Indonesia baru terdapat 1.227
buah Puskesmas dan pada akhir Repelita I menjadi 2.343 buah Puskesmas.
Melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan yang dimulai sejak Repelita II
selain Puskesmas juga dibangun Puskesmas Pembantu. Pada akhir Repelita IV jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu masing-masing
meningkat menjadi 5.642 dan 17.413 buah. Dalam Repelita V pembangunan
tersebut terus dilanjutkan, sehingga pada tahun keempat Repelita V jumlah
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang sudah dibangun masing-masing
mencapai 6.749 buah dan 22.715 buah (Tabel XVIII-1). Hal ini berarti
bahwa pada tahun keempat Repelita V jumlah Puskesmas meningkat menjadi
lebih dari 5 kali jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1968.
Dengan demikian jumlah sarana pelayanan kesehatan, khususnya
Puskesmas, dibanding dengan kebutuhan penduduk makin memenuhi suatu
XVIII/7
TABEL XVIII – 1
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS,
1968 – 1992/93
1)
2)
XVIII/8
Angka kumulatif sejak awal Repelita I
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
GRAFIK XVIII – 1
PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS,
1968 – 1992/93
XVIII/8
rasio yang dianggap memadai ditinjau dari efisiensi pelayanan. Untuk Jawa
dan Bali rasio Puskesmas terhadap penduduk ditetapkan 1 Puskesmas untuk
30.000 penduduk dan didukung oleh 2-3 Puskesmas Pembantu. Di luar Jawa
dan Bali yang penduduknya relatif tidak padat ditetapkan rasio 1 Puskesmas
untuk 10.000-20.000 penduduk didukung juga oleh 2-3 Puskesmas
Pembantu. Dengan jumlah Puskesmas sebanyak 6.749 buah pada tahun
1992/93, maka berarti satu Puskesmas rata-rata melayani 27.000 penduduk.
Apabila jumlah Puskesmas Pembantu juga diperhitungkan maka jumlah
keseluruhan Puskesmas pada tahun keempat Repelita V adalah sebanyak
29.464 buah sehingga satu Puskesmas melayani sekitar 6.200 penduduk.
Sedangkan pada tahun 1968 rasio Puskesmas terhadap penduduk adalah satu
Puskesmas melayani sekitar 96.000 penduduk dan pada akhir Repelita I
rasio tersebut menjadi satu Puskesmas melayani 52.500 penduduk. Dengan
demikian, kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih
dekat dan lebih terjangkau, makin terbuka bagi masyarakat secara lebih
merata pada tahun keempat Repelita V. Hal ini sudah tentu telah mendorong
tercapainya derajat kesehatan rakyat yang jauh lebih tinggi.
Dalam rangka mempertahankan fungsi pelayanan Puskesmas terutama
oleh Puskesmas-puskesmas yang kondisi bangunannya rusak, baik sebagai
akibat bencana alam maupun karena umur bangunan, maka sejak Repelita II
melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan dilaksanakan perbaikan Puskesmas
secara teratur. Sampai dengan Repelita IV jumlah Puskesmas dan Puskesmas
Pembantu yang diperbaiki sejumlah 4.351 buah dan 5.723 buah. Dalam lima
tahun terakhir (1988/89-1992/93) dilakukan perbaikan Puskesmas dan
Puskesmas Pembantu masing-masing sebanyak 5.891 buah dan 10.309 buah.
Sehingga sejak Repelita II sampai tahun keempat Repelita V jumlah
Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang diperbaiki seluruhnya telah
berjumlah masing-masing 10.242 buah dan 16.032 buah.
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya, sejak Repelita III
sejumlah Puskesmas ditingkatkan fungsinya menjadi Puskesmas Perawatan,
yaitu Puskesmas dengan tempat tidur. Puskesmas Perawatan ini terutama
dibangun di lokasi-lokasi yang jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan
raya yang rawan kecelakaan dan di tempat-tempat atau pulau-pulau
terpencil. Sampai dengan akhir Repelita IV jumlah Puskesmas Perawatan
tercatat sebanyak 1.038 buah, sehingga sampai tahun keempat Repelita V
jumlah tersebut seluruhnya menjadi 1.438 buah. Puskesmas-puskesmas
Perawatan tersebut dilengkapi dengan tenaga medis dan paramedis serta
peralatan yang diperlukannya.
XVIII/10
Untuk lebih meningkatkan cakupan pelayanannya dan agar petugas
Puskesmas dapat aktif melakukan pelayanan di luar gedung Puskesmas
sambil melakukan penyuluhan kesehatan, sebagian besar Puskesmas
dilengkapi dengan Puskesmas Keliling Roda Empat atau, khusus untuk
daerah sungai dan kepulauan dengan perahu bermotor. Puskesmas perahu
bermotor sangat penting untuk pelayanan di daerah-daerah kepulauan yang
terpencil.
Selain itu untuk daerah kepulauan, daerah terpencil dan daerah
perbatasan, sejak tahun 1985 pelayanan kesehatan juga ditingkatkan melalui
pelayanan dokter terbang dan paket pelayanan Puskesmas Keliling Jalan
Kaki. Sejak tahun ketiga Repelita V paket pelayanan kesehatan masyarakat
diorganisir sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu di Propinsi Irian Jaya
paket pelayanan ini karena terbatasnya prasarana jalan diberikan dalam
bentuk Puskesmas Keliling Jalan Kaki dan di Propinsi Maluku dilaksanakan
melalui paket pelayanan Gugus pulau. Dengan paket-paket pelayanan
tersebut maka pemerataan pelayanan kesehatan makin meningkat terutama
dilihat dari kepentingan penduduk daerah-daerah terpencil yang pada
waktu-waktu lalu sulit terjangkau. Untuk menjamin tersedianya tenaga
medis di daerah-daerah terpencil tersebut, sejak tahun 1991/92 dilakukan
pula penempatan dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap, yaitu tenaga dokter
yang ditugaskan dalam waktu tertentu tanpa harus menjadi pegawai negeri
dan diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilan lokasi
penempatannya.
(2)
Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Berbagai masalah kesehatan masyarakat terutama diderita oleh
golongan yang secara biologis rentan terhadap penyakit yaitu ibu hamil, ibu
menyusui, dan anak umur di bawah lima tahun (balita). Oleh karena itu
salah satu upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah
meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Upaya peningkatan pelayanan KIA mencakup kegiatan-kegiatan
pencegahan dan perawatan penyakit serta pemulihan kesehatan ibu dan anak.
Keberhasilan dalam upaya ini akan membantu menurunkan angka kematian
ibu melahirkan, kematian bayi dan kematian anak balita.
Pada awal Repelita I pelayanan di bidang pelayanan KIA
dilaksanakan melalui Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang dipimpin
XVIII/11
oleh seorang bidan. Kemudian, mulai Repelita II, secara berangsur-angsur
dilakukan penggabungan BKIA dengan Balai Pengobatan Klinik/Poliklinik
menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan tujuan
menyatukan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan pelayanan poliklinik di
bawah satu atap. Dalam periode tersebut jumlah Puskesmas, jumlah dan
jenis tenaga kesehatan, dan keadaan sarana/prasarana Puskesmas masih
belum memadai, sehingga cakupan dan jenis pelayanan kesehatan yang dapat
diberikan kepada masyarakat juga masih terbatas. Kekurangan ini mulai
ditanggulangi dengan pembangunan Puskesmas secara meluas dan terus
menerus, disertai penyediaan tenaga dan peralatannya. Seperti telah
diuraikan dimuka dalam Repelita V jumlah Puskesmas sudah hampir
memadai dan penyebarannya merata di hampir seluruh tanah air.
Peranan pelayanan KIA melalui Puskesmas dan Puskesmas Pembantu
makin efektif setelah didukung oleh peran serta masyarakat dalam bentuk
Pos Pelayanan Terpadu yang dikenal dengan Posyandu. Dengan pelayanan
terpadu melalui Posyandu berbagai pelayanan kesehatan dasar seperti
imunisasi, perbaikan gizi, perawatan kesehatan ibu dan anak, KB dan
penyuluhan kesehatan, dapat lebih menjangkau sasaran, yaitu ibu dan anak
di daerah pedesaan dan terpencil. Posyandu merupakan bentuk peran serta
masyarakat yang nyata khususnya oleh PICK dan organisasi wanita lainnya.
Peningkatan peran serta PKK tersebut memungkinkan Posyandu sebagai
lembaga masyarakat dapat berkembang dengan pesat. Apabila pada akhir
Repelita III baru tercatat sebanyak 25.000 Posyandu, pada akhir Repelita IV
menjadi lebih dari 213.000 buah, dan pada tahun 1992/93 menjadi 241.000
Posyandu. Berarti bahwa pada tahun keempat Repelita V di setiap desa
rata-rata terdapat 4 Posyandu. Dengan makin meluasnya Posyandu sampai di
desa-desa terpencil maka masyarakat terutama ibu dan anak dapat
memperoleh pelayanan kesehatan tidak jauh dari rumahnya, terutama untuk
pelayanan pencegahan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,
penimbangan berat badan anak, pemasangan alat KB dan sebagainya.
Dengan demikian sasaran pelayanan kesehatan pencegahan untuk semua desa
termasuk yang terpencil dapat dilaksanakan melalui Posyandu. Hal tersebut
sulit dijangkau oleh pelayanan Puskesmas yang jumlahnya relatif lebih
terbatas. Dampak dan meluasnya Posyandu antara lain terlihat pada
percepatan pencapaian sasaran imunisasi, sasaran pemantauan keadaan gizi
balita, pencapaian sasaran aseptor KB, dan makin cepatnya disadari
masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kandungan, imunisasi, gizi dan
lain-lain terutama bagi ibu dan anak.
XVIII/12
Berkat makin meningkatnya jumlah fasilitas, jenis dan mutu
pelayanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas, yang ditunjang pula oleh
peran serta masyarakat melalui Posyandu, maka khusus dalam kegiatan
imunisasi, pada tahun ketiga Repelita V secara nasional Indonesia telah
berhasil mencapai sasaran "Universal Child Immunization (UCI)" dengan
cakupan sebesar 88,6%. Artinya sebanyak 88,6% dari jumlah bayi yang ada
telah mendapat imunisasi lengkap yang meliputi vaksinasi BCG, DPT, Polio
dan Campak. Besarnya cakupan ini telah melampaui besarnya cakupan yang
ditetapkan oleh WHO sebagai target nasional, yaitu 80%. Pencapaian UCI,
yang ditunjang dengan perbaikan gizi anak Balita, telah menurunkan Angka
kematian Bayi dan meningkatkan mutu kehidupan anak-anak Balita.
Dalam rangka terus meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di
pedesaan, dalam Repelita V telah ditetapkan kebijaksanaan untuk
menempatkan bidan di desa-desa. Tujuannya adalah agar nantinya di setiap
desa setidak-tidaknya terdapat seorang bidan yang dapat memberikan
pelayanan KIA, baik sebagai perorangan maupun sebagai tenaga kesehatan
Puskesmas. Untuk tujuan tersebut selama lima tahun terakhir sampai dengan
tahun keempat Repelita V telah dididik dan ditempatkan di desa sebanyak
19.400 bidan yang dilengkapi dengan peralatan bidan. Namun demikian
jumlah bidan untuk dapat melayani seluruh penduduk desa masih sulit
dicapai. Oleh karena itu upaya pelatihan dukun bayi yang telah dimulai sejak
Repelita I tetap dilanjutkan dan ditingkatkan. Di setiap desa pada umumnya
terdapat lebih dari satu orang dukun bayi. Sejak Repelita I sampai tahun
keempat Repelita V telah dilatih sekitar 124 ribu dukun bayi. Sebagian dari
mereka tentunya sudah lanjut usia dan ada yang sudah meninggal sehingga
terus terjadi peremajaan oleh dukun bayi yang relatif muda usia. Dengan
demikian pelatihan dukun bayi perlu terus berlanjut.
Dengan mulai masuknya bidan ke desa maka dukun bayi yang
terlatih dapat menjadi mitra kerja bidan. Untuk persalinan normal dapat
ditolong oleh dukun bayi, sedangkan untuk persalinan dengan kesulitan
dilakukan oleh bidan. Selain itu bidan juga diperlukan untuk
kegiatan-kegiatan kesehatan pencegahan sebagai penyuluh kesehatan dan
gizi, memberikan imunisasi, memasang alat KB, dan memberikan
pengobatan dan pertolongan darurat sebelum dirujuk ke Puskesmas atau
Rumah Sakit.
XVIII/13
(3)
Pemeliharaan Kesehatan Usia Sekolah
Program ini merupakan program yang telah dilaksanakan sejak
Repelita I. Tujuannya adalah untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan anak sekolah. Kegiatannya dilaksanakan di semua tingkat sekolah,
mulai dari SD sampai dengan SMTA. Kegiatan yang dilaksanakan dalam
program ini antara lain adalah pemeriksaan kesehatan gigi, pemberian
bimbingan dan pedoman mengenai pemeliharaan kesehatan badan,
pemeliharaan kebersihan lingkungan, dan perbaikan gizi termasuk
pengawasan terhadap warung-warung sekolah. Sampai akhir Repelita III
jumlah sekolah yang dibina dalam rangka pelaksanaan program ini
berjumlah lebih dari 100 ribu buah.
Selama Repelita-repelita berikutnya jumlah sekolah yang dibina terus
ditingkatkan, sehingga sampai dengan tahun keempat Repelita V sekolah
yang dibina oleh Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) berjumlah lebih dari 150
ribu sekolah. Dengan peningkatan tersebut diharapkan kemampuan hidup
sehat anak sekolah, dan dengan demikian juga derajat kesehatan mereka dan
prestasi belajar mereka akan makin meningkat. Di samping itu untuk
meningkatkan efektifitas pembinaan UKS, selama lima tahun terakhir
sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diselenggarakan pelatihan
pengelolaan UKS di seluruh propinsi.
(4)
Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gigi
dan mulut yang diberikan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Sampai akhir
Repelita III sebagian besar pelayanan kesehatan gigi hanya diberikan di
Rumah Sakit. Dalam Repelita IV mulai dikembangkan juga pelayanan
kesehatan gigi di Puskesmas. Di samping itu untuk meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan gigi jumlah dokter gigi terus ditambah, sehingga
sampai akhir Repelita IV jumlah dokter gigi yang ditempatkan di Puskesmas
dan Rumah Sakit berjumlah 749 orang.
Selama lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai tahun keempat.
Repelita V jumlah tenaga dokter gigi dan peralatan standar kedokteran gigi
di Puskesmas dan Rumah Sakit terus ditingkatkan. Sampai tahun keempat
Repelita V jumlah dokter yang telah ditempatkan di Puskesmas dan Rumah
Sakit meningkat menjadi 2.184 orang, sehingga pada tahun tersebut seorang
XVIII/14
dokter gigi rata-rata melayani 3 Puskesmas. Di samping itu bagi dokter gigi
yang ditempatkan di Puskesmas, selain dilengkapi dengan peralatan standar
pelayanan kesehatan gigi secara bertahap disediakan juga sarana transportasi
dan fasilitas perumahan.
(5)
Pelayanan Kesehatan Jiwa
Dalam Repelita I dan II pelayanan kesehatan jiwa juga hanya
dilakukan di Rumah-rumah Sakit Jiwa. Pada waktu itu seluruh RS Jiwa baru
berjumlah 34 buah, sebagian besar terletak di beberapa ibu kota propinsi.
Dalam Repelita III dan IV dilaksanakan pembangunan dan perbaikan
RS Jiwa, seluruhnya sebanyak 11 buah. Sementara itu pelayanan kesehatan
jiwa diintegrasikan juga dengan pelayanan Puskesmas dalam suatu sistem
rujukan. Sistem rujukan ini dirintis di beberapa Puskesmas dan RS.
Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
sistem rujukan ini telah dilaksanakan di lebih dari 400 Puskesmas dan
93 Rumah Sakit. Melalui sistem rujukan ini kegiatan pencarian penderita
gangguan jiwa di pedesaan dan penjaringan gelandangan psikotik di
kota-kota, dengan bekerja sama dengan berbagai instansi yang terkait dapat
dilaksanakan makin intensip. Di samping itu guna meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan jiwa kepada para dokter umum dan tenaga paramedik
diberikan pelatihan dalam peningkatan keterampilan di bidang psikiatri,
penanganan efek samping obat psikotropik, okupasi terapi dan penyalah gunaan zat aditif.
(6)
Pelayanan Laboratorium Kesehatan
Pelayanan Laboratorium Kesehatan adalah pelayanan yang melengapi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dan di Puskesmas dalam suatu
sistem rujukan. Di samping itu Pelayanan Laboratorium Kesehatan juga
merupakan rujukan untuk keperluan program pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular. Sejak Repelita I baik jumlah maupun mutu pelayanan
laboratorium kesehatan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan mutu
pelayanan di lembaga kesehatan lainnya.
Selama Repelita I baru dibangun 11 Balai Laboratorium Kesehatan
(BLK), sedangkan pada Repelita II dibangun lagi sebanyak 7 buah BLK.
Sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah BLK yang telah dibangun
XVIII/15
mencapai 25 buah. Sejalan dengan pembangunan gedung laboratorium,
pembinaan terhadap laboratorium Rumah Sakit Kabupaten, Puskesmas dan
laboratorium swasta juga ditingkatkan.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V,
melalui kegiatan rujukan pelayanan laboratorium kesehatan telah
dilaksanakan bimbingan teknis kepada laboratorium RS dan Puskesmas dari
seluruh propinsi di Indonesia rata-rata setiap tahun sebanyak 150 kali.
Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan teknis tenaga laboratorium,
selama Repelita V telah dilaksanakan pelatihan untuk 603 orang tenaga dari
BLK dan RSU Dati II serta 2.605 orang tenaga laboratorium dari
Puskesmas. Di samping itu, dilatih pula 27 orang. tenaga teknis dari BLK
dan RSU Dati II.
Pelayanan laboratorium kesehatan di sektor swasta juga mengalami
kemajuan. Bila pada akhir Repelita IV baru terdapat 421 laboratorium klinik
swasta di 25 propinsi, maka pada pertengahan tahun keempat Repelita V
telah mencapai 517 laboratorium klinik swasta di 27 propinsi.
Kemampuan pemeriksaan BLK selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Selama Repelita III, baru 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan
terhadap Hepatitis B. Pada Repelita IV dan V, seluruh BLK sudah mampu
menangani pemeriksaan Hepatitis B. Sedangkan untuk pemeriksaan AIDS,
dalam Repelita IV hanya 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan, yang
kemudian bertambah menjadi 8 buah BLK pada tahun pertama Repelita V.
Dengan makin lengkapnya peralatan dan makin banyak tenaga BLK yang
dilatih secara khusus, maka pada tahun keempat Repelita V, seluruh BLK
sudah mampu melakukan pemeriksaan AIDS. Selain itu, sejumlah 33 Labo ratorium Rumah Sakit dan 118 laboratorium PMI di seluruh Indonesia juga
telah mampu melakukan pemeriksaan AIDS.
b. Program Upaya Kesehatan Rujukan
Upaya kesehatan rujukan ialah kegiatan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang menerima atau memberi rujukan berupa orang sakit, bahan
pemeriksaan, dan informasi dari lembaga pelayanan kesehatan lainnya,
terutama Puskesmas dan Laboratorium Kesehatan. Jaringan upaya rujukan
ini dimulai dari Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sampai RS kelas D dan
C bahkan kalau dianggap perlu sampai ke RS kelas B dan A. Oleh karena
itu
XVIII/ 16
salah satu upaya untuk mengefektifkan pelayanan rujukan ini adalah
meningkatkan jumlah dan meningkatkan mutu lembaga pelayanannya.
Peningkatan jumlah dan mutu pelayanan RS mulai dilaksanakan sejak
Repelita I. Pada akhir Repelita I jumlah RS seluruhnya tercatat 1.116 buah,
terdiri
dari
Rumah
Sakit
Pusat
45
buah,
Rumah
Sakit
Propinsi/Kabupaten/Kotamadya 347 buah, Rumah Sakit ABRI dan
Departemen lainnya 221 buah, dan Rumah Sakit Swasta 503 buah (Tabel
XVIII-2). Dari Repelita ke Repelita jumlah RS dan tempat tidur terus
bertambah, sedangkan pertambahan terbesar berbagai jenis RS tersebut
terjadi selama Repelita IV, yaitu 225 buah RS dan 11.949 tempat tidur.
Penambahan jumlah terbanyak terjadi pada RS Swasta yaitu bertambah .
sebesar 31% dibanding jumlah RS Swasta pada Repelita sebelumnya.
Keadaan ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelayanan
kesehatan rujukan makin meningkat. Selama lima tahun yang lalu sampai
dengan tahun keempat Repelita V jumlah RS dan tempat tidur terus
meningkat pula, sehingga pada tahun keempat Repelita V jumlah RS dan
tempat tidur masing-masing bertambah menjadi 1.638 buah dan 123.441
buah. Dengan demikian sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V
jumlah RS seluruhnya meningkat dari 1.116 buah pada akhir Repelita I
menjadi 1.638 buah pada tahun 1992/93 atau meningkat lebih dari 45%.
Dengan peningkatan jumlah RS yang disertai peningkatan jumlah Puskesmas
di seluruh kecamatan maka jaringan rujukan pelayanan kesehatan dari
Puskesmas ke RS atau sebaliknya menjadi makin meluas.
Dalam Repelita V, kebijaksanaan pelayanan RS ditingkatkan
terutama untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan. Untuk itu sejumlah
RS kelas D ditingkatkan menjadi kelas C, dan RS kelas A dibangun baru di
Medan dan Ujung Pandang, serta pembangunan RS kelas B dan C di
beberapa kota, yaitu Manado, Cirebon, Banjarmasin, Mataram, Balikpapan,
Ambon, Jambi, dan Palangkaraya. Sejalan dengan peningkatan kelas RS
pengadaan dokter umum dan dokter spesialis termasuk peralatan medis dan
non medis makin juga ditingkatkan jumlahnya. Di samping itu juga
dilakukan rehabilitasi gedung dan pengadaan peralatan medis dan non medis
serta pelatihan tenaga medis dan paramedis RS untuk sebagian besar
rumah-rumah sakit propinsi/kabupaten/kotamadya.
Sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pelayanan RS, sejak
tahun kedua Repelita V unt uk semua jenis RS Pemerintah Pusat dan
XVIII/17
TABEL XVIII – 2
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS) DAN TEMPAT TIDUR (TT),
1968 – 1992/93
1)
2)
Angka kumulatif sejak awal Repelita I
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/18
GRAFIK XVIII – 2
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT,
1968 – 1992/93
XVIII/19
Pemerintah Daerah disediakan anggaran untuk Operasional dan
Pemeliharaan. Biaya Operasional dan Pemeliharaan tersebut dimaksudkan
untuk melengkapi kebutuhan Operasional dan Pemeliharaan yang selama ini
disediakan dari biaya rutin melalui APBN dan APBD. Setiap tahunnya
untuk 414 buah RS disediakan anggaran rata-rata Rp 164 juta per RS.
Dengan tersedianya anggaran Operasional dan Pemeliharaan yang cukup
memadai tersebut di atas, penampilan fisik serta mutu pelayanannya RS
Pusat dan Daerah makin bertambah baik.
c. Program Pemberantasan Penyakit Menular
Salah satu masalah kesehatan yang besar dihadapi dalam Repelita I
adalah masih meluasnya penyakit menular. Hal ini erat kaitannya dengan
masalah kemiskinan dan keadaan kesehatan lingkungan yang masih belum
memadai. Di samping itu pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
terhadap kebiasaan hidup sehat belum mendukung, sedangkan sarana
kesehatan belum memadai. Oleh karena itu perkembangan dan keberhasilan
upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular tidak dapat berdiri
sendiri. Keberhasilannya sangat tergantung keberhasilan pembangunan di
bidang lain seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan air bersih dan
sanitasi yang cukup, perumahan yang layak, pendidikan dan lain
sebagainya.
Upaya pemberantasan penyakit menular dimulai jauh sebelum
Repelita I. Pada awal Repelita I kegiatan pemberantasan penyakit menular
diprioritaskan pada peningkatan pemberantasan penyakit malaria, cacar, TB
Paru, Cholera El Tor, Frambusia dan Kusta serta penyakit kelamin.
Berhubung dengan masih terbatas upaya penyediaan vaksin dan belum
adanya lembaga pelayanan kesehatan masyarakat yang merata di semua
lapisan masyarakat, maka kegiatan Vaksinasi waktu itu diprioritaskan untuk
pencegahan penyakit cacar dan TB Paru.
Kegiatan tersebut telah membawa hasil yang sangat penting dalam
Repelita II, yaitu pada tahun 1974 Indonesia oleh WHO dinyatakan "bebas
cacar". Pernyataan WHO tersebut penting artinya bagi kesehatan masyarakat
Indonesia dan masyarakat internasional karena salah satu negara asal
penularan penyakit Cacar telah dihapuskan. Selain itu sebagai hasil dari
berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit maka penyakit
frambusia atau patek yang sebelumnya dinyatakan endemis di Indonesia,
XVIII/20
mulai Repelita III dianggap tidak membahayakan lagi kecuali untuk
beberapa lokasi di luar Jawa dan Bali.
Sejak awal Repelita III upaya pemberantasan penyakit menular
dipusatkan pada peningkatan kegiatan imunisasi, terutama untuk penyakitpenyakit yang banyak menyerang dan menyebabkan kematian anak balita
seperti difteri, tetanus, pertusis, poliomyelitis dan campak. Penyakit lain
yang juga diberikan prioritas pemberantasannya antara lain adalah penyakit
malaria, diare, demam berdarah, TB Paru, penyakit kelamin, kusta, kaki
gajah (filariasis), gila anjing dan demam keong (Schistosomiasis). Di
samping itu ditingkatkan pula kegiatan pengamanan sumber penularan
penyakit karena perpindahan penduduk termasuk pengawasan kesehatan
jemaah haji dan transmigran.
Sejak Repelita IV sampai tahun keempat Repelita V upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular menjadi makin efisien dan
efektif karena dipadukan dengan upaya kesehatan lainnya seperti KIA,
perbaikan gizi, KB dan sebagainya yang ditunjang oleh peran serta
masyarakat melalui kegiatan Posyandu. Adapun perkembangan
kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dari upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular adalah sebagai berikut:
(1) Imunisasi
Berbagai penyakit menular dapat dicegah penularannya dengan
memberikan kekebalan dengan imunisasi kepada masyarakat terutama
golongan masyarakat yang secara biologis sangat rawan terhadap penyakit
menular. Mereka adalah bayi, anak di bawah umur lima tahun (balita), ibu
mengandung dan anak sekolah dasar. Tingginya angka kematian bayi dan
angka kematian ibu yang melahirkan dapat ditekan antara lain dengan
memberikan imunisasi kepada golongan rawan biologis tersebut. Beberapa
penyakit menular yang membahayakan golongan rawan tersebut tetap dapat
dicegah dengan imunisasi terutama adalah: cacar, polio, campak, tetanus,
difteri, tipus dan TB paru. Oleh karena itu, salah satu prioritas dalam upaya
pemberantasan penyakit menular adalah penggalakan program imunisasi
yang dimulai sejak awal Repelita III. Tujuannya adalah untuk menekan
angka kematian bayi dan balita dan menurunkan angka kematian ibu
melahirkan.
XVIII/21
Pada awal Repelita I pemberian vaksinasi baru satu jenis, yaitu
vaksinasi BCG untuk bayi, anak prasekolah, dan anak kelas VI SD.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi BCG
pada anak prasekolah dan anak kelas VI SD hasilnya kurang efektif,
sehingga secara bertahap pada Repelita II sasaran pemberian vaksinasi BCG
ditujukan pada bayi dan anak prasekolah dan mulai Repelita III sasaran
pemberian vaksinasi BCG hanya ditujukan pada bayi. Sejak dari Repelita II
jenis dan cakupan pemberian vaksinasi terus ditingkatkan, sehingga pada
Repelita III mulai dilaksanakan pemberian imunisasi lengkap yang
mencakup vaksinasi BCG, DPT, Polio, dan Campak. Di samping itu juga
digalakkan vaksinasi Tetanus Toksoid (TT) pada calon pengantin, ibu hamil,
serta TT dan Diptheri Tetanus (DT) pada anak prasekolah. Dengan makin
meningkatnya berbagai jenis dan cakupan vaksinasi tersebut, maka pada
Repelita IV cakupan bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap mencapai
64,2%. Di samping itu sejak tahun kedua Repelita V telah pula diberikan
imunisasi Hepatitis B untuk bayi-bayi dari 10 propinsi yang mempunyai
angka kesakitan yang tinggi.
Angka pencapaian imunisasi tersebut terus ditingkatkan sehingga
pada tahun ketiga Repelita V secara nasional Indonesia telah melampaui
sasaran Universal Child Immunization (UCI) dengan cakupan sebesar
88,6%, artinya sebanyak 88,6% dari jumlah bayi yang ada telah mendapat
imunisasi lengkap. Sasaran UCI yang ditetapkan WHO secara internasional
adalah 80,0%. Pada tahun keempat Repelita V, sasaran UCI tersebut tidak
saja dicapai ditingkat nasional saja, tetapi juga telah dicapai oleh 25 propinsi
di Indonesia. Dengan tercapainya UCI dihampir semua propinsi berarti
bahwa cakupan imunisasi menjangkau semua daerah secara merata. Hal
tersebut mencerminkan makin meratanya pelayanan kesehatan dasar kepada
masyarakat dan makin efektifnya sarana dan prasarana kesehatan yang ada
terutama Puskesmas yang didukung oleh Posyandu, khususnya dalam hal
pelayanan imunisasi.
Pencapaian sasaran-sasaran UCI tersebut amat penting artinya karena
menunjukkan bahwa kegiatan imunisasi yang dilaksanakan selama ini telah
mencapai sebagian besar sasaran penduduk yang harus memperoleh
perlindungan kekebalan dengan imunisasi. Dengan demikian upaya
pencegahan berjangkitnya penyakit-penyakit menular yang dapat
menyebabkan kematian terutama bagi anak-anak semakin meningkat. Hal ini
berarti pencapaian sasaran UCI memacu upaya menurunkan angka kematian
XVIII/22
bayi dan kematian ibu melahirkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat secara optimal.
(2) Penyakit Malaria
Pada awal Repelita I penyakit malaria berjangkit secara meluas
dibanyak daerah pedesaan termasuk di daerah pedesaan Jawa dan Bali.
Dengan berbagai upaya pemberantasan akhirnya prevalensi penyakit malaria
di Jawa dan Bali dapat ditekan. Dalam Repelita V perhatian dipusatkan
untuk pencegahan dan pemberantasan di daerah-daerah luar Jawa dan Bali
terutama di daerah pemukiman baru seperti daerah transmigrasi dan daerah
perbatasan.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria terdiri dari
beberapa kegiatan yaitu: (1) identifikasi penderita melalui pemeriksaan darah
penduduk di daerah rawan malaria; (2) pembasmian sarang nyamuk malaria
dengan penyemprotan rumah dan lingkungan pemukiman; dan (3)
pengobatan bagi penderita malaria yang ditemukan. Sejak Repelita I sampai
Repelita III ketiga kegiatan tersebut telah dilaksanakan secara teratur.
Selama Repelita IV telah diperiksa dan diobati sekitar 32 juta orang dan
telah disemprot sebanyak 8 juta rumah.
Selama lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) kegiatan-kegiatan
pencegahan dan pemberantasan malaria dilanjutkan dengan sasaran yang
lebih dipertajam, yaitu dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan
terhadap lebih dari 20 juta orang dan penyemprotan lebih dari 5,8 juta buah
rumah. Dibandingkan dengan kegiatan sebelum Repelita V, intensitas
kegiatan Repelita V menurun oleh karena keberhasilan pelaksanaan program
pencegahan dan pemberantasan penyakit dan keberhasilan pengobatan
penderita malaria, serta kegiatan penyemprotan hanya dilaksanakan di
daerah-daerah yang mendapat prioritas,
Penyakit malaria adalah suatu penyakit menular yang erat kaitannya
dengan keadaan lingkungan pemukiman, terutama yang berhubungan dengan
tempat pembiakan nyamuk seperti semak-semak, genangan air dan
sebagainya. Untuk membasmi tempat pembiakan nyamuk sejak waktu pra
Repelita digunakan obat DDT.
Satu kebijaksanaan penting yang dilaksanakan sejak tahun kedua
XVIII/23
Repelita V (1990/91) adalah tidak digunakannya lagi DDT sebagai obat
penyemprot di daerah rawan malaria di Jawa dan Bali. Sebagai gantinya,
digunakan obat penyemprot jenis lain yang mudah terurai yang disebut
Organofosfor. Hal tersebut erat kaitannya dengan dampak negatif dari DDT
terhadap kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan pada umumnya. Sejak
tahun keempat Repelita V, Organofosfor dipergunakan secara merata di
seluruh Indonesia.
(3) Penyakit Tuberculosa Paru
Penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit yang banyak
diderita oleh rakyat terutama rakyat miskin. Kepadatan penduduk, tidak
sehatnya lingkungan pemukiman, faktor kemiskinan, dan adanya sumber
penularan penyakit, merupakan penyebab yang saling terkait. Pada awal
Repelita I, prevalensi penyakit TB Paru masih cukup tinggi yaitu 3,6 per
1.000 penduduk. Dengan makin meningkatnya upaya-upaya penanggulangan
penyakit tersebut yang disertai dengan makin baiknya keadaan
perekonomian masyarakat, maka pada Repelita IV angka prevalensi penyakit
TB Pant mulai menurun menjadi 2,5 per 1.000 penduduk.
Penanggulangan TB Paru pada dasarnya ditekankan pada segi
pencegahan penularan penyakit. Kegiatannya dimulai dari pencarian
tersangka penderita TB paru melalui pemeriksaan dahak dari kelompok
penduduk rawan TB Paru. Dari Pemeriksaan tersebut diperoleh petunjuk
tentang jumlah penderita dan lokasi daerah tempat tinggalnya. Bagi yang
nyata-nyata positip menderita TB Paru diberikan pengobatan melalui
Puskesmas atau melalui Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru. Selain itu
kepada kelompok keluarga atau masyarakat yang penduduknya rawan TB
Paru diadakan kegiatan penyuluhan kesehatan tentang penyakit TB Paru dan
cara-cara pencegahannya.
Sejak Repelita I sampai Repelita IV, upaya pencarian penderita
tersangka TB Pant dengan pemeriksaan dahak telah mencakup hampir 2,7
juta orang atau rata-rata 682 ribu orang setiap lima tahunnya. Dari jumlah
tersebut yang memerlukan pengobatan seluruhnya berjumlah 335 ribu orang
atau rata-rata 16 ribu orang setiap tahunnya.
Dengan meningkatnya upaya pencarian penderita dan didukung oleh
peningkatan pembiayaan, maka dalam Repelita V makin banyak penderita
XVIII/24
yang memperoleh pengobatan secara dini. Selama lima tahun terakhir
sampai dengan tahun keempat Repelita V setiap tahunnya rata-rata diperiksa
269 ribu orang. Dari jumlah tersebut setiap tahunnya ditemukan positip TB
Paru dan memerlukan pengobatan rata-rata berjumlah 36 ribu orang.
Oleh karena penyakit TB Paru erat kaitannya dengan keadaan
sosial-ekonomi penduduk, maka adanya perubahan tingkat ekonomi
penduduk yang makin dirasakan dalam Repelita V sangat mendorong makin
berhasilnya upaya penanggulangan TB Paru seperti diuraikan di atas.
Sebaliknya keberhasilan mengurangi prevalensi penderita TB Paru penting
artinya bagi peningkatan produktivitas kerja yang diperlukan untuk
pembangunan ekonomi melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
(4) Penyakit Demam Berdarah (Arbovirosis)
Penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan tahun 1968 di
Surabaya dan Jakarta dengan angka kesakitan sebesar 0,05 per 100.000
penduduk dan angka kematian 41,3%. Penyebaran penyakit ini dari tahun ke
tahun meningkat sejalan dengan meningkatnya hubungan antar daerah, dan
makin meningkatnya daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang
tinggi.
Upaya untuk menurunkan angka kematian akibat demam berdarah
terus dilakukan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan dan peningkatan
pemantauan dan pengobatan penderita secara dini. Selain itu kegiatan
pencegahan dan pemberantasan penyakit demam berdarah juga dilakukan
dengan "abatisasi masal" yaitu dengan penyemprotan masal menggunakan
obat abate di tempat-tempat pembiakan nyamuk Aeries Egypti, serangga
penular dari penyakit ini. Selama Repelita II dan III kegiatan abatisasi masal
terus ditingkatkan, sedangkan selama Repelita IV telah diabatisasi sebanyak
2,7 juta rumah. Selama empat tahun Repelita V jumlah rumah yang sudah
diabatisasi meningkat menjadi 6,3 juta rumah, sehingga apabila
dibandingkan dengan yang diabatisasi selama Repelita IV terjadi
peningkatan menjadi lebih dari dua kali lipat.
Selain itu sejak tahun 1990/91 dalam upaya menurunkan penyakit
demam berdarah, dilakukan pula kegiatan pemberantasan nyamuk dengan
metode biologis di tempat-tempat pembiakan nyamuk. Metode ini lebih baik
karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan, lebih murah dan lebih
XVIII/25
efektif. Oleh karena itu pada tahun berikutnya, penerapan metode ini
dilanjutkan.
Pola berjangkitnya wabah demam berdarah secara nasional ternyata
mengikuti siklus lima tahunan, yaitu pada tahun 1968, 1973, 1978, 1983,
dan 1988. Dengan demikian diperkirakan pada tahun 1993, kalau kegiatan
pencegahan tidak ditingkatkan, akan terjadi wabah sehingga jumlah
penderita mungkin akan bertambah. Untuk itu maka kegiatan-kegiatan
pencegahan pada tahun keempat Repelita V (1992/93) ditujukan untuk
menghadapi kemungkinan terjadinya ledakan demam berdarah pada tahun
199 tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan intensifikasi penyuluhan
kesehatan lingkungan, perluasan abatisasi di daerah-daerah rawan penyakit,
dan menggalakkan kebersihan lingkungan serta meningkatkan kerja sama
lintas sektor di bawah koordinasi pemerintah daerah.
(5) Penyakit Diare dan atau Kholera
Penyakit diare dan atau kholera pada waktu-waktu tertentu masih
dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi karena
berjangkitnya penyakit ini sangat erat kaitannya dengan masalah
kemiskinan, pemukiman kumuh, keadaan lingkungan yang kotor dan masih
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan cara hidup
yang sehat.
Upaya pemberantasan penyakit diare dan atau kholera pertama-tama
ditekankan pada upaya penciptaan lingkungan pemukiman yang bersih,
penyediaan air bersih, dan menanamkan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat agar membiasakan diri hidup bersih dan sehat melalui
penyuluhan kesehatan masyarakat. Kedua, secara medis ditujukan untuk
sejauh mungkin mencegah kematian penderitanya. Pada akhir Repelita III
jumlah penderita tersangka diare dan kholera diperkirakan sekitar 4,9 juta
orang dan pada akhir Repelita IV angka ini tercatat menurun menjadi sekitar
2,5 juta penderita. Meskipun demikian dalam Repelita V masih tercatat
adanya sekitar 5 juta penderita diare dan atau kholera. Meningkatnya
kembali jumlah penderita diare dan atau kholera dalam Repelita V
disebabkan dua kemungkinan. Pertama, dalam Repelita V kegiatan
pencarian dan pelaporan kasus diare dan atau kholera makin aktif dan makin
baik sehingga makin banyak kejadian diare dan atau kholera yang tercatat.
Kedua, keadaan itu menunjukkan masih luasnya masalah penyediaan air
XVIII/26
bersih, kebersihan lingkungan dan lain-lain yang masih memerlukan
perhatian lebih besar. Namun demikian makin aktifnya kegiatan penemuan
penderita secara dini dan didukung oleh makin meluasnya penggunaan oralit
di desa-desa terutama melalui kegiatan posyandu, maka angka kematian
akibat diare dan atau kholera dapat ditekan.
(6) Penyakit Kaki Gajah dan Demam Keong
Salah satu penyakit yang banyak ditemui tidak saja di Pulau Jawa,
tetapi juga di Sumatera, Flores, Timor Timur, Kalimantan dan daerah
lainnya adalah filariasis yang dalam stadium lanjut dapat menyebabkan
gejala penyakit Kaki Gajah. Walaupun tidak membahayakan jiwa, namun
penyakit ini menyebabkan turunnya produktivitas kerja.
Pada Repelita I Upaya pemberantasan dan penanggulangan penyakit
Kaki Gajah masih terbatas pada penemuan penderita. Sedangkan sejak
Repelita II terhadap penderita yang ditemukan diberikan pengobatan. Selama
Repelita II sampai Repelita IV diberikan pengobatan masal pada sekitar
189.000 sampai 901.000 orang setiap lima tahunnya. Dalam empat tahun
pertama Repelita V setiap tahunnya diobati 34.000 sampai 185.000 orang
dengan jumlah seluruhnya sebanyak 402.000 orang (Tabel XVIII-3).
Upaya penanggulangan dan pemberantasan penyakit Demam Keong
(Schistosomiasis) dimulai pada Repelita III. Berjangkitnya penyakit yang
hanya ditemui di propinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Lembah Lindu dan
Napu, berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi tempat pembiakan
bagi sejenis keong penyebab penyakit Demam Keong. Oleh karena itu sejak
Repelita III sampai Repelita IV, kegiatan pemberantasan diprioritaskan pada
daerah tersebut terutama dengan melakukan pemeriksaan spesimen tinja dan
pengobatan tersangka penderita secara selektif. Sampai dengan tahun
keempat Repelita V telah dilakukan pemeriksaan terhadap 63 ribu specimen
tinja dan pengobatan secara selektif kepada 13 ribu orang.
Untuk mengurangi tempat pembiakan keong penyebab penyakit,
maka sejak tahun 1991/92 dirintis pula kegiatan terpadu antar instansi terkait
dan peran serta masyarakat untuk mengupayakan agar daerah rawan penyakit
ini dapat menjadi daerah transmigrasi yang didukung oleh usaha pertanian
dengan jaringan irigasi yang memadai.
XVIII/27
TABEL XVIII – 3
1)
PERKEMBANGAN USAHA PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR,
1968 – 1992/93
1)
2)
3)
Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan.
Angka diperbaiki
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/28
(7)
Penyakit Kusta
Upaya mencegah dan menanggulangi penyakit kusta di Indonesia
telah dilaksanakan secara teratur sejak Repelita I (1969). Pada Repelita I
jumlah penderita kusta baru yang ditemukan diperkirakan sebanyak 40.000
orang dan jumlah penderita lama dan baru yang mendapat pengobatan
sekitar 179 ribu orang. Dalam Repelita-repelita berikutnya upaya penemuan
penderita baru dan pengobatan penderita terus ditingkatkan sehingga pada
akhir Repelita IV telah ditemukan lagi sebanyak lebih dari 34.200 orang
penderita baru dan dilaksanakan pengobatan pada sekitar 320.882 orang
penderita baru dan lama.
Sampai dengan tahun keempat Repelita V ditemukan lagi sekitar 40
ribu orang penderita baru dan dilanjutkan pemberian pengobatan secara
teratur pada lebih dari 378 ribu orang penderita lama dan baru. Di samping
itu melalui kerja sama dengan Departemen Sosial dilakukan pula rehabilitasi
sosial bagi penderita kusta yang secara medis sudah dinyatakan sembuh.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi sosial penderita
kusta yang sudah sembuh adalah sikap masyarakat yang belum dapat
menerima penderita yang sudah sembuh sebagai anggota masyarakat biasa.
Oleh karena itu untuk upaya rehabilitasi sosial, penyuluhan kesehatan
masyarakat mengenai penyakit kusta merupakan bagian penting dari upaya
penanggulangan penyakit kusta.
(8)
Penyakit Gila Anjing (Rabies) dan Pes
Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit Gila anjing
(Rabies) yang berjangkit di beberapa daerah di Jawa, Kalimantan, Sumatera
bagian selatan (Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Jambi) mulai
dilaksanakan sejak Repelita II. Sampai dengan Repelita IV, kegiatannya
terbatas pada pengumpulan dan pemeriksaan specimen dan pengobatan
penderita yang mengalami gigitan hewan tersangka rabies.
Dengan makin meningkatnya kegiatan pemusnahan dan vaksinasi
hewan tersangka rabies selama Repelita III dan Repelita IV, maka jumlah
penderita akibat gigitan hewan tersangka rabies menurun. Selain itu sejak
tahun pertama Repelita V program penanggulangan penyakit rabies
dilakukan secara lintas sektor dengan melakukan vaksinasi baik terhadap
hewan maupun terhadap penderita yang mengalami gigitan hewan tersangka
XVIII/29
rabies. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
vaksinasi hewan sudah dilakukan terhadap lebih dari 1 juta ekor hewan,
sedangkan vaksinasi terhadap penderita yang mengalami gigitan hewan
tersangka rabies diberikan kepada 1.825 orang.
Penyakit pes untuk pertama kali masuk ke Indonesia pada akhir tahun
1910. Angka kematian akibat penyakit tersebut sangat tinggi, dan
beribu-ribu orang meninggal karenanya. Cara masuk kuman penyebab
penyakit pes ke Indonesia ialah melalui angkutan beras; karena di dalam
angkutan beras tersebut ikut pula tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes.
Jalur penyebaran penyakit pes ini bermula dari pelabuhan Surabaya
kemudian terus menyebar ke Malang, Kediri, Madiun, Surakarta dan
Yogyakarta.
Upaya pemberantasan pes dilaksanakan antara lain dengan
mengadakan perbaikan rumah-rumah rakyat dan melakukan vaksinasi
penduduk secara besar-besaran. Ternyata cara-cara ini kurang membawa
hasil, karena tikus-tikus sebagai pembawa pes masih bebas berkeliaran.
Kemudian dilakukan penyemprotan rumah-rumah dengan menggunakan
DDT pada daerah-daerah yang dilanda epidemi pes. Penyemprotan
dilakukan pada tempat-tempat persembunyian tikus dengan tujuan agar kutu
atau pinjal tikus dapat terbunuh. Ternyata hasilnya cukup memuaskan.
Pemberantasan penyakit pes dengan cara ini masih diteruskan dengan
intensif di daerah-daerah yang pernah terjangkit, dengan harapan dapat
dilenyapkan sama sekali.
Sejak Repelita II, Repelita III sampai dengan Repelita IV jumlah
penderita penyakit pes terus menurun. Meskipun ditemukan sediaan darah
yang positif pes, namun tidak ada penderita yang meninggal. Selama lima
tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah sediaan
darah yang telah diperiksa adalah sebanyak 15.100; 9 di antaranya
menunjukkan positif terjangkit penyakit pes, tetapi di antara penderita
tersebut tidak ditemukan kasus kematian. Hal ini disebabkan karena
keberhasilan diberikan penanganan dan pengobatan secara dini terhadap
penderita.
(9) Penyakit Kelamin dan AIDS
Salah satu dampak negatif dari arus globalisasi dalam Repelita V di
bidang kesehatan adalah berjangkitnya penyakit AIDS di Indonesia yang
XVIII/30
mulai diketahui pada tahun 1987. Meskipun jumlah penderita AIDS masih
relatif kecil, namun upaya pencegahan dan penanggulangannya telah dirintis
dan dikembangkan dalam Repelita V. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit AIDS dilaksanakan sebagai bagian dari pencegahan dan
penanggulangan penyakit kelamin yang sudah dilakukan sejak Repelita I.
Kegiatan utama pencegahan dan penanggulangan penyakit kelamin
dan AIDS ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan yang
dilaksanakan secara intensif. Kemudian diikuti dengan pencarian tersangka
penderita melalui pemeriksaan darah. Bagi penderita penyakit kelamin bukan
AIDS diberikan pengobatan, sedangkan bagi penderita AIDS diberikan
pembinaan dan pengobatan secara khusus.
Pada Repelita I upaya pemberantasan penyakit kelamin antara lain
dilakukan dengan melaksanakan pencarian kasus aktif melalui pemeriksaan
TSS (Test Serologic Syphilis) terhadap golongan masyarakat tertentu. Di
samping itu juga dilakukan penyuntikan sekali seminggu terhadap para
wanita tuna susila yang dilokalisir, razia terhadap WTS liar, meningkatkan
pendidikan kesehatan mengenai penyakit kelamin pada masyarakat dan
mengembangkan metode pemberantasan gonorhoea.
Sejak ditemukannya kasus AIDS di Indonesia dalam Repelita V
upaya pemberantasan penyakit kelamin lebih diintensifkan terutama di
kota-kota besar dan di daerah pelabuhan. Usaha yang telah dilakukan antara
lain dengan dibentuknya Panitia Penanggulangan AIDS Pusat dan Propinsi,
kegiatan sero survai AIDS dan Sifilis, skrining STS dan survai GO .
Kegiatan penanggulangan AIDS yang sudah dilakukan sejak tahun
1991/92 di antaranya meliputi pemeriksaan darah yang akan didonorkan di
PMI sebanyak 600 ribu sampel per tahun sehingga diharapkan setiap darah
yang akan ditransfusikan bersih dari virus penyebab penyakit AIDS.
Sedangkan upaya penyuluhan dan pemeriksaan/pencarian penderita
diintegrasikan dengan upaya pemberantasan penyakit kelamin lainnya.
Dalam lima tahun terakhir (tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93)
telah dilaksanakan kegiatan serosurvai AIDS dan Sifilis terhadap sebanyak
45.600 sample, pemeriksaan STD (Sexually Transmitted Diseases) terhadap
11.725 sample, dan "Screening Survey" terhadap 193 sample. Sampai
XVIII/31
dengan tahun keempat Repelita V dari hasil pemeriksaan HIV/AIDS di
Indonesia, ditemukan sebanyak 24 orang penderita penyakit AIDS dan
sebanyak 70 orang penderita infeksi HIV.
(10)
Penyakit Frambusia
Pada masa sebelum Repelita I penyakit Frambusia masih merupakan
suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh rakyat. Penyakit ini
terdapat baik di dataran rendah maupun daerah pegunungan, dan umumnya
diderita oleh penduduk golongan miskin dengan/keadaan hygiene yang
kurang baik. Pada waktu itu Frambusia tersebar di seluruh kepulauan
Indonesia dan menurut perkiraan menghinggapi sekitar 15% dari penduduk,
6% di antaranya dapat menularkan pada penduduk sekitarnya. Sebagian
terbesar dari penderita yang dapat menularkan penyakit ini adalah anak-anak
berumur di bawah 18 tahun.
Kegiatan penanggulangan dan pemberantasan penyakit frambusia
terutama berupa penemuan penderita secara aktif melalui pemeriksaan
penduduk, anak sekolah dan kontak, serta memberikan pengobatan terhadap
penderita yang ditemukan. Sedangkan pada daerah yang dicurigai terjangkit
penyakit Frambusia, dilakukan pengamatan secara ketat untuk menghindari
munculnya kasus-kasus baru.
Selama Repelita IV, telah dilakukan pemeriksaan penduduk terhadap
sebanyak 8,9 juta orang dan pengobatan penderita dan orang-orang yang
sering berhubungan dengan penderita kepada 243.419 orang atau sekitar
2,7% dari jumlah penduduk yang diperiksa. Selama Repelita V pemeriksaan
terhadap penduduk lebih diintensifkan terutama dilakukan di daerah-daerah
rawan. Demikian pula kegiatan pengobatan kepada penderita juga diperluas
sehingga selama lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93 telah
diberikan pengobatan terhadap kurang lebih 372.000 orang penderita.
Dengan makin aktifnya kegiatan pencarian dan pengobatan penderita,
serta dengan makin baiknya keadaan kebersihan lingkungan di pedesaan,
maka jumlah penderita frambusia di beberapa daerah pada tahun 1992/93 ini
sudah jauh berkurang dibandingkan dengan keadaan pada awal Repelita I.
(11)
Karantina dan Kesehatan Pelabuhan (KKP)
Sampai dengan Repelita III kegiatan Karantina Kesehatan Pelabuhan
XVIII/32
(KKP) terutama ditujukan untuk memantau dan mengamati penyakit menular
di pelabuhan-pelabuhan. Sesuai dengan persyaratan internasional yang telah
ditetapkan oleh WHO, kegiatan Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP)
diprioritaskan pada pelabuhan-pelabuhan yang merupakan tempat singgah
dan keluar/masuknya wisatawan asing dan pelabuhan tempat ekspor non
migas.
Selama Repelita IV telah dilakukan pemberantasan sumber penyakit
di lingkungan pelabuhan seluas 3.222 ha. Kegiatan ini terus ditingkatkan
sehingga dalam lima tahun sampai dengan tahun keempat Repelita V telah
dilaksanakan pemberantasan di berbagai lokasi dengan luas keseluruhan
7.155 ha. Selain itu guna meningkatkan pelayanan telah dilakukan
rehabilitasi dan pembangunan kantor KKP di 21 lokasi pelabuhan yang
dilengkapi dengan peralatan teknis dan ambulan.
d. Program Perbaikan Gizi
Pada awal Repelita I masalah kekurangan gizi merupakan salah satu
masalah yang banyak diderita oleh masyarakat dalam jumlah yang relatif
besar. Masalah kekurangan gizi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan.
Oleh karena itu penanggulangan masalah ini tidak dapat dilaksanakan oleh
sektor kesehatan saja, tetapi memerlukan keterpaduan dan dukungan yang
saling mengisi dari berbagai sektor pembangunan lainnya terutama di sektor
ekonomi dan pendidikan.
Seperti halnya dengan keadaan sampai akhir Repelita IV, maka
selama lima tahun sejak 1988/89 sampai tahun keempat Repelita V, ada 4
masalah gizi utama yang diupayakan penanggulangannya, yaitu kekurangan
kalori dan protein, kekurangan vitamin A, kekurangan zat besi (anemia gizi
besi), dan kekurangan zat yodium. Ketiga masalah gizi yang pertama dap at
mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan intelektual anak, rendahnya
daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan rendahnya produktivitas kerja.
Sedang masalah gizi keempat yaitu kekurangan zat yodium mengakibatkan
cacad fisik dan mental pada bayi dan anak yang dilahirkan oleh ibu yang
kekurangan zat indium.
Untuk penanggulangan keempat masalah gizi tersebut, sejak Repelita
I dirintis program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), suatu kegiatan
lintas sektor terutama pertanian, kesehatan, KB, pendidikan dan agama,
dengan tekanan kegiatan pada penyuluhan gizi untuk keluarga pedesaan.
Kegiatan ini dimulai di kurang lebih 1.500 desa di 39 kabupaten dan
XVIII/33
8 propinsi di Jawa (kecuali DU), Bali, NTB, Sumatera Utara dan Sumatera
Selatan. Dalam Repelita II sampai Repelita IV baik jenis kegiatan maupun
luas cakupan daerah UPGK diperluas secara bertahap sehingga pada akhir
Repelita IV (1988/89) telah mencakup lebih dari 50.000 desa di 298
kabupaten dari semua propinsi. Selain kegiatan penyuluhan gizi untuk
masyarakat umum, dalam Repelita III dirintis pendirian "taman gizi" di
sejumlah desa sebagai tempat penyuluhan gizi dengan melaksanakan
penimbangan anak balita dan pemberian makanan tambahan bagi anak-anak
balita yang menderita kekurangan kalori dan protein. Kegiatan taman gizi ini
dikelola oleh PKK bersama petugas gizi daerah.
Dalam Repelita IV, kegiatan taman gizi di sejumlah desa dikenal
sebagai "pos-penimbangan" anak balita. Kegiatan ini menjadi bagian dari
kegiatan bersama antara UPGK dengan PKK. Di samping pos penimbangan,
kegiatan pos-pos pelayanan lain juga tumbuh dan berkembang di pedesaan.
Pos-pos tersebut antara lain adalah Pos Keluarga Berencana dan Pos
Imunisasi, yang kelompok sasarannya sama yaitu ibu hamil, ibu
menyusukan, bayi dan balita. Agar lebih efisien dan efektif berbagai pos
tersebut dipadukan pelayanannya kedalam suatu pos pelayanan terpadu yang
kemudian dikenal dengan Posyandu.
Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai tahun 1992/93 kegiatan
program perbaikan gizi ditujukan untuk melanjutkan kegiatan dalam
Repelita IV yang terdiri dari: (1) UPGK, (2) penanggulangan kekurangan
vitamin A (KVA), (3) penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKI), (4) Penanggulangan Anemia Gizi Besi, dan (5) pengembangan
sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).
Kegiatan UPGK dalam lima tahun terakhir ini diperluas sehingga
meliputi: (1) penyuluhan gizi masyarakat, (2) pelayanan gizi untuk ibu dan
anak melalui Posyandu, dan (3) peningkatan pemanfaatan pekarangan. Sejak
tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, desa-desa yang
melaksanakan kegiatan UPGK bertambah dengan rata-rata kurang lebih
2.200 desa setiap tahunnya, sehingga pada tahun 1992/93 UPGK telah
mencakup 23 juta anak balita di 61.766 desa di semua propinsi. Sedang anak
Balita yang dilayani dalam waktu lima tahun tersebut setiap tahunnya rata rata bertambah dengan sekitar 1,5 juta anak balita. Dengan demikian
secara keseluruhan jumlah anak balita yang dilayani UPGK dalam lima
tahun terakhir ini (1988/89-1992/93) bertambah kurang lebih 7,5 juta anak.
XVIII/34
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebutaan akibat
kekurangan vitamin A, sejak Repelita I dirintis percobaan pemberian kapsul
vitamin A dosis tinggi kepada anak balita melalui Puskesmas dan Posyandu.
Sejalan dengan itu UPGK juga menggalakkan pemanfaatan tanaman pekarangan berupa sayuran dan buah-buahan sebagai sumber utama vitamin A
bagi keluarga khususnya di pedesaan. Sejak tahun 1988/89 sampai tahun
1992/93, setiap tahunnya dibagikan rata-rata 14,8 juta kapsul vitamin A
kepada kurang lebih 7,4 juta anak balita yang diberikan dua kali satu kapsul
setiap tahunnya.
Untuk penanggulangan anemi gizi besi, selain dilakukan penyuluhan
gizi sejak Repelita II juga digalakkan pemberian pil besi kepada ibu hamil.
Dalam lima tahun terakhir ini, jumlah ibu hamil yang memperoleh pil besi
berjumlah antara 1,2 juta sampai 2,5 juta orang setiap tahunnya.
Sementara itu untuk pencegahan dan penanggulangan masalah
kekurangan iodium, sejak Repelita II dilaksanakan dua jenis inter vensi yaitu
kegiatan iodisasi garam bagi daerah rawan dan suntikan preparat iodium
kepada penderita kekurangan iodium. Sejak tahun 1988/89 kegiatan iodisasi
garam diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah dan
masyarakat setempat khususnya para pengusaha garam rakyat. Sementara itu
penyuntikan preparat iodium kepada penderita lebih digiatkan sehingga sejak
tahun 1988/89 sampai 1991/92 setiap tahunnya diberikan suntikan kepada
sekitar 0,5 juta sampai 2,2 juta orang penderita. Hasil evaluasi tentang
efektivitas suntikan preparat iodium yang diadakan dalam Repelita V
menunjukkan bahwa cara suntikan tersebut perlu diganti dengan teknologi
baru. Oleh karena itu sejak tahun 1992/93 mulai dicoba cara baru tersebut
dengan pemberian kapsul iodium kepada sekitar 10 juta penderita. Cara ini
dianggap lebih murah dan lebih efektif karena distribusinya dapat dilakukan
melalui Posyandu. Selain itu juga dilakukan percobaan iodisasi air minum di
pedesaan rawan GAKI.
Dampak positip program perbaikan gizi yang dilaksanakan sejak
Repelita I telah mulai terlihat dalam lima tahun terakhir ini. Sejak tahun
1988/89 telah terjadi penurunan penderita kurang gizi. Angka prevalensi
gizi-kurang (KKP sedang) anak Balita menurun dari 15,9% pada tahun 1978
menjadi 10,5% pada tahun 1989; atau menurun dengan 30% dalam satu
dasawarsa. Sedangkan prevalensi gizi buruk (KKP berat) selama itu juga
tu r u n d ar i 3 % me nj ad i 1 ,4 %. P ad a t a h u n 1 9 9 2 /9 3 i ni d ip er k ira ka n
XVIII/35
angka-angka prevalensi tersebut terus menurun yang berarti makin baiknya
keadaan gizi anak balita. Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi
kekurangan vitamin A. Bahkan di beberapa daerah, yang sampai akhir tahun
Repelita IV masih dinyatakan daerah rawan, dari penelitian terakhir
dinyatakan bahwa sejak tahun 1991/92 masalah kebutaan akibat kekurangan
vitamin A pada balita tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Artinya dimasa yang akan datang apabila keadaan gizi dapat dipertahankan
seperti keadaannya dalam lima tahun terakhir ini, maka penderita kebutaan
akibat keadaan gizi yang kurang baik, jumlahnya makin sedikit; bahkan
mungkin hilang sama sekali. Dalam hal masalah kekurangan iodium dan
anemia gizi besi, dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93)
prevalensi KKP dan KVA, juga terjadi penurunan prevalensi terutama di
daerah-daerah yang prevalensinya tinggi.
Makin baiknya keadaan gizi masyarakat seperti diuraikan di muka
tidak terlepas dari makin baiknya keadaan ekonomi dan pendidikan
masyarakat. Oleh karena itu penurunan prevalensi berbagai penyakit ku rang
gizi selama lima tahun terakhir ini merupakan salah satu hasil dari upaya
untuk menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
yang telah dicapai dengan bermakna selama ini. Dengan makin baiknya
keadaan gizi balita dan masyarakat pada umumnya, berarti mutu fisik
penduduk makin meningkat. Hal ini akan besar pengaruhnya terhadap upaya
peningkatan rata-rata umur harapan hidup yang produktif.
Kemudian dalam kurun waktu 1988/89-1992/93 ini, melalui kegiatan
Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) juga dipantau secara berkala
perkembangan pertumbuhan fisik anak-anak balita dan anak-anak SD agar
dapat diketahui secara dini bila terjadi kelainan pertumbuhan yang akan
menurunkan keadaan gizi anak-anak tersebut. Dengan SKPG ini dapat
dilakukan tindakan pencegahan yang diperlukan sedini mungkin.
e. Program Penyediaan Air Bersih
Salah satu kebutuhan dasar yang penting untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat adalah air bersih. Pada awal Repelita I jumlah
penduduk perkotaan dan pedesaan yang menikmati air bersih masih sangat
kecil. Oleh karena itu sejak Repelita I diadakan berbagai upaya untuk
memperbesar kapasitas produksi air bersih di perkotaan dan memperluas
jaringan distribusinya ke rumah-rumah di daerah perkotaan. Sementara itu
XVIII/36
untuk penduduk kota kecil sejak Repelita II dilaksanakan pembangunan
instalasi pengolahan air bersih dengan kapasitas produksi skala kecil untuk
penduduk di kota kecamatan, yang dikenal dengan pembangunan air bersih
ibu kota kecamatan (PAB-IKK). Sedangkan untuk penduduk pedesaan
ditetapkan program Inpres bantuan sarana air bersih sebagai bagian dari
Inpres Bantuan Sarana Kesehatan.
Sejak Repelita I sampai Repelita IV untuk pedesaan melalui Inpres
Bantuan Sarana Air Bersih telah dibangun ratusan ribu buah sarana air
bersih dalam bentuk penampungan mata air dengan perpipaan (PP),
penampungan air hujan (PAH), perlindungan mata air (PMA), sumur artesis
(SA), sumur pompa tangan (SPT), dan sumur gali (SG), yang tersebar
hampir di semua desa.
Pada akhir Repelita IV diadakan evaluasi tentang efektivitas program
Inpres Bantuan Sarana Air Bersih untuk pedesaan. Dari hasil evaluasi
tersebut diadakan perbaikan perencanaan dan pengelolaan program agar
lebih efisien dan efektif.
Dalam Repelita V untuk penyediaan air bersih pedesaan perhatian
lebih besar diberikan kepada peran serta masyarakat dalam pencarian sumber
air bersih, perencanaan dan pembangunan sarana serta pemanfaatan dan
pemeliharaannya. Dengan kebijaksanaan baru ini pembangunan sarana air
bersih yang kurang efektif dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93)
sangat dikurangi. Apabila dalam Repelita IV selama lima tahun dibangun
sekitar 250.000 buah sarana air bersih dari berbagai jenis, maka dalam lima
tahun terakhir hanya kurang lebih 32.000 buah untuk berbagai jenis sarana
air bersih yang sama tetapi lebih selektif yang dapat berfungsi lama dan
tidak mudah rusak. Sementara itu sejak 1988/8.9 diperbanyak dan
dikembangkan sarana air bersih yang dianggap lebih efektif yaitu sarana
hidran umum (HU) yang dilengkapi dengan terminal air (TA) dan untuk
daerah-daerah tertentu dilengkapi juga dengan mobil tangki air. Selama lima
tahun sejak 1988/89 sampai tahun 1992/93 dibangun antara 778 sampai
2.749 buah hidran umum dengan terminal air setiap tahunnya. Sarana ini
terutama dibangun di kampung-kampung kumuh perkotaan dan di desa-desa
terpencil dan sulit air bersih. Di samping itu, sesuai dengan adanya
permintaan oleh sebagian dari masyarakat pedesaan yang relatif mampu, di
pedesaan juga dipasang sarana baru berupa sambungan rumah sebanyak
20.000 sambungan.
XVIII/37
Untuk mengimbangi pembangunan fisik sarana air bersih tersebut di
atas, dalam lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) diintensifkan kegiatan
penyuluhan kesehatan masyarakat mengenai pentingnya air bersih dan
cara-cara mengamankan air bersih dari pencemaran kuman. Di samping itu,
untuk mengawasi kualitas air bersih di pedesaan oleh petugas sanitasi dari
Puskesmas, diadakan pemeriksaan contoh (sampel) secara berkala yang
diambil dari beberapa sumber air bersih di beberapa desa.
f. Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Di sektor kesehatan, program penyehatan lingkungan pemukiman
terutama ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan, pengawasan mutu
lingkungan, pembangunan Sarana Jamban Keluarga (JAGA) dan Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL) terutama untuk penduduk pedesaan.
Kegiatan penyuluhan kesehatan ditekankan pada masalah-masalah
kebersihan lingkungan terutama mengenai cara-cara pembuangan sampah
yang tidak membahayakan, masalah kesehatan rumah, cara-cara menghindari
pencemaran pada makanan dan minuman dan lain sebagainya. Penyuluhan
ini diutamakan di lingkungan pemukiman daerah wisata, dengan sasaran
para pengelola hotel, losmen, restoran, warung serta pedagang makanan dan
minuman di kaki lima.
Untuk kegiatan pengawasan mutu lingkungan terutama dilakukan
pemantauan adanya pencemaran air sumur, sungai, dan lainnya di kawasan
dekat industri yang diduga dapat menimbulkan pencemaran. Hasil
pemantauan yang dianggap perlu memperoleh perhatian disampaikan kepada
instansi-instansi yang berwenang menangani masalah lingkungan. Dalam
tahun 1991/92 dan 1992/93 antara lain dilaksanakan pengamatan terhadap
adanya paparan pestisida terhadap 6.207 orang di 204 kabupaten. Untuk
lebih meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam pengamatan
pestisida, dalam tahun 1991/92 telah dilatih 350 orang petugas di 50
kabupaten.
Dalam hal pembangunan dan perbaikan saluran pembuangan kotoran,
khusus untuk masyarakat pedesaan ditanamkan pengertian pentingnya
Jamban Keluarga (JAGA) dan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
melalui berbagai cara penyuluhan kesehatan. Untuk mendukung kegiatan
penyuluhan tersebut, di sejumlah desa contoh dibangun sarana JAGA dan
XVIII/38
SPAL. Sejak Repelita I sampai Repelita IV telah dibangun lebih dari 1,8 juta
buah JAGA dan sekitar 90.000 buah SPAL. Dalam lima tahun terakhir
(1988/89-1992/93) setiap tahunnya dibangun sekitar 4.700 buah sampai
24.100 buah JAGA, dan 634 buah sampai 3.639 buah SPAL (Tabel
XVIII-4).
g. Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Program penyuluhan kesehatan masyarakat terutama diarahkan untuk
mendorong perubahan perilaku individu, keluarga maupun masyarakat untuk
membina dan melestarikan perilaku hidup sehat di lingkungan yang sehat.
Upaya penyuluhan ini dilaksanakan antara lain melalui penyebarluasan
informasi kesehatan, pengembangan potensi swadaya masyarakat, dan
pengembangan penyelenggaraan penyuluhan.
Untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat
mengenai hidup sehat, sejak Repelita II telah mulai dilakukan peningkatan
mekanisme kerja lintas program dan lintas sektoral, pengembangan dan
pembinaan tenaga, pengembangan metode penyuluhan, penyempurnaan
perencanaan dan pelaksanaan program baik di pusat dan daerah. Berbagai
upaya tersebut dalam Repelita III terus ditingkatkan. Selama Repelita IV
telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan melalui radio, TV, media
cetak, dan melalui film seri dokumenter. Kegiatan penyuluhan lain yang
dilaksanakan adalah melibatkan Puskesmas dan RS melalui pendekatan
kelompok, terutama, kelompok potensial, yaitu wanita, pemuda, dan
kelompok keagamaan serta peningkatan peran serta dan swadaya
masyarakat.
Seperti pada Repelita-repelita sebelumnya, selama lima tahun dari
tahun 1989/90 sampai tahun keempat Repelita V kegiatan penyebarluasan
informasi kesehatan terus ditingkatkan. Kegiatan ini dilaksanakan antara lain
melalui radio dalam bentuk obrolan, penyiaran radio spot dan
sandiwara/fragmen. Selama empat tahun pertama Repelita V telah
dilaksanakan penyebarluasan informasi melalui siaran radio sebanyak
173.201 kali atau meningkat menjadi lebih dari 17 kali dibandingkan dengan
jumlah siaran pada Repelita IV, yaitu 9.987 kali siaran. Selain itu dalam
lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V dilakukan
penyuluhan kesehatan melalui televisi sebanyak 2.443 kali siaran yang
dilakukan dalam bentuk fragmen, obrolan, titip pesan, spot/filer dan liputan
pembangunan di bidang kesehatan maupun film. Untuk penyebarluasan
XVIII/39
TABEL XVIII – 4
1)
PERKEMBANGAN SARANA PENYEDIAAN AIR BERSIH DAN SARANA PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN,
1968 – 1992/93
1)
2)
Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan.
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/40
informasi kesehatan melalui media cetak, dalam periode yang sama telah
disebarkan lebih dari 7.900 ribu lembar media penyuluhan berupa poster,
leaflet, buku pedoman, penyuluhan bagi petugas maupun masyarakat, dan
ratusan spanduk, kaset, slide bioskop dan billboard.
Selain itu untuk lebih meningkatkan mutu penyuluhan, maka selama
lima tahun yang lalu sampai tahun keempat Repelita V telah pula dilakukan
pengembangan dan alih teknologi penyuluhan kesehatan masyarakat dengan
melakukan pelatihan penyuluhan bagi petugas kesehatan di tingkat propinsi,
Dati II dan Puskesmas. Dari tahun 1989/90 sampai tahun 1992/93 telah
dilatih berturut-turut setiap tahunnya sejumlah 4.227 orang, 5.133 orang,
679 orang, dan 150 orang.
Dengan meningkatnya berbagai upaya penyuluhan kesehatan di atas
telah mendorong makin efektifnya peran serta masyarakat dalam
pembangunan kesehatan. Peningkatan peran serta masyarakat tersebut antara
lain terlihat dari makin meningkatnya jumlah Posyandu yang pada tahun
1983 baru berjumlah 25.000 buah menjadi lebih dari 241.000 buah pada
tahun keempat Repelita V.
h.
Program Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan Obat,
Makanan, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Bahan Berbahaya
Tujuan Program Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan Obat,
Makanan, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Bahan Berbahaya adalah: (1)
meningkatkan penyediaan obat, alat kesehatan yang lebih bermutu, (2)
melindungi masyarakat dari penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat,
narkotika, psikotropika, alat kesehatan, minuman keras dan bahan berbahaya
bagi kesehatan, (3) meningkatkan pengendalian dan pengawasan obat,
makanan, perbekalan farmasi dan bahan berbahaya, (4) meningkatkan
pemanfaatan dan penggunaan obat tradisional.
Pada awal Repelita I, pada umumnya kebutuhan obat-obatan masih
harus didatangkan dari luar negeri. Secara berangsur-angsur kebijaksanaan
tersebut diarahkan pada pembelian bahan obat-obatan untuk pembuatan obat
jadi di dalam negeri. Selanjutnya industri obat terus berkembang. Bila pada
akhir Repelita I industri obat baru berjumlah 157 buah, maka pada tahun
keempat Repelita V jumlahnya telah mencapai 256 buah.
XVIII/41
Prioritas program pada Repelita V terutama diarahkan pada
pemanfaatan obat generik yang dapat menjangkau rakyat banyak. Untuk itu,
dalam rangka menjamin kesinambungan penyediaan obat, maka produksi
dan distribusi serta pelayanan obat generik makin ditingkatkan. Pada saat ini
di setiap Dati II telah ditunjuk sekurang-kurangnya satu apotek yang
menyediakan obat generik berlogo secara lengkap.
Untuk lebih menjamin hasil produksi obat, maka ditingkatkan
pembinaan penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pada Tahun
keempat Repelita V, di samping 4 BUMN, telah diikut sertakan pula 13
pabrik farmasi yang telah memenuhi persyaratan CPOB untuk mempro duksi
obat generik berlogo.
Dalam rangka lebih menjamin kualitas obat yang beredar di pasaran,
kemampuan laboratorium pengujian yang ada di seluruh propinsi (Balai
Pemeriksaan Obat dan Makanan) dan di pusat (Pusat Pemeriksaan Obat dan
Makanan) makin ditingkatkan. Upaya yang ditempuh antara lain dengan
pengadaan peralatan laboratorium maupun pelatihan personil. Dalam rangka
pengawasan kualitas terhadap produk obat yang beredar, selama lima tahun
terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilakukan
pengambilan sampling dan pengujian obat yang mencakup 20.526 produk,
dan operasi pemeriksaan sarana produksi dan distribusi terhadap sebanyak
8.103 unit di 27 propinsi. Di samping itu juga dilaksanakan operasi
penyidikan terhadap kasus-kasus pemalsuan, peredaran produk gelap dan
produk substandar serta pengawasan penyalahgunaan obat, narkotika dan zat
aditif lainnya.
Upaya -untuk meningkatkan kelancaran distribusi dan penyediaan
obat sektor pemerintah khususnya untuk Puskesmas, dilakukan dengan
pembangunan Gudang Farmasi Kabupaten/Kotamadya disertai upaya
peningkatan pengelolaannya. Sampai dengan tahun keempat Repelita V,
telah dibangun sebanyak 294 gudang farmasi, atau penambahan sebesar 56%
dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV. Direncanakan p ada akhir
Repelita V nanti, seluruh Dati II di Indonesia telah memiliki gudang
farmasi. Di samping itu dalam upaya peningkatan kemampuan pengelolaan
gudang farmasi para petugas, telah dilakukan pelatihan mengenai
perencanaan kebutuhan obat untuk petugas dari 97 Dati II di 14 propinsi. Di
samping pembangunan gudang farmasi, jumlah apotek yang telah dibangun
juga meningkat dari tahun ke tahun. Sampai tahun keempat Repelita V,
XVIII/42
jumlah apotek yang telah dibangun adalah sebanyak 3.301 buah; meningkat
sebanyak 42% dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV yaitu 2.332
buah.
i.
Program Pendidikan, Latihan dan Pendayagunaan Tenaga
Program ini terutama diarahkan untuk meningkatkan mutu lulusan
dengan tetap memperhatikan jumlah dan pemerataan pelaksanaan
pendidikannya. Selain itu juga terus diupayakan peningkatan kemampuan
profesional tenaga kesehatan yang dihasilkan.
Pada awal Repelita I, jumlah lembaga dan jenis program pendidikan
tenaga kesehatan yang tersedia masih sangat terbatas. Keadaan ini
menyebabkan jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di lembaga-lembaga
pelayanan kesehatan juga tidak memadai. Untuk mempercepat penyediaan
tenaga kesehatan dasar secara merata di seluruh propinsi diupayakan agar
daya tampung lembaga pendidikan dan jumlah lembaga pendidikan tenaga
kesehatan dapat ditingkatkan. Sampai akhir Repelita III jumlah lembaga
pendidikan tenaga kesehatan adalah sebanyak 248 buah. Jumlah ini
bertambah menjadi 394 buah pada akhir Repelita IV. Pada tahun 1992/93
jumlah ini bertambah lagi sehingga menjadi 474 buah. Sejalan dengan makin
meningkatnya jumlah lembaga pendidikan tersebut, maka jumlah lulusan
dari berbagai jenis program pendidikan kesehatan juga makin meningkat.
Bila jumlah lulusan selama Repelita III baru sebanyak 26.680 orang maka
dalam. Repelita IV meningkat menjadi 70.640 orang. Sampai tahun keempat
Repelita V 88.418 orang diluluskan dari semua jenis lembaga pendidikan
tenaga kesehatan, termasuk bidan. Sedangkan khusus untuk pendidikan
Bidan di desa, selama lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat
Repelita V telah berhasil dididik sebanyak 19.400 orang, yaitu
masing-masing sebanyak 4.000 orang pada tahun 1989/90, 4.760 orang pada
tahun 1990/91, 4.240 orang pada tahun 1991/92, dan 6.400 orang pada
tahun 1992/93.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah lembaga pendidikan, jumlah
dan mutu guru terus ditingkatkan. Bila dalam Repelita I jumlah tenaga
akademis bidang kesehatan baru berjumlah 2.269 orang, maka selama
Repelita-repelita berikutnya jumlah tersebut terus bertambah. Selama lima
tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah tenaga
akademis bidang kesehatan bertambah sebanyak 5.128 orang, sehingga
XVIII/43
sampai tahun keempat Repelita V telah tersedia 13.170 orang tenaga
akademis bidang kesehatan (Tabel XVIII-5). Selain itu selama empat tahun
Repelita V juga telah dilaksanakan pendidikan program akta bagi 1.159
orang guru/instruktur dan pelatihan untuk pendalaman berbagai bidang studi
bagi 3.194 orang guru. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan
pemerataan lulusan pendidikan kesehatan di atas didukung dengan
pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah, pengadaan peralatan
penunjang pendidikan, dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah-sekolah
kesehatan dan Balai-balai Latihan Kesehatan Masyarakat yang tersebar di
seluruh propinsi.
Sementara itu untuk meningkatkan pembinaan terhadap Akademiakademi kesehatan yang ada di daerah, khususnya untuk bidang perawatan,
gizi dan fisioterapi, maka sejak tahun 1990/91 telah ditunjuk 4 akademi
Pembina, yaitu Akademi Perawat Jakarta, Akademi Perawat Bandung,
Akademi Gizi Jakarta, dan Akademi Fisioterapi Surakarta.
J.
Program Penyempurnaan
dan Pengawasan
Efisiensi
Aparatur
Kesehatan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan manajemen aparatur agar pembangunan kesehatan dapat dicapai
secara makin berdaya guna dan berhasil guna. Kegiatan utama program ini
adalah pendayagunaan fungsi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian,
pendayagunaan organisasi ketatalaksanaan dan administrasi keuangan, dan
pendayagunaan fungsi pengawasan dan pengendalian, serta pengembangan
dan penyempurnaan hukum di bidang kesehatan.
Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
telah dilaksanakan pelatihan perencanaan dan administrasi manajemen bagi
petugas kesehatan pusat dan daerah, pelatihan pengelola keuangan sebanyak
3 angkatan, penyusunan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan
sebanyak 131 buah, dan penyuluhan dan penyebarluasan produk-produk
bidang kesehatan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap 273
satuan kerja dan 645 proyek pembangunan.
XVIII/44
TABEL XVIII – 5
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN,
1968 – 1992/93
1)
2)
3)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
mulai tahun 1976/77 Perawat dan Bidan ditingkatkan menjadi tenaga perawat Kesehatan
XVIII/45
B.
KESEJAHTERAAN SOSIAL
1. Pendahuluan
Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu upaya untuk
menuju tercapainya keadilan sosial. Untuk itu sesuai dengan amanat
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988, dalam tahun-tahun
1988/89-1992/93 kesejahteraan sosial terus ditingkatkan agar dapat
memperluas jangkauan pelayanannya. Sasaran utama pelayanan ini adalah
kelompok masyarakat yang kurang mampu dan kurang beruntung. Adapun
tujuan pelayanan adalah untuk membantu kelompok masyarakat tersebut di
atas agar makin dapat hidup mandiri, produktif dan dapat berperan serta
dalam pembangunan.
Secara khusus pembangunan kesejahteraan sosial diutamakan pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat perbaikan, peningkatan dan perluasan
pelayanan rehabilitasi sosial terhadap mereka yang memerlukan. Kegiatankegiatan tersebut dilaksanakan dengan melibatkan sebanyak mungkin organisasi-organisasi sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk
lembaga-lembaga keagamaan yang melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan
sosial.
Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 kebijaksanaan dan langkahlangkah yang ditempuh dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
sosial adalah kelanjutan, peningkatan dan perluasan jangkauan pelayanan
rehabilitasi sosial yang berbasis masyarakat. Oleh karena itu kesadaran
sosial, disiplin sosial, kesetiakawanan sosial dan tanggung jawab sosial
memperoleh perhatian yang cukup besar. Dalam rangka ini juga selama
tahun-tahun 1988/89-1992/93 terus didorong dan diberikan kesempatan yang
luas kepada masyarakat, baik perorangan maupun organisasi-organisasi
sosial, agar makin mampu dan bersedia berperan serta dalam proses
pembangunan di bidang kesejahteraan sosial.
Dampak dari hasil pembangunan kesejahteraan sosial yang telah
dilaksanakan sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V dapat
diamati antara lain dari meningkatnya perkembangan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi
masalah-masalah sosial. Perkembangan ini selanjutnya menumbuhkan iklim
yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial, sepe rti
XVIII/46
sebagai pekerja sosial masyarakat, penyuluh sosial, anggota Karang Taruna,
sebagai pendukung dana sosial dan sebagainya. Meningkatnya cakupan
pelayanan sosial yang lebih baik mutunya merupakan salah satu upaya untuk
mengurangi kesenjangan yang ada di masyarakat. Di samping itu, makin
banyaknya pelayanan sosial dirasakan pula dampaknya pada makin
mengurangnya gejolak sosial yang selanjutnya mendorong makin mantapnya
stabilitas nasional yang juga telah berhasil dicapai selama ini.
2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a. Program Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
Tujuan utama program ini sejak Repelita I sampai sekarang adalah
untuk membina dan mengembangkan swadaya masyarakat dengan meng gerakkan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan sosial yang dimiliki
masyarakat. Dengan demikian diharapkan taraf kesejahteraan sosial
masyarakat dapat meningkat sehingga dapat dicegah atau diperkecil timbul nya masalah kerawanan sosial. Kegiatan program ini terutama dilaksanakan
oleh Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), pemuda yang tergabung dalam
Karang Taruna dan organisasi sosial lainnya.
(1) Penyuluhan
Masyarakat
Sosial
dan
Pembinaan
Pekerja
Sosial
Penyuluhan sosial yang merupakan kegiatan pokok dalam usaha
kesejahteraan sosial dilaksanakan untuk menciptakan kondisi agar
masyarakat makin dapat menerima dan mendukung nilai-nilai pembaharuan
yang diamanatkan oleh pembangunan. Untuk makin meningkatkan
efektivitas kegiatan penyuluh sosial, tenaga PSM terus dibina dan
ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui berbagai pelatihan.
Sejak Repelita I sampai Repelita IV jumlah PSM yang dilatih setiap lima
tahunnya meningkat dari sekitar 3.030 orang menjadi 71.665 orang (Tabel
XVIII-6). Peningkatan mencolok jumlah PSM yang dilatih terjadi pada
Repelita III dan IV yang berturut-turut sekitar 68.613 dan 71.665 orang atau
rata-rata 13.600 dan 14.300 orang setiap tahunnya. Peningkatan kegiatan
pelatihan tenaga PSM dalam Repelita III dan IV antara lain disebabkan oleh
adanya penyempurnaan proses pembentukan PSM yang lebih singkat
waktunya sehingga jumlah calon PSM yang dilatih dapat dilipatgandakan.
XVIII/47
Peningkatan pelatihan PSM ini merupakan cerminan semakin meningkatnya
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menangani permasalahan
kesejahteraan sosial. Dalam lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai dengan
tahun keempat Repelita V, setiap tahunnya jumlah PSM yang dilatih tidak
banyak berbeda dengan jumlah yang dilatih dalam tahun-tahun sebelumnya,
yaitu berkisar antara 10.000 orang sampai 12.900 orang. Namun demikian
apabila dibandingkan dengan Repelita I, maka jumlah PSM yang dilatih
sampai tahun keempat Repelita V sangat meningkat, yaitu dari sekitar 3.000
orang menjadi 12.900 orang atau meningkat menjadi lebih dari 4 kali lipat
(Tabel XVIII-6).
Sejalan dengan kegiatan ini sejak tahun terakhir Repelita IV telah
dilaksanakan program khusus, yaitu pelatihan bagi pemuda yang potensial
untuk dibina menjadi tenaga Satuan Tugas Sosial (PSM SATGASOS).
Mereka yang umumnya adalah lulusan SLTA, setelah dibina menjadi tenaga
PSM SATGASOS ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan perbatasan
tempat kantong-kantong masyarakat terasing. Tujuan utama tenaga PSM
SATGASOS adalah mendidik, membina dan memberikan dorongan pada
masyarakat daerah terpencil dan terasing untuk dapat membangun sendiri
keluarga dan masyarakat melalui kegiatan pertanian, peternakan,
pertukangan dan lain sebagainya yang sesuai dengan lingkungannya.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V telah
dilatih dan ditempatkan 1.520 orang PSM SATGASOS. Berkaitan dengan
kegiatan ini, mulai tahun 1990/91 pola pelatihan PSM SATGASOS dilaksanakan bersama-sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
untuk penyediaan satuan bakti guru bagi daerah terpencil. Dengan maki n
bertambahnya tenaga PSM dan SATGASOS yang lebih tinggi pengetahuan,
keterampilan dan pengabdiannya, akan makin tersedia tenaga yang lebih
profesional untuk memperluas dan meningkatkan mutu pelayanan sosial
untuk berbagai masalah sosial yang terdapat di semua daerah.
(2)
Pembinaan Swadaya Masyarakat Bidang Perumahan dan
Lingkungan
Kegiatan pembinaan swadaya masyarakat bidang perumahan ditujukan terutama untuk masyarakat pedesaan agar memiliki kesadaran akan
pentingnya rumah dan lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga mereka
XVIII/48
TABEL XVIII – 6
1)
PEMBINAAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM)
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1973/74 – 1992/93
(orang)
1)
2)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/49
secara gotong royong dan berantai mau memperbaiki atau memugar
rumahnya yang kurang memenuhi syarat.
Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembinaan swadaya masyarakat
melalui penyuluhan, pembuatan rumah-rumah contoh, perbaikan fisik
rumah, perbaikan jalan lingkungan, pengadaan sarana mandi cuci kakus
(MCK), pengadaan air bersih dan pemberian stimulan usaha produksi
bahan-bahan bangunan. Dari Repelita I sampai akhir Repelita III upaya ini
belum dikoordinasikan dengan sektor-sektor lain namun karena program ini
bersifat lintas sektor, maka sejak permulaan Repelita IV kegiatan ini diting katkan menjadi Program Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa Ter padu (P2LDT) dan dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Perumahan
Rakyat. Instansi-instansi yang terlibat dalam P2LDT adalah Departemen
Sosial, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri dan
Departemen Kesehatan serta Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD).
Sejak Repelita I sampai Repelita IV jumlah rumah yang dipugar
secara kumulatif meningkat dari 288 buah di 19 desa pada akhir Repelita I
(tahun 1973/74) menjadi lebih dan 157.529 buah rumah di 10.919 desa
pada akhir Repelita IV (tahun 1988/89) (Tabel XVIII-7).
Dalam lima tahun terakhir (1988/89 - 1992/93) jumlah desa yang
melaksanakan pemugaran setiap tahunnya berkisar antara 2.506 desa (tahun
1988/89) dan 4.104 desa (tahun 1992/93), sehingga seluruhnya selama lima
tahun berjumlah 17.810 desa. Sedangkan jumlah rumah yang dipugar pada
mesa tersebut berkisar antara 30.302 rumah (tahun 1992/93) sampai sekitar
48.978 rumah (tahun 1991/92), sehingga selama lima tahun, jumlah rumah
yang telah dipugar adalah sebanyak 198.123 buah (Tabel XVIII-7).
Dengan demikian sejak dimulainya program ini dalam Repelita I
sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dapat direalisasikan
pemugaran perumahan desa di 26.223 desa, dengan jumlah rumah yang
terpugar sebanyak sekitar 323.170 rumah. Hasil pelaksanaan tersebut
termasuk usaha masyarakat sendiri melalui kegiatan perantaian dan/atau peniruan. Sedang jumlah rumah yang dipugar sebagai uji coba dalam Repelita I
baru sebanyak 288 rumah di 19 desa (Tabel XVIII-7).
XVIII/50
TABEL XVIII – 7
1)
PELAKSANAAN PEMBINAAN SWADAYA MASYARAKAT,
BIDANG PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1973/74 – 1992/93
(rumah)
1)
2)
3)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
Jumlah kumulatif sejak Repelita I sampai tahun 1992/93, untuk rumah = 323.170 rumah, untuk desa = 26.223 desa
XVIII/51
Di samping itu dengan makin banyaknya rumah pedesaan yang dipugar, maka kebiasaan masyarakat desa yang rumahnya gelap, lembab dan
tidak sehat, lambat laun makin berubah ke arah rumah dan lingkungan yang
bersih dan sehat. Ini merupakan salah satu kemajuan yang penting dalam
kehidupan masyarakat desa.
Dampak kegiatan P2LDT dalam pembangunan kesejahteraan sosial
antara lain tampak dari masih terpeliharanya semangat gotong royong di
antara masyarakat pedesaan. Dengan terpeliharanya semangat tersebut, dapat
ditingkatkan swadaya masyarakat untuk memperbaiki keluarga dan
masyarakatnya untuk hidup dalam lingkungan pemukiman yang bersih dan
sehat dengan melalui upaya pemugaran rumah.
(3) Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing
Kegiatan pembinaan masyarakat terasing dirintis dalam Repelita I
dan II dengan kegiatan-kegiatan sederhana berupa pendekatan dan
bimbingan sosial, pengadaan Pusat Operasi Sementara, perintisan
perkampungan yang menetap, dan penyediaan sarana sosial. Tujuannya
adalah untuk membantu "membuka jalan" masyarakat terasing kearah cara
hidup bermasyarakat yang lebih maju seperti yang telah dinikmati oleh
masyarakat di desa-desa sekitarnya. Dengan menunjukkan cara-cara
bermasyarakat yang lebih maju tersebut mereka akan mengenal cara -cara
bertani dan berladang tetap dan tidak lagi berpindah-pindah seperti sebelum
dibina. Selain itu mereka akan mengenal cara-cara memelihara kesehatan dan
mengobati penyakit yang benar, perlunya pendidikan anak-anak di sekolah
dan sebagainya.
Dari hasil rintisan dalam Repelita I dan II diketahui bahwa
pendekatan sederhana yang dilaksanakan kurang memadai hasilnya.
Sejumlah keluarga yang dicoba dibina secara sederhana tersebut selama dua
tahun sedikit sekali yang menunjukkan adanya perubahan sikap dan perilaku
kearah yang diharapkan. Oleh karena itu dalam Repelita III selain
melanjutkan pendekatan sederhana bagi yang telah dibina pada tahun-tahun
sebelumnya, juga dimulai pendekatan dengan paket yang lebih lengkap.
Dalam pendekatan ini selain paket bantuan seperti yang diberikan selama ini
(dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan sosial, perintisan perkampungan
dan penyediaan sarana sosial), juga dilengkapi dengan bantuan lain berupa
lahan, rumah, jaminan hidup, pemberian bimbingan keterampilan praktis,
XVIII/52
bibit pertanian dan peternakan. Dengan paket yang lebih lengkap ini jumlah
kepala keluarga (KK) yang dapat dimasyarakatkan dalam suatu tahun makin
dibatasi oleh karena adanya beberapa kendala, di antaranya adalah: jumlah
KK perlu disesuaikan dengan ketersediaan lahan yang terbatas di suatu
daerah; jumlah tenaga pengelola dan pembina yang terbatas; dan lokasi
masyarakat terasing diutamakan yang masih memungkinkan dicapai dengan
sarana dan prasarana yang ada. Dari hasil evaluasi yang pernah dilakukan,
maka pendekatan yang terakhir dengan paket bantuan lebih lengkap tetapi
dengan jumlah sasaran lebih terbatas, ternyata lebih efektif.
Dari Tabel XVIII-8 dapat dilihat bahwa sejak Repelita I sampai
Repelita III jumlah keluarga masyarakat terasing yang dibina setiap lima
tahunnya terus meningkat dari 7.035 KK menjadi 12.995 KK. Dalam
Repelita IV jumlahnya menurun menjadi 7.318 KK; demikian juga dalam
lima tahun terakhir sejak 1988/89 sampai 1992/93 jumlah KK terbatas
sebanyak 4.970 KK. Seperti telah disebutkan di atas, penurunan jumlah KK
mulai dalam Repelita IV oleh karena adanya kebijaksanaan paket bantuan
lengkap yang lebih efektif sehingga diperlukan adanya pembatasan KK yang
dimasyarakatkan.
Dampak dari peningkatan pembinaan masyarakat terasing antara lain
terlihat dari makin meningkatnya kesejahteraan hidup mereka. Di samping
cara hidup khususnya dalam hal bertani yang sudah mengikuti cara -cara
yang maju, juga anak-anak mereka sudah mengikuti pendidikan di sekolah
sebagaimana seharusnya. Pada umumnya anak usia 7-12 sudah mengikuti
pendidikan di SD, sejumlah KK sudah berhasil menyekolahkan anak-anak ke
SLTP dan SLTA, bahkan beberapa orang telah menempuh pendidikan di
perguruan tinggi. Mengingat masyarakat terasing dapat digolongkan sebagai
bagian dari kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,
maka keberhasilan upaya untuk memajukan kehidupan mereka merupakan
bagian dari keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan yang telah
dicapai selama ini.
(4) Pembinaan Nilai-nilai Kepahlawanan dan Keperintisan
Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk pelestarian, pewarisan
dan penyebarluasan nilai-nilai kepahlawanan dan keperintisan para Pahlawan
Pejuang dan Perintis Kemerdekaan agar tetap dihargai dan makin lebih
dihayati oleh generasi muda dan generasi yang akan datang. Kegiatan utama
XVIII/53
TABEL XVIII – 8
1)
PEMBINAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TERASING
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1973/74 – 1992/93
(kepala keluarga)
1)
2)
3)
4)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka diperbaiki dan kumulatif mulai tahun 1988/89, angka tahun 1988/89 angka tahunan
Angka diperbaiki dan kumulatif mulai tahun 1984/85
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/54
dari pembinaan nilai-nilai kepahlawanan dan keperintisan kemerdekaan
adalah pemugaran dan pembangunan Taman-taman Makam Pahlawan
(TMP), Makam-makam Pahlawan Nasional (MPN), dan Perintis Kemerdekaan (MPK) yang terdapat dihampir semua daerah.
Sejak dimulainya pemugaran TMP dan lain-lain dalam Repelita II
sampai tahun keempat Repelita V, jumlah kumulatif taman-taman makam
yang dibangun dan dipugar sebanyak 152 TMP, 31 MPN, dan 275 MPK.
Sedangkan yang dibangun dan dipugar dalam lima tahun terakhir (1988/89 1992/93) sebanyak 83 TMP, 6 MPN dan 234 MPK yang tersebar di
sejumlah kabupaten dari semua propinsi kecuali Timor Timur.
Selain pemugaran dan pembangunan Taman-taman Pahlawan dan
Makam Pahlawan Nasional/Perintis Kemerdekaan, dilaksanakan pula
pemberian bantuan sosial kepada 1.229 keluarga para Pahlawan Nasional
dan Perintis Kemerdekaan sebagai penghargaan atas perjuangan, pengor banan dan pengabdian para bapak, ibu, suami, istri dan saudara -saudara
mereka kepada bangsa dan negara. Bantuan tersebut antara lain berupa
bantuan perbaikan perumahan bagi 554 Perintis Kemerdekaan.
Sementara itu dalam lima tahun terakhir ini telah dicetak buku
otobiografi dan sejarah perjuangan para Pahlawan Pejuang Kemerdekaan
sebanyak sekitar 150 ribu eksemplar yang disebarluaskan ke sekolah-sekolah
SLIP dan SLTA seluruh Indonesia.
(5) Pembinaan Organisasi Sosial Masyarakat
Kegiatan ini dirintis sejak Repelita III dengan tujuan untuk
membimbing dan memantapkan organisasi sosial masyarakat yang bergerak
di bidang usaha kesejahteraan sosial agar makin meningkat kemampuan
profesional mereka. Pembinaannya dilakukan melalui pelatihan manajemen
didukung dengan pemberian bantuan perlengkapan. Dalam Repelita III dan
Repelita IV telah berhasil dibina sebanyak 21.000 organisasi sosial
masyarakat, termasuk Lembaga Sosial Desa, dengan mengadakan pelatihan
manajemen bagi pengurus dan anggota organisasi sosial tersebut. Sementara
itu telah diberikan bantuan perlengkapan dan sarana panti kepada sebanyak
2.200 organisasi sosial yang memiliki panti. Di hampir semua propinsi
terdapat organisasi sosial yang memiliki panti.
XVIII/55
Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai 1992/93, selain pelatihan
manajemen bagi lebih kurang 4.900 pengurus organisasi sosial, juga
diberikan bantuan sarana pelayanan panti kepada 2.740 organisasi sosial
yang menyelenggarakan pelayanan dalam panti. Selain itu selama lima tahun
sering diselenggarakan forum komunikasi dengan masyarakat mampu untuk
menghimbau mereka agar bersedia menjadi "bapak angkat" dari berbagai
organisasi sosial. Dengan demikian sejak Repelita III sampai tahun keempat
Repelita V (tahun 1992/93) jumlah organisasi sosial yang dibina seluruhnya
mencapai 4.341 organisasi, atau meningkat menjadi lima kali lipat dari
jumlah yang dibina dalam Repelita III. Dengan berbagai kegiatan tersebut di
atas, maka banyak organisasi sosial dan kelompok masyarakat mampu yang
berperan serta dalam mengatasi masalah-masalah kesejahteraan sosial. Hal
ini menunjukkan adanya perkembangan kesadaran dan kesetiakawanan sosial
yang penting artinya bagi upaya mengurangi kesenjangan sosial.
b. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan satu bentuk
pelayanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial para penyandang
masalah sosial yang tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.
Dengan pelayanan ini diharapkan para penyandang masalah sosial dapat
pulih harga diri mereka dan kepercayaan diri mereka serta dapat hidup
mandiri secara layak, sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dan dapat berperan serta aktif dalam pembangunan.
Pelayanan ini disediakan bagi para lanjut usia tidak mampu, anak
terlantar dan yatim piatu, penyandang cacat (cacat tubuh, cacat mental, cacat
netra, tuna rungu wicara, termasuk cacat veteran, dan bekas penyandang
penyakit kusta), tuna sosial (gelandangan, pengemis dan tuna susila), fakir
miskin, anak nakal, dan para korban bencana alam. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan adalah pemberian bimbingan sosial dan motivasi, bantuan
penyantunan dan pemeliharaan, pembinaan mental dan pelatihan
keterampilan, pemberian modal usaha kerja, bantuan penyaluran ke lapangan
kerja dan resosialisasi, pengadaan dan pengoperasian unit rehabilitasi sosial
keliling dan pembinaan lanjut untuk memantapkan kemandirian dan
meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya-upaya tersebut dilaksanakan melalui sistem dalam panti dan
sistem luar panti. Sementara itu untuk beberapa sasaran tertentu, seperti
XVIII/56
gelandangan dan pengemis, upaya pelayanannya dilakukan melalui
pemukiman setempat, atau melalui sistem Lingkungan Pondok Sosial
(LIPOSOS). Cara ini terutama dilakukan untuk mereka yang berada di
Jawa.
(1)
Penyantunan Lanjut Usia, Pengentasan Anak Terlantar
dan Yatim Piatu
Penyantunan yang diusahakan dalam rangka pelaksanaan program ini
ada yang dilakukan dalam bentuk bantuan kepada keluarga dan ada yang
dilakukan melalui panti lanjut usia (Sasana Tresna Werdha). Dalam Repe lita V penyantunan lanjut usia dilakukan sejauh mungkin di dalam
keluarganya masing-masing. Sedangkan sistem penyantunan dalam panti
merupakan upaya terakhir.
Dalam Repelita I sampai Repelita IV jumlah lanjut usia yang
mendapat penyantunan setiap lima tahunnya terus meningkat dari 5.000
orang pada Repelita I (tahun 1973/74) menjadi sekitar 170.560 orang pada
Repelita IV (tahun 1988/89) atau meningkat dengan lebih dari 30 kali lipat
(Tabel XVIII-9).
Dalam Repelita V kebijaksanaan penyantunan lanjut usia dilanjutkan
dengan menekankan pada mutu pelayanan penyantunan dan lebih banyak
melibatkan peran serta masyarakat. Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai
1992/93 secara kumulatif jumlah lanjut usia yang mendapat penyantunan
sebanyak 88.285 orang, atau meningkat dengan hampir 18 kali lipat apabila
dibanding dengan jumlah pada Repelita I. Di samping itu, telah pula
dilaksanakan perbaikan, pembangunan dan penyempurnaan 51 buah Sasana
Tresna Werdha (panti lanjut usia) yang terdiri dari 46 buah panti milik
pemerintah dan 5 buah panti milik swasta.
Kegiatan kedua yang dilaksanakan dalam program ini adalah
pengentasan anak terlantar dan yatim piatu. Kegiatan ini dilakukan dalam
bentuk pembinaan mental, pembinaan spiritual dan pembinaan sosial yang
disertai dengan pendidikan dan pelatihan keterampilan, agar anak-anak
tersebut dapat disiapkan menjadi anggota masyarakat yang mandiri,
produktif dan berguna bagi bangsa dan negara.
Pelaksanaan pembinaan dilakukan di dalam dan di luar panti.
XVIII/57
TABEL XVIII – 9
1)
PELAKSANAAN PENYANTUNAN KEPADA PARA LANJUT USIA DAN ANAK TERLANTAR
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1968 – 1992/93
(orang)
1)
2)
3)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka diperbaiki
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/58
Lanjutan Tabel XVIII – 9
1)
2)
3)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka diperbaiki
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/58
Pembinaan di dalam panti dilaksanakan oleh pendidik dan pengasuh panti,
bekerja sama dengan Balai Pelatihan Keterampilan Kerja dan Departemen
Tenaga Kerja. Sedang pembinaan di luar panti diserahkan melalui asuhan
keluarga.
Dalam Repelita I jumlah anak terlantar yang mendapat penyantunan
berjumlah 12.700 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai tahun keempat
Repelita V jumlah anak terlantar yang mendapat penyantunan sebanyak lebih
dari 348.000 orang, atau meningkat sebanyak kurang lebih 27 kali lipat dari
Repelita I. Dengan demikian dari Repelita I sampai dengan tahun keempat
Repelita V telah berhasil disantun lebih dari 891.000 anak terlantar. Kenaik an ini lebih tajam lagi bila dibandingkan dengan jumlah anak terlantar yang
disantun pada tahun 1968 yang jumlahnya hanya 2.100 orang.
Dalam Repelita V kebijaksanaan penyantunan anak terlantar
dilanjutkan dan dibesarkan dengan meningkatkan mutu pelayanan dan peran
serta masyarakat. Di samping itu dalam tahun 1988/89-1992/93 telah
dilakukan perbaikan gedung dan diberikan bantuan pembangunan gedung
kepada 320 buah panti milik pemerintah dan 67 buah panti milik swasta
yang dimanfaatkan oleh sekitar 18.845 anak.
Dengan terus meningkatnya pelayanan penyantunan bagi masyarakat
lanjut usia yang tidak mampu dan bagi anak-anak terlantar dan yatim piatu,
maka bagi kelompok-kelompok masyarakat tersebut makin terbuka
kemungkinan untuk dapat hidup secara lebih sejahtera. Khusus bagi
anak-anak terlantar dan yatim piatu makin terbuka kesempatan untuk
mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu meningkatkan harkat dan
martabatnya.
(2) Penyantunan dan Pengentasan Para Penyandang Cacat
Upaya ini telah dilaksanakan sejak sebelum Repelita I melalui
pemberian motivasi, rehabilitasi fisik, bimbingan mental dan sosial, dan
pelatihan keterampilan kerja. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan dalam
panti, yang dilakukan melalui santunan awal melalui Unit Rehabilitasi Sosial
Keliling (URSK), pelatihan pada Loka Bina Karya (LBK) dan Praktek
Belajar Kerja pada unit-unit usaha tertentu.
Dalam Repelita I sampai Repelita IV apabila dijumlahkan keselu -
XVIII/59
ruhannya penyandang cacat yang telah memperoleh pelayanan meningkat
dari 27.000 dalam Repelita I (tahun 1973/74) menjadi 295.647 orang pada
Repelita IV (tahun 1988/89). Peningkatan yang sangat berarti terjadi sejak
Repelita III dengan dikembangkannya upaya-upaya pelayanan ke desa-desa
yang dilaksanakan melalui Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK) (Tabel
XVIII-10).
Dalam Repelita V pelayanan ini terus dikembangkan dan lebih
dimantapkan. Dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 jumlah
penyandang cacat yang mendapat pelayanan berkisar antara 13.226 sampai
28.042 orang setiap tahunnya. Dengan demikian sejak Repelita I sampai
dengan tahun keempat Repelita V jumlah penyandang cacat yang telah
memperoleh pelayanan adalah sebanyak 384.681 orang atau meningkat lebih
dari 14 kali lebih banyak dari jumlah dalam Repelita I.
Di samping itu dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun
keempat Repelita V telah pula diberikan bantuan pengasramaan untuk sekitar
10.500 murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang bersekolah di 121
SDLB milik Pemerintah Daerah.
Dalam rangka menunjang kegiatan tersebut sejak tahun 1988/89
sampai dengan 1992/93 telah diperbaiki dan dibangun gedung-gedung panti
cacat sebanyak 136 buah gedung, 101 buah milik Pemerintah dan 35 buah
milik swasta, serta 95 gedung baru LBK. Di samping itu selama lima tahun
yang lalu ini juga diadakan 102 URSK yang tersebar di seluruh propinsi.
Beberapa contoh keberhasilan pembinaan potensi penyandang cacat
yang dilakukan selama ini antara lain dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan
Panti Cacat Tubuh (PRPCT) Prof. Dr. Soeharso di Surakarta, Palembang
dan Bangil (Jawa Timur), yang telah dapat menghasilkan alat bantu seperti
kaki dan tangan palsu (prothese), dan kursi roda yang harganya relatif
murah. Di samping itu ketiga panti tersebut telah pula berhasil memproduksi
bahan-bahan kerajinan rotan untuk diekspor. Contoh lain adalah beberapa
LBK, seperti di Jakarta, Palembang, Bandar Lampung, Balikpapan,
Banjarmasin, Lamongan dan Gianyar, telah berhasil memproduksi kerajinan
kulit, kain songket, kain jumputan, kain sasirangan dan lukisan, yang
hasil-hasilnya telah diekspor oleh pihak ketiga ke Jepang, Malaysia dan
Amerika Serikat. Balai Penerbitan Braille Indonesia di Bandung telah pula
berhasil menerbitkan berbagai buku pengetahuan keterampilan dalam huruf
XVIII/60
TABEL XVIII – 10
1)
PELAKSANAAN PENYANTUNAN DAN PENGENTASAN PARA CACAT
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1968 – 1992/93
(orang)
1)
2)
3)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka diperbaiki
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/61
braille. Buku-buku tersebut telah dikirimkan ke panti/sasana cacat netra
yang tersebar di berbagai daerah.
Dengan makin meningkatnya kemampuan memberikan pembinaan
yang lebih memadai bagi para penyandang cacat, maka para penyandang
cacat makin memperoleh kesempatan untuk dapat hidup dengan lebih baik
dan mengembangkan potensinya seperti anggota masyarakat lainnya yang
tidak cacat.
(3)
Penyantunan dan Pengentasan Tuna Sosial, Anak Nakal
dan Korban Narkotika
Upaya ini bertujuan untuk menyantun dan mengentaskan para tuna
sosial, yaitu gelandangan, pengemis, tuna susila, bekas narapidana, anak
nakal dan korban narkotika agar hidup mereka dapat lebih baik dan lebih
layak. Kegiatan rehabilitasi-rehabilitasi sosial untuk mereka terutama berupa
bimbingan sosial dan motivasi, pembinaan mental dan spiritual dan pelatihan
keterampilan untuk dapat memanfaatkan kesempatan kerja yang ada. Khusus
untuk anak nakal dan korban narkotika, kegiatan rehabilitasi tersebut
ditekankan pada upaya pencegahan dalam bentuk penyuluhan tentang bahaya
narkotika melalui pertemuan dengan warga masyarakat dan penyebaran
selebaran tentang hal tersebut. Bagi para penderita diupayakan rehabilitasi
sosial, baik dalam panti maupun di luar panti melalui bimbingan mental,
sosial dan fisik dan pelatihan keterampilan.
Dalam Repelita I telah direhabilitasi dan dientaskan gelandangan dan
pengemis sebanyak 2.282 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan
tahun keempat Repelita V telah direhabilitasi sebanyak 7.528 orang
gelandangan dan pengemis yang berarti meningkat sebanyak 2 kali dari
jumlah Repelita I. Sedangkan untuk tuna susila dan anak nakal korban
narkotika yang rehabilitasinya dilaksanakan sejak awal Repelita II,
berjumlah masing-masing 1.420 orang dan 476 orang pada akhir Repelita II
(tahun 1978/79). Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat
Repelita V telah direhabilitasi sebanyak 5.850 orang tuna susila dan 6.869
orang anak nakal korban narkotika, yang berarti meningkat berturut turut 3 dan 13 kali dari jumlah dalam Repelita II.
Untuk menunjang kegiatan-kegiatan tersebut sejak tahun 1988/891992/93 telah diperbaiki dan disempurnakan 23 buah panti rehabilitasi tuna
XVIII/62
susila, 11 buah panti anak nakal korban narkotika dan 10 buah Lingkungan
Pondok Sosial (LIPOSOS) untuk menampung dan melatih para gelandangan
dan pengemis. Dengan demikian sejak Repelita I sampai tahun keempat
Repelita V telah dilaksanakan rehabilitasi untuk 54345 gelandangan dan
pengemis, 13.535 tuna susila dan 17.938 anak nakal korban narkotika.
Keberhasilan yang menonjol dari upaya rehabilitasi bagi warga
binaan ini dicapai oleh Panti Rehabilitasi Sosial Bekas Korban Narkotika
Wisma Teratai (Jawa Timur) dan Yayasan Harapan Ibu. Kedua panti ini
telah memperoleh pesanan dari berbagai pengusaha untuk barang-barang
industri rotan, kulit, sepatu dan tas yang dihasilkan oleh warga binaan kedua
panti tersebut. Di camping itu Panti Rehabilitasi Sosial Bekas Korban
Narkotika Khusus Putri di Lembang (Jawa Barat) telah pula menjalin kerja
sama dengan perusahaan pakaian jadi dan sebagian besar anak-anak
binaannya dapat disalurkan untuk bekerja pada perusahaan tersebut.
Dengan keberhasilan upaya penyantunan dan pengentasan
masalah-masalah tuna sosial, anak nakal dan korban narkotika, maka akan
dirasakan dampaknya dalam ikut mengurangi adanya gejolak-gejolak sosial
yang dapat mengganggu kestabilan nasional yang mantap yang telah dicapai
selama ini.
(4) Bantuan Pengentasan Fakir Miskin
Upaya ini bertujuan untuk membantu meningkatkan taraf kesejahteraan sosial kelompok masyarakat yang sangat miskin di daerah pedesaan
melalui pemberian motivasi, pembentukan kelompok, dan pemberian paket
usaha-usaha produktif yang diawali dengan pelatihan keterampilan sesuai
dengan paket bantuan yang diterimakan. Paket usaha produktif dikelola
secara berkelompok yang masing-masing terdiri dari 10 KK. Di setiap desa
miskin yang terpilih rata-rata disantun antara 3-5 kelompok usaha bersama
(KUBE).
Dalam Repelita IV kegiatan ini masih merupakan uji coba yang
dilaksanakan di 17 propinsi dan jumlah warga yang dibantu baru kurang
lebih 19.540 KK. Baru sejak tahun 1988/89 upaya ini ditingkatkan dan
dibesarkan sehingga dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat
Repelita V apabila dijumlahkan seluruhnya berhasil dibantu sebanyak
57.141 KK fakir miskin di 1.914 desa. Dengan demikian sejak dirintis
XVIII/63
dalam Repelita IV, jumlah fakir miskin yang dibantu sampai tahun keempat
Repelita V sebanyak 73.971 KK di 2.157 desa (Tabel XVIII-11). Upaya ini
sejak tahun 1991/92 telah dipadukan dengan program-program
penanggulangan kemiskinan yang lain seperti program Pembangunan
Kawasan Terpadu (PKT), pembinaan kredit kecil melalui KUD dan
pengadaan air bersih.
Dari pengamatan yang dilakukan terlihat adanya peningkatan
kesejahteraan di antara penduduk desa yang memperoleh bantuan dari
kegiatan ini. Di antaranya dapat dilihat di desa Batujai Lombok Tengah
yang pada tahun 1989/90 mendapat bantuan dalam bentuk kambing
sebanyak 90 ekor. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, bantuan kambing
tersebut telah berkembang biak menjadi 450 ekor. Begitu pula dengan 10
desa di Tasikmalaya yang pada tahun 1989/90 memperoleh bantuan 1.240
ekor domba. Dalam waktu 2 tahun jumlah domba di ke 10 desa tersebut
telah bertambah menjadi 2.673 ekor. Dari jumlah itu, sebanyak 150 ekor
telah dijual untuk menambah penghasilan para binaan dan 218 ekor
diberikan kepada fakir miskin lain yang belum memperoleh pembinaan.
Hasil dari kegiatan pengentasan kelompok yang sangat miskin ini, meskipun
tidak dalam jumlah yang besar, penting artinya sebagai bagian dari upaya
penanggulangan kemiskinan pada umumnya.
(5) Bantuan Rehabilitasi Korban Bencana Alam
Upaya ini bertujuan untuk memberi bantuan guna meringankan
beban masyarakat, khususnya masyarakat tidak mampu yang tertimpa
bencana alam seperti gunung api meletus, gempa bumi, tanah longsor, angin
topan dan banjir. Upaya yang dilakukan adalah pemberian bantuan dalam
bentuk bahan makanan, obat-obatan dan bahan rumah untuk merehabilitasi
rumah yang rusak atau hancur akibat bencana. Rumah-rumah tersebut dapat
dibangun kembali di lokasi semula atau dipindahkan ke lokasi yang lebih
aman yang pembangunannya dilaksanakan secara gotong royong.
Dalam Repelita I sampai Repelita IV pemberian bantuan berupa
bahan bangunan untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak meningkat
dalam setiap lima tahunnya dari hanya 3.833 unit rumah dalam Repelita I
(tahun 1973/74) menjadi 18.802 unit rumah dalam Repelita IV (tahun
1988/89) atau meningkat menjadi lebih dari 4 kali lipat. Sementara itu
pemberian bantuan bahan bangunan rumah sejak tahun 1988/89 sam pai
XVIII/64
TABEL XVIII – 11
1)
PENYANTUNAN DAN PENGENTASAN FAKIR MISKIN
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1987/88 – 1992/93
(desa dan kepala keluarga)
1)
2)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/65
dengan tahun 1992/93 berkisar antara 1.710 dan 2.845 unit rumah (Tabel
XVIII-12). Peningkatan bantuan tersebut antara lain disebabkan oleh
meningkatnya bencana alam dalam Repelita IV seperti meletusnya gunung
Galunggung, gunung Gamalama, dan gunung Kelud, terjadinya gempa bumi
di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanah longsor di Irian Jaya, dan
banjir yang melanda beberapa wilayah.
Dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi sosial korban bencana
alam dilaksanakan pelatihan satuan tugas sosial penanggulangan bencana
(Satgasos PB), diusahakan perlengkapan peralatan penanggulangan bencana
alam, penyelamatan korban-korbannya, dan diselenggarakan penyuluhan
bimbingan sosial bagi masyarakat di daerah rawan bencana alam.
Dalam Repelita I sampai Repelita IV tercatat beberapa bencana yang
besar, yaitu meletusnya gunung Agung di Bali, gunung Colo dan Soputan di
Sulawesi Utara dan gunung Galunggung di Jawa Barat; terjadinya gempa
bumi di Daerah Istimewa Aceh, Jawa Barat, Bali dan Sulawesi Utara; dan
terjadinya tanah longsor di Lembah Baliem (Irian Jaya) dan Padang
(Sumatera Barat). Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat
Repelita V, bencana-bencana besar yang terjadi adalah meletusnya gunung
Kelud di Jawa Timur, gunung Kie Besi dan gunung Gamalama di Maluku;
terjadinya gempa bumi di Majalengka (Jawa Barat) dan Flores (Nusa
Tenggara Timur), tanah longsor di Kurima (Irian Jaya) dan Tasikmalaya
(Jawa Barat); dan terjadinya bencana kekeringan di Gunung Kidul (Jawa
Tengah) dan Nusa Tenggara Timur.
Mengingat penanggulangan bencana merupakan upaya yang bersifat
lintas sektor, pada tahun 1990 Presiden telah mengeluarkan Keppres No. 49
Tahun 1990 sebagai pengganti Keppres No. 28 Tahun 1979 tentang Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA)
menjadi BAKORNAS PB yang mengatur memuat koordinasi antar berbagai
instansi yang saling berkaitan sejauh fungsi masing-masing apabila terjadi
bencana alam. Badan ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan beranggotakan Menteri-menteri Sosial, Dalam
Negeri, Pekerjaan Umum, Penerangan, Kesehatan, Panglima Angkatan
Bersenjata RI dan Gubernur dari propinsi yang sedang mengalami bencana
alam. Di daerah, Bakornas PB langsung berhubungan dengan Daerah
Tingkat II, tidak melalui Daerah Tingkat I. Oleh karena itu di Daerah
XVIII/66
TABEL XVIII – 12
1)
BANTUAN RUMAH DAN REHABILITASI RUMAH KEPADA KORBAN BENCANA ALAM
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1973/74 – 1992/93
(unit rumah)
1)
2)
Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/67
Tingkat II dibentuk SATLAK PB dengan keanggotaan dari instansi yang
sama seperti di Pusat.
c. Program Pembinaan Generasi Muda
Pembinaan generasi muda di bidang kesejahteraan sosial dipusatkan
pada peningkatan pembinaan Karang Taruna, sebagai satu-satunya organisasi
sosial kepemudaan di tingkat desa. Agar dapat berfungsi sebagai wadah
untuk menanggulangi dan mencegah masalah-masalah kenakalan remaja
serta mampu mengemban tugas mengatasi masalah-masalah sosial di
lingkungannya, seorang anggota Karang Taruna dibina agar mampu men ciptakan lapangan kerja serta memiliki keterampilan kerja yang handa l.
Dalam Repelita I sampai tahun keempat Repelita V telah dilakukan
berbagai upaya dan dorongan melalui pemberian peralatan olahraga dan
kesenian sehingga di semua desa telah tumbuh dan berkembang organisasi
Karang Taruna. Dalam Repelita V pembinaan Karang Taruna dititik
beratkan pada peningkatan mutu organisasi melalui pengkaderan, pelatihan
dalam berbagai keterampilan seperti industri dan pertanian, dan pemberian
bantuan paket Sarana Usaha Karang Taruna. Sejak tahun 1989/90 sampai
1992/93 bantuan tersebut telah diberikan kepada lebih dari 10.000 Karang
Taruna (Tabel XVIII-13). Di samping itu telah pula diselenggarakan Pekan
Bakti Sosial Karang Taruna di semua propinsi dan Studi Karya Bakti Karang
Taruna antar propinsi di seluruh Indonesia.
Hasil-hasil pembinaan selama ini yang dapat dilihat antara lain
adalah timbulnya usaha-usaha Karang Taruna dalam bidang industri,
kerajinan rotan, kulit, bambu, kayu, perbengkelan, pertambakan dan
pertanian di beberapa daerah, seperti di desa-desa Raba (Bima), Pagar Dewa
(Bengkulu), Sidomulyo (Magetan), Babad (Lamongan), Purwodadi
(Pasuruan), Wonoatu (Trenggalek), Singasari (Tasikmalaya), Petobo
(Donggala), Bangunjiwo (Bantul) dan Pakem (Kaliurang). Selain itu,
terdapat pula beberapa Karang Taruna dari sejumlah desa di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, yang
ikut mengelola Posyandu, memberikan pelayanan Keluarga Berencana dan
melaksanakan Program Paket Kerja dan Belajar (KEJAR) dari Program
Pendidikan Masyarakat.
XVIII/68
TABEL XVIII – 13
BANTUAN PAKET SARAN USAHA KARANG TARUNA
MENURUT DAERAH TINGKAT I,
1989/90 – 1992/93
(Karang Taruna)
1)
Angka sementara sampai dengan Desember 1992
XVIII/69
d.
Program Peningkatan Peranan Wanita
Program ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan peranan
wanita dalam pembangunan, khususnya peranan wanita di pedesaan yang
tergolong miskin dan pars janda, berbagai kegiatan untuk meningkatkan
keterampilan mereka. Usaha pembinaan dan peningkatan peranan tersebut
diwujudkan dalam bentuk bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD)
dan Usaha Pencegahan Urbanisasi Wanita usia muda ke kota. Usaha itu
ditunjang dengan penyediaan buku-buku keterampilan usaha industri rumah
tangga dan keterampilan praktis lainnya. Selain itu dilaksanakan pula
pelatihan kepemimpinan wanita bagi kader pimpinan penggerak wanita
tingkat Kabupaten. Sejak tahun pertama Repelita III (tahun 1979/80) sampai
dengan akhir Repelita IV (tahun 1988/89) dalam rangka pelaksanaan
program ini telah dibina sekitar 49.000 wanita rawan sosial ekonomi, yang
tempat tinggalnya tersebar di 3.270 desa, dan telah dilatih lebih dari 9.000
orang pemimpin organisasi wanita yang tempat tinggalnya tersebar di 285
kabupaten.
Selama lima tahun sejak tahun 1988/89, telah pula berhasil dilatih
dan dibantu sebanyak kurang lebih 3.700 wanita rawan sosial ekonomi yang
tinggal di 250 desa, 1.700 orang kader pimpinan wanita di 57 kabupaten,
dilakukan penyuluhan pencegahan urbanisasi wanita muda di 50 desa.
Dengan demikian sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil dilatih 10.085 orang kader pimpinan wanita di 319
kabupaten dan disediakan bantuan bagi 52.700 wanita rawan sosial ekonomi
di 3.520 desa.
e.
Program Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesejahteraan
Sosial
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian
dan keterampilan tenaga-tenaga pelaksana pembangunan di bidang kesejahteraan sosial, baik yang pegawai Pemerintah maupun yang bukan, melalui
berbagai pelatihan penjenjangan dan pelatihan profesi pekerjaan sosial.
Dalam Repelita I sampai Repelita IV latihan penjenjangan bagi
pegawai negeri, seperti Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA),
telah diikuti oleh 244 orang, Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya
(SEPADYA) diikuti oleh 195 orang, dan Sekolah Pimpinan Administrasi
XVIII/70
Tingkat Lanjutan (SEPALA) oleh 710 orang. Sementara itu sejak tahun
1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 sebanyak 46 orang telah mengikuti
SESPA, 190 orang mengikuti SEPADYA dan 570 orang mengikuti 570
SEPALA.
Di samping pelatihan penjenjangan mulai Repelita III telah
dilaksanakan pelatihan profesi pekerjaan sosial, baik pelatihan dasar maupun
pelatihan keahlian bagi para pegawai negeri agar pelayanan-pelayanan yang
mereka berikan menjadi makin profesional. Sampai dengan akhir Repelita IV dalam pelaksanaan program ini telah dilatih 825 orang. Dan selama
lima tahun terakhir sampai tahun keempat Repelita V pelatihan ini diikuti
oleh 516 orang. Dengan demikian sejak Repelita III sampai dengan tahun
keempat Repelita V melalui program ini telah dilatih 1.075 orang.
Dalam usaha meningkatkan kelancaran pelaksanaan pembangunan
bidang kesejahteraan sosial di tingkat Kecamatan, sejak Repelita IV telah
dilaksanakan Pelatihan Pemantapan Petugas Sosial Kecamatan (PSK) yang
diikuti oleh 786 orang pegawai pemerintah. Dan pelatihan yang
dilaksanakan sejak tahun 1989/90 sampai dengan tahun keempat Repelita V
diikuti oleh 450 orang pegawai.
Dalam upaya menyiapkan tenaga kader di bidang kesejahteraan sosial
diselenggarakan pula pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) di Bandung.
Selanjutnya program ini juga dilatih PSM SATGASOS yang dalam
lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diikuti
oleh 1.520 orang. Mereka itu untuk selanjutnya ditempatkan di daerah
terpencil dan perbatasan tempat kantong-kantong masyarakat terasing.
f.
Program Penyempurnaan Efisiensi Aparatur Pemerintah
dan Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu proses perencanaan
dan memantapkan kegiatan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan agar pelaksanaan proyek-proyek pembangunan berjalan lancar.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi perencanaan tahunan yang dilakukan
melalui Konsultasi Perencanaan Program (KPP) di 2 atau 3 wilayah.
XVIII/71
Untuk meningkatkan kemampuan perencana baik di tingkat Pusat,
tingkat Propinsi maupun tingkat Kabupaten, pada tahun 1992/93 telah di laksanakan pelatihan bagi 351 perencana di seluruh propinsi. Dalam
pelatihan ini termasuk pelaksanaan uji coba penyempurnaan proses
perencanaan dari bawah. Pada tahun itu pelatihan ini diselenggarakan di
propinsi Sumatera Selatan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Dalam
rangka pelaksanaan program ini dilaksanakan pula kegiatan-kegiatan pembinaan, pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan. Selama
lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V melalui
kegiatan-kegiatan tersebut telah diperiksa sebanyak 1.408 obyek
pemeriksaan.
C.
PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA
1. Pendahuluan
Peranan wanita dalam pembangunan secara khusus telah mendapat
perhatian dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1978, dan dalam
GBHN berikutnya peranan dan status wanita telah semakin mendapatkan
tempat yang mantap. GBHN 1988 pada intinya mengamanatkan integrasi
wanita dalam pembangunan yang mengandung prinsip peningkatan
kedudukan dan peranan wanita; prinsip kemitrasejajaran antara pria dan
wanita, baik dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam
melaksanakan pembangunan nasional; dan prinsip peran ganda wanita yaitu
keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara peranannya dalam keluarga
dan dalam masyarakat.
Dibandingkan dengan keadaan dalam Repelita III dan Repelita IV,
maka dalam Repelita V berbagai indikator tentang peranan wanita telah
menunjukkan berbagai kemajuan. Di bidang pendidikan luar sekolah angka
penyandang tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta Bahasa Indonesia
dan buta pengetahuan dasar makin berkurang. Persentase wanita penyandang
buta aksara berumur 10-44 tahun pada tahun 1971 adalah 41,2%, kemudian
menurun menjadi 26,2% pada tahun 1980 dan turun lagi menjadi 10,9%
pada tahun 1990. Dengan demikian telah terjadi percepatan penurunan angka
buta aksara selama dasawarsa 1980-1990, yaitu 41,6% dibandingkan
percepatan penurunan dalam dasawarsa 1970-1980 yang hanya sebesar
23,6%.
XVIII/72
Sementara itu angka partisipasi wanita dalam pendidikan sekolah
meningkat dari 40,8% di SLTP, 22,6% di SLTA, dan 3,2% di Perguruan
Tinggi (PT) pada akhir Repelita III menjadi 47,4% di SLTP, 30,2% di
SLTA, dan 4,7% di PT pada akhir Repelita IV. Di bidang angkatan kerja,
jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja meningkat dari 32,4% pada
akhir Repelita III menjadi 37,6% pada akhir Repelita IV. Selain itu,
komposisi jenis lapangan kerja wanita juga mengalami perubahan. Dalam
kurun waktu akhir Repelita II sampai dengan akhir Repelita IV lapangan
kerja wanita di bidang Pertanian menurun dari 63,3% pada akhir Repelita II
menjadi 53,7% pada akhir Repelita IV; di bidang Industri naik dari 9,0%
menjadi 12,2%; dan di bidang jasa naik dari 27,7% menjadi 34,1%.
Perubahan tersebut menunjukkan bahwa lapangan kerja wanita juga
cenderung berubah dari Pertanian ke arah Industri sesuai dengan perubahan
struktur ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional. Di bidang kesehatan
beberapa indikator juga menunjukkan adanya perbaikan. Angka kematian
ibu yang melahirkan telah turun dari 800/100.000 kelahiran pada akhir
Repelita III menjadi 450/100.000 kelahiran pada akhir Repelita IV.
Selama lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89 partisipasi wanita
dalam pendidikan sekolah, terutama di SLTA dan PT masing-masing
meningkat dari 30,2% dan 4,7% pada tahun 1988/89 menjadi 33,2% dan
5,5% pada tahun keempat Repelita V. Demikian pula jumlah wanita yang
memasuki lapangan kerja meningkat dari 32,6% pada tahun 1980 menjadi
39,2% pada tahun 1990. Sementara itu komposisi jenis lapangan kerja
wanita juga mengalami perubahan. Dalam kurun waktu yang sama
partisipasi wanita di bidang pertanian menurun dari 53,7% menjadi 49,2%.
Sementara itu di bidang industri, perdagangan dan jasa, partisipasi wanita
terus meningkat dari 44,3% dalam tahun 1980 menjadi 49,1% dalam tahun
1990. Perubahan struktur lapangan kerja wanita tersebut mengikuti
perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri sesuai hasil
pembangunan. Demikian pula di bidang kesehatan, dalam kurun waktu yang
sama beberapa indikator juga menunjukkan adanya peningkatan. Angka
kematian ibu yang melahirkan menurun dari 450/100.000 kelahiran pada
tahun 1985 menjadi 340/100.000 kelahiran pada tahun 1990. Angka harapan
hidup wanita juga meningkat dari rata-rata 53,7 tahun dalam tahun 1980
menjadi 61,5 tahun pada tahun 1990.
Berbagai kemajuan tersebut antara lain menunjukkan bahwa
kebijaksanaan beserta langkah-langkah pelaksanaannya yang diarahkan untuk
XVIII/73
makin meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan yang telah dimulai
sejak Repelita III dan ditingkatkan terus sampai dengan tahun keempat
Repelita V, telah membuahkan hasil berupa kesempatan yang semakin
terbuka bagi para wanita untuk turut serta dan memegang peranan yang lebih
penting dalam setiap kegiatan pembangunan, masing-masing sesuai dengan
bakat, kemampuan dan perhatiannya.
Dalam Repelita V program Peningkatan Peranan Wanita (P2W)
dalam pembangunan dikelompokkan dalam berbagai kegiatan khusus P2W
dan kegiatan yang diintegrasikan dalam berbagai sektor pembangunan.
Kegiatan khusus P2W meliputi antara lain kegiatan pelatihan dan
penyuluhan, gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), gerakan
Bina Keluarga Balita (BKB) dan program terpadu Peningkatan Peranan
Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) serta kerja sama
internasional.
2.
Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a.
Kegiatan Pelatihan
(1)
Latihan
Pelatih
Kepemimpinan
Kepemimpinan Wanita
Wanita/Latihan
Untuk memenuhi kebutuhan akan wanita-wanita pemimpin yang
berkualitas, mulai tahun 1985 (Repelita IV) telah dikembangkan Latihan
Kepemimpinan Wanita (LKW) dan Latihan Pelatih Kepemimpinan Wanita
(LPKW). Tujuan LKW ialah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
serta memantapkan sikap mental para wanita pemimpin tingkat propinsi dan
tingkat kabupaten/kodya dalam kepemimpinan dan manajemen program,
sehingga mampu menjadi penggerak masyarakat dan terlibat dalam proses
pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan program, terutama
program peningkatan peranan wanita.
Selama kurun waktu Repelita IV telah dilaksanakan pelatihan bagi
2.873 orang wanita di 13 propinsi, yang dilaksanakan oleh Badan
Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) dan Gabungan Organisasi Wanita
(GOW) di daerah. Dalam lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89, Latihan
Kepemimpinan Wanita (LKW) lebih dikembangkan dan dilaksanakan pula
oleh berbagai instansi pemerintah serta organisasi kemasyarakatan, baik di
XVIII/74
tingkat pusat, propinsi dan maupun di tingkat kabupaten. Dalam lima tahun
tersebut telah dilakukan pelatihan LKW bagi 24.078 orang pemimpin
organisasi wanita. Jumlah ini lebih dari 8 kali lipat dibandingkan dengan
hasil pelatihan pada Repelita IV. Selain itu selama kurun waktu ter sebut
telah diselenggarakan pula 9 angkatan Latihan Pelatih Kepemimpinan
Wanita (LPKW) di 23 propinsi yang diikuti oleh 290 orang.
Sebagai hasil dari pelatihan-pelatihan tersebut para pemimpin wanita
dan organisasi-organisasi wanita telah lebih mampu berperan sebagai mitra
kerja pemerintah daerah dan sebagai anggota pimpinan di Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) dalam ikut berperan dalam pembangunan di daerahnya
masing-masing. Mereka banyak yang telah mampu berperan baik sebagai
anggota badan legislatif, pegawai pemerintah, pengusaha maupun sebagai
pemuka masyarakat.
(2) Pelatihan Teknik Analisis Gender
Kegiatan pelatihan teknik analisis gender bertujuan untuk
memperkenalkan petunjuk dasar teknik analisis gender atau analisis menurut
jenis kelamin untuk kepentingan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
program pembangunan. Sasaran pelatihan adalah para tenaga perencana dan
administrator pembangunan di berbagai lembaga pemerintah dan
masyarakat. Kegiatan telah mulai dikembangkan pada tahun 1990/91 dan
sejak itu telah mendidik 36 orang peserta sebagai pelatih inti.
Penyelenggaraan pelatihannya dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita. Dalam tahun 1992/93 kegiatan ini diprioritaskan
bagi para perencana dan administrator, serta bagi para peneliti dan
widyaiswara di berbagai Departemen dan Lembaga bukan Departemen
seperti di Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Kehutanan, BKKBN,
Lembaga Administrasi Negara serta Pusat Studi Wanita pada sejumlah
Perguruan Tinggi, dan di berbagai organisasi masyarakat; peserta
seluruhnya berjumlah 826 orang.
Dengan adanya pelatihan khusus tentang analisis gender ini berbagai
data dan informasi untuk perencanaan di beberapa sektor telah didasari
dengan wawasan gender, artinya telah memerinci data dan informasi
menurut jenis kelamin. Apabila dulu hanya dikenal adanya data gender di
sektor kependudukan (demografi) maka sekarang di bidang pendidikan,
XVIII/75
lapangan kerja, kesehatan, dan lain-lain juga telah mencantumkan data
laki-laki dan wanita.
Selain itu analisis gender juga telah meningkatkan kesadaran umum
akan masih adanya kesenjangan antara pria dan wanita di berbagai segi
kehidupan masyarakat yang dapat menghambat pembangunan. Melalui hasil
analisis gender ini dapat disusun kebijaksanaan dan perencanaan program
untuk mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan tersebut.
b.
Peningkatan Peranan
Sejahtera (P2WKSS)
Wanita
menuju
Keluarga
Sehat
Kegiatan P2WKSS telah dilaksanakan sejak awal Repelita III dan
merupakan kegiatan lintas sektoral terpadu yang diarahkan untuk
meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kesadaran dan sikap
mental wanita dalam meningkatkan dan mengembangkan keluarga sehat dan
sejahtera. Sasaran kegiatan ini adalah wanita berumur 19 sampai dengan
45 tahun dari keluarga yang kekurangan baik dilihat dari tingkat
pendidikannya maupun dari derajat kesehatan dan penghasilannya. Selain itu
diberikan perhatian pula kepada wanita yang berstatus sebagai kepala
keluarga di daerah pedesaan dan perkotaan yang masih tergolong rawan
keadaan sosial dan ekonominya.
Kegiatan ini dilaksanakan di setiap kabupaten, masing-masing
di 2 kecamatan. Di kecamatan yang ditunjuk tersebut masing-masing
ditetapkan 2 desa sebagai lokasi proyek. Pelaksanaan di tingkat Pusat
dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita
(Meneg UPW), sedangkan di tingkat daerah oleh aparat Pemerintah Daerah
yang bertanggung jawab atas pembangunan desa.
Sejak Repelita III sampai tahun keempat Repelita V P2WKSS telah
dilaksanakan di semua propinsi dan telah meliputi 296 kabupaten/kodya
3.906 kecamatan dan 7.832 desa. Jumlah tersebut termasuk yang
dilaksanakan dalam tahun 1988/89 sampai 1992/93 di 684 kecamatan dan
meliputi sebanyak 1.368 desa.
Dampak dari kegiatan P2WKSS antara lain adalah adanya dorongan
bagi masyarakat untuk berswadaya dalam penataan lingkungan kumuh,
penyediaan air bersih pedesaan, perbaikan saluran air, perbaikan MCK dan
XVIII/76
lain-lain; kesemuanya atas prakarsa dan peran serta wanita di desa setempat.
Selain itu kegiatan P2WKSS juga membantu pelaksanaan kegiatan sektoral
seperti P-4, pemberantasan tiga buta, penyuluhan pertanian, penyelenggaraan Posyandu, penyuluhan gizi, kesehatan dan Keluarga Berencana,
dan lain sebagainya.
Keikutsertaan P2WKSS dalam berbagai kegiatan sektoral tersebut
merupakan salah satu bukti adanya keterlibatan wanita tidak saja sebagai
sasaran pembangunan tetapi juga sebagai pelaku pembangunan.
c. Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
PKK sebagai Pendidikan Kesejahteraan Keluarga di mulai pada tahun
1967 di Propinsi Jawa Tengah. Pada akhir Repelita I (tahun 1972) PKK
sebagai Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dinyatakan sebagai gerakan
nasional wanita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik di daerah
perkotaan maupun di daerah pedesaan. Tujuan PKK adalah untuk
meningkatkan keterampilan dan memperluas pengetahuan wanita dalam
mewujudkan keluarga sehat sejahtera. Pelaksanaan kegiatannya didasarkan
atas 10 program-pokok PKK. Melalui kader-kadernya yang terlatih gerakan
PICK telah berhasil memotivasi masyarakat ke arah kehidupan yang sehat
dan sejahtera, rohaniah dan jasmaniah, di seluruh desa di Indonesia.
Kader-kader ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mengembangkan dan menghidupkan gerakan PKK. Untuk mendorong
berkembangnya gerakan PKK tersebut, sejak tahun 1982/83 Pemerintah
memberikan bantuan biaya operasional sebesar Rp 250.000,- untuk setiap
PKK di setiap desa sebagai bagian dari Inpres bantuan desa. Mulai tahun
1988/89 bantuan tersebut dinaikkan menjadi Rp 300.000,- kemudian sejak
tahun 1990/91 sampai tahun keempat Repelita V (1992/93) berturut -turut
meningkat lagi menjadi Rp 500.000,-, Rp 700.000,- dan Rp 900.000,untuk setiap PKK di setiap desa.
Dalam Repelita III, pada tahun 1982, dibentuk satuan-satuan
penggerak PKK untuk memantau pelaksanaan tugas-tugas PKK. Sampai
dengan akhir Repelita IV telah terbentuk satuan penggerak PKK di semua
propinsi, yang mencakup 296 kabupaten/kodya, 28 kota administratif, 3.526
kecamatan dan 66.174 desa. Selain itu juga telah dihasilkan lebih dari
1,4 juta orang kader umum dan 2,3 juta orang kader khusus PKK. Sejak
dibentuknya satuan penggerak, PICK juga telah aktif mendukung program
XVIII/77
pendidikan luar sekolah, khususnya kegiatan pemberantasan tiga but a, yaitu
buta aksara, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar, yang
diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk itu,
sampai akhir Repelita IV PKK telah ikut memelopori terbentuknya 453 ribu
Kelompok Belajar Paket A dan terbangunnya sekitar 58 ribu perpustakaan
desa. Di samping itu PKK juga aktif berperan serta dalam program
pelayanan kesehatan masyarakat dengan membentuk dan mengelola
214,5 ribu Posyandu serta membangun 6 juta lebih jamban keluarga dan
673 ribu unit MCK umum.
Selama lima tahun terakhir sejak 1988/89, prioritas kegiatan
ditujukan untuk lebih mendukung program pelayanan kesehatan masyarakat
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan wanita dan anak balita.
Prioritas ini ditetapkan untuk mendukung upaya percepatan penurunan
angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi dan anak balita,
dengan lebih memperbanyak pembentukan Posyandu dan meningkatkan
mutu pelayanannya. Salah satu kegiatan yang. dilaksanakan PKK untuk
memperluas jangkauan dan mutu pelayanan Posyandu adalah dibentuknya
Dasawisma, yaitu unit pelayanan terkecil dalam lingkungan PKK yang
terdiri dari 10-20 keluarga. Dengan Dasawisma ini setiap ibu yang
mengandung dan setiap anak balita yang ada di desa dapat dijangkau oleh
pelayanan Posyandu.
Setiap Dasawisma dilayani oleh satu atau dua orang kader PKK yang
telah dilatih secara khusus dan kader tersebut bertempat tinggal di
lingkungan Dasawisma. Dalam kurun waktu lima tahun sejak tahun 1988/89
telah berhasil dibentuk 3,6 juta kelompok Dasawisma dan sebagai
penunjangnya telah dilatih 232 ribu kader untuk mengintegrasikan
pembinaan dan pemantauan kegiatan PKK ke dalam setiap Dasawisma. Di
samping itu sejak tahun 1982 sampai tahun keempat Repelita V gerakan
PKK telah berhasil membantu mengembangkan 417,7 ribu Kelompok
Belajar Usaha, 929,7 ribu Kelompok Simpan Pinjam, 4,2 juta Kelompok
Serba Usaha, dan 15,4 juta Kelompok Usaha Bersama dan juga sejumlah
besar kelompok-kelompok Kejar Paket A, semuanya khusus untuk kelo mpok
wanita.
Dampak dari pelaksanaan kegiatan PKK di setiap desa di Indonesia
telah terlihat dengan makin berkembangnya pengetahuan, wawasan, sikap
dan perilaku wanita, baik diperkotaan maupun di daerah pedesaan ke arah
XVIII/78
yang lebih mendukung pelaksanaan pembangunan nasional di berbagai
bidang. Misalnya, melalui kelompok wanita tani dan nelayan, gerakan PKK
telah memberikan sumbangan dalam upaya pencapaian swasembada pangan;
melalui Posyandu dan Dasawismanya, gerakan PKK telah ikut berperan
serta dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita, keberhasilan
KB, dan perbaikan gizi masyarakat; dan sebagainya.
Atas keberhasilan PKK ikut berperan serta aktif dalam meningkatkan
derajat kesehatan anak terutama melalui Posyandu, gerakan PKK telah
mendapat penghargaan internasional berupa "Maurice Pate Memorial
Award " dari UNICEF di New York tanggal 18 April 1988 dan "Sasakawa
Health Prize" dari WHO pada tanggal 4 Mei 1988 di Genewa.
d. Bina Keluarga Balita (BKB)
Bina Keluarga Balita bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ibu
dan anggota keluarga lainnya dalam membina pertumbuhan dan
perkembangan anak Balita secara optimal. Kegiatan BKB terdiri dari
pelatihan kader BKB, pengadaan materi penunjang komunikasi informasi
edukasi (ME). BKB dan pembentukan kelompok-kelompok BKB. Bina
Keluarga Balita dimulai tahun 1981 di Cirebon, Semarang dan Ujung
Pandang sebagai proyek perintis. Agar berkembang menjadi suatu gerakan
masyarakat maka dalam bulan Desember 1991 oleh Presiden kegiatan BKB
di canangkan sebagai "Gerakan BKB". Sejak pencanangan tersebut kegiatan
ini berkembang pesat. Apabila dalam waktu Repelita III dan Repelita IV
kegiatan BKB hanya dilaksanakan di kurang lebih 1.200 desa, maka dalam
lima tahun terakhir (tahun-tahun 1988/89 - 1992/93), kegiatan tersebut telah
menjangkau lebih dari 24.500 desa. Propinsi-propinsi yang terbanyak
melaksanakan kegiatan BKB ialah Lampung, Bali dan Jambi. Di ketiga
propinsi tersebut kurang lebih 50% dari desanya telah menyelenggarakan
kegiatan BKB.
Gerakan BKB telah dirasakan manfaatnya bagi perkembangan anak
balita di pedesaan. Gerakan ini telah mendukung dan melengkapi
kegiatan-kegiatan Posyandu, KB dan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga
(UPGK) yang secara terpadu dilaksanakan di pedesaan. Dengan berbagai
kegiatan tersebut upaya peningkatan mutu fisik, mental dan spiritual
anak-anak dapat makin digalakkan.
XVIII/79
e. Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu
Kegiatan peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) dirintis oleh suatu
lembaga swadaya masyarakat dalam Repelita II. Tujuan kegiatan ini adalah
untuk meningkatkan kembali pemanfaatan ASI sebagai makanan bayi utama.
Kegiatan ini digalakkan berhubung dengan adanya kecenderungan makin
menurunnya penggunaan ASI bagi bayi terutama dikalangan masyarakat
perkotaan. Sebaliknya susu formula bayi yang makin gencar dipasarkan oleh
industri-industri susu makin meningkat penggunaannya. Padahal bagi
seorang bayi ASI lebih bermutu dan lebih sesuai bagi bayi daripada susu
formula.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan PP-ASI ditekankan pada
kegiatan penyuluhan mengenai pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi. Di samping itu dirintis pertemuan-pertemuan baik yang
bersifat ilmiah maupun umum untuk mendorong makin meluasnya kegiatan
PP-ASI. Dengan dukungan media massa kegiatan PP-ASI sejak dirintisnya
dalam Repelita II sampai akhir Repelita IV makin dikenal. Kegiatan PP -ASI
semakin berkembang sejak mulai dijalinnya kerja sama lembaga swadaya
masyarakat dengan pemerintah khususnya di bidang kesehatan, gizi, KB,
pendidikan dan agama pada tahun 1990. Dalam perkembangan selanjutnya,
kerja sama untuk menggalakkan PP-ASI tersebut dikoordinasikan oleh
kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita.
Dalam Repelita V kegiatan PP-ASI makin meningkat terutama
setelah Presiden Suharto mencanangkan adanya gerakan PP-ASI pada Hari
Ibu tanggal 20 Desember 1990. Sejak waktu itu kegiatan PP -ASI meluas di
semua daerah dan dilaksanakan oleh berbagai lembaga pemerintah termasuk
para Menteri Kabinet Pembangunan V, oleh berbagai organisasi profes i,
oleh lembaga swadaya masyarakat, dan terutama oleh PKK.
Oleh karena Rumah Sakit dan Rumah Bersalin memegang peranan
penting dalam menanamkan kebiasaan memberikan ASI kepada bayi, maka
sejak tahun 1991/92 digalakkan perlombaan "Rumah Sakit Sayang Bayi" di
semua daerah. Pada tahun keempat Repelita V, yaitu 1992/93, perlombaan
ini diperluas ke Puskesmas-puskesmas Perawatan yang melaksanakan
pertolongan dan perawatan persalinan. Sebagai hasil penilaian hasil lomba
tahun 1991/92, telah dicalonkan tujuh Rumah Sakit Pusat tipe A dan B di
lima propinsi untuk memperoleh akreditasi internasional sebagai Rumah
XVIII/80
Sakit yang sangat memperhatikan penggunaan ASI yang dikenal sebagai
"Baby Friendly Hospital Initiative".
Kegiatan lain dari PP-ASI dalam lima tahun terakhir, tahun-tahun
1988/89-1992/93, adalah membantu menggalakkan pelaksanaan kode etik
pemasaran susu formula bayi di kalangan produsen susu, sebagaimana
ditetapkan oleh WHO pada tahun 1983, mengenai "International Code of
Marketing of Breastmilk Substitutes". Salah satu hasil penggalakan tersebut
di Indonesia adalah adanya kesepakatan dari para produsen dan importir
susu untuk tidak melakukan promosi susu formula bayi di Rumah Sakit dan
Rumah Bersalin, serta untuk mematuhi peraturan yang berlaku mengenai
periklanan susu formula bayi.
Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V
ini juga digalakkan tempat-tempat penitipan bayi (TPA) bagi buruh wanita
yang mempunyai bayi, terutama buruh-buruh di perkebunan, perusahaan,
dan di pabrik. Dengan adanya TPA buruh wanita dapat melaksanakan
tugasnya memberikan ASI kepada bayinya pada waktu-waktu istirahat.
Guna mendukung berbagai kegiatan tersebut di atas, telah diterbitkan
berbagai macam publikasi mengenai ASI untuk berbagai keperluan, terut ama
untuk para kader kesehatan Posyandu, anggota PKK dan lain-lain.
f. Pendidikan dan Pendahuluan Bela Negara
Dalam upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan
pemantapan ketahanan dan stabilitas nasional, wanita mempunyai kedudukan
yang strategis dan bertanggung jawab guna melaksanakan Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara (PPBN) bagi anak dan remaja sejak dini dalam
keluarga. Hal ini sangat penting karena merupakan landasan pokok bagi
tumbuhnya rasa cinta tanah air, rasa tanggung jawab, kesiapan da n kerelaan
untuk memberikan pengorbanan demi membela dan menegakkan negara,
bangsa dan tanah air.
Kegiatan ini dilaksanakan sejak tahun 1990/91; dimulai dengan
penyusunan materi pecan simulasi Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
untuk wanita di daerah pedesaan, yang telah diujicobakan di DKI Jakarta.
Selanjutnya telah dilaksanakan pelatihan bagi 59 orang pejabat dan pimpinan
perusahaan dalam rangka penyediaan tenaga inti Pendidikan Pendahuluan
XVIII/81
Bela Negara bagi tenaga kerja wanita di pulau Batam; pelatihan bagi 50
orang pengurus KOWANI, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan Tim
Penggerak PKK tingkat Pusat; penataran bagi sejumlah anggota Tim
Penggerak PKK tingkat daerah, para anggota pengurus Dharma Wanita dan
Dharma Pertiwi Propinsi; dan pelatihan bagi 410 orang anggota pengurus
PKK Pusat dan Daerah. Pada tahun 1992/93 telah dilaksanakan pula
pelatihan, khususnya bagi 100 orang tenaga kerja wanita di Maluku dan
Kalimantan Timur.
g.
Pengembangan Pusat Studi Wanita
Pusat Studi Wanita didirikan path tahun 1990/91 dengan tugas:
melaksanakan penelitian dan analisa mengenai situasi wanita agar dapat
diketahui adanya berbagai permasalahan yang dihadapi wanita di
masing-masing daerah dan direncanakan langkah serta upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hasil penelitian dan
pengkajian tersebut merupakan masukan bagi perumusan kebijaksanaan,
strategi dan program serta langkah-langkah untuk peningkatan peranan
wanita sebagai bagian integral dari rencana pembangunan nasional dan
daerah yang berwawasan gender. Dari tahun 1990/91 sampai tahun 1992/93
Pusat Studi Wanita telah berkembang di 52 Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta di Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan para peneliti dalam
melakukan tugasnya, pada tahun 1992 telah dilaksanakan lokakarya
methodologi penelitian kebijaksanaan ekonomi makro dengan analisis
gender bertempat di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu pada
tahun tersebut juga diadakan pertemuan untuk memantapkan jaringan antar
Pusat Studi Wanita di berbagai universitas negeri.
h.
Pemantapan Mekanisme
Peranan Wanita
dan
Kelembagaan
Peningkatan
Dalam Repelita IV, telah dirumuskan kebijaksanaan dan langkah
untuk meningkatkan kelembagaan Peningkatan Peranan Wanita di pusat dan
di daerah dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perumusan
kebijaksanaan dan penyusunan rencana peningkatan peranan wanita. Untuk
itu di tingkat pusat ditetapkan Kepala Biro Perencanaan dari tiap -tiap
Departemen sebagai penanggung jawab koordinasi program P2W di dalam
XVIII/82
sektornya masing-masing. Di daerah, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri, Tahun 1990/91 untuk tingkat propinsi telah ditetapkan Wakil
Gubernur dan Asisten Sekwilda bidang Kesra di tiap daerah masing -masing
sebagai Ketua dan Sekretaris Tim Pengelola Peningkatan Peranan Wanita
tingkat propinsi. Di tingkat kabupaten, Sekwilda tingkat II dan Asisten
Sekwilda tingkat II bidang Kesra ditetapkan sebagai Ketua dan Sekretaris.
Sebagai tindak lanjutnya maka Menteri Negara Urusan Peranan Wanita telah
gala menerbitkan SK Nomor 02/KEP/MenUPW/IV/91 tentang Pengesahan
Pedoman Pelaksanaan Peningkatan Peranan Wanita Dalam Pembangunan
Bangsa di Pusat dan Daerah.
Untuk menunjang berbagai ketetapan tentang koordinasi program
P2W di daerah, pada tahun 1990 dan 1991 telah dilaksanakan berbagai
kegiatan penataran, lokakarya dan pelatihan bagi tenaga-tenaga dari
Bappeda, Bangdes, Sekwilda bidang Kesra, kantor Statistik, dan Pusat Studi
Wanita. Dalam pelatihan dan lokakarya tersebut, antara lain diberikan
latihan tentang analisis situasi wanita untuk tingkat propinsi, dan cara-cara
melakukan pemantauan dan evaluasi proyek-proyek P2W. Dengan kegiatan
analisis mengenai situasi wanita tersebut para petugas dari daerah yang telah
dilatih dapat memperoleh gambaran mengenai keadaan dan permasalahan
yang dihadapi oleh para wanita daerahnya masing-masing dan cara-cara
pemecahannya. Dengan pemantapan berbagai koordinasi di daerah, pelatihan
dan lokakarya-lokakarya tentang program P2W, kesadaran akan pentingnya
data kewanitaan yang dapat diperoleh dari teknik analisis gender, makin
terasa di daerah-daerah. Hal ini akan makin memperlancar penyusunan
kebijaksanaan dan pemecahan masalah kewanitaan di waktu-waktu yang
akan datang.
i.
Kerja Sama Luar Negeri
Peranan Indonesia dalam kerja sama antar negara mengenai wanita
dalam pembangunan tingkat ASEAN, tingkat regional dan internasional
terutama dalam Repelita V ini telah menjadi semakin menonjol. Dewasa ini
wanita Indonesia berpartisipasi dan duduk sebagai anggota maupun
pimpinan dalam berbagai lembaga internasional.
Di tingkat regional, pada tahun 1988 telah ditandatangani "Deklarasi
kemajuan wanita di kawasan ASEAN" yang merupakan landasan dari upaya
untuk meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan di negara -negara
XVIII/83
anggota ASEAN dan untuk meningkatkan kerja sama bagi kemajuan wanita
di negara-negara ASEAN. Deklarasi tersebut diperkuat lagi dengan
Deklarasi Singapura tahun 1992 yang ditandatangani oleh para Kepala
Negara/Pemerintahan negara-negara anggota ASEAN. Deklarasi Singapura
ini menyatakan bahwa kerja sama Fungsional ASEAN dirancang untuk
meningkatkan keterlibatan wanita yang lebih luas dan partisipasi yang lebih
meningkat dalam pembangunan negara-negara ASEAN guna memenuhi
kebutuhan dan aspirasinya. Pada tingkat ASEAN ini kerja sama telah
dilaksanakan melalui ASEAN Women Programme (AWP) yang merupakan
wadah kerja sama antar pemerintah, dan ASEAN Confederation of Women's
Organization
(ACWO)
sebagai
wadah
kerja
sama
antara
organisasi-organisasi wanita. Dalam kerja sama AWP Indonesia sejak tahun
1981 sampai dengan 1992/93 bertindak sebagai koordinator dari jaringan
kerja sama antara Pusat-pusat Informasi Wanita dalam pembangunan di
ASEAN. Dewasa ini dikelola oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah
UPI.
Selain di forum ASEAN, program P2W di Indonesia juga makin
mempunyai peranan di ESCAP. Dalam sidang ESCAP ke 47 tahun 1991 di
Seoul Indonesia ditunjuk untuk menjadi tuan rumah Konperensi Regional
Asia Pasific tingkat Menteri tentang Wanita Dalam Pembangunan bulan Mei
1994 di Jakarta, sebagai persiapan konperensi dunia tentang wanita pada
tahun 1995 di Cina.
Di tingkat internasional, peningkatan peranan wanita juga dimasukkan sebagai bagian dari Pesan Jakarta yang merupakan hasil KTT - X
Gerakan Non Blok bulan September 1992 di Jakarta. Dalam Pesan Jakarta
tersebut dinyatakan bahwa di dalam gerakan Non Blok peranan wanita diintegrasikan secara penuh dalam proses pembangunan negara-negara
anggotanya.
Selain itu, di tingkat internasional wanita Indonesia juga menjad i
anggota berbagai lembaga Internasional, antara lain:
1.
2.
Komisi PBB mengenai Kedudukan Wanita (1982-1986).
Anggota Dewan Pembina UN International Research and Training
Institute for The Advancement of Women (INSTRAW) (tahun-tahun
1984-1987 dan 1987-1990).
XVIII/84
3.
4.
5.
Anggota Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita
(CEDAW) (tahun-tahun 1986-1988 dan 1989-1991).
Salah seorang Wakil Ketua Dewan Pimpinan International Council of
Women (ICW) (tahun-tahun 1988-1993).
Anggota senior Women 's Advisory Group dari Badan PBB mengenai
Lingkungan Hidup (UNEP).
Dalam kerja sama antar negara, sejak tahun 1988 sampai tahun
1992/93 telah diadakan berbagai kunjungan kerja dan pertemuan-pertemuan,
antara lain kunjungan kerja ke Italia (1990), ke Canada (1991), ke Cina
(1991) dan New Zealand (1992); menghadiri berbagai pertemuan
internasional antara lain Sidang Majelis Umum PBB ke 45 untuk ikut dalam
pembahasan kedudukan wanita, pertemuan terbatas tentang penggunaan ASI
dan seminar tentang Wanita dan Krisis Ekonomi, Dampak, Kebijaksanaan
dan Prospeknya.
j.
Kegiatan di Berbagai Sektor Pembangunan
(1) Sektor Pertanian
Kegiatan di sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan peran
wanita tani dan nelayan dalam upaya meningkatkan produksi serta
meningkatkan nilai tambah dalam proses panen dan pemasaran hasil-hasil
pertanian. Kegiatan ini di mulai dalam Repelita III dengan kegiatan
pelatihan, penyuluhan, aneka usaha tani, dan pemanfaatan lahan pekarangan.
Dalam Repelita III dan Repelita IV diberikan penyuluhan pertanian dan
pelatihan keterampilan kepada anggota kelompok wanita petani kecil.
Penyuluhan dan pelatihan terutama mengenai cara-cara berproduksi dalam
industri kecil pertanian dan masalah pemasaran dan hasil-hasilnya. Untuk
mendukung upaya penyuluhan dan pelatihan ini kepada kelompok wanita
tani kecil yang sudah memperoleh penyuluhan dan pelatihan, diberikan
bantuan modal bergulir untuk usaha industri rumah tangga, koperasi dan
lain sebagainya, di bidang hasil pertanian. Penyuluhan dan pelatihan
dilaksanakan melalui Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Dalam Repelita III
sampai tahun 1992/93 jumlah BPP yang telah menyelenggarakan kegiatan
tersebut tercatat sekitar 1.400 buah yang lokasinya tersebar di semua
propinsi dengan sasaran anggota kelompok wanita petani kecil.
Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 untuk kelompok wanita tani
XVIII/85
nelayan juga diberikan kursus-kursus usaha tani nelayan dalam rangka
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan peluang untuk
dapat mencari tambahan pendapatan. Selama tahun 1988/89 sampai dengan
tahun 1992/93 telah dilaksanakan 502 paket kursus yang diikuti oleh sekitar
28.000 orang wanita tani dan nelayan dari 21.100 kelompok di 15 propinsi,
yaitu propinsi Jawa kecuali DKI Jaya dan Bali, Nusa Tenggara Barat, semua
propinsi di Sumatera kecuali DI Aceh, Riau dan Jambi, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Selain itu, dalam kurun waktu yang sama (1988/89-1992/93) telah
dibentuk 54 buah kelompok usaha bersama (KUB) bagi para wanita tani
nelayan. Sebagian besar dari KUB tersebut (37 buah) telah mendapat kredit
dari BRI, antara lain KUB-KUB di desa-desa Sidem(Jawa Timur),
Cipatuguran (Jawa Barat), Muara Angke (DKI Jakarta), Asem Doyong,
Pantai Sari dan Tasik Agung (Jawa Tengah) dan Ketapang (Lampung).
(2) Sektor Industri
Pembinaan peranan wanita dalam sektor industri ditujukan untuk
membina para wanita dalam kegiatan usaha industri kecil dan kerajinan
rumah tangga guna memperoleh lapangan kerja, meningkatkan pendapatan
keluarga dan sekaligus untuk mencegah urbanisasi kaum wanita ke
kota-kota.
Untuk pembinaan ini dibentuk kelompok usaha bersama (KUB)
dengan kegiatan kursus-kursus mengenai keterampilan pengelolaan
administrasi, keuangan dan teknik produksi dan keterampilan pengolahan
bahan baku. Selanjutnya ditingkatkan pula pengetahuan dan keterampilan
tentang perawatan dan penggunaan peralatan produksi, pengembangan dan
diversifikasi produksi, pengelolaan permodalan, dan pemasaran hasil
produksi.
Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 telah terbentuk
527 Kelompok Usaha Bersama yang terdiri dari sekitar 13.500 pengrajin
wanita di sejumlah kecamatan di 23 propinsi. Selama tahun-tahun 1988/891992/93 cabang industri kecil, dan jenis komoditi yang dihasilkan, antara
lain adalah: emping melinjo dan gula merah; sandang, seperti konveksi
pakaian jadi, sulaman tangan dan mesin, batik, tenun ikat, dan sasirangan;
dan kerajinan, seperti anyaman rotan, bambu dan pandan.
XVIII/86
(3)
Sektor Perdagangan
Di sektor perdagangan kegiatan peningkatan peranan wanita, yang
dimulai sejak Repelita III, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pengelolaan, keterampilan usaha dan kewiraswastaan dalam usaha dagang.
Sasarannya adalah para wanita pedagang golongan ekonomi lemah.
Pelaksanaan kegiatan ini diutamakan di sektor informal melalui kegiatan
pelatihan, penyuluhan dan temu usaha.
Sejak awal Repelita III sampai akhir Repelita IV melalui kegiatan ini
telah berhasil dilatih dan diberi penyuluhan sebanyak lebih dari 9.100
orang. Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 kegiatan pelatihan dan
penyuluhan ini, yang dilaksanakan di semua propinsi diikuti oleh sekitar
6.900 orang dan kegiatan temu usaha oleh kurang lebih 4.900 orang. Sejak
tahun 1991 telah dikembangkan pula kegiatan rintisan peningkatan
produktivitas pedagang kecil eceran di pasar tradisional, yang merupakan
kegiatan terpadu lintas sektoral yang dikoordinir oleh para walikota, di
11 kota.
Keberhasilan yang cukup menonjol dalam pembinaan di sektor
perdagangan ini adalah adanya sebuah kelompok usaha bersama (KUB) dari
Kabupaten Asahan yang telah berhasil mengembangkan komoditi lidi dari
daun kelapa yang mendapat bantuan dari mitra usaha untuk diekspor ke luar
negeri. Di samping itu juga telah dapat ditumbuhkan hubungan mitra usaha
antara kelompok usaha bersama (KUB) dari berbagai desa binaan industri
lintas sektoral dan PT Sarinah.
(4)
Sektor Koperasi
Peningkatan peranan wanita di sektor koperasi bertujuan untuk
menambah pengertian dan pengetahuan wanita mengenai manfaat dan
pentingnya koperasi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga dan untuk melakukan pembinaan para wanita di bidang
perkoperasian.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui penyuluhan perkoperasian dan
pelatihan kerja perkoperasian yang dimulai sejak Repelita III. Selama
Repelita III dan Repelita IV dalam bidang perkoperasian telah berhasil
disuluh dan dilatih sebanyak 8.584 orang wanita. Selama lima tahun
XVIII/87
terakhir sejak tahun 1988/89 telah berhasil disuluh dan dilatih sebanyak
17.645 orang wanita.
Peranan wanita dalam membantu keberhasilan pengembangan
perkoperasian cukup besar, dan telah banyak di antara para kader koperasi
wanita yang dilatih yang turut serta aktif dalam mengelola koperasi, baik
sebagai anggota Pengurus, anggota Badan Pemeriksa maupun sebagai
karyawan koperasi. Di samping itu telah banyak pula para kader yang
berupaya mendirikan koperasi-koperasi wanita atau mempelopori pendirian
koperasi karyawan di perusahaan tempat mereka bekerja.
(5)
Sektor Tenaga Kerja
Peningkatan peranan wanita di sektor tenaga kerja ditujukan untuk
meningkatkan produktivitas, perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga
kerja wanita. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan dan
pelatihan bagi tenaga kerja wanita baik yang sudah bekerja maupun yang
sedang mencari pekerjaan.
Kegiatan penyuluhan bagi tenaga kerja wanita antara lain meliputi
penyuluhan mengenai gizi dan kesehatan kerja, peraturan perundang-undangan yang menyangkut ketenagakerjaan, khususnya tentang hak
dan kewajiban bagi tenaga kerja wanita di perusahaan, serta mengenai
masalah keselamatan dan produktivitas kerja.
Selama Repelita III dan Repelita IV kegiatan penyuluhan telah
dilaksanakan di 133 perusahaan di 13 propinsi. Selama lima tahun terakhir
sejak 1988/89 kegiatan ini telah dilaksanakan di 18 propinsi, yaitu
propinsi-propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
DI Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Maluku. Di samping itu juga
telah dilaksanakan pelatihan bagi 120 orang tenaga pelatih Tempat Penitipan
Anak, dan penataran tentang hak dan kewajiban tenaga kerja, yang
seluruhnya diikuti oleh 500 anggota-anggota SPSI dan APINDO.
(6)
Sektor Transmigrasi
Di sektor transmigrasi, upaya peningkatan peranan wanita di mulai
XVIII/88
dalam Repelita IV. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan peran serta
wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan di daerah transmigrasi.
Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, wanita di daerah transmigrasi juga
ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya seperti dalam hal jahit
menjahit, usaha tani, pengolahan hasil, koperasi, KB, industri kecil dan
usaha dagang melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB).
Dalam Repelita IV telah dilatih sebanyak 645 orang wanita transmigran yang pemukimannya tersebar di 7 propinsi. Sejak tahun 1988/89
sampai dengan tahun keempat Repelita V, yaitu tahun 1992/93, pembinaan
wanita transmigran telah di perluas sehingga meliputi 80 UPT di 16 propinsi. Selanjutnya sebagai tindak lanjut pelatihan, telah dibentuk Kelompok
Usaha Bersama (KUB). Dalam kurun waktu yang sama telah dibentuk 150
KUB. Melalui KUB diadakan kegiatan temu wicara dengan para pengusaha
untuk memperoleh modal bagi koperasi yang akan dikembangkan di daerah
transmigrasi. Untuk meningkatkan peranan wanita di daerah transmigrasi,
telah diselesaikan suatu proyek percontohan dengan berbagai kegiatan yang
melibatkan wanita secara terpadu di 5 lokasi, yaitu di Sanggao Ledo
(Kalimantan Barat); Payao Klato (Kalimantan Timur); Taopa Lambunu
(Sulawesi Tengah), Air Kati (Bengkulu) dan Rawa Jitu (Lampung). Dalam
lokasi percontohan ini telah berhasil dikembangkan 48 Kelompok Usaha
Bersama (KUB), di antaranya 25 kelompok telah memperoleh bantuan kredit
dari Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Selain itu dalam waktu lima tahun tersebut telah diberikan
penyuluhan dan pelatihan tentang pemanfaatan lahan pekarangan bagi 500
kepala keluarga di setiap UPT, dan kegiatan 10 Program Pokok PKK bagi
400 kepala keluarga dengan 60 orang Kader PKK yang terlatih. Dengan
diperolehnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, maka para wanita
transmigran dapat menciptakan suasana "krasan" dan "mapan" bagi keluarga
yang bertempat tinggal di pemukiman transmigrasi tersebut.
(7) Sektor Kesehatan
Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor ini diarahkan untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang membantu dalam
pemeliharaan kesehatan diri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya, di
samping untuk mendorong para wanita agar ikut aktif menjadi kader
kesehatan, gizi keluarga berencana, dan kebersihan lingkungan, agar dapat
XVIII/89
berperan serta dalam Posyandu, Dasawisma dan Bina Keluarga Balita
(BKB).
Kegiatan yang dilaksanakan selama Repelita III dan Repelita IV
meliputi peningkatan pengetahuan dan keterampilan wanita dalam
pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dan keadaan gizi keluarga di 288
kabupaten/kotamadya yang meliputi 571 desa binaan. Di samping itu selama
kurun
waktu
tersebut
juga
dilaksanakan
penyuluhan
bagi
organisasi-organisasi wanita tentang perubahan cara hidup sehat dan
pembentukan keluarga kecil sehat dan sejahtera. Selama lima tahun terakhir,
yaitu tahun-tahun 1988/89-1992/93, telah dilaksanakan berbagai kegiatan
peningkatan kesadaran kelompok wanita dalam gerakan kebersihan di 300
kabupaten/kotamadya yang meliputi 600 desa. Di samping itu juga telah
dilaksanakan penyuluhan bagi kader-kader kesehatan dilingkungan petani,
nelayan dan pengrajin di 15 propinsi, yang diikuti oleh 8.190 orang,
peningkatan kepemimpinan wanita di bidang kesehatan bagi 8.085 orang
wanita di 27 propinsi, penyuluhan penanggulangan narkotika bagi organisasi
dan lembaga swadaya masyarakat wanita di 14 propinsi, dan penggalakan
penggunaan ASI di 27 propinsi serta pelatihan kesehatan wanita usia kerja
bagi 6.910 orang tenaga kerja wanita.
Penurunan angka kematian anak bayi dan balita serta penurunan
angka kematian ibu melahirkan merupakan salah satu hasil dari
kegiatan-kegiatan penyuluhan di bidang kesehatan ini yang dipaparkan di
atas ini.
(8) Sektor Agama
Kegiatan di sektor agama ditujukan untuk meningkatkan peranan
wanita dalam mewujudkan keluarga sehat bahagia dan sejahtera yang
dilaksanakan melalui pendekatan dan jalur agama. Kegiatan tersebut
dilaksanakan melalui jalur lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang berlatar belakang agama, seperti Fatayat NU, Aisyiah, Persatuan
Wanita Kristen Indonesia, Wanita Katolik Republik Indonesia, Persatuan
Sukaduka Hindu Dharma dan sebagainya.
Selama Repelita III dan Repelita IV kegiatan di sektor ini dititikberatkan pada penataran dan penyuluhan mengenai Undang-undang
Perkawinan bagi sekitar 16.000 orang yang tergabung dalam berbagai
XVIII/90
kelompok organisasi wanita. Di samping itu dalam kurun waktu tersebut
dilaksanakan penataran Keluarga Bahagia Sejahtera termasuk KB, kesehatan
dan gizi bagi sekitar 62.500 orang, termasuk para santri putri di pondok
pesantren dan para tenaga kerja wanita di perusahaan-perusahaan. Dalam
rangka menunjang Pengembangan dan Kelangsungan Hidup Anak (PKHA),
mulai tahun 1986, melalui sejumlah LSM keagamaan, telah dilakukan
penataran dan penyuluhan tentang imunisasi, gizi, pemeliharaan anak,
posyandu dan lain-lain bagi sekitar 18.500 anggota LSM di 11 propinsi.
Pada tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V kegiatan PKHA telah
berkembang di 13 propinsi dan dilaksanakan melalui 18 LSM keagamaan
yang mencakup 15 juta wanita.
Dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 1988/89 sampai tahun
1992/93, kegiatan di sektor ini lebih ditekankan pada penyuluhan Keluarga
Bahagia Sejahtera (KBS), yang diikuti oleh sekitar 19.000 tenaga kerja
wanita di perusahaan dan santri putri di beberapa Pondok Pesantren. Untuk
menunjang kegiatan ini disediakan sekitar 105.000 buku pedoman
penyuluhan.
(9) Sektor Pendidikan dan Kebudayaan
Kegiatan-kegiatan di sektor Pendidikan dan Kebudayaan ditujukan
antara lain untuk membebaskan wanita dari tiga buta, yaitu buta aksara latin,
buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Selanjutnya pelaksanaan
kegiatan di sektor ini antara lain ditekankan pada pelaksanaan kelompok
belajar Paket A, berbagai penataran dan kursus keterampilan praktis, Kejar
Usaha, dan pelatihan kepemimpinan wanita.
Selama Repelita III dan Repelita IV telah dilakukan pelatihan dan
pengembangan kegiatan belajar bagi 20,8 ribu orang wanita, pembentukan
sebanyak 8.219 kelompok belajar Kejar Paket A, dan Kejar usaha untuk
wanita, dan pelatihan kepemimpinan yang diikuti oleh 6.280 orang wanita.
Dalam rangka turut mengusahakan tercapainya Keluarga Sehat dan Sejahtera
melalui pendidikan keterampilan praktis untuk bermata pencaharian, telah
diterbitkan dan diedarkan sekitar 333 ribu eksemplar buku yang berjudul
Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera.
Selama lima tahun terakhir sejak 1988/89, telah dilaksanakan
pelatihan kepemimpinan wanita tingkat kabupaten/kotamadya yang diikuti
XVIII/91
oleh sebanyak 6.110 orang; dan pelatihan keterampilan praktis untuk
bermata pencaharian bagi sebanyak 6.000 orang wanita di tingkat
kecamatan. Selama itu dilanjutkan dan lebih digalakkan kegiatan
pemberantasan tiga buta melalui Kejar Paket A. Sebagai hasil dari kegiatan
ini antara lain tampak bahwa pada tahun 1990 wanita kelompok umur 10 -44
tahun yang buta aksara jumlahnya telah jauh berkurang dibandingkan
dengan keadaan tahun 1980.
(10)
Sektor Kesejahteraan Sosial
Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor kesejahteraan sosial
ditujukan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial kelompok
wanita dan keluarga yang rawan sosial ekonominya. Upaya tersebut
dilakukan melalui pelatihan keterampilan, penyuluhan dan pemberian buku
keterampilan untuk usaha industri rumah tangga.
Dalam kegiatan ini termasuk pelaksanaan Bimbingan Usaha Swadaya
Wanita Desa (USWD) dan Usaha Pencegahan Urbanisasi Wanita usia muda
ke kota. Sementara itu kepada kader pimpinan penggerak wanita tingkat
Kabupaten diberikan Pelatihan Kepemimpinan Wanita dalam bidang
pembangunan kesejahteraan sosial.
Selama Repelita III dan Repelita IV telah berhasil dibina dalam
sektor ini sekitar 49.500 orang melalui kegiatan bimbingan usaha swadaya
wanita desa, dan kurang lebih 9.000 orang melalui kepemimpinan wanita.
Dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 1988/89 sampai dengan tahun
1992/93 telah berhasil dibina dan dibantu sebanyak kurang lebih 3.750
orang wanita rawan sosial ekonomi yang tempat tinggalnya tersebar di
250 desa dan dibina sebanyak 1.710 orang kader pimpinan wanita dari
57 Kabupaten.
(11)
Sektor Hukum
Di sektor hukum, peningkatan peranan wanita bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran kaum wanita akan peranan dan kedudukannya
dalam masyarakat melalui pembentukan keluarga sadar hukum (Kadarkum)
wanita. Kadarkum wanita dilaksanakan melalui temu sadar hukum, simulasi
dan tebak silang dengan materi yang berkaitan dengan pemahaman akan
XVIII/92
berbagai hak, kewajiban dan kesempatan bagi wanita, baik dilingkungan
keluarga maupun dalam masyarakat dan dalam pembangunan.
Kegiatan kadarkum wanita yang dimulai tahun 1989/90 di 7 propinsi, pada tahun keempat Repelita V telah berkembang di 23 pr opinsi.
Beberapa kegiatannya antara lain berupa Lomba Kadarkum Wanita Tingkat
Propinsi/Dati I se Indonesia, yang diikuti oleh para pemenang lomba tingkat
Kabupaten/Dati II masing-masing. Selanjutnya pada tahun keempat Repelita V kegiatan kadarkum dikembangkan juga di tingkat kecamatan dan
desa.
Dalam rangka pembaharuan hukum nasional, terus pula dikembangkan
upaya
penyempurnaan
serta
pembaharuan
berbagai
peraturan
perundang-undangan yang masih kurang memperhatikan masih hak dan
kedudukan wanita, dan kurang membantu bagi berkembangnya kesempatan
untuk wanita misalnya dalam peraturan perundang-undangan tentang
perkawinan dan ketenagakerjaan.
(12) Sektor Penerangan
Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor penerangan bertujuan
untuk mendukung berbagai kegiatan peranan wanita di berbagai sektor di
daerah-daerah. Kegiatan ini dilakukan melalui siaran televisi dan radio
mengenai masalah-masalah peranan wanita dalam berbagai kegiatan
pembangunan.
Kegiatan ini di mulai sejak Repelita III melalui media radio dalam
acara Suara Wanita dan Pembangunan yang dipancarkan oleh RRI,
masing-masing 52 kali siaran dalam setahun. Pada waktu itu TVRI
menayangkan secara sentral acara Wanita dan Pembangunan. Kegiatan
penyebarluasan informasi mengenai peningkatan peranan wanita
dilaksanakan pula melalui pengintegrasian penerangan mengenai hal ini ke
dalam mata acara lain yang relevan, seperti siaran Dari Desa ke Desa,
Seputar Nusantara, Sinetron dan lain sebagainya. Selanjutnya, untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan Siaran Wanita dan
Pembangunan, telah pula dilaksanakan pelatihan dalam penulisan naskah,
serta teknik rekaman radio dan televisi. Kegiatan lainnya adalah kegiatan
penerangan khususnya untuk Wanita Pedesaan, termasuk daerah
transmigrasi dan nelayan, yang dilakukan oleh para juru penerang wanita.
XVIII/93
Pelaksanaan kegiatan penerangan wanita pedesaan ini ditunjang oleh
penerbitan berbagai bahan publikasi, seperti poster, leaflet dan buletin
penerangan wanita pedesaan.
Dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 1988/89 sampai dengan tahun
1992/93 telah dilaksanakan 26 kali temu karya Peranan Wanita Dalam
Pembangunan, yang dihadiri oleh 1.252 peserta pimpinan wanita
transmigrasi dan nelayan. Sedangkan dalam rangka mempertinggi mutu
penerangan dan informasi, mengenai peranan wanita dalam pembangunan
bagi para juru penerang yang membidanginya telah diadakan pelatihan yang
diperlukan; diikuti oleh 390 orang juru penerang wanita.
Untuk lebih meningkatkan pengertian dan pemahaman bersama
mengenai kebijaksanaan dan strategi tentang peningkatan kedudukan serta
peranan wanita dalam pembangunan, telah pula dilaksanakan temu karya
Media Massa, yang setiap tahunnya diselenggarakan bertepatan dengan
peringatan Hari Ibu.
XVIII/94
Download