KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, DAN PERANAN WANITA BAB XVIII KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PERANAN WANITA A. KESEHATAN 1. Pendahuluan Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Untuk itu dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya, maka derajat kesehatan rakyat perlu makin ditingkatkan. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 antara lain menetapkan bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan termasuk keadaan gizi masyarakat. Atas dasar GBHN tersebut, maka dalam Repelita V prioritas pembangunan kesehatan ditekankan pada upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan pencegahan penyakit, tanpa mengabaikan upaya penyembuhan dan pemulihan penyakit. Sejalan dengan prioritas tersebut, sasaran pokok pembangunan kesehatan dalam Repelita V diarahkan untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Anak Balita (AKABA), Angka Kematian Ibu Hamil, dan peningkatan umur hara pan hidup, serta peningkatan status gizi masyarakat. Program-program pembangunan kesehatan dalam Repelita V pada dasarnya merupakan kelanjutan dan peningkatan dari hasil -hasil XVIII/3 pembangunan kesehatan yang dicapai sejak Repelita I sampai dengan akhir Repelita IV. Jadi program kesehatan tahunan Repelita V diarahkan untuk pertama, memperluas jangkauan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar melalui Puskesmas. Kedua, meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Dan ketiga, meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rujukan. Ketiga program tersebut ditunjang oleh program-program lain seperti Penyediaan Air Bersih, Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman, Penyuluhan Kesehatan, Pengembangan Laboratorium Kesehatan, serta Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan Obat dan Makanan. Di samping itu untuk mendukung peningkatan berbagai program di atas, ditingkatkan pula kegiatan-kegiatan Pelatihan dan Pendidikan Tenaga Kesehatan serta Penelitian Kesehatan. Keberhasilan peningkatan program pembangunan kesehatan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V dan dampaknya pada derajat kesehatan antara lain adalah sebagai berikut. Dalam Repelita II yaitu pada tahun 1974 oleh WHO Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang telah bebas dari penyakit cacar. Pernyataan tersebut penting artinya bagi peningkatan pembangunan kesehatan dalam Repelita III dan seterusnya. Selain itu sukses tersebut telah meningkatkan kepercayaan kepada dunia akan kemampuan bangsa Indonesia dalam memberantas penyakit menular dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya. Dalam Repelita IV dan Repelita V berbagai indikator kesehatan yang penting seperti angka kematian bayi, keadaan gizi balita dan angka rata -rata harapan hidup, menunjukkan adanya peningkatan derajat kesehatan dan keadaan gizi masyarakat. Beberapa keberhasilan kesehatan yang telah dicapai oleh program pembangunan kesehatan sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V, digambarkan oleh berbagai indikator kesehatan sebagai berikut. Angka Kematian Bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju penurunan rata-rata 3,4% setiap tahunnya yang dicapai dalam periode Repelita I dan Repelita IV terus dapat dipertahankan sampai tahun 1992/93. Kecepatan laju penurunan ini cukup tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat penurunan AKB yang dialami oleh negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Dengan laju penurunan yang bermakna tersebut, maka AKB yang dalam Repelita I masih berkisar sekitar angka 142 per 1.000 kelahiran hidup telah dapat ditekan menjadi 112 per 1.000 kelahiran pada tahun 1980 dan kurang lebih 63 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Namun demikian, AKB XVIII/4 tersebut masih belum serendah yang diharapkan. Sementara itu dalam periode yang sama Angka Kematian Anak Balita dan Angka Kematian Ibu Hamil juga menunjukkan adanya penurunan. Dampak dari makin menurunnya AKB di atas, antara lain tercermin pada Angka Harapan Hidup. Angka Harapan Hidup penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata kurang dari 50 tahun pada awal Repelita I menjadi rata-rata 52,2 tahun pada tahun 1980 dan meningkat lagi menjadi 61,5 tahun pada tahun 1990 dan diperkirakan rata-rata 65 tahun pada akhir Repelita V. Melalui program perbaikan gizi, penurunan AKB dan peningkatan rata-rata Angka Harapan Hidup tersebut diikuti oleh perbaikan mutu anak Balita dan masyarakat pada umumnya. Perbaikan mutu tersebut antara lain dapat terlihat dengan makin baiknya keadaan gizi rata-rata anak Balita. Angka prevalensi gizi kurang anak Balita menurun dari 15,9% pada tahun 1978 menjadi 10,5% pada tahun 1989; atau menurun dengan 30% dalam satu dasawarsa. Sedangkan prevalensi gizi buruk selama itu juga turun dari 3% menjadi 1,4%. Demikian pula dalam hal masalah gizi lainnya, seperti kebutaan akibat kekurangan vitamin A, anemia gizi besi, dan kekurangan zat iodium. Dari penelitian gizi tahun 1991/92, masalah kebutaan akibat kekurangan vitamin A di daerah-daerah rawan gizi di Indonesia ternyata hampir hilang. Artinya dimasa yang akan datang tidak lagi banyak anak yang harus menderita buta karena kekurangan vitamin A. Demikian juga prevalensi anemia gizi besi dan kekurangan iodium dalam lima tahun terakhir ini (1988/89 sampai tahun 1992/93), menunjukkan angka -angka yang menurun dibanding keadaan pada Repelita I. Perbaikan keadaan gizi ini penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat. Dampaknya tidak saja pada pertumbuhan fisik anak-anak yang menjadi makin baik, tetapi juga tingkat perkembangan intelektual anak menjadi makin meningkat pula. Secara keseluruhan perbaikan gizi masyarakat juga meningkatkan produktivitas kerja yang diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi. Makin baiknya derajat kesehatan dan keadaan gizi masyarakat yang dicapai selama ini tidak terlepas dari keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi, terutama dengan makin berkurangnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lain. Bidang-bidang tersebut antara lain adalah pencapaian swasembada pangan, keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk melalu i KB, XVIII/5 peningkatan pendidikan, makin baiknya perumahan dan pemukiman rakyat termasuk penyediaan air bersih dan sanitasi, dan sebagainya. Dalam hal pelaksanaannya, program pembangunan kesehatan sejak Repelita II didukung oleh adanya Program Inpres Bantuan Sarana Kesehatan. Tujuan Inpres Bantuan Sarana Kesehatan adalah untuk makin memeratakan dan mendekatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat di semua daerah dan desa termasuk desa-desa terpencil. Pada awal Repelita I sarana pelayanan kesehatan masyarakat masih sangat terbatas. Untuk penduduk yang jumlahnya lebih dari 118 juta pada waktu itu baru tersedia 1.227 Puskesmas dan 1.125 rumah sakit dengan tenaga medis dan paramedis yang sangat terbatas. Pada awal Repelita I baru tersedia rata-rata 1 Puskesmas bagi 96.000 penduduk, 1 dokter bagi 23.000 penduduk, dan 1 tenaga perawat/bidan bagi 15.000 penduduk. Dengan adanya Inpres Bantuan Sarana Kesehatan, pada tahun 1992/93 satu Puskesmas (termasuk Puskesmas Pembantu) rata-rata hanya melayani 6.200 orang. Sedangkan seorang dokter dan tenaga perawat atau bidan rata -rata masing-masing melayani 6.100 orang dan 1.700 orang. Dibandingkan dengan keadaan dalam Repelita I maka jumlah masyarakat yang dilayani oleh Puskesmas dengan tenaga dokter dan perawat atau bidan makin memadai. Rasio-rasio tersebut merupakan ukuran yang baik bagi tercapainya perluasan pelayanan kesehatan. Salah satu kegiatan pembangunan kesehatan yang besar pengaruhnya terhadap angka kematian balita dan ibu melahirkan adalah kegiatan imunisasi. Pada awal Repelita I kegiatan ini sangat tidak memadai, yaitu masih terbatas pada pemberian beberapa jenis vaksinasi dengan cakupan yang relatif terbatas. Kemudian selama Repelita-repelita berikutnya jenis dan cakupan pemberian vaksinasi makin ditingkatkan. Demikianlah maka dalam Repelita IV secara nasional cakupan imunisasi mencapai 64,2%. Selama 5 tahun terakhir sejak tahun 1988/89 sampai tahun keempat Repelita V secara nasional Indonesia sasaran imunisasi bayi secara lengkap terus meningkat sehingga pada tahun 1991/92 mencapai 88,6%, di atas sasaran yang ditetapkan WHO sebesar 80,0%. Artinya kegiatan imunisasi yang dilaksanakan selama ini telah mencapai sasaran sebagian besar penduduk yang harus memperoleh perlindungan kekebalan terhadap penyakit melalui imunisasi. Dengan demikian upaya pencegahan penyakit-penyakit infeksi yang membahayakan kehidupan terutama bagi anak-anak, telah diperluas jangkauannya di masyarakat. XVIII/6 2. Pelaksanaan Program Pembangunan a. Program Upaya Pelayanan Kesehatan Masyarakat Upaya pelayanan kesehatan masyarakat merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan dasar terutama bagi ibu dan anak. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan melalui berbagai lembaga seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas Pembantu, Puskesmas Perawatan, dan Puskesmas Keliling atau Terapung disertai penempatan tenaga medis dan paramedis secara merata di setiap Puskesmas. Di daerah-daerah yang belum terjangkau sarana transportasi, seperti beberapa daerah di Irian Jaya, Maluku, Timor Timur dan Sulawesi Tenggara, pelayanan diberikan melalui pelayanan Puskesmas Keliling dengan Jalan Kaki. Artinya setiap kali tenaga Puskesmas harus berkeliling dari desa ke desa terpencil dengan berjalan kaki berhari-hari untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk secara teratur. Pelayanan kesehatan di tingkat desa diberikan oleh tenaga Puskesmas yang dibantu oleh Kader-kader kesehatan desa melalui kegiatan masyarakat dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Selain itu, mulai tahun kedua Repelita V sejumlah desa telah dilayani oleh seorang tenaga bidan yang khusus ditempatkan di desa. (1) Peningkatan (Puskesmas) Lembaga Pelayanan Kesehatan Dasar Sebelum Repelita I dimulai di seluruh Indonesia baru terdapat 1.227 buah Puskesmas dan pada akhir Repelita I menjadi 2.343 buah Puskesmas. Melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan yang dimulai sejak Repelita II selain Puskesmas juga dibangun Puskesmas Pembantu. Pada akhir Repelita IV jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu masing-masing meningkat menjadi 5.642 dan 17.413 buah. Dalam Repelita V pembangunan tersebut terus dilanjutkan, sehingga pada tahun keempat Repelita V jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang sudah dibangun masing-masing mencapai 6.749 buah dan 22.715 buah (Tabel XVIII-1). Hal ini berarti bahwa pada tahun keempat Repelita V jumlah Puskesmas meningkat menjadi lebih dari 5 kali jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1968. Dengan demikian jumlah sarana pelayanan kesehatan, khususnya Puskesmas, dibanding dengan kebutuhan penduduk makin memenuhi suatu XVIII/7 TABEL XVIII – 1 1) PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS, 1968 – 1992/93 1) 2) XVIII/8 Angka kumulatif sejak awal Repelita I Angka sementara sampai dengan Desember 1992 GRAFIK XVIII – 1 PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS, 1968 – 1992/93 XVIII/8 rasio yang dianggap memadai ditinjau dari efisiensi pelayanan. Untuk Jawa dan Bali rasio Puskesmas terhadap penduduk ditetapkan 1 Puskesmas untuk 30.000 penduduk dan didukung oleh 2-3 Puskesmas Pembantu. Di luar Jawa dan Bali yang penduduknya relatif tidak padat ditetapkan rasio 1 Puskesmas untuk 10.000-20.000 penduduk didukung juga oleh 2-3 Puskesmas Pembantu. Dengan jumlah Puskesmas sebanyak 6.749 buah pada tahun 1992/93, maka berarti satu Puskesmas rata-rata melayani 27.000 penduduk. Apabila jumlah Puskesmas Pembantu juga diperhitungkan maka jumlah keseluruhan Puskesmas pada tahun keempat Repelita V adalah sebanyak 29.464 buah sehingga satu Puskesmas melayani sekitar 6.200 penduduk. Sedangkan pada tahun 1968 rasio Puskesmas terhadap penduduk adalah satu Puskesmas melayani sekitar 96.000 penduduk dan pada akhir Repelita I rasio tersebut menjadi satu Puskesmas melayani 52.500 penduduk. Dengan demikian, kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih dekat dan lebih terjangkau, makin terbuka bagi masyarakat secara lebih merata pada tahun keempat Repelita V. Hal ini sudah tentu telah mendorong tercapainya derajat kesehatan rakyat yang jauh lebih tinggi. Dalam rangka mempertahankan fungsi pelayanan Puskesmas terutama oleh Puskesmas-puskesmas yang kondisi bangunannya rusak, baik sebagai akibat bencana alam maupun karena umur bangunan, maka sejak Repelita II melalui Inpres Bantuan Sarana Kesehatan dilaksanakan perbaikan Puskesmas secara teratur. Sampai dengan Repelita IV jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang diperbaiki sejumlah 4.351 buah dan 5.723 buah. Dalam lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) dilakukan perbaikan Puskesmas dan Puskesmas Pembantu masing-masing sebanyak 5.891 buah dan 10.309 buah. Sehingga sejak Repelita II sampai tahun keempat Repelita V jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang diperbaiki seluruhnya telah berjumlah masing-masing 10.242 buah dan 16.032 buah. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanannya, sejak Repelita III sejumlah Puskesmas ditingkatkan fungsinya menjadi Puskesmas Perawatan, yaitu Puskesmas dengan tempat tidur. Puskesmas Perawatan ini terutama dibangun di lokasi-lokasi yang jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan dan di tempat-tempat atau pulau-pulau terpencil. Sampai dengan akhir Repelita IV jumlah Puskesmas Perawatan tercatat sebanyak 1.038 buah, sehingga sampai tahun keempat Repelita V jumlah tersebut seluruhnya menjadi 1.438 buah. Puskesmas-puskesmas Perawatan tersebut dilengkapi dengan tenaga medis dan paramedis serta peralatan yang diperlukannya. XVIII/10 Untuk lebih meningkatkan cakupan pelayanannya dan agar petugas Puskesmas dapat aktif melakukan pelayanan di luar gedung Puskesmas sambil melakukan penyuluhan kesehatan, sebagian besar Puskesmas dilengkapi dengan Puskesmas Keliling Roda Empat atau, khusus untuk daerah sungai dan kepulauan dengan perahu bermotor. Puskesmas perahu bermotor sangat penting untuk pelayanan di daerah-daerah kepulauan yang terpencil. Selain itu untuk daerah kepulauan, daerah terpencil dan daerah perbatasan, sejak tahun 1985 pelayanan kesehatan juga ditingkatkan melalui pelayanan dokter terbang dan paket pelayanan Puskesmas Keliling Jalan Kaki. Sejak tahun ketiga Repelita V paket pelayanan kesehatan masyarakat diorganisir sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu di Propinsi Irian Jaya paket pelayanan ini karena terbatasnya prasarana jalan diberikan dalam bentuk Puskesmas Keliling Jalan Kaki dan di Propinsi Maluku dilaksanakan melalui paket pelayanan Gugus pulau. Dengan paket-paket pelayanan tersebut maka pemerataan pelayanan kesehatan makin meningkat terutama dilihat dari kepentingan penduduk daerah-daerah terpencil yang pada waktu-waktu lalu sulit terjangkau. Untuk menjamin tersedianya tenaga medis di daerah-daerah terpencil tersebut, sejak tahun 1991/92 dilakukan pula penempatan dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap, yaitu tenaga dokter yang ditugaskan dalam waktu tertentu tanpa harus menjadi pegawai negeri dan diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilan lokasi penempatannya. (2) Peningkatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Berbagai masalah kesehatan masyarakat terutama diderita oleh golongan yang secara biologis rentan terhadap penyakit yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak umur di bawah lima tahun (balita). Oleh karena itu salah satu upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Upaya peningkatan pelayanan KIA mencakup kegiatan-kegiatan pencegahan dan perawatan penyakit serta pemulihan kesehatan ibu dan anak. Keberhasilan dalam upaya ini akan membantu menurunkan angka kematian ibu melahirkan, kematian bayi dan kematian anak balita. Pada awal Repelita I pelayanan di bidang pelayanan KIA dilaksanakan melalui Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) yang dipimpin XVIII/11 oleh seorang bidan. Kemudian, mulai Repelita II, secara berangsur-angsur dilakukan penggabungan BKIA dengan Balai Pengobatan Klinik/Poliklinik menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan tujuan menyatukan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan pelayanan poliklinik di bawah satu atap. Dalam periode tersebut jumlah Puskesmas, jumlah dan jenis tenaga kesehatan, dan keadaan sarana/prasarana Puskesmas masih belum memadai, sehingga cakupan dan jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada masyarakat juga masih terbatas. Kekurangan ini mulai ditanggulangi dengan pembangunan Puskesmas secara meluas dan terus menerus, disertai penyediaan tenaga dan peralatannya. Seperti telah diuraikan dimuka dalam Repelita V jumlah Puskesmas sudah hampir memadai dan penyebarannya merata di hampir seluruh tanah air. Peranan pelayanan KIA melalui Puskesmas dan Puskesmas Pembantu makin efektif setelah didukung oleh peran serta masyarakat dalam bentuk Pos Pelayanan Terpadu yang dikenal dengan Posyandu. Dengan pelayanan terpadu melalui Posyandu berbagai pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi, perbaikan gizi, perawatan kesehatan ibu dan anak, KB dan penyuluhan kesehatan, dapat lebih menjangkau sasaran, yaitu ibu dan anak di daerah pedesaan dan terpencil. Posyandu merupakan bentuk peran serta masyarakat yang nyata khususnya oleh PICK dan organisasi wanita lainnya. Peningkatan peran serta PKK tersebut memungkinkan Posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat berkembang dengan pesat. Apabila pada akhir Repelita III baru tercatat sebanyak 25.000 Posyandu, pada akhir Repelita IV menjadi lebih dari 213.000 buah, dan pada tahun 1992/93 menjadi 241.000 Posyandu. Berarti bahwa pada tahun keempat Repelita V di setiap desa rata-rata terdapat 4 Posyandu. Dengan makin meluasnya Posyandu sampai di desa-desa terpencil maka masyarakat terutama ibu dan anak dapat memperoleh pelayanan kesehatan tidak jauh dari rumahnya, terutama untuk pelayanan pencegahan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, penimbangan berat badan anak, pemasangan alat KB dan sebagainya. Dengan demikian sasaran pelayanan kesehatan pencegahan untuk semua desa termasuk yang terpencil dapat dilaksanakan melalui Posyandu. Hal tersebut sulit dijangkau oleh pelayanan Puskesmas yang jumlahnya relatif lebih terbatas. Dampak dan meluasnya Posyandu antara lain terlihat pada percepatan pencapaian sasaran imunisasi, sasaran pemantauan keadaan gizi balita, pencapaian sasaran aseptor KB, dan makin cepatnya disadari masyarakat akan pentingnya pemeriksaan kandungan, imunisasi, gizi dan lain-lain terutama bagi ibu dan anak. XVIII/12 Berkat makin meningkatnya jumlah fasilitas, jenis dan mutu pelayanan kesehatan yang tersedia di Puskesmas, yang ditunjang pula oleh peran serta masyarakat melalui Posyandu, maka khusus dalam kegiatan imunisasi, pada tahun ketiga Repelita V secara nasional Indonesia telah berhasil mencapai sasaran "Universal Child Immunization (UCI)" dengan cakupan sebesar 88,6%. Artinya sebanyak 88,6% dari jumlah bayi yang ada telah mendapat imunisasi lengkap yang meliputi vaksinasi BCG, DPT, Polio dan Campak. Besarnya cakupan ini telah melampaui besarnya cakupan yang ditetapkan oleh WHO sebagai target nasional, yaitu 80%. Pencapaian UCI, yang ditunjang dengan perbaikan gizi anak Balita, telah menurunkan Angka kematian Bayi dan meningkatkan mutu kehidupan anak-anak Balita. Dalam rangka terus meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan, dalam Repelita V telah ditetapkan kebijaksanaan untuk menempatkan bidan di desa-desa. Tujuannya adalah agar nantinya di setiap desa setidak-tidaknya terdapat seorang bidan yang dapat memberikan pelayanan KIA, baik sebagai perorangan maupun sebagai tenaga kesehatan Puskesmas. Untuk tujuan tersebut selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dididik dan ditempatkan di desa sebanyak 19.400 bidan yang dilengkapi dengan peralatan bidan. Namun demikian jumlah bidan untuk dapat melayani seluruh penduduk desa masih sulit dicapai. Oleh karena itu upaya pelatihan dukun bayi yang telah dimulai sejak Repelita I tetap dilanjutkan dan ditingkatkan. Di setiap desa pada umumnya terdapat lebih dari satu orang dukun bayi. Sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V telah dilatih sekitar 124 ribu dukun bayi. Sebagian dari mereka tentunya sudah lanjut usia dan ada yang sudah meninggal sehingga terus terjadi peremajaan oleh dukun bayi yang relatif muda usia. Dengan demikian pelatihan dukun bayi perlu terus berlanjut. Dengan mulai masuknya bidan ke desa maka dukun bayi yang terlatih dapat menjadi mitra kerja bidan. Untuk persalinan normal dapat ditolong oleh dukun bayi, sedangkan untuk persalinan dengan kesulitan dilakukan oleh bidan. Selain itu bidan juga diperlukan untuk kegiatan-kegiatan kesehatan pencegahan sebagai penyuluh kesehatan dan gizi, memberikan imunisasi, memasang alat KB, dan memberikan pengobatan dan pertolongan darurat sebelum dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit. XVIII/13 (3) Pemeliharaan Kesehatan Usia Sekolah Program ini merupakan program yang telah dilaksanakan sejak Repelita I. Tujuannya adalah untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan anak sekolah. Kegiatannya dilaksanakan di semua tingkat sekolah, mulai dari SD sampai dengan SMTA. Kegiatan yang dilaksanakan dalam program ini antara lain adalah pemeriksaan kesehatan gigi, pemberian bimbingan dan pedoman mengenai pemeliharaan kesehatan badan, pemeliharaan kebersihan lingkungan, dan perbaikan gizi termasuk pengawasan terhadap warung-warung sekolah. Sampai akhir Repelita III jumlah sekolah yang dibina dalam rangka pelaksanaan program ini berjumlah lebih dari 100 ribu buah. Selama Repelita-repelita berikutnya jumlah sekolah yang dibina terus ditingkatkan, sehingga sampai dengan tahun keempat Repelita V sekolah yang dibina oleh Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) berjumlah lebih dari 150 ribu sekolah. Dengan peningkatan tersebut diharapkan kemampuan hidup sehat anak sekolah, dan dengan demikian juga derajat kesehatan mereka dan prestasi belajar mereka akan makin meningkat. Di samping itu untuk meningkatkan efektifitas pembinaan UKS, selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diselenggarakan pelatihan pengelolaan UKS di seluruh propinsi. (4) Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut Program ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang diberikan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Sampai akhir Repelita III sebagian besar pelayanan kesehatan gigi hanya diberikan di Rumah Sakit. Dalam Repelita IV mulai dikembangkan juga pelayanan kesehatan gigi di Puskesmas. Di samping itu untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan gigi jumlah dokter gigi terus ditambah, sehingga sampai akhir Repelita IV jumlah dokter gigi yang ditempatkan di Puskesmas dan Rumah Sakit berjumlah 749 orang. Selama lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai tahun keempat. Repelita V jumlah tenaga dokter gigi dan peralatan standar kedokteran gigi di Puskesmas dan Rumah Sakit terus ditingkatkan. Sampai tahun keempat Repelita V jumlah dokter yang telah ditempatkan di Puskesmas dan Rumah Sakit meningkat menjadi 2.184 orang, sehingga pada tahun tersebut seorang XVIII/14 dokter gigi rata-rata melayani 3 Puskesmas. Di samping itu bagi dokter gigi yang ditempatkan di Puskesmas, selain dilengkapi dengan peralatan standar pelayanan kesehatan gigi secara bertahap disediakan juga sarana transportasi dan fasilitas perumahan. (5) Pelayanan Kesehatan Jiwa Dalam Repelita I dan II pelayanan kesehatan jiwa juga hanya dilakukan di Rumah-rumah Sakit Jiwa. Pada waktu itu seluruh RS Jiwa baru berjumlah 34 buah, sebagian besar terletak di beberapa ibu kota propinsi. Dalam Repelita III dan IV dilaksanakan pembangunan dan perbaikan RS Jiwa, seluruhnya sebanyak 11 buah. Sementara itu pelayanan kesehatan jiwa diintegrasikan juga dengan pelayanan Puskesmas dalam suatu sistem rujukan. Sistem rujukan ini dirintis di beberapa Puskesmas dan RS. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V sistem rujukan ini telah dilaksanakan di lebih dari 400 Puskesmas dan 93 Rumah Sakit. Melalui sistem rujukan ini kegiatan pencarian penderita gangguan jiwa di pedesaan dan penjaringan gelandangan psikotik di kota-kota, dengan bekerja sama dengan berbagai instansi yang terkait dapat dilaksanakan makin intensip. Di samping itu guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan jiwa kepada para dokter umum dan tenaga paramedik diberikan pelatihan dalam peningkatan keterampilan di bidang psikiatri, penanganan efek samping obat psikotropik, okupasi terapi dan penyalah gunaan zat aditif. (6) Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pelayanan Laboratorium Kesehatan adalah pelayanan yang melengapi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit dan di Puskesmas dalam suatu sistem rujukan. Di samping itu Pelayanan Laboratorium Kesehatan juga merupakan rujukan untuk keperluan program pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Sejak Repelita I baik jumlah maupun mutu pelayanan laboratorium kesehatan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan mutu pelayanan di lembaga kesehatan lainnya. Selama Repelita I baru dibangun 11 Balai Laboratorium Kesehatan (BLK), sedangkan pada Repelita II dibangun lagi sebanyak 7 buah BLK. Sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah BLK yang telah dibangun XVIII/15 mencapai 25 buah. Sejalan dengan pembangunan gedung laboratorium, pembinaan terhadap laboratorium Rumah Sakit Kabupaten, Puskesmas dan laboratorium swasta juga ditingkatkan. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, melalui kegiatan rujukan pelayanan laboratorium kesehatan telah dilaksanakan bimbingan teknis kepada laboratorium RS dan Puskesmas dari seluruh propinsi di Indonesia rata-rata setiap tahun sebanyak 150 kali. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan teknis tenaga laboratorium, selama Repelita V telah dilaksanakan pelatihan untuk 603 orang tenaga dari BLK dan RSU Dati II serta 2.605 orang tenaga laboratorium dari Puskesmas. Di samping itu, dilatih pula 27 orang. tenaga teknis dari BLK dan RSU Dati II. Pelayanan laboratorium kesehatan di sektor swasta juga mengalami kemajuan. Bila pada akhir Repelita IV baru terdapat 421 laboratorium klinik swasta di 25 propinsi, maka pada pertengahan tahun keempat Repelita V telah mencapai 517 laboratorium klinik swasta di 27 propinsi. Kemampuan pemeriksaan BLK selalu meningkat dari tahun ke tahun. Selama Repelita III, baru 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan terhadap Hepatitis B. Pada Repelita IV dan V, seluruh BLK sudah mampu menangani pemeriksaan Hepatitis B. Sedangkan untuk pemeriksaan AIDS, dalam Repelita IV hanya 6 BLK yang mampu melakukan pemeriksaan, yang kemudian bertambah menjadi 8 buah BLK pada tahun pertama Repelita V. Dengan makin lengkapnya peralatan dan makin banyak tenaga BLK yang dilatih secara khusus, maka pada tahun keempat Repelita V, seluruh BLK sudah mampu melakukan pemeriksaan AIDS. Selain itu, sejumlah 33 Labo ratorium Rumah Sakit dan 118 laboratorium PMI di seluruh Indonesia juga telah mampu melakukan pemeriksaan AIDS. b. Program Upaya Kesehatan Rujukan Upaya kesehatan rujukan ialah kegiatan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang menerima atau memberi rujukan berupa orang sakit, bahan pemeriksaan, dan informasi dari lembaga pelayanan kesehatan lainnya, terutama Puskesmas dan Laboratorium Kesehatan. Jaringan upaya rujukan ini dimulai dari Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sampai RS kelas D dan C bahkan kalau dianggap perlu sampai ke RS kelas B dan A. Oleh karena itu XVIII/ 16 salah satu upaya untuk mengefektifkan pelayanan rujukan ini adalah meningkatkan jumlah dan meningkatkan mutu lembaga pelayanannya. Peningkatan jumlah dan mutu pelayanan RS mulai dilaksanakan sejak Repelita I. Pada akhir Repelita I jumlah RS seluruhnya tercatat 1.116 buah, terdiri dari Rumah Sakit Pusat 45 buah, Rumah Sakit Propinsi/Kabupaten/Kotamadya 347 buah, Rumah Sakit ABRI dan Departemen lainnya 221 buah, dan Rumah Sakit Swasta 503 buah (Tabel XVIII-2). Dari Repelita ke Repelita jumlah RS dan tempat tidur terus bertambah, sedangkan pertambahan terbesar berbagai jenis RS tersebut terjadi selama Repelita IV, yaitu 225 buah RS dan 11.949 tempat tidur. Penambahan jumlah terbanyak terjadi pada RS Swasta yaitu bertambah . sebesar 31% dibanding jumlah RS Swasta pada Repelita sebelumnya. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan rujukan makin meningkat. Selama lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah RS dan tempat tidur terus meningkat pula, sehingga pada tahun keempat Repelita V jumlah RS dan tempat tidur masing-masing bertambah menjadi 1.638 buah dan 123.441 buah. Dengan demikian sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V jumlah RS seluruhnya meningkat dari 1.116 buah pada akhir Repelita I menjadi 1.638 buah pada tahun 1992/93 atau meningkat lebih dari 45%. Dengan peningkatan jumlah RS yang disertai peningkatan jumlah Puskesmas di seluruh kecamatan maka jaringan rujukan pelayanan kesehatan dari Puskesmas ke RS atau sebaliknya menjadi makin meluas. Dalam Repelita V, kebijaksanaan pelayanan RS ditingkatkan terutama untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan. Untuk itu sejumlah RS kelas D ditingkatkan menjadi kelas C, dan RS kelas A dibangun baru di Medan dan Ujung Pandang, serta pembangunan RS kelas B dan C di beberapa kota, yaitu Manado, Cirebon, Banjarmasin, Mataram, Balikpapan, Ambon, Jambi, dan Palangkaraya. Sejalan dengan peningkatan kelas RS pengadaan dokter umum dan dokter spesialis termasuk peralatan medis dan non medis makin juga ditingkatkan jumlahnya. Di samping itu juga dilakukan rehabilitasi gedung dan pengadaan peralatan medis dan non medis serta pelatihan tenaga medis dan paramedis RS untuk sebagian besar rumah-rumah sakit propinsi/kabupaten/kotamadya. Sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pelayanan RS, sejak tahun kedua Repelita V unt uk semua jenis RS Pemerintah Pusat dan XVIII/17 TABEL XVIII – 2 1) PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS) DAN TEMPAT TIDUR (TT), 1968 – 1992/93 1) 2) Angka kumulatif sejak awal Repelita I Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/18 GRAFIK XVIII – 2 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT, 1968 – 1992/93 XVIII/19 Pemerintah Daerah disediakan anggaran untuk Operasional dan Pemeliharaan. Biaya Operasional dan Pemeliharaan tersebut dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan Operasional dan Pemeliharaan yang selama ini disediakan dari biaya rutin melalui APBN dan APBD. Setiap tahunnya untuk 414 buah RS disediakan anggaran rata-rata Rp 164 juta per RS. Dengan tersedianya anggaran Operasional dan Pemeliharaan yang cukup memadai tersebut di atas, penampilan fisik serta mutu pelayanannya RS Pusat dan Daerah makin bertambah baik. c. Program Pemberantasan Penyakit Menular Salah satu masalah kesehatan yang besar dihadapi dalam Repelita I adalah masih meluasnya penyakit menular. Hal ini erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan keadaan kesehatan lingkungan yang masih belum memadai. Di samping itu pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat belum mendukung, sedangkan sarana kesehatan belum memadai. Oleh karena itu perkembangan dan keberhasilan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular tidak dapat berdiri sendiri. Keberhasilannya sangat tergantung keberhasilan pembangunan di bidang lain seperti penanggulangan kemiskinan, penyediaan air bersih dan sanitasi yang cukup, perumahan yang layak, pendidikan dan lain sebagainya. Upaya pemberantasan penyakit menular dimulai jauh sebelum Repelita I. Pada awal Repelita I kegiatan pemberantasan penyakit menular diprioritaskan pada peningkatan pemberantasan penyakit malaria, cacar, TB Paru, Cholera El Tor, Frambusia dan Kusta serta penyakit kelamin. Berhubung dengan masih terbatas upaya penyediaan vaksin dan belum adanya lembaga pelayanan kesehatan masyarakat yang merata di semua lapisan masyarakat, maka kegiatan Vaksinasi waktu itu diprioritaskan untuk pencegahan penyakit cacar dan TB Paru. Kegiatan tersebut telah membawa hasil yang sangat penting dalam Repelita II, yaitu pada tahun 1974 Indonesia oleh WHO dinyatakan "bebas cacar". Pernyataan WHO tersebut penting artinya bagi kesehatan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional karena salah satu negara asal penularan penyakit Cacar telah dihapuskan. Selain itu sebagai hasil dari berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit maka penyakit frambusia atau patek yang sebelumnya dinyatakan endemis di Indonesia, XVIII/20 mulai Repelita III dianggap tidak membahayakan lagi kecuali untuk beberapa lokasi di luar Jawa dan Bali. Sejak awal Repelita III upaya pemberantasan penyakit menular dipusatkan pada peningkatan kegiatan imunisasi, terutama untuk penyakitpenyakit yang banyak menyerang dan menyebabkan kematian anak balita seperti difteri, tetanus, pertusis, poliomyelitis dan campak. Penyakit lain yang juga diberikan prioritas pemberantasannya antara lain adalah penyakit malaria, diare, demam berdarah, TB Paru, penyakit kelamin, kusta, kaki gajah (filariasis), gila anjing dan demam keong (Schistosomiasis). Di samping itu ditingkatkan pula kegiatan pengamanan sumber penularan penyakit karena perpindahan penduduk termasuk pengawasan kesehatan jemaah haji dan transmigran. Sejak Repelita IV sampai tahun keempat Repelita V upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular menjadi makin efisien dan efektif karena dipadukan dengan upaya kesehatan lainnya seperti KIA, perbaikan gizi, KB dan sebagainya yang ditunjang oleh peran serta masyarakat melalui kegiatan Posyandu. Adapun perkembangan kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dari upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular adalah sebagai berikut: (1) Imunisasi Berbagai penyakit menular dapat dicegah penularannya dengan memberikan kekebalan dengan imunisasi kepada masyarakat terutama golongan masyarakat yang secara biologis sangat rawan terhadap penyakit menular. Mereka adalah bayi, anak di bawah umur lima tahun (balita), ibu mengandung dan anak sekolah dasar. Tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu yang melahirkan dapat ditekan antara lain dengan memberikan imunisasi kepada golongan rawan biologis tersebut. Beberapa penyakit menular yang membahayakan golongan rawan tersebut tetap dapat dicegah dengan imunisasi terutama adalah: cacar, polio, campak, tetanus, difteri, tipus dan TB paru. Oleh karena itu, salah satu prioritas dalam upaya pemberantasan penyakit menular adalah penggalakan program imunisasi yang dimulai sejak awal Repelita III. Tujuannya adalah untuk menekan angka kematian bayi dan balita dan menurunkan angka kematian ibu melahirkan. XVIII/21 Pada awal Repelita I pemberian vaksinasi baru satu jenis, yaitu vaksinasi BCG untuk bayi, anak prasekolah, dan anak kelas VI SD. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksinasi BCG pada anak prasekolah dan anak kelas VI SD hasilnya kurang efektif, sehingga secara bertahap pada Repelita II sasaran pemberian vaksinasi BCG ditujukan pada bayi dan anak prasekolah dan mulai Repelita III sasaran pemberian vaksinasi BCG hanya ditujukan pada bayi. Sejak dari Repelita II jenis dan cakupan pemberian vaksinasi terus ditingkatkan, sehingga pada Repelita III mulai dilaksanakan pemberian imunisasi lengkap yang mencakup vaksinasi BCG, DPT, Polio, dan Campak. Di samping itu juga digalakkan vaksinasi Tetanus Toksoid (TT) pada calon pengantin, ibu hamil, serta TT dan Diptheri Tetanus (DT) pada anak prasekolah. Dengan makin meningkatnya berbagai jenis dan cakupan vaksinasi tersebut, maka pada Repelita IV cakupan bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap mencapai 64,2%. Di samping itu sejak tahun kedua Repelita V telah pula diberikan imunisasi Hepatitis B untuk bayi-bayi dari 10 propinsi yang mempunyai angka kesakitan yang tinggi. Angka pencapaian imunisasi tersebut terus ditingkatkan sehingga pada tahun ketiga Repelita V secara nasional Indonesia telah melampaui sasaran Universal Child Immunization (UCI) dengan cakupan sebesar 88,6%, artinya sebanyak 88,6% dari jumlah bayi yang ada telah mendapat imunisasi lengkap. Sasaran UCI yang ditetapkan WHO secara internasional adalah 80,0%. Pada tahun keempat Repelita V, sasaran UCI tersebut tidak saja dicapai ditingkat nasional saja, tetapi juga telah dicapai oleh 25 propinsi di Indonesia. Dengan tercapainya UCI dihampir semua propinsi berarti bahwa cakupan imunisasi menjangkau semua daerah secara merata. Hal tersebut mencerminkan makin meratanya pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat dan makin efektifnya sarana dan prasarana kesehatan yang ada terutama Puskesmas yang didukung oleh Posyandu, khususnya dalam hal pelayanan imunisasi. Pencapaian sasaran-sasaran UCI tersebut amat penting artinya karena menunjukkan bahwa kegiatan imunisasi yang dilaksanakan selama ini telah mencapai sebagian besar sasaran penduduk yang harus memperoleh perlindungan kekebalan dengan imunisasi. Dengan demikian upaya pencegahan berjangkitnya penyakit-penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian terutama bagi anak-anak semakin meningkat. Hal ini berarti pencapaian sasaran UCI memacu upaya menurunkan angka kematian XVIII/22 bayi dan kematian ibu melahirkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. (2) Penyakit Malaria Pada awal Repelita I penyakit malaria berjangkit secara meluas dibanyak daerah pedesaan termasuk di daerah pedesaan Jawa dan Bali. Dengan berbagai upaya pemberantasan akhirnya prevalensi penyakit malaria di Jawa dan Bali dapat ditekan. Dalam Repelita V perhatian dipusatkan untuk pencegahan dan pemberantasan di daerah-daerah luar Jawa dan Bali terutama di daerah pemukiman baru seperti daerah transmigrasi dan daerah perbatasan. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria terdiri dari beberapa kegiatan yaitu: (1) identifikasi penderita melalui pemeriksaan darah penduduk di daerah rawan malaria; (2) pembasmian sarang nyamuk malaria dengan penyemprotan rumah dan lingkungan pemukiman; dan (3) pengobatan bagi penderita malaria yang ditemukan. Sejak Repelita I sampai Repelita III ketiga kegiatan tersebut telah dilaksanakan secara teratur. Selama Repelita IV telah diperiksa dan diobati sekitar 32 juta orang dan telah disemprot sebanyak 8 juta rumah. Selama lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) kegiatan-kegiatan pencegahan dan pemberantasan malaria dilanjutkan dengan sasaran yang lebih dipertajam, yaitu dengan melakukan pemeriksaan dan pengobatan terhadap lebih dari 20 juta orang dan penyemprotan lebih dari 5,8 juta buah rumah. Dibandingkan dengan kegiatan sebelum Repelita V, intensitas kegiatan Repelita V menurun oleh karena keberhasilan pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan penyakit dan keberhasilan pengobatan penderita malaria, serta kegiatan penyemprotan hanya dilaksanakan di daerah-daerah yang mendapat prioritas, Penyakit malaria adalah suatu penyakit menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan pemukiman, terutama yang berhubungan dengan tempat pembiakan nyamuk seperti semak-semak, genangan air dan sebagainya. Untuk membasmi tempat pembiakan nyamuk sejak waktu pra Repelita digunakan obat DDT. Satu kebijaksanaan penting yang dilaksanakan sejak tahun kedua XVIII/23 Repelita V (1990/91) adalah tidak digunakannya lagi DDT sebagai obat penyemprot di daerah rawan malaria di Jawa dan Bali. Sebagai gantinya, digunakan obat penyemprot jenis lain yang mudah terurai yang disebut Organofosfor. Hal tersebut erat kaitannya dengan dampak negatif dari DDT terhadap kesehatan manusia dan kesehatan lingkungan pada umumnya. Sejak tahun keempat Repelita V, Organofosfor dipergunakan secara merata di seluruh Indonesia. (3) Penyakit Tuberculosa Paru Penyakit TB Paru merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita oleh rakyat terutama rakyat miskin. Kepadatan penduduk, tidak sehatnya lingkungan pemukiman, faktor kemiskinan, dan adanya sumber penularan penyakit, merupakan penyebab yang saling terkait. Pada awal Repelita I, prevalensi penyakit TB Paru masih cukup tinggi yaitu 3,6 per 1.000 penduduk. Dengan makin meningkatnya upaya-upaya penanggulangan penyakit tersebut yang disertai dengan makin baiknya keadaan perekonomian masyarakat, maka pada Repelita IV angka prevalensi penyakit TB Pant mulai menurun menjadi 2,5 per 1.000 penduduk. Penanggulangan TB Paru pada dasarnya ditekankan pada segi pencegahan penularan penyakit. Kegiatannya dimulai dari pencarian tersangka penderita TB paru melalui pemeriksaan dahak dari kelompok penduduk rawan TB Paru. Dari Pemeriksaan tersebut diperoleh petunjuk tentang jumlah penderita dan lokasi daerah tempat tinggalnya. Bagi yang nyata-nyata positip menderita TB Paru diberikan pengobatan melalui Puskesmas atau melalui Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru. Selain itu kepada kelompok keluarga atau masyarakat yang penduduknya rawan TB Paru diadakan kegiatan penyuluhan kesehatan tentang penyakit TB Paru dan cara-cara pencegahannya. Sejak Repelita I sampai Repelita IV, upaya pencarian penderita tersangka TB Pant dengan pemeriksaan dahak telah mencakup hampir 2,7 juta orang atau rata-rata 682 ribu orang setiap lima tahunnya. Dari jumlah tersebut yang memerlukan pengobatan seluruhnya berjumlah 335 ribu orang atau rata-rata 16 ribu orang setiap tahunnya. Dengan meningkatnya upaya pencarian penderita dan didukung oleh peningkatan pembiayaan, maka dalam Repelita V makin banyak penderita XVIII/24 yang memperoleh pengobatan secara dini. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V setiap tahunnya rata-rata diperiksa 269 ribu orang. Dari jumlah tersebut setiap tahunnya ditemukan positip TB Paru dan memerlukan pengobatan rata-rata berjumlah 36 ribu orang. Oleh karena penyakit TB Paru erat kaitannya dengan keadaan sosial-ekonomi penduduk, maka adanya perubahan tingkat ekonomi penduduk yang makin dirasakan dalam Repelita V sangat mendorong makin berhasilnya upaya penanggulangan TB Paru seperti diuraikan di atas. Sebaliknya keberhasilan mengurangi prevalensi penderita TB Paru penting artinya bagi peningkatan produktivitas kerja yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat. (4) Penyakit Demam Berdarah (Arbovirosis) Penyakit demam berdarah pertama kali dilaporkan tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta dengan angka kesakitan sebesar 0,05 per 100.000 penduduk dan angka kematian 41,3%. Penyebaran penyakit ini dari tahun ke tahun meningkat sejalan dengan meningkatnya hubungan antar daerah, dan makin meningkatnya daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Upaya untuk menurunkan angka kematian akibat demam berdarah terus dilakukan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan dan peningkatan pemantauan dan pengobatan penderita secara dini. Selain itu kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit demam berdarah juga dilakukan dengan "abatisasi masal" yaitu dengan penyemprotan masal menggunakan obat abate di tempat-tempat pembiakan nyamuk Aeries Egypti, serangga penular dari penyakit ini. Selama Repelita II dan III kegiatan abatisasi masal terus ditingkatkan, sedangkan selama Repelita IV telah diabatisasi sebanyak 2,7 juta rumah. Selama empat tahun Repelita V jumlah rumah yang sudah diabatisasi meningkat menjadi 6,3 juta rumah, sehingga apabila dibandingkan dengan yang diabatisasi selama Repelita IV terjadi peningkatan menjadi lebih dari dua kali lipat. Selain itu sejak tahun 1990/91 dalam upaya menurunkan penyakit demam berdarah, dilakukan pula kegiatan pemberantasan nyamuk dengan metode biologis di tempat-tempat pembiakan nyamuk. Metode ini lebih baik karena dapat mengurangi pencemaran lingkungan, lebih murah dan lebih XVIII/25 efektif. Oleh karena itu pada tahun berikutnya, penerapan metode ini dilanjutkan. Pola berjangkitnya wabah demam berdarah secara nasional ternyata mengikuti siklus lima tahunan, yaitu pada tahun 1968, 1973, 1978, 1983, dan 1988. Dengan demikian diperkirakan pada tahun 1993, kalau kegiatan pencegahan tidak ditingkatkan, akan terjadi wabah sehingga jumlah penderita mungkin akan bertambah. Untuk itu maka kegiatan-kegiatan pencegahan pada tahun keempat Repelita V (1992/93) ditujukan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya ledakan demam berdarah pada tahun 199 tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan intensifikasi penyuluhan kesehatan lingkungan, perluasan abatisasi di daerah-daerah rawan penyakit, dan menggalakkan kebersihan lingkungan serta meningkatkan kerja sama lintas sektor di bawah koordinasi pemerintah daerah. (5) Penyakit Diare dan atau Kholera Penyakit diare dan atau kholera pada waktu-waktu tertentu masih dijumpai di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi karena berjangkitnya penyakit ini sangat erat kaitannya dengan masalah kemiskinan, pemukiman kumuh, keadaan lingkungan yang kotor dan masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan cara hidup yang sehat. Upaya pemberantasan penyakit diare dan atau kholera pertama-tama ditekankan pada upaya penciptaan lingkungan pemukiman yang bersih, penyediaan air bersih, dan menanamkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat agar membiasakan diri hidup bersih dan sehat melalui penyuluhan kesehatan masyarakat. Kedua, secara medis ditujukan untuk sejauh mungkin mencegah kematian penderitanya. Pada akhir Repelita III jumlah penderita tersangka diare dan kholera diperkirakan sekitar 4,9 juta orang dan pada akhir Repelita IV angka ini tercatat menurun menjadi sekitar 2,5 juta penderita. Meskipun demikian dalam Repelita V masih tercatat adanya sekitar 5 juta penderita diare dan atau kholera. Meningkatnya kembali jumlah penderita diare dan atau kholera dalam Repelita V disebabkan dua kemungkinan. Pertama, dalam Repelita V kegiatan pencarian dan pelaporan kasus diare dan atau kholera makin aktif dan makin baik sehingga makin banyak kejadian diare dan atau kholera yang tercatat. Kedua, keadaan itu menunjukkan masih luasnya masalah penyediaan air XVIII/26 bersih, kebersihan lingkungan dan lain-lain yang masih memerlukan perhatian lebih besar. Namun demikian makin aktifnya kegiatan penemuan penderita secara dini dan didukung oleh makin meluasnya penggunaan oralit di desa-desa terutama melalui kegiatan posyandu, maka angka kematian akibat diare dan atau kholera dapat ditekan. (6) Penyakit Kaki Gajah dan Demam Keong Salah satu penyakit yang banyak ditemui tidak saja di Pulau Jawa, tetapi juga di Sumatera, Flores, Timor Timur, Kalimantan dan daerah lainnya adalah filariasis yang dalam stadium lanjut dapat menyebabkan gejala penyakit Kaki Gajah. Walaupun tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini menyebabkan turunnya produktivitas kerja. Pada Repelita I Upaya pemberantasan dan penanggulangan penyakit Kaki Gajah masih terbatas pada penemuan penderita. Sedangkan sejak Repelita II terhadap penderita yang ditemukan diberikan pengobatan. Selama Repelita II sampai Repelita IV diberikan pengobatan masal pada sekitar 189.000 sampai 901.000 orang setiap lima tahunnya. Dalam empat tahun pertama Repelita V setiap tahunnya diobati 34.000 sampai 185.000 orang dengan jumlah seluruhnya sebanyak 402.000 orang (Tabel XVIII-3). Upaya penanggulangan dan pemberantasan penyakit Demam Keong (Schistosomiasis) dimulai pada Repelita III. Berjangkitnya penyakit yang hanya ditemui di propinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Lembah Lindu dan Napu, berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi tempat pembiakan bagi sejenis keong penyebab penyakit Demam Keong. Oleh karena itu sejak Repelita III sampai Repelita IV, kegiatan pemberantasan diprioritaskan pada daerah tersebut terutama dengan melakukan pemeriksaan spesimen tinja dan pengobatan tersangka penderita secara selektif. Sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilakukan pemeriksaan terhadap 63 ribu specimen tinja dan pengobatan secara selektif kepada 13 ribu orang. Untuk mengurangi tempat pembiakan keong penyebab penyakit, maka sejak tahun 1991/92 dirintis pula kegiatan terpadu antar instansi terkait dan peran serta masyarakat untuk mengupayakan agar daerah rawan penyakit ini dapat menjadi daerah transmigrasi yang didukung oleh usaha pertanian dengan jaringan irigasi yang memadai. XVIII/27 TABEL XVIII – 3 1) PERKEMBANGAN USAHA PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR, 1968 – 1992/93 1) 2) 3) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan. Angka diperbaiki Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/28 (7) Penyakit Kusta Upaya mencegah dan menanggulangi penyakit kusta di Indonesia telah dilaksanakan secara teratur sejak Repelita I (1969). Pada Repelita I jumlah penderita kusta baru yang ditemukan diperkirakan sebanyak 40.000 orang dan jumlah penderita lama dan baru yang mendapat pengobatan sekitar 179 ribu orang. Dalam Repelita-repelita berikutnya upaya penemuan penderita baru dan pengobatan penderita terus ditingkatkan sehingga pada akhir Repelita IV telah ditemukan lagi sebanyak lebih dari 34.200 orang penderita baru dan dilaksanakan pengobatan pada sekitar 320.882 orang penderita baru dan lama. Sampai dengan tahun keempat Repelita V ditemukan lagi sekitar 40 ribu orang penderita baru dan dilanjutkan pemberian pengobatan secara teratur pada lebih dari 378 ribu orang penderita lama dan baru. Di samping itu melalui kerja sama dengan Departemen Sosial dilakukan pula rehabilitasi sosial bagi penderita kusta yang secara medis sudah dinyatakan sembuh. Salah satu kendala yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi sosial penderita kusta yang sudah sembuh adalah sikap masyarakat yang belum dapat menerima penderita yang sudah sembuh sebagai anggota masyarakat biasa. Oleh karena itu untuk upaya rehabilitasi sosial, penyuluhan kesehatan masyarakat mengenai penyakit kusta merupakan bagian penting dari upaya penanggulangan penyakit kusta. (8) Penyakit Gila Anjing (Rabies) dan Pes Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit Gila anjing (Rabies) yang berjangkit di beberapa daerah di Jawa, Kalimantan, Sumatera bagian selatan (Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Jambi) mulai dilaksanakan sejak Repelita II. Sampai dengan Repelita IV, kegiatannya terbatas pada pengumpulan dan pemeriksaan specimen dan pengobatan penderita yang mengalami gigitan hewan tersangka rabies. Dengan makin meningkatnya kegiatan pemusnahan dan vaksinasi hewan tersangka rabies selama Repelita III dan Repelita IV, maka jumlah penderita akibat gigitan hewan tersangka rabies menurun. Selain itu sejak tahun pertama Repelita V program penanggulangan penyakit rabies dilakukan secara lintas sektor dengan melakukan vaksinasi baik terhadap hewan maupun terhadap penderita yang mengalami gigitan hewan tersangka XVIII/29 rabies. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V vaksinasi hewan sudah dilakukan terhadap lebih dari 1 juta ekor hewan, sedangkan vaksinasi terhadap penderita yang mengalami gigitan hewan tersangka rabies diberikan kepada 1.825 orang. Penyakit pes untuk pertama kali masuk ke Indonesia pada akhir tahun 1910. Angka kematian akibat penyakit tersebut sangat tinggi, dan beribu-ribu orang meninggal karenanya. Cara masuk kuman penyebab penyakit pes ke Indonesia ialah melalui angkutan beras; karena di dalam angkutan beras tersebut ikut pula tikus-tikus yang terjangkit penyakit pes. Jalur penyebaran penyakit pes ini bermula dari pelabuhan Surabaya kemudian terus menyebar ke Malang, Kediri, Madiun, Surakarta dan Yogyakarta. Upaya pemberantasan pes dilaksanakan antara lain dengan mengadakan perbaikan rumah-rumah rakyat dan melakukan vaksinasi penduduk secara besar-besaran. Ternyata cara-cara ini kurang membawa hasil, karena tikus-tikus sebagai pembawa pes masih bebas berkeliaran. Kemudian dilakukan penyemprotan rumah-rumah dengan menggunakan DDT pada daerah-daerah yang dilanda epidemi pes. Penyemprotan dilakukan pada tempat-tempat persembunyian tikus dengan tujuan agar kutu atau pinjal tikus dapat terbunuh. Ternyata hasilnya cukup memuaskan. Pemberantasan penyakit pes dengan cara ini masih diteruskan dengan intensif di daerah-daerah yang pernah terjangkit, dengan harapan dapat dilenyapkan sama sekali. Sejak Repelita II, Repelita III sampai dengan Repelita IV jumlah penderita penyakit pes terus menurun. Meskipun ditemukan sediaan darah yang positif pes, namun tidak ada penderita yang meninggal. Selama lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V, jumlah sediaan darah yang telah diperiksa adalah sebanyak 15.100; 9 di antaranya menunjukkan positif terjangkit penyakit pes, tetapi di antara penderita tersebut tidak ditemukan kasus kematian. Hal ini disebabkan karena keberhasilan diberikan penanganan dan pengobatan secara dini terhadap penderita. (9) Penyakit Kelamin dan AIDS Salah satu dampak negatif dari arus globalisasi dalam Repelita V di bidang kesehatan adalah berjangkitnya penyakit AIDS di Indonesia yang XVIII/30 mulai diketahui pada tahun 1987. Meskipun jumlah penderita AIDS masih relatif kecil, namun upaya pencegahan dan penanggulangannya telah dirintis dan dikembangkan dalam Repelita V. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit AIDS dilaksanakan sebagai bagian dari pencegahan dan penanggulangan penyakit kelamin yang sudah dilakukan sejak Repelita I. Kegiatan utama pencegahan dan penanggulangan penyakit kelamin dan AIDS ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan secara intensif. Kemudian diikuti dengan pencarian tersangka penderita melalui pemeriksaan darah. Bagi penderita penyakit kelamin bukan AIDS diberikan pengobatan, sedangkan bagi penderita AIDS diberikan pembinaan dan pengobatan secara khusus. Pada Repelita I upaya pemberantasan penyakit kelamin antara lain dilakukan dengan melaksanakan pencarian kasus aktif melalui pemeriksaan TSS (Test Serologic Syphilis) terhadap golongan masyarakat tertentu. Di samping itu juga dilakukan penyuntikan sekali seminggu terhadap para wanita tuna susila yang dilokalisir, razia terhadap WTS liar, meningkatkan pendidikan kesehatan mengenai penyakit kelamin pada masyarakat dan mengembangkan metode pemberantasan gonorhoea. Sejak ditemukannya kasus AIDS di Indonesia dalam Repelita V upaya pemberantasan penyakit kelamin lebih diintensifkan terutama di kota-kota besar dan di daerah pelabuhan. Usaha yang telah dilakukan antara lain dengan dibentuknya Panitia Penanggulangan AIDS Pusat dan Propinsi, kegiatan sero survai AIDS dan Sifilis, skrining STS dan survai GO . Kegiatan penanggulangan AIDS yang sudah dilakukan sejak tahun 1991/92 di antaranya meliputi pemeriksaan darah yang akan didonorkan di PMI sebanyak 600 ribu sampel per tahun sehingga diharapkan setiap darah yang akan ditransfusikan bersih dari virus penyebab penyakit AIDS. Sedangkan upaya penyuluhan dan pemeriksaan/pencarian penderita diintegrasikan dengan upaya pemberantasan penyakit kelamin lainnya. Dalam lima tahun terakhir (tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93) telah dilaksanakan kegiatan serosurvai AIDS dan Sifilis terhadap sebanyak 45.600 sample, pemeriksaan STD (Sexually Transmitted Diseases) terhadap 11.725 sample, dan "Screening Survey" terhadap 193 sample. Sampai XVIII/31 dengan tahun keempat Repelita V dari hasil pemeriksaan HIV/AIDS di Indonesia, ditemukan sebanyak 24 orang penderita penyakit AIDS dan sebanyak 70 orang penderita infeksi HIV. (10) Penyakit Frambusia Pada masa sebelum Repelita I penyakit Frambusia masih merupakan suatu penyakit menular yang banyak diderita oleh rakyat. Penyakit ini terdapat baik di dataran rendah maupun daerah pegunungan, dan umumnya diderita oleh penduduk golongan miskin dengan/keadaan hygiene yang kurang baik. Pada waktu itu Frambusia tersebar di seluruh kepulauan Indonesia dan menurut perkiraan menghinggapi sekitar 15% dari penduduk, 6% di antaranya dapat menularkan pada penduduk sekitarnya. Sebagian terbesar dari penderita yang dapat menularkan penyakit ini adalah anak-anak berumur di bawah 18 tahun. Kegiatan penanggulangan dan pemberantasan penyakit frambusia terutama berupa penemuan penderita secara aktif melalui pemeriksaan penduduk, anak sekolah dan kontak, serta memberikan pengobatan terhadap penderita yang ditemukan. Sedangkan pada daerah yang dicurigai terjangkit penyakit Frambusia, dilakukan pengamatan secara ketat untuk menghindari munculnya kasus-kasus baru. Selama Repelita IV, telah dilakukan pemeriksaan penduduk terhadap sebanyak 8,9 juta orang dan pengobatan penderita dan orang-orang yang sering berhubungan dengan penderita kepada 243.419 orang atau sekitar 2,7% dari jumlah penduduk yang diperiksa. Selama Repelita V pemeriksaan terhadap penduduk lebih diintensifkan terutama dilakukan di daerah-daerah rawan. Demikian pula kegiatan pengobatan kepada penderita juga diperluas sehingga selama lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93 telah diberikan pengobatan terhadap kurang lebih 372.000 orang penderita. Dengan makin aktifnya kegiatan pencarian dan pengobatan penderita, serta dengan makin baiknya keadaan kebersihan lingkungan di pedesaan, maka jumlah penderita frambusia di beberapa daerah pada tahun 1992/93 ini sudah jauh berkurang dibandingkan dengan keadaan pada awal Repelita I. (11) Karantina dan Kesehatan Pelabuhan (KKP) Sampai dengan Repelita III kegiatan Karantina Kesehatan Pelabuhan XVIII/32 (KKP) terutama ditujukan untuk memantau dan mengamati penyakit menular di pelabuhan-pelabuhan. Sesuai dengan persyaratan internasional yang telah ditetapkan oleh WHO, kegiatan Karantina Kesehatan Pelabuhan (KKP) diprioritaskan pada pelabuhan-pelabuhan yang merupakan tempat singgah dan keluar/masuknya wisatawan asing dan pelabuhan tempat ekspor non migas. Selama Repelita IV telah dilakukan pemberantasan sumber penyakit di lingkungan pelabuhan seluas 3.222 ha. Kegiatan ini terus ditingkatkan sehingga dalam lima tahun sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilaksanakan pemberantasan di berbagai lokasi dengan luas keseluruhan 7.155 ha. Selain itu guna meningkatkan pelayanan telah dilakukan rehabilitasi dan pembangunan kantor KKP di 21 lokasi pelabuhan yang dilengkapi dengan peralatan teknis dan ambulan. d. Program Perbaikan Gizi Pada awal Repelita I masalah kekurangan gizi merupakan salah satu masalah yang banyak diderita oleh masyarakat dalam jumlah yang relatif besar. Masalah kekurangan gizi erat kaitannya dengan masalah kemiskinan. Oleh karena itu penanggulangan masalah ini tidak dapat dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja, tetapi memerlukan keterpaduan dan dukungan yang saling mengisi dari berbagai sektor pembangunan lainnya terutama di sektor ekonomi dan pendidikan. Seperti halnya dengan keadaan sampai akhir Repelita IV, maka selama lima tahun sejak 1988/89 sampai tahun keempat Repelita V, ada 4 masalah gizi utama yang diupayakan penanggulangannya, yaitu kekurangan kalori dan protein, kekurangan vitamin A, kekurangan zat besi (anemia gizi besi), dan kekurangan zat yodium. Ketiga masalah gizi yang pertama dap at mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan intelektual anak, rendahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan rendahnya produktivitas kerja. Sedang masalah gizi keempat yaitu kekurangan zat yodium mengakibatkan cacad fisik dan mental pada bayi dan anak yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan zat indium. Untuk penanggulangan keempat masalah gizi tersebut, sejak Repelita I dirintis program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), suatu kegiatan lintas sektor terutama pertanian, kesehatan, KB, pendidikan dan agama, dengan tekanan kegiatan pada penyuluhan gizi untuk keluarga pedesaan. Kegiatan ini dimulai di kurang lebih 1.500 desa di 39 kabupaten dan XVIII/33 8 propinsi di Jawa (kecuali DU), Bali, NTB, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Dalam Repelita II sampai Repelita IV baik jenis kegiatan maupun luas cakupan daerah UPGK diperluas secara bertahap sehingga pada akhir Repelita IV (1988/89) telah mencakup lebih dari 50.000 desa di 298 kabupaten dari semua propinsi. Selain kegiatan penyuluhan gizi untuk masyarakat umum, dalam Repelita III dirintis pendirian "taman gizi" di sejumlah desa sebagai tempat penyuluhan gizi dengan melaksanakan penimbangan anak balita dan pemberian makanan tambahan bagi anak-anak balita yang menderita kekurangan kalori dan protein. Kegiatan taman gizi ini dikelola oleh PKK bersama petugas gizi daerah. Dalam Repelita IV, kegiatan taman gizi di sejumlah desa dikenal sebagai "pos-penimbangan" anak balita. Kegiatan ini menjadi bagian dari kegiatan bersama antara UPGK dengan PKK. Di samping pos penimbangan, kegiatan pos-pos pelayanan lain juga tumbuh dan berkembang di pedesaan. Pos-pos tersebut antara lain adalah Pos Keluarga Berencana dan Pos Imunisasi, yang kelompok sasarannya sama yaitu ibu hamil, ibu menyusukan, bayi dan balita. Agar lebih efisien dan efektif berbagai pos tersebut dipadukan pelayanannya kedalam suatu pos pelayanan terpadu yang kemudian dikenal dengan Posyandu. Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai tahun 1992/93 kegiatan program perbaikan gizi ditujukan untuk melanjutkan kegiatan dalam Repelita IV yang terdiri dari: (1) UPGK, (2) penanggulangan kekurangan vitamin A (KVA), (3) penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKI), (4) Penanggulangan Anemia Gizi Besi, dan (5) pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Kegiatan UPGK dalam lima tahun terakhir ini diperluas sehingga meliputi: (1) penyuluhan gizi masyarakat, (2) pelayanan gizi untuk ibu dan anak melalui Posyandu, dan (3) peningkatan pemanfaatan pekarangan. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, desa-desa yang melaksanakan kegiatan UPGK bertambah dengan rata-rata kurang lebih 2.200 desa setiap tahunnya, sehingga pada tahun 1992/93 UPGK telah mencakup 23 juta anak balita di 61.766 desa di semua propinsi. Sedang anak Balita yang dilayani dalam waktu lima tahun tersebut setiap tahunnya rata rata bertambah dengan sekitar 1,5 juta anak balita. Dengan demikian secara keseluruhan jumlah anak balita yang dilayani UPGK dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93) bertambah kurang lebih 7,5 juta anak. XVIII/34 Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebutaan akibat kekurangan vitamin A, sejak Repelita I dirintis percobaan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi kepada anak balita melalui Puskesmas dan Posyandu. Sejalan dengan itu UPGK juga menggalakkan pemanfaatan tanaman pekarangan berupa sayuran dan buah-buahan sebagai sumber utama vitamin A bagi keluarga khususnya di pedesaan. Sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93, setiap tahunnya dibagikan rata-rata 14,8 juta kapsul vitamin A kepada kurang lebih 7,4 juta anak balita yang diberikan dua kali satu kapsul setiap tahunnya. Untuk penanggulangan anemi gizi besi, selain dilakukan penyuluhan gizi sejak Repelita II juga digalakkan pemberian pil besi kepada ibu hamil. Dalam lima tahun terakhir ini, jumlah ibu hamil yang memperoleh pil besi berjumlah antara 1,2 juta sampai 2,5 juta orang setiap tahunnya. Sementara itu untuk pencegahan dan penanggulangan masalah kekurangan iodium, sejak Repelita II dilaksanakan dua jenis inter vensi yaitu kegiatan iodisasi garam bagi daerah rawan dan suntikan preparat iodium kepada penderita kekurangan iodium. Sejak tahun 1988/89 kegiatan iodisasi garam diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat khususnya para pengusaha garam rakyat. Sementara itu penyuntikan preparat iodium kepada penderita lebih digiatkan sehingga sejak tahun 1988/89 sampai 1991/92 setiap tahunnya diberikan suntikan kepada sekitar 0,5 juta sampai 2,2 juta orang penderita. Hasil evaluasi tentang efektivitas suntikan preparat iodium yang diadakan dalam Repelita V menunjukkan bahwa cara suntikan tersebut perlu diganti dengan teknologi baru. Oleh karena itu sejak tahun 1992/93 mulai dicoba cara baru tersebut dengan pemberian kapsul iodium kepada sekitar 10 juta penderita. Cara ini dianggap lebih murah dan lebih efektif karena distribusinya dapat dilakukan melalui Posyandu. Selain itu juga dilakukan percobaan iodisasi air minum di pedesaan rawan GAKI. Dampak positip program perbaikan gizi yang dilaksanakan sejak Repelita I telah mulai terlihat dalam lima tahun terakhir ini. Sejak tahun 1988/89 telah terjadi penurunan penderita kurang gizi. Angka prevalensi gizi-kurang (KKP sedang) anak Balita menurun dari 15,9% pada tahun 1978 menjadi 10,5% pada tahun 1989; atau menurun dengan 30% dalam satu dasawarsa. Sedangkan prevalensi gizi buruk (KKP berat) selama itu juga tu r u n d ar i 3 % me nj ad i 1 ,4 %. P ad a t a h u n 1 9 9 2 /9 3 i ni d ip er k ira ka n XVIII/35 angka-angka prevalensi tersebut terus menurun yang berarti makin baiknya keadaan gizi anak balita. Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan vitamin A. Bahkan di beberapa daerah, yang sampai akhir tahun Repelita IV masih dinyatakan daerah rawan, dari penelitian terakhir dinyatakan bahwa sejak tahun 1991/92 masalah kebutaan akibat kekurangan vitamin A pada balita tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat. Artinya dimasa yang akan datang apabila keadaan gizi dapat dipertahankan seperti keadaannya dalam lima tahun terakhir ini, maka penderita kebutaan akibat keadaan gizi yang kurang baik, jumlahnya makin sedikit; bahkan mungkin hilang sama sekali. Dalam hal masalah kekurangan iodium dan anemia gizi besi, dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93) prevalensi KKP dan KVA, juga terjadi penurunan prevalensi terutama di daerah-daerah yang prevalensinya tinggi. Makin baiknya keadaan gizi masyarakat seperti diuraikan di muka tidak terlepas dari makin baiknya keadaan ekonomi dan pendidikan masyarakat. Oleh karena itu penurunan prevalensi berbagai penyakit ku rang gizi selama lima tahun terakhir ini merupakan salah satu hasil dari upaya untuk menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan yang telah dicapai dengan bermakna selama ini. Dengan makin baiknya keadaan gizi balita dan masyarakat pada umumnya, berarti mutu fisik penduduk makin meningkat. Hal ini akan besar pengaruhnya terhadap upaya peningkatan rata-rata umur harapan hidup yang produktif. Kemudian dalam kurun waktu 1988/89-1992/93 ini, melalui kegiatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) juga dipantau secara berkala perkembangan pertumbuhan fisik anak-anak balita dan anak-anak SD agar dapat diketahui secara dini bila terjadi kelainan pertumbuhan yang akan menurunkan keadaan gizi anak-anak tersebut. Dengan SKPG ini dapat dilakukan tindakan pencegahan yang diperlukan sedini mungkin. e. Program Penyediaan Air Bersih Salah satu kebutuhan dasar yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah air bersih. Pada awal Repelita I jumlah penduduk perkotaan dan pedesaan yang menikmati air bersih masih sangat kecil. Oleh karena itu sejak Repelita I diadakan berbagai upaya untuk memperbesar kapasitas produksi air bersih di perkotaan dan memperluas jaringan distribusinya ke rumah-rumah di daerah perkotaan. Sementara itu XVIII/36 untuk penduduk kota kecil sejak Repelita II dilaksanakan pembangunan instalasi pengolahan air bersih dengan kapasitas produksi skala kecil untuk penduduk di kota kecamatan, yang dikenal dengan pembangunan air bersih ibu kota kecamatan (PAB-IKK). Sedangkan untuk penduduk pedesaan ditetapkan program Inpres bantuan sarana air bersih sebagai bagian dari Inpres Bantuan Sarana Kesehatan. Sejak Repelita I sampai Repelita IV untuk pedesaan melalui Inpres Bantuan Sarana Air Bersih telah dibangun ratusan ribu buah sarana air bersih dalam bentuk penampungan mata air dengan perpipaan (PP), penampungan air hujan (PAH), perlindungan mata air (PMA), sumur artesis (SA), sumur pompa tangan (SPT), dan sumur gali (SG), yang tersebar hampir di semua desa. Pada akhir Repelita IV diadakan evaluasi tentang efektivitas program Inpres Bantuan Sarana Air Bersih untuk pedesaan. Dari hasil evaluasi tersebut diadakan perbaikan perencanaan dan pengelolaan program agar lebih efisien dan efektif. Dalam Repelita V untuk penyediaan air bersih pedesaan perhatian lebih besar diberikan kepada peran serta masyarakat dalam pencarian sumber air bersih, perencanaan dan pembangunan sarana serta pemanfaatan dan pemeliharaannya. Dengan kebijaksanaan baru ini pembangunan sarana air bersih yang kurang efektif dalam lima tahun terakhir ini (1988/89-1992/93) sangat dikurangi. Apabila dalam Repelita IV selama lima tahun dibangun sekitar 250.000 buah sarana air bersih dari berbagai jenis, maka dalam lima tahun terakhir hanya kurang lebih 32.000 buah untuk berbagai jenis sarana air bersih yang sama tetapi lebih selektif yang dapat berfungsi lama dan tidak mudah rusak. Sementara itu sejak 1988/8.9 diperbanyak dan dikembangkan sarana air bersih yang dianggap lebih efektif yaitu sarana hidran umum (HU) yang dilengkapi dengan terminal air (TA) dan untuk daerah-daerah tertentu dilengkapi juga dengan mobil tangki air. Selama lima tahun sejak 1988/89 sampai tahun 1992/93 dibangun antara 778 sampai 2.749 buah hidran umum dengan terminal air setiap tahunnya. Sarana ini terutama dibangun di kampung-kampung kumuh perkotaan dan di desa-desa terpencil dan sulit air bersih. Di samping itu, sesuai dengan adanya permintaan oleh sebagian dari masyarakat pedesaan yang relatif mampu, di pedesaan juga dipasang sarana baru berupa sambungan rumah sebanyak 20.000 sambungan. XVIII/37 Untuk mengimbangi pembangunan fisik sarana air bersih tersebut di atas, dalam lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) diintensifkan kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat mengenai pentingnya air bersih dan cara-cara mengamankan air bersih dari pencemaran kuman. Di samping itu, untuk mengawasi kualitas air bersih di pedesaan oleh petugas sanitasi dari Puskesmas, diadakan pemeriksaan contoh (sampel) secara berkala yang diambil dari beberapa sumber air bersih di beberapa desa. f. Penyehatan Lingkungan Pemukiman Di sektor kesehatan, program penyehatan lingkungan pemukiman terutama ditekankan pada kegiatan penyuluhan kesehatan, pengawasan mutu lingkungan, pembangunan Sarana Jamban Keluarga (JAGA) dan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) terutama untuk penduduk pedesaan. Kegiatan penyuluhan kesehatan ditekankan pada masalah-masalah kebersihan lingkungan terutama mengenai cara-cara pembuangan sampah yang tidak membahayakan, masalah kesehatan rumah, cara-cara menghindari pencemaran pada makanan dan minuman dan lain sebagainya. Penyuluhan ini diutamakan di lingkungan pemukiman daerah wisata, dengan sasaran para pengelola hotel, losmen, restoran, warung serta pedagang makanan dan minuman di kaki lima. Untuk kegiatan pengawasan mutu lingkungan terutama dilakukan pemantauan adanya pencemaran air sumur, sungai, dan lainnya di kawasan dekat industri yang diduga dapat menimbulkan pencemaran. Hasil pemantauan yang dianggap perlu memperoleh perhatian disampaikan kepada instansi-instansi yang berwenang menangani masalah lingkungan. Dalam tahun 1991/92 dan 1992/93 antara lain dilaksanakan pengamatan terhadap adanya paparan pestisida terhadap 6.207 orang di 204 kabupaten. Untuk lebih meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam pengamatan pestisida, dalam tahun 1991/92 telah dilatih 350 orang petugas di 50 kabupaten. Dalam hal pembangunan dan perbaikan saluran pembuangan kotoran, khusus untuk masyarakat pedesaan ditanamkan pengertian pentingnya Jamban Keluarga (JAGA) dan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) melalui berbagai cara penyuluhan kesehatan. Untuk mendukung kegiatan penyuluhan tersebut, di sejumlah desa contoh dibangun sarana JAGA dan XVIII/38 SPAL. Sejak Repelita I sampai Repelita IV telah dibangun lebih dari 1,8 juta buah JAGA dan sekitar 90.000 buah SPAL. Dalam lima tahun terakhir (1988/89-1992/93) setiap tahunnya dibangun sekitar 4.700 buah sampai 24.100 buah JAGA, dan 634 buah sampai 3.639 buah SPAL (Tabel XVIII-4). g. Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Program penyuluhan kesehatan masyarakat terutama diarahkan untuk mendorong perubahan perilaku individu, keluarga maupun masyarakat untuk membina dan melestarikan perilaku hidup sehat di lingkungan yang sehat. Upaya penyuluhan ini dilaksanakan antara lain melalui penyebarluasan informasi kesehatan, pengembangan potensi swadaya masyarakat, dan pengembangan penyelenggaraan penyuluhan. Untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat mengenai hidup sehat, sejak Repelita II telah mulai dilakukan peningkatan mekanisme kerja lintas program dan lintas sektoral, pengembangan dan pembinaan tenaga, pengembangan metode penyuluhan, penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan program baik di pusat dan daerah. Berbagai upaya tersebut dalam Repelita III terus ditingkatkan. Selama Repelita IV telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan melalui radio, TV, media cetak, dan melalui film seri dokumenter. Kegiatan penyuluhan lain yang dilaksanakan adalah melibatkan Puskesmas dan RS melalui pendekatan kelompok, terutama, kelompok potensial, yaitu wanita, pemuda, dan kelompok keagamaan serta peningkatan peran serta dan swadaya masyarakat. Seperti pada Repelita-repelita sebelumnya, selama lima tahun dari tahun 1989/90 sampai tahun keempat Repelita V kegiatan penyebarluasan informasi kesehatan terus ditingkatkan. Kegiatan ini dilaksanakan antara lain melalui radio dalam bentuk obrolan, penyiaran radio spot dan sandiwara/fragmen. Selama empat tahun pertama Repelita V telah dilaksanakan penyebarluasan informasi melalui siaran radio sebanyak 173.201 kali atau meningkat menjadi lebih dari 17 kali dibandingkan dengan jumlah siaran pada Repelita IV, yaitu 9.987 kali siaran. Selain itu dalam lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V dilakukan penyuluhan kesehatan melalui televisi sebanyak 2.443 kali siaran yang dilakukan dalam bentuk fragmen, obrolan, titip pesan, spot/filer dan liputan pembangunan di bidang kesehatan maupun film. Untuk penyebarluasan XVIII/39 TABEL XVIII – 4 1) PERKEMBANGAN SARANA PENYEDIAAN AIR BERSIH DAN SARANA PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN, 1968 – 1992/93 1) 2) Angka kumulatif 5 tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan. Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/40 informasi kesehatan melalui media cetak, dalam periode yang sama telah disebarkan lebih dari 7.900 ribu lembar media penyuluhan berupa poster, leaflet, buku pedoman, penyuluhan bagi petugas maupun masyarakat, dan ratusan spanduk, kaset, slide bioskop dan billboard. Selain itu untuk lebih meningkatkan mutu penyuluhan, maka selama lima tahun yang lalu sampai tahun keempat Repelita V telah pula dilakukan pengembangan dan alih teknologi penyuluhan kesehatan masyarakat dengan melakukan pelatihan penyuluhan bagi petugas kesehatan di tingkat propinsi, Dati II dan Puskesmas. Dari tahun 1989/90 sampai tahun 1992/93 telah dilatih berturut-turut setiap tahunnya sejumlah 4.227 orang, 5.133 orang, 679 orang, dan 150 orang. Dengan meningkatnya berbagai upaya penyuluhan kesehatan di atas telah mendorong makin efektifnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Peningkatan peran serta masyarakat tersebut antara lain terlihat dari makin meningkatnya jumlah Posyandu yang pada tahun 1983 baru berjumlah 25.000 buah menjadi lebih dari 241.000 buah pada tahun keempat Repelita V. h. Program Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan Obat, Makanan, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Bahan Berbahaya Tujuan Program Pengendalian, Pengadaan dan Pengawasan Obat, Makanan, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Bahan Berbahaya adalah: (1) meningkatkan penyediaan obat, alat kesehatan yang lebih bermutu, (2) melindungi masyarakat dari penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, alat kesehatan, minuman keras dan bahan berbahaya bagi kesehatan, (3) meningkatkan pengendalian dan pengawasan obat, makanan, perbekalan farmasi dan bahan berbahaya, (4) meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan obat tradisional. Pada awal Repelita I, pada umumnya kebutuhan obat-obatan masih harus didatangkan dari luar negeri. Secara berangsur-angsur kebijaksanaan tersebut diarahkan pada pembelian bahan obat-obatan untuk pembuatan obat jadi di dalam negeri. Selanjutnya industri obat terus berkembang. Bila pada akhir Repelita I industri obat baru berjumlah 157 buah, maka pada tahun keempat Repelita V jumlahnya telah mencapai 256 buah. XVIII/41 Prioritas program pada Repelita V terutama diarahkan pada pemanfaatan obat generik yang dapat menjangkau rakyat banyak. Untuk itu, dalam rangka menjamin kesinambungan penyediaan obat, maka produksi dan distribusi serta pelayanan obat generik makin ditingkatkan. Pada saat ini di setiap Dati II telah ditunjuk sekurang-kurangnya satu apotek yang menyediakan obat generik berlogo secara lengkap. Untuk lebih menjamin hasil produksi obat, maka ditingkatkan pembinaan penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Pada Tahun keempat Repelita V, di samping 4 BUMN, telah diikut sertakan pula 13 pabrik farmasi yang telah memenuhi persyaratan CPOB untuk mempro duksi obat generik berlogo. Dalam rangka lebih menjamin kualitas obat yang beredar di pasaran, kemampuan laboratorium pengujian yang ada di seluruh propinsi (Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan) dan di pusat (Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan) makin ditingkatkan. Upaya yang ditempuh antara lain dengan pengadaan peralatan laboratorium maupun pelatihan personil. Dalam rangka pengawasan kualitas terhadap produk obat yang beredar, selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilakukan pengambilan sampling dan pengujian obat yang mencakup 20.526 produk, dan operasi pemeriksaan sarana produksi dan distribusi terhadap sebanyak 8.103 unit di 27 propinsi. Di samping itu juga dilaksanakan operasi penyidikan terhadap kasus-kasus pemalsuan, peredaran produk gelap dan produk substandar serta pengawasan penyalahgunaan obat, narkotika dan zat aditif lainnya. Upaya -untuk meningkatkan kelancaran distribusi dan penyediaan obat sektor pemerintah khususnya untuk Puskesmas, dilakukan dengan pembangunan Gudang Farmasi Kabupaten/Kotamadya disertai upaya peningkatan pengelolaannya. Sampai dengan tahun keempat Repelita V, telah dibangun sebanyak 294 gudang farmasi, atau penambahan sebesar 56% dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV. Direncanakan p ada akhir Repelita V nanti, seluruh Dati II di Indonesia telah memiliki gudang farmasi. Di samping itu dalam upaya peningkatan kemampuan pengelolaan gudang farmasi para petugas, telah dilakukan pelatihan mengenai perencanaan kebutuhan obat untuk petugas dari 97 Dati II di 14 propinsi. Di samping pembangunan gudang farmasi, jumlah apotek yang telah dibangun juga meningkat dari tahun ke tahun. Sampai tahun keempat Repelita V, XVIII/42 jumlah apotek yang telah dibangun adalah sebanyak 3.301 buah; meningkat sebanyak 42% dari jumlah yang ada pada akhir Repelita IV yaitu 2.332 buah. i. Program Pendidikan, Latihan dan Pendayagunaan Tenaga Program ini terutama diarahkan untuk meningkatkan mutu lulusan dengan tetap memperhatikan jumlah dan pemerataan pelaksanaan pendidikannya. Selain itu juga terus diupayakan peningkatan kemampuan profesional tenaga kesehatan yang dihasilkan. Pada awal Repelita I, jumlah lembaga dan jenis program pendidikan tenaga kesehatan yang tersedia masih sangat terbatas. Keadaan ini menyebabkan jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di lembaga-lembaga pelayanan kesehatan juga tidak memadai. Untuk mempercepat penyediaan tenaga kesehatan dasar secara merata di seluruh propinsi diupayakan agar daya tampung lembaga pendidikan dan jumlah lembaga pendidikan tenaga kesehatan dapat ditingkatkan. Sampai akhir Repelita III jumlah lembaga pendidikan tenaga kesehatan adalah sebanyak 248 buah. Jumlah ini bertambah menjadi 394 buah pada akhir Repelita IV. Pada tahun 1992/93 jumlah ini bertambah lagi sehingga menjadi 474 buah. Sejalan dengan makin meningkatnya jumlah lembaga pendidikan tersebut, maka jumlah lulusan dari berbagai jenis program pendidikan kesehatan juga makin meningkat. Bila jumlah lulusan selama Repelita III baru sebanyak 26.680 orang maka dalam. Repelita IV meningkat menjadi 70.640 orang. Sampai tahun keempat Repelita V 88.418 orang diluluskan dari semua jenis lembaga pendidikan tenaga kesehatan, termasuk bidan. Sedangkan khusus untuk pendidikan Bidan di desa, selama lima tahun yang lalu sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil dididik sebanyak 19.400 orang, yaitu masing-masing sebanyak 4.000 orang pada tahun 1989/90, 4.760 orang pada tahun 1990/91, 4.240 orang pada tahun 1991/92, dan 6.400 orang pada tahun 1992/93. Sejalan dengan meningkatnya jumlah lembaga pendidikan, jumlah dan mutu guru terus ditingkatkan. Bila dalam Repelita I jumlah tenaga akademis bidang kesehatan baru berjumlah 2.269 orang, maka selama Repelita-repelita berikutnya jumlah tersebut terus bertambah. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah tenaga akademis bidang kesehatan bertambah sebanyak 5.128 orang, sehingga XVIII/43 sampai tahun keempat Repelita V telah tersedia 13.170 orang tenaga akademis bidang kesehatan (Tabel XVIII-5). Selain itu selama empat tahun Repelita V juga telah dilaksanakan pendidikan program akta bagi 1.159 orang guru/instruktur dan pelatihan untuk pendalaman berbagai bidang studi bagi 3.194 orang guru. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan pemerataan lulusan pendidikan kesehatan di atas didukung dengan pembangunan dan rehabilitasi gedung-gedung sekolah, pengadaan peralatan penunjang pendidikan, dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah-sekolah kesehatan dan Balai-balai Latihan Kesehatan Masyarakat yang tersebar di seluruh propinsi. Sementara itu untuk meningkatkan pembinaan terhadap Akademiakademi kesehatan yang ada di daerah, khususnya untuk bidang perawatan, gizi dan fisioterapi, maka sejak tahun 1990/91 telah ditunjuk 4 akademi Pembina, yaitu Akademi Perawat Jakarta, Akademi Perawat Bandung, Akademi Gizi Jakarta, dan Akademi Fisioterapi Surakarta. J. Program Penyempurnaan dan Pengawasan Efisiensi Aparatur Kesehatan Program ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan manajemen aparatur agar pembangunan kesehatan dapat dicapai secara makin berdaya guna dan berhasil guna. Kegiatan utama program ini adalah pendayagunaan fungsi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian, pendayagunaan organisasi ketatalaksanaan dan administrasi keuangan, dan pendayagunaan fungsi pengawasan dan pengendalian, serta pengembangan dan penyempurnaan hukum di bidang kesehatan. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilaksanakan pelatihan perencanaan dan administrasi manajemen bagi petugas kesehatan pusat dan daerah, pelatihan pengelola keuangan sebanyak 3 angkatan, penyusunan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan sebanyak 131 buah, dan penyuluhan dan penyebarluasan produk-produk bidang kesehatan. Di samping itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap 273 satuan kerja dan 645 proyek pembangunan. XVIII/44 TABEL XVIII – 5 1) PERKEMBANGAN JUMLAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN, 1968 – 1992/93 1) 2) 3) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka sementara sampai dengan Desember 1992 mulai tahun 1976/77 Perawat dan Bidan ditingkatkan menjadi tenaga perawat Kesehatan XVIII/45 B. KESEJAHTERAAN SOSIAL 1. Pendahuluan Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu upaya untuk menuju tercapainya keadilan sosial. Untuk itu sesuai dengan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988, dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 kesejahteraan sosial terus ditingkatkan agar dapat memperluas jangkauan pelayanannya. Sasaran utama pelayanan ini adalah kelompok masyarakat yang kurang mampu dan kurang beruntung. Adapun tujuan pelayanan adalah untuk membantu kelompok masyarakat tersebut di atas agar makin dapat hidup mandiri, produktif dan dapat berperan serta dalam pembangunan. Secara khusus pembangunan kesejahteraan sosial diutamakan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat perbaikan, peningkatan dan perluasan pelayanan rehabilitasi sosial terhadap mereka yang memerlukan. Kegiatankegiatan tersebut dilaksanakan dengan melibatkan sebanyak mungkin organisasi-organisasi sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk lembaga-lembaga keagamaan yang melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 kebijaksanaan dan langkahlangkah yang ditempuh dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial adalah kelanjutan, peningkatan dan perluasan jangkauan pelayanan rehabilitasi sosial yang berbasis masyarakat. Oleh karena itu kesadaran sosial, disiplin sosial, kesetiakawanan sosial dan tanggung jawab sosial memperoleh perhatian yang cukup besar. Dalam rangka ini juga selama tahun-tahun 1988/89-1992/93 terus didorong dan diberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat, baik perorangan maupun organisasi-organisasi sosial, agar makin mampu dan bersedia berperan serta dalam proses pembangunan di bidang kesejahteraan sosial. Dampak dari hasil pembangunan kesejahteraan sosial yang telah dilaksanakan sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V dapat diamati antara lain dari meningkatnya perkembangan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Perkembangan ini selanjutnya menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial, sepe rti XVIII/46 sebagai pekerja sosial masyarakat, penyuluh sosial, anggota Karang Taruna, sebagai pendukung dana sosial dan sebagainya. Meningkatnya cakupan pelayanan sosial yang lebih baik mutunya merupakan salah satu upaya untuk mengurangi kesenjangan yang ada di masyarakat. Di samping itu, makin banyaknya pelayanan sosial dirasakan pula dampaknya pada makin mengurangnya gejolak sosial yang selanjutnya mendorong makin mantapnya stabilitas nasional yang juga telah berhasil dicapai selama ini. 2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan a. Program Pembinaan dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Tujuan utama program ini sejak Repelita I sampai sekarang adalah untuk membina dan mengembangkan swadaya masyarakat dengan meng gerakkan potensi dan sumber-sumber kesejahteraan sosial yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian diharapkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat dapat meningkat sehingga dapat dicegah atau diperkecil timbul nya masalah kerawanan sosial. Kegiatan program ini terutama dilaksanakan oleh Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), pemuda yang tergabung dalam Karang Taruna dan organisasi sosial lainnya. (1) Penyuluhan Masyarakat Sosial dan Pembinaan Pekerja Sosial Penyuluhan sosial yang merupakan kegiatan pokok dalam usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan untuk menciptakan kondisi agar masyarakat makin dapat menerima dan mendukung nilai-nilai pembaharuan yang diamanatkan oleh pembangunan. Untuk makin meningkatkan efektivitas kegiatan penyuluh sosial, tenaga PSM terus dibina dan ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui berbagai pelatihan. Sejak Repelita I sampai Repelita IV jumlah PSM yang dilatih setiap lima tahunnya meningkat dari sekitar 3.030 orang menjadi 71.665 orang (Tabel XVIII-6). Peningkatan mencolok jumlah PSM yang dilatih terjadi pada Repelita III dan IV yang berturut-turut sekitar 68.613 dan 71.665 orang atau rata-rata 13.600 dan 14.300 orang setiap tahunnya. Peningkatan kegiatan pelatihan tenaga PSM dalam Repelita III dan IV antara lain disebabkan oleh adanya penyempurnaan proses pembentukan PSM yang lebih singkat waktunya sehingga jumlah calon PSM yang dilatih dapat dilipatgandakan. XVIII/47 Peningkatan pelatihan PSM ini merupakan cerminan semakin meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial. Dalam lima tahun sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, setiap tahunnya jumlah PSM yang dilatih tidak banyak berbeda dengan jumlah yang dilatih dalam tahun-tahun sebelumnya, yaitu berkisar antara 10.000 orang sampai 12.900 orang. Namun demikian apabila dibandingkan dengan Repelita I, maka jumlah PSM yang dilatih sampai tahun keempat Repelita V sangat meningkat, yaitu dari sekitar 3.000 orang menjadi 12.900 orang atau meningkat menjadi lebih dari 4 kali lipat (Tabel XVIII-6). Sejalan dengan kegiatan ini sejak tahun terakhir Repelita IV telah dilaksanakan program khusus, yaitu pelatihan bagi pemuda yang potensial untuk dibina menjadi tenaga Satuan Tugas Sosial (PSM SATGASOS). Mereka yang umumnya adalah lulusan SLTA, setelah dibina menjadi tenaga PSM SATGASOS ditempatkan di daerah-daerah terpencil dan perbatasan tempat kantong-kantong masyarakat terasing. Tujuan utama tenaga PSM SATGASOS adalah mendidik, membina dan memberikan dorongan pada masyarakat daerah terpencil dan terasing untuk dapat membangun sendiri keluarga dan masyarakat melalui kegiatan pertanian, peternakan, pertukangan dan lain sebagainya yang sesuai dengan lingkungannya. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dilatih dan ditempatkan 1.520 orang PSM SATGASOS. Berkaitan dengan kegiatan ini, mulai tahun 1990/91 pola pelatihan PSM SATGASOS dilaksanakan bersama-sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk penyediaan satuan bakti guru bagi daerah terpencil. Dengan maki n bertambahnya tenaga PSM dan SATGASOS yang lebih tinggi pengetahuan, keterampilan dan pengabdiannya, akan makin tersedia tenaga yang lebih profesional untuk memperluas dan meningkatkan mutu pelayanan sosial untuk berbagai masalah sosial yang terdapat di semua daerah. (2) Pembinaan Swadaya Masyarakat Bidang Perumahan dan Lingkungan Kegiatan pembinaan swadaya masyarakat bidang perumahan ditujukan terutama untuk masyarakat pedesaan agar memiliki kesadaran akan pentingnya rumah dan lingkungan yang bersih dan sehat, sehingga mereka XVIII/48 TABEL XVIII – 6 1) PEMBINAAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1973/74 – 1992/93 (orang) 1) 2) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/49 secara gotong royong dan berantai mau memperbaiki atau memugar rumahnya yang kurang memenuhi syarat. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembinaan swadaya masyarakat melalui penyuluhan, pembuatan rumah-rumah contoh, perbaikan fisik rumah, perbaikan jalan lingkungan, pengadaan sarana mandi cuci kakus (MCK), pengadaan air bersih dan pemberian stimulan usaha produksi bahan-bahan bangunan. Dari Repelita I sampai akhir Repelita III upaya ini belum dikoordinasikan dengan sektor-sektor lain namun karena program ini bersifat lintas sektor, maka sejak permulaan Repelita IV kegiatan ini diting katkan menjadi Program Pemugaran Perumahan dan Lingkungan Desa Ter padu (P2LDT) dan dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat. Instansi-instansi yang terlibat dalam P2LDT adalah Departemen Sosial, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Kesehatan serta Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Sejak Repelita I sampai Repelita IV jumlah rumah yang dipugar secara kumulatif meningkat dari 288 buah di 19 desa pada akhir Repelita I (tahun 1973/74) menjadi lebih dan 157.529 buah rumah di 10.919 desa pada akhir Repelita IV (tahun 1988/89) (Tabel XVIII-7). Dalam lima tahun terakhir (1988/89 - 1992/93) jumlah desa yang melaksanakan pemugaran setiap tahunnya berkisar antara 2.506 desa (tahun 1988/89) dan 4.104 desa (tahun 1992/93), sehingga seluruhnya selama lima tahun berjumlah 17.810 desa. Sedangkan jumlah rumah yang dipugar pada mesa tersebut berkisar antara 30.302 rumah (tahun 1992/93) sampai sekitar 48.978 rumah (tahun 1991/92), sehingga selama lima tahun, jumlah rumah yang telah dipugar adalah sebanyak 198.123 buah (Tabel XVIII-7). Dengan demikian sejak dimulainya program ini dalam Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V telah dapat direalisasikan pemugaran perumahan desa di 26.223 desa, dengan jumlah rumah yang terpugar sebanyak sekitar 323.170 rumah. Hasil pelaksanaan tersebut termasuk usaha masyarakat sendiri melalui kegiatan perantaian dan/atau peniruan. Sedang jumlah rumah yang dipugar sebagai uji coba dalam Repelita I baru sebanyak 288 rumah di 19 desa (Tabel XVIII-7). XVIII/50 TABEL XVIII – 7 1) PELAKSANAAN PEMBINAAN SWADAYA MASYARAKAT, BIDANG PERUMAHAN DAN LINGKUNGAN MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1973/74 – 1992/93 (rumah) 1) 2) 3) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka sementara sampai dengan Desember 1992 Jumlah kumulatif sejak Repelita I sampai tahun 1992/93, untuk rumah = 323.170 rumah, untuk desa = 26.223 desa XVIII/51 Di samping itu dengan makin banyaknya rumah pedesaan yang dipugar, maka kebiasaan masyarakat desa yang rumahnya gelap, lembab dan tidak sehat, lambat laun makin berubah ke arah rumah dan lingkungan yang bersih dan sehat. Ini merupakan salah satu kemajuan yang penting dalam kehidupan masyarakat desa. Dampak kegiatan P2LDT dalam pembangunan kesejahteraan sosial antara lain tampak dari masih terpeliharanya semangat gotong royong di antara masyarakat pedesaan. Dengan terpeliharanya semangat tersebut, dapat ditingkatkan swadaya masyarakat untuk memperbaiki keluarga dan masyarakatnya untuk hidup dalam lingkungan pemukiman yang bersih dan sehat dengan melalui upaya pemugaran rumah. (3) Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing Kegiatan pembinaan masyarakat terasing dirintis dalam Repelita I dan II dengan kegiatan-kegiatan sederhana berupa pendekatan dan bimbingan sosial, pengadaan Pusat Operasi Sementara, perintisan perkampungan yang menetap, dan penyediaan sarana sosial. Tujuannya adalah untuk membantu "membuka jalan" masyarakat terasing kearah cara hidup bermasyarakat yang lebih maju seperti yang telah dinikmati oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya. Dengan menunjukkan cara-cara bermasyarakat yang lebih maju tersebut mereka akan mengenal cara -cara bertani dan berladang tetap dan tidak lagi berpindah-pindah seperti sebelum dibina. Selain itu mereka akan mengenal cara-cara memelihara kesehatan dan mengobati penyakit yang benar, perlunya pendidikan anak-anak di sekolah dan sebagainya. Dari hasil rintisan dalam Repelita I dan II diketahui bahwa pendekatan sederhana yang dilaksanakan kurang memadai hasilnya. Sejumlah keluarga yang dicoba dibina secara sederhana tersebut selama dua tahun sedikit sekali yang menunjukkan adanya perubahan sikap dan perilaku kearah yang diharapkan. Oleh karena itu dalam Repelita III selain melanjutkan pendekatan sederhana bagi yang telah dibina pada tahun-tahun sebelumnya, juga dimulai pendekatan dengan paket yang lebih lengkap. Dalam pendekatan ini selain paket bantuan seperti yang diberikan selama ini (dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan sosial, perintisan perkampungan dan penyediaan sarana sosial), juga dilengkapi dengan bantuan lain berupa lahan, rumah, jaminan hidup, pemberian bimbingan keterampilan praktis, XVIII/52 bibit pertanian dan peternakan. Dengan paket yang lebih lengkap ini jumlah kepala keluarga (KK) yang dapat dimasyarakatkan dalam suatu tahun makin dibatasi oleh karena adanya beberapa kendala, di antaranya adalah: jumlah KK perlu disesuaikan dengan ketersediaan lahan yang terbatas di suatu daerah; jumlah tenaga pengelola dan pembina yang terbatas; dan lokasi masyarakat terasing diutamakan yang masih memungkinkan dicapai dengan sarana dan prasarana yang ada. Dari hasil evaluasi yang pernah dilakukan, maka pendekatan yang terakhir dengan paket bantuan lebih lengkap tetapi dengan jumlah sasaran lebih terbatas, ternyata lebih efektif. Dari Tabel XVIII-8 dapat dilihat bahwa sejak Repelita I sampai Repelita III jumlah keluarga masyarakat terasing yang dibina setiap lima tahunnya terus meningkat dari 7.035 KK menjadi 12.995 KK. Dalam Repelita IV jumlahnya menurun menjadi 7.318 KK; demikian juga dalam lima tahun terakhir sejak 1988/89 sampai 1992/93 jumlah KK terbatas sebanyak 4.970 KK. Seperti telah disebutkan di atas, penurunan jumlah KK mulai dalam Repelita IV oleh karena adanya kebijaksanaan paket bantuan lengkap yang lebih efektif sehingga diperlukan adanya pembatasan KK yang dimasyarakatkan. Dampak dari peningkatan pembinaan masyarakat terasing antara lain terlihat dari makin meningkatnya kesejahteraan hidup mereka. Di samping cara hidup khususnya dalam hal bertani yang sudah mengikuti cara -cara yang maju, juga anak-anak mereka sudah mengikuti pendidikan di sekolah sebagaimana seharusnya. Pada umumnya anak usia 7-12 sudah mengikuti pendidikan di SD, sejumlah KK sudah berhasil menyekolahkan anak-anak ke SLTP dan SLTA, bahkan beberapa orang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mengingat masyarakat terasing dapat digolongkan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, maka keberhasilan upaya untuk memajukan kehidupan mereka merupakan bagian dari keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dicapai selama ini. (4) Pembinaan Nilai-nilai Kepahlawanan dan Keperintisan Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk pelestarian, pewarisan dan penyebarluasan nilai-nilai kepahlawanan dan keperintisan para Pahlawan Pejuang dan Perintis Kemerdekaan agar tetap dihargai dan makin lebih dihayati oleh generasi muda dan generasi yang akan datang. Kegiatan utama XVIII/53 TABEL XVIII – 8 1) PEMBINAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TERASING MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1973/74 – 1992/93 (kepala keluarga) 1) 2) 3) 4) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka diperbaiki dan kumulatif mulai tahun 1988/89, angka tahun 1988/89 angka tahunan Angka diperbaiki dan kumulatif mulai tahun 1984/85 Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/54 dari pembinaan nilai-nilai kepahlawanan dan keperintisan kemerdekaan adalah pemugaran dan pembangunan Taman-taman Makam Pahlawan (TMP), Makam-makam Pahlawan Nasional (MPN), dan Perintis Kemerdekaan (MPK) yang terdapat dihampir semua daerah. Sejak dimulainya pemugaran TMP dan lain-lain dalam Repelita II sampai tahun keempat Repelita V, jumlah kumulatif taman-taman makam yang dibangun dan dipugar sebanyak 152 TMP, 31 MPN, dan 275 MPK. Sedangkan yang dibangun dan dipugar dalam lima tahun terakhir (1988/89 1992/93) sebanyak 83 TMP, 6 MPN dan 234 MPK yang tersebar di sejumlah kabupaten dari semua propinsi kecuali Timor Timur. Selain pemugaran dan pembangunan Taman-taman Pahlawan dan Makam Pahlawan Nasional/Perintis Kemerdekaan, dilaksanakan pula pemberian bantuan sosial kepada 1.229 keluarga para Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan sebagai penghargaan atas perjuangan, pengor banan dan pengabdian para bapak, ibu, suami, istri dan saudara -saudara mereka kepada bangsa dan negara. Bantuan tersebut antara lain berupa bantuan perbaikan perumahan bagi 554 Perintis Kemerdekaan. Sementara itu dalam lima tahun terakhir ini telah dicetak buku otobiografi dan sejarah perjuangan para Pahlawan Pejuang Kemerdekaan sebanyak sekitar 150 ribu eksemplar yang disebarluaskan ke sekolah-sekolah SLIP dan SLTA seluruh Indonesia. (5) Pembinaan Organisasi Sosial Masyarakat Kegiatan ini dirintis sejak Repelita III dengan tujuan untuk membimbing dan memantapkan organisasi sosial masyarakat yang bergerak di bidang usaha kesejahteraan sosial agar makin meningkat kemampuan profesional mereka. Pembinaannya dilakukan melalui pelatihan manajemen didukung dengan pemberian bantuan perlengkapan. Dalam Repelita III dan Repelita IV telah berhasil dibina sebanyak 21.000 organisasi sosial masyarakat, termasuk Lembaga Sosial Desa, dengan mengadakan pelatihan manajemen bagi pengurus dan anggota organisasi sosial tersebut. Sementara itu telah diberikan bantuan perlengkapan dan sarana panti kepada sebanyak 2.200 organisasi sosial yang memiliki panti. Di hampir semua propinsi terdapat organisasi sosial yang memiliki panti. XVIII/55 Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai 1992/93, selain pelatihan manajemen bagi lebih kurang 4.900 pengurus organisasi sosial, juga diberikan bantuan sarana pelayanan panti kepada 2.740 organisasi sosial yang menyelenggarakan pelayanan dalam panti. Selain itu selama lima tahun sering diselenggarakan forum komunikasi dengan masyarakat mampu untuk menghimbau mereka agar bersedia menjadi "bapak angkat" dari berbagai organisasi sosial. Dengan demikian sejak Repelita III sampai tahun keempat Repelita V (tahun 1992/93) jumlah organisasi sosial yang dibina seluruhnya mencapai 4.341 organisasi, atau meningkat menjadi lima kali lipat dari jumlah yang dibina dalam Repelita III. Dengan berbagai kegiatan tersebut di atas, maka banyak organisasi sosial dan kelompok masyarakat mampu yang berperan serta dalam mengatasi masalah-masalah kesejahteraan sosial. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan kesadaran dan kesetiakawanan sosial yang penting artinya bagi upaya mengurangi kesenjangan sosial. b. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial merupakan satu bentuk pelayanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial para penyandang masalah sosial yang tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar. Dengan pelayanan ini diharapkan para penyandang masalah sosial dapat pulih harga diri mereka dan kepercayaan diri mereka serta dapat hidup mandiri secara layak, sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat berperan serta aktif dalam pembangunan. Pelayanan ini disediakan bagi para lanjut usia tidak mampu, anak terlantar dan yatim piatu, penyandang cacat (cacat tubuh, cacat mental, cacat netra, tuna rungu wicara, termasuk cacat veteran, dan bekas penyandang penyakit kusta), tuna sosial (gelandangan, pengemis dan tuna susila), fakir miskin, anak nakal, dan para korban bencana alam. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah pemberian bimbingan sosial dan motivasi, bantuan penyantunan dan pemeliharaan, pembinaan mental dan pelatihan keterampilan, pemberian modal usaha kerja, bantuan penyaluran ke lapangan kerja dan resosialisasi, pengadaan dan pengoperasian unit rehabilitasi sosial keliling dan pembinaan lanjut untuk memantapkan kemandirian dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan melalui sistem dalam panti dan sistem luar panti. Sementara itu untuk beberapa sasaran tertentu, seperti XVIII/56 gelandangan dan pengemis, upaya pelayanannya dilakukan melalui pemukiman setempat, atau melalui sistem Lingkungan Pondok Sosial (LIPOSOS). Cara ini terutama dilakukan untuk mereka yang berada di Jawa. (1) Penyantunan Lanjut Usia, Pengentasan Anak Terlantar dan Yatim Piatu Penyantunan yang diusahakan dalam rangka pelaksanaan program ini ada yang dilakukan dalam bentuk bantuan kepada keluarga dan ada yang dilakukan melalui panti lanjut usia (Sasana Tresna Werdha). Dalam Repe lita V penyantunan lanjut usia dilakukan sejauh mungkin di dalam keluarganya masing-masing. Sedangkan sistem penyantunan dalam panti merupakan upaya terakhir. Dalam Repelita I sampai Repelita IV jumlah lanjut usia yang mendapat penyantunan setiap lima tahunnya terus meningkat dari 5.000 orang pada Repelita I (tahun 1973/74) menjadi sekitar 170.560 orang pada Repelita IV (tahun 1988/89) atau meningkat dengan lebih dari 30 kali lipat (Tabel XVIII-9). Dalam Repelita V kebijaksanaan penyantunan lanjut usia dilanjutkan dengan menekankan pada mutu pelayanan penyantunan dan lebih banyak melibatkan peran serta masyarakat. Dalam lima tahun sejak 1988/89 sampai 1992/93 secara kumulatif jumlah lanjut usia yang mendapat penyantunan sebanyak 88.285 orang, atau meningkat dengan hampir 18 kali lipat apabila dibanding dengan jumlah pada Repelita I. Di samping itu, telah pula dilaksanakan perbaikan, pembangunan dan penyempurnaan 51 buah Sasana Tresna Werdha (panti lanjut usia) yang terdiri dari 46 buah panti milik pemerintah dan 5 buah panti milik swasta. Kegiatan kedua yang dilaksanakan dalam program ini adalah pengentasan anak terlantar dan yatim piatu. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk pembinaan mental, pembinaan spiritual dan pembinaan sosial yang disertai dengan pendidikan dan pelatihan keterampilan, agar anak-anak tersebut dapat disiapkan menjadi anggota masyarakat yang mandiri, produktif dan berguna bagi bangsa dan negara. Pelaksanaan pembinaan dilakukan di dalam dan di luar panti. XVIII/57 TABEL XVIII – 9 1) PELAKSANAAN PENYANTUNAN KEPADA PARA LANJUT USIA DAN ANAK TERLANTAR MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1968 – 1992/93 (orang) 1) 2) 3) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/58 Lanjutan Tabel XVIII – 9 1) 2) 3) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/58 Pembinaan di dalam panti dilaksanakan oleh pendidik dan pengasuh panti, bekerja sama dengan Balai Pelatihan Keterampilan Kerja dan Departemen Tenaga Kerja. Sedang pembinaan di luar panti diserahkan melalui asuhan keluarga. Dalam Repelita I jumlah anak terlantar yang mendapat penyantunan berjumlah 12.700 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai tahun keempat Repelita V jumlah anak terlantar yang mendapat penyantunan sebanyak lebih dari 348.000 orang, atau meningkat sebanyak kurang lebih 27 kali lipat dari Repelita I. Dengan demikian dari Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil disantun lebih dari 891.000 anak terlantar. Kenaik an ini lebih tajam lagi bila dibandingkan dengan jumlah anak terlantar yang disantun pada tahun 1968 yang jumlahnya hanya 2.100 orang. Dalam Repelita V kebijaksanaan penyantunan anak terlantar dilanjutkan dan dibesarkan dengan meningkatkan mutu pelayanan dan peran serta masyarakat. Di samping itu dalam tahun 1988/89-1992/93 telah dilakukan perbaikan gedung dan diberikan bantuan pembangunan gedung kepada 320 buah panti milik pemerintah dan 67 buah panti milik swasta yang dimanfaatkan oleh sekitar 18.845 anak. Dengan terus meningkatnya pelayanan penyantunan bagi masyarakat lanjut usia yang tidak mampu dan bagi anak-anak terlantar dan yatim piatu, maka bagi kelompok-kelompok masyarakat tersebut makin terbuka kemungkinan untuk dapat hidup secara lebih sejahtera. Khusus bagi anak-anak terlantar dan yatim piatu makin terbuka kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu meningkatkan harkat dan martabatnya. (2) Penyantunan dan Pengentasan Para Penyandang Cacat Upaya ini telah dilaksanakan sejak sebelum Repelita I melalui pemberian motivasi, rehabilitasi fisik, bimbingan mental dan sosial, dan pelatihan keterampilan kerja. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan dalam panti, yang dilakukan melalui santunan awal melalui Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK), pelatihan pada Loka Bina Karya (LBK) dan Praktek Belajar Kerja pada unit-unit usaha tertentu. Dalam Repelita I sampai Repelita IV apabila dijumlahkan keselu - XVIII/59 ruhannya penyandang cacat yang telah memperoleh pelayanan meningkat dari 27.000 dalam Repelita I (tahun 1973/74) menjadi 295.647 orang pada Repelita IV (tahun 1988/89). Peningkatan yang sangat berarti terjadi sejak Repelita III dengan dikembangkannya upaya-upaya pelayanan ke desa-desa yang dilaksanakan melalui Unit Rehabilitasi Sosial Keliling (URSK) (Tabel XVIII-10). Dalam Repelita V pelayanan ini terus dikembangkan dan lebih dimantapkan. Dari tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 jumlah penyandang cacat yang mendapat pelayanan berkisar antara 13.226 sampai 28.042 orang setiap tahunnya. Dengan demikian sejak Repelita I sampai dengan tahun keempat Repelita V jumlah penyandang cacat yang telah memperoleh pelayanan adalah sebanyak 384.681 orang atau meningkat lebih dari 14 kali lebih banyak dari jumlah dalam Repelita I. Di samping itu dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah pula diberikan bantuan pengasramaan untuk sekitar 10.500 murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) yang bersekolah di 121 SDLB milik Pemerintah Daerah. Dalam rangka menunjang kegiatan tersebut sejak tahun 1988/89 sampai dengan 1992/93 telah diperbaiki dan dibangun gedung-gedung panti cacat sebanyak 136 buah gedung, 101 buah milik Pemerintah dan 35 buah milik swasta, serta 95 gedung baru LBK. Di samping itu selama lima tahun yang lalu ini juga diadakan 102 URSK yang tersebar di seluruh propinsi. Beberapa contoh keberhasilan pembinaan potensi penyandang cacat yang dilakukan selama ini antara lain dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan Panti Cacat Tubuh (PRPCT) Prof. Dr. Soeharso di Surakarta, Palembang dan Bangil (Jawa Timur), yang telah dapat menghasilkan alat bantu seperti kaki dan tangan palsu (prothese), dan kursi roda yang harganya relatif murah. Di samping itu ketiga panti tersebut telah pula berhasil memproduksi bahan-bahan kerajinan rotan untuk diekspor. Contoh lain adalah beberapa LBK, seperti di Jakarta, Palembang, Bandar Lampung, Balikpapan, Banjarmasin, Lamongan dan Gianyar, telah berhasil memproduksi kerajinan kulit, kain songket, kain jumputan, kain sasirangan dan lukisan, yang hasil-hasilnya telah diekspor oleh pihak ketiga ke Jepang, Malaysia dan Amerika Serikat. Balai Penerbitan Braille Indonesia di Bandung telah pula berhasil menerbitkan berbagai buku pengetahuan keterampilan dalam huruf XVIII/60 TABEL XVIII – 10 1) PELAKSANAAN PENYANTUNAN DAN PENGENTASAN PARA CACAT MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1968 – 1992/93 (orang) 1) 2) 3) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka diperbaiki Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/61 braille. Buku-buku tersebut telah dikirimkan ke panti/sasana cacat netra yang tersebar di berbagai daerah. Dengan makin meningkatnya kemampuan memberikan pembinaan yang lebih memadai bagi para penyandang cacat, maka para penyandang cacat makin memperoleh kesempatan untuk dapat hidup dengan lebih baik dan mengembangkan potensinya seperti anggota masyarakat lainnya yang tidak cacat. (3) Penyantunan dan Pengentasan Tuna Sosial, Anak Nakal dan Korban Narkotika Upaya ini bertujuan untuk menyantun dan mengentaskan para tuna sosial, yaitu gelandangan, pengemis, tuna susila, bekas narapidana, anak nakal dan korban narkotika agar hidup mereka dapat lebih baik dan lebih layak. Kegiatan rehabilitasi-rehabilitasi sosial untuk mereka terutama berupa bimbingan sosial dan motivasi, pembinaan mental dan spiritual dan pelatihan keterampilan untuk dapat memanfaatkan kesempatan kerja yang ada. Khusus untuk anak nakal dan korban narkotika, kegiatan rehabilitasi tersebut ditekankan pada upaya pencegahan dalam bentuk penyuluhan tentang bahaya narkotika melalui pertemuan dengan warga masyarakat dan penyebaran selebaran tentang hal tersebut. Bagi para penderita diupayakan rehabilitasi sosial, baik dalam panti maupun di luar panti melalui bimbingan mental, sosial dan fisik dan pelatihan keterampilan. Dalam Repelita I telah direhabilitasi dan dientaskan gelandangan dan pengemis sebanyak 2.282 orang. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah direhabilitasi sebanyak 7.528 orang gelandangan dan pengemis yang berarti meningkat sebanyak 2 kali dari jumlah Repelita I. Sedangkan untuk tuna susila dan anak nakal korban narkotika yang rehabilitasinya dilaksanakan sejak awal Repelita II, berjumlah masing-masing 1.420 orang dan 476 orang pada akhir Repelita II (tahun 1978/79). Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah direhabilitasi sebanyak 5.850 orang tuna susila dan 6.869 orang anak nakal korban narkotika, yang berarti meningkat berturut turut 3 dan 13 kali dari jumlah dalam Repelita II. Untuk menunjang kegiatan-kegiatan tersebut sejak tahun 1988/891992/93 telah diperbaiki dan disempurnakan 23 buah panti rehabilitasi tuna XVIII/62 susila, 11 buah panti anak nakal korban narkotika dan 10 buah Lingkungan Pondok Sosial (LIPOSOS) untuk menampung dan melatih para gelandangan dan pengemis. Dengan demikian sejak Repelita I sampai tahun keempat Repelita V telah dilaksanakan rehabilitasi untuk 54345 gelandangan dan pengemis, 13.535 tuna susila dan 17.938 anak nakal korban narkotika. Keberhasilan yang menonjol dari upaya rehabilitasi bagi warga binaan ini dicapai oleh Panti Rehabilitasi Sosial Bekas Korban Narkotika Wisma Teratai (Jawa Timur) dan Yayasan Harapan Ibu. Kedua panti ini telah memperoleh pesanan dari berbagai pengusaha untuk barang-barang industri rotan, kulit, sepatu dan tas yang dihasilkan oleh warga binaan kedua panti tersebut. Di camping itu Panti Rehabilitasi Sosial Bekas Korban Narkotika Khusus Putri di Lembang (Jawa Barat) telah pula menjalin kerja sama dengan perusahaan pakaian jadi dan sebagian besar anak-anak binaannya dapat disalurkan untuk bekerja pada perusahaan tersebut. Dengan keberhasilan upaya penyantunan dan pengentasan masalah-masalah tuna sosial, anak nakal dan korban narkotika, maka akan dirasakan dampaknya dalam ikut mengurangi adanya gejolak-gejolak sosial yang dapat mengganggu kestabilan nasional yang mantap yang telah dicapai selama ini. (4) Bantuan Pengentasan Fakir Miskin Upaya ini bertujuan untuk membantu meningkatkan taraf kesejahteraan sosial kelompok masyarakat yang sangat miskin di daerah pedesaan melalui pemberian motivasi, pembentukan kelompok, dan pemberian paket usaha-usaha produktif yang diawali dengan pelatihan keterampilan sesuai dengan paket bantuan yang diterimakan. Paket usaha produktif dikelola secara berkelompok yang masing-masing terdiri dari 10 KK. Di setiap desa miskin yang terpilih rata-rata disantun antara 3-5 kelompok usaha bersama (KUBE). Dalam Repelita IV kegiatan ini masih merupakan uji coba yang dilaksanakan di 17 propinsi dan jumlah warga yang dibantu baru kurang lebih 19.540 KK. Baru sejak tahun 1988/89 upaya ini ditingkatkan dan dibesarkan sehingga dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V apabila dijumlahkan seluruhnya berhasil dibantu sebanyak 57.141 KK fakir miskin di 1.914 desa. Dengan demikian sejak dirintis XVIII/63 dalam Repelita IV, jumlah fakir miskin yang dibantu sampai tahun keempat Repelita V sebanyak 73.971 KK di 2.157 desa (Tabel XVIII-11). Upaya ini sejak tahun 1991/92 telah dipadukan dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang lain seperti program Pembangunan Kawasan Terpadu (PKT), pembinaan kredit kecil melalui KUD dan pengadaan air bersih. Dari pengamatan yang dilakukan terlihat adanya peningkatan kesejahteraan di antara penduduk desa yang memperoleh bantuan dari kegiatan ini. Di antaranya dapat dilihat di desa Batujai Lombok Tengah yang pada tahun 1989/90 mendapat bantuan dalam bentuk kambing sebanyak 90 ekor. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, bantuan kambing tersebut telah berkembang biak menjadi 450 ekor. Begitu pula dengan 10 desa di Tasikmalaya yang pada tahun 1989/90 memperoleh bantuan 1.240 ekor domba. Dalam waktu 2 tahun jumlah domba di ke 10 desa tersebut telah bertambah menjadi 2.673 ekor. Dari jumlah itu, sebanyak 150 ekor telah dijual untuk menambah penghasilan para binaan dan 218 ekor diberikan kepada fakir miskin lain yang belum memperoleh pembinaan. Hasil dari kegiatan pengentasan kelompok yang sangat miskin ini, meskipun tidak dalam jumlah yang besar, penting artinya sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan pada umumnya. (5) Bantuan Rehabilitasi Korban Bencana Alam Upaya ini bertujuan untuk memberi bantuan guna meringankan beban masyarakat, khususnya masyarakat tidak mampu yang tertimpa bencana alam seperti gunung api meletus, gempa bumi, tanah longsor, angin topan dan banjir. Upaya yang dilakukan adalah pemberian bantuan dalam bentuk bahan makanan, obat-obatan dan bahan rumah untuk merehabilitasi rumah yang rusak atau hancur akibat bencana. Rumah-rumah tersebut dapat dibangun kembali di lokasi semula atau dipindahkan ke lokasi yang lebih aman yang pembangunannya dilaksanakan secara gotong royong. Dalam Repelita I sampai Repelita IV pemberian bantuan berupa bahan bangunan untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak meningkat dalam setiap lima tahunnya dari hanya 3.833 unit rumah dalam Repelita I (tahun 1973/74) menjadi 18.802 unit rumah dalam Repelita IV (tahun 1988/89) atau meningkat menjadi lebih dari 4 kali lipat. Sementara itu pemberian bantuan bahan bangunan rumah sejak tahun 1988/89 sam pai XVIII/64 TABEL XVIII – 11 1) PENYANTUNAN DAN PENGENTASAN FAKIR MISKIN MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1987/88 – 1992/93 (desa dan kepala keluarga) 1) 2) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/65 dengan tahun 1992/93 berkisar antara 1.710 dan 2.845 unit rumah (Tabel XVIII-12). Peningkatan bantuan tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya bencana alam dalam Repelita IV seperti meletusnya gunung Galunggung, gunung Gamalama, dan gunung Kelud, terjadinya gempa bumi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur, tanah longsor di Irian Jaya, dan banjir yang melanda beberapa wilayah. Dalam rangka mendukung kegiatan rehabilitasi sosial korban bencana alam dilaksanakan pelatihan satuan tugas sosial penanggulangan bencana (Satgasos PB), diusahakan perlengkapan peralatan penanggulangan bencana alam, penyelamatan korban-korbannya, dan diselenggarakan penyuluhan bimbingan sosial bagi masyarakat di daerah rawan bencana alam. Dalam Repelita I sampai Repelita IV tercatat beberapa bencana yang besar, yaitu meletusnya gunung Agung di Bali, gunung Colo dan Soputan di Sulawesi Utara dan gunung Galunggung di Jawa Barat; terjadinya gempa bumi di Daerah Istimewa Aceh, Jawa Barat, Bali dan Sulawesi Utara; dan terjadinya tanah longsor di Lembah Baliem (Irian Jaya) dan Padang (Sumatera Barat). Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V, bencana-bencana besar yang terjadi adalah meletusnya gunung Kelud di Jawa Timur, gunung Kie Besi dan gunung Gamalama di Maluku; terjadinya gempa bumi di Majalengka (Jawa Barat) dan Flores (Nusa Tenggara Timur), tanah longsor di Kurima (Irian Jaya) dan Tasikmalaya (Jawa Barat); dan terjadinya bencana kekeringan di Gunung Kidul (Jawa Tengah) dan Nusa Tenggara Timur. Mengingat penanggulangan bencana merupakan upaya yang bersifat lintas sektor, pada tahun 1990 Presiden telah mengeluarkan Keppres No. 49 Tahun 1990 sebagai pengganti Keppres No. 28 Tahun 1979 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) menjadi BAKORNAS PB yang mengatur memuat koordinasi antar berbagai instansi yang saling berkaitan sejauh fungsi masing-masing apabila terjadi bencana alam. Badan ini diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan beranggotakan Menteri-menteri Sosial, Dalam Negeri, Pekerjaan Umum, Penerangan, Kesehatan, Panglima Angkatan Bersenjata RI dan Gubernur dari propinsi yang sedang mengalami bencana alam. Di daerah, Bakornas PB langsung berhubungan dengan Daerah Tingkat II, tidak melalui Daerah Tingkat I. Oleh karena itu di Daerah XVIII/66 TABEL XVIII – 12 1) BANTUAN RUMAH DAN REHABILITASI RUMAH KEPADA KORBAN BENCANA ALAM MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1973/74 – 1992/93 (unit rumah) 1) 2) Angka kumulatif lima tahunan untuk setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/67 Tingkat II dibentuk SATLAK PB dengan keanggotaan dari instansi yang sama seperti di Pusat. c. Program Pembinaan Generasi Muda Pembinaan generasi muda di bidang kesejahteraan sosial dipusatkan pada peningkatan pembinaan Karang Taruna, sebagai satu-satunya organisasi sosial kepemudaan di tingkat desa. Agar dapat berfungsi sebagai wadah untuk menanggulangi dan mencegah masalah-masalah kenakalan remaja serta mampu mengemban tugas mengatasi masalah-masalah sosial di lingkungannya, seorang anggota Karang Taruna dibina agar mampu men ciptakan lapangan kerja serta memiliki keterampilan kerja yang handa l. Dalam Repelita I sampai tahun keempat Repelita V telah dilakukan berbagai upaya dan dorongan melalui pemberian peralatan olahraga dan kesenian sehingga di semua desa telah tumbuh dan berkembang organisasi Karang Taruna. Dalam Repelita V pembinaan Karang Taruna dititik beratkan pada peningkatan mutu organisasi melalui pengkaderan, pelatihan dalam berbagai keterampilan seperti industri dan pertanian, dan pemberian bantuan paket Sarana Usaha Karang Taruna. Sejak tahun 1989/90 sampai 1992/93 bantuan tersebut telah diberikan kepada lebih dari 10.000 Karang Taruna (Tabel XVIII-13). Di samping itu telah pula diselenggarakan Pekan Bakti Sosial Karang Taruna di semua propinsi dan Studi Karya Bakti Karang Taruna antar propinsi di seluruh Indonesia. Hasil-hasil pembinaan selama ini yang dapat dilihat antara lain adalah timbulnya usaha-usaha Karang Taruna dalam bidang industri, kerajinan rotan, kulit, bambu, kayu, perbengkelan, pertambakan dan pertanian di beberapa daerah, seperti di desa-desa Raba (Bima), Pagar Dewa (Bengkulu), Sidomulyo (Magetan), Babad (Lamongan), Purwodadi (Pasuruan), Wonoatu (Trenggalek), Singasari (Tasikmalaya), Petobo (Donggala), Bangunjiwo (Bantul) dan Pakem (Kaliurang). Selain itu, terdapat pula beberapa Karang Taruna dari sejumlah desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan, yang ikut mengelola Posyandu, memberikan pelayanan Keluarga Berencana dan melaksanakan Program Paket Kerja dan Belajar (KEJAR) dari Program Pendidikan Masyarakat. XVIII/68 TABEL XVIII – 13 BANTUAN PAKET SARAN USAHA KARANG TARUNA MENURUT DAERAH TINGKAT I, 1989/90 – 1992/93 (Karang Taruna) 1) Angka sementara sampai dengan Desember 1992 XVIII/69 d. Program Peningkatan Peranan Wanita Program ini bertujuan untuk membina dan meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan, khususnya peranan wanita di pedesaan yang tergolong miskin dan pars janda, berbagai kegiatan untuk meningkatkan keterampilan mereka. Usaha pembinaan dan peningkatan peranan tersebut diwujudkan dalam bentuk bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD) dan Usaha Pencegahan Urbanisasi Wanita usia muda ke kota. Usaha itu ditunjang dengan penyediaan buku-buku keterampilan usaha industri rumah tangga dan keterampilan praktis lainnya. Selain itu dilaksanakan pula pelatihan kepemimpinan wanita bagi kader pimpinan penggerak wanita tingkat Kabupaten. Sejak tahun pertama Repelita III (tahun 1979/80) sampai dengan akhir Repelita IV (tahun 1988/89) dalam rangka pelaksanaan program ini telah dibina sekitar 49.000 wanita rawan sosial ekonomi, yang tempat tinggalnya tersebar di 3.270 desa, dan telah dilatih lebih dari 9.000 orang pemimpin organisasi wanita yang tempat tinggalnya tersebar di 285 kabupaten. Selama lima tahun sejak tahun 1988/89, telah pula berhasil dilatih dan dibantu sebanyak kurang lebih 3.700 wanita rawan sosial ekonomi yang tinggal di 250 desa, 1.700 orang kader pimpinan wanita di 57 kabupaten, dilakukan penyuluhan pencegahan urbanisasi wanita muda di 50 desa. Dengan demikian sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V telah berhasil dilatih 10.085 orang kader pimpinan wanita di 319 kabupaten dan disediakan bantuan bagi 52.700 wanita rawan sosial ekonomi di 3.520 desa. e. Program Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesejahteraan Sosial Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan keterampilan tenaga-tenaga pelaksana pembangunan di bidang kesejahteraan sosial, baik yang pegawai Pemerintah maupun yang bukan, melalui berbagai pelatihan penjenjangan dan pelatihan profesi pekerjaan sosial. Dalam Repelita I sampai Repelita IV latihan penjenjangan bagi pegawai negeri, seperti Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA), telah diikuti oleh 244 orang, Sekolah Pimpinan Administrasi Tingkat Madya (SEPADYA) diikuti oleh 195 orang, dan Sekolah Pimpinan Administrasi XVIII/70 Tingkat Lanjutan (SEPALA) oleh 710 orang. Sementara itu sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 sebanyak 46 orang telah mengikuti SESPA, 190 orang mengikuti SEPADYA dan 570 orang mengikuti 570 SEPALA. Di samping pelatihan penjenjangan mulai Repelita III telah dilaksanakan pelatihan profesi pekerjaan sosial, baik pelatihan dasar maupun pelatihan keahlian bagi para pegawai negeri agar pelayanan-pelayanan yang mereka berikan menjadi makin profesional. Sampai dengan akhir Repelita IV dalam pelaksanaan program ini telah dilatih 825 orang. Dan selama lima tahun terakhir sampai tahun keempat Repelita V pelatihan ini diikuti oleh 516 orang. Dengan demikian sejak Repelita III sampai dengan tahun keempat Repelita V melalui program ini telah dilatih 1.075 orang. Dalam usaha meningkatkan kelancaran pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial di tingkat Kecamatan, sejak Repelita IV telah dilaksanakan Pelatihan Pemantapan Petugas Sosial Kecamatan (PSK) yang diikuti oleh 786 orang pegawai pemerintah. Dan pelatihan yang dilaksanakan sejak tahun 1989/90 sampai dengan tahun keempat Repelita V diikuti oleh 450 orang pegawai. Dalam upaya menyiapkan tenaga kader di bidang kesejahteraan sosial diselenggarakan pula pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) di Bandung. Selanjutnya program ini juga dilatih PSM SATGASOS yang dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V telah diikuti oleh 1.520 orang. Mereka itu untuk selanjutnya ditempatkan di daerah terpencil dan perbatasan tempat kantong-kantong masyarakat terasing. f. Program Penyempurnaan Efisiensi Aparatur Pemerintah dan Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu proses perencanaan dan memantapkan kegiatan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan agar pelaksanaan proyek-proyek pembangunan berjalan lancar. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi perencanaan tahunan yang dilakukan melalui Konsultasi Perencanaan Program (KPP) di 2 atau 3 wilayah. XVIII/71 Untuk meningkatkan kemampuan perencana baik di tingkat Pusat, tingkat Propinsi maupun tingkat Kabupaten, pada tahun 1992/93 telah di laksanakan pelatihan bagi 351 perencana di seluruh propinsi. Dalam pelatihan ini termasuk pelaksanaan uji coba penyempurnaan proses perencanaan dari bawah. Pada tahun itu pelatihan ini diselenggarakan di propinsi Sumatera Selatan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Dalam rangka pelaksanaan program ini dilaksanakan pula kegiatan-kegiatan pembinaan, pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan. Selama lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V melalui kegiatan-kegiatan tersebut telah diperiksa sebanyak 1.408 obyek pemeriksaan. C. PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BANGSA 1. Pendahuluan Peranan wanita dalam pembangunan secara khusus telah mendapat perhatian dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1978, dan dalam GBHN berikutnya peranan dan status wanita telah semakin mendapatkan tempat yang mantap. GBHN 1988 pada intinya mengamanatkan integrasi wanita dalam pembangunan yang mengandung prinsip peningkatan kedudukan dan peranan wanita; prinsip kemitrasejajaran antara pria dan wanita, baik dalam keluarga, dalam masyarakat maupun dalam melaksanakan pembangunan nasional; dan prinsip peran ganda wanita yaitu keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara peranannya dalam keluarga dan dalam masyarakat. Dibandingkan dengan keadaan dalam Repelita III dan Repelita IV, maka dalam Repelita V berbagai indikator tentang peranan wanita telah menunjukkan berbagai kemajuan. Di bidang pendidikan luar sekolah angka penyandang tiga buta, yaitu buta aksara dan angka, buta Bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar makin berkurang. Persentase wanita penyandang buta aksara berumur 10-44 tahun pada tahun 1971 adalah 41,2%, kemudian menurun menjadi 26,2% pada tahun 1980 dan turun lagi menjadi 10,9% pada tahun 1990. Dengan demikian telah terjadi percepatan penurunan angka buta aksara selama dasawarsa 1980-1990, yaitu 41,6% dibandingkan percepatan penurunan dalam dasawarsa 1970-1980 yang hanya sebesar 23,6%. XVIII/72 Sementara itu angka partisipasi wanita dalam pendidikan sekolah meningkat dari 40,8% di SLTP, 22,6% di SLTA, dan 3,2% di Perguruan Tinggi (PT) pada akhir Repelita III menjadi 47,4% di SLTP, 30,2% di SLTA, dan 4,7% di PT pada akhir Repelita IV. Di bidang angkatan kerja, jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja meningkat dari 32,4% pada akhir Repelita III menjadi 37,6% pada akhir Repelita IV. Selain itu, komposisi jenis lapangan kerja wanita juga mengalami perubahan. Dalam kurun waktu akhir Repelita II sampai dengan akhir Repelita IV lapangan kerja wanita di bidang Pertanian menurun dari 63,3% pada akhir Repelita II menjadi 53,7% pada akhir Repelita IV; di bidang Industri naik dari 9,0% menjadi 12,2%; dan di bidang jasa naik dari 27,7% menjadi 34,1%. Perubahan tersebut menunjukkan bahwa lapangan kerja wanita juga cenderung berubah dari Pertanian ke arah Industri sesuai dengan perubahan struktur ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional. Di bidang kesehatan beberapa indikator juga menunjukkan adanya perbaikan. Angka kematian ibu yang melahirkan telah turun dari 800/100.000 kelahiran pada akhir Repelita III menjadi 450/100.000 kelahiran pada akhir Repelita IV. Selama lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89 partisipasi wanita dalam pendidikan sekolah, terutama di SLTA dan PT masing-masing meningkat dari 30,2% dan 4,7% pada tahun 1988/89 menjadi 33,2% dan 5,5% pada tahun keempat Repelita V. Demikian pula jumlah wanita yang memasuki lapangan kerja meningkat dari 32,6% pada tahun 1980 menjadi 39,2% pada tahun 1990. Sementara itu komposisi jenis lapangan kerja wanita juga mengalami perubahan. Dalam kurun waktu yang sama partisipasi wanita di bidang pertanian menurun dari 53,7% menjadi 49,2%. Sementara itu di bidang industri, perdagangan dan jasa, partisipasi wanita terus meningkat dari 44,3% dalam tahun 1980 menjadi 49,1% dalam tahun 1990. Perubahan struktur lapangan kerja wanita tersebut mengikuti perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri sesuai hasil pembangunan. Demikian pula di bidang kesehatan, dalam kurun waktu yang sama beberapa indikator juga menunjukkan adanya peningkatan. Angka kematian ibu yang melahirkan menurun dari 450/100.000 kelahiran pada tahun 1985 menjadi 340/100.000 kelahiran pada tahun 1990. Angka harapan hidup wanita juga meningkat dari rata-rata 53,7 tahun dalam tahun 1980 menjadi 61,5 tahun pada tahun 1990. Berbagai kemajuan tersebut antara lain menunjukkan bahwa kebijaksanaan beserta langkah-langkah pelaksanaannya yang diarahkan untuk XVIII/73 makin meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan yang telah dimulai sejak Repelita III dan ditingkatkan terus sampai dengan tahun keempat Repelita V, telah membuahkan hasil berupa kesempatan yang semakin terbuka bagi para wanita untuk turut serta dan memegang peranan yang lebih penting dalam setiap kegiatan pembangunan, masing-masing sesuai dengan bakat, kemampuan dan perhatiannya. Dalam Repelita V program Peningkatan Peranan Wanita (P2W) dalam pembangunan dikelompokkan dalam berbagai kegiatan khusus P2W dan kegiatan yang diintegrasikan dalam berbagai sektor pembangunan. Kegiatan khusus P2W meliputi antara lain kegiatan pelatihan dan penyuluhan, gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), gerakan Bina Keluarga Balita (BKB) dan program terpadu Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) serta kerja sama internasional. 2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan a. Kegiatan Pelatihan (1) Latihan Pelatih Kepemimpinan Kepemimpinan Wanita Wanita/Latihan Untuk memenuhi kebutuhan akan wanita-wanita pemimpin yang berkualitas, mulai tahun 1985 (Repelita IV) telah dikembangkan Latihan Kepemimpinan Wanita (LKW) dan Latihan Pelatih Kepemimpinan Wanita (LPKW). Tujuan LKW ialah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta memantapkan sikap mental para wanita pemimpin tingkat propinsi dan tingkat kabupaten/kodya dalam kepemimpinan dan manajemen program, sehingga mampu menjadi penggerak masyarakat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan program, terutama program peningkatan peranan wanita. Selama kurun waktu Repelita IV telah dilaksanakan pelatihan bagi 2.873 orang wanita di 13 propinsi, yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW) dan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di daerah. Dalam lima tahun terakhir sejak tahun 1988/89, Latihan Kepemimpinan Wanita (LKW) lebih dikembangkan dan dilaksanakan pula oleh berbagai instansi pemerintah serta organisasi kemasyarakatan, baik di XVIII/74 tingkat pusat, propinsi dan maupun di tingkat kabupaten. Dalam lima tahun tersebut telah dilakukan pelatihan LKW bagi 24.078 orang pemimpin organisasi wanita. Jumlah ini lebih dari 8 kali lipat dibandingkan dengan hasil pelatihan pada Repelita IV. Selain itu selama kurun waktu ter sebut telah diselenggarakan pula 9 angkatan Latihan Pelatih Kepemimpinan Wanita (LPKW) di 23 propinsi yang diikuti oleh 290 orang. Sebagai hasil dari pelatihan-pelatihan tersebut para pemimpin wanita dan organisasi-organisasi wanita telah lebih mampu berperan sebagai mitra kerja pemerintah daerah dan sebagai anggota pimpinan di Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dalam ikut berperan dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Mereka banyak yang telah mampu berperan baik sebagai anggota badan legislatif, pegawai pemerintah, pengusaha maupun sebagai pemuka masyarakat. (2) Pelatihan Teknik Analisis Gender Kegiatan pelatihan teknik analisis gender bertujuan untuk memperkenalkan petunjuk dasar teknik analisis gender atau analisis menurut jenis kelamin untuk kepentingan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program pembangunan. Sasaran pelatihan adalah para tenaga perencana dan administrator pembangunan di berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat. Kegiatan telah mulai dikembangkan pada tahun 1990/91 dan sejak itu telah mendidik 36 orang peserta sebagai pelatih inti. Penyelenggaraan pelatihannya dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dalam tahun 1992/93 kegiatan ini diprioritaskan bagi para perencana dan administrator, serta bagi para peneliti dan widyaiswara di berbagai Departemen dan Lembaga bukan Departemen seperti di Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Kehutanan, BKKBN, Lembaga Administrasi Negara serta Pusat Studi Wanita pada sejumlah Perguruan Tinggi, dan di berbagai organisasi masyarakat; peserta seluruhnya berjumlah 826 orang. Dengan adanya pelatihan khusus tentang analisis gender ini berbagai data dan informasi untuk perencanaan di beberapa sektor telah didasari dengan wawasan gender, artinya telah memerinci data dan informasi menurut jenis kelamin. Apabila dulu hanya dikenal adanya data gender di sektor kependudukan (demografi) maka sekarang di bidang pendidikan, XVIII/75 lapangan kerja, kesehatan, dan lain-lain juga telah mencantumkan data laki-laki dan wanita. Selain itu analisis gender juga telah meningkatkan kesadaran umum akan masih adanya kesenjangan antara pria dan wanita di berbagai segi kehidupan masyarakat yang dapat menghambat pembangunan. Melalui hasil analisis gender ini dapat disusun kebijaksanaan dan perencanaan program untuk mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan tersebut. b. Peningkatan Peranan Sejahtera (P2WKSS) Wanita menuju Keluarga Sehat Kegiatan P2WKSS telah dilaksanakan sejak awal Repelita III dan merupakan kegiatan lintas sektoral terpadu yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, kesadaran dan sikap mental wanita dalam meningkatkan dan mengembangkan keluarga sehat dan sejahtera. Sasaran kegiatan ini adalah wanita berumur 19 sampai dengan 45 tahun dari keluarga yang kekurangan baik dilihat dari tingkat pendidikannya maupun dari derajat kesehatan dan penghasilannya. Selain itu diberikan perhatian pula kepada wanita yang berstatus sebagai kepala keluarga di daerah pedesaan dan perkotaan yang masih tergolong rawan keadaan sosial dan ekonominya. Kegiatan ini dilaksanakan di setiap kabupaten, masing-masing di 2 kecamatan. Di kecamatan yang ditunjuk tersebut masing-masing ditetapkan 2 desa sebagai lokasi proyek. Pelaksanaan di tingkat Pusat dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (Meneg UPW), sedangkan di tingkat daerah oleh aparat Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas pembangunan desa. Sejak Repelita III sampai tahun keempat Repelita V P2WKSS telah dilaksanakan di semua propinsi dan telah meliputi 296 kabupaten/kodya 3.906 kecamatan dan 7.832 desa. Jumlah tersebut termasuk yang dilaksanakan dalam tahun 1988/89 sampai 1992/93 di 684 kecamatan dan meliputi sebanyak 1.368 desa. Dampak dari kegiatan P2WKSS antara lain adalah adanya dorongan bagi masyarakat untuk berswadaya dalam penataan lingkungan kumuh, penyediaan air bersih pedesaan, perbaikan saluran air, perbaikan MCK dan XVIII/76 lain-lain; kesemuanya atas prakarsa dan peran serta wanita di desa setempat. Selain itu kegiatan P2WKSS juga membantu pelaksanaan kegiatan sektoral seperti P-4, pemberantasan tiga buta, penyuluhan pertanian, penyelenggaraan Posyandu, penyuluhan gizi, kesehatan dan Keluarga Berencana, dan lain sebagainya. Keikutsertaan P2WKSS dalam berbagai kegiatan sektoral tersebut merupakan salah satu bukti adanya keterlibatan wanita tidak saja sebagai sasaran pembangunan tetapi juga sebagai pelaku pembangunan. c. Gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) PKK sebagai Pendidikan Kesejahteraan Keluarga di mulai pada tahun 1967 di Propinsi Jawa Tengah. Pada akhir Repelita I (tahun 1972) PKK sebagai Pembinaan Kesejahteraan Keluarga dinyatakan sebagai gerakan nasional wanita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan. Tujuan PKK adalah untuk meningkatkan keterampilan dan memperluas pengetahuan wanita dalam mewujudkan keluarga sehat sejahtera. Pelaksanaan kegiatannya didasarkan atas 10 program-pokok PKK. Melalui kader-kadernya yang terlatih gerakan PICK telah berhasil memotivasi masyarakat ke arah kehidupan yang sehat dan sejahtera, rohaniah dan jasmaniah, di seluruh desa di Indonesia. Kader-kader ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan dan menghidupkan gerakan PKK. Untuk mendorong berkembangnya gerakan PKK tersebut, sejak tahun 1982/83 Pemerintah memberikan bantuan biaya operasional sebesar Rp 250.000,- untuk setiap PKK di setiap desa sebagai bagian dari Inpres bantuan desa. Mulai tahun 1988/89 bantuan tersebut dinaikkan menjadi Rp 300.000,- kemudian sejak tahun 1990/91 sampai tahun keempat Repelita V (1992/93) berturut -turut meningkat lagi menjadi Rp 500.000,-, Rp 700.000,- dan Rp 900.000,untuk setiap PKK di setiap desa. Dalam Repelita III, pada tahun 1982, dibentuk satuan-satuan penggerak PKK untuk memantau pelaksanaan tugas-tugas PKK. Sampai dengan akhir Repelita IV telah terbentuk satuan penggerak PKK di semua propinsi, yang mencakup 296 kabupaten/kodya, 28 kota administratif, 3.526 kecamatan dan 66.174 desa. Selain itu juga telah dihasilkan lebih dari 1,4 juta orang kader umum dan 2,3 juta orang kader khusus PKK. Sejak dibentuknya satuan penggerak, PICK juga telah aktif mendukung program XVIII/77 pendidikan luar sekolah, khususnya kegiatan pemberantasan tiga but a, yaitu buta aksara, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar, yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk itu, sampai akhir Repelita IV PKK telah ikut memelopori terbentuknya 453 ribu Kelompok Belajar Paket A dan terbangunnya sekitar 58 ribu perpustakaan desa. Di samping itu PKK juga aktif berperan serta dalam program pelayanan kesehatan masyarakat dengan membentuk dan mengelola 214,5 ribu Posyandu serta membangun 6 juta lebih jamban keluarga dan 673 ribu unit MCK umum. Selama lima tahun terakhir sejak 1988/89, prioritas kegiatan ditujukan untuk lebih mendukung program pelayanan kesehatan masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan wanita dan anak balita. Prioritas ini ditetapkan untuk mendukung upaya percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi dan anak balita, dengan lebih memperbanyak pembentukan Posyandu dan meningkatkan mutu pelayanannya. Salah satu kegiatan yang. dilaksanakan PKK untuk memperluas jangkauan dan mutu pelayanan Posyandu adalah dibentuknya Dasawisma, yaitu unit pelayanan terkecil dalam lingkungan PKK yang terdiri dari 10-20 keluarga. Dengan Dasawisma ini setiap ibu yang mengandung dan setiap anak balita yang ada di desa dapat dijangkau oleh pelayanan Posyandu. Setiap Dasawisma dilayani oleh satu atau dua orang kader PKK yang telah dilatih secara khusus dan kader tersebut bertempat tinggal di lingkungan Dasawisma. Dalam kurun waktu lima tahun sejak tahun 1988/89 telah berhasil dibentuk 3,6 juta kelompok Dasawisma dan sebagai penunjangnya telah dilatih 232 ribu kader untuk mengintegrasikan pembinaan dan pemantauan kegiatan PKK ke dalam setiap Dasawisma. Di samping itu sejak tahun 1982 sampai tahun keempat Repelita V gerakan PKK telah berhasil membantu mengembangkan 417,7 ribu Kelompok Belajar Usaha, 929,7 ribu Kelompok Simpan Pinjam, 4,2 juta Kelompok Serba Usaha, dan 15,4 juta Kelompok Usaha Bersama dan juga sejumlah besar kelompok-kelompok Kejar Paket A, semuanya khusus untuk kelo mpok wanita. Dampak dari pelaksanaan kegiatan PKK di setiap desa di Indonesia telah terlihat dengan makin berkembangnya pengetahuan, wawasan, sikap dan perilaku wanita, baik diperkotaan maupun di daerah pedesaan ke arah XVIII/78 yang lebih mendukung pelaksanaan pembangunan nasional di berbagai bidang. Misalnya, melalui kelompok wanita tani dan nelayan, gerakan PKK telah memberikan sumbangan dalam upaya pencapaian swasembada pangan; melalui Posyandu dan Dasawismanya, gerakan PKK telah ikut berperan serta dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita, keberhasilan KB, dan perbaikan gizi masyarakat; dan sebagainya. Atas keberhasilan PKK ikut berperan serta aktif dalam meningkatkan derajat kesehatan anak terutama melalui Posyandu, gerakan PKK telah mendapat penghargaan internasional berupa "Maurice Pate Memorial Award " dari UNICEF di New York tanggal 18 April 1988 dan "Sasakawa Health Prize" dari WHO pada tanggal 4 Mei 1988 di Genewa. d. Bina Keluarga Balita (BKB) Bina Keluarga Balita bertujuan untuk meningkatkan kemampuan ibu dan anggota keluarga lainnya dalam membina pertumbuhan dan perkembangan anak Balita secara optimal. Kegiatan BKB terdiri dari pelatihan kader BKB, pengadaan materi penunjang komunikasi informasi edukasi (ME). BKB dan pembentukan kelompok-kelompok BKB. Bina Keluarga Balita dimulai tahun 1981 di Cirebon, Semarang dan Ujung Pandang sebagai proyek perintis. Agar berkembang menjadi suatu gerakan masyarakat maka dalam bulan Desember 1991 oleh Presiden kegiatan BKB di canangkan sebagai "Gerakan BKB". Sejak pencanangan tersebut kegiatan ini berkembang pesat. Apabila dalam waktu Repelita III dan Repelita IV kegiatan BKB hanya dilaksanakan di kurang lebih 1.200 desa, maka dalam lima tahun terakhir (tahun-tahun 1988/89 - 1992/93), kegiatan tersebut telah menjangkau lebih dari 24.500 desa. Propinsi-propinsi yang terbanyak melaksanakan kegiatan BKB ialah Lampung, Bali dan Jambi. Di ketiga propinsi tersebut kurang lebih 50% dari desanya telah menyelenggarakan kegiatan BKB. Gerakan BKB telah dirasakan manfaatnya bagi perkembangan anak balita di pedesaan. Gerakan ini telah mendukung dan melengkapi kegiatan-kegiatan Posyandu, KB dan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) yang secara terpadu dilaksanakan di pedesaan. Dengan berbagai kegiatan tersebut upaya peningkatan mutu fisik, mental dan spiritual anak-anak dapat makin digalakkan. XVIII/79 e. Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu Kegiatan peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) dirintis oleh suatu lembaga swadaya masyarakat dalam Repelita II. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kembali pemanfaatan ASI sebagai makanan bayi utama. Kegiatan ini digalakkan berhubung dengan adanya kecenderungan makin menurunnya penggunaan ASI bagi bayi terutama dikalangan masyarakat perkotaan. Sebaliknya susu formula bayi yang makin gencar dipasarkan oleh industri-industri susu makin meningkat penggunaannya. Padahal bagi seorang bayi ASI lebih bermutu dan lebih sesuai bagi bayi daripada susu formula. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan PP-ASI ditekankan pada kegiatan penyuluhan mengenai pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Di samping itu dirintis pertemuan-pertemuan baik yang bersifat ilmiah maupun umum untuk mendorong makin meluasnya kegiatan PP-ASI. Dengan dukungan media massa kegiatan PP-ASI sejak dirintisnya dalam Repelita II sampai akhir Repelita IV makin dikenal. Kegiatan PP -ASI semakin berkembang sejak mulai dijalinnya kerja sama lembaga swadaya masyarakat dengan pemerintah khususnya di bidang kesehatan, gizi, KB, pendidikan dan agama pada tahun 1990. Dalam perkembangan selanjutnya, kerja sama untuk menggalakkan PP-ASI tersebut dikoordinasikan oleh kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dalam Repelita V kegiatan PP-ASI makin meningkat terutama setelah Presiden Suharto mencanangkan adanya gerakan PP-ASI pada Hari Ibu tanggal 20 Desember 1990. Sejak waktu itu kegiatan PP -ASI meluas di semua daerah dan dilaksanakan oleh berbagai lembaga pemerintah termasuk para Menteri Kabinet Pembangunan V, oleh berbagai organisasi profes i, oleh lembaga swadaya masyarakat, dan terutama oleh PKK. Oleh karena Rumah Sakit dan Rumah Bersalin memegang peranan penting dalam menanamkan kebiasaan memberikan ASI kepada bayi, maka sejak tahun 1991/92 digalakkan perlombaan "Rumah Sakit Sayang Bayi" di semua daerah. Pada tahun keempat Repelita V, yaitu 1992/93, perlombaan ini diperluas ke Puskesmas-puskesmas Perawatan yang melaksanakan pertolongan dan perawatan persalinan. Sebagai hasil penilaian hasil lomba tahun 1991/92, telah dicalonkan tujuh Rumah Sakit Pusat tipe A dan B di lima propinsi untuk memperoleh akreditasi internasional sebagai Rumah XVIII/80 Sakit yang sangat memperhatikan penggunaan ASI yang dikenal sebagai "Baby Friendly Hospital Initiative". Kegiatan lain dari PP-ASI dalam lima tahun terakhir, tahun-tahun 1988/89-1992/93, adalah membantu menggalakkan pelaksanaan kode etik pemasaran susu formula bayi di kalangan produsen susu, sebagaimana ditetapkan oleh WHO pada tahun 1983, mengenai "International Code of Marketing of Breastmilk Substitutes". Salah satu hasil penggalakan tersebut di Indonesia adalah adanya kesepakatan dari para produsen dan importir susu untuk tidak melakukan promosi susu formula bayi di Rumah Sakit dan Rumah Bersalin, serta untuk mematuhi peraturan yang berlaku mengenai periklanan susu formula bayi. Dalam lima tahun terakhir sampai dengan tahun keempat Repelita V ini juga digalakkan tempat-tempat penitipan bayi (TPA) bagi buruh wanita yang mempunyai bayi, terutama buruh-buruh di perkebunan, perusahaan, dan di pabrik. Dengan adanya TPA buruh wanita dapat melaksanakan tugasnya memberikan ASI kepada bayinya pada waktu-waktu istirahat. Guna mendukung berbagai kegiatan tersebut di atas, telah diterbitkan berbagai macam publikasi mengenai ASI untuk berbagai keperluan, terut ama untuk para kader kesehatan Posyandu, anggota PKK dan lain-lain. f. Pendidikan dan Pendahuluan Bela Negara Dalam upaya pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan pemantapan ketahanan dan stabilitas nasional, wanita mempunyai kedudukan yang strategis dan bertanggung jawab guna melaksanakan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) bagi anak dan remaja sejak dini dalam keluarga. Hal ini sangat penting karena merupakan landasan pokok bagi tumbuhnya rasa cinta tanah air, rasa tanggung jawab, kesiapan da n kerelaan untuk memberikan pengorbanan demi membela dan menegakkan negara, bangsa dan tanah air. Kegiatan ini dilaksanakan sejak tahun 1990/91; dimulai dengan penyusunan materi pecan simulasi Pendidikan Pendahuluan Bela Negara untuk wanita di daerah pedesaan, yang telah diujicobakan di DKI Jakarta. Selanjutnya telah dilaksanakan pelatihan bagi 59 orang pejabat dan pimpinan perusahaan dalam rangka penyediaan tenaga inti Pendidikan Pendahuluan XVIII/81 Bela Negara bagi tenaga kerja wanita di pulau Batam; pelatihan bagi 50 orang pengurus KOWANI, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan Tim Penggerak PKK tingkat Pusat; penataran bagi sejumlah anggota Tim Penggerak PKK tingkat daerah, para anggota pengurus Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi Propinsi; dan pelatihan bagi 410 orang anggota pengurus PKK Pusat dan Daerah. Pada tahun 1992/93 telah dilaksanakan pula pelatihan, khususnya bagi 100 orang tenaga kerja wanita di Maluku dan Kalimantan Timur. g. Pengembangan Pusat Studi Wanita Pusat Studi Wanita didirikan path tahun 1990/91 dengan tugas: melaksanakan penelitian dan analisa mengenai situasi wanita agar dapat diketahui adanya berbagai permasalahan yang dihadapi wanita di masing-masing daerah dan direncanakan langkah serta upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hasil penelitian dan pengkajian tersebut merupakan masukan bagi perumusan kebijaksanaan, strategi dan program serta langkah-langkah untuk peningkatan peranan wanita sebagai bagian integral dari rencana pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan gender. Dari tahun 1990/91 sampai tahun 1992/93 Pusat Studi Wanita telah berkembang di 52 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia. Dalam rangka meningkatkan kemampuan para peneliti dalam melakukan tugasnya, pada tahun 1992 telah dilaksanakan lokakarya methodologi penelitian kebijaksanaan ekonomi makro dengan analisis gender bertempat di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu pada tahun tersebut juga diadakan pertemuan untuk memantapkan jaringan antar Pusat Studi Wanita di berbagai universitas negeri. h. Pemantapan Mekanisme Peranan Wanita dan Kelembagaan Peningkatan Dalam Repelita IV, telah dirumuskan kebijaksanaan dan langkah untuk meningkatkan kelembagaan Peningkatan Peranan Wanita di pusat dan di daerah dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijaksanaan dan penyusunan rencana peningkatan peranan wanita. Untuk itu di tingkat pusat ditetapkan Kepala Biro Perencanaan dari tiap -tiap Departemen sebagai penanggung jawab koordinasi program P2W di dalam XVIII/82 sektornya masing-masing. Di daerah, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri, Tahun 1990/91 untuk tingkat propinsi telah ditetapkan Wakil Gubernur dan Asisten Sekwilda bidang Kesra di tiap daerah masing -masing sebagai Ketua dan Sekretaris Tim Pengelola Peningkatan Peranan Wanita tingkat propinsi. Di tingkat kabupaten, Sekwilda tingkat II dan Asisten Sekwilda tingkat II bidang Kesra ditetapkan sebagai Ketua dan Sekretaris. Sebagai tindak lanjutnya maka Menteri Negara Urusan Peranan Wanita telah gala menerbitkan SK Nomor 02/KEP/MenUPW/IV/91 tentang Pengesahan Pedoman Pelaksanaan Peningkatan Peranan Wanita Dalam Pembangunan Bangsa di Pusat dan Daerah. Untuk menunjang berbagai ketetapan tentang koordinasi program P2W di daerah, pada tahun 1990 dan 1991 telah dilaksanakan berbagai kegiatan penataran, lokakarya dan pelatihan bagi tenaga-tenaga dari Bappeda, Bangdes, Sekwilda bidang Kesra, kantor Statistik, dan Pusat Studi Wanita. Dalam pelatihan dan lokakarya tersebut, antara lain diberikan latihan tentang analisis situasi wanita untuk tingkat propinsi, dan cara-cara melakukan pemantauan dan evaluasi proyek-proyek P2W. Dengan kegiatan analisis mengenai situasi wanita tersebut para petugas dari daerah yang telah dilatih dapat memperoleh gambaran mengenai keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh para wanita daerahnya masing-masing dan cara-cara pemecahannya. Dengan pemantapan berbagai koordinasi di daerah, pelatihan dan lokakarya-lokakarya tentang program P2W, kesadaran akan pentingnya data kewanitaan yang dapat diperoleh dari teknik analisis gender, makin terasa di daerah-daerah. Hal ini akan makin memperlancar penyusunan kebijaksanaan dan pemecahan masalah kewanitaan di waktu-waktu yang akan datang. i. Kerja Sama Luar Negeri Peranan Indonesia dalam kerja sama antar negara mengenai wanita dalam pembangunan tingkat ASEAN, tingkat regional dan internasional terutama dalam Repelita V ini telah menjadi semakin menonjol. Dewasa ini wanita Indonesia berpartisipasi dan duduk sebagai anggota maupun pimpinan dalam berbagai lembaga internasional. Di tingkat regional, pada tahun 1988 telah ditandatangani "Deklarasi kemajuan wanita di kawasan ASEAN" yang merupakan landasan dari upaya untuk meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan di negara -negara XVIII/83 anggota ASEAN dan untuk meningkatkan kerja sama bagi kemajuan wanita di negara-negara ASEAN. Deklarasi tersebut diperkuat lagi dengan Deklarasi Singapura tahun 1992 yang ditandatangani oleh para Kepala Negara/Pemerintahan negara-negara anggota ASEAN. Deklarasi Singapura ini menyatakan bahwa kerja sama Fungsional ASEAN dirancang untuk meningkatkan keterlibatan wanita yang lebih luas dan partisipasi yang lebih meningkat dalam pembangunan negara-negara ASEAN guna memenuhi kebutuhan dan aspirasinya. Pada tingkat ASEAN ini kerja sama telah dilaksanakan melalui ASEAN Women Programme (AWP) yang merupakan wadah kerja sama antar pemerintah, dan ASEAN Confederation of Women's Organization (ACWO) sebagai wadah kerja sama antara organisasi-organisasi wanita. Dalam kerja sama AWP Indonesia sejak tahun 1981 sampai dengan 1992/93 bertindak sebagai koordinator dari jaringan kerja sama antara Pusat-pusat Informasi Wanita dalam pembangunan di ASEAN. Dewasa ini dikelola oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UPI. Selain di forum ASEAN, program P2W di Indonesia juga makin mempunyai peranan di ESCAP. Dalam sidang ESCAP ke 47 tahun 1991 di Seoul Indonesia ditunjuk untuk menjadi tuan rumah Konperensi Regional Asia Pasific tingkat Menteri tentang Wanita Dalam Pembangunan bulan Mei 1994 di Jakarta, sebagai persiapan konperensi dunia tentang wanita pada tahun 1995 di Cina. Di tingkat internasional, peningkatan peranan wanita juga dimasukkan sebagai bagian dari Pesan Jakarta yang merupakan hasil KTT - X Gerakan Non Blok bulan September 1992 di Jakarta. Dalam Pesan Jakarta tersebut dinyatakan bahwa di dalam gerakan Non Blok peranan wanita diintegrasikan secara penuh dalam proses pembangunan negara-negara anggotanya. Selain itu, di tingkat internasional wanita Indonesia juga menjad i anggota berbagai lembaga Internasional, antara lain: 1. 2. Komisi PBB mengenai Kedudukan Wanita (1982-1986). Anggota Dewan Pembina UN International Research and Training Institute for The Advancement of Women (INSTRAW) (tahun-tahun 1984-1987 dan 1987-1990). XVIII/84 3. 4. 5. Anggota Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) (tahun-tahun 1986-1988 dan 1989-1991). Salah seorang Wakil Ketua Dewan Pimpinan International Council of Women (ICW) (tahun-tahun 1988-1993). Anggota senior Women 's Advisory Group dari Badan PBB mengenai Lingkungan Hidup (UNEP). Dalam kerja sama antar negara, sejak tahun 1988 sampai tahun 1992/93 telah diadakan berbagai kunjungan kerja dan pertemuan-pertemuan, antara lain kunjungan kerja ke Italia (1990), ke Canada (1991), ke Cina (1991) dan New Zealand (1992); menghadiri berbagai pertemuan internasional antara lain Sidang Majelis Umum PBB ke 45 untuk ikut dalam pembahasan kedudukan wanita, pertemuan terbatas tentang penggunaan ASI dan seminar tentang Wanita dan Krisis Ekonomi, Dampak, Kebijaksanaan dan Prospeknya. j. Kegiatan di Berbagai Sektor Pembangunan (1) Sektor Pertanian Kegiatan di sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan peran wanita tani dan nelayan dalam upaya meningkatkan produksi serta meningkatkan nilai tambah dalam proses panen dan pemasaran hasil-hasil pertanian. Kegiatan ini di mulai dalam Repelita III dengan kegiatan pelatihan, penyuluhan, aneka usaha tani, dan pemanfaatan lahan pekarangan. Dalam Repelita III dan Repelita IV diberikan penyuluhan pertanian dan pelatihan keterampilan kepada anggota kelompok wanita petani kecil. Penyuluhan dan pelatihan terutama mengenai cara-cara berproduksi dalam industri kecil pertanian dan masalah pemasaran dan hasil-hasilnya. Untuk mendukung upaya penyuluhan dan pelatihan ini kepada kelompok wanita tani kecil yang sudah memperoleh penyuluhan dan pelatihan, diberikan bantuan modal bergulir untuk usaha industri rumah tangga, koperasi dan lain sebagainya, di bidang hasil pertanian. Penyuluhan dan pelatihan dilaksanakan melalui Balai Penyuluh Pertanian (BPP). Dalam Repelita III sampai tahun 1992/93 jumlah BPP yang telah menyelenggarakan kegiatan tersebut tercatat sekitar 1.400 buah yang lokasinya tersebar di semua propinsi dengan sasaran anggota kelompok wanita petani kecil. Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 untuk kelompok wanita tani XVIII/85 nelayan juga diberikan kursus-kursus usaha tani nelayan dalam rangka memberikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan peluang untuk dapat mencari tambahan pendapatan. Selama tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 telah dilaksanakan 502 paket kursus yang diikuti oleh sekitar 28.000 orang wanita tani dan nelayan dari 21.100 kelompok di 15 propinsi, yaitu propinsi Jawa kecuali DKI Jaya dan Bali, Nusa Tenggara Barat, semua propinsi di Sumatera kecuali DI Aceh, Riau dan Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Selain itu, dalam kurun waktu yang sama (1988/89-1992/93) telah dibentuk 54 buah kelompok usaha bersama (KUB) bagi para wanita tani nelayan. Sebagian besar dari KUB tersebut (37 buah) telah mendapat kredit dari BRI, antara lain KUB-KUB di desa-desa Sidem(Jawa Timur), Cipatuguran (Jawa Barat), Muara Angke (DKI Jakarta), Asem Doyong, Pantai Sari dan Tasik Agung (Jawa Tengah) dan Ketapang (Lampung). (2) Sektor Industri Pembinaan peranan wanita dalam sektor industri ditujukan untuk membina para wanita dalam kegiatan usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga guna memperoleh lapangan kerja, meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk mencegah urbanisasi kaum wanita ke kota-kota. Untuk pembinaan ini dibentuk kelompok usaha bersama (KUB) dengan kegiatan kursus-kursus mengenai keterampilan pengelolaan administrasi, keuangan dan teknik produksi dan keterampilan pengolahan bahan baku. Selanjutnya ditingkatkan pula pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan dan penggunaan peralatan produksi, pengembangan dan diversifikasi produksi, pengelolaan permodalan, dan pemasaran hasil produksi. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 telah terbentuk 527 Kelompok Usaha Bersama yang terdiri dari sekitar 13.500 pengrajin wanita di sejumlah kecamatan di 23 propinsi. Selama tahun-tahun 1988/891992/93 cabang industri kecil, dan jenis komoditi yang dihasilkan, antara lain adalah: emping melinjo dan gula merah; sandang, seperti konveksi pakaian jadi, sulaman tangan dan mesin, batik, tenun ikat, dan sasirangan; dan kerajinan, seperti anyaman rotan, bambu dan pandan. XVIII/86 (3) Sektor Perdagangan Di sektor perdagangan kegiatan peningkatan peranan wanita, yang dimulai sejak Repelita III, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan, keterampilan usaha dan kewiraswastaan dalam usaha dagang. Sasarannya adalah para wanita pedagang golongan ekonomi lemah. Pelaksanaan kegiatan ini diutamakan di sektor informal melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan temu usaha. Sejak awal Repelita III sampai akhir Repelita IV melalui kegiatan ini telah berhasil dilatih dan diberi penyuluhan sebanyak lebih dari 9.100 orang. Dalam tahun-tahun 1988/89-1992/93 kegiatan pelatihan dan penyuluhan ini, yang dilaksanakan di semua propinsi diikuti oleh sekitar 6.900 orang dan kegiatan temu usaha oleh kurang lebih 4.900 orang. Sejak tahun 1991 telah dikembangkan pula kegiatan rintisan peningkatan produktivitas pedagang kecil eceran di pasar tradisional, yang merupakan kegiatan terpadu lintas sektoral yang dikoordinir oleh para walikota, di 11 kota. Keberhasilan yang cukup menonjol dalam pembinaan di sektor perdagangan ini adalah adanya sebuah kelompok usaha bersama (KUB) dari Kabupaten Asahan yang telah berhasil mengembangkan komoditi lidi dari daun kelapa yang mendapat bantuan dari mitra usaha untuk diekspor ke luar negeri. Di samping itu juga telah dapat ditumbuhkan hubungan mitra usaha antara kelompok usaha bersama (KUB) dari berbagai desa binaan industri lintas sektoral dan PT Sarinah. (4) Sektor Koperasi Peningkatan peranan wanita di sektor koperasi bertujuan untuk menambah pengertian dan pengetahuan wanita mengenai manfaat dan pentingnya koperasi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan untuk melakukan pembinaan para wanita di bidang perkoperasian. Kegiatan ini dilaksanakan melalui penyuluhan perkoperasian dan pelatihan kerja perkoperasian yang dimulai sejak Repelita III. Selama Repelita III dan Repelita IV dalam bidang perkoperasian telah berhasil disuluh dan dilatih sebanyak 8.584 orang wanita. Selama lima tahun XVIII/87 terakhir sejak tahun 1988/89 telah berhasil disuluh dan dilatih sebanyak 17.645 orang wanita. Peranan wanita dalam membantu keberhasilan pengembangan perkoperasian cukup besar, dan telah banyak di antara para kader koperasi wanita yang dilatih yang turut serta aktif dalam mengelola koperasi, baik sebagai anggota Pengurus, anggota Badan Pemeriksa maupun sebagai karyawan koperasi. Di samping itu telah banyak pula para kader yang berupaya mendirikan koperasi-koperasi wanita atau mempelopori pendirian koperasi karyawan di perusahaan tempat mereka bekerja. (5) Sektor Tenaga Kerja Peningkatan peranan wanita di sektor tenaga kerja ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, perlindungan dan kesejahteraan bagi tenaga kerja wanita. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan dan pelatihan bagi tenaga kerja wanita baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari pekerjaan. Kegiatan penyuluhan bagi tenaga kerja wanita antara lain meliputi penyuluhan mengenai gizi dan kesehatan kerja, peraturan perundang-undangan yang menyangkut ketenagakerjaan, khususnya tentang hak dan kewajiban bagi tenaga kerja wanita di perusahaan, serta mengenai masalah keselamatan dan produktivitas kerja. Selama Repelita III dan Repelita IV kegiatan penyuluhan telah dilaksanakan di 133 perusahaan di 13 propinsi. Selama lima tahun terakhir sejak 1988/89 kegiatan ini telah dilaksanakan di 18 propinsi, yaitu propinsi-propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, DI Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Maluku. Di samping itu juga telah dilaksanakan pelatihan bagi 120 orang tenaga pelatih Tempat Penitipan Anak, dan penataran tentang hak dan kewajiban tenaga kerja, yang seluruhnya diikuti oleh 500 anggota-anggota SPSI dan APINDO. (6) Sektor Transmigrasi Di sektor transmigrasi, upaya peningkatan peranan wanita di mulai XVIII/88 dalam Repelita IV. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan peran serta wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan di daerah transmigrasi. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, wanita di daerah transmigrasi juga ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya seperti dalam hal jahit menjahit, usaha tani, pengolahan hasil, koperasi, KB, industri kecil dan usaha dagang melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB). Dalam Repelita IV telah dilatih sebanyak 645 orang wanita transmigran yang pemukimannya tersebar di 7 propinsi. Sejak tahun 1988/89 sampai dengan tahun keempat Repelita V, yaitu tahun 1992/93, pembinaan wanita transmigran telah di perluas sehingga meliputi 80 UPT di 16 propinsi. Selanjutnya sebagai tindak lanjut pelatihan, telah dibentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB). Dalam kurun waktu yang sama telah dibentuk 150 KUB. Melalui KUB diadakan kegiatan temu wicara dengan para pengusaha untuk memperoleh modal bagi koperasi yang akan dikembangkan di daerah transmigrasi. Untuk meningkatkan peranan wanita di daerah transmigrasi, telah diselesaikan suatu proyek percontohan dengan berbagai kegiatan yang melibatkan wanita secara terpadu di 5 lokasi, yaitu di Sanggao Ledo (Kalimantan Barat); Payao Klato (Kalimantan Timur); Taopa Lambunu (Sulawesi Tengah), Air Kati (Bengkulu) dan Rawa Jitu (Lampung). Dalam lokasi percontohan ini telah berhasil dikembangkan 48 Kelompok Usaha Bersama (KUB), di antaranya 25 kelompok telah memperoleh bantuan kredit dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Selain itu dalam waktu lima tahun tersebut telah diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pemanfaatan lahan pekarangan bagi 500 kepala keluarga di setiap UPT, dan kegiatan 10 Program Pokok PKK bagi 400 kepala keluarga dengan 60 orang Kader PKK yang terlatih. Dengan diperolehnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, maka para wanita transmigran dapat menciptakan suasana "krasan" dan "mapan" bagi keluarga yang bertempat tinggal di pemukiman transmigrasi tersebut. (7) Sektor Kesehatan Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor ini diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku yang membantu dalam pemeliharaan kesehatan diri, keluarga, masyarakat dan lingkungannya, di samping untuk mendorong para wanita agar ikut aktif menjadi kader kesehatan, gizi keluarga berencana, dan kebersihan lingkungan, agar dapat XVIII/89 berperan serta dalam Posyandu, Dasawisma dan Bina Keluarga Balita (BKB). Kegiatan yang dilaksanakan selama Repelita III dan Repelita IV meliputi peningkatan pengetahuan dan keterampilan wanita dalam pemeliharaan serta peningkatan kesehatan dan keadaan gizi keluarga di 288 kabupaten/kotamadya yang meliputi 571 desa binaan. Di samping itu selama kurun waktu tersebut juga dilaksanakan penyuluhan bagi organisasi-organisasi wanita tentang perubahan cara hidup sehat dan pembentukan keluarga kecil sehat dan sejahtera. Selama lima tahun terakhir, yaitu tahun-tahun 1988/89-1992/93, telah dilaksanakan berbagai kegiatan peningkatan kesadaran kelompok wanita dalam gerakan kebersihan di 300 kabupaten/kotamadya yang meliputi 600 desa. Di samping itu juga telah dilaksanakan penyuluhan bagi kader-kader kesehatan dilingkungan petani, nelayan dan pengrajin di 15 propinsi, yang diikuti oleh 8.190 orang, peningkatan kepemimpinan wanita di bidang kesehatan bagi 8.085 orang wanita di 27 propinsi, penyuluhan penanggulangan narkotika bagi organisasi dan lembaga swadaya masyarakat wanita di 14 propinsi, dan penggalakan penggunaan ASI di 27 propinsi serta pelatihan kesehatan wanita usia kerja bagi 6.910 orang tenaga kerja wanita. Penurunan angka kematian anak bayi dan balita serta penurunan angka kematian ibu melahirkan merupakan salah satu hasil dari kegiatan-kegiatan penyuluhan di bidang kesehatan ini yang dipaparkan di atas ini. (8) Sektor Agama Kegiatan di sektor agama ditujukan untuk meningkatkan peranan wanita dalam mewujudkan keluarga sehat bahagia dan sejahtera yang dilaksanakan melalui pendekatan dan jalur agama. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui jalur lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berlatar belakang agama, seperti Fatayat NU, Aisyiah, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, Wanita Katolik Republik Indonesia, Persatuan Sukaduka Hindu Dharma dan sebagainya. Selama Repelita III dan Repelita IV kegiatan di sektor ini dititikberatkan pada penataran dan penyuluhan mengenai Undang-undang Perkawinan bagi sekitar 16.000 orang yang tergabung dalam berbagai XVIII/90 kelompok organisasi wanita. Di samping itu dalam kurun waktu tersebut dilaksanakan penataran Keluarga Bahagia Sejahtera termasuk KB, kesehatan dan gizi bagi sekitar 62.500 orang, termasuk para santri putri di pondok pesantren dan para tenaga kerja wanita di perusahaan-perusahaan. Dalam rangka menunjang Pengembangan dan Kelangsungan Hidup Anak (PKHA), mulai tahun 1986, melalui sejumlah LSM keagamaan, telah dilakukan penataran dan penyuluhan tentang imunisasi, gizi, pemeliharaan anak, posyandu dan lain-lain bagi sekitar 18.500 anggota LSM di 11 propinsi. Pada tahun 1992/93, tahun keempat Repelita V kegiatan PKHA telah berkembang di 13 propinsi dan dilaksanakan melalui 18 LSM keagamaan yang mencakup 15 juta wanita. Dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 1988/89 sampai tahun 1992/93, kegiatan di sektor ini lebih ditekankan pada penyuluhan Keluarga Bahagia Sejahtera (KBS), yang diikuti oleh sekitar 19.000 tenaga kerja wanita di perusahaan dan santri putri di beberapa Pondok Pesantren. Untuk menunjang kegiatan ini disediakan sekitar 105.000 buku pedoman penyuluhan. (9) Sektor Pendidikan dan Kebudayaan Kegiatan-kegiatan di sektor Pendidikan dan Kebudayaan ditujukan antara lain untuk membebaskan wanita dari tiga buta, yaitu buta aksara latin, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Selanjutnya pelaksanaan kegiatan di sektor ini antara lain ditekankan pada pelaksanaan kelompok belajar Paket A, berbagai penataran dan kursus keterampilan praktis, Kejar Usaha, dan pelatihan kepemimpinan wanita. Selama Repelita III dan Repelita IV telah dilakukan pelatihan dan pengembangan kegiatan belajar bagi 20,8 ribu orang wanita, pembentukan sebanyak 8.219 kelompok belajar Kejar Paket A, dan Kejar usaha untuk wanita, dan pelatihan kepemimpinan yang diikuti oleh 6.280 orang wanita. Dalam rangka turut mengusahakan tercapainya Keluarga Sehat dan Sejahtera melalui pendidikan keterampilan praktis untuk bermata pencaharian, telah diterbitkan dan diedarkan sekitar 333 ribu eksemplar buku yang berjudul Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera. Selama lima tahun terakhir sejak 1988/89, telah dilaksanakan pelatihan kepemimpinan wanita tingkat kabupaten/kotamadya yang diikuti XVIII/91 oleh sebanyak 6.110 orang; dan pelatihan keterampilan praktis untuk bermata pencaharian bagi sebanyak 6.000 orang wanita di tingkat kecamatan. Selama itu dilanjutkan dan lebih digalakkan kegiatan pemberantasan tiga buta melalui Kejar Paket A. Sebagai hasil dari kegiatan ini antara lain tampak bahwa pada tahun 1990 wanita kelompok umur 10 -44 tahun yang buta aksara jumlahnya telah jauh berkurang dibandingkan dengan keadaan tahun 1980. (10) Sektor Kesejahteraan Sosial Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor kesejahteraan sosial ditujukan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial kelompok wanita dan keluarga yang rawan sosial ekonominya. Upaya tersebut dilakukan melalui pelatihan keterampilan, penyuluhan dan pemberian buku keterampilan untuk usaha industri rumah tangga. Dalam kegiatan ini termasuk pelaksanaan Bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD) dan Usaha Pencegahan Urbanisasi Wanita usia muda ke kota. Sementara itu kepada kader pimpinan penggerak wanita tingkat Kabupaten diberikan Pelatihan Kepemimpinan Wanita dalam bidang pembangunan kesejahteraan sosial. Selama Repelita III dan Repelita IV telah berhasil dibina dalam sektor ini sekitar 49.500 orang melalui kegiatan bimbingan usaha swadaya wanita desa, dan kurang lebih 9.000 orang melalui kepemimpinan wanita. Dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 telah berhasil dibina dan dibantu sebanyak kurang lebih 3.750 orang wanita rawan sosial ekonomi yang tempat tinggalnya tersebar di 250 desa dan dibina sebanyak 1.710 orang kader pimpinan wanita dari 57 Kabupaten. (11) Sektor Hukum Di sektor hukum, peningkatan peranan wanita bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kaum wanita akan peranan dan kedudukannya dalam masyarakat melalui pembentukan keluarga sadar hukum (Kadarkum) wanita. Kadarkum wanita dilaksanakan melalui temu sadar hukum, simulasi dan tebak silang dengan materi yang berkaitan dengan pemahaman akan XVIII/92 berbagai hak, kewajiban dan kesempatan bagi wanita, baik dilingkungan keluarga maupun dalam masyarakat dan dalam pembangunan. Kegiatan kadarkum wanita yang dimulai tahun 1989/90 di 7 propinsi, pada tahun keempat Repelita V telah berkembang di 23 pr opinsi. Beberapa kegiatannya antara lain berupa Lomba Kadarkum Wanita Tingkat Propinsi/Dati I se Indonesia, yang diikuti oleh para pemenang lomba tingkat Kabupaten/Dati II masing-masing. Selanjutnya pada tahun keempat Repelita V kegiatan kadarkum dikembangkan juga di tingkat kecamatan dan desa. Dalam rangka pembaharuan hukum nasional, terus pula dikembangkan upaya penyempurnaan serta pembaharuan berbagai peraturan perundang-undangan yang masih kurang memperhatikan masih hak dan kedudukan wanita, dan kurang membantu bagi berkembangnya kesempatan untuk wanita misalnya dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan dan ketenagakerjaan. (12) Sektor Penerangan Kegiatan peningkatan peranan wanita di sektor penerangan bertujuan untuk mendukung berbagai kegiatan peranan wanita di berbagai sektor di daerah-daerah. Kegiatan ini dilakukan melalui siaran televisi dan radio mengenai masalah-masalah peranan wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan. Kegiatan ini di mulai sejak Repelita III melalui media radio dalam acara Suara Wanita dan Pembangunan yang dipancarkan oleh RRI, masing-masing 52 kali siaran dalam setahun. Pada waktu itu TVRI menayangkan secara sentral acara Wanita dan Pembangunan. Kegiatan penyebarluasan informasi mengenai peningkatan peranan wanita dilaksanakan pula melalui pengintegrasian penerangan mengenai hal ini ke dalam mata acara lain yang relevan, seperti siaran Dari Desa ke Desa, Seputar Nusantara, Sinetron dan lain sebagainya. Selanjutnya, untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan Siaran Wanita dan Pembangunan, telah pula dilaksanakan pelatihan dalam penulisan naskah, serta teknik rekaman radio dan televisi. Kegiatan lainnya adalah kegiatan penerangan khususnya untuk Wanita Pedesaan, termasuk daerah transmigrasi dan nelayan, yang dilakukan oleh para juru penerang wanita. XVIII/93 Pelaksanaan kegiatan penerangan wanita pedesaan ini ditunjang oleh penerbitan berbagai bahan publikasi, seperti poster, leaflet dan buletin penerangan wanita pedesaan. Dalam lima tahun terakhir, yaitu tahun 1988/89 sampai dengan tahun 1992/93 telah dilaksanakan 26 kali temu karya Peranan Wanita Dalam Pembangunan, yang dihadiri oleh 1.252 peserta pimpinan wanita transmigrasi dan nelayan. Sedangkan dalam rangka mempertinggi mutu penerangan dan informasi, mengenai peranan wanita dalam pembangunan bagi para juru penerang yang membidanginya telah diadakan pelatihan yang diperlukan; diikuti oleh 390 orang juru penerang wanita. Untuk lebih meningkatkan pengertian dan pemahaman bersama mengenai kebijaksanaan dan strategi tentang peningkatan kedudukan serta peranan wanita dalam pembangunan, telah pula dilaksanakan temu karya Media Massa, yang setiap tahunnya diselenggarakan bertepatan dengan peringatan Hari Ibu. XVIII/94