Kesehatan, Kesejahteraan Sosial dan Penanggulangan

advertisement
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL
DAN PENANGGULANGAN BENCANA,
KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA
SEJAHTERA
BAB XVIII
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN
PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA SEJAHTERA
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan b a n g s a , dan ikut m e l a k s a n a k a n k e t e r t i b a n dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan so sial.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diselenggarakan pembangunan
nasional di semua bidang kehidupan secara berkesinambungan yang
merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, t erpadu
dan terarah. Adapun hakikat pembangunan nasional adalah pem bangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
XVIII/3
Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan
pedoman pembangunan nasional. Dalam mewujudkan pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya
tersebut, telah diupayakan berbagai kegiatan pembangunan
kesejahteraan rakyat yang antara lain menyangkut bidang-bidang
kesehatan, kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana, serta
kependudukan dan keluarga sejahtera, yang dilaksanakan secara serasi
dengan pembangunan bidang lainnya.
Di bidang kesehatan, sejak awal kemerdekaan pelayanan
kesehatan meskipun masih sangat terbatas, telah diupayakan dengan
dititik-beratkan pada pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
seperti penyakit , cacar, malaria, tuberkulosis paru, frambusia, pes,
kusta dan penyakit kelamin. Juga dirintis upaya penanggulangan masalah kelaparan dan perbaikan gizi masyarakat. Upaya pelayanan
pengobatan dan perawatan kesehatan juga telah dilaksanakan melalui
pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit yang pada waktu itu
kemampuannya masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan, dirintis
pendidikan tenaga medik dan non medik dalam berbagai jenjang
pendidikan. Di samping perguruan tinggi kedokteran yang telah ada
pada masa penjajahan, pada tahun 1949 didirikan fakultas kedokteran
di Universitas Gadjah Mada. Sekolah paramedik untuk jurusan gizi,
kesehatan lingkungan, kesehatan gigi, kebidanan dan fisioterapi
didirikan baik di pusat maupun di daerah.
Konsep pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan yang
terpadu diletakkan untuk pertama kali pada tahun 1951, disebut
dengan "Bandung Plan". Melalui konsep ini pembangunan kesehatan
diarahkan pada pembinaan kesehatan ibu dan anak (KIA), usaha
kesehatan masyarakat desa, pembuatan obat, vaksin dan
sera,
XVIII/4
perbaikan gizi, pendidikan tenaga paramedik serta pemberantasan
penyakit menular. Dalam perkembangan selanjutnya konsep ini
menjadi dasar bagi pelayanan kesehatan masyarakat (community
health) yang dilaksanakan sekarang melalui pusat kesehatan
masyarakat (puskesmas) dan jaringannya.
Untuk mendukung pelayanan kesehatan, pada periode tahun
1950-1959 didirikan lembaga-lembaga penelitian kesehatan, antara
lain Lembaga Malaria (Lampung dan Surabaya), Lembaga Pencegahan Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Kelamin (Surabaya),
Lembaga Kusta (Tangerang), Lembaga Rehabilitasi/Orthopedi (Solo),
serta Lembaga Gizi (Bogor). Beberapa perguruan tinggi, seperti
Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Universitas
Indonesia juga berperan penting dalam kegiatan penelitian di bidang
kedokteran dan kesehatan masyarakat. Berbagai hasil penelitian yang
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut telah dimanfaatkan untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu yang
menonjol adalah keberhasilan Dr. Kodyat dalam mengembangkan
sistem pemberantasan penyakit frambusia (patek) yang mendapat
penghargaan Magsaysay Award dari pemerintah Philipina pada tahun
1961.
Melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan yang dikembangkan sejak proklamasi kemerdekaan, meskipun terputus-putus
oleh berbagai perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan
persatuan, kesatuan serta ideologi negara, sampai dengan awal pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) keadaan kesehatan
masyarakat meningkat lebih baik. Angka kematian bayi (AKB) yang
pada tahun 1945 diperkirakan sebesar 166 per 1.000 kelahiran hidup
turun menjadi 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967. Begitu
pula dengan angka harapan hidup, meningkat dari 42,5 tahun menjadi
45,7 tahun pada kurun waktu yang sama.
XVIII/5
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mendasar telah ditetapkan seperti Undang-Undang tentang pokok-pokok kesehatan, dan
peraturan yang mengatur mengenai karantina, wabah, farmasi, tenaga
kesehatan, wajib kerja sarjana, wajib kerja tenaga paramedik,
kesehatan jiwa dan tentang hygiene (kesehatan perorangan).
Memasuki PJP I, upaya peningkatan kesehatan masyarakat
direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih terarah, teratur dan
berkesinambungan. Salah satu hasil penting yang dicapai pada awal
PJP I adalah dinyatakannya oleh world Health Organization (WHO)
bahwa pada tahun 1974 Indonesia sudah termasuk salah satu negara
yang telah bebas dari penyakit cacar. Hasil lain yang memperoleh
pengakuan internasional, adalah tergalangnya peran serta masyarakat
dalam pengelolaan pos pelayanan terpadu (posyandu) terutama oleh
kelompok wanita dalam organisasi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), yang diakui oleh dunia sehingga Indonesia menerima
Sasakawa Award dari WHO dan Maurice Pate Award dari UNICEF
pada tahun 1988. Sasaran imunisasi universal pada anak (Universal
Child Immunization/U CI) yang ditetapkan oleh WHO telah dilampaui
pada tahun 1990/91. Di samping itu dalam rangka menanggulangi
masalah gizi Indonesia telah berhasil menanggulangi masalah
kebutaan akibat kurang vitamin A. Sejak tahun 1992 kebutaan akibat
kurang vitamin A bukan lagi menjadi.masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Atas keberhasilan tersebut, pada tahun 1994 Presiden
Soeharto mendapat penghargaan Hellen Keller International.
Secara keseluruhan, pembangunan kesehatan dalam PJP I
hasilnya ditunjukkan oleh berbagai indikator. Antara lain, angka
kematian bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju,penurunan ratarata 3,4 persen setiap tahunnya. Jika pada tahun 1967 AKB di
Indonesia masih berkisar sekitar 145 per 1.000 kelahiran hidup, maka
pada tahun 1993 yang merupakan tahun akhir PJP I telah ditekan
XVIII/6
menjadi sekitar 58 per 1.000 kelahiran hidup. Angka harapan hidup
waktu lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata 45,7
tahun pada tahun 1967 meningkat menjadi 62,7 tahun pada tahun
1993. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat itu dimungkinkan
berkat peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan seperti
puskesmas dan rumah sakit serta penyebarannya yang makin merata.
Pertambahan sarana ini didukung pula dengan peningkatan jumlah
tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, tenaga
paramedik dan bidan, termasuk di desa-desa.
Di bidang kesejahteraan sosial, sejak awal kemerdekaan telah
dilakukan berbagai kegiatan, antara lain pemberian bantuan terhadap
penyandang masalah sosial khususnya bagi korban revolusi fisik
dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Kegiatan lainnya juga
telah dirintis, meskipun masih sangat terbatas, seperti penanganan
masalah fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, pengungsi
dan korban pertempuran yang cacat serta para janda pejuang
kemerdekaan.
Salah satu kegiatan kesejahteraan sosial yang dimulai pada masa
perang kemerdekaan adalah kegiatan rehabilitasi sosial yang
dipelopori oleh almarhum Prof.Dr. Soeharso dan R. Soeroto Reksopranoto pada tahun 1946 di Surakarta. Kegiatannya berawal dari
upaya merehabilitasi penderita cacat korban perang keme rdekaan.
Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan rehabilitasi ini di lembagakan menjadi Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh
Prof.Dr. Soeharso di Surakarta. Kemudian berkembang juga kegiatan
rehabilitasi sosial bagi anak cacat yang dikembangkan oleh
masyarakat melalui Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC) di
Surakarta, yang didirikan pada tahun 1953. Dalam perkembangannya
YPAC telah mendirikan cabang di berbagai kota di 12 propinsi.
XVIII/7
Salah satu kegiatan awal dari upaya mewujudkan kesejahteraan
sosial adalah digalangnya partisipasi masyarakat desa dalam wadah
Lembaga Sosial Desa (LSD) yang dirintis oleh Bupati Pemalang pada
tahun 1952. Sampai tahun 1971, LSD dikembangkan dan dibina oleh
Departemen Sosial, dan selanjutnya dipindahkan ke Departemen
Dalam Negeri. Selanjutnya LSD berkembang menjadi Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dikenal sampai sekarang.
Pada saat dialihkan ke Departemen Dalam Negeri, jumlah LSD telah
mencapai lebih dari 39.000. Kegiatan peran serta masyarakat lain
adalah dibentuknya wadah kegiatan pemuda karang taruna yang
kemudian dikembangkan menjadi salah satu program nasional dalam
pembangunan kesejahteraan sosial. Pembentukan karang taruna
dirintis pada tahun 1959 melalui kegiatan pelayanan sosial bagi anak
yatim piatu yang diselenggarakan oleh Yayasan Perawatan Anak
Yatim (YPAY).
Kegiatan kesejahteraan sosial lainnya yang dirintis pada masa
awal kemerdekaan adalah kegiatan penelitian sosial di Yogyakarta
pada tahun 1950 oleh suatu lembaga penelitian sosial yang diberi
nama Balai Persiapan Pekerjaan Sosial. Pada tahun 1961 Balai tersebut menjadi Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial (BPPS). Dalam
perkembangan selanjutnya BPPS menjadi Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (BBPPPKS) sampai
sekarang.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kondisi kesejahteraan
sosial memasuki PJP I masih memprihatinkan. Partisipasi sosial
masyarakat masih sangat terbatas, demikian pula jumlah serta mutu
tenaga pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga
pelayanan sosial juga belum dapat menjangkau masyarakat secara
luas. Dalam PJP I usaha kesejahteraan sosial diarahkan untuk
mengatasi hal-hal tersebut.
XVIII/8
Pembangunan kesejahteraan sosial dalam PJP I telah meningkatkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di
masyarakat dalam menghadapi masalah sosial pada umumnya dan
masalah kesejahteraan sosial khususnya. Perkembangan ini menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam
pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial masyarakat, relawan sosial,
anggota karang taruna, dan pendukung dana untuk upaya
kesejahteraan sosial. Mutu dan cakupan pelayanan sosial bagi fakir
miskin, anak dan lanjut usia terlantar; penyandang cacat, korban
penyalahgunaan obat, zat adiktif dan narkotika, korban bencana,
masyarakat terasing dan masyarakat lain yang kurang beruntung juga
telah meningkat dan makin luas menjangkau masyarakat sampai di
pelosok-pelosok tanah air.
Di bidang penanggulangan bencana, upaya pada awal kemerdekaan masih terbatas pada pemberian pertolongan pertama yang dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) yang dibentuk pada tahun
1945. Selain itu juga ada penyediaan dapur umum dan bantuan darurat
secara terbatas. Dalam masa pembangunan selama PJP I, kemampuan
masyarakat dalam penanggulangan bencana yang mencakup
kemampuan kesiapsiagaan, pencarian dan penyelamatan, rehabilitasi
dan rekonstruksi, serta pemantapan kelembagaan telah semakin
meningkat. Peningkatan kemampuan kesiapsiagaan diperoleh melalui
pelatihan kesiapsiagaan bagi petugas dari berbagai instansi dan
masyarakat, pemetaan daerah-daerah rawan bencana, pemantauan
secara terus menerus terhadap gunung api yang masih aktif,
pembangunan check dam, serta pembuatan terowongan di gunung
Galunggung, Merapi dan gunung Kelud. Kemampuan dan fasilitas
serta sistem dan peralatan telah meningkat pula dalam memenuhi
berbagai persyaratan keselamatan pelayaran dan penerbangan, serta
pengamanan daerah-daerah produksi pertanian, permukiman dan
bangunan umum lainnya dari bahaya banjir. Dalam rangka ini
XVIII/9
kemampuan Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) terus
menerus ditingkatkan. Bersamaan dengan upaya membangun
kesiagaan masyarakat dan aparat pemerintah, telah diselenggarakan
pula upaya rehabilitasi sosial dan bantuan bagi para korban bencana,
antara lain melalui penyediaan bangunan rumah dan bantuan darurat
lainnya.
Di bidang kependudukan clan keluarga sejahtera, keadaan sosial
politik dan ekonomi pada awal kemerdekaan mempengaruhi pola
perkembangan penduduk dalam dasawarsa limapuluhan. Jumlah
penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi pada masa
itu belum dianggap sebagai kendala dan hambatan bagi pembangunan.
Pada tahun 1945, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 73 juta
jiwa dan hampir 71 persen bertempat tinggal di pulau Jawa. Sampai
awal PJP I, jumlah penduduk Indonesia bertambah dengan 42 juta
orang atau tumbuh rata-rata 1,98 persen per tahun. Pada saat itu
upaya pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk sangat
terbatas. Beberapa kelompok masyarakat telah merintis upaya
pengendalian jumlah penduduk dengan mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) pada tahun 1952 dan Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1957. Partisipasi organisasi
masyarakat tersebut kemudian didukung oleh pemerintah dengan
dibentuknya wadah kerjasama antara pemerintah dan organisasi
masyarakat dalam bidang keluarga berencana (KB) yaitu lembaga
keluarga berencana nasional (LKBN) pada tahun 1968. Guna lebih
memantapkan pelaksanaan KB, maka pada tahun 1970 didirikan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Badan
tersebut mempunyai tugas pokok mengkoordinasikan program KB
secara nasional dengan tujuan menurunkan angka kelahiran dan
meningkatkan kesejahteraan para ibu.
XVIII/10
Guna mengatasi ketimpangan jumlah penduduk antara pulau Jawa
dan luar Pulau Jawa, sebelum masa PJP I secara terbatas telah dimulai
kegiatan transmigrasi, terutama dari pulau Jawa ke Sumatera.
Dalam PJP I pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga
berencana mendapat prioritas tinggi, dan dilakukan secara terarah dan
merata di seluruh lapisan masyarakat sehingga pada akhir Repelita V
(1993) laju pertumbuhan penduduk berhasil ditekan menjadi 1,66
persen, dan angka kematian kasar menurun menjadi 7,9 per seribu
penduduk. Di samping itu, kesejahteraan penduduk diukur dari tingkat
pendidikan, kesehatan dan keadaan gizi juga terus membaik.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk erat kaitannya dengan
keberhasilan program KB yang berdampak pada penurunan angka
kelahiran kasar dari 44,0 kelahiran per seribu penduduk pada tahun
1971 menjadi 24,5 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1993.
Penduduk Indonesia pada tahun 1994 diperkirakan telah
mencapai 192,2 juta orang, yang terdiri atas 95,8 juta orang laki-laki
dan 96,4 juta orang perempuan. Adapun jumlah anak balita pada
tahun 1994 tercatat sekitar 21,7 juta anak, yang terdiri atas 11,0 juta
anak laki-laki dan 10,7 juta anak perempuan. Sementara itu, jumlah
penduduk usia lanjut yaitu penduduk usia lebih dari 60 tahun telah
mencapai sekitar 12,2 juta orang pada tahun 1994, yang terdiri atas
5,7 juta orang laki-laki dan 6,5 juta orang perempuan. Pada tahun
1994 jumlah penduduk daerah perdesaan dan perkotaan masingmasing adalah 124,8 juta orang (65,0 persen) dan 67,4 juta orang
(35,0 persen). Selanjutnya, pada tahun yang sama jumlah penduduk
Pulau Jawa adalah 113,6 juta orang, atau sekitar 59,1 persen dari total
penduduk tahun 1994.
Keberhasilan program kependudukan dan KB di Indonesia diakui
oleh dunia internasional dan mendapat penghargaan dari PBB berupa
XVIII/11
The United Nations Population Award pada tahun 1989 yang diterima
oleh Kepala Negara. Keberhasilan Indonesia dalam menjalankan
program kependudukan dan KB telah menarik perhatian dan minat
berbagai negara untuk mempelajarinya. Sejak tahun 1987 telah
diselenggarakan pelatihan bagi peserta dari luar negeri melalui
International Training Program (ITP). Sampai dengan akhir Repelita
V telah dilatih sebanyak 1.872 orang tenaga-tenaga ahli kependudukan
dan KB dari 73 negara.
B. KESEHATAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI adalah
meningkatnya derajat kesehatan melalui peningkatan kualitas dan
pelayanan kesehatan yang makin menjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Dalam rangka itu, sasaran yang akan dicapai adalah
meningkatnya angka harapan hidup waktu lahir menjadi sekitar 64,6
tahun, menurunnya angka kematian kasar menjadi sekitar 7,5 per
1.000 penduduk; menurunnya angka kematian bayi menjadi 50 per
1.000 kelahiran hidup; dan menurunnya angka kematian ibu
melahirkan menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup.
Sasaran keadaan gizi masyarakat pada akhir Repelita VI adalah
menurunnya prevalensi empat masalah gizi kurang, yaitu gangguan
akibat kurang iodium menjadi 18 persen; anemia gizi besi pada ibu
hamil menjadi 40 persen, balita menjadi 40 persen dan tenaga kerja
wanita menjadi 20 persen; kurang energi protein menjadi 30 persen;
dan kurang vitamin A pada anak balita menjadi 0,1 persen.
XVIII/12
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, pokok kebijaksanaan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI yang terpenting
adalah meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan;
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin
dan desa tertinggal; meningkatkan status gizi masyarakat; meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada tenaga kerja; meningkatkan
penyuluhan kesehatan masyarakat; mengembangkan peran ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pelayanan kesehatan
dan gizi yang bermutu; meningkatkan peran serta masyarakat dan
organisasi profesi; meningkatkan mobilisasi dana masyarakat untuk
pembiayaan kesehatan; meningkatkan manajemen upaya kesehatan;
serta mengoptimasikan penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan
tenaga kesehatan.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas digariskan
tujuh program pokok yang meliputi: program penyuluhan kesehatan
masyarakat; pelayanan kesehatan masyarakat; pelayanan kesehatan
rujukan dan rumah sakit; pencegahan dan pemberantasan penyakit;
perbaikan gi zi ; pengawasan obat dan makanan; dan pembinaan
pengobatan tradisional. Program-program tersebut didukung oleh
beberapa program penunjang, yang dilaksanakan secara terkoordinasi
dengan program pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan
masyarakat dan dunia usaha.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Pembangunan kesehatan pada tahun pertama Repelita VI
(1994/95) yang merupakan kelanjutan, perluasan dan peningkatan
pelaksanaan program dari Repelita-repelita sebelumnya, adalah untuk
meningkatkan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat melalui upaya
pemerataan sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit,
XVIII/13
didukung oleh peningkatan jumlah dan jenis tenaga kesehatan,
peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta peningkatan peran serta
masyarakat, dunia usaha dan organisasi profesi. Upaya tersebut
dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut.
a. Program Pokok
1) Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat adalah
meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan
masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatnya peran
serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi penyebarluasan
informasi kesehatan, pengembangan potensi swadaya masyarakat di
bidang kesehatan dan pengembangan penyelenggara penyuluhan.
Dalam tahun pertama Repelita VI kegiatan penyebarluasan
informasi kesehatan telah dilaksanakan melalui siaran radio sebanyak
81.803 kali dalam bentuk obrolan, sandiwara, wawancara dan radio
spot. Kegiatan selanjutnya berupa siaran televisi sebanyak 863 kali
baik di TVRI Pusat maupun propinsi, disamping memanfaatkan siaran
televisi swasta seperti TPI, RCTI, SCTV dan AN-TV dalam bentuk
wawancara, penyiaran filler, fragmen atau sandiwara, sinetron dan
siaran pembangunan. Di samping itu telah dilaksanakan pameran dan
pemutaran film di sejumlah propinsi dan daerah tingkat II. Untuk
penyebarluasan informasi telah diadakan dan disebarkan berbagai
media penyuluhan kesehatan antara lain berbentuk poster, leaflet,
buku pedoman, dan kartu konsultasi sebanyak sekitar 1,7 juta lembar.
Untuk tingkat propinsi dan kabupaten, telah disediakan sarana
penyuluhan berupa 1.050 paket peralatan. Dibanding dengan tahun
XVIII/14
1993/94, penyediaan sarana paket penyuluhan meningkat cukup besar,
dimana pada tahun yang bersangkutan hanya sebanyak 291 paket
peralatan penyuluhan.
Kegiatan bagi penyelenggara penyuluhan pada tahun 1994/95
antara lain berupa pelatihan, orientasi, pengumpulan data sosial
budaya serta pelaksanaan studi yang berkaitan dengan penyuluhan
kesehatan masyarakat. Jumlah petugas kesehatan yang mendapatkan
latihan penyuluhan baik di tingkat propinsi, Dati II maupun
puskesmas adalah sebanyak 324 orang. Untxk meningkatkan
kemampuan petugas dalam pembuatan media dan pemeliharaan
peralatan penyuluhan telah dilaksanakan pelatihan di 7 propinsi.
Dalam upaya meningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan di rumah
sakit telah dilaksanakan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
(PKMRS) mencakup 452 rumah sakit, sedangkan tahun sebelumnya
mencakup 338 rumah sakit. Di tingkat masyarakat telah dilaksanakan
penyuluhan melalui posyandu yang materinya lebih dititik beratkan
pada upaya pencegahan penyakit. Khusus dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS) telah dilaksanakan studi pengembangan strategi penyuluhan
AIDS di tingkat propinsi.
Kegiatan pengembangan potensi swadaya masyarakat antara lain
dilaksanakan melalui pelaksanaan orientasi bagi organisasi wanita,
pemuda, keagamaan dan guru-guru baik di tingkat pusat, propinsi,
Dati II, maupun puskesmas. Pada tahun 1994/95 kegiatan tersebut
dilaksanakan sebanyak 24.557 kali, sedangkan pada tahun sebelumnya
baru mencapai 5.733 kali. Kegiatan lainnya berupa pengembangan
dana sehat melalui jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
(JPKM) yang mencakup 900 kelompok di 27 propinsi. Di samping itu
telah dibentuk pula forum komunikasi LSM dan diadakan kerjasama
XVIII/15
dengan ABRI dalam bentuk manunggal ABRI Masuk Desa (AMD) di
27 propinsi.
2) Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Program pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk lebih
memperluas cakupan dan sekaligus meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan dasar serta menumbuhkembangkan sikap dan kemandirian
dalam pemeliharaan kesehatan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Program ini merupakan program pelayanan dasar terpadu yang
dilaksanakan melalui puskesmas dan jaringannya yaitu puskesmas
pembantu, puskesmas keliling dan bidan di desa. Kegiatan pokok dari
program ini meliputi pelayanan kesehatan keluarga, kesehatan sekolah
dan remaja, kesehatan kerja, penyembuhan dan pemulihan, kesehatan
olah raga, kesehatan matra, pelayanan laboratorium dan penyuluhan
kesehatan masyarakat serta pembinaan peran serta masyarakat.
Dalam rangka memperluas jangkauan dan pemerataan pelayanan
kesehatan, pada tahun 1994/95, melalui program INPRES Sarana
Kesehatan telah dibangun puskesmas baru sebanyak 30 unit,
puskesmas pembantu 500 unit, dan rumah dokter 230 unit (Tabel
XVIII-1A). Dengan demikian sampai dengan tahun 1994/95 secara
kumulatif telah tersedia sebanyak 6.984 buah puskesmas, 20.477 puskesmas pembantu, dan 3.794 buah rumah dokter (Tabel XVIII-1B).
Untuk melengkapi sarana pelayanan kesehatan yang telah ada,
dilaksanakan pengadaan peralatan antara lain meliputi peralatan medis
untuk puskesmas sebanyak 30 set, puskesmas pembantu 500 set, dan
puskesmas keliling 358 set. Selain itu untuk meningkatkan mobilitas
pelayanan dalam rangka meningkatkan cakupan kegiatan program
telah dilaksanakan pengadaan 528 buah puskesmas keliling, dengan
kendaraan bermotor roda empat sebanyak 498 buah dan perahu
XVIII/16
bermotor 30 buah. Di samping itu dilaksanakan pula pengadaan
sepeda motor sebanyak 1.500 buah.
Bagi sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan,
telah dilaksanakan kegiatan perbaikan terhadap 1.168 buah
puskesmas, termasuk 398 buah puskesmas perawatan, 2.931 buah
puskesmas pembantu, dan 528 buah puskesmas keliling. Dalam
rangka pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan,
melalui INPRES Sarana Kesehatan, pemberian bantuan obat per
kapita disempurnakan dengan cara memberikan bantuan yang lebih
besar terhadap penduduk di desa tertinggal. Untuk itu, bantuan obat
ditingkatkan dari Rp 625 per kapita pada tahun 1993/94 menjadi Rp
725 per kapita pada tahun 1994/95. Kegiatan lainnya untuk
meningkatkan pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dilakukan
melalui percepatan penempatan tenaga dokter, dokter gigi dan bidan
dengan pola pegawai tidak tetap (PTT). Dengan pola penempatan PTT
ini maka penyebaran tenaga bagi daerah terpencil dapat lebih cepat
dan merata, karena kepada mereka diberikan tunjangan khusus sesuai
dengan tingkat keterpencilannya. Pada tahun 1994/95 telah ditempat kan sebanyak 3.316 orang dokter PTT dan 896 dokter gigi PTT.
Jumlah dokter PTT dan dokter gigi PTT yang ditempatkan tersebut
meningkat dari tahun 1993/94 yang berjumlah masing-masing
sebanyak 1.700 orang dan 336 orang.
Salah satu kegiatan program pelayanan kesehatan masyarakat
adalah pelayanan kesehatan keluarga. Prioritas pelayanan kesehatan
keluarga diarahkan terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak
termasuk pelayanan kontrasepsi, pemeliharaan anak dan ibu sesudah
persalinan, perbaikan gizi dan pemberian imunisasi serta pelayanan
kesehatan bagi kelompok usia lanjut. Melalui pelayanan kesehatan
keluarga, telah dilaksanakan peningkatan pelayanan kontrasepsi
dengan metode efektif dengan cakupan sekitar 66 persen dari
XVIII/17
pasangan usia subur. Pencapaian ini telah mendekati sasaran yang
ditetapkan pada tahun pertama Repelita VI yaitu sekitar 67 persen.
Selain itu telah dilaksanakan pula kegiatan simulasi pengayoman
metode kontrasepsi efektif yang telah mencakup 18 propinsi yang
bertujuan untuk melestarikan pemakaian kontrasepsi efektif. Untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya masalah kesehatan pada ibu usia
subur, dilaksanakan deteksi secara dini kelainan reproduksi yang telah
dilaksanakan di 23 propinsi. Selain tenaga dokter, pelaksana utama
kegiatan pelayanan kesehatan keluarga adalah tenaga bidan yang telah
tersebar di desa-desa. Bidan di desa berperanan besar dalam kegiatan
pelayanan kesehatan terutama pemeliharaan kesehatan ibu dan anak,
imunisasi, perbaikan gizi di perdesaan, yang dampaknya diharapkan
dapat menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan angka
kematian bayi dan anak. Pada tahun 1994195 telah ditempatkan
sebanyak 9.464 bidan PTT di desa. Untuk mendukung kegiatan
mereka diberikan bantuan alat transpor, biaya pemondokan, biaya
operasional dan peralatan untuk bidan.
Untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada ibu, telah dilaksanakan pelatihan petugas
di 15 propinsi. Dalam pelayanan kesehatan ibu, selain tenaga bidan
peranan dukun bayi juga cukup penting. Melalui pelatihan dan
pembinaan secara terus menerus, tenaga tersebut sangat membantu
meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan
ibu melahirkan. Jumlah dukun. bayi yang telah dibina pada tahun
1994/95 sebanyak 18.676 orang, sedangkan dukun bayi yang dilatih
mencakup 1.454 orang. Dibandingkan dengan jumlah dukun bayi
yang dibina pada tahun 1993/94 sebanyak 15.337 orang, maka terjadi
peningkatan sekitar 3.000 orang lebih. Sebagai dampak dari
bertambahnya tenaga bidan di desa dan makin intensifnya pembinaan
dukun bayi maka cakupan pelayanan kepada ibu hamil pada tahun
1994/95 telah mencapai 70 persen.
XVIII/18
Sasaran pelayanan lainnya dari kesehatan keluarga adalah anak
balita dan anak pra sekolah di taman kanak-kanak (TK). Kunjungan
anak balita ke sarana pelayanan kesehatan dasar dan pos pelayanan
terpadu (posyandu) pada tahun 1994/95 telah mencakup 75 persen,
sama dengan tahun sebelumnya. Di taman kanak-kanak telah
dilaksanakan pemeriksaan kesehatan (skrining) yang dilaksanakan oleh
guru-guru TK yang sebelumnya mendapatkan pelatihan. Pelayanan
kesehatan bagi usia lanjut, merupakan kegiatan baru yang mulai
dikembangkan dalam Repelita VI. Kegiatannya meliputi pendataan
dan penjaringan kesehatan yang telah dilaksanakan sebanyak 18 kali,
pelatihan petugas dan evaluasi kegiatan untuk perumusan kegiatan
ditahun yang akan datang.
Kegiatan lainnya adalah pelayanan kesehatan anak sekolah dan
remaja. Kegiatannya diselenggarakan melalui wadah usaha kesehatan
sekolah (UKS), meliputi penjaringan anak sekolah, pelayanan
kesehatan bagi anak luar biasa (anak berkelainan) dan pelayanan
kesehatan bagi remaja. Pada tahun 1994/95 jumlah sekolah yang telah
tercakup oleh kegiatan penjaringan kesehatan adalah sebanyak 25.000
sekolah, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 1993/94
yang berjumlah 24.218 sekolah.
Pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa telah dilaksanakan oleh
567 puskesmas di 13 propinsi, sama jumlahnya dengan kegiatan yang
dilaksanakan tahun sebelumnya. Dengan diketahuinya kelainan yang
diderita oleh anak sekolah tersebut, maka guru, orang tua dan petugas
puskesmas akan bekerjasama untuk menanggulangi kelainan tersebut.
Pelayanan kesehatan terhadap remaja dilaksanakan melalui pelaksanaan konseling kesehatan, penyuluhan dan pelatihan petugas yang
telah dilaksanakan di 23 propinsi.
XVIII/19
Penyembuhan dan pemulihan kesehatan merupakan kegiatan yang
dilaksanakan oleh puskesmas dan jaringannya. Kegiatan rawat jalan
merupakan kegiatan pokok dari pelayanan penyembuhan dan
pemulihan. Selain itu di puskesmas yang dilengkapi dengan tempat
tidur (puskesmas perawatan) dilaksanakan pula perawatan penderita.
Pada tahun 1994/95 telah tersedia 1.371 puskesmas perawatan dengan
kapasitas tempat tidur rata-rata 5-10 tempat tidur per puskesmas. Bagi
penduduk miskin terutama di desa tertinggat, mulai tahun 1994/95 di
berikan "kartu sehat" yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan
pelayanan penyembuhan dan pemulihan kesehatan di puskesmas
dan/atau rumah sakit secara cuma-cuma. Pemberian kartu sehat ini
tidak hanya untuk berobat saja, namun menggugah mereka yang
menerimanya untuk lebih banyak memperhatikan kesehatan diri dan
keluarganya.
Dalam upaya peningkatan kesehatan mata, telah dilaksanakan
pelayanan kesehatan mata di sekitar 1.000 puskesmas. Untuk
meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat terutama golongan usia
sekolah, usia produktif, atlit dan golongan usia lanjut, dilaksanakan
kesehatan olah raga. Kegiatannya berupa penyuluhan kesehatan olah
raga yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Selain itu dilaksanakan pula pelatihan bagi petugas yang akan menangani kesehatan olah
raga baik di tingkat pusat maupun di daerah. Untuk meningkatkan
prestasi atlit, maka ditingkat pusat telah dilaksanakan pembinaan
kesehatan bagi para atlit bekerjasama dengan KONI pusat.
3) Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit
Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan, dan
efisiensi pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit serta memantapkan sistem pelayanan rujukan dari puskesmas ke rumah sakit
kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit di tingkat pusat.
XVIII/20
Kegiatan peningkatan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah
sakit yang telah dilaksanakan antara lain meliputi: pembangunan dan
rehabilitasi gedung rumah sakit; perbaikan dan penggantian serta
pengadaan peralatan medis berdasarkan standar pelayanan di masingmasing rumah sakit; penambahan dan pemerataan persebaran tenaga
dokter ahli; penyediaan bantuan obat-obatan; dan peningkatan biaya
operasional serta pemeliharaan rumah sakit. Selain itu dilaksanakan
pula peningkatan keterampilan petugas di berbagai bidang pelayanan
di semua unit pelayanan rujukan, dimulai dari tingkat kabupaten
dengan rumah sakit kelas D, C, serta rumah sakit kelas B dan A yang
pada umumnya terletak di tingkat propinsi dan pusat.
Secara keseluruhan jumlah rumah sakit pada tahun 1994/95
tercatat sebanyak 1.741 buah dengan 128.708 tempat tidur yang
terdiri dari: 835 rumah sakit umum (RSU) dengan 98.952 tempat
tidur dan 906 rumah sakit khusus (RSK) dengan 29.756 tempat tidur
(Tabel XVIII-2). Hal ini menunjukkan adanya penambahan jumlah
sebanyak 68 rumah sakit dengan 2.727 tempat tidur jika dibandingkan
dengan tahun 1993/94.
Untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan di rumah sakit
dilakukan penempatan 409 tenaga dokter ahli dari empat keahlian
dasar yaitu ahli bedah, ahli anak, ahli penyakit dalam dan ahli
kebidanan dan kandungan di berbagai rumah sakit terutama di rumah
sakit kelas D dan C. Selain itu, untuk mempercepat penempatan
dokter ahli di rumah sakit kabupaten di daerah terpencil telah disediakan beasiswa untuk mengikuti pendidikan dokter ahli, khususnya 4
keahlian dasar tersebut. Setelah lulus pendidikan mereka diwajibkan
untuk menjalankan masa baktinya di rumah sakit kabupaten. Guna
memfungsikan para dokter ahli tersebut secara optimal, disediakan
pula 441 paket peralatan dokter spesialis, 145 paket peralatan keahlian
XVIII/21
dasar, dan 125 paket peralatan untuk tiga keahlian penunjang (ahli
anestesi, ahli radiologi dan ahli laboratorium). Untuk meningkatkan
kemampuan pelayanan di berbagai rumah sakit diadakan 1.652 unit
peralatan medik, 1.884 unit peralatan nonmedik dan 36 unit kendaraan/ambulans. Selain itu diberikan pula bantuan obat-obatan dan
peralatan medik kepada 23 rumah sakit swasta, terutama yang
berlokasi di propinsi-propinsi di luar pulau Jawa dan Bali.
Sejak tahun 1990/91, disediakan biaya operasional dan
pemeliharaan rumah sakit (OPRS) dengan tujuan untuk meningkatkan
penampilan fisik rumah sakit dan mutu pelayanati seluruh rumah sakit
pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada tahun 1994/95 telah
disediakan biaya OPRS bagi 405 rumah sakit sebesar Rp 57,9 milyar.
Salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian rumah sakit
adalah melalui unit swadana. Dengan unit swadana dimungkinkan
terjadinya subsidi silang kepada rumah sakit yang lemah, sedangkan
rumah sakit yang telah mandiri dapat meningkatkan mutu
pelayanannya. Demikian pula di rumah sakit unit swadana dimungkinkan subsidi silang antara penderita yang mampu kepada yang kurang
mampu. Sampai dengan tahun 1994 ? telah terdaftar sebanyak 10
rumah sakit vertikal yang menjadi unit swadana.
Pada tahun 1994/95 penyelesaian pembangunan RS Dr. Wahidin
Soediro Husodo di Ujung Pandang, RS Malalayang Manado dan RS
Adam Malik Medan terus dilanjutkan. Sedangkan RS Purwokerto dan
RS Muwardi Solo baru memasuki tahap akhir penyelesaian
pembangunan gedungnya. Di samping itu telah diselesaikan rehabilitasi/renovasi serta penambahan bangunan untuk 147 RS dimana 17
RS terdapat di Propinsi Kalimantan Tengah, Jambi, dan Maluku.
Penambahan peralatan medik dan non medik serta perbaikan peralatan
XVIII/22
dilaksanakan pula pada 20 rumah sakit di propinsi Sumatera Utara,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Dalam rangka peningkatan kelas rumah sakit dari kelas D
menjadi kelas C, dilaksanakan studi kelayakan terhadap 10 rumah
sakit, dan penyusunan rencana induk (master plan) bagi 8 rumah
sakit. Sedangkan untuk lebih meningkatkan kualitas kesehatan
lingkungan di rumah sakit, telah dilaksanakan pula pembangunan
instalasi air limbah bagi 8 rumah sakit.
Untuk pelayanan penderita kusta telah dilaksanakan rujukan
dokter ahli bedah kusta guna memberikan pelayanan bedah
rekonstruksi di 10 rumah sakit kusta binaan. Di samping itu diadakan
juga pelatihan paramedis bidang pelayanan penyakit kusta, rehabilitasi
gedung dan prasarana lingkungan, serta pengadaan peraratan di RS
Kusta Sitanala, RS Kusta Sungai Kundur dan RS Kusta Ujung
Pandang.
4) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Tujuan dari program pencegahan dan pemberantasan penyakit
adalah menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta
rnengurangi akibat buruk penyakit, baik yang menular maupun tidak
menular. Kegiatan pokok dari program ini meliputi pengamatan
penyakit, pengobatan penderita, pemberantasan vektor penyakit,
imunisasi dan penanggulangan kejadian luar biasa dan wabah
penyakit. Kegiatan pokok tersebut dilaksanakan secara terpadu dengan
program kesehatan lainnya, terutama dengan program pelayanan
kesehatan masyarakat yang didukung oleh partisipasi masyarakat,
termasuk dunia usaha. Beberapa kegiatan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit pada tahun pertama Repelita VI adalah
sebagai berikut.
XVIII/23
Upaya pemberantasan penyakit malaria meliputi penemuan dan
pengobatan penderita yang telah dilaksanakan terhadap sekitar 5,7 juta
penderita. Selain itu telah dilaksanakan penyemprotan rumah
penduduk dengan insektisida jenis Fenetrothion yang mencakup
sekitar 1,7 juta rumah (Tabel XVIII-3). Jumlah rumah yang disemprot
pada tahun 1994/95 meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu lebih dari
200 ribu rumah. Penyemprotan rumah di daerah rawan penyakit
malaria di Jawa dan Bali, yang semula menggunakan jenis insektisida
DDT, diganti oleh jenis insektisida yang mudah terurai yaitu
Fenetrothion, Karbamat dan L-Sihalothrin. Tujuan penggantian ini
untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan DDT terhadap
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Peningkatan kegiatan
penyemprotan dan pengobatan penderita telah berhasil menurunkan
angka kesakitan penyakit malaria di Jawa dan Bali menjadi 0,17 per
1.000 penduduk pada tahun 1994/95. Angka kesakitan ini lebih
rendah dari angka tahun sebelumnya yaitu 0,19 per 1.000 penduduk.
Namun demikian penyakit ini masih merupakan masalah di luar Jawa
dan Bali, sehingga pemberantasannya perlu terus ditingkatkan.
Penyakit menular lainnya yang perlu ditingkatkan pemberantasannya adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini
dari tahun ke tahun penyebarannya makin meluas. Sejak pertama kali
dilaporkan tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, sampai pada akhir
Repelita V penyakit ini telah menyebar ke 20 propinsi dan mencakup
170 Dati II. Pada tahun 1994/95 penyebarannya meluas lagi sehingga
semua propinsi telah terjangkit dan mencakup 217 Dati II. Meluasnya
penyebaran penyakit ini sejalan dengan meningkatnya arus
transportasi antar wilayah dan makin padatnya jumlah penduduk serta
belum baiknya kesehatan lingkungan. Untuk menanggulangi penyakit
ini upaya yang dilakukan antara lain berupa abatisasi dan
penyemprotan masal di tempat -tempat pembiakan nyamuk Aedes
XVIII/24
Aegypti serta pengasapan (fogging) di rumah-rumah yang tersangka
menjadi sarang nyamuk. Pada tahun 1994/95, kegiatan abatisasi masal
telah dilaksanakan terhadap sekitar 2,5 juta rumah, dan pengasapan
terhadap sekitar 5,5 juta rumah (Tabel XVIII-3). Kegiatan pengasapan
ini, meningkat dari tahun 1993/94 yang mencakup sekitar 2,6 juta
rumah. Peningkatan ini dilaksanakan untuk mengantisipasi perluasan
penyebaran penyakit menurut siklus empat tahunan. Angka kesakitan
DBD pada tahun 1994/95 masih cukup tinggi yaitu sekitar 9,7 per
100.000 penduduk, yang berarti upaya pemberantasannya perlu terus
ditingkatkan.
Di samping penyakit malaria dan DBD, penyakit tuberkulosa
paru (TB-Paru), merupakan penyakit menular yang banyak diderita
oleh masyarakat terutama penduduk miskin. Pada pertengahan
Repelita V perhatian WHO terhadap penyakit ini meningkat. Hal ini
sejalan dengan meluasnya penyebaran penyakit AIDS yang berdampak
menurunkan daya tahan tubuh sehingga penderita lebih mudah
terjangkit penyakit tuberkulosa paru. Untuk itu WHO telah
menetapkan strategi global pemberantasan penyakit TB-Paru. Dalam
strategi tersebut ditetapkan target cakupan penanggulangan TB-Paru
sebesar 70 persen dengan angka kesembuhan sebesar 85 persen.
Sejalan dengan strategi tersebut, maka mulai tahun 1994/95 telah
dilaksanakan perbaikan dalam penanggulangan penyakit ini yang
meliputi cara menemukan penderita, dan cara pengobatannya.
Peralatan untuk diagnosa penderita yang sebelumnya menggunakan
mikroskop monokuler, diganti menjadi mikroskop binokuler.
Pengawasan atas keteraturan minum obat diperketat sehingga
diharapkan angka kesembuhan dapat ditingkatkan, sesuai pedoman
pemakaian obat yang dianjurkan WHO. Pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pemeriksaan terhadap sekitar 292 ribu sediaan dahak dan
pengobatan terhadap sekitar 26,6 ribu penderita (Tabel XVIII-3).
Jumlah penderita yang diobati ini lebih kecil dari tahun 1993/94 yang
XVIII/25
berjumlah sekitar 68 ribu penderita. Penurunan ini antara lain
disebabkan karena cara diagnosa yang lebih baik dan dengan
memperhitungkan kemampuan sarana, tenaga pelaksana, kelengkapan
alat, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap keteraturan minum
obat sehingga dapat menghasilkan tingkat kesembuhan di atas 85
persen. Upaya pemberantasan TB-Paru diintegrasikan dengan upaya
yang dilaksanakan di balai pengobatan penyakit paru (BP4) dan rumah
sakit. Selain itu kerjasama dengan perkumpulan pemberantasan
tuberkulosa Indonesia (PPTI) terus ditingkatkan.
Penyakit menular lainnya yang penting ditanggulangi adalah
infeksi saluran nafas akut (ISPA), yang mencakup saluran nafas
bagian atas dan bagian bawah. Penyakit ini merupakan penyebab
utama tingginya angka kesakitan dan kematian bayi dan anak.
Kegiatannya meliputi penemuan dan pengobatan penderita yang
dilaksanakan melalui puskesmas dan jaringannya. Untuk penanganan
kasus ISPA yang berat, dilaksanakan kegiatan rujukan ke rumah sakit.
Jumlah penderita yang ditemukan dan diobati pada tahun 1994/95
sekitar 572.477 ribu orang.
Seperti halnya penyakit ISPA, penyakit diare merupakan
penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi
dan anak. Penyebab penyakit diare berkaitan erat dengan keadaan
kesehatan lingkungan yang masih rendah dan perilaku masyarakat
yang kurang mendukung hidup sehat. Kegiatan pemberantasan
penyakit ini meliputi penyuluhan kesehatan dan penemuan serta
pengobatan penderita. Penyuluhan dilaksanakan terutama melalui
puskesmas dan jaringannya serta posyandu dengan penekanan pada
upaya pencegahan seperti membiasakan minum air yang telah
dimasak, cara menggunakan oralit, cara membuat larutan gula garam
sebagai pengganti oralit, dan cara memelihara lingkungan yang sehat.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penemuan dan pengobatan
XVIII/26
terhadap sekitar 2,6 juta penderita diare. Jumlah ini lebih rendah dari
tahun 1993/94 yaitu sekitar 4,1 juta orang penderita. Menurunnya
jumlah penderita yang ditemukan dan diobati, antara lain berkaitan
dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap upaya
pencegahan penyakit ini.
Penyakit menular yang menunjukkan kecenderungan meluas
penyebarannya adalah penyakit AIDS. Sejak ditemukan pertama kali
di Indonesia pada tahun 1987 sampai dengan 31 Maret 1995, tercatat
sebanyak 218 orang penderita terinfeksi virus penyebab penyakit ini
(virus HIV) dan 70, orang menderita AIDS di Indonesia. Kegiatan
penanggulangan AIDS diintegrasikan dengan pemberantasan penyakit
kelamin. Kegiatannya antara lain meliputi sero survai AIDS dan
sifilis serta pemeriksaan (skrining) donor darah. Di samping itu
kegiatan penyuluhan tentang upaya pencegahan AIDS melalui media
massa terus diintensifkan. Pada tahun 1994/95, kegiatan sero survai
AIDS dan sifilis mencakup 52.825 sampel. Selain itu telah
dilaksanakan pula pemeriksaaan (skrining) terhadap 703.369 kolf
darah yang akan ditransfusikan. Dengan demikian darah yang akan
ditransfusikan dijaga agar terbebas dari virus HIV. Kegiatan
pemeriksaan darah ini meningkat dari tahun 1993/94 yaitu sebanyak
669.951 kolf darah. Dalam upaya penanggulangan AIDS secara lintas
sektor, telah dibentuk komisi penanggulangan AIDS yang ditetapkan
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun 1994. Atas dasar
Keppres tersebut telah disusun Program Nasional Penanggulangan
HIV/AIDS Repelita VI, yang akan merupakan landasan/pedoman bagi
semua instansi pemerintah maupun swasta serta organisasi masyarakat
dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Kegiatan imunisasi merupakan kegiatan penting dibidang
pencegahan dan pemberantasan penyakit dalam upaya mempercepat
XVIII/27
penurunan angka kesakitan, kematian bayi dan anak. Sasaran cakupan
imunisasi dasar (BCG, DPT, polio, campak) secara internasional telah
ditetapkan pada konferensi tingkat tinggi anak sedunia (World Summit
for Children). Pada konferensi tersebut ditetapkan bahwa sasaran
imunisasi dasar minimal harus mencakup 80 persen dari sasaran,
dikenal dengan sasaran Universal Child Immunization (UCI). Pada
tahun 1994/95 rata-rata pencapaian sasaran nasional kegiatan
imunisasi campak lengkap pada bayi sebesar 92 persen. Hal ini berarti
secara nasional, sasaran UCI telah dilampaui. Untuk meningkatkan
cakupan dan mutu kegiatan imunisasi, maka dukungan peralatan,
vaksin, pelatihan petugas dan kegiatan operasional terus ditingkatkan.
Upaya pemberantasan penyakit menular lainnya seperti penyakit
kaki gajah (filariasis), demam keong (schistosomiasis), gila anjing
(rabies), pes, kusta, patek (frambusia) dilanjutkan dan ditingkatkan.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengobatan masal terhadap
sekitar 190 ribu penderita kaki gajah. Di Lembah Lindu dan Napu,
propinsi Sulawesi Tenggara telah dilaksanakan pengobatan masal
terhadap 2.075 penderita demam keong, selama 6 bulan dengan
praziquantel. Selain itu dilaksanakan pula kegiatan penyuluhan,
penyediaan sarana air bersih dan jamban serta pemberantasan fokusfokus keong penular. Kegiatan penanggulangan rabies dilaksanakan
melalui vaksinasi hewan sebanyak 716.940 ekor dan vaksinasi pada
manusia sebanyak 7.059 orang. Pemberantasan penyakit rabies,
dilaksanakan secara terpadu melibatkan unsur Departemen Dalam
Negeri, Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian Ditjen.
Peternakan. Pemberantasan penyakit pes hanya dilaksanakan di daerah
fokus pes yaitu di kabupaten-kabupaten Boyolali, Pasuruan dan
Sleman. Kegiatannya meliputi pengumpulan sediaan (spesimen) dan
pengobatan terhadap tersangka.
XVIII/28
5) Program Perbaikan Gizi
Tujuan dari program perbaikan gizi adalah meningkatkan mutu
gizi konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan keadaan
gizi masyarakat. Kegiatan utama program ini meliputi penyuluhan gizi
masyarakat, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), upaya perbaikan
gizi institusi dan peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan
dan gizi (SKPG).
Penyuluhan gizi masyarakat bertujuan untuk memasyarakatkan
pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku
yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan makanan yang
bermutu gizi seimbang bagi masyarakat. Untuk melaksanakan
penyuluhan gizi telah disusun pedoman umum gizi seimbang (PUGS).
Pedoman ini merupakan pegangan bagi petugas kesehatan dan petugas
sektor terkait lainnya serta masyarakat luas tentang perilaku konsumsi
makanan yang sesuai dengan kaidah umum gizi.
Untuk menyebarluaskan informasi tentang PUGS, dalam tahun
1994/95 telah dilaksanakan pelatihan untuk pelatih sebanyak 52 orang.
Selain itu telah dilaksanakan pula pelatihan tentang peningkatan
penggunaan air susu ibu (ASI) secara eksklusif terhadap 268 orang
petugas.
Kegiatan lainnya berupa pelatihan bagi petugas gizi di daerah
termasuk organisasi wanita dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Materi pelatihan antara lain meliputi: PUGS, hidangan bergizi spesifik
daerah, peningkatan penggunaan ASI, teknologi tepat guna
pengolahan pangan dan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) gizi.
Untuk mendukung kegiatan penyuluhan gizi telah dilaksanakan
pengadaan dan distribusi materi penyuluhan gizi berupa media cetak
XVIII/29
(leaflet, booklet, poster) maupun media elektronik (video, filler,
radiospot,.kaset dan sebagainya).
Penyebarluasan informasi dilaksanakan melalui penayangan di
TVRI sebanyak 46 kali dan drama seri di RRI dan kuis sebanyak 46
kali. Di samping itu telah pula dikembangkan kegiatan pemasaran
sosial tentang pemanfaatan garam beriodium, peningkatan konsumsi
makanan sumber vitamin A dan zat besi serta peningkatan penggunaan
ASI secara eksklusif.
Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) merupakan gerakan sadar
gizi masyarakat, bertujuan memacu upaya masyarakat agar mampu
memenuhi kebutuhan gizinya, melalui pemanfaatan aneka ragam
pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga dan lingkungan
masyarakat setempat. Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi
masyarakat perdesaan, pelayanan gizi di posyandu dan peningkatan
pemanfaatan lahan pekarangan.
Penyuluhan gizi masyarakat pedesaan dilaksanakan di posyandu
yang tersebar di seluruh desa. Pada tahun 1994/95 jumlah posyandu
yang melaksanakan penyuluhan gizi adalah sebanyak 250.262
posyandu, meningkat dari keadaan tahun 1993/94 yaitu sebanyak
244.843 posyandu. Sasaran penyuluhan adalah ibu balita, ibu hamil
dan ibu menyusui serta wanita usia subur yang datang ke posyandu.
Pelaksana penyuluhan adalah para kader di bawah bimbingan petugas
kesehatan dan petugas sektor lainnya seperti petugas pertanian,
BKKBN, agama, pamong desa dan penggerak PKK. Selain di
posyandu, penyuluhan gizi juga dilaksanakan di luar posyandu dengan
menggunakan pendekatan kelompok antara lain melalui kelompok
pengajian, arisan, kelompok wanita tani, PKK dan kelompok
pendengar, pembaca dan pemirsa (Kelompencapir).
XVIII/30
Pelayanan gizi di posyandu, terutama ditujukan kepada kelompok
masyarakat yang rawan gizi yaitu wanita pranikah, ibu hamil, ibu
menyusui, bayi dan anak balita. Posyandu merupakan ujung tombak
dalam penanggulangan masalah gizi kurang seperti kurang vitamin A
(KVA), gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi
(AGB) dan kurang energi protein (KEP). Kegiatan pemantauan
pelayanan gizi di posyandu antara lain meliputi pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan anak, pemberian paket pelayanan
gizi, pemberian makanan tambahan dan pemantauan dini terhadap
perkembangan kehamilan.
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, dilaksanakan
melalui penimbangan berat badan bayi dan balita secara teratur sekali
sebulan, yang hasilnya dapat diamati melalui kartu menuju sehat
(KMS). Pemberian paket pertolongan gizi antara lain berupa
pemberian kapsul iodium terhadap sekitar 12,4 juta penduduk
terutama yang bertempat tinggal di desa endemik berat dan sedang.
Selain itu dilaksanakan pula penyuluhan gizi untuk meningkatkan
konsumsi garam beriodium. Dalam upaya menanggulangi masalah
AGB pada ibu hamil telah didistribusikan tablet besi kepada sekitar
2,4 juta ibu hamil. Prioritas pemberian tablet besi diberikan terhadap
ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi di desa tertinggal. Selain itu
telah dilaksanakan pula kegiatan pemasaran sosial untuk meningkatkan
konsumsi bahan makanan sumber zat besi.
Walaupun masalah KVA yang diukur dengan besarnya prevalensi
Xerophthalmia sudah sangat rendah, namun prevalensi KVA diukur
dari kadar serum vitamin A yang rendah masih memprihatinkan yang
akan rnengancam keberhasilan penanggulangan Xerophthalmia. Untuk
mempertahankan keberhasilan tersebut, masih diperlukan pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi terhadap anak balita dan ibu nifas. Pada
XVIII/31
tahun 1994/95 telah didistribusikan kapsul vitamin A kepada sekitar
11,8 juta anak balita.
Pemberian makanan tambahan untuk anak balita yang menderita
KEP, kegiatannya dikaitkan dengan pemanfaatan lahan pekarangan
melalui program diversifikasi pangan dan gizi dari sektor pertanian.
Kegiatan pemberian makanan tambahan diupayakan menjadi tanggung
jawab keluarga dan masyarakat setempat.
Kegiatan utama lainnya dari program perbaikan gizi adalah usaha
perbaikan gizi institusi (UPGI). Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan keadaan gizi kelompok masyarakat yang berada di
suatu lembaga atau institusi tertentu. Institusi yang dimaksud adalah
yang mengelola dan melaksanakan pelayanan gizi bagi warganya.
Perhatian diberikan terutama kepada lembaga pendidikan, khususnya
SD termasuk pesantren di daerah miskin, dan panti-panti sosial.
Kegiatan UPGI antara lain meliputi pembinaan teknis, pelatihan,
penyuluhan dan intervensi gizi.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemberian makanan
tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS) di 891 buah sekolah dasar dan
madrasah ibtidaiyah, di semua propinsi, kecuali DKI Jakarta yang
mencakup sekitar 42,3 ribu anak. PMT-AS diselenggarakan oleh
petugas kesehatan dan pendidikan bekerja sama dengan orang tua
murid dan masyarakat. Dalam paket PMT-AS, selain pengadaan
bahan makanan diberikan pula obat cacing dan tablet besi. H a s i l
evaluasi sementara dari PMT-AS antara lain menyimpulkan bahwa
keadaan gizi anak sekolah telah makin baik yang ditunjukkan oleh
meningkatnya berat badan dan tinggi badan anak, menurunnya
prevalensi cacingan dari 67 persen menjadi 40 persen, dan
meningkatnya prestasi belajar.
XVIII/32
Pelatihan UPGI telah diikuti oleh 60 orang pengelola gizi
perusahaan, 30 orang petugas pusat latihan olah raga, 120 orang
petugas rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, 60 orang petugas
panti sosial, 45 orang petugas jasa boga dan 60 orang petugas
pesantren. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan UPGI, telah
disusun berbagai buku pedoman dan materi gizi lainnya.
Kegiatan program perbaikan gizi .lainnya adalah sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Di sektor kesehatan kegiatan
SKPG meliputi pemantauan status gizi (PSG) balita sekali setahun,
pengukuran tinggi badan anak baru sekolah (TBABS), pemantauan
konsumsi masyarakat tingkat kecamatan dan jaringan informasi
pangan dan gizi (JIPG).
Kegiatan PSG di posyandu telah diujicobakan pada tahun
1992/93 di 6 propinsi yaitu Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi
Utara dan Kalimantan Barat. Uji coba tersebut menunjukkan bahwa
PSG di posyandu dapat memberikan gambaran keadaan gizi anak
balita di tingkat kecamatan. Pada tahun 1994/95 PSG di Posyandu
telah dilaksanakan di seluruh kecamatan di 27 propinsi. Salah satu
cara untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan fisik
penduduk adalah melalui pengukuran TBABS. Pada tahun 1994/95
pengukuran TBABS telah dilaksanakan di 18.224 sekolah dasar dan
madrasah di seluruh Indonesia. Sebanyak 77,5 persen anak masuk
sekolah berumur 6-7 tahun. Secara umum tinggi badan rata-rata anak
laki-laki adalah 114,9 cm dan perempuan 114,0 cm. Tinggi badan
rata-rata anak laki-laki baru masuk sekolah mencapai 91 persen dan
anak perempuan sebesar 90,6 persen dari masing-masing bahan
rujukan NCHS-WHO. Pada umumnya anak yang tinggal di perkotaan
mempunyai tinggi badan yang lebih baik dibandingkan dengan anak
yang tinggal di daerah perdesaan. Prevalensi gangguan pertumbuhan
XVIII//33
pada anak sekolah adalah 18 persen di perkotaan dan 32 persen di
perdesaan.
6) Program Pengawasan Obat dan Makanan
Program ini bertujuan: pertama, tersedianya obat dan alat
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang didukung
oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan mandiri;
kedua, terlindungnya masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar
dan persyaratan kesehatan lainnya; ketiga, terlindungnya masyarakat
dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotik, dan
zat adiktif, serta bahan berbahaya lainnya; dan keempat,
meningkatnya penggunaan obat tradisional yang terbukti bermanfaat
untuk pelayanan kesehatan sejalan dengan program pengembangan
pengobatan tradisional.
Dalam upaya menyediakan obat yang makin merata, bermutu dan
terjamin khasiatnya serta terjangkau harganya oleh masyarakat luas
pemanfaatan obat generik dilanjutkan dan ditingkatkan. Pada tahun
1994/95 penjualan obat generik pada sektor swasta telah meningkat
menjadi 70 persen dari total penjualan obat generik secara nasional.
Nilai penjualan obat generik pada tahun 1994/95 mencapai sekitar Rp
81,12 milyar, jauh meningkat bila dibandingkan nilai pada tahun
1993/94 sekitar Rp 63,9 milyar.
Guna meningkatkan kemampuan pengelolaan obat di Dati II dan
puskesmas telah dilaksanakan peningkatan sarana, prasarana dan
sumber daya manusianya. Pada tahun 1994/95 telah dibangun 1
gudang farmasi di Kodya Denpasar. Di camping itu telah dilaksanakan
pelatihan tenaga pengelola obat di Gudang Farmasi Kabupaten (GFK)
dan puskesmas sebanyak 1.049 orang.
XVIII//34
Untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan dan obat tradisional yang tidak
memenuhi syarat kesehatan maka dilakukan pengendalian mutu secara
menyeluruh. Pengendalian mutu tersebut mencakup cara pembuatan
yang baik, penilaian produk sebelum dan sesudah beredar, penetapan
standar mutu, pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi
dan distribusi. Pada tahun 1994/95 semua obat yang diproduksi di
Indonesia hams memenuhi persyaratan cara-cara pembuatan obat yang
baik (CPOB). Penilaian data teknis pendaftaran telah dilakukan
terhadap 1482 jenis obat, 4.384 jenis makanan, 1.282 jenis alat
kesehatan dan 1.272 jenis obat tradisional. Sebagai standar dalam
upaya pengendalian mutu telah disusun buku persyaratan mutu
mencakup 959 monografi obat, 200 monografi bahan makanan
tambahan, 208 monografi kosmetika dan 60 monografi obat
tradisional.
Pengujian laboratorium terhadap obat, makanan, bahan dan alat
kesehatan dilakukan di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai
POM) di 27 propinsi dan Pusat Pengawasan Obat dan Makanan
(PPOM). Pengujian itu dilakukan untuk memastikan apakah produk
yang beredar telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Bagi
produk yang sampelnya tidak memenuhi persyaratan, dilakukan
penarikan kembali dari peredaran untuk selanjutnya dimusnahkan.
Pada tahun 1994/95 telah dilakukan pengujian terhadap 15.881 sampel
obat, 1.167 sampel makanan dan minuman, 6.431 sampel kosmetika
dan alat kesehatan serta 5.579 sampel obat tradisional. Kegiatan
pengujian ini meningkat dari tahun 1993/94 yang baru mencakup
1.710 sampel obat, 2.600 sampel kosmetika dan alat kesehatan serta
250 sampel obat tradisional.
XVIII//35
Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi dilakukan oleh tenaga
pemeriksa untuk memastikan apakah ketentuan yang berlaku
dilaksanakan secara tertib. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
pemeriksaan terhadap 3.394 sarana poduksi dan distribusi obat, 1.032
sarana produksi dan distribusi kosmetika dan alat kesehatan serta 653
sarana produksi dan distribusi obat tradisional. Atas dasar
pemeriksaan tersebut telah dilaksanakan penyidikan 444 kasus
dibidang obat dan makanan, dan 13 kasus diantaranya telah
diputuskan oleh pengadilan. Jumlah kasus yang disidik meningkat dari
tahun 1993/94 yang mencakup 312 kasus.
Pembinaan dan pengembangan dimensi ekonomi industri farmasi
terus ditingkatkan untuk menunjang pembangunan sektor ekonomi.
Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 224 industri farmasi dan 1.355
pedagang besar farmasi (PBF). Nilai ekspor obat telah mencapai lebih
dari 43 juta dollar AS. Untuk memperkuat struktur industri farmasi
dalam negeri, telah dilaksanakan produksi bahan baku obat di dalam
negeri dengan ilai produksi sekitar 10,1 persen dari nilai kebutuhan
bahan baku nasional.
7) Program Pembinaan Pengobatan Tradisional
Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan
pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, baik secara
tersendiri atau terpadu dalam pelayanan kesehatan paripurna guna
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Program ini
baru dilaksanakan pada Repelita VI, dengan demikian kegiatannya
masih terbatas. Pada tahun 1994/95 telah dibentuk satu sentra
pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (Sentra P3T) di
Surabaya. Kegiatannya antara lain mencakup renovasi gedung,
pengadaan peralatan, pelatihan tenaga dan pengkajian metode
pengobatan tradisional. Dalam rangka penyusunan pola pembinaan
XVIII//36
pengobatan tradisional, telah dilaksanakan pertemuan konsultasi
pengelola program di 27 propinsi dan pembentukan forum komunikasi
lintas program dan lintas sektor baik di tingkat pusat maupun di
propinsi.
Untuk mengetahui potensi tenaga pengobat tradisional, telah
dilaksanakan inventarisasi tenaga pengobat tradisional di 3.625
wilayah kerja puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui
inventarisasi tersebut, telah tercatat 184.818 tenaga pengobat
tradisional. Selanjutnya kepada tenaga tersebut secara bertahap
dilaksanakan pembinaan langsung melalui serangkaian sarasehan,
yang jumlahnya telah mencakup 4.500 orang tenaga pengobat
tradisional di 300 kecamatan dari 300 daerah tingkat dua (Dati II).
Kegiatan lainnya adalah pelaksanaan penggalian dan dokumentasi
pengobatan tradisional warisan pusaka Nusantara yang telah
dilaksanakan di 3 propinsi yaitu Irian Jaya, Sumatera Utara dan Jawa
Tengah. Dalam upaya meningkatkan kemandirian hidup sehat, telah
dilaksanakan pelatihan akupresur bagi 80 orang kader di propinsi
Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Dalam program ini,
kegiatan penyebarluasan informasi mempunyai peranan penting, dan
untuk itu telah diadakan dan disebarluaskan buku pedoman petugas
"Pembinaan Pengobatan Tradisional" dan buku "Peningkatan Peran
Pengobat Tradisional dalam Pembangunan Kesehatan" masing-masing
sebanyak 2.500 buah buku.
b. Program Penunljang
1) Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih
Di sektor kesehatan program ini bertujuan meningkatkan
pengamanan kualitas air bagi berbagai kebutuhan dan kehidupan
penduduk, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan .
XVIII//37
Kegiatan pokok dari program ini meliputi pembakuan dan pengaturan
kualitas air, pengawasan kualitas air, perbaikan kualitas air, dan
pembinaan pemakai air serta kegiatan pendukung.
Kegiatan pengawasan kualitas air bertujuan untuk mengetahui
gambaran keadaan sanitasi sarana dan kualitas air sebagai data dasar
untuk rekomendasi dalam pengamanan kualitas air. Hasil pemeriksaan
sanitasi pada tahun 1994/95 menunjukkan bahwa sarana air bersih
dengan tingkat resiko pencemaran amat tinggi adalah sebesar 8,2
persen, tinggi 22,8 persen, sedang 37,2 persen dan rendah 31,7
persen. Untuk mengetahui kualitas air secara sederhana yang
mencakup aspek fisik dan kimia di lapangan telah digunakan alat uji
kualitas air sederhana. Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap
dilakukan di laboratorium pemeriksaan kualitas air di Dati II, di Balai
Laboratorium Kesehatan Propinsi dan di Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan (BTKL). Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengadaan alat pemeriksaan kualitas bakteriologis air (Paket A) sebanyak
86 paket dan alat uji kualitas air untuk puskesmas di daerah terpencil
sebanyak 116 paket. Untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan
kualitas air telah dilatih sebanyak 240 orang tenaga. Dari hasil analisis
bakteriologis terhadap sejumlah sampel air diketemukan bahwa air
yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 53,5 persen dan kualitas
bakteriologis air minum yang memenuhi syarat sebesar 61,7 persen.
Pembinaan pemakai air bertujuan untuk meningkatkan pengertian
dan kesadaran serta kemampuan masyarakat untuk melakukan upaya
pengawasan kualitas air. Kegiatannya meliputi penyuluhan penyehatan
air, pembinaan kelompok pemakai air dan pembentukan Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL). Pada tahun 1994/95
penyuluhan penyehatan air telah dilaksanakan di 697 desa, sesuai
dengan jumlah desa yang melaksanakan perbaikan kualitas air. Pembentukan kelompok pemakai air (Pokmair) merupakan wadah peran
XVIII//38
serta masyarakat dalam pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan
dan pengembangan sarana penyediaan air bersih. Pada tahun 1994/95
telah dibentuk Pokmair di 697 desa, sedangkan DPKL sebanyak 149
desa.
2) Program Penyehatan Lingkungan Permukiman
Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih
sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala kemungkinan
kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya
kesehatan menuju derajat kesehatan keluarga dan masyarakat yang
lebih baik. Kegiatannya meliputi penetapan standar kesehatan
lingkungan, pemantauan dan pengendalian kualitas lingkungan,
pemeliharaan kualitas lingkungan, dan peningkatan sarana fasilitas
Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan (BTKL).
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengawasan kualitas
lingkungan mencakup 17.098 sarana di 138 kabupaten. Sarana yang
dimaksud antara lain meliputi tempat pengelolaan makanan,
pengelolaan pestisida, tempat pembuangan sampah, sarana angkutan
umum dan kawasan industri. Pembinaan kesehatan lingkungan
dilaksanakan melalui penyuluhan yang telah dilaksanakan di 990
lokasi antara lain mencakup daerah kumuh perkotaan, daerah
transmigrasi, masyarakat terasing, daerah nelayan, desa pengrajin
makanan. Selain itu telah dilaksanakan pula "Gerakan Jumat Bersih"
yang merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan lingkungan
bersih dan sehat yang diprakarsai oleh tuan guru dan tokoh
masyarakat di Nusa Tenggara Barat. “Gerakan jumat bersih” ini
menyebar ke berbagai daerah di Indonesia setelah dicanangkan oleh
Bapak Presiden pada tahun 1994 dengan pernyataan "hidup bersih
adalah ajaran semua agama dan merupakan cermin budaya bangsa".
XVIII//39
Pemantauan dan pengendalian kualitas lingkungan telah
dilaksanakan di 635 lokasi berupa pemantauan pemaparan,
pengendalian akibat pencemaran pestisida, pengawasan makanan di
rumah sakit dan daerah industri. Selain itu telah dilaksanakan analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di 5 propinsi mencakup 17
kabupaten. Upaya peningkatan BTKL dilaksanakan antara lain dengan
melengkapi peralatan dan pelatihan petugas sehingga balai tersebut
dapat meningkatkan fungsinya. Pada tahun 1994/95 jumlah sampel
yang diperiksa di BTKL sebanyak 2.500 sampel.
3) Program Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan
Program ini terdiri atas dua komponen yaitu pendidikan
kedinasan dan pelatihan tenaga kesehatan. Tujuan dari pendidikan
kedinasan adalah menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah, jenis
dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan program kesehatan.
Sedangkan pelatihan tenaga kesehatan bertujuan meningkatkan mutu
sumber daya dibidang kesehatan agar dapat meningkatkan hasil
kerjanya dalam menunjang mutu pelayanan kesehatan, memperkuat
tim kerja serta menunjang pengembangan karier.
Kegiatan pokok pendidikan kedinasan antara lain meliputi
penyelenggaraan pendidikan kedinasan bidang kesehatan di berbagai
jenis dan jenjang pendidikan, peningkatan kesempatan belajar (karya
siswa), dan peningkatan mutu pendidikan kedinasan. Pada tahun
1994/95 dilaksanakan pendidikan tenaga bidan melalui program A
(lulusan SPK ditambah pendidikan bidan 1 tahun) sebanyak 8.400
orang, program B (pendidikan guru bidan yaitu lulusan Akademi
Perawat ditambah pendidikan 1 tahun) sebanyak 200 orang, dan
program C (lulusan SLTP dididik pendidikan bidan 3 tahun) sebanyak
6.514 orang. Untuk meningkatkan mutu pendidikan kedinasan, pada
tahun 1994/95 telah diselenggarakan pelatihan guru, termasuk guru
XVIII/40
bidan dan instruktur klinis sebanyak 2.627 orang, pendidikan AKTA
III dan IV sebanyak 240 orang, serta penyediaan peralatan pendidikan
bidan sebanyak 306 set, dan peralatan pendidikan lainnya sebanyak 38
set. Di samping pendidikan tenaga bidan dan perawat, juga dididik
berbagai tenaga kesehatan lainnya pada tingkat D-I dan D-III untuk
jurusan gizi, sanitasi, fisioterapi, radiodiagnostik dan radioterapi serta
teknik elektromedik.
Kegiatan pokok pelatihan tenaga kesehatan antara lain meliputi
pengembangan institusi pendidikan dan pelatihan (diktat),
pengembangan sumber daya, pengembangan metodologi diktat dan
pengembangan sistem diklat. Dalam rangka pengembangan institusi
diktat pada tahun 1994/95 antara lain dibangun dua balai pelatihan
kesehatan (Bapelkes) yaitu di Dili dan Padang. Selain itu telah dibuat
tiga rencana induk pembangunan Bapelkes yaitu di Pakanbaru, Jambi,
dan Palangkaraya. Untuk melengkapi fasilitas Bapelkes yang telah ada
diadakan 6 paket peralatan pendidikan bagi Bapelkes Gombong,
Padang, Pontianak, Pakanbaru, Palangkaraya, dan Ambon. Bapelkes
ini berfungsi sebagai lembaga penyelenggara pelatihan tenaga
kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang dilatih baik di pusat maupun
di daerah pada tahun 1994/95 adalah sebanyak 48.654 orang terdiri
dari pelatihan prajabatan sebanyak 19.943 orang, pelatihan
penjenjangan 528 orang, pelatihan teknis fungsional 4.434 orang dan
pelatihan teknis manajemen sebanyak 23.749 orang. Jumlah tenaga
yang dilatih ini meningkat dari tahun 1993/94 sebanyak 23.698 orang.
Kegiatan pengembangan metodologi dan sistem diklat antara lain
meliputi penyusunan modul pelatihan sebanyak 6 paket, penyusunan
konsep laboratorium kelas dan lapangan urituk 4 Bapelkes,
penyusunan pedoman akreditasi pelatihan dan pelaksanaan diktat
kalakarya (in house training) di 3 Bapelkes. Kegiatan lainnya berupa
pengembangan kemampuan widyaiswara yang mencakup pendidikan
S I dan S2 sebanyak 13 orang.
XVIII/41
Untuk lebih memeratakan penyebaran tenaga kesehatan, pada
tahun 1994/95 telah ditempatkan sekitar 20.054 orang tenaga
kesehatan, yang terdiri dari 3.316 orang dokter PTT, 896 orang
dokter gigi PTT, 12.241 orang tenaga paramedis perawatan termasuk
di dalamnya 9.464 orang bidan PTT, 1.531 paramedis non
perawatan, dan 2.070 tenaga sarjana dan diploma bidang kesehatan
(Tabel XVIII-4).
4)
Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Program ini bertujuan untuk menunjang pembangunan kesehatan
secara optimal khususnya yang menyangkut peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu kedokteran bagi
kepentingan masyarakat banyak. Di samping itu, program ini
ditujukan untuk memantapkan dan mengembangkan kemampuan
institusional penelitian dan pengembangan kesehatan.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan 82 kegiatan penelitian
yang meliputi penelitian di bidang pelayanan kesehatan, penyakit
menular dan tidak menular, ekologi kesehatan, farmasi, gizi, dan
pengkajian sumber daya kesehatan. Salah satu kegiatan penelitian
yang penting adalah survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun
1994. Untuk meningkatkan jaringan kerjasama penelitian antar
instansi di bidang kesehatan, telah dilaksanakan kerjasama ilmiah baik
ditingkat nasional maupun internasional, dengan melengkapi jaringan
iptek kesehatan dengan jaringan iptek Dewan Riset Nasional (DRN),
serta publikasi hasil-hasil penelitian.
5)
Program Pengembangan Informasi Kesehatan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan, mengembangkan dan
XVIII/42
TABEL XVIII — IA
P E R K E M B A N G A N PELAKSANAAN P E M B A N G U N A N PUSKESMAS
1969/10,1989/90 - 1993/94, 1994/95
Awal
No.
Jenis Kegiatan
1. Pembangunan Puskesmas
Satuan
PJP—I
(1969/70)
unit
-
2. Pembangunan Puskesmas Pembantu
gedung
-
3. Pembangunan Rumah Dokter
runiah
-
4. Perbaikan Puskesmas
gedung
-
5. Perbaikan Puskesmas Pembantu
gedung
-
unit
-
6. Pengadaan Puskesmas Keliling
1) Angka tahunan
1)
Repelita V
1989/90
100
976
1990/91 1991)92
1.805
203
Repelita VI
1992/93 1993/94
1994/95
169
166
140
30
1.492
1545
1387
500
393
423
300
230
606
844
2390
1.943
1.575
1.168
601
1.096
5.179
3.088
2.900
2.931
300
599
595
578
720
528
XVIII/43
TABEL XVIII - 1B
XVIII/44
P E R K E M B A N G A N J U M L A H P E M B A N G U N A N PUSKESMAS
1968, 1989/90 - 1993/94,1994/95
No.
Jenis Kegiatan
1. PembangunanPuskesmas
2. Pembangunan Puskesmas Pembantu
Satuan
unit
gedung
3. Pembangunan Rumah Dokter
rumah
. Perbaikan Puskesmas
gedung
5. PerbaikanPuskesmas Pembantu
gedung
6. Pengadaan Puskesmas Keliling
unit
1) Angka kumulatif
2) Angka diperbaiki
1)
Repelita V
Awal
PJP-I
(1968)
1989/90
1990/91
1991/92
Repelita VI
1992/93
1993/94
1.227
5.742
6.021
6.390
6.588
6.954
-
18.389
20.124
21.416
18.816
19.977
-
3.264 2)
3.564
1994/95
6.984
20.477
2)
2.044
2.448
2.841
3.794
4.957
5.801
8.191
13.038
14.613
15.781
6.324
7.420
12.599
15.639
18339
21.470
3.821
4.420
5.051
5.285
6.024
6.552
GRAFIK XVIII - 1
PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS
1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95
(rlbu unit)
1988
Awal
PJP I
1989/90
Pembangunan
Puskesmas
Perbaikan
Puskesmas
1990/91
1991/92
1992/99
Pemb. Puskesmas
Pembantu
Perbaikan Puskesmas Pembantu
1993/94
1994/95
Pembangunan
Rumah Dokter
XVIII/45
GRAFIK XVIII - 2
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS)
1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95
XVIII/47
TABEL XVIII - 4
PERKEMBANGAN JUM LAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN ¹)
1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95 .
Awal
PJP-I
(1968)
Jenis Tenaga
1. Dokter
5.000
2. Dokter Gigi
2)
3. Perawat )
4. Bidan
) Perawat Kesehatan
)
Repelita V
1989/90
1990/91
1991/92
Repelita VI
1992/93
1993/94
1994/95
1.632
1.096
924
2.604
1.700
3.316
346
263
622
520
336
896
10.840
11.003
7.090
9.655
4.490
12.241
3.767
3.863
XVIII/49
5. Paramedis Non Perawat dan
Pekarya Kesehatan
2.085
5.145
4.983
3.199
1.904
3.803
1.531
6. Tenaga akademis bidang
kesehatan
1.182
1.251
1.605
1.560
1.367
605
2.070
15.897
19.214
18.950
13.395
16.050
10.934
20.054
Jumlah
1) Angka kumulatif untuk tahun 1968, yang lain angka tahunan
2) Mulai tahun 1976/77 Perawat dan Bidan ditingkatkan menjadi tenaga Perawat Kesehatan
memantapkan sistem informasi kesehatan agar mampu memberikan
data yang tepat waktu dan akurat bagi perencanaan dan pelaksanaan
pelayanan kesehatan.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan kegiatan penyusunan 302
profit kesehatan kabupaten/kotamadya, 27 profil kesehatan propinsi,
dan 27 informasi tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan kemampuan
tenaga pengelola data dan informasi telah dilaksanakan kegiatan
pelatihan bagi 20 orang tenaga statistik kesehatan, 20 orang
pengolahan data kesehatan, 23 orang calon pelatih untuk menyusun
profit kesehatan, dan pendidikan S2 untuk 5 orang, serta pendidikan
S I dan D-III di bidang informasi dan statistik. Selain itu untuk
menunjang pengembangan sistem informasi dilaksanakan pula
pengadaan peralatan komputer sebanyak 206 set dan perangkat lunak
sebanyak 6 paket. Berbagai upaya tersebut telah menambah
ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu, sehingga kemampuan
perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan kesehatan
pada berbagai tingkat administrasi makin meningkat.
C. KESEJAHTERAAN SOSIAL
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial dalam Repelita VI
adalah terlayaninya 225 ribu orang lanjut usia; terlayani dan
terehabilitasinya 230 ribu orang penyandang cacat; terbinanya 450
ribu orang anak yang terlantar, 23 ribu karang taruna, 4.100
organisasi sosial, 62 ribu tenaga kesejahteraan sosial, 48,3 ribu kepala
keluarga (KK) masyarakat terasing, dan 202,3 ribu KK fakir miskin.
Di samping itu, terlayani dan terehabilitasinya 15 ribu orang anak
nakal dan korban penyalahgunaan narkotika serta 31 ribu orang
XVIII/50
tunasosial. Meningkatnya jumlah dan kualitas tempat penitipan anak
dan balita yang ibunya bekerja juga merupakan sasaran yang akan
diupayakan. Sasaran lainnya adalah meningkatnya nilai-nilai
kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan.
Untuk mencapai sasaran tersebut, ditempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain meningkatkan penyuluhan dan pembimbingan
sosial, meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial anak terlantar,
meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia,
meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat,
meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan korban
penyalahgunaan narkotika, meningkatkan upaya penanggulangan
bencana, melakukan pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat
terasing dan terpencil, dan meningkatkan peranan organisasi sosial
serta pelayanan dan rehabilitasi sosial tunasosial.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas digariskan
tiga program pokok yang meliputi program pembinaan kesejahteraan
sosial; program pelayanan dan rehabilitasi sosial; dan program
peningkatan partisipasi sosial masyarakat. Ketiga program pokok
tersebut didukung oleh beberapa program penunjang yang
dilaksanakan secara terpadu dengan program pembangunan bidang
lainnya serta mengikutsertakan masyarakat.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Pembangunan kesejahteraan sosial pada tahun pertama Repelita VI (1994/95), berupaya untuk meningkatkan mutu, profesionalitas
dan cakupan pelayanan sosial, serta meningkatkan kesadaran,
kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam
menghadapi masalah-masalah sosial, dengan menumbuhkan iklim
XVIII/51
yang mendorong peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan
pelayanan sosial.
a. Program Pokok
1) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial
Program ini bertujuan untuk .meningkatkan taraf kesejahteraan
sosial masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial, dan
mewujudkan kondisi sosial masyarakat yang dinamis untuk
mendukung berkembangnya kesetiakawanan dan tanggung jawab
sosial masyarakat. Kegiatan pokok program ini meliputi pembinaan
kesejahteraan sosial masyarakat terasing, pembinaan kesejahteraan
sosial fakir miskin, pembinaan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan,
kepahlawanan, serta pembinaan kesejahteraan sosial para lanjut usia,
dan pembinaan kesejahteraan sosial anak yang terlantar.
a) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing
Pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing bertujuan
untuk meningkatkan harkat dan martabat serta taraf kehidupan
masyarakat terasing kearah yang lebih maju seperti yang telah dimiliki
oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya. Kegiatan yang dilaksanakan
berupa penyuluhan dan bimbingan sosial, penataan dan pembangunan
permukiman yang dilengkapi dengan penyediaan lahan, jaminan
hidup, pemberian bimbingan keterampilan seperti pertanian dan
peternakan termasuk pemberian bermacam bibit. Pembinaan bagi
mereka dilakukan secara terpadu oleh berbagai sektor pembangunan
lainnya seperti kesehatan, pendidikan, agama, pertanian, kehutanan,
transmigrasi, dan terutama dengan pemerintah daerah. Di samping itu
organisasi sosial (orsos), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
organisasi keagamaan juga berperan serta dalam pembinaan
XVIII/52
kesejahteraan sosial masyarakat terasing. Pembinaan masyarakat
terasing merupakan bagian yang penting pula dalam upaya
penanggulangan kemiskinan.
Pada tahun 1994/95 masyarakat terasing yang dibina seluruhnya
secara kumulatif berjumlah 6.500 KK, termasuk tambahan baru dari
tahun sebelumnya sebanyak 1.214 KK, atau meningkat 23 persen dari
tahun 1993/94 (Tabel XVIII-5).
Beberapa contoh pembinaan yang berhasil dapat dikemukakan
disini. Pembinaan masyarakat terasing di permukiman Blang Tripa
Propinsi D.I Aceh telah menghasilkan padi dan palawija melalui
persawahan dengan sistem irigasi. Permukiman Bagandah Propinsi
Kalimantan Selatan merupakan percontohan di bidang pertanian
pangan yang tidak saja dapat memenuhi kebutuhan desa sendiri, tetapi
untuk desa lain. Permukiman Petanggis Propinsi Kalimantan Timur
berhasil dalam program perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa sawit.
Permukiman Wamana Barru di Propinsi Maluku bekerjasama dengan
Yayasan Papeda telah menghasilkan minyak kayu putih dan tanaman
pangan. Permukiman Kanggime di Propinsi Irian Jaya bekerjasama
dengan LSM berhasil mengembangkan ternak sapi.
b) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin
Meskipun jumlah penduduk miskin sudah dapat dikurangi dengan
nyata, namun pada awal Repelita VI masih terdapat sekitar 25,9 juta
orang miskin, diantaranya ada yang sangat miskin, sehingga
memerlukan perhatian khusus antara lain melalui pembinaan
kesejahteraan sosial fakir miskin. Upaya pembinaan kesejahteraan
sosial fakir miskin bertujuan untuk membantu meningkatkan taraf
hidup melalui penyuluhan dan bimbingan sosial, disertai dengan
pelatihan keterampilan. Dalam pelaksanaannya, di masing-masing
XVIII/53
desa disantun rata-rata 3-5 kelompok usaha bersama (KUB) yang
masing-masing kelompok terdiri dari 10 kepala keluarga. Upaya
tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan fakir miskin untuk
memahami sebab-sebab kemiskinan mereka serta cara-cara
penanggulangannya. Untuk lebih meningkatkan hasil pembinaan dari
tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 1994/95 dilakukan lomba
keberhasilan KUB, dari tingkat kecamatan sampai propinsi yang
dilaksanakan bersama dengan pemerintah daerah dan instansl terkait.
Pembinaan kesejahteraan sosial fakir. miskin terutama, dilakukan
pada kantong-kantong kemiskinan di luar desa . yang telah dibina
melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Pada tahun 1994/95
keluarga miskin yang telah dibantu berjumlah kurang lebih 21.740
kepala keluarga, tersebar di 592 desa di luar desa IDT di seluruh
propinsi (Tabel XVIII-6). Dibanding dengan tahun 1993/94 jumlah
kepala keluarga yang dibantu tidak banyak berbeda, tetapi jumlah desa
yang tercakup pada tahun 1994/95 lebih banyak, antara lain karena
menyesuaikan dengan penyebaran desa-desa IDT. Untuk mendukung
pelaksanaan program IDT, pada tahun 1994/95 telah dilatih dan
ditempatkan 718 orang petugas sosial kecamatan (PSK) di desa-desa
miskin yang membutuhkan penanganan khusus. Mereka bertugas
sebagai pendamping purna waktu bagi kelompok masyarakat yang
memperoleh bantuan program IDT.
Keberhasilan pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin antara
lain dapat dilihat di desa Kemejing kecamatan Wadaslintang, kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah) dan di desa Tenjolaya kecamantan
Pasir Jambu kabupaten Bandung (Jawa Barat). Bantuan ternak sapi
dan kambing yang diberikan pada tahun 1992 telah berkembang jumlahnya dan pada tahun 1994/95 telah dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan penghasilan dan membiayai sekolah anak-anak mereka.
Di samping itu bantuan modal usaha telah dimanfaatkan juga untuk
XVIII/54
mengembangkan kegiatan simpan pinjam bagi anggota kelompok, dan
kegiatan arisan untuk merehabilitasi dan menyehatkan rumah, serta
menggulirkan bantuan untuk keluarga miskin lainnya.
c)
Pembinaan Nilai-nilai Kepeloporan, Keperintisan dan
Kepahlawanan
Kegiatan ini bertujuan untuk memelihara dan melestarikan nilainilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan pada semua lapisan
masyarakat, terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Untuk
itu dilakukan kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemugaran taman
makam pahlawan, makam pahlawan nasional, makam perintis
kemerdekaan dan upaya-upaya penanaman dan penyebarluasan nilainilai perjuangan tersebut. Di samping itu untuk memberikan
penghargaan dan terima kasih atas jasa, pengorbanan dan perjuangan
yang telah diberikan kepada nusa, bangsa dan negara, diberikan
bantuan sosial kepada keluarga para pahlawan nasional dan pejuang
keperintisan yang kurang mampu.
Dalam tahun 1994/95 dilaksanakan pemugaran 32 taman makam
pahlawan yang tersebar di 25 propinsi dan 4 buah makam pahlawan
nasional serta 73 makam perintis kemerdekaan. Di samping itu telah
diberikan bantuan perbaikan rumah perintis kemerdekaan dan
keluarganya bagi 208 orang. Untuk melestarikan dan menanamkan
nilai-nilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan bagi pelajar
SLTA, organisasi pemuda dan mahasiswa telah diadakan sarasehan
yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Pahlawan.
d)
Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
Pelayanan sosial bagi para lanjut usia diberikan pada lanjut usia
yang terlantar yaitu lanjut usia yang sudah tidak diketahui lagi
XVIII/55
keluarganya atau keluarganya sendiri tidak mampu memelihara
mereka. Pelayanan sosial bagi mereka dilaksanakan dengan memberikan bimbingan mental dan sosial, pelayanan kesehatan, kegiatan
keagamaan, rekreasi, bimbingan keterampilan kerja, dan bantuan
modal usaha bagi yang masih potensial untuk berusaha dan berkarya.
Kegiatan tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan bagi 43.473 orang
lanjut usia yang tidak mampu dan merehabilitasi 30 panti lanjut usia
(Sasana Tresna Werdha) milik pemerintah dan masyarakat. Jumlah
bantuan yang diberikan ini meningkat sebanyak 3.329 orang bila dibandingkan dengan bantuan pada tahun sebelumnya, (Tabel XVIII-7).
e) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak yang Terlantar
Pelayanan sosial bagi anak terlantar terutama diberikan kepada
yatim piatu, yaitu anak-anak yang orang tuanya tidak mampu
memelihara mereka karena miskin atau karena masalah keluarga, dan
kepada anak-anak yang mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Pelayanan sosial bagi mereka dilakukan baik
di dalam maupun luar panti. Pelayanan sosial bagi yatim piatu di panti
asuhan (Sasana Penyantunan Anak) dilakukan dengan memberikan
kesempatan belajar serta jaminan hidup disertai bimbingan mental dan
sosial. Untuk anak terlantar yang putus sekolah, pelayanan sosial
dilakukan di panti penyantunan anak dengan memberikan keterampilan dan bimbingan mental dan sosial, serta bantuan modal usaha
sesuai dengan keterampilan yang dipelajari. Pelatihan keterampilan
bagi mereka dilaksanakan bekerjasama antara lain dengan Balai
Latihan Kerja (BLK) dan Balai Latihan Pertanian yang ada disekitar
panti. Agar mereka dapat menerapkan keterampilan yang dipelajari,
diberikan pula kesempatan untuk mengikuti praktek kerja di
perusahaan-perusahaan. Sementara itu bagi anak-anak yang dibina di
XVIII/56
luar panti pembinaannya dilakukan melalui keluarga asuh. Kepada
mereka diberikan bantuan sarana belajar disertai dengan pembinaan
dan pengawasan.
Dalam tahun 1994/95 telah diberikan pelayanan bagi 202.441
orang anak terlantar baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun
masyarakat. Jumlah ini meningkat sebesar 70 persen bila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel XIII-7). Peningkatan
jangkauan pelayanan ini terjadi karena peran serta masyarakat
meningkat secara pesat. Hal ini menunjukkan semakin besarnya rasa
kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di kalangan masyarakat
dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1994/95
telah diupayakan untuk memperbaiki dan menyempurnakan 50 buah
panti pemerintah dan masyarakat, serta pelatihan bagi para petugas
pelayanan panti masyarakat.
2) Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Tujuan program pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah
mengembalikan dan meningkatkan kemampuan warga masyarakat,
baik perseorangan, keluarga maupun kelompok penyandang masalah
kesejahteraan sosial sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Sasaran program ini meliputi para penyandang
cacat, anak nakal, dan korban penyalahgunaan narkotika, serta
tunasosial.
Pelayanan sosial bagi para penyandang cacat diberikan kepada
cacat veteran, cacat tubuh, cacat netra, cacat rungu wicara, cacat
mental dan bekas penyandang penyakit kronis. Kegiatan ini bertujuan
untuk memulihkan fungsi sosial dan meningkatkan kesejahteraan
sosial mereka agar dapat menjadi manusia yang produktif. Kegiatan
XVIII/57
yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan, rehabilitasi fisik,
mental dan sosial, pelatihan keterampilan kerja yang diikuti dengan
pemberian bantuan modal usaha, dan pemberian kesempatan praktek
belajar kerja pada perusahaan, serta penyaluran mereka untuk bekerja
di perusahaan-perusahaan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan
melalui sistem di dalam maupun luar panti dengan mengikutsertakan
peran aktif keluarga dan masyarakat. Di samping itu diupayakan pula
penyelenggaraan asrama bagi murid-murid sekolah luar biasa (SLB).
Pada tahun 1994/95 pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada
penyandang cacat ditingkatkan kualitasnya antara lain melalui
pemberian paket praktek belajar kerja yang lebih lengkap di
perusahaan-perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah. Dengan
cara ini diharapkan kesempatan bagi para penyandang cacat untuk
dapat bekerja menjadi lebih besar. Penyandang cacat yang dilayani
dan direhabilitasi pada tahun 1994/95 berjumlah 43.946 orang (Tabel
XVIII-8), hampir sama bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan biaya asrama bagi
3.617 murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di 186 SDLB milik
pemerintah daerah. Di samping itu telah dilaksanakan pula
rehabilitasi dan penyempurnaan 18 panti rehabilitasi sosial cacat milik
pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pelayanan di
dalam panti. Sedangkan untuk pelayanan di luar panti telah
direhabilitasi 15 Loka Bina Karya (LBK) dan diadakan 10 buah mobil
unit rehabilitasi sosial keliling (URSK). Untuk menyempurnakan
pelayanan sosial bagi penyandang cacat tubuh telah dilakukan
peningkatan mutu pelatihan keterampilan bagi para penyandang cacat
tubuh di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof.Dr. Soeharso di
Surakarta.
XVIII/58
Pembinaan bagi penyandang cacat yang berhasil antara lain di
Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Bangil (Jawa Timur) dan Balai
Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) di Bandung. Pada tahun 1994/95
penyandang cacat di panti sosial Bangil telah berhasil memproduksi
kerajinan rotan dan kain sulaman untuk ekspor ke Jepang dan
Malaysia. Pada tahun sebelumnya hasil produksi tersebut masih
terbatas untuk pasaran dalam negeri. Sedangkan BPBI telah berhasil
mengembangkan produksi bukan hanya buku-buku Braille, tetapi juga
kaset rekaman ilmu pengetahuan umum dan kesenian yang telah
dimanfaatkan oleh panti cacat netra di berbagai daerah.
Sasaran pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan korban
penyalahgunaan narkotika adalah anak nakal yang belum sampai pada
tindak pidana, termasuk korban penyalahgunaan narkotika, bahan
adiktif lainnya, dan minuman keras. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengembalikan mereka menjadi anggota masyarakat yang hidup
secara baik dan layak. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi
bimbingan sosial, rehabilitasi, pelatihan keterampilan, dan pemberian
bantuan modal usaha. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui
koordinasi dan keterpaduan lintas sektor yang tergabung dalam
BAKOLAK INPRES Nomor 6 Tahun 1971, serta peran aktif keluarga
dan masyarakat. Dalam kegiatan bimbingan sosial mulai tahun
1994/95, dimasukkan pula penyuluhan tentang bahaya dan
pencegahan penyakit AIDS. Jumlah anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika yang diberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial
pada tahun 1994/95 tercatat 2.705 orang anak, 12 persen lebih banyak
dari yang dilayani tahun 1993/94.
Upaya rehabilitasi yang berhasil dapat diambil sebagai contoh
adalah upaya di Panti Teratai dan Yayasan Harapan Ibu yang
keduanya berlokasi di Jawa Timur. Kedua panti ini telah memperoleh
pesanan untuk barang-barang industri rotan, kulit, sepatu dan tas yang
XVIII/59
dihasilkan oleh anak-anak yang dibina dalam kedua panti tersebut. Di
samping itu panti sosial bekas korban penyalahgunaan narkotika
khusus puteri di Lembang (Jawa Barat) telah pula menjalin kerjasama
dengan pengusaha pakaian jadi yang berdekatan lokasinya dan
sebagian besar anak-anak binaannya telah disalurkan untuk bekerja
pada perusahaan tersebut.
Sasaran pelayanan dan rehabilitasi tunasosial adalah para
gelandangan dan pengemis, tuna susila dan bekas narapidana. Untuk
mengembalikan kemauan dan kemampuan mereka untuk hidup
sebagai warga masyarakat yang berguna, berkualitas dan produktif
dilakukan kegiatan bimbingan, rehabilitasi, dan pelatihan keterampilan
berusaha yang disertai dengan bantuan modal usaha. Di samping itu
bagi mereka diberikan pula penyuluhan dan bimbingan tentang bahaya
penyakit AIDS serta upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan berbagai sektor terkait, keluarga dan masyarakat. Dalam
tahun 1994/95 telah direhabilitasi dan diresosialisasikan sebanyak
3.943 orang tunasosial yang terdiri dari 1.368 orang tuna susila,
1.400 orang gelandangan dan pengemis, dan 1.175 orang bekas
narapidana. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah yang dibina tahun
1993/94 sebanyak 3.830 orang.
3) Program Peningkatan Partisipasi Sosial Masyarakat
Tujuan program ini adalah meningkatkan dan mengembangkan
peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan kesejahteraan
sosial secara melembaga dan terorganisasi. Untuk mencapai tujuan
tersebut, kegiatan yang dilakukan diarahkan pada upaya meningkatkan
kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap permasalahan sosial
dan lingkungannya, meningkatkan mutu pelayanan sosial secara
profesional, dan mendorong golongan mampu untuk ikut berperan
XVIII/60
dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai perwujudan
kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial serta membantu
meningkatkan kesejahteraan sosial warga masyarakat yang tergolong
rawan sosial ekonomi. Kegiatan pokok program ini meliputi
penyuluhan dan bimbingan sosial pada masyarakat, pembinaan
organisasi sosial, dan pembinaan tenaga kesejahteraan sosial
masyarakat.
Sasaran kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial adalan seluruh
warga masyarakat, termasuk golongan masyarakat mampu terutama di
wilayah yang rawan permasalahan sosial. Untuk menciptakan iklim
dan suasana yang mendukung bagi peningkatan peran serta
masyarakat pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penyuluhan dan
bimbingan sosial di 6.462 desa/kelurahan yang tersebar di semua
propinsi yang diikuti oleh organisasi sosial, LSM, tokoh masyarakat,
pemuda dan wanita, pemimpin formal dan informal dengan
memanfaatkan berbagai media massa.
Guna meningkatkan kemampuan organisasi sosial (orsos),
yayasan dan lembaga sosial, termasuk LSM dan organisasi
keagamaan, dalam kegiatan pelayanan sosial, dalam tahun 1994/95
telah dilakukan pembinaan bagi 2.575 orsos berupa pelatihan
manajemen dan profesi pekerja sosial bagi 1.845 orsos dan pembinaan
bantuan pengembangan organisasi dan pelayanan sosial bagi 730
orsos. Di samping itu dikembangkan pula forum komunikasi antar
orsos kuat dan lemah di 10 propinsi dan forum komunikasi antara
orsos lemah dengan golongan masyarakat mampu di 5 propinsi.
Pada tahun 1994/95 tercatat sejumlah 5.878 orsos yang bergerak
di bidang pembangunan kesejahteraan sosial, yang telah mampu
memberikan pelayanan sosial khususnya kepada yatim piatu dan lanjut
usia sebanyak 365.651 orang di panti-panti sosial, dan sebanyak
XVIII/61
290.442 orang di luar panti. Di samping itu melalui kerjasama orsos
internasional telah pula diberikan pelayanan bagi 913.751 orang yang
menyandang berbagai masalah sosial. Dibandingkan dengan tahun
1993/94 peran orsos dalam pelayanan sosial lebih meningkat pada
tahun 1994/95.
Pekerja sosial masyarakat (PSM) yang ada di setiap
desa/kelurahan, adalah tenaga yang diandalkan untuk membantu
pemberian pelayanan sosial bagi masyarakat. Selain PSM juga ada
tenaga relawan sosial termasuk yang berasal dari golongan masyarakat
mampu baik di desa maupun di kota. Melalui kegiatan pembinaan
tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan forum komunikasi dan konsultasi, serta pelatihan
manajemen usaha kesejahteraan sosial bagi 6.390 orang PSM
(Tabel XVIII-9). Selain itu pada tahun 1994/95, telah diberikan juga
pelatihan manajemen usaha kesejahteraan sosial kepada 870 orang
relawan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan
penyegaran bagi sebanyak 950 orang PSM yang ditugaskan di daerahdaerah terpencil dan di permukiman masyarakat terasing, yang
dikenal sebagai PSM SATGASOS (Satuan Tugas Sosial), yang
diselenggarakan di 14 propinsi.
b. Program Penunjang
1) Program Pembinaan Generasi Muda
Pembinaan generasi muda-dalam pembangunan kesejahteraan
sosial dalam Repelita VI ditekankan pada pembinaan karang taruna
yang terbukti telah ikut berperan serta dalam pembinaan pemuda di
perdesaan dan perkampungan termasuk yang putus sekolah dan
pengangguran. Di samping itu karang taruna juga aktif ikut mencegah
XVIII/62
kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika, dan ikut berperan
aktif dalam menegakkan ketertiban dan keamanan lingkungan.
Untuk meningkatkan kemampuan maiiajemen dan organisasi serta
bekal untuk memperoleh lapangan kerja, pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pelatihan dan pemberian bantuan modal kerja kepada
2.890 buah karang taruna di seluruh Indonesia (Tabel XVIII-10).
Pelatihan keterampilan berusaha meliputi pelatihan peternakan dan
pertanian terpadu di Tapos, pelatihan pertanian di Balai Pelatihan
Pertanian Ciawi, pembudidayaan udang windu di Jepara, kerajinan
kayu di Ubud dan kerajinan rotan dan kulit di Sidoarjo. Di samping
itu telah pula dilaksanakan bhakti sosial dan tukar menukar informasi
dan pengalaman antar karang taruna di berbagai propinsi.
Pembinaan karang taruna yang berhasil antara lain dapat dilihat di
desa Labulu Bulu kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang telah
melaksanakan kegiatan pertanian padi, jagung dan kedelai seluas
masing-masing 200 ha, dan pengembangan peternakan kepiting. Di
samping itu karang taruna di desa Naluk kabupaten Sumedang telah
berhasil dalam peternakan kambing, kegiatan sablon dan pembinaan
bagi anak-anak penyandang cacat melalui pendirian Sekolah Luar
Biasa. Sementara itu, karang taruna di desa Tanjung Buitang,
Lampung Selatan telah berhasil pula dalam pembuatan alat-alat pertanian, bantalan rel kereta api dan pencacahan pisang.
2) Program Penelitian dan Pengembangan Sosial
Tujuan program penelitian dan pengembangan sosial adalah
untuk menunjang perumusan kebijaksanaan dan meningkatkan kualitas
perencanaan program pembangunan kesejahteraan sosial. Pada tahun
1994/95 telah dilaksanakan 5 buah penelitian mengenai pembinaan
masyarakat terasing, pembinaan anak dan remaja di tempat penitipan
XVIII/63
TABEL XVIII — 5
PEMBINAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TERASING
MENURUT DAERAII TINGKAT I
1973/74;1989/90 — 1993/94, 1994/95
(Kepala Keluarga)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Daerah Tingkat 1/
Propinsi
Akhir
Repelita I
(1973/74) 1)
Repelita V 2)
1989/90
JawaBarat
D.I. Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Kalimantan Barat
KalimantanTengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
SulawesiTengah
Sulawesi Selatan
SulawesiT enggar a
Ma luku
Nusa tenggara Barat
Nusa tenggaraTimur
Irian Jaya
—
—
—
150
400
700
2.400
—
400
—
220
600
—
415
600
—
150
—
1.000
—
—
40
Jumlah
7.035
2.050
1)
2)
75
225
70
47
—
300
87
120
50
131
—
45
100
—
50
665
1990/91
1991/92
—
90
45
150
300
70
47
—
400
50
87
220
50
181
50
95
150
—
100
915
—
150
45
213
351
70
91
3.000
Angka kumulalif lima tahun untuk kolom yang bertuliakan Akhir Repelita.
Angka kumulatif sejak tahun 1989/90
XVIII/64
Repelita VI
1992/93
1993/94
25
190
45.
.263
425
115
191
145
1.115
204
1.252
100
246
—
238
352
317
187
—
586
210
192
525
—
232
180
247
203
—
259
1.212
3.984
4.970
5.286
—
496
101
134
353
50
230
98
141
201
—
536
153
186
478
50
280
140
191
246
—
—
1994/95 ²)
80
286
—
313
452
317
227
—
686'
290
260
745
—
290
240
322
283
—
339
1.370
6.500
TABEL XVIII - 8
PELAKSANAAN PENYANTUNAN DAN
PENGENTASAN PARA CACAT MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1989/90-1993/94, 1994/95
(orang)
No.
Daerah Tingkat I/
Propinsi
1. DKI Jakarta
2. Jawa Barat
3. Jawa Tengah
4. D.I. Yogyakarta
5. Jawa Timur
6. D.I. Aceh
7. Sumatera Utara
8. Sumatera Barat
9. R i a u
10. J a m b i
11. Sumatera Selatan
12. Bengkulu
13. L a m p u n g
14. Kalimantan Barat
15. KalimantanTengah
16. Kalimantan Selatan
17. Kalimantan Timur
18. Sulawesi Utara
19. Sulawesi Tengah
20. Sulawesi Selatan
21. Sulawesi Tenggara
22. M a l u k u
23. B a l i
24. Nusa Tenggara Barat
25. Nusa Tenggara Timur
26. Irian Jaya
27. Timor Timur
Jumlah
I)
Awal
PJP--I
(1968)
Repelita V
1989190.
1990/91
1.210
735
1.300
525
830
210
620
120
120
120
520
210
220
120
80
520
80
420
220
420
120
120
430
420
310
-
525
1.571
2.124
312
1.435
240
1.380
490
134
177
781
180
435
114
285
444
154
736
305
402
184
239
310
167
210
200
190
1.762
2.269
1.599
1.149
2.095
1.100
1.305
985
409
172
1.186
198
335
264
240
1.070
1.285
1.552
275
462
539
714
345
632
445
290
405
10.000
13.724
23.082
Angka tahunan
XVIII/67
Repelita VI
1991/92 1992/93
1.300
1.900
1.707
1.115
2.160
1.025
1.405
850
524
495
1.278
371
1.040
630
465
1.075
850
900
590
750
520
715
524
662
700
335
300
24.186
1993/94
965
1.921
2.585
890
2.185
1.050
1.705
1.155
505
490
1.545
730
975
845
565
835
710
760
610
1.450
710
990
865
1.121
840
565
475
L504
3.100
4.107
1.263
3.810
1.785
2.144
1.920
1.075
910
2.570
1.753
1.180
995
1.525
1.228
1.190
905
2.540
990
1.215
0
1.607
1.400
1.005
1.015
1.085
28.042
44.701
1994/95
1.565
2.820
2.895
1.240
3.100
1.870
2.460
1.985
1.120
957
1.980
1.460
1.485
1.280
1.035
1.415
1.645
1.090
1.205
2.135
1.230
1.055
854
1.545
1.860
1.460
1.200
43.946
TABEL XVIII — 9
PEMBINAAN PEKERJA SOSIAL
MASYARAKAT (PSM) MENURUT DAERAH TINGKAT I ¹)
1973/74„ 1989/90 — 1993/94, 1994/95
(orang)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
Daerah Tingkat 1/ .
Propinsi
Akhir
Repelita I
(1973/74)
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
D.I. Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
ICalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Maluku
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Irian Jaya
Timor Timur
Jumlah
Repelita V
1989/90
90
330
360
180
390
60
60
60
60
60
60
60
180
60
30
60
60
90
90
180
90
120
90
120
90
3.030
360
420
510
360
600
450
600
540
300
360
300
180
130
300
270
210
300
300
270
600
210
360
300
390
450
750
180'
10.000
1990/91
1991192
Repelita V.
1992/93
380
600
875
240
925
600
600
300
210
180
240
240
210
480
300
540
480
600
420
690
180
240
240
180
300
540
210
300
720
900
300
930
540
510
420
210
360
690
510
390
270
270
660
510
390
480
1.020
240
330
600
510
390
270
270
300
600
780
330
900
780
600
450
330
300
720
450
360
'510
390
600
390
540
360
810
420
300
450
300
360
180
390
11.000
12.990
12.900
1993/94
1) Angka kumulatif lima tahun untuk kolom bertuliskanAkhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan
XVIII/68
150
1.260
1.590
300
1.110
630
720
690
210
240 '
510
300
600
240
480
240
360
240
480
210
270
540
180
600
180
270
150
12.750
1994/95.
180
600
720
120
600
300
360
300
150
150
270
150
150
270
150
240
150
150
150
150
150
180
150
210
150
150
9
6.39
TABEL XVIII—10
BANTUAN PAKET SARANA
USAHA KARANG TARUNA MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1989/90 — 1993/94,1994/95
(Karang Taruna)
1)
2)
Angka tahunan
Bantuan paket sarana usaha karang taruna dimulai pada tahun 1989/90
XVIII/69
anak (TPA) dan kelompok bermain, efektivitas deteksi dini kecacatan
di desa-desa oleh unit rehabilitasi sosial keliling (URSK), dan
efektivitas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) di
perdesaan.
3) Program Pendidikan dan Pelatihan Sosial
Tujuan program ini adalah meningkatkan jumlah dan mutu tenaga
kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintah maupun
masyarakat sebagai pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial.
Kegiatan yang dilaksanakan adalah pemberian. kesempatan belajar
untuk pendidikan D-IV, S1, S2 dan S3, serta pelatihan administrasi
dan profesi pekerjaan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
pendidikan S2 di dalam negeri untuk bidang ilmu kesejahteraan sosial
bagi 12 orang dan pendidikan S3 di dala. m negeri untuic bidang ilmu
sosiologi bagi 2 orang. Selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan
tenaga perencana pembangunan kesejahteraan sosial di daerah tingkat
II telah dilakukan pelatihan perencanaan pembangunan bagi 366 orang
dan komputerisasi data penyandang masalah dan potensi kesejahteraan
sosial bagi 501 orang.
D. PENANGGULANGAN BENCANA
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran penanggulangan bencana pada akhir Repelita VI adalah
meningkatnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya. Selain itu, penguasaan
teknologi penanggulangan bencana yang didukung oleh peralatan yang
andal, serta jumlah dan mutu tenaga pelaksana akan meningkat pula.
Di samping itu, pemetaan daerah rawan bencana dilanjutkan dan
XVIII/70
informasi mengenai kerawanan suatu daerah telah dimanfaatkan
secara optimal untuk penyusunan rencana umum tata ruang pada
setiap tingkat pemerintahan. Sasaran selanjutnya adalah terlaksananya
koordinasi yang makin meningkat dan mantap dalam menanggulangi
bencana melalui penyusunan sistem dan satuan perlindungan
masyarakat (linmas) serta mekanisme penanggulangan bencana secara
nasional yang menyeluruh dan terpadu. Pada Repelita VI dapat
terwujud satuan-satuan linmas di tingkat kecamatan dan ruang data
pusat pengendalian operasional penanggulangan bencana di tingkat
pusat. Undang-undang linmas diharapkan telah dapat diundangkan
pada akhir Repelita VI.
Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam
Repelita VI, disusun kebijaksanaan sebagai berikut. Dalam upaya
penanggulangan bencana, prioritas tinggi diberikan kepada
peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dan jajaran
pemerintah daerah setempat, khususnya di daerah rawan bencana
dalam menghadapi terjadinya bencana. Dalam upaya pencarian,
penyelamatan dan pemberian pengobatan serta perawatan korban,
kemampuan petugas dan masyarakat ditingkatkan baik dalam
kecepatan maupun ketepatan waktu penyelamatan dengan dukungan
peralatan yang memadai.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan yang ditetapkan dalam
Repelita VI, maka upaya penanggulangan bencana dilaksanakan
secara lintas bidang dan lintas sektor melalui satu program yaitu
program penanggulangan bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah
bersama masyarakat.
XVIII/71
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Tujuan program penanggulangan bencana adalah meningkatkan
kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menanggulangi akibat bencana, sehingga mengurangi jumlah korban
serta kerugian materi. Di samping itu, program ini juga bertujuan
menolong dan menyelamatkan para korban bencana melalui bantuan
darurat dan memulihkan kembali fungsi sosial perorangan, keluarga
dan masyarakat korban bencana untuk hidup secara normal. Untuk itu
sasaran program ini adalah masyarakat di daerah rawan bencana dan
para korban bencana serta tenaga-tenaga di bidang penanggulangan
bencana.
Kegiatan pokok dalam penanggulangan bencana meliputi
kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat terhadap kejadian
bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana, yang
pelaksanaannya melibatkan berbagai instansi terkait seperti
Departemen Sosial, Dalam Negeri, Kesehatan, Pekerjaan Umum,
Perhubungan, ABRI, dan Pemerintah Daerah, dibawah koordinasi
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB).
Pada tahun 1994/95 tercatat serangkaian bencana alam yang
relatif besar seperti bencana tsunami yang terjadi di Banyuwangi
(Jawa Timur), gempa bumi di Maluku Utara, letusan Gunung Merapi
di Jawa Tengah, dan bencana banjir di kabupaten Pasaman (Sumatera
Barat). Dalam rangka membantu para korban bencana alam tersebut,
telah diberikan pelayanan gawat darurat berupa pertolongan pertama
pada saat awal terjadinya bencana, pemberian bantuan.darurat obat
dan bahan kesehatan lainnya, pengobatan dan perawatan kesehatan
XVIII/72
baik di sekitar lokasi kejadian, di puskesmas-puskesmas terdekat
maupun di rumah-rumah sakit bagi korban yang memerlukan
perawatan khusus dokter ahli, serta pengungsian dan penampungan
korban bencana di tempat yang lebih aman dengan didukung
penyediaan dapur umum. Di samping itu, diberikan pula bantuan
rehabilitasi dan pembangunan rumah serta sarana umum yang rusak
akibat bencana.
Kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana meliputi penelitian
dan pemetaan daerah rawan bencana, penyuluhan, pendidikan dan
pelatihan bagi petugas maupun masyarakat, dan pengembangan
sistem informasi penanggulangan bencana.
Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana
alam geologis telah dilakukan kegiatan pemetaan, identifikasi, dan
penyelidikan daerah-daerah rawan bencana. Pada tahun 1994/95 telah
diselesaikan pemetaan seismik daerah rawan gempa berskala
1:250.000 sebanyak 8 lembar; pemetaan geologi gunung api skala
1:50.000 sebanyak 38 peta; pemetaan daerah bahaya gunung api skala
1:50.000 sebanyak 91 peta; pemetaan topografi puncak gunung api
skala 1:10.000 sebanyak 34 peta; pemetaan topografi aliran lahar
skala 1.:10.000 sebanyak 20 peta; pemetaan kerentanan gerakan tanah
skala 1:100.000 sebanyak 13 peta; identifikasi 20 daerah sesar aktif
yang terbagi dalam 130 bagian sesar; pengamatan gunung api secara
terus menerus di 59 gunung api; pemantauan daerah rawan longsor di
5 lokasi; dan penyelidikan di berbagai gunung api yang meliputi
penyelidikan potensi lahar/bahaya letusan, penyelidikan kimia pada 24
gunung api, penyelidikan fisika, penyelidikan penginderaan jauh, dan
penyelidikan seismik pada 18 gunung api.
Guna melindungi dan mengamankan daerah produksi pertanian
dan permukiman dari daya rusak air dan bahaya banjir, pada tahun
XVIII/73
1994/95 dilakukan perbaikan dan pengendalian alur sungai di
beberapa ruas sungai yang dianggap kritis sepanjang 401 kilometer.
Kegiatan perbaikan dan pengendalian tersebut antara lain meliputi
pembangunan prasarana pada ruas sungai, waduk tunggu, tanggul,
perbaikan alur, perkuatan tebing, saluran banjir, dan rumah pompa.
Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat melindungi dari bahaya
banjir areal sekitar 45.019 hektar di daerah produksi pertanian
sepanjang sungai Bengawan Solo, Brantas, Citanduy, Cimanuk,
Indragiri, dan Batanghari, dan daerah permukiman di perkotaan
seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung. Sementara itu,
dalam upaya mengamankan sungai dan daerah sekitarnya dari daya
rusak yang ditimbulkan oleh lahar gunung api, di sekitar daerah
Gunung Merapi dan Gunung Semeru telah dibangun 6 unit bangunan
pengendali dan kantong-kantong lahar.
Dalam rangka menunjang dan meningkatkan keselamatan
penerbangan yang memenuhi syarat penerbangan, kondisi dan jumlah
peralatan keselamatan penerbangan juga ditingkatkan. Pada
tahun 1994/95 telah dipasang alat bantu navigasi penerbangan (Non
Directional Beacon/NDB) di 3 lokasi, alat komunikasi dari darat ke
pesawat berupa Very High Frequency-Extended Range (VHF-ER) di 5
lokasi, Aeronautical Fixed System High Frequency Communication
System (AFS-HF Communication System) di 10 lokasi, Aeronautical
Fixed System - Leased Channel (AFS-Leased Channel) di 1 lokasi,
peralatan komunikasi yang digunakan pada jalur penerbangan
domestik (Regional-Domestic Air Route Area/R-DARA) di 1 lokasi,
dan peralatan untuk mendistribusikan berita secara otomatis
(Automatic Messages Swicthing Centre/AMSC) di 1 lokasi. Dengan
dipasangnya peralatan tersebut, maka peralatan navigasi udara, yang
berupa NDB telah meningkat menjadi 238 unit. Peralatan komunikasi
dari darat ke pesawat yang terdiri dari VHF-ER, AFS-HF
Communication System dan AFS-Leased Channel meningkat dari 337
XVIII/74
unit pada tahun 1993/94 menjadi 353 unit pada tahun 1994/95. Alat
komunikasi berupa R-DARA meningkat dari 16 lokasi pada tahun
1993/94 menjadi 17 lokasi pada tahun 1994/95. Peralatan untuk
mendistribusikan berita secara otomatis (AMSC) pada tahun 1994/95
secara keseluruhan telah digunakan di 19 lokasi.
Sementara itu, keselamatan pelayaran juga ditingkatkan antara
lain dengan menyediakan fasilitas keselamatan seperti fasilitas
navigasi, kesyahbandaraan dan penjagaan keamanan pantai yang
dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan keselamatan pelayaran. Pada
tahun 1994/95 telah dibangun fasilitas sarana bantu navigasi berupa
pembangunan 4 menara suar dan 105 rambu suar, serta disediakan
kapal bandar sebanyak 31 kapal untuk fasilitas kesyahbandaraan. Di
samping itu untuk pemeliharaan alur pelayaran telah dikeruk sebanyak
10,6 juta m³ lumpur.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga pertahanan sipil
(hansip) dan satuan perlindungan masyarakat (linmas) dalam
penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
pelatihan kepada aparat markas wilayah (Mawil) Hansip di beberapa
propinsi rawan bencana alam seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. Untuk memelihara kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana,
terutama para petugas penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95
telah dilatih sebanyak 200 orang instruktur penanggulangan bencana,
680 orang satuan tugas sosial penanggulangan bencana (SATGASOS
PB), dan pelatihan penyegaran bagi 280 orang Satgasos PB yang telah
berada di masyarakat.
Kegiatan tanggap darurat terhadap kejadian bencana ditujukan
untuk meningkatkan kemampuan penanggulangan ketika terjadi
bencana yang dilakukan melalui: pertama, peningkatan kemampuan
XVIII/75
sumber daya manusia dan pembinaan fungsi satuan tugas pelaksana
dalam pengelolaan dan koordinasi bantuan darurat; kedua, penyediaan
sarana dan prasarana untuk melakukan pencarian, penyelamatan, dan
pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial terhadap korban
bencana; dan ketiga meningkatkan kemampuan masyarakat dan
petugas dalam mengkonsolidasi diri segera sesudah terjadi bencana
melalui penyediaan sarana dan prasarana darurat agar akibat bencana
tidak meluas dan berkepanjangan.
Pada tahun 1994/95 fasilitas pencarian dan penyelamatan
ditingkatkan antara lain melalui penambahan 4 buah helikopter SAR,
pengembangan satulit komunikasi SAR dan unit sistem informasi
operasional SAR (SAROIMS) di 19 lokasi, pengadaan 2 unit perahu
penyelamatan yang dilengkapi dengan peralatan medis, 3 unit hydrolic
rescue pump dan 2 unit lifting bag untuk pengangkatan pesawat
maupun pertolongan bencana alam, dan pengadaan 2 set peralatan
pendakian, serta 36 buah baju tahan api. Dengan peningkatan fasilitas
tersebut maka tingkat keberhasilan penyelamatan korban musibah
pelayaran dan penerbangan semakin meningkat. Pada tahun 1994/95
tercatat sebanyak 1.070 orang dari 1.439 orang terkena musibah
(74,3%) yang berhasil dapat diselamatkan.
Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana bertujuan
untuk memperbaiki dan membangun kembali sarana dan prasarana di
lokasi bencana agar segera berfungsi kembali, dan memulihkan tata
kehidupan dan penghidupan serta kemampuan masyarakat dalam
menghadapi bencana berdasarkan azas kemandirian. Kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain meliputi peningkatan
pelayanan sosial terhadap korban bencana melalui pemberian bantuan
dan rehabilitasi permukiman serta sarana umum lainnya seperti tempat
ibadah, gedung, sekolah, pasar dan air bersih. Kepada para korban
diberikan bimbingan dan penyuluhan untuk mempercepat pemulihan
XVIII/76
kehidupan dan penghidupan mereka didukung dengan pemberian
bantuan sarana usaha. Selanjutnya dilakukan perbaikan sarana dan
prasarana dasar serta dalam keadaan tertentu pemindahan
permukiman secara darurat maupun pemindahan penduduk secara
permanen ke tempat atau daerah yang lebih aman baik secara lokal
maupun melalui transmigrasi.
Dalam rangka membantu korban bencana alam yang terjadi pada
tahun 1994/95, disamping diberikan bantuan pelayanan kesehatan dan
sosial seperti diuraikan di atas, juga diberikan bantuan rehabilitasi dan
pembangunan rumah serta sarana umum yang rusak akibat bencana.
Bagi korban bencana tsunami di Banyuwangi, telah diberikan bantuan
darurat dan pembangunan 794 unit rumah baru, rehabilitasi 121 unit
rumah, serta bantuan sarana penangkapan ikan sebanyak 286 unit.
Bagi korban bencana gempa bumi di Maluku Utara telah diberikan
bantuan darurat dan pembangunan 1.000 unit rumah baru. Bagi
masyarakat yang bertempattinggal di daerah bahaya letusan gunung
Merapi seperti di dusun Sudimoro dan Pelem desa Girikerto
kecamatan Turi kabupaten Sleman telah diberikan bantuan darurat dan
permukiman kembali 180 unit rumah. Sementara itu bagi korban
bencana banjir di Sumatera Barat, telah diberikan bantuan darurat,
dan rehabilitasi 362 unit rumah. Kesemuanya dilakukan bersama
bantuan dari masyarakat.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan rehabilitasi 4.457
unit rumah korban bencana alam lainnya di 19 propinsi, dan
rehabilitasi serta rekonstruksi prasarana jalan yang rusak akibat gempa
bumi dan gelombang pasang (tsunami) di Alor, Flores (Nusa
Tenggara Timur), Ternate (Maluku) dan di Liwa (Lampung).
XVIII/77
E. KEPENDUDUKAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kependudukan pada akhir Repelita VI
adalah menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 1,66 persen pada
tahun 1993 menjadi 1,51 persen pada tahun 1998 sehingga jumlah
penduduk mencapai 204,4 juta; meningkatnya angka harapan hidup
menjadi sekitar 64,6 tahun; dan menurunnya angka kematian bayi
menjadi sekitar 50 kematian per seribu kelahiran hidup.
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan kependudukan,
ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas
penduduk agar potensi penduduk dapat dikembangkan secara optimal;
mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk melalui gerakan
keluarga berencana; mengarahkan persebaran dan mobilitas penduduk
sesuai dengan daya dukung lingkungan dan kebutuhan tenaga kerja;
menyempurnakan sistem informasi kependudukan agar dapat
meningkatkan mutu dan liputan data kependudukan; serta
meningkatkan daya guna dan kesejahteraan penduduk usia lanjut
dengan tetap mengutamakan peran keluarga dalam masyarakat.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas,
pembangunan kependudukan dalam Repelita VI dilaksanakan melalui
satu program yaitu program kependudukan yang bersifat lintas bidang
dan lintas sektor, yang pelaksanaannya didukung secara terpadu oleh
berbagai program di bidang pembangunan lainnya serta didukung oleh
peran serta masyarakat.
XVIII/78
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Pembangunan kependudukan telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara bermakna sehingga diproyeksikan menjadi
1,63 persen pada tahun 1994. Penurunan laju pertumbuhan penduduk
merupakan dampak dari penurunan angka kelahiran kasar dan angka
kelahiran total. Penurunan pertumbuhan penduduk tersebut membawa
dampak pada peningkatan kualitas penduduk yang ditandai oleh
semakin menurunnya angka kematian bayi dan angka kematian kasar
serta meningkatnya rata-rata harapan hidup penduduk. Di samping
itu, persebaran penduduk antara lain melalui transmigrasi dan
persebaran tenaga kerja telah makin menyeimbangkan persebaran
penduduk di daerah luar Pulau Jawa. Kegiatan registrasi penduduk
yang merupakan bagian dari sistem informasi kependudukan
ditingkatkan mutu dan cakupannya.
a. Peningkatan Kualitas Penduduk
Dalam rangka peningkatan kualitas penduduk berbagai kegiatan
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan sumber daya
manusia terus ditingkatkan dan dimantapkan. Kegiatan peningkatan
kualitas
penduduk
merupakan
kegiatan
pembangunan
yang
dilaksanakan secara lintas bidang, lintas sektor, dan lintas program.
Kegiatan tersebut dilakukan antara lain melalui peningkatan iman dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta pendidikan P4,
peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan luar sekolah, peningkatan cakupan dan mutu pelayanan
kesehatan, dan peningkatan peranan wanita. Secara lebih rinci dapat
diikuti pada laporan di berbagai sektor tersebut.
XVIII/79.
b.
Pengendalian Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk
Pengendalian pertumbuhan dan kuantitas penduduk ditujukan
untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk sehingga tercipta
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungannya. Kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan
pertumbuhan dan jumlah penduduk dilaksanakan terutama melalui
kegiatan-kegiatan dalam program keluarga berencana (KB) yang
terdiri dari komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), pelayanan KB,
dan pemantapan kelembagaan dan pengelolaan program; serta
berbagai kegiatan di berbagai bidang dan sektor.
Pada awal Repelita VI (1994) jumlah penduduk Indonesia
diproyeksikan telah mencapai sekitar 192,2 juta orang terdiri dari
95,8 juta penduduk laki-laki dan 96,4 penduduk perempuan.
Dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk pada tahun 1993,
terdapat pertambahan penduduk sekitar 3,1 juta orang. Meskipun
jumlah penduduk terus menunjukkan peningkatan, tetapi laju
pertumbuhannya terus mengalami penurunan. Pada tahun pertama
Repelita VI (1994) diperkirakan laju pertumbuhan penduduk adalah
1,63 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk pada tahun 1993 yaitu 1,66 persen.
c.
Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk
Upaya untuk menciptakan keseimbangan persebaran antara
jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya antara lain dilakukan dalam berbagai program, seperti
program transmigrasi dan penciptaan kesempatan kerja baik
antardaerah, antarpropinsi maupun antarnegara. Laporan yang rinci
mengenai kegiatan-kegiatan dalam berbagai program tersebut dapat
dilihat pada uraian di sektor yang bersangkutan.
XVIII/80
d. Penyempurnaan Sistem Informasi Kependudukan
Salah satu kendala pembangunan kependudukan adalah masih
langkanya data dan informasi kependudukan, padahal dukungan
informasi kependudukan diperlukan dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan.
Dalam upaya menciptakan suatu sistem informasi kependudukan
pada tahun 1994/95 telah disusun rancangan kebijaksanaan Sistem
Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) dengan melibatkan
15 instansi pemerintah. Melalui sistem informasi tersebut diharapkan
seluruh data dan informasi mengenai kependudukan dan keluarga di
setiap instansi/departemen dapat didayagunakan melalui suatu jaringan
komunikasi data yang dikelola dengan azas kemitraan.
Penyempurnaan
sistem
informasi
kependudukan
juga
dilaksanakan melalui penataan administrasi registrasi penduduk.
Pelaksanaan registrasi penduduk yang dilakukan oleh aparat
pemerintah daerah di setiap propinsi meliputi kegiatan pencatatan dan
pelaporan data kependudukan yang terdiri dari kelahiran, kematian,
petpindahan dan data statistik kependudukan lainnya yang dilakukan
mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat propinsi. Pada
tahun 1994/95 telah dilakukan pelatihan pencatatan dan pelaporan
registrasi penduduk bagi sekitar 400 orang aparat pemerintah daerah
di 5 propinsi, baik yang berada di tingkat desa/kelurahan, tingkat
kecamatan, tingkat kabupaten, maupun tingkat propinsi. Secara
keseluruhan sejak tahun 1989/90 sampai dengan tahun 1994/95 telah
dilatih lebih dari 16.000 orang aparat petugas registrasi penduduk di
20 propinsi.
XVIII/81
e. Pendayagunaan dan Kesejahteraan Penduduk Usia Lanjut
Program pendayagunaan dan kesejahteraan penduduk usia lanjut
dimaksudkan untuk mendorong dan mendayagunakan penduduk usia
lanjut yang produktif sesuai dengan kemampuan, kearifan, pengalaman dan keahliannya; menyedialcan sarana dan fasilitas pelayanan
khusus bagi para lanjut usia yang lemah fisik dan mental; serta
meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penduduk usia lanjut
yang memerlukan pertolongan. Upaya tersebut diselenggarakan
melalui kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang kesehatan,
kesejahteraan sosial, pendidikan, dan tenaga kerja.
Semakin meningkatnya rata-rata harapan hidup memberikan
dampak pada semakin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Di
samping itu peningkatan jumlah penduduk usia lanjut juga terjadi
karena terdapat perubahan demografis dan pergeseran struktur
penduduk Indonesia dari usia muda ke arah usia produktif dan usia
lanjut yang dihasilkan oleh kemajuan pembangunan selama ini. Jika
pada tahun 1993 penduduk usia lanjut berjumlah sekitar 11,7 juta
orang atau 6,2 persen dari total penduduk tahun 1993, pada tahun
1994 jumlahnya telah meningkat menjadi sekitar 12,2 juta orang atau
6,4 persen dari total penduduk tahun 1994. Penduduk usia lanjut
yang masih bekerja dengan tingkat pendidikan SLTP ke atas ternyata
meningkat dari 4,4 persen pada tahun 1993 menjadi 5,0 persen pada
tahun 1994.
Sementara itu bagi penduduk usia lanjut yang tidak mampu, baik yang
tinggal sendiri maupun bersama keluarganya yang juga tidak
mampu, dan yang tinggal di panti lanjut usia diberikan penyantunan.
Penyantunan bagi penduduk usia lanjut di dalam panti adalah berupa
jaminan hidup, sedangkan bagi penduduk usia lanjut di luar panti
XVIII/82
adalah berupa sarana pelayanan khusus. Pada tahun 1994/95 jumlah
penduduk usia lanjut yang tidak mampu yang telah menerima
penyantunan adalah sebanyak 43.473 orang, atau meningkat sebanyak
3.329 orang bila dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita
V (1993/94) yaitu 40.144 orang.
F. KELUARGA SEJAHTERA
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran dalam Repelita VI adalah menurunnya angka kelahiran
total (TFR) menjadi 2,60 per wanita; meningkatnya kepedulian dan
peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan sikap dan perilaku
kemandirian; dan terwujudnya tatanan gerakan Keluarga Berencana
(KB) secara menyeluruh untuk dijadikan landasan pembangunan
selanjutnya.
Dalam mencapai sasaran tersebut, pokok kebijaksanaan yang
ditempuh, antara lain, adalah mengembangkan ketahanan dan
meningkatkan kualitas keluarga, dalam rangka mewujudkan kehidupan
keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa; meningkatkan kelembagaan gerakan KB,
dengan menggalakkan keperdulian dan peran serta pemuka agama,
pemuka masyarakat, organisasi kemasyarakatan serta lembaga
kemasyarakatan lainnya; dan mengembangkan kerjasama internasional
program KB.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas,
pembangunan keluarga sejahtera dilaksanakan dalam satu program,
yaitu program keluarga berencana yang pelaksanaannya didukung oleh
berbagai bidang pembangunan lainnya secara terpadu.
XVIII/83
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Program KB bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran
serta masyarakat terhadap pendewasaan usia perkawinan, penurunan
angka kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan
kesejahteraan keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, program KB
dilaksanakan melalui kegiatan: (a) komunikasi, informasi, dan edukasi
(KIE); (b) pelayanan keluarga berencana; dan (c) pemantapan
kelembagaan serta pengelolaan program. Melalui berbagai kegiatan
tersebut telah meningkatkan jumlah peserta KB baru, dan jumlah
peserta KB aktif, dan mengajak masyarakat melaksanakan KB secara
mandiri.
a. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Pelaksanaan kegiatan KIE ditekankan pada upaya menumbuhkan
pengertian, kesadaran dan keyakinan tentang manfaat keluarga kecil.
Upaya tersebut diharapkan secara bertahap dapat mendorong
terjadinya proses perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku
masyarakat terhadap penerimaan KB dalam mewujudkan norma
keluarga kecil, bahagia, sejahtera secara mandiri. Pelaksanaan
kegiatan KIE telah ditingkatkan bekerjasama dengan sektor-sektor
terkait, organisasi profesi, swasta niaga, organisasi masyarakat, LSM,
dengan partisipasi masyarakat luas.
Penyebarluasan pesan-pesan KIE tentang KB dilaksanakan
melalui berbagai media cetak dan elektronik seperti surat
kabar/majalah, televisi maupun radio yang disiarkan dalam berbagai
mata acara. Dalam tahun 1994/95 telah dikembangkan KIE melalui
pendekatan baru yaitu dengan melibatkan pemirsa/pendenga r secara
XVIII/84
interaktif dalam memecahkan permasalahan KB yang dihadapi.
Pelaksanaan KIE dengan pendekatan baru tersebut telah dilaksanakan
melalui televisi di 3 stasion TVRI propinsi (Palembang, Ujung
Pandang, dan Denpasar) dan melalui stasion radio di 15 propinsi. Di
samping itu, untuk meningkatkan pemerataan pelaksanaan KIE, setiap
Dati II telah dilengkapi dengan sarana mobil unit penerangan.
Melalui berbagai kegiatan KIE tersebut pemahaman serta
kesadaran masyarakat akan pentingnya KB telah ditingkatkan. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994
menunjukkan bahwa 96 persen dari pasangan usia subur (PUS)
mengetahui tentang KB dan 55 persen telah melaksanakan KB.
Sedangkan hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan persentase PUS yang
mengetahui KB adalah 94 persen dan yang menjadi peserta KB 50
persen dari junilah PUS.
b. Pelayanan Keluarga Berencana
Pelayanan keluarga berencana dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam ber-KB yang bermutu, aman, mudah dan
terjangkau agar memberikan kenyamanan dan kepuasan peserta KB.
Pelayanan KB terutama dilaksanakan di rumah sakit dan klinik KB.
Rumah sakit dan klinik KB tersebut selain berfungsi sebagai tempat
pelayanan KB juga berfungsi sebagai tempat rujukan dan pengayoman
bagi peserta KB yang mengalami komplikasi pemakaian alat/obat
kontrasepsi. Upaya meningkatkan pemerataan dan pelayanan KB
khususnya di daerah yang terpencil dilaksanakan melalui kegiatan tim
keluarga berencana keliling (TKBK). Di samping itu, dalam rangka
peningkatan mutu pelayanan KB telah dilaksanakan penyediaan
peralatan pelayanan KB yang cukup sampai di tingkat desa.
XVIII/85
Berbagai upaya pelayanan KB dan dukungan peralatan tersebut
dilakukan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PUS
untuk berpartisipasi dalam ber-KB. PUS yang baru pertama kali
memakai salah satu alat kontrasepsi disebut sebagai peserta KB baru.
Untuk mempermudah melihat perkembangan pencapaian peserta KB
baru penyajian data dalam Tabel XVIII-11 dibagi dalam 3 wilayah
besar yaitu wilayah Jawa - Bali, wilayah Luar Jawa - Bali I, dan
wilayah Luar Jawa - Bali II. Pembagian wilayah, tersebut sesuai
dengan tahapan dimulainya penggarapan KB di Indonesia.
Secara nasional jumlah peserta KB Baru pada tahun 1994/95
kurang lebih adalah 4,6 juta PUS atau sekitar 104 persen dari sasaran
tahun pertama Repelita VI. Jumlah tersebut naik sekitar 350 ribu PUS
dibandingkan pada tahun 1993/94. Tercapainya sasaran peserta KB
baru disebabkan tingginya tingkat pencapaian di wilayah Luar Jawa Bali I yaitu sebesar kurang lebih 129 persen. Sedangkan di wilayah
Jawa - Bali tingkat pencapaiannya hanya sebesar 94 persen dan di
wilayah Luar Jawa - Bali II mendekati sasaran yang ditetapkan (Tabel
XVIII-11). Rendahnya tingkat pencapaian di wilayah Jawa - Bali
kemungkinan dikarenakan sebagian besar PUS berusia muda sehingga
lebih sulit diajak untuk ber-KB karena masih menginginkan anak.
Di samping upaya meningkatkan jumlah peserta KB, upaya lain
yang dilakukan adalah meningkatkan pemakaian kontrasepsi efektif
yang memberikan perlindungan lebih lama terhadap kehamilan. Jenis
kontrasepsi efektif tersebut terdiri dari IUD, suntikan, dan implant.
Pada tahun 1994/95 pemakaian berbagai jenis alat kontrasepsi oleh
peserta KB baru umumnya menurun dibandingkan dengan tahun
1993/94, kecuali pemakaian implant. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat semakin berminat pada alat kontrasepsi efektif (Tabel
XVIII-12).
XVIII/86
Untuk memberikan hasil nyata dalam penurunan kelahiran,
peserta KB baru tersebut dibina kelangsungannya dalam pemakaian
alat kontrasepsi. Peserta KB yang secara terus menerus untuk waktu
yang lama memakai alat kontrasepsi disebut peserta KB aktif. Pada
tahun 1994/95 jumlah peserta KB aktif adalah sekitar 22,8 juta PUS
(Tabel VIII-13). Jumlah peserta KB aktif di setiap wilayah
menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Seperti
halnya pada peserta KB baru, peserta KB aktif juga cenderung
memakai alat/obat kontrasepsi efektif. Pada tahun 1994/.95 lebih dari
61 persen peserta KB aktif memakai kontrasepsi IUD, Suntikan, dan
Implant masing-masing 22 persen, 31 persen dan 8 persen dari
seluruh peserta KB aktif (Tabel XVIII-14). Selain melalui kegiatan
KIE dan pelayanan KB yang terus menerus, tingginya tingkat
kelangsungan pemakaian alat/obat kontrasepsi antara lain oleh karena
dilakukannya pendekatan melalui upaya peningkatan kesejahteraan
dan ketahanan keluarga. Kegiatan tersebut berupa peningkatan
pendapatan bagi peserta KB, serta pembinaan bagi keluarga balita
antara lain melalui usaha peningkatan pendapatan kelompok akseptor
(UPPKA), yang selanjutnya berkembang menjadi usaha peningkatan
pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS).
UPPKA atau UPPKS dilaksanakan dengan pemberian pinjaman
modal secara bergulir kepada peserta KB. Pada tahun 1994/95 peserta
UPPKA telah berjumlah 1,8 juta orang. Mulai Repelita VI kegiatan
tersebut telah ditingkatkan melalui kerjasama dengan perbankan yaitu
PT Bank Negara Indonesia (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia
(Persero), dan beberapa BUMN seperti PT Indosat, PT Telkom, PT
Kimia Farma, dan PT Jasa Raharja.
Di samping itu, dalam rangka memberikan pengetahuan dan
ketrampilan kepada para ibu tentang bagaimana mendidik dan
mengasuh anak balita dibentuk kelompok-kelompok bina keluarga
XVIII/87
balita (BKB). Dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan tersebut
diharapkan ibu-ibu mampu mendidik dan mengasuh anak balitanya
sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang
sehat seutuhnya. Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 3,4 juta
peserta BKB yang tersebar diseluruh Indonesia. Selanjutnya
dikembangkan pula bina keluarga remaja (BKR), dan bina keluarga
lanjut usia (BKL).
c. Pemantapan Pelembagaan Program
Dalam rangka meningkatkan pembudayaan NKKBS melalui
gerakan keluarga berencana diupayakan keikutsertaan lembagalembaga yang ada dalam masyarakat secara aktif membantu program
KB. Dengan upaya itu tumbuh dan berkembang kelompok-kelompok
peserta KB yang diorganisasi dalam bentuk pembantu pembina KB
desa (PPKBD) dan Sub-PPKBD. Sebagai upaya lebih lanjut untuk
meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan KB, dari
Sub-PPKBD dikembangkan kelompok-kelompok peserta KB yang
terdiri dari 5-10 peserta KB. Pada tahun 1994/95 telah terbentuk
sekitar 668,6 ribu kelompok KB yang tersebar di seluruh desa.
Seiring dengan partisipasi lembaga-lembaga masyarakat dalam
pelaksanaan KB, juga telah ditingkatkan kepedulian dan peran serta
pemuka agama, pemuka masyarakat dan lembaga swadaya dan
organisasi masyarakat seperti LKK-NU, Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia (PGI), Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia
(KWI), PKK, serta Darma Wanita. Di samping itu, telah pula ditingkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi antara lain:
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Dengan keikutsertaan lembaga/organisasi tersebut pada tahun 1994/95 masyarakat yang telah
melaksanakan KB secara mandiri berjumlah sekitar 1,5 juta PUS.
XVIII/88
d. Pendidikan dan Pelatihan
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan program KB
dilakukan usaha-usaha pendidikan dan pelatihan tenaga program KB.
Melalui pendidikan dan pelatihan tersebut, kemampuan dan
keterampilan teknis makin meningkat sehingga tenaga program makin
dapat memenuhi permintaan masyarakat yang akan . ber-KB. Jumlah
tenaga program yang mendapat pelatihan pada tahun 1994/95 adalah
para dokter sebanyak 2.705 orang dan bidan/pembantu bidan
sebanyak 5.370 orang.
Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dan
ilmu pengetahuan dalam bidang KB dan bidang lain yang terkait, telah
ditingkatkan pengetahuan dan keahlian tenaga program melalui
pendidikan tinggi dalam program Diploma, Sarjana, dan Pasca
Sarjana. Pada tahun 1994/95 telah diselenggarakan pendidikan berjenjang yang meliputi: 400 orang D2, 3.000 orang D3, 406 orang S1,
121 orang S2, dan 14 orang S3 baik dalam negeri maupun luar
negeri.
Kerjasama internasional dalam KB telah dikembangkan terutama
di antara negara-negara GNB. Kerjasama ini meliputi pertukaran
informasi, pengalaman, keahlian dan iptek sesuai dengan kondisi
negara masing-masing. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
kegiatan studi banding di Indonesia bagi 447 peserta yang berasal dari
negara-negara Afrika, Asia, Pasifik Selatan dan Amerika Latin.
Pelaporan dan Penelitian
Salah satu aspek yang penting dalam pengelolaan gerakan KB
nasi onal adal ah si st i m pencat at an dan pel apor an yan g d apat
XVIII/89
menyediakan informasi secara cepat, tepat, akurat dan terus menerus.
Sistem tersebut terus-menerus disempurnakan agar dapat memantau
pelaksanaan, hasil dan dampak program KB. Pada akhir Repelita V
telah dilakukan desentralisasi pengumpulan dan pengolahan data pada
tingkat kabupaten/kotamadya. Dengan demikian, laporan dari tingkat
kecamatan dan klinik tidak lagi langsung dikirim ke pusat. Pada tahun
1994/95 telah dilakukan penyempurnaan sistim pencatatan dan
pelaporan dengan mencakup informasi lebih luas yaitu tentang
keluarga berencana, demografi dan keluarga sejahtera.
Di samping itu dilakukan pula kegiatan penelitian dengan maksud
untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang dampak
program KB. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan 15 paket penelitian
antara lain mengenai peran institusi masyarakat (PKK, PPKBD, BKB)
di perdesaan, pelaksanaan KB di daerah kumuh, pantai dan
kepulauan, serta penelitian tentang peningkatan kualitas pelayanan.
Melalui kegiatan penelitian tersebut diupayakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelayanan KIE, kontrasepsi maupun pelayanan
terpadu serta pengembangan kemandirian. Di samping itu dilakukan
penelitian pula mengenai pemakaian alat kontrasepsi dalam upaya
mengembangkan kontrasepsi yang dapat memberikan kepuasan kepada
peserta KB.
Penelitian lainnya yang bersifat lebih komprehensif adalah SDKI
1994 yang dilaksanakan berkerja sama dengan BPS dan Departemen
Kesehatan. Kajian yang mendalam atas SDKI telah memberikan
informasi yang sangat berarti antara lain tentang angka prakiraan
jumlah permintaan terhadap pelayanan KB serta gambaran prioritas
sasaran gerakan KB dimasa yang akan datang.
XVIII/90
Download