KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA BAB XVIII KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA SEJAHTERA A. PENDAHULUAN Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan b a n g s a , dan ikut m e l a k s a n a k a n k e t e r t i b a n dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan so sial. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diselenggarakan pembangunan nasional di semua bidang kehidupan secara berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh, t erpadu dan terarah. Adapun hakikat pembangunan nasional adalah pem bangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat XVIII/3 Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional. Dalam mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya tersebut, telah diupayakan berbagai kegiatan pembangunan kesejahteraan rakyat yang antara lain menyangkut bidang-bidang kesehatan, kesejahteraan sosial dan penanggulangan bencana, serta kependudukan dan keluarga sejahtera, yang dilaksanakan secara serasi dengan pembangunan bidang lainnya. Di bidang kesehatan, sejak awal kemerdekaan pelayanan kesehatan meskipun masih sangat terbatas, telah diupayakan dengan dititik-beratkan pada pencegahan dan pemberantasan penyakit menular seperti penyakit , cacar, malaria, tuberkulosis paru, frambusia, pes, kusta dan penyakit kelamin. Juga dirintis upaya penanggulangan masalah kelaparan dan perbaikan gizi masyarakat. Upaya pelayanan pengobatan dan perawatan kesehatan juga telah dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit yang pada waktu itu kemampuannya masih sangat terbatas. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan, dirintis pendidikan tenaga medik dan non medik dalam berbagai jenjang pendidikan. Di samping perguruan tinggi kedokteran yang telah ada pada masa penjajahan, pada tahun 1949 didirikan fakultas kedokteran di Universitas Gadjah Mada. Sekolah paramedik untuk jurusan gizi, kesehatan lingkungan, kesehatan gigi, kebidanan dan fisioterapi didirikan baik di pusat maupun di daerah. Konsep pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan yang terpadu diletakkan untuk pertama kali pada tahun 1951, disebut dengan "Bandung Plan". Melalui konsep ini pembangunan kesehatan diarahkan pada pembinaan kesehatan ibu dan anak (KIA), usaha kesehatan masyarakat desa, pembuatan obat, vaksin dan sera, XVIII/4 perbaikan gizi, pendidikan tenaga paramedik serta pemberantasan penyakit menular. Dalam perkembangan selanjutnya konsep ini menjadi dasar bagi pelayanan kesehatan masyarakat (community health) yang dilaksanakan sekarang melalui pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan jaringannya. Untuk mendukung pelayanan kesehatan, pada periode tahun 1950-1959 didirikan lembaga-lembaga penelitian kesehatan, antara lain Lembaga Malaria (Lampung dan Surabaya), Lembaga Pencegahan Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga Kusta (Tangerang), Lembaga Rehabilitasi/Orthopedi (Solo), serta Lembaga Gizi (Bogor). Beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Universitas Indonesia juga berperan penting dalam kegiatan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Berbagai hasil penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut telah dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu yang menonjol adalah keberhasilan Dr. Kodyat dalam mengembangkan sistem pemberantasan penyakit frambusia (patek) yang mendapat penghargaan Magsaysay Award dari pemerintah Philipina pada tahun 1961. Melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan yang dikembangkan sejak proklamasi kemerdekaan, meskipun terputus-putus oleh berbagai perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan persatuan, kesatuan serta ideologi negara, sampai dengan awal pembangunan jangka panjang pertama (PJP I) keadaan kesehatan masyarakat meningkat lebih baik. Angka kematian bayi (AKB) yang pada tahun 1945 diperkirakan sebesar 166 per 1.000 kelahiran hidup turun menjadi 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967. Begitu pula dengan angka harapan hidup, meningkat dari 42,5 tahun menjadi 45,7 tahun pada kurun waktu yang sama. XVIII/5 Berbagai peraturan perundang-undangan yang mendasar telah ditetapkan seperti Undang-Undang tentang pokok-pokok kesehatan, dan peraturan yang mengatur mengenai karantina, wabah, farmasi, tenaga kesehatan, wajib kerja sarjana, wajib kerja tenaga paramedik, kesehatan jiwa dan tentang hygiene (kesehatan perorangan). Memasuki PJP I, upaya peningkatan kesehatan masyarakat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih terarah, teratur dan berkesinambungan. Salah satu hasil penting yang dicapai pada awal PJP I adalah dinyatakannya oleh world Health Organization (WHO) bahwa pada tahun 1974 Indonesia sudah termasuk salah satu negara yang telah bebas dari penyakit cacar. Hasil lain yang memperoleh pengakuan internasional, adalah tergalangnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan pos pelayanan terpadu (posyandu) terutama oleh kelompok wanita dalam organisasi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang diakui oleh dunia sehingga Indonesia menerima Sasakawa Award dari WHO dan Maurice Pate Award dari UNICEF pada tahun 1988. Sasaran imunisasi universal pada anak (Universal Child Immunization/U CI) yang ditetapkan oleh WHO telah dilampaui pada tahun 1990/91. Di samping itu dalam rangka menanggulangi masalah gizi Indonesia telah berhasil menanggulangi masalah kebutaan akibat kurang vitamin A. Sejak tahun 1992 kebutaan akibat kurang vitamin A bukan lagi menjadi.masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Atas keberhasilan tersebut, pada tahun 1994 Presiden Soeharto mendapat penghargaan Hellen Keller International. Secara keseluruhan, pembangunan kesehatan dalam PJP I hasilnya ditunjukkan oleh berbagai indikator. Antara lain, angka kematian bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju,penurunan ratarata 3,4 persen setiap tahunnya. Jika pada tahun 1967 AKB di Indonesia masih berkisar sekitar 145 per 1.000 kelahiran hidup, maka pada tahun 1993 yang merupakan tahun akhir PJP I telah ditekan XVIII/6 menjadi sekitar 58 per 1.000 kelahiran hidup. Angka harapan hidup waktu lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-rata 45,7 tahun pada tahun 1967 meningkat menjadi 62,7 tahun pada tahun 1993. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat itu dimungkinkan berkat peningkatan jumlah sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit serta penyebarannya yang makin merata. Pertambahan sarana ini didukung pula dengan peningkatan jumlah tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, tenaga paramedik dan bidan, termasuk di desa-desa. Di bidang kesejahteraan sosial, sejak awal kemerdekaan telah dilakukan berbagai kegiatan, antara lain pemberian bantuan terhadap penyandang masalah sosial khususnya bagi korban revolusi fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Kegiatan lainnya juga telah dirintis, meskipun masih sangat terbatas, seperti penanganan masalah fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, pengungsi dan korban pertempuran yang cacat serta para janda pejuang kemerdekaan. Salah satu kegiatan kesejahteraan sosial yang dimulai pada masa perang kemerdekaan adalah kegiatan rehabilitasi sosial yang dipelopori oleh almarhum Prof.Dr. Soeharso dan R. Soeroto Reksopranoto pada tahun 1946 di Surakarta. Kegiatannya berawal dari upaya merehabilitasi penderita cacat korban perang keme rdekaan. Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan rehabilitasi ini di lembagakan menjadi Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh Prof.Dr. Soeharso di Surakarta. Kemudian berkembang juga kegiatan rehabilitasi sosial bagi anak cacat yang dikembangkan oleh masyarakat melalui Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC) di Surakarta, yang didirikan pada tahun 1953. Dalam perkembangannya YPAC telah mendirikan cabang di berbagai kota di 12 propinsi. XVIII/7 Salah satu kegiatan awal dari upaya mewujudkan kesejahteraan sosial adalah digalangnya partisipasi masyarakat desa dalam wadah Lembaga Sosial Desa (LSD) yang dirintis oleh Bupati Pemalang pada tahun 1952. Sampai tahun 1971, LSD dikembangkan dan dibina oleh Departemen Sosial, dan selanjutnya dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya LSD berkembang menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dikenal sampai sekarang. Pada saat dialihkan ke Departemen Dalam Negeri, jumlah LSD telah mencapai lebih dari 39.000. Kegiatan peran serta masyarakat lain adalah dibentuknya wadah kegiatan pemuda karang taruna yang kemudian dikembangkan menjadi salah satu program nasional dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembentukan karang taruna dirintis pada tahun 1959 melalui kegiatan pelayanan sosial bagi anak yatim piatu yang diselenggarakan oleh Yayasan Perawatan Anak Yatim (YPAY). Kegiatan kesejahteraan sosial lainnya yang dirintis pada masa awal kemerdekaan adalah kegiatan penelitian sosial di Yogyakarta pada tahun 1950 oleh suatu lembaga penelitian sosial yang diberi nama Balai Persiapan Pekerjaan Sosial. Pada tahun 1961 Balai tersebut menjadi Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial (BPPS). Dalam perkembangan selanjutnya BPPS menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (BBPPPKS) sampai sekarang. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kondisi kesejahteraan sosial memasuki PJP I masih memprihatinkan. Partisipasi sosial masyarakat masih sangat terbatas, demikian pula jumlah serta mutu tenaga pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial, sehingga pelayanan sosial juga belum dapat menjangkau masyarakat secara luas. Dalam PJP I usaha kesejahteraan sosial diarahkan untuk mengatasi hal-hal tersebut. XVIII/8 Pembangunan kesejahteraan sosial dalam PJP I telah meningkatkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi masalah sosial pada umumnya dan masalah kesejahteraan sosial khususnya. Perkembangan ini menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial masyarakat, relawan sosial, anggota karang taruna, dan pendukung dana untuk upaya kesejahteraan sosial. Mutu dan cakupan pelayanan sosial bagi fakir miskin, anak dan lanjut usia terlantar; penyandang cacat, korban penyalahgunaan obat, zat adiktif dan narkotika, korban bencana, masyarakat terasing dan masyarakat lain yang kurang beruntung juga telah meningkat dan makin luas menjangkau masyarakat sampai di pelosok-pelosok tanah air. Di bidang penanggulangan bencana, upaya pada awal kemerdekaan masih terbatas pada pemberian pertolongan pertama yang dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) yang dibentuk pada tahun 1945. Selain itu juga ada penyediaan dapur umum dan bantuan darurat secara terbatas. Dalam masa pembangunan selama PJP I, kemampuan masyarakat dalam penanggulangan bencana yang mencakup kemampuan kesiapsiagaan, pencarian dan penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pemantapan kelembagaan telah semakin meningkat. Peningkatan kemampuan kesiapsiagaan diperoleh melalui pelatihan kesiapsiagaan bagi petugas dari berbagai instansi dan masyarakat, pemetaan daerah-daerah rawan bencana, pemantauan secara terus menerus terhadap gunung api yang masih aktif, pembangunan check dam, serta pembuatan terowongan di gunung Galunggung, Merapi dan gunung Kelud. Kemampuan dan fasilitas serta sistem dan peralatan telah meningkat pula dalam memenuhi berbagai persyaratan keselamatan pelayaran dan penerbangan, serta pengamanan daerah-daerah produksi pertanian, permukiman dan bangunan umum lainnya dari bahaya banjir. Dalam rangka ini XVIII/9 kemampuan Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) terus menerus ditingkatkan. Bersamaan dengan upaya membangun kesiagaan masyarakat dan aparat pemerintah, telah diselenggarakan pula upaya rehabilitasi sosial dan bantuan bagi para korban bencana, antara lain melalui penyediaan bangunan rumah dan bantuan darurat lainnya. Di bidang kependudukan clan keluarga sejahtera, keadaan sosial politik dan ekonomi pada awal kemerdekaan mempengaruhi pola perkembangan penduduk dalam dasawarsa limapuluhan. Jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan yang tinggi pada masa itu belum dianggap sebagai kendala dan hambatan bagi pembangunan. Pada tahun 1945, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 73 juta jiwa dan hampir 71 persen bertempat tinggal di pulau Jawa. Sampai awal PJP I, jumlah penduduk Indonesia bertambah dengan 42 juta orang atau tumbuh rata-rata 1,98 persen per tahun. Pada saat itu upaya pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk sangat terbatas. Beberapa kelompok masyarakat telah merintis upaya pengendalian jumlah penduduk dengan mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) pada tahun 1952 dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 1957. Partisipasi organisasi masyarakat tersebut kemudian didukung oleh pemerintah dengan dibentuknya wadah kerjasama antara pemerintah dan organisasi masyarakat dalam bidang keluarga berencana (KB) yaitu lembaga keluarga berencana nasional (LKBN) pada tahun 1968. Guna lebih memantapkan pelaksanaan KB, maka pada tahun 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Badan tersebut mempunyai tugas pokok mengkoordinasikan program KB secara nasional dengan tujuan menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kesejahteraan para ibu. XVIII/10 Guna mengatasi ketimpangan jumlah penduduk antara pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, sebelum masa PJP I secara terbatas telah dimulai kegiatan transmigrasi, terutama dari pulau Jawa ke Sumatera. Dalam PJP I pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga berencana mendapat prioritas tinggi, dan dilakukan secara terarah dan merata di seluruh lapisan masyarakat sehingga pada akhir Repelita V (1993) laju pertumbuhan penduduk berhasil ditekan menjadi 1,66 persen, dan angka kematian kasar menurun menjadi 7,9 per seribu penduduk. Di samping itu, kesejahteraan penduduk diukur dari tingkat pendidikan, kesehatan dan keadaan gizi juga terus membaik. Penurunan laju pertumbuhan penduduk erat kaitannya dengan keberhasilan program KB yang berdampak pada penurunan angka kelahiran kasar dari 44,0 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1971 menjadi 24,5 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1993. Penduduk Indonesia pada tahun 1994 diperkirakan telah mencapai 192,2 juta orang, yang terdiri atas 95,8 juta orang laki-laki dan 96,4 juta orang perempuan. Adapun jumlah anak balita pada tahun 1994 tercatat sekitar 21,7 juta anak, yang terdiri atas 11,0 juta anak laki-laki dan 10,7 juta anak perempuan. Sementara itu, jumlah penduduk usia lanjut yaitu penduduk usia lebih dari 60 tahun telah mencapai sekitar 12,2 juta orang pada tahun 1994, yang terdiri atas 5,7 juta orang laki-laki dan 6,5 juta orang perempuan. Pada tahun 1994 jumlah penduduk daerah perdesaan dan perkotaan masingmasing adalah 124,8 juta orang (65,0 persen) dan 67,4 juta orang (35,0 persen). Selanjutnya, pada tahun yang sama jumlah penduduk Pulau Jawa adalah 113,6 juta orang, atau sekitar 59,1 persen dari total penduduk tahun 1994. Keberhasilan program kependudukan dan KB di Indonesia diakui oleh dunia internasional dan mendapat penghargaan dari PBB berupa XVIII/11 The United Nations Population Award pada tahun 1989 yang diterima oleh Kepala Negara. Keberhasilan Indonesia dalam menjalankan program kependudukan dan KB telah menarik perhatian dan minat berbagai negara untuk mempelajarinya. Sejak tahun 1987 telah diselenggarakan pelatihan bagi peserta dari luar negeri melalui International Training Program (ITP). Sampai dengan akhir Repelita V telah dilatih sebanyak 1.872 orang tenaga-tenaga ahli kependudukan dan KB dari 73 negara. B. KESEHATAN 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI adalah meningkatnya derajat kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pelayanan kesehatan yang makin menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dalam rangka itu, sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya angka harapan hidup waktu lahir menjadi sekitar 64,6 tahun, menurunnya angka kematian kasar menjadi sekitar 7,5 per 1.000 penduduk; menurunnya angka kematian bayi menjadi 50 per 1.000 kelahiran hidup; dan menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 225 per 100.000 kelahiran hidup. Sasaran keadaan gizi masyarakat pada akhir Repelita VI adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi kurang, yaitu gangguan akibat kurang iodium menjadi 18 persen; anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen, balita menjadi 40 persen dan tenaga kerja wanita menjadi 20 persen; kurang energi protein menjadi 30 persen; dan kurang vitamin A pada anak balita menjadi 0,1 persen. XVIII/12 Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, pokok kebijaksanaan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin dan desa tertinggal; meningkatkan status gizi masyarakat; meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada tenaga kerja; meningkatkan penyuluhan kesehatan masyarakat; mengembangkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mendukung pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu; meningkatkan peran serta masyarakat dan organisasi profesi; meningkatkan mobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan kesehatan; meningkatkan manajemen upaya kesehatan; serta mengoptimasikan penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas digariskan tujuh program pokok yang meliputi: program penyuluhan kesehatan masyarakat; pelayanan kesehatan masyarakat; pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit; pencegahan dan pemberantasan penyakit; perbaikan gi zi ; pengawasan obat dan makanan; dan pembinaan pengobatan tradisional. Program-program tersebut didukung oleh beberapa program penunjang, yang dilaksanakan secara terkoordinasi dengan program pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI Pembangunan kesehatan pada tahun pertama Repelita VI (1994/95) yang merupakan kelanjutan, perluasan dan peningkatan pelaksanaan program dari Repelita-repelita sebelumnya, adalah untuk meningkatkan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat melalui upaya pemerataan sarana pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit, XVIII/13 didukung oleh peningkatan jumlah dan jenis tenaga kesehatan, peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta peningkatan peran serta masyarakat, dunia usaha dan organisasi profesi. Upaya tersebut dilaksanakan melalui program-program sebagai berikut. a. Program Pokok 1) Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat adalah meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi penyebarluasan informasi kesehatan, pengembangan potensi swadaya masyarakat di bidang kesehatan dan pengembangan penyelenggara penyuluhan. Dalam tahun pertama Repelita VI kegiatan penyebarluasan informasi kesehatan telah dilaksanakan melalui siaran radio sebanyak 81.803 kali dalam bentuk obrolan, sandiwara, wawancara dan radio spot. Kegiatan selanjutnya berupa siaran televisi sebanyak 863 kali baik di TVRI Pusat maupun propinsi, disamping memanfaatkan siaran televisi swasta seperti TPI, RCTI, SCTV dan AN-TV dalam bentuk wawancara, penyiaran filler, fragmen atau sandiwara, sinetron dan siaran pembangunan. Di samping itu telah dilaksanakan pameran dan pemutaran film di sejumlah propinsi dan daerah tingkat II. Untuk penyebarluasan informasi telah diadakan dan disebarkan berbagai media penyuluhan kesehatan antara lain berbentuk poster, leaflet, buku pedoman, dan kartu konsultasi sebanyak sekitar 1,7 juta lembar. Untuk tingkat propinsi dan kabupaten, telah disediakan sarana penyuluhan berupa 1.050 paket peralatan. Dibanding dengan tahun XVIII/14 1993/94, penyediaan sarana paket penyuluhan meningkat cukup besar, dimana pada tahun yang bersangkutan hanya sebanyak 291 paket peralatan penyuluhan. Kegiatan bagi penyelenggara penyuluhan pada tahun 1994/95 antara lain berupa pelatihan, orientasi, pengumpulan data sosial budaya serta pelaksanaan studi yang berkaitan dengan penyuluhan kesehatan masyarakat. Jumlah petugas kesehatan yang mendapatkan latihan penyuluhan baik di tingkat propinsi, Dati II maupun puskesmas adalah sebanyak 324 orang. Untxk meningkatkan kemampuan petugas dalam pembuatan media dan pemeliharaan peralatan penyuluhan telah dilaksanakan pelatihan di 7 propinsi. Dalam upaya meningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan di rumah sakit telah dilaksanakan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit (PKMRS) mencakup 452 rumah sakit, sedangkan tahun sebelumnya mencakup 338 rumah sakit. Di tingkat masyarakat telah dilaksanakan penyuluhan melalui posyandu yang materinya lebih dititik beratkan pada upaya pencegahan penyakit. Khusus dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) telah dilaksanakan studi pengembangan strategi penyuluhan AIDS di tingkat propinsi. Kegiatan pengembangan potensi swadaya masyarakat antara lain dilaksanakan melalui pelaksanaan orientasi bagi organisasi wanita, pemuda, keagamaan dan guru-guru baik di tingkat pusat, propinsi, Dati II, maupun puskesmas. Pada tahun 1994/95 kegiatan tersebut dilaksanakan sebanyak 24.557 kali, sedangkan pada tahun sebelumnya baru mencapai 5.733 kali. Kegiatan lainnya berupa pengembangan dana sehat melalui jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang mencakup 900 kelompok di 27 propinsi. Di samping itu telah dibentuk pula forum komunikasi LSM dan diadakan kerjasama XVIII/15 dengan ABRI dalam bentuk manunggal ABRI Masuk Desa (AMD) di 27 propinsi. 2) Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat Program pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk lebih memperluas cakupan dan sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dasar serta menumbuhkembangkan sikap dan kemandirian dalam pemeliharaan kesehatan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Program ini merupakan program pelayanan dasar terpadu yang dilaksanakan melalui puskesmas dan jaringannya yaitu puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan bidan di desa. Kegiatan pokok dari program ini meliputi pelayanan kesehatan keluarga, kesehatan sekolah dan remaja, kesehatan kerja, penyembuhan dan pemulihan, kesehatan olah raga, kesehatan matra, pelayanan laboratorium dan penyuluhan kesehatan masyarakat serta pembinaan peran serta masyarakat. Dalam rangka memperluas jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan, pada tahun 1994/95, melalui program INPRES Sarana Kesehatan telah dibangun puskesmas baru sebanyak 30 unit, puskesmas pembantu 500 unit, dan rumah dokter 230 unit (Tabel XVIII-1A). Dengan demikian sampai dengan tahun 1994/95 secara kumulatif telah tersedia sebanyak 6.984 buah puskesmas, 20.477 puskesmas pembantu, dan 3.794 buah rumah dokter (Tabel XVIII-1B). Untuk melengkapi sarana pelayanan kesehatan yang telah ada, dilaksanakan pengadaan peralatan antara lain meliputi peralatan medis untuk puskesmas sebanyak 30 set, puskesmas pembantu 500 set, dan puskesmas keliling 358 set. Selain itu untuk meningkatkan mobilitas pelayanan dalam rangka meningkatkan cakupan kegiatan program telah dilaksanakan pengadaan 528 buah puskesmas keliling, dengan kendaraan bermotor roda empat sebanyak 498 buah dan perahu XVIII/16 bermotor 30 buah. Di samping itu dilaksanakan pula pengadaan sepeda motor sebanyak 1.500 buah. Bagi sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan, telah dilaksanakan kegiatan perbaikan terhadap 1.168 buah puskesmas, termasuk 398 buah puskesmas perawatan, 2.931 buah puskesmas pembantu, dan 528 buah puskesmas keliling. Dalam rangka pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, melalui INPRES Sarana Kesehatan, pemberian bantuan obat per kapita disempurnakan dengan cara memberikan bantuan yang lebih besar terhadap penduduk di desa tertinggal. Untuk itu, bantuan obat ditingkatkan dari Rp 625 per kapita pada tahun 1993/94 menjadi Rp 725 per kapita pada tahun 1994/95. Kegiatan lainnya untuk meningkatkan pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dilakukan melalui percepatan penempatan tenaga dokter, dokter gigi dan bidan dengan pola pegawai tidak tetap (PTT). Dengan pola penempatan PTT ini maka penyebaran tenaga bagi daerah terpencil dapat lebih cepat dan merata, karena kepada mereka diberikan tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilannya. Pada tahun 1994/95 telah ditempat kan sebanyak 3.316 orang dokter PTT dan 896 dokter gigi PTT. Jumlah dokter PTT dan dokter gigi PTT yang ditempatkan tersebut meningkat dari tahun 1993/94 yang berjumlah masing-masing sebanyak 1.700 orang dan 336 orang. Salah satu kegiatan program pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan keluarga. Prioritas pelayanan kesehatan keluarga diarahkan terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan kontrasepsi, pemeliharaan anak dan ibu sesudah persalinan, perbaikan gizi dan pemberian imunisasi serta pelayanan kesehatan bagi kelompok usia lanjut. Melalui pelayanan kesehatan keluarga, telah dilaksanakan peningkatan pelayanan kontrasepsi dengan metode efektif dengan cakupan sekitar 66 persen dari XVIII/17 pasangan usia subur. Pencapaian ini telah mendekati sasaran yang ditetapkan pada tahun pertama Repelita VI yaitu sekitar 67 persen. Selain itu telah dilaksanakan pula kegiatan simulasi pengayoman metode kontrasepsi efektif yang telah mencakup 18 propinsi yang bertujuan untuk melestarikan pemakaian kontrasepsi efektif. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya masalah kesehatan pada ibu usia subur, dilaksanakan deteksi secara dini kelainan reproduksi yang telah dilaksanakan di 23 propinsi. Selain tenaga dokter, pelaksana utama kegiatan pelayanan kesehatan keluarga adalah tenaga bidan yang telah tersebar di desa-desa. Bidan di desa berperanan besar dalam kegiatan pelayanan kesehatan terutama pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, imunisasi, perbaikan gizi di perdesaan, yang dampaknya diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi dan anak. Pada tahun 1994195 telah ditempatkan sebanyak 9.464 bidan PTT di desa. Untuk mendukung kegiatan mereka diberikan bantuan alat transpor, biaya pemondokan, biaya operasional dan peralatan untuk bidan. Untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu, telah dilaksanakan pelatihan petugas di 15 propinsi. Dalam pelayanan kesehatan ibu, selain tenaga bidan peranan dukun bayi juga cukup penting. Melalui pelatihan dan pembinaan secara terus menerus, tenaga tersebut sangat membantu meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dan ibu melahirkan. Jumlah dukun. bayi yang telah dibina pada tahun 1994/95 sebanyak 18.676 orang, sedangkan dukun bayi yang dilatih mencakup 1.454 orang. Dibandingkan dengan jumlah dukun bayi yang dibina pada tahun 1993/94 sebanyak 15.337 orang, maka terjadi peningkatan sekitar 3.000 orang lebih. Sebagai dampak dari bertambahnya tenaga bidan di desa dan makin intensifnya pembinaan dukun bayi maka cakupan pelayanan kepada ibu hamil pada tahun 1994/95 telah mencapai 70 persen. XVIII/18 Sasaran pelayanan lainnya dari kesehatan keluarga adalah anak balita dan anak pra sekolah di taman kanak-kanak (TK). Kunjungan anak balita ke sarana pelayanan kesehatan dasar dan pos pelayanan terpadu (posyandu) pada tahun 1994/95 telah mencakup 75 persen, sama dengan tahun sebelumnya. Di taman kanak-kanak telah dilaksanakan pemeriksaan kesehatan (skrining) yang dilaksanakan oleh guru-guru TK yang sebelumnya mendapatkan pelatihan. Pelayanan kesehatan bagi usia lanjut, merupakan kegiatan baru yang mulai dikembangkan dalam Repelita VI. Kegiatannya meliputi pendataan dan penjaringan kesehatan yang telah dilaksanakan sebanyak 18 kali, pelatihan petugas dan evaluasi kegiatan untuk perumusan kegiatan ditahun yang akan datang. Kegiatan lainnya adalah pelayanan kesehatan anak sekolah dan remaja. Kegiatannya diselenggarakan melalui wadah usaha kesehatan sekolah (UKS), meliputi penjaringan anak sekolah, pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa (anak berkelainan) dan pelayanan kesehatan bagi remaja. Pada tahun 1994/95 jumlah sekolah yang telah tercakup oleh kegiatan penjaringan kesehatan adalah sebanyak 25.000 sekolah, sedikit meningkat bila dibandingkan dengan tahun 1993/94 yang berjumlah 24.218 sekolah. Pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa telah dilaksanakan oleh 567 puskesmas di 13 propinsi, sama jumlahnya dengan kegiatan yang dilaksanakan tahun sebelumnya. Dengan diketahuinya kelainan yang diderita oleh anak sekolah tersebut, maka guru, orang tua dan petugas puskesmas akan bekerjasama untuk menanggulangi kelainan tersebut. Pelayanan kesehatan terhadap remaja dilaksanakan melalui pelaksanaan konseling kesehatan, penyuluhan dan pelatihan petugas yang telah dilaksanakan di 23 propinsi. XVIII/19 Penyembuhan dan pemulihan kesehatan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh puskesmas dan jaringannya. Kegiatan rawat jalan merupakan kegiatan pokok dari pelayanan penyembuhan dan pemulihan. Selain itu di puskesmas yang dilengkapi dengan tempat tidur (puskesmas perawatan) dilaksanakan pula perawatan penderita. Pada tahun 1994/95 telah tersedia 1.371 puskesmas perawatan dengan kapasitas tempat tidur rata-rata 5-10 tempat tidur per puskesmas. Bagi penduduk miskin terutama di desa tertinggat, mulai tahun 1994/95 di berikan "kartu sehat" yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan pelayanan penyembuhan dan pemulihan kesehatan di puskesmas dan/atau rumah sakit secara cuma-cuma. Pemberian kartu sehat ini tidak hanya untuk berobat saja, namun menggugah mereka yang menerimanya untuk lebih banyak memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Dalam upaya peningkatan kesehatan mata, telah dilaksanakan pelayanan kesehatan mata di sekitar 1.000 puskesmas. Untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat terutama golongan usia sekolah, usia produktif, atlit dan golongan usia lanjut, dilaksanakan kesehatan olah raga. Kegiatannya berupa penyuluhan kesehatan olah raga yang dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Selain itu dilaksanakan pula pelatihan bagi petugas yang akan menangani kesehatan olah raga baik di tingkat pusat maupun di daerah. Untuk meningkatkan prestasi atlit, maka ditingkat pusat telah dilaksanakan pembinaan kesehatan bagi para atlit bekerjasama dengan KONI pusat. 3) Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan, dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit serta memantapkan sistem pelayanan rujukan dari puskesmas ke rumah sakit kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit di tingkat pusat. XVIII/20 Kegiatan peningkatan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit yang telah dilaksanakan antara lain meliputi: pembangunan dan rehabilitasi gedung rumah sakit; perbaikan dan penggantian serta pengadaan peralatan medis berdasarkan standar pelayanan di masingmasing rumah sakit; penambahan dan pemerataan persebaran tenaga dokter ahli; penyediaan bantuan obat-obatan; dan peningkatan biaya operasional serta pemeliharaan rumah sakit. Selain itu dilaksanakan pula peningkatan keterampilan petugas di berbagai bidang pelayanan di semua unit pelayanan rujukan, dimulai dari tingkat kabupaten dengan rumah sakit kelas D, C, serta rumah sakit kelas B dan A yang pada umumnya terletak di tingkat propinsi dan pusat. Secara keseluruhan jumlah rumah sakit pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 1.741 buah dengan 128.708 tempat tidur yang terdiri dari: 835 rumah sakit umum (RSU) dengan 98.952 tempat tidur dan 906 rumah sakit khusus (RSK) dengan 29.756 tempat tidur (Tabel XVIII-2). Hal ini menunjukkan adanya penambahan jumlah sebanyak 68 rumah sakit dengan 2.727 tempat tidur jika dibandingkan dengan tahun 1993/94. Untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan di rumah sakit dilakukan penempatan 409 tenaga dokter ahli dari empat keahlian dasar yaitu ahli bedah, ahli anak, ahli penyakit dalam dan ahli kebidanan dan kandungan di berbagai rumah sakit terutama di rumah sakit kelas D dan C. Selain itu, untuk mempercepat penempatan dokter ahli di rumah sakit kabupaten di daerah terpencil telah disediakan beasiswa untuk mengikuti pendidikan dokter ahli, khususnya 4 keahlian dasar tersebut. Setelah lulus pendidikan mereka diwajibkan untuk menjalankan masa baktinya di rumah sakit kabupaten. Guna memfungsikan para dokter ahli tersebut secara optimal, disediakan pula 441 paket peralatan dokter spesialis, 145 paket peralatan keahlian XVIII/21 dasar, dan 125 paket peralatan untuk tiga keahlian penunjang (ahli anestesi, ahli radiologi dan ahli laboratorium). Untuk meningkatkan kemampuan pelayanan di berbagai rumah sakit diadakan 1.652 unit peralatan medik, 1.884 unit peralatan nonmedik dan 36 unit kendaraan/ambulans. Selain itu diberikan pula bantuan obat-obatan dan peralatan medik kepada 23 rumah sakit swasta, terutama yang berlokasi di propinsi-propinsi di luar pulau Jawa dan Bali. Sejak tahun 1990/91, disediakan biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit (OPRS) dengan tujuan untuk meningkatkan penampilan fisik rumah sakit dan mutu pelayanati seluruh rumah sakit pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada tahun 1994/95 telah disediakan biaya OPRS bagi 405 rumah sakit sebesar Rp 57,9 milyar. Salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian rumah sakit adalah melalui unit swadana. Dengan unit swadana dimungkinkan terjadinya subsidi silang kepada rumah sakit yang lemah, sedangkan rumah sakit yang telah mandiri dapat meningkatkan mutu pelayanannya. Demikian pula di rumah sakit unit swadana dimungkinkan subsidi silang antara penderita yang mampu kepada yang kurang mampu. Sampai dengan tahun 1994 ? telah terdaftar sebanyak 10 rumah sakit vertikal yang menjadi unit swadana. Pada tahun 1994/95 penyelesaian pembangunan RS Dr. Wahidin Soediro Husodo di Ujung Pandang, RS Malalayang Manado dan RS Adam Malik Medan terus dilanjutkan. Sedangkan RS Purwokerto dan RS Muwardi Solo baru memasuki tahap akhir penyelesaian pembangunan gedungnya. Di samping itu telah diselesaikan rehabilitasi/renovasi serta penambahan bangunan untuk 147 RS dimana 17 RS terdapat di Propinsi Kalimantan Tengah, Jambi, dan Maluku. Penambahan peralatan medik dan non medik serta perbaikan peralatan XVIII/22 dilaksanakan pula pada 20 rumah sakit di propinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam rangka peningkatan kelas rumah sakit dari kelas D menjadi kelas C, dilaksanakan studi kelayakan terhadap 10 rumah sakit, dan penyusunan rencana induk (master plan) bagi 8 rumah sakit. Sedangkan untuk lebih meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan di rumah sakit, telah dilaksanakan pula pembangunan instalasi air limbah bagi 8 rumah sakit. Untuk pelayanan penderita kusta telah dilaksanakan rujukan dokter ahli bedah kusta guna memberikan pelayanan bedah rekonstruksi di 10 rumah sakit kusta binaan. Di samping itu diadakan juga pelatihan paramedis bidang pelayanan penyakit kusta, rehabilitasi gedung dan prasarana lingkungan, serta pengadaan peraratan di RS Kusta Sitanala, RS Kusta Sungai Kundur dan RS Kusta Ujung Pandang. 4) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Tujuan dari program pencegahan dan pemberantasan penyakit adalah menurunkan angka kematian dan angka kesakitan serta rnengurangi akibat buruk penyakit, baik yang menular maupun tidak menular. Kegiatan pokok dari program ini meliputi pengamatan penyakit, pengobatan penderita, pemberantasan vektor penyakit, imunisasi dan penanggulangan kejadian luar biasa dan wabah penyakit. Kegiatan pokok tersebut dilaksanakan secara terpadu dengan program kesehatan lainnya, terutama dengan program pelayanan kesehatan masyarakat yang didukung oleh partisipasi masyarakat, termasuk dunia usaha. Beberapa kegiatan program pencegahan dan pemberantasan penyakit pada tahun pertama Repelita VI adalah sebagai berikut. XVIII/23 Upaya pemberantasan penyakit malaria meliputi penemuan dan pengobatan penderita yang telah dilaksanakan terhadap sekitar 5,7 juta penderita. Selain itu telah dilaksanakan penyemprotan rumah penduduk dengan insektisida jenis Fenetrothion yang mencakup sekitar 1,7 juta rumah (Tabel XVIII-3). Jumlah rumah yang disemprot pada tahun 1994/95 meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu lebih dari 200 ribu rumah. Penyemprotan rumah di daerah rawan penyakit malaria di Jawa dan Bali, yang semula menggunakan jenis insektisida DDT, diganti oleh jenis insektisida yang mudah terurai yaitu Fenetrothion, Karbamat dan L-Sihalothrin. Tujuan penggantian ini untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan DDT terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Peningkatan kegiatan penyemprotan dan pengobatan penderita telah berhasil menurunkan angka kesakitan penyakit malaria di Jawa dan Bali menjadi 0,17 per 1.000 penduduk pada tahun 1994/95. Angka kesakitan ini lebih rendah dari angka tahun sebelumnya yaitu 0,19 per 1.000 penduduk. Namun demikian penyakit ini masih merupakan masalah di luar Jawa dan Bali, sehingga pemberantasannya perlu terus ditingkatkan. Penyakit menular lainnya yang perlu ditingkatkan pemberantasannya adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit ini dari tahun ke tahun penyebarannya makin meluas. Sejak pertama kali dilaporkan tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, sampai pada akhir Repelita V penyakit ini telah menyebar ke 20 propinsi dan mencakup 170 Dati II. Pada tahun 1994/95 penyebarannya meluas lagi sehingga semua propinsi telah terjangkit dan mencakup 217 Dati II. Meluasnya penyebaran penyakit ini sejalan dengan meningkatnya arus transportasi antar wilayah dan makin padatnya jumlah penduduk serta belum baiknya kesehatan lingkungan. Untuk menanggulangi penyakit ini upaya yang dilakukan antara lain berupa abatisasi dan penyemprotan masal di tempat -tempat pembiakan nyamuk Aedes XVIII/24 Aegypti serta pengasapan (fogging) di rumah-rumah yang tersangka menjadi sarang nyamuk. Pada tahun 1994/95, kegiatan abatisasi masal telah dilaksanakan terhadap sekitar 2,5 juta rumah, dan pengasapan terhadap sekitar 5,5 juta rumah (Tabel XVIII-3). Kegiatan pengasapan ini, meningkat dari tahun 1993/94 yang mencakup sekitar 2,6 juta rumah. Peningkatan ini dilaksanakan untuk mengantisipasi perluasan penyebaran penyakit menurut siklus empat tahunan. Angka kesakitan DBD pada tahun 1994/95 masih cukup tinggi yaitu sekitar 9,7 per 100.000 penduduk, yang berarti upaya pemberantasannya perlu terus ditingkatkan. Di samping penyakit malaria dan DBD, penyakit tuberkulosa paru (TB-Paru), merupakan penyakit menular yang banyak diderita oleh masyarakat terutama penduduk miskin. Pada pertengahan Repelita V perhatian WHO terhadap penyakit ini meningkat. Hal ini sejalan dengan meluasnya penyebaran penyakit AIDS yang berdampak menurunkan daya tahan tubuh sehingga penderita lebih mudah terjangkit penyakit tuberkulosa paru. Untuk itu WHO telah menetapkan strategi global pemberantasan penyakit TB-Paru. Dalam strategi tersebut ditetapkan target cakupan penanggulangan TB-Paru sebesar 70 persen dengan angka kesembuhan sebesar 85 persen. Sejalan dengan strategi tersebut, maka mulai tahun 1994/95 telah dilaksanakan perbaikan dalam penanggulangan penyakit ini yang meliputi cara menemukan penderita, dan cara pengobatannya. Peralatan untuk diagnosa penderita yang sebelumnya menggunakan mikroskop monokuler, diganti menjadi mikroskop binokuler. Pengawasan atas keteraturan minum obat diperketat sehingga diharapkan angka kesembuhan dapat ditingkatkan, sesuai pedoman pemakaian obat yang dianjurkan WHO. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap sekitar 292 ribu sediaan dahak dan pengobatan terhadap sekitar 26,6 ribu penderita (Tabel XVIII-3). Jumlah penderita yang diobati ini lebih kecil dari tahun 1993/94 yang XVIII/25 berjumlah sekitar 68 ribu penderita. Penurunan ini antara lain disebabkan karena cara diagnosa yang lebih baik dan dengan memperhitungkan kemampuan sarana, tenaga pelaksana, kelengkapan alat, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap keteraturan minum obat sehingga dapat menghasilkan tingkat kesembuhan di atas 85 persen. Upaya pemberantasan TB-Paru diintegrasikan dengan upaya yang dilaksanakan di balai pengobatan penyakit paru (BP4) dan rumah sakit. Selain itu kerjasama dengan perkumpulan pemberantasan tuberkulosa Indonesia (PPTI) terus ditingkatkan. Penyakit menular lainnya yang penting ditanggulangi adalah infeksi saluran nafas akut (ISPA), yang mencakup saluran nafas bagian atas dan bagian bawah. Penyakit ini merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian bayi dan anak. Kegiatannya meliputi penemuan dan pengobatan penderita yang dilaksanakan melalui puskesmas dan jaringannya. Untuk penanganan kasus ISPA yang berat, dilaksanakan kegiatan rujukan ke rumah sakit. Jumlah penderita yang ditemukan dan diobati pada tahun 1994/95 sekitar 572.477 ribu orang. Seperti halnya penyakit ISPA, penyakit diare merupakan penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi dan anak. Penyebab penyakit diare berkaitan erat dengan keadaan kesehatan lingkungan yang masih rendah dan perilaku masyarakat yang kurang mendukung hidup sehat. Kegiatan pemberantasan penyakit ini meliputi penyuluhan kesehatan dan penemuan serta pengobatan penderita. Penyuluhan dilaksanakan terutama melalui puskesmas dan jaringannya serta posyandu dengan penekanan pada upaya pencegahan seperti membiasakan minum air yang telah dimasak, cara menggunakan oralit, cara membuat larutan gula garam sebagai pengganti oralit, dan cara memelihara lingkungan yang sehat. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penemuan dan pengobatan XVIII/26 terhadap sekitar 2,6 juta penderita diare. Jumlah ini lebih rendah dari tahun 1993/94 yaitu sekitar 4,1 juta orang penderita. Menurunnya jumlah penderita yang ditemukan dan diobati, antara lain berkaitan dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit ini. Penyakit menular yang menunjukkan kecenderungan meluas penyebarannya adalah penyakit AIDS. Sejak ditemukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1987 sampai dengan 31 Maret 1995, tercatat sebanyak 218 orang penderita terinfeksi virus penyebab penyakit ini (virus HIV) dan 70, orang menderita AIDS di Indonesia. Kegiatan penanggulangan AIDS diintegrasikan dengan pemberantasan penyakit kelamin. Kegiatannya antara lain meliputi sero survai AIDS dan sifilis serta pemeriksaan (skrining) donor darah. Di samping itu kegiatan penyuluhan tentang upaya pencegahan AIDS melalui media massa terus diintensifkan. Pada tahun 1994/95, kegiatan sero survai AIDS dan sifilis mencakup 52.825 sampel. Selain itu telah dilaksanakan pula pemeriksaaan (skrining) terhadap 703.369 kolf darah yang akan ditransfusikan. Dengan demikian darah yang akan ditransfusikan dijaga agar terbebas dari virus HIV. Kegiatan pemeriksaan darah ini meningkat dari tahun 1993/94 yaitu sebanyak 669.951 kolf darah. Dalam upaya penanggulangan AIDS secara lintas sektor, telah dibentuk komisi penanggulangan AIDS yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun 1994. Atas dasar Keppres tersebut telah disusun Program Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Repelita VI, yang akan merupakan landasan/pedoman bagi semua instansi pemerintah maupun swasta serta organisasi masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Kegiatan imunisasi merupakan kegiatan penting dibidang pencegahan dan pemberantasan penyakit dalam upaya mempercepat XVIII/27 penurunan angka kesakitan, kematian bayi dan anak. Sasaran cakupan imunisasi dasar (BCG, DPT, polio, campak) secara internasional telah ditetapkan pada konferensi tingkat tinggi anak sedunia (World Summit for Children). Pada konferensi tersebut ditetapkan bahwa sasaran imunisasi dasar minimal harus mencakup 80 persen dari sasaran, dikenal dengan sasaran Universal Child Immunization (UCI). Pada tahun 1994/95 rata-rata pencapaian sasaran nasional kegiatan imunisasi campak lengkap pada bayi sebesar 92 persen. Hal ini berarti secara nasional, sasaran UCI telah dilampaui. Untuk meningkatkan cakupan dan mutu kegiatan imunisasi, maka dukungan peralatan, vaksin, pelatihan petugas dan kegiatan operasional terus ditingkatkan. Upaya pemberantasan penyakit menular lainnya seperti penyakit kaki gajah (filariasis), demam keong (schistosomiasis), gila anjing (rabies), pes, kusta, patek (frambusia) dilanjutkan dan ditingkatkan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengobatan masal terhadap sekitar 190 ribu penderita kaki gajah. Di Lembah Lindu dan Napu, propinsi Sulawesi Tenggara telah dilaksanakan pengobatan masal terhadap 2.075 penderita demam keong, selama 6 bulan dengan praziquantel. Selain itu dilaksanakan pula kegiatan penyuluhan, penyediaan sarana air bersih dan jamban serta pemberantasan fokusfokus keong penular. Kegiatan penanggulangan rabies dilaksanakan melalui vaksinasi hewan sebanyak 716.940 ekor dan vaksinasi pada manusia sebanyak 7.059 orang. Pemberantasan penyakit rabies, dilaksanakan secara terpadu melibatkan unsur Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian Ditjen. Peternakan. Pemberantasan penyakit pes hanya dilaksanakan di daerah fokus pes yaitu di kabupaten-kabupaten Boyolali, Pasuruan dan Sleman. Kegiatannya meliputi pengumpulan sediaan (spesimen) dan pengobatan terhadap tersangka. XVIII/28 5) Program Perbaikan Gizi Tujuan dari program perbaikan gizi adalah meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan keadaan gizi masyarakat. Kegiatan utama program ini meliputi penyuluhan gizi masyarakat, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), upaya perbaikan gizi institusi dan peningkatan penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Penyuluhan gizi masyarakat bertujuan untuk memasyarakatkan pengetahuan gizi secara luas, guna menanamkan sikap dan perilaku yang mendukung kebiasaan hidup sehat dengan makanan yang bermutu gizi seimbang bagi masyarakat. Untuk melaksanakan penyuluhan gizi telah disusun pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Pedoman ini merupakan pegangan bagi petugas kesehatan dan petugas sektor terkait lainnya serta masyarakat luas tentang perilaku konsumsi makanan yang sesuai dengan kaidah umum gizi. Untuk menyebarluaskan informasi tentang PUGS, dalam tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan untuk pelatih sebanyak 52 orang. Selain itu telah dilaksanakan pula pelatihan tentang peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) secara eksklusif terhadap 268 orang petugas. Kegiatan lainnya berupa pelatihan bagi petugas gizi di daerah termasuk organisasi wanita dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Materi pelatihan antara lain meliputi: PUGS, hidangan bergizi spesifik daerah, peningkatan penggunaan ASI, teknologi tepat guna pengolahan pangan dan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) gizi. Untuk mendukung kegiatan penyuluhan gizi telah dilaksanakan pengadaan dan distribusi materi penyuluhan gizi berupa media cetak XVIII/29 (leaflet, booklet, poster) maupun media elektronik (video, filler, radiospot,.kaset dan sebagainya). Penyebarluasan informasi dilaksanakan melalui penayangan di TVRI sebanyak 46 kali dan drama seri di RRI dan kuis sebanyak 46 kali. Di samping itu telah pula dikembangkan kegiatan pemasaran sosial tentang pemanfaatan garam beriodium, peningkatan konsumsi makanan sumber vitamin A dan zat besi serta peningkatan penggunaan ASI secara eksklusif. Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) merupakan gerakan sadar gizi masyarakat, bertujuan memacu upaya masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan gizinya, melalui pemanfaatan aneka ragam pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga dan lingkungan masyarakat setempat. Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi masyarakat perdesaan, pelayanan gizi di posyandu dan peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan. Penyuluhan gizi masyarakat pedesaan dilaksanakan di posyandu yang tersebar di seluruh desa. Pada tahun 1994/95 jumlah posyandu yang melaksanakan penyuluhan gizi adalah sebanyak 250.262 posyandu, meningkat dari keadaan tahun 1993/94 yaitu sebanyak 244.843 posyandu. Sasaran penyuluhan adalah ibu balita, ibu hamil dan ibu menyusui serta wanita usia subur yang datang ke posyandu. Pelaksana penyuluhan adalah para kader di bawah bimbingan petugas kesehatan dan petugas sektor lainnya seperti petugas pertanian, BKKBN, agama, pamong desa dan penggerak PKK. Selain di posyandu, penyuluhan gizi juga dilaksanakan di luar posyandu dengan menggunakan pendekatan kelompok antara lain melalui kelompok pengajian, arisan, kelompok wanita tani, PKK dan kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (Kelompencapir). XVIII/30 Pelayanan gizi di posyandu, terutama ditujukan kepada kelompok masyarakat yang rawan gizi yaitu wanita pranikah, ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita. Posyandu merupakan ujung tombak dalam penanggulangan masalah gizi kurang seperti kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kurang iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB) dan kurang energi protein (KEP). Kegiatan pemantauan pelayanan gizi di posyandu antara lain meliputi pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemberian paket pelayanan gizi, pemberian makanan tambahan dan pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, dilaksanakan melalui penimbangan berat badan bayi dan balita secara teratur sekali sebulan, yang hasilnya dapat diamati melalui kartu menuju sehat (KMS). Pemberian paket pertolongan gizi antara lain berupa pemberian kapsul iodium terhadap sekitar 12,4 juta penduduk terutama yang bertempat tinggal di desa endemik berat dan sedang. Selain itu dilaksanakan pula penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi garam beriodium. Dalam upaya menanggulangi masalah AGB pada ibu hamil telah didistribusikan tablet besi kepada sekitar 2,4 juta ibu hamil. Prioritas pemberian tablet besi diberikan terhadap ibu hamil yang mempunyai risiko tinggi di desa tertinggal. Selain itu telah dilaksanakan pula kegiatan pemasaran sosial untuk meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber zat besi. Walaupun masalah KVA yang diukur dengan besarnya prevalensi Xerophthalmia sudah sangat rendah, namun prevalensi KVA diukur dari kadar serum vitamin A yang rendah masih memprihatinkan yang akan rnengancam keberhasilan penanggulangan Xerophthalmia. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut, masih diperlukan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi terhadap anak balita dan ibu nifas. Pada XVIII/31 tahun 1994/95 telah didistribusikan kapsul vitamin A kepada sekitar 11,8 juta anak balita. Pemberian makanan tambahan untuk anak balita yang menderita KEP, kegiatannya dikaitkan dengan pemanfaatan lahan pekarangan melalui program diversifikasi pangan dan gizi dari sektor pertanian. Kegiatan pemberian makanan tambahan diupayakan menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat setempat. Kegiatan utama lainnya dari program perbaikan gizi adalah usaha perbaikan gizi institusi (UPGI). Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keadaan gizi kelompok masyarakat yang berada di suatu lembaga atau institusi tertentu. Institusi yang dimaksud adalah yang mengelola dan melaksanakan pelayanan gizi bagi warganya. Perhatian diberikan terutama kepada lembaga pendidikan, khususnya SD termasuk pesantren di daerah miskin, dan panti-panti sosial. Kegiatan UPGI antara lain meliputi pembinaan teknis, pelatihan, penyuluhan dan intervensi gizi. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS) di 891 buah sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, di semua propinsi, kecuali DKI Jakarta yang mencakup sekitar 42,3 ribu anak. PMT-AS diselenggarakan oleh petugas kesehatan dan pendidikan bekerja sama dengan orang tua murid dan masyarakat. Dalam paket PMT-AS, selain pengadaan bahan makanan diberikan pula obat cacing dan tablet besi. H a s i l evaluasi sementara dari PMT-AS antara lain menyimpulkan bahwa keadaan gizi anak sekolah telah makin baik yang ditunjukkan oleh meningkatnya berat badan dan tinggi badan anak, menurunnya prevalensi cacingan dari 67 persen menjadi 40 persen, dan meningkatnya prestasi belajar. XVIII/32 Pelatihan UPGI telah diikuti oleh 60 orang pengelola gizi perusahaan, 30 orang petugas pusat latihan olah raga, 120 orang petugas rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, 60 orang petugas panti sosial, 45 orang petugas jasa boga dan 60 orang petugas pesantren. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan UPGI, telah disusun berbagai buku pedoman dan materi gizi lainnya. Kegiatan program perbaikan gizi .lainnya adalah sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Di sektor kesehatan kegiatan SKPG meliputi pemantauan status gizi (PSG) balita sekali setahun, pengukuran tinggi badan anak baru sekolah (TBABS), pemantauan konsumsi masyarakat tingkat kecamatan dan jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG). Kegiatan PSG di posyandu telah diujicobakan pada tahun 1992/93 di 6 propinsi yaitu Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Uji coba tersebut menunjukkan bahwa PSG di posyandu dapat memberikan gambaran keadaan gizi anak balita di tingkat kecamatan. Pada tahun 1994/95 PSG di Posyandu telah dilaksanakan di seluruh kecamatan di 27 propinsi. Salah satu cara untuk mengetahui perkembangan dan pertumbuhan fisik penduduk adalah melalui pengukuran TBABS. Pada tahun 1994/95 pengukuran TBABS telah dilaksanakan di 18.224 sekolah dasar dan madrasah di seluruh Indonesia. Sebanyak 77,5 persen anak masuk sekolah berumur 6-7 tahun. Secara umum tinggi badan rata-rata anak laki-laki adalah 114,9 cm dan perempuan 114,0 cm. Tinggi badan rata-rata anak laki-laki baru masuk sekolah mencapai 91 persen dan anak perempuan sebesar 90,6 persen dari masing-masing bahan rujukan NCHS-WHO. Pada umumnya anak yang tinggal di perkotaan mempunyai tinggi badan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah perdesaan. Prevalensi gangguan pertumbuhan XVIII//33 pada anak sekolah adalah 18 persen di perkotaan dan 32 persen di perdesaan. 6) Program Pengawasan Obat dan Makanan Program ini bertujuan: pertama, tersedianya obat dan alat kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang didukung oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan mandiri; kedua, terlindungnya masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya; ketiga, terlindungnya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotik, dan zat adiktif, serta bahan berbahaya lainnya; dan keempat, meningkatnya penggunaan obat tradisional yang terbukti bermanfaat untuk pelayanan kesehatan sejalan dengan program pengembangan pengobatan tradisional. Dalam upaya menyediakan obat yang makin merata, bermutu dan terjamin khasiatnya serta terjangkau harganya oleh masyarakat luas pemanfaatan obat generik dilanjutkan dan ditingkatkan. Pada tahun 1994/95 penjualan obat generik pada sektor swasta telah meningkat menjadi 70 persen dari total penjualan obat generik secara nasional. Nilai penjualan obat generik pada tahun 1994/95 mencapai sekitar Rp 81,12 milyar, jauh meningkat bila dibandingkan nilai pada tahun 1993/94 sekitar Rp 63,9 milyar. Guna meningkatkan kemampuan pengelolaan obat di Dati II dan puskesmas telah dilaksanakan peningkatan sarana, prasarana dan sumber daya manusianya. Pada tahun 1994/95 telah dibangun 1 gudang farmasi di Kodya Denpasar. Di camping itu telah dilaksanakan pelatihan tenaga pengelola obat di Gudang Farmasi Kabupaten (GFK) dan puskesmas sebanyak 1.049 orang. XVIII//34 Untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan dan obat tradisional yang tidak memenuhi syarat kesehatan maka dilakukan pengendalian mutu secara menyeluruh. Pengendalian mutu tersebut mencakup cara pembuatan yang baik, penilaian produk sebelum dan sesudah beredar, penetapan standar mutu, pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. Pada tahun 1994/95 semua obat yang diproduksi di Indonesia hams memenuhi persyaratan cara-cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Penilaian data teknis pendaftaran telah dilakukan terhadap 1482 jenis obat, 4.384 jenis makanan, 1.282 jenis alat kesehatan dan 1.272 jenis obat tradisional. Sebagai standar dalam upaya pengendalian mutu telah disusun buku persyaratan mutu mencakup 959 monografi obat, 200 monografi bahan makanan tambahan, 208 monografi kosmetika dan 60 monografi obat tradisional. Pengujian laboratorium terhadap obat, makanan, bahan dan alat kesehatan dilakukan di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) di 27 propinsi dan Pusat Pengawasan Obat dan Makanan (PPOM). Pengujian itu dilakukan untuk memastikan apakah produk yang beredar telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Bagi produk yang sampelnya tidak memenuhi persyaratan, dilakukan penarikan kembali dari peredaran untuk selanjutnya dimusnahkan. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan pengujian terhadap 15.881 sampel obat, 1.167 sampel makanan dan minuman, 6.431 sampel kosmetika dan alat kesehatan serta 5.579 sampel obat tradisional. Kegiatan pengujian ini meningkat dari tahun 1993/94 yang baru mencakup 1.710 sampel obat, 2.600 sampel kosmetika dan alat kesehatan serta 250 sampel obat tradisional. XVIII//35 Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi dilakukan oleh tenaga pemeriksa untuk memastikan apakah ketentuan yang berlaku dilaksanakan secara tertib. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemeriksaan terhadap 3.394 sarana poduksi dan distribusi obat, 1.032 sarana produksi dan distribusi kosmetika dan alat kesehatan serta 653 sarana produksi dan distribusi obat tradisional. Atas dasar pemeriksaan tersebut telah dilaksanakan penyidikan 444 kasus dibidang obat dan makanan, dan 13 kasus diantaranya telah diputuskan oleh pengadilan. Jumlah kasus yang disidik meningkat dari tahun 1993/94 yang mencakup 312 kasus. Pembinaan dan pengembangan dimensi ekonomi industri farmasi terus ditingkatkan untuk menunjang pembangunan sektor ekonomi. Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 224 industri farmasi dan 1.355 pedagang besar farmasi (PBF). Nilai ekspor obat telah mencapai lebih dari 43 juta dollar AS. Untuk memperkuat struktur industri farmasi dalam negeri, telah dilaksanakan produksi bahan baku obat di dalam negeri dengan ilai produksi sekitar 10,1 persen dari nilai kebutuhan bahan baku nasional. 7) Program Pembinaan Pengobatan Tradisional Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, baik secara tersendiri atau terpadu dalam pelayanan kesehatan paripurna guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Program ini baru dilaksanakan pada Repelita VI, dengan demikian kegiatannya masih terbatas. Pada tahun 1994/95 telah dibentuk satu sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional (Sentra P3T) di Surabaya. Kegiatannya antara lain mencakup renovasi gedung, pengadaan peralatan, pelatihan tenaga dan pengkajian metode pengobatan tradisional. Dalam rangka penyusunan pola pembinaan XVIII//36 pengobatan tradisional, telah dilaksanakan pertemuan konsultasi pengelola program di 27 propinsi dan pembentukan forum komunikasi lintas program dan lintas sektor baik di tingkat pusat maupun di propinsi. Untuk mengetahui potensi tenaga pengobat tradisional, telah dilaksanakan inventarisasi tenaga pengobat tradisional di 3.625 wilayah kerja puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui inventarisasi tersebut, telah tercatat 184.818 tenaga pengobat tradisional. Selanjutnya kepada tenaga tersebut secara bertahap dilaksanakan pembinaan langsung melalui serangkaian sarasehan, yang jumlahnya telah mencakup 4.500 orang tenaga pengobat tradisional di 300 kecamatan dari 300 daerah tingkat dua (Dati II). Kegiatan lainnya adalah pelaksanaan penggalian dan dokumentasi pengobatan tradisional warisan pusaka Nusantara yang telah dilaksanakan di 3 propinsi yaitu Irian Jaya, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Dalam upaya meningkatkan kemandirian hidup sehat, telah dilaksanakan pelatihan akupresur bagi 80 orang kader di propinsi Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Dalam program ini, kegiatan penyebarluasan informasi mempunyai peranan penting, dan untuk itu telah diadakan dan disebarluaskan buku pedoman petugas "Pembinaan Pengobatan Tradisional" dan buku "Peningkatan Peran Pengobat Tradisional dalam Pembangunan Kesehatan" masing-masing sebanyak 2.500 buah buku. b. Program Penunljang 1) Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih Di sektor kesehatan program ini bertujuan meningkatkan pengamanan kualitas air bagi berbagai kebutuhan dan kehidupan penduduk, baik yang berada di perdesaan maupun di perkotaan . XVIII//37 Kegiatan pokok dari program ini meliputi pembakuan dan pengaturan kualitas air, pengawasan kualitas air, perbaikan kualitas air, dan pembinaan pemakai air serta kegiatan pendukung. Kegiatan pengawasan kualitas air bertujuan untuk mengetahui gambaran keadaan sanitasi sarana dan kualitas air sebagai data dasar untuk rekomendasi dalam pengamanan kualitas air. Hasil pemeriksaan sanitasi pada tahun 1994/95 menunjukkan bahwa sarana air bersih dengan tingkat resiko pencemaran amat tinggi adalah sebesar 8,2 persen, tinggi 22,8 persen, sedang 37,2 persen dan rendah 31,7 persen. Untuk mengetahui kualitas air secara sederhana yang mencakup aspek fisik dan kimia di lapangan telah digunakan alat uji kualitas air sederhana. Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap dilakukan di laboratorium pemeriksaan kualitas air di Dati II, di Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi dan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL). Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengadaan alat pemeriksaan kualitas bakteriologis air (Paket A) sebanyak 86 paket dan alat uji kualitas air untuk puskesmas di daerah terpencil sebanyak 116 paket. Untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan kualitas air telah dilatih sebanyak 240 orang tenaga. Dari hasil analisis bakteriologis terhadap sejumlah sampel air diketemukan bahwa air yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 53,5 persen dan kualitas bakteriologis air minum yang memenuhi syarat sebesar 61,7 persen. Pembinaan pemakai air bertujuan untuk meningkatkan pengertian dan kesadaran serta kemampuan masyarakat untuk melakukan upaya pengawasan kualitas air. Kegiatannya meliputi penyuluhan penyehatan air, pembinaan kelompok pemakai air dan pembentukan Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL). Pada tahun 1994/95 penyuluhan penyehatan air telah dilaksanakan di 697 desa, sesuai dengan jumlah desa yang melaksanakan perbaikan kualitas air. Pembentukan kelompok pemakai air (Pokmair) merupakan wadah peran XVIII//38 serta masyarakat dalam pembangunan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan sarana penyediaan air bersih. Pada tahun 1994/95 telah dibentuk Pokmair di 697 desa, sedangkan DPKL sebanyak 149 desa. 2) Program Penyehatan Lingkungan Permukiman Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya kesehatan menuju derajat kesehatan keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Kegiatannya meliputi penetapan standar kesehatan lingkungan, pemantauan dan pengendalian kualitas lingkungan, pemeliharaan kualitas lingkungan, dan peningkatan sarana fasilitas Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan (BTKL). Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengawasan kualitas lingkungan mencakup 17.098 sarana di 138 kabupaten. Sarana yang dimaksud antara lain meliputi tempat pengelolaan makanan, pengelolaan pestisida, tempat pembuangan sampah, sarana angkutan umum dan kawasan industri. Pembinaan kesehatan lingkungan dilaksanakan melalui penyuluhan yang telah dilaksanakan di 990 lokasi antara lain mencakup daerah kumuh perkotaan, daerah transmigrasi, masyarakat terasing, daerah nelayan, desa pengrajin makanan. Selain itu telah dilaksanakan pula "Gerakan Jumat Bersih" yang merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan lingkungan bersih dan sehat yang diprakarsai oleh tuan guru dan tokoh masyarakat di Nusa Tenggara Barat. “Gerakan jumat bersih” ini menyebar ke berbagai daerah di Indonesia setelah dicanangkan oleh Bapak Presiden pada tahun 1994 dengan pernyataan "hidup bersih adalah ajaran semua agama dan merupakan cermin budaya bangsa". XVIII//39 Pemantauan dan pengendalian kualitas lingkungan telah dilaksanakan di 635 lokasi berupa pemantauan pemaparan, pengendalian akibat pencemaran pestisida, pengawasan makanan di rumah sakit dan daerah industri. Selain itu telah dilaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di 5 propinsi mencakup 17 kabupaten. Upaya peningkatan BTKL dilaksanakan antara lain dengan melengkapi peralatan dan pelatihan petugas sehingga balai tersebut dapat meningkatkan fungsinya. Pada tahun 1994/95 jumlah sampel yang diperiksa di BTKL sebanyak 2.500 sampel. 3) Program Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan Program ini terdiri atas dua komponen yaitu pendidikan kedinasan dan pelatihan tenaga kesehatan. Tujuan dari pendidikan kedinasan adalah menyediakan tenaga kesehatan dalam jumlah, jenis dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan program kesehatan. Sedangkan pelatihan tenaga kesehatan bertujuan meningkatkan mutu sumber daya dibidang kesehatan agar dapat meningkatkan hasil kerjanya dalam menunjang mutu pelayanan kesehatan, memperkuat tim kerja serta menunjang pengembangan karier. Kegiatan pokok pendidikan kedinasan antara lain meliputi penyelenggaraan pendidikan kedinasan bidang kesehatan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, peningkatan kesempatan belajar (karya siswa), dan peningkatan mutu pendidikan kedinasan. Pada tahun 1994/95 dilaksanakan pendidikan tenaga bidan melalui program A (lulusan SPK ditambah pendidikan bidan 1 tahun) sebanyak 8.400 orang, program B (pendidikan guru bidan yaitu lulusan Akademi Perawat ditambah pendidikan 1 tahun) sebanyak 200 orang, dan program C (lulusan SLTP dididik pendidikan bidan 3 tahun) sebanyak 6.514 orang. Untuk meningkatkan mutu pendidikan kedinasan, pada tahun 1994/95 telah diselenggarakan pelatihan guru, termasuk guru XVIII/40 bidan dan instruktur klinis sebanyak 2.627 orang, pendidikan AKTA III dan IV sebanyak 240 orang, serta penyediaan peralatan pendidikan bidan sebanyak 306 set, dan peralatan pendidikan lainnya sebanyak 38 set. Di samping pendidikan tenaga bidan dan perawat, juga dididik berbagai tenaga kesehatan lainnya pada tingkat D-I dan D-III untuk jurusan gizi, sanitasi, fisioterapi, radiodiagnostik dan radioterapi serta teknik elektromedik. Kegiatan pokok pelatihan tenaga kesehatan antara lain meliputi pengembangan institusi pendidikan dan pelatihan (diktat), pengembangan sumber daya, pengembangan metodologi diktat dan pengembangan sistem diklat. Dalam rangka pengembangan institusi diktat pada tahun 1994/95 antara lain dibangun dua balai pelatihan kesehatan (Bapelkes) yaitu di Dili dan Padang. Selain itu telah dibuat tiga rencana induk pembangunan Bapelkes yaitu di Pakanbaru, Jambi, dan Palangkaraya. Untuk melengkapi fasilitas Bapelkes yang telah ada diadakan 6 paket peralatan pendidikan bagi Bapelkes Gombong, Padang, Pontianak, Pakanbaru, Palangkaraya, dan Ambon. Bapelkes ini berfungsi sebagai lembaga penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang dilatih baik di pusat maupun di daerah pada tahun 1994/95 adalah sebanyak 48.654 orang terdiri dari pelatihan prajabatan sebanyak 19.943 orang, pelatihan penjenjangan 528 orang, pelatihan teknis fungsional 4.434 orang dan pelatihan teknis manajemen sebanyak 23.749 orang. Jumlah tenaga yang dilatih ini meningkat dari tahun 1993/94 sebanyak 23.698 orang. Kegiatan pengembangan metodologi dan sistem diklat antara lain meliputi penyusunan modul pelatihan sebanyak 6 paket, penyusunan konsep laboratorium kelas dan lapangan urituk 4 Bapelkes, penyusunan pedoman akreditasi pelatihan dan pelaksanaan diktat kalakarya (in house training) di 3 Bapelkes. Kegiatan lainnya berupa pengembangan kemampuan widyaiswara yang mencakup pendidikan S I dan S2 sebanyak 13 orang. XVIII/41 Untuk lebih memeratakan penyebaran tenaga kesehatan, pada tahun 1994/95 telah ditempatkan sekitar 20.054 orang tenaga kesehatan, yang terdiri dari 3.316 orang dokter PTT, 896 orang dokter gigi PTT, 12.241 orang tenaga paramedis perawatan termasuk di dalamnya 9.464 orang bidan PTT, 1.531 paramedis non perawatan, dan 2.070 tenaga sarjana dan diploma bidang kesehatan (Tabel XVIII-4). 4) Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Program ini bertujuan untuk menunjang pembangunan kesehatan secara optimal khususnya yang menyangkut peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu kedokteran bagi kepentingan masyarakat banyak. Di samping itu, program ini ditujukan untuk memantapkan dan mengembangkan kemampuan institusional penelitian dan pengembangan kesehatan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan 82 kegiatan penelitian yang meliputi penelitian di bidang pelayanan kesehatan, penyakit menular dan tidak menular, ekologi kesehatan, farmasi, gizi, dan pengkajian sumber daya kesehatan. Salah satu kegiatan penelitian yang penting adalah survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1994. Untuk meningkatkan jaringan kerjasama penelitian antar instansi di bidang kesehatan, telah dilaksanakan kerjasama ilmiah baik ditingkat nasional maupun internasional, dengan melengkapi jaringan iptek kesehatan dengan jaringan iptek Dewan Riset Nasional (DRN), serta publikasi hasil-hasil penelitian. 5) Program Pengembangan Informasi Kesehatan Program ini bertujuan untuk meningkatkan, mengembangkan dan XVIII/42 TABEL XVIII — IA P E R K E M B A N G A N PELAKSANAAN P E M B A N G U N A N PUSKESMAS 1969/10,1989/90 - 1993/94, 1994/95 Awal No. Jenis Kegiatan 1. Pembangunan Puskesmas Satuan PJP—I (1969/70) unit - 2. Pembangunan Puskesmas Pembantu gedung - 3. Pembangunan Rumah Dokter runiah - 4. Perbaikan Puskesmas gedung - 5. Perbaikan Puskesmas Pembantu gedung - unit - 6. Pengadaan Puskesmas Keliling 1) Angka tahunan 1) Repelita V 1989/90 100 976 1990/91 1991)92 1.805 203 Repelita VI 1992/93 1993/94 1994/95 169 166 140 30 1.492 1545 1387 500 393 423 300 230 606 844 2390 1.943 1.575 1.168 601 1.096 5.179 3.088 2.900 2.931 300 599 595 578 720 528 XVIII/43 TABEL XVIII - 1B XVIII/44 P E R K E M B A N G A N J U M L A H P E M B A N G U N A N PUSKESMAS 1968, 1989/90 - 1993/94,1994/95 No. Jenis Kegiatan 1. PembangunanPuskesmas 2. Pembangunan Puskesmas Pembantu Satuan unit gedung 3. Pembangunan Rumah Dokter rumah . Perbaikan Puskesmas gedung 5. PerbaikanPuskesmas Pembantu gedung 6. Pengadaan Puskesmas Keliling unit 1) Angka kumulatif 2) Angka diperbaiki 1) Repelita V Awal PJP-I (1968) 1989/90 1990/91 1991/92 Repelita VI 1992/93 1993/94 1.227 5.742 6.021 6.390 6.588 6.954 - 18.389 20.124 21.416 18.816 19.977 - 3.264 2) 3.564 1994/95 6.984 20.477 2) 2.044 2.448 2.841 3.794 4.957 5.801 8.191 13.038 14.613 15.781 6.324 7.420 12.599 15.639 18339 21.470 3.821 4.420 5.051 5.285 6.024 6.552 GRAFIK XVIII - 1 PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN PUSKESMAS 1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95 (rlbu unit) 1988 Awal PJP I 1989/90 Pembangunan Puskesmas Perbaikan Puskesmas 1990/91 1991/92 1992/99 Pemb. Puskesmas Pembantu Perbaikan Puskesmas Pembantu 1993/94 1994/95 Pembangunan Rumah Dokter XVIII/45 GRAFIK XVIII - 2 PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS) 1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95 XVIII/47 TABEL XVIII - 4 PERKEMBANGAN JUM LAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN ¹) 1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95 . Awal PJP-I (1968) Jenis Tenaga 1. Dokter 5.000 2. Dokter Gigi 2) 3. Perawat ) 4. Bidan ) Perawat Kesehatan ) Repelita V 1989/90 1990/91 1991/92 Repelita VI 1992/93 1993/94 1994/95 1.632 1.096 924 2.604 1.700 3.316 346 263 622 520 336 896 10.840 11.003 7.090 9.655 4.490 12.241 3.767 3.863 XVIII/49 5. Paramedis Non Perawat dan Pekarya Kesehatan 2.085 5.145 4.983 3.199 1.904 3.803 1.531 6. Tenaga akademis bidang kesehatan 1.182 1.251 1.605 1.560 1.367 605 2.070 15.897 19.214 18.950 13.395 16.050 10.934 20.054 Jumlah 1) Angka kumulatif untuk tahun 1968, yang lain angka tahunan 2) Mulai tahun 1976/77 Perawat dan Bidan ditingkatkan menjadi tenaga Perawat Kesehatan memantapkan sistem informasi kesehatan agar mampu memberikan data yang tepat waktu dan akurat bagi perencanaan dan pelaksanaan pelayanan kesehatan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan kegiatan penyusunan 302 profit kesehatan kabupaten/kotamadya, 27 profil kesehatan propinsi, dan 27 informasi tenaga kesehatan. Untuk meningkatkan kemampuan tenaga pengelola data dan informasi telah dilaksanakan kegiatan pelatihan bagi 20 orang tenaga statistik kesehatan, 20 orang pengolahan data kesehatan, 23 orang calon pelatih untuk menyusun profit kesehatan, dan pendidikan S2 untuk 5 orang, serta pendidikan S I dan D-III di bidang informasi dan statistik. Selain itu untuk menunjang pengembangan sistem informasi dilaksanakan pula pengadaan peralatan komputer sebanyak 206 set dan perangkat lunak sebanyak 6 paket. Berbagai upaya tersebut telah menambah ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu, sehingga kemampuan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan kesehatan pada berbagai tingkat administrasi makin meningkat. C. KESEJAHTERAAN SOSIAL 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial dalam Repelita VI adalah terlayaninya 225 ribu orang lanjut usia; terlayani dan terehabilitasinya 230 ribu orang penyandang cacat; terbinanya 450 ribu orang anak yang terlantar, 23 ribu karang taruna, 4.100 organisasi sosial, 62 ribu tenaga kesejahteraan sosial, 48,3 ribu kepala keluarga (KK) masyarakat terasing, dan 202,3 ribu KK fakir miskin. Di samping itu, terlayani dan terehabilitasinya 15 ribu orang anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika serta 31 ribu orang XVIII/50 tunasosial. Meningkatnya jumlah dan kualitas tempat penitipan anak dan balita yang ibunya bekerja juga merupakan sasaran yang akan diupayakan. Sasaran lainnya adalah meningkatnya nilai-nilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan. Untuk mencapai sasaran tersebut, ditempuh berbagai kebijaksanaan, antara lain meningkatkan penyuluhan dan pembimbingan sosial, meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial anak terlantar, meningkatkan pembinaan kesejahteraan sosial lanjut usia, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial penyandang cacat, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, meningkatkan upaya penanggulangan bencana, melakukan pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing dan terpencil, dan meningkatkan peranan organisasi sosial serta pelayanan dan rehabilitasi sosial tunasosial. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas digariskan tiga program pokok yang meliputi program pembinaan kesejahteraan sosial; program pelayanan dan rehabilitasi sosial; dan program peningkatan partisipasi sosial masyarakat. Ketiga program pokok tersebut didukung oleh beberapa program penunjang yang dilaksanakan secara terpadu dengan program pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan masyarakat. 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI Pembangunan kesejahteraan sosial pada tahun pertama Repelita VI (1994/95), berupaya untuk meningkatkan mutu, profesionalitas dan cakupan pelayanan sosial, serta meningkatkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dengan menumbuhkan iklim XVIII/51 yang mendorong peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan sosial. a. Program Pokok 1) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Program ini bertujuan untuk .meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial, dan mewujudkan kondisi sosial masyarakat yang dinamis untuk mendukung berkembangnya kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat. Kegiatan pokok program ini meliputi pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing, pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin, pembinaan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan, kepahlawanan, serta pembinaan kesejahteraan sosial para lanjut usia, dan pembinaan kesejahteraan sosial anak yang terlantar. a) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing Pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta taraf kehidupan masyarakat terasing kearah yang lebih maju seperti yang telah dimiliki oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya. Kegiatan yang dilaksanakan berupa penyuluhan dan bimbingan sosial, penataan dan pembangunan permukiman yang dilengkapi dengan penyediaan lahan, jaminan hidup, pemberian bimbingan keterampilan seperti pertanian dan peternakan termasuk pemberian bermacam bibit. Pembinaan bagi mereka dilakukan secara terpadu oleh berbagai sektor pembangunan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, agama, pertanian, kehutanan, transmigrasi, dan terutama dengan pemerintah daerah. Di samping itu organisasi sosial (orsos), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi keagamaan juga berperan serta dalam pembinaan XVIII/52 kesejahteraan sosial masyarakat terasing. Pembinaan masyarakat terasing merupakan bagian yang penting pula dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pada tahun 1994/95 masyarakat terasing yang dibina seluruhnya secara kumulatif berjumlah 6.500 KK, termasuk tambahan baru dari tahun sebelumnya sebanyak 1.214 KK, atau meningkat 23 persen dari tahun 1993/94 (Tabel XVIII-5). Beberapa contoh pembinaan yang berhasil dapat dikemukakan disini. Pembinaan masyarakat terasing di permukiman Blang Tripa Propinsi D.I Aceh telah menghasilkan padi dan palawija melalui persawahan dengan sistem irigasi. Permukiman Bagandah Propinsi Kalimantan Selatan merupakan percontohan di bidang pertanian pangan yang tidak saja dapat memenuhi kebutuhan desa sendiri, tetapi untuk desa lain. Permukiman Petanggis Propinsi Kalimantan Timur berhasil dalam program perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa sawit. Permukiman Wamana Barru di Propinsi Maluku bekerjasama dengan Yayasan Papeda telah menghasilkan minyak kayu putih dan tanaman pangan. Permukiman Kanggime di Propinsi Irian Jaya bekerjasama dengan LSM berhasil mengembangkan ternak sapi. b) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin Meskipun jumlah penduduk miskin sudah dapat dikurangi dengan nyata, namun pada awal Repelita VI masih terdapat sekitar 25,9 juta orang miskin, diantaranya ada yang sangat miskin, sehingga memerlukan perhatian khusus antara lain melalui pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin. Upaya pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin bertujuan untuk membantu meningkatkan taraf hidup melalui penyuluhan dan bimbingan sosial, disertai dengan pelatihan keterampilan. Dalam pelaksanaannya, di masing-masing XVIII/53 desa disantun rata-rata 3-5 kelompok usaha bersama (KUB) yang masing-masing kelompok terdiri dari 10 kepala keluarga. Upaya tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan fakir miskin untuk memahami sebab-sebab kemiskinan mereka serta cara-cara penanggulangannya. Untuk lebih meningkatkan hasil pembinaan dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 1994/95 dilakukan lomba keberhasilan KUB, dari tingkat kecamatan sampai propinsi yang dilaksanakan bersama dengan pemerintah daerah dan instansl terkait. Pembinaan kesejahteraan sosial fakir. miskin terutama, dilakukan pada kantong-kantong kemiskinan di luar desa . yang telah dibina melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Pada tahun 1994/95 keluarga miskin yang telah dibantu berjumlah kurang lebih 21.740 kepala keluarga, tersebar di 592 desa di luar desa IDT di seluruh propinsi (Tabel XVIII-6). Dibanding dengan tahun 1993/94 jumlah kepala keluarga yang dibantu tidak banyak berbeda, tetapi jumlah desa yang tercakup pada tahun 1994/95 lebih banyak, antara lain karena menyesuaikan dengan penyebaran desa-desa IDT. Untuk mendukung pelaksanaan program IDT, pada tahun 1994/95 telah dilatih dan ditempatkan 718 orang petugas sosial kecamatan (PSK) di desa-desa miskin yang membutuhkan penanganan khusus. Mereka bertugas sebagai pendamping purna waktu bagi kelompok masyarakat yang memperoleh bantuan program IDT. Keberhasilan pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin antara lain dapat dilihat di desa Kemejing kecamatan Wadaslintang, kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah) dan di desa Tenjolaya kecamantan Pasir Jambu kabupaten Bandung (Jawa Barat). Bantuan ternak sapi dan kambing yang diberikan pada tahun 1992 telah berkembang jumlahnya dan pada tahun 1994/95 telah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan penghasilan dan membiayai sekolah anak-anak mereka. Di samping itu bantuan modal usaha telah dimanfaatkan juga untuk XVIII/54 mengembangkan kegiatan simpan pinjam bagi anggota kelompok, dan kegiatan arisan untuk merehabilitasi dan menyehatkan rumah, serta menggulirkan bantuan untuk keluarga miskin lainnya. c) Pembinaan Nilai-nilai Kepeloporan, Keperintisan dan Kepahlawanan Kegiatan ini bertujuan untuk memelihara dan melestarikan nilainilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan pada semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda sebagai penerus bangsa. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan pembangunan dan pemugaran taman makam pahlawan, makam pahlawan nasional, makam perintis kemerdekaan dan upaya-upaya penanaman dan penyebarluasan nilainilai perjuangan tersebut. Di samping itu untuk memberikan penghargaan dan terima kasih atas jasa, pengorbanan dan perjuangan yang telah diberikan kepada nusa, bangsa dan negara, diberikan bantuan sosial kepada keluarga para pahlawan nasional dan pejuang keperintisan yang kurang mampu. Dalam tahun 1994/95 dilaksanakan pemugaran 32 taman makam pahlawan yang tersebar di 25 propinsi dan 4 buah makam pahlawan nasional serta 73 makam perintis kemerdekaan. Di samping itu telah diberikan bantuan perbaikan rumah perintis kemerdekaan dan keluarganya bagi 208 orang. Untuk melestarikan dan menanamkan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan bagi pelajar SLTA, organisasi pemuda dan mahasiswa telah diadakan sarasehan yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Pahlawan. d) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia Pelayanan sosial bagi para lanjut usia diberikan pada lanjut usia yang terlantar yaitu lanjut usia yang sudah tidak diketahui lagi XVIII/55 keluarganya atau keluarganya sendiri tidak mampu memelihara mereka. Pelayanan sosial bagi mereka dilaksanakan dengan memberikan bimbingan mental dan sosial, pelayanan kesehatan, kegiatan keagamaan, rekreasi, bimbingan keterampilan kerja, dan bantuan modal usaha bagi yang masih potensial untuk berusaha dan berkarya. Kegiatan tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti. Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan bagi 43.473 orang lanjut usia yang tidak mampu dan merehabilitasi 30 panti lanjut usia (Sasana Tresna Werdha) milik pemerintah dan masyarakat. Jumlah bantuan yang diberikan ini meningkat sebanyak 3.329 orang bila dibandingkan dengan bantuan pada tahun sebelumnya, (Tabel XVIII-7). e) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak yang Terlantar Pelayanan sosial bagi anak terlantar terutama diberikan kepada yatim piatu, yaitu anak-anak yang orang tuanya tidak mampu memelihara mereka karena miskin atau karena masalah keluarga, dan kepada anak-anak yang mengalami hambatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Pelayanan sosial bagi mereka dilakukan baik di dalam maupun luar panti. Pelayanan sosial bagi yatim piatu di panti asuhan (Sasana Penyantunan Anak) dilakukan dengan memberikan kesempatan belajar serta jaminan hidup disertai bimbingan mental dan sosial. Untuk anak terlantar yang putus sekolah, pelayanan sosial dilakukan di panti penyantunan anak dengan memberikan keterampilan dan bimbingan mental dan sosial, serta bantuan modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dipelajari. Pelatihan keterampilan bagi mereka dilaksanakan bekerjasama antara lain dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Balai Latihan Pertanian yang ada disekitar panti. Agar mereka dapat menerapkan keterampilan yang dipelajari, diberikan pula kesempatan untuk mengikuti praktek kerja di perusahaan-perusahaan. Sementara itu bagi anak-anak yang dibina di XVIII/56 luar panti pembinaannya dilakukan melalui keluarga asuh. Kepada mereka diberikan bantuan sarana belajar disertai dengan pembinaan dan pengawasan. Dalam tahun 1994/95 telah diberikan pelayanan bagi 202.441 orang anak terlantar baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Jumlah ini meningkat sebesar 70 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel XIII-7). Peningkatan jangkauan pelayanan ini terjadi karena peran serta masyarakat meningkat secara pesat. Hal ini menunjukkan semakin besarnya rasa kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di kalangan masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1994/95 telah diupayakan untuk memperbaiki dan menyempurnakan 50 buah panti pemerintah dan masyarakat, serta pelatihan bagi para petugas pelayanan panti masyarakat. 2) Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tujuan program pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah mengembalikan dan meningkatkan kemampuan warga masyarakat, baik perseorangan, keluarga maupun kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sasaran program ini meliputi para penyandang cacat, anak nakal, dan korban penyalahgunaan narkotika, serta tunasosial. Pelayanan sosial bagi para penyandang cacat diberikan kepada cacat veteran, cacat tubuh, cacat netra, cacat rungu wicara, cacat mental dan bekas penyandang penyakit kronis. Kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial dan meningkatkan kesejahteraan sosial mereka agar dapat menjadi manusia yang produktif. Kegiatan XVIII/57 yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan, rehabilitasi fisik, mental dan sosial, pelatihan keterampilan kerja yang diikuti dengan pemberian bantuan modal usaha, dan pemberian kesempatan praktek belajar kerja pada perusahaan, serta penyaluran mereka untuk bekerja di perusahaan-perusahaan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan melalui sistem di dalam maupun luar panti dengan mengikutsertakan peran aktif keluarga dan masyarakat. Di samping itu diupayakan pula penyelenggaraan asrama bagi murid-murid sekolah luar biasa (SLB). Pada tahun 1994/95 pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada penyandang cacat ditingkatkan kualitasnya antara lain melalui pemberian paket praktek belajar kerja yang lebih lengkap di perusahaan-perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah. Dengan cara ini diharapkan kesempatan bagi para penyandang cacat untuk dapat bekerja menjadi lebih besar. Penyandang cacat yang dilayani dan direhabilitasi pada tahun 1994/95 berjumlah 43.946 orang (Tabel XVIII-8), hampir sama bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan biaya asrama bagi 3.617 murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di 186 SDLB milik pemerintah daerah. Di samping itu telah dilaksanakan pula rehabilitasi dan penyempurnaan 18 panti rehabilitasi sosial cacat milik pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pelayanan di dalam panti. Sedangkan untuk pelayanan di luar panti telah direhabilitasi 15 Loka Bina Karya (LBK) dan diadakan 10 buah mobil unit rehabilitasi sosial keliling (URSK). Untuk menyempurnakan pelayanan sosial bagi penyandang cacat tubuh telah dilakukan peningkatan mutu pelatihan keterampilan bagi para penyandang cacat tubuh di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof.Dr. Soeharso di Surakarta. XVIII/58 Pembinaan bagi penyandang cacat yang berhasil antara lain di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Bangil (Jawa Timur) dan Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) di Bandung. Pada tahun 1994/95 penyandang cacat di panti sosial Bangil telah berhasil memproduksi kerajinan rotan dan kain sulaman untuk ekspor ke Jepang dan Malaysia. Pada tahun sebelumnya hasil produksi tersebut masih terbatas untuk pasaran dalam negeri. Sedangkan BPBI telah berhasil mengembangkan produksi bukan hanya buku-buku Braille, tetapi juga kaset rekaman ilmu pengetahuan umum dan kesenian yang telah dimanfaatkan oleh panti cacat netra di berbagai daerah. Sasaran pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika adalah anak nakal yang belum sampai pada tindak pidana, termasuk korban penyalahgunaan narkotika, bahan adiktif lainnya, dan minuman keras. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembalikan mereka menjadi anggota masyarakat yang hidup secara baik dan layak. Kegiatan yang dilaksanakan meliputi bimbingan sosial, rehabilitasi, pelatihan keterampilan, dan pemberian bantuan modal usaha. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui koordinasi dan keterpaduan lintas sektor yang tergabung dalam BAKOLAK INPRES Nomor 6 Tahun 1971, serta peran aktif keluarga dan masyarakat. Dalam kegiatan bimbingan sosial mulai tahun 1994/95, dimasukkan pula penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penyakit AIDS. Jumlah anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika yang diberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial pada tahun 1994/95 tercatat 2.705 orang anak, 12 persen lebih banyak dari yang dilayani tahun 1993/94. Upaya rehabilitasi yang berhasil dapat diambil sebagai contoh adalah upaya di Panti Teratai dan Yayasan Harapan Ibu yang keduanya berlokasi di Jawa Timur. Kedua panti ini telah memperoleh pesanan untuk barang-barang industri rotan, kulit, sepatu dan tas yang XVIII/59 dihasilkan oleh anak-anak yang dibina dalam kedua panti tersebut. Di samping itu panti sosial bekas korban penyalahgunaan narkotika khusus puteri di Lembang (Jawa Barat) telah pula menjalin kerjasama dengan pengusaha pakaian jadi yang berdekatan lokasinya dan sebagian besar anak-anak binaannya telah disalurkan untuk bekerja pada perusahaan tersebut. Sasaran pelayanan dan rehabilitasi tunasosial adalah para gelandangan dan pengemis, tuna susila dan bekas narapidana. Untuk mengembalikan kemauan dan kemampuan mereka untuk hidup sebagai warga masyarakat yang berguna, berkualitas dan produktif dilakukan kegiatan bimbingan, rehabilitasi, dan pelatihan keterampilan berusaha yang disertai dengan bantuan modal usaha. Di samping itu bagi mereka diberikan pula penyuluhan dan bimbingan tentang bahaya penyakit AIDS serta upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan berbagai sektor terkait, keluarga dan masyarakat. Dalam tahun 1994/95 telah direhabilitasi dan diresosialisasikan sebanyak 3.943 orang tunasosial yang terdiri dari 1.368 orang tuna susila, 1.400 orang gelandangan dan pengemis, dan 1.175 orang bekas narapidana. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah yang dibina tahun 1993/94 sebanyak 3.830 orang. 3) Program Peningkatan Partisipasi Sosial Masyarakat Tujuan program ini adalah meningkatkan dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial secara melembaga dan terorganisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilakukan diarahkan pada upaya meningkatkan kepedulian dan kepekaan masyarakat terhadap permasalahan sosial dan lingkungannya, meningkatkan mutu pelayanan sosial secara profesional, dan mendorong golongan mampu untuk ikut berperan XVIII/60 dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai perwujudan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial serta membantu meningkatkan kesejahteraan sosial warga masyarakat yang tergolong rawan sosial ekonomi. Kegiatan pokok program ini meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial pada masyarakat, pembinaan organisasi sosial, dan pembinaan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat. Sasaran kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial adalan seluruh warga masyarakat, termasuk golongan masyarakat mampu terutama di wilayah yang rawan permasalahan sosial. Untuk menciptakan iklim dan suasana yang mendukung bagi peningkatan peran serta masyarakat pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penyuluhan dan bimbingan sosial di 6.462 desa/kelurahan yang tersebar di semua propinsi yang diikuti oleh organisasi sosial, LSM, tokoh masyarakat, pemuda dan wanita, pemimpin formal dan informal dengan memanfaatkan berbagai media massa. Guna meningkatkan kemampuan organisasi sosial (orsos), yayasan dan lembaga sosial, termasuk LSM dan organisasi keagamaan, dalam kegiatan pelayanan sosial, dalam tahun 1994/95 telah dilakukan pembinaan bagi 2.575 orsos berupa pelatihan manajemen dan profesi pekerja sosial bagi 1.845 orsos dan pembinaan bantuan pengembangan organisasi dan pelayanan sosial bagi 730 orsos. Di samping itu dikembangkan pula forum komunikasi antar orsos kuat dan lemah di 10 propinsi dan forum komunikasi antara orsos lemah dengan golongan masyarakat mampu di 5 propinsi. Pada tahun 1994/95 tercatat sejumlah 5.878 orsos yang bergerak di bidang pembangunan kesejahteraan sosial, yang telah mampu memberikan pelayanan sosial khususnya kepada yatim piatu dan lanjut usia sebanyak 365.651 orang di panti-panti sosial, dan sebanyak XVIII/61 290.442 orang di luar panti. Di samping itu melalui kerjasama orsos internasional telah pula diberikan pelayanan bagi 913.751 orang yang menyandang berbagai masalah sosial. Dibandingkan dengan tahun 1993/94 peran orsos dalam pelayanan sosial lebih meningkat pada tahun 1994/95. Pekerja sosial masyarakat (PSM) yang ada di setiap desa/kelurahan, adalah tenaga yang diandalkan untuk membantu pemberian pelayanan sosial bagi masyarakat. Selain PSM juga ada tenaga relawan sosial termasuk yang berasal dari golongan masyarakat mampu baik di desa maupun di kota. Melalui kegiatan pembinaan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan forum komunikasi dan konsultasi, serta pelatihan manajemen usaha kesejahteraan sosial bagi 6.390 orang PSM (Tabel XVIII-9). Selain itu pada tahun 1994/95, telah diberikan juga pelatihan manajemen usaha kesejahteraan sosial kepada 870 orang relawan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan penyegaran bagi sebanyak 950 orang PSM yang ditugaskan di daerahdaerah terpencil dan di permukiman masyarakat terasing, yang dikenal sebagai PSM SATGASOS (Satuan Tugas Sosial), yang diselenggarakan di 14 propinsi. b. Program Penunjang 1) Program Pembinaan Generasi Muda Pembinaan generasi muda-dalam pembangunan kesejahteraan sosial dalam Repelita VI ditekankan pada pembinaan karang taruna yang terbukti telah ikut berperan serta dalam pembinaan pemuda di perdesaan dan perkampungan termasuk yang putus sekolah dan pengangguran. Di samping itu karang taruna juga aktif ikut mencegah XVIII/62 kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika, dan ikut berperan aktif dalam menegakkan ketertiban dan keamanan lingkungan. Untuk meningkatkan kemampuan maiiajemen dan organisasi serta bekal untuk memperoleh lapangan kerja, pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan dan pemberian bantuan modal kerja kepada 2.890 buah karang taruna di seluruh Indonesia (Tabel XVIII-10). Pelatihan keterampilan berusaha meliputi pelatihan peternakan dan pertanian terpadu di Tapos, pelatihan pertanian di Balai Pelatihan Pertanian Ciawi, pembudidayaan udang windu di Jepara, kerajinan kayu di Ubud dan kerajinan rotan dan kulit di Sidoarjo. Di samping itu telah pula dilaksanakan bhakti sosial dan tukar menukar informasi dan pengalaman antar karang taruna di berbagai propinsi. Pembinaan karang taruna yang berhasil antara lain dapat dilihat di desa Labulu Bulu kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang telah melaksanakan kegiatan pertanian padi, jagung dan kedelai seluas masing-masing 200 ha, dan pengembangan peternakan kepiting. Di samping itu karang taruna di desa Naluk kabupaten Sumedang telah berhasil dalam peternakan kambing, kegiatan sablon dan pembinaan bagi anak-anak penyandang cacat melalui pendirian Sekolah Luar Biasa. Sementara itu, karang taruna di desa Tanjung Buitang, Lampung Selatan telah berhasil pula dalam pembuatan alat-alat pertanian, bantalan rel kereta api dan pencacahan pisang. 2) Program Penelitian dan Pengembangan Sosial Tujuan program penelitian dan pengembangan sosial adalah untuk menunjang perumusan kebijaksanaan dan meningkatkan kualitas perencanaan program pembangunan kesejahteraan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan 5 buah penelitian mengenai pembinaan masyarakat terasing, pembinaan anak dan remaja di tempat penitipan XVIII/63 TABEL XVIII — 5 PEMBINAAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT TERASING MENURUT DAERAII TINGKAT I 1973/74;1989/90 — 1993/94, 1994/95 (Kepala Keluarga) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Daerah Tingkat 1/ Propinsi Akhir Repelita I (1973/74) 1) Repelita V 2) 1989/90 JawaBarat D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Kalimantan Barat KalimantanTengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara SulawesiTengah Sulawesi Selatan SulawesiT enggar a Ma luku Nusa tenggara Barat Nusa tenggaraTimur Irian Jaya — — — 150 400 700 2.400 — 400 — 220 600 — 415 600 — 150 — 1.000 — — 40 Jumlah 7.035 2.050 1) 2) 75 225 70 47 — 300 87 120 50 131 — 45 100 — 50 665 1990/91 1991/92 — 90 45 150 300 70 47 — 400 50 87 220 50 181 50 95 150 — 100 915 — 150 45 213 351 70 91 3.000 Angka kumulalif lima tahun untuk kolom yang bertuliakan Akhir Repelita. Angka kumulatif sejak tahun 1989/90 XVIII/64 Repelita VI 1992/93 1993/94 25 190 45. .263 425 115 191 145 1.115 204 1.252 100 246 — 238 352 317 187 — 586 210 192 525 — 232 180 247 203 — 259 1.212 3.984 4.970 5.286 — 496 101 134 353 50 230 98 141 201 — 536 153 186 478 50 280 140 191 246 — — 1994/95 ²) 80 286 — 313 452 317 227 — 686' 290 260 745 — 290 240 322 283 — 339 1.370 6.500 TABEL XVIII - 8 PELAKSANAAN PENYANTUNAN DAN PENGENTASAN PARA CACAT MENURUT DAERAH TINGKAT I 1) 1968, 1989/90-1993/94, 1994/95 (orang) No. Daerah Tingkat I/ Propinsi 1. DKI Jakarta 2. Jawa Barat 3. Jawa Tengah 4. D.I. Yogyakarta 5. Jawa Timur 6. D.I. Aceh 7. Sumatera Utara 8. Sumatera Barat 9. R i a u 10. J a m b i 11. Sumatera Selatan 12. Bengkulu 13. L a m p u n g 14. Kalimantan Barat 15. KalimantanTengah 16. Kalimantan Selatan 17. Kalimantan Timur 18. Sulawesi Utara 19. Sulawesi Tengah 20. Sulawesi Selatan 21. Sulawesi Tenggara 22. M a l u k u 23. B a l i 24. Nusa Tenggara Barat 25. Nusa Tenggara Timur 26. Irian Jaya 27. Timor Timur Jumlah I) Awal PJP--I (1968) Repelita V 1989190. 1990/91 1.210 735 1.300 525 830 210 620 120 120 120 520 210 220 120 80 520 80 420 220 420 120 120 430 420 310 - 525 1.571 2.124 312 1.435 240 1.380 490 134 177 781 180 435 114 285 444 154 736 305 402 184 239 310 167 210 200 190 1.762 2.269 1.599 1.149 2.095 1.100 1.305 985 409 172 1.186 198 335 264 240 1.070 1.285 1.552 275 462 539 714 345 632 445 290 405 10.000 13.724 23.082 Angka tahunan XVIII/67 Repelita VI 1991/92 1992/93 1.300 1.900 1.707 1.115 2.160 1.025 1.405 850 524 495 1.278 371 1.040 630 465 1.075 850 900 590 750 520 715 524 662 700 335 300 24.186 1993/94 965 1.921 2.585 890 2.185 1.050 1.705 1.155 505 490 1.545 730 975 845 565 835 710 760 610 1.450 710 990 865 1.121 840 565 475 L504 3.100 4.107 1.263 3.810 1.785 2.144 1.920 1.075 910 2.570 1.753 1.180 995 1.525 1.228 1.190 905 2.540 990 1.215 0 1.607 1.400 1.005 1.015 1.085 28.042 44.701 1994/95 1.565 2.820 2.895 1.240 3.100 1.870 2.460 1.985 1.120 957 1.980 1.460 1.485 1.280 1.035 1.415 1.645 1.090 1.205 2.135 1.230 1.055 854 1.545 1.860 1.460 1.200 43.946 TABEL XVIII — 9 PEMBINAAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT (PSM) MENURUT DAERAH TINGKAT I ¹) 1973/74„ 1989/90 — 1993/94, 1994/95 (orang) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. Daerah Tingkat 1/ . Propinsi Akhir Repelita I (1973/74) DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur D.I. Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan ICalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Irian Jaya Timor Timur Jumlah Repelita V 1989/90 90 330 360 180 390 60 60 60 60 60 60 60 180 60 30 60 60 90 90 180 90 120 90 120 90 3.030 360 420 510 360 600 450 600 540 300 360 300 180 130 300 270 210 300 300 270 600 210 360 300 390 450 750 180' 10.000 1990/91 1991192 Repelita V. 1992/93 380 600 875 240 925 600 600 300 210 180 240 240 210 480 300 540 480 600 420 690 180 240 240 180 300 540 210 300 720 900 300 930 540 510 420 210 360 690 510 390 270 270 660 510 390 480 1.020 240 330 600 510 390 270 270 300 600 780 330 900 780 600 450 330 300 720 450 360 '510 390 600 390 540 360 810 420 300 450 300 360 180 390 11.000 12.990 12.900 1993/94 1) Angka kumulatif lima tahun untuk kolom bertuliskanAkhir Repelita, yang lain adalah angka tahunan XVIII/68 150 1.260 1.590 300 1.110 630 720 690 210 240 ' 510 300 600 240 480 240 360 240 480 210 270 540 180 600 180 270 150 12.750 1994/95. 180 600 720 120 600 300 360 300 150 150 270 150 150 270 150 240 150 150 150 150 150 180 150 210 150 150 9 6.39 TABEL XVIII—10 BANTUAN PAKET SARANA USAHA KARANG TARUNA MENURUT DAERAH TINGKAT I 1) 1968, 1989/90 — 1993/94,1994/95 (Karang Taruna) 1) 2) Angka tahunan Bantuan paket sarana usaha karang taruna dimulai pada tahun 1989/90 XVIII/69 anak (TPA) dan kelompok bermain, efektivitas deteksi dini kecacatan di desa-desa oleh unit rehabilitasi sosial keliling (URSK), dan efektivitas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) di perdesaan. 3) Program Pendidikan dan Pelatihan Sosial Tujuan program ini adalah meningkatkan jumlah dan mutu tenaga kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat sebagai pelaksana pembangunan kesejahteraan sosial. Kegiatan yang dilaksanakan adalah pemberian. kesempatan belajar untuk pendidikan D-IV, S1, S2 dan S3, serta pelatihan administrasi dan profesi pekerjaan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pendidikan S2 di dalam negeri untuk bidang ilmu kesejahteraan sosial bagi 12 orang dan pendidikan S3 di dala. m negeri untuic bidang ilmu sosiologi bagi 2 orang. Selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan tenaga perencana pembangunan kesejahteraan sosial di daerah tingkat II telah dilakukan pelatihan perencanaan pembangunan bagi 366 orang dan komputerisasi data penyandang masalah dan potensi kesejahteraan sosial bagi 501 orang. D. PENANGGULANGAN BENCANA 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran penanggulangan bencana pada akhir Repelita VI adalah meningkatnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya. Selain itu, penguasaan teknologi penanggulangan bencana yang didukung oleh peralatan yang andal, serta jumlah dan mutu tenaga pelaksana akan meningkat pula. Di samping itu, pemetaan daerah rawan bencana dilanjutkan dan XVIII/70 informasi mengenai kerawanan suatu daerah telah dimanfaatkan secara optimal untuk penyusunan rencana umum tata ruang pada setiap tingkat pemerintahan. Sasaran selanjutnya adalah terlaksananya koordinasi yang makin meningkat dan mantap dalam menanggulangi bencana melalui penyusunan sistem dan satuan perlindungan masyarakat (linmas) serta mekanisme penanggulangan bencana secara nasional yang menyeluruh dan terpadu. Pada Repelita VI dapat terwujud satuan-satuan linmas di tingkat kecamatan dan ruang data pusat pengendalian operasional penanggulangan bencana di tingkat pusat. Undang-undang linmas diharapkan telah dapat diundangkan pada akhir Repelita VI. Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam Repelita VI, disusun kebijaksanaan sebagai berikut. Dalam upaya penanggulangan bencana, prioritas tinggi diberikan kepada peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dan jajaran pemerintah daerah setempat, khususnya di daerah rawan bencana dalam menghadapi terjadinya bencana. Dalam upaya pencarian, penyelamatan dan pemberian pengobatan serta perawatan korban, kemampuan petugas dan masyarakat ditingkatkan baik dalam kecepatan maupun ketepatan waktu penyelamatan dengan dukungan peralatan yang memadai. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan yang ditetapkan dalam Repelita VI, maka upaya penanggulangan bencana dilaksanakan secara lintas bidang dan lintas sektor melalui satu program yaitu program penanggulangan bencana yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat. XVIII/71 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI Tujuan program penanggulangan bencana adalah meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi akibat bencana, sehingga mengurangi jumlah korban serta kerugian materi. Di samping itu, program ini juga bertujuan menolong dan menyelamatkan para korban bencana melalui bantuan darurat dan memulihkan kembali fungsi sosial perorangan, keluarga dan masyarakat korban bencana untuk hidup secara normal. Untuk itu sasaran program ini adalah masyarakat di daerah rawan bencana dan para korban bencana serta tenaga-tenaga di bidang penanggulangan bencana. Kegiatan pokok dalam penanggulangan bencana meliputi kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat terhadap kejadian bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana, yang pelaksanaannya melibatkan berbagai instansi terkait seperti Departemen Sosial, Dalam Negeri, Kesehatan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, ABRI, dan Pemerintah Daerah, dibawah koordinasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Pada tahun 1994/95 tercatat serangkaian bencana alam yang relatif besar seperti bencana tsunami yang terjadi di Banyuwangi (Jawa Timur), gempa bumi di Maluku Utara, letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah, dan bencana banjir di kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Dalam rangka membantu para korban bencana alam tersebut, telah diberikan pelayanan gawat darurat berupa pertolongan pertama pada saat awal terjadinya bencana, pemberian bantuan.darurat obat dan bahan kesehatan lainnya, pengobatan dan perawatan kesehatan XVIII/72 baik di sekitar lokasi kejadian, di puskesmas-puskesmas terdekat maupun di rumah-rumah sakit bagi korban yang memerlukan perawatan khusus dokter ahli, serta pengungsian dan penampungan korban bencana di tempat yang lebih aman dengan didukung penyediaan dapur umum. Di samping itu, diberikan pula bantuan rehabilitasi dan pembangunan rumah serta sarana umum yang rusak akibat bencana. Kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana meliputi penelitian dan pemetaan daerah rawan bencana, penyuluhan, pendidikan dan pelatihan bagi petugas maupun masyarakat, dan pengembangan sistem informasi penanggulangan bencana. Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam geologis telah dilakukan kegiatan pemetaan, identifikasi, dan penyelidikan daerah-daerah rawan bencana. Pada tahun 1994/95 telah diselesaikan pemetaan seismik daerah rawan gempa berskala 1:250.000 sebanyak 8 lembar; pemetaan geologi gunung api skala 1:50.000 sebanyak 38 peta; pemetaan daerah bahaya gunung api skala 1:50.000 sebanyak 91 peta; pemetaan topografi puncak gunung api skala 1:10.000 sebanyak 34 peta; pemetaan topografi aliran lahar skala 1.:10.000 sebanyak 20 peta; pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 sebanyak 13 peta; identifikasi 20 daerah sesar aktif yang terbagi dalam 130 bagian sesar; pengamatan gunung api secara terus menerus di 59 gunung api; pemantauan daerah rawan longsor di 5 lokasi; dan penyelidikan di berbagai gunung api yang meliputi penyelidikan potensi lahar/bahaya letusan, penyelidikan kimia pada 24 gunung api, penyelidikan fisika, penyelidikan penginderaan jauh, dan penyelidikan seismik pada 18 gunung api. Guna melindungi dan mengamankan daerah produksi pertanian dan permukiman dari daya rusak air dan bahaya banjir, pada tahun XVIII/73 1994/95 dilakukan perbaikan dan pengendalian alur sungai di beberapa ruas sungai yang dianggap kritis sepanjang 401 kilometer. Kegiatan perbaikan dan pengendalian tersebut antara lain meliputi pembangunan prasarana pada ruas sungai, waduk tunggu, tanggul, perbaikan alur, perkuatan tebing, saluran banjir, dan rumah pompa. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat melindungi dari bahaya banjir areal sekitar 45.019 hektar di daerah produksi pertanian sepanjang sungai Bengawan Solo, Brantas, Citanduy, Cimanuk, Indragiri, dan Batanghari, dan daerah permukiman di perkotaan seperti Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung. Sementara itu, dalam upaya mengamankan sungai dan daerah sekitarnya dari daya rusak yang ditimbulkan oleh lahar gunung api, di sekitar daerah Gunung Merapi dan Gunung Semeru telah dibangun 6 unit bangunan pengendali dan kantong-kantong lahar. Dalam rangka menunjang dan meningkatkan keselamatan penerbangan yang memenuhi syarat penerbangan, kondisi dan jumlah peralatan keselamatan penerbangan juga ditingkatkan. Pada tahun 1994/95 telah dipasang alat bantu navigasi penerbangan (Non Directional Beacon/NDB) di 3 lokasi, alat komunikasi dari darat ke pesawat berupa Very High Frequency-Extended Range (VHF-ER) di 5 lokasi, Aeronautical Fixed System High Frequency Communication System (AFS-HF Communication System) di 10 lokasi, Aeronautical Fixed System - Leased Channel (AFS-Leased Channel) di 1 lokasi, peralatan komunikasi yang digunakan pada jalur penerbangan domestik (Regional-Domestic Air Route Area/R-DARA) di 1 lokasi, dan peralatan untuk mendistribusikan berita secara otomatis (Automatic Messages Swicthing Centre/AMSC) di 1 lokasi. Dengan dipasangnya peralatan tersebut, maka peralatan navigasi udara, yang berupa NDB telah meningkat menjadi 238 unit. Peralatan komunikasi dari darat ke pesawat yang terdiri dari VHF-ER, AFS-HF Communication System dan AFS-Leased Channel meningkat dari 337 XVIII/74 unit pada tahun 1993/94 menjadi 353 unit pada tahun 1994/95. Alat komunikasi berupa R-DARA meningkat dari 16 lokasi pada tahun 1993/94 menjadi 17 lokasi pada tahun 1994/95. Peralatan untuk mendistribusikan berita secara otomatis (AMSC) pada tahun 1994/95 secara keseluruhan telah digunakan di 19 lokasi. Sementara itu, keselamatan pelayaran juga ditingkatkan antara lain dengan menyediakan fasilitas keselamatan seperti fasilitas navigasi, kesyahbandaraan dan penjagaan keamanan pantai yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan keselamatan pelayaran. Pada tahun 1994/95 telah dibangun fasilitas sarana bantu navigasi berupa pembangunan 4 menara suar dan 105 rambu suar, serta disediakan kapal bandar sebanyak 31 kapal untuk fasilitas kesyahbandaraan. Di samping itu untuk pemeliharaan alur pelayaran telah dikeruk sebanyak 10,6 juta m³ lumpur. Dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga pertahanan sipil (hansip) dan satuan perlindungan masyarakat (linmas) dalam penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan kepada aparat markas wilayah (Mawil) Hansip di beberapa propinsi rawan bencana alam seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. Untuk memelihara kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, terutama para petugas penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95 telah dilatih sebanyak 200 orang instruktur penanggulangan bencana, 680 orang satuan tugas sosial penanggulangan bencana (SATGASOS PB), dan pelatihan penyegaran bagi 280 orang Satgasos PB yang telah berada di masyarakat. Kegiatan tanggap darurat terhadap kejadian bencana ditujukan untuk meningkatkan kemampuan penanggulangan ketika terjadi bencana yang dilakukan melalui: pertama, peningkatan kemampuan XVIII/75 sumber daya manusia dan pembinaan fungsi satuan tugas pelaksana dalam pengelolaan dan koordinasi bantuan darurat; kedua, penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan pencarian, penyelamatan, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial terhadap korban bencana; dan ketiga meningkatkan kemampuan masyarakat dan petugas dalam mengkonsolidasi diri segera sesudah terjadi bencana melalui penyediaan sarana dan prasarana darurat agar akibat bencana tidak meluas dan berkepanjangan. Pada tahun 1994/95 fasilitas pencarian dan penyelamatan ditingkatkan antara lain melalui penambahan 4 buah helikopter SAR, pengembangan satulit komunikasi SAR dan unit sistem informasi operasional SAR (SAROIMS) di 19 lokasi, pengadaan 2 unit perahu penyelamatan yang dilengkapi dengan peralatan medis, 3 unit hydrolic rescue pump dan 2 unit lifting bag untuk pengangkatan pesawat maupun pertolongan bencana alam, dan pengadaan 2 set peralatan pendakian, serta 36 buah baju tahan api. Dengan peningkatan fasilitas tersebut maka tingkat keberhasilan penyelamatan korban musibah pelayaran dan penerbangan semakin meningkat. Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 1.070 orang dari 1.439 orang terkena musibah (74,3%) yang berhasil dapat diselamatkan. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana bertujuan untuk memperbaiki dan membangun kembali sarana dan prasarana di lokasi bencana agar segera berfungsi kembali, dan memulihkan tata kehidupan dan penghidupan serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana berdasarkan azas kemandirian. Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain meliputi peningkatan pelayanan sosial terhadap korban bencana melalui pemberian bantuan dan rehabilitasi permukiman serta sarana umum lainnya seperti tempat ibadah, gedung, sekolah, pasar dan air bersih. Kepada para korban diberikan bimbingan dan penyuluhan untuk mempercepat pemulihan XVIII/76 kehidupan dan penghidupan mereka didukung dengan pemberian bantuan sarana usaha. Selanjutnya dilakukan perbaikan sarana dan prasarana dasar serta dalam keadaan tertentu pemindahan permukiman secara darurat maupun pemindahan penduduk secara permanen ke tempat atau daerah yang lebih aman baik secara lokal maupun melalui transmigrasi. Dalam rangka membantu korban bencana alam yang terjadi pada tahun 1994/95, disamping diberikan bantuan pelayanan kesehatan dan sosial seperti diuraikan di atas, juga diberikan bantuan rehabilitasi dan pembangunan rumah serta sarana umum yang rusak akibat bencana. Bagi korban bencana tsunami di Banyuwangi, telah diberikan bantuan darurat dan pembangunan 794 unit rumah baru, rehabilitasi 121 unit rumah, serta bantuan sarana penangkapan ikan sebanyak 286 unit. Bagi korban bencana gempa bumi di Maluku Utara telah diberikan bantuan darurat dan pembangunan 1.000 unit rumah baru. Bagi masyarakat yang bertempattinggal di daerah bahaya letusan gunung Merapi seperti di dusun Sudimoro dan Pelem desa Girikerto kecamatan Turi kabupaten Sleman telah diberikan bantuan darurat dan permukiman kembali 180 unit rumah. Sementara itu bagi korban bencana banjir di Sumatera Barat, telah diberikan bantuan darurat, dan rehabilitasi 362 unit rumah. Kesemuanya dilakukan bersama bantuan dari masyarakat. Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan rehabilitasi 4.457 unit rumah korban bencana alam lainnya di 19 propinsi, dan rehabilitasi serta rekonstruksi prasarana jalan yang rusak akibat gempa bumi dan gelombang pasang (tsunami) di Alor, Flores (Nusa Tenggara Timur), Ternate (Maluku) dan di Liwa (Lampung). XVIII/77 E. KEPENDUDUKAN 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran pembangunan kependudukan pada akhir Repelita VI adalah menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 1,66 persen pada tahun 1993 menjadi 1,51 persen pada tahun 1998 sehingga jumlah penduduk mencapai 204,4 juta; meningkatnya angka harapan hidup menjadi sekitar 64,6 tahun; dan menurunnya angka kematian bayi menjadi sekitar 50 kematian per seribu kelahiran hidup. Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan kependudukan, ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas penduduk agar potensi penduduk dapat dikembangkan secara optimal; mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk melalui gerakan keluarga berencana; mengarahkan persebaran dan mobilitas penduduk sesuai dengan daya dukung lingkungan dan kebutuhan tenaga kerja; menyempurnakan sistem informasi kependudukan agar dapat meningkatkan mutu dan liputan data kependudukan; serta meningkatkan daya guna dan kesejahteraan penduduk usia lanjut dengan tetap mengutamakan peran keluarga dalam masyarakat. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, pembangunan kependudukan dalam Repelita VI dilaksanakan melalui satu program yaitu program kependudukan yang bersifat lintas bidang dan lintas sektor, yang pelaksanaannya didukung secara terpadu oleh berbagai program di bidang pembangunan lainnya serta didukung oleh peran serta masyarakat. XVIII/78 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI Pembangunan kependudukan telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara bermakna sehingga diproyeksikan menjadi 1,63 persen pada tahun 1994. Penurunan laju pertumbuhan penduduk merupakan dampak dari penurunan angka kelahiran kasar dan angka kelahiran total. Penurunan pertumbuhan penduduk tersebut membawa dampak pada peningkatan kualitas penduduk yang ditandai oleh semakin menurunnya angka kematian bayi dan angka kematian kasar serta meningkatnya rata-rata harapan hidup penduduk. Di samping itu, persebaran penduduk antara lain melalui transmigrasi dan persebaran tenaga kerja telah makin menyeimbangkan persebaran penduduk di daerah luar Pulau Jawa. Kegiatan registrasi penduduk yang merupakan bagian dari sistem informasi kependudukan ditingkatkan mutu dan cakupannya. a. Peningkatan Kualitas Penduduk Dalam rangka peningkatan kualitas penduduk berbagai kegiatan pembangunan yang berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia terus ditingkatkan dan dimantapkan. Kegiatan peningkatan kualitas penduduk merupakan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan secara lintas bidang, lintas sektor, dan lintas program. Kegiatan tersebut dilakukan antara lain melalui peningkatan iman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta pendidikan P4, peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, peningkatan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan, dan peningkatan peranan wanita. Secara lebih rinci dapat diikuti pada laporan di berbagai sektor tersebut. XVIII/79. b. Pengendalian Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk Pengendalian pertumbuhan dan kuantitas penduduk ditujukan untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk sehingga tercipta keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya. Kegiatan-kegiatan untuk mengendalikan pertumbuhan dan jumlah penduduk dilaksanakan terutama melalui kegiatan-kegiatan dalam program keluarga berencana (KB) yang terdiri dari komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), pelayanan KB, dan pemantapan kelembagaan dan pengelolaan program; serta berbagai kegiatan di berbagai bidang dan sektor. Pada awal Repelita VI (1994) jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan telah mencapai sekitar 192,2 juta orang terdiri dari 95,8 juta penduduk laki-laki dan 96,4 penduduk perempuan. Dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk pada tahun 1993, terdapat pertambahan penduduk sekitar 3,1 juta orang. Meskipun jumlah penduduk terus menunjukkan peningkatan, tetapi laju pertumbuhannya terus mengalami penurunan. Pada tahun pertama Repelita VI (1994) diperkirakan laju pertumbuhan penduduk adalah 1,63 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 1993 yaitu 1,66 persen. c. Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk Upaya untuk menciptakan keseimbangan persebaran antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya antara lain dilakukan dalam berbagai program, seperti program transmigrasi dan penciptaan kesempatan kerja baik antardaerah, antarpropinsi maupun antarnegara. Laporan yang rinci mengenai kegiatan-kegiatan dalam berbagai program tersebut dapat dilihat pada uraian di sektor yang bersangkutan. XVIII/80 d. Penyempurnaan Sistem Informasi Kependudukan Salah satu kendala pembangunan kependudukan adalah masih langkanya data dan informasi kependudukan, padahal dukungan informasi kependudukan diperlukan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Dalam upaya menciptakan suatu sistem informasi kependudukan pada tahun 1994/95 telah disusun rancangan kebijaksanaan Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) dengan melibatkan 15 instansi pemerintah. Melalui sistem informasi tersebut diharapkan seluruh data dan informasi mengenai kependudukan dan keluarga di setiap instansi/departemen dapat didayagunakan melalui suatu jaringan komunikasi data yang dikelola dengan azas kemitraan. Penyempurnaan sistem informasi kependudukan juga dilaksanakan melalui penataan administrasi registrasi penduduk. Pelaksanaan registrasi penduduk yang dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di setiap propinsi meliputi kegiatan pencatatan dan pelaporan data kependudukan yang terdiri dari kelahiran, kematian, petpindahan dan data statistik kependudukan lainnya yang dilakukan mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat propinsi. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan pelatihan pencatatan dan pelaporan registrasi penduduk bagi sekitar 400 orang aparat pemerintah daerah di 5 propinsi, baik yang berada di tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, maupun tingkat propinsi. Secara keseluruhan sejak tahun 1989/90 sampai dengan tahun 1994/95 telah dilatih lebih dari 16.000 orang aparat petugas registrasi penduduk di 20 propinsi. XVIII/81 e. Pendayagunaan dan Kesejahteraan Penduduk Usia Lanjut Program pendayagunaan dan kesejahteraan penduduk usia lanjut dimaksudkan untuk mendorong dan mendayagunakan penduduk usia lanjut yang produktif sesuai dengan kemampuan, kearifan, pengalaman dan keahliannya; menyedialcan sarana dan fasilitas pelayanan khusus bagi para lanjut usia yang lemah fisik dan mental; serta meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penduduk usia lanjut yang memerlukan pertolongan. Upaya tersebut diselenggarakan melalui kegiatan-kegiatan pembangunan di bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan, dan tenaga kerja. Semakin meningkatnya rata-rata harapan hidup memberikan dampak pada semakin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. Di samping itu peningkatan jumlah penduduk usia lanjut juga terjadi karena terdapat perubahan demografis dan pergeseran struktur penduduk Indonesia dari usia muda ke arah usia produktif dan usia lanjut yang dihasilkan oleh kemajuan pembangunan selama ini. Jika pada tahun 1993 penduduk usia lanjut berjumlah sekitar 11,7 juta orang atau 6,2 persen dari total penduduk tahun 1993, pada tahun 1994 jumlahnya telah meningkat menjadi sekitar 12,2 juta orang atau 6,4 persen dari total penduduk tahun 1994. Penduduk usia lanjut yang masih bekerja dengan tingkat pendidikan SLTP ke atas ternyata meningkat dari 4,4 persen pada tahun 1993 menjadi 5,0 persen pada tahun 1994. Sementara itu bagi penduduk usia lanjut yang tidak mampu, baik yang tinggal sendiri maupun bersama keluarganya yang juga tidak mampu, dan yang tinggal di panti lanjut usia diberikan penyantunan. Penyantunan bagi penduduk usia lanjut di dalam panti adalah berupa jaminan hidup, sedangkan bagi penduduk usia lanjut di luar panti XVIII/82 adalah berupa sarana pelayanan khusus. Pada tahun 1994/95 jumlah penduduk usia lanjut yang tidak mampu yang telah menerima penyantunan adalah sebanyak 43.473 orang, atau meningkat sebanyak 3.329 orang bila dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita V (1993/94) yaitu 40.144 orang. F. KELUARGA SEJAHTERA 1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI Sasaran dalam Repelita VI adalah menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi 2,60 per wanita; meningkatnya kepedulian dan peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan sikap dan perilaku kemandirian; dan terwujudnya tatanan gerakan Keluarga Berencana (KB) secara menyeluruh untuk dijadikan landasan pembangunan selanjutnya. Dalam mencapai sasaran tersebut, pokok kebijaksanaan yang ditempuh, antara lain, adalah mengembangkan ketahanan dan meningkatkan kualitas keluarga, dalam rangka mewujudkan kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; meningkatkan kelembagaan gerakan KB, dengan menggalakkan keperdulian dan peran serta pemuka agama, pemuka masyarakat, organisasi kemasyarakatan serta lembaga kemasyarakatan lainnya; dan mengembangkan kerjasama internasional program KB. Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, pembangunan keluarga sejahtera dilaksanakan dalam satu program, yaitu program keluarga berencana yang pelaksanaannya didukung oleh berbagai bidang pembangunan lainnya secara terpadu. XVIII/83 2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama Repelita VI Program KB bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap pendewasaan usia perkawinan, penurunan angka kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut, program KB dilaksanakan melalui kegiatan: (a) komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE); (b) pelayanan keluarga berencana; dan (c) pemantapan kelembagaan serta pengelolaan program. Melalui berbagai kegiatan tersebut telah meningkatkan jumlah peserta KB baru, dan jumlah peserta KB aktif, dan mengajak masyarakat melaksanakan KB secara mandiri. a. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pelaksanaan kegiatan KIE ditekankan pada upaya menumbuhkan pengertian, kesadaran dan keyakinan tentang manfaat keluarga kecil. Upaya tersebut diharapkan secara bertahap dapat mendorong terjadinya proses perubahan pengetahuan, sikap dan tingkah laku masyarakat terhadap penerimaan KB dalam mewujudkan norma keluarga kecil, bahagia, sejahtera secara mandiri. Pelaksanaan kegiatan KIE telah ditingkatkan bekerjasama dengan sektor-sektor terkait, organisasi profesi, swasta niaga, organisasi masyarakat, LSM, dengan partisipasi masyarakat luas. Penyebarluasan pesan-pesan KIE tentang KB dilaksanakan melalui berbagai media cetak dan elektronik seperti surat kabar/majalah, televisi maupun radio yang disiarkan dalam berbagai mata acara. Dalam tahun 1994/95 telah dikembangkan KIE melalui pendekatan baru yaitu dengan melibatkan pemirsa/pendenga r secara XVIII/84 interaktif dalam memecahkan permasalahan KB yang dihadapi. Pelaksanaan KIE dengan pendekatan baru tersebut telah dilaksanakan melalui televisi di 3 stasion TVRI propinsi (Palembang, Ujung Pandang, dan Denpasar) dan melalui stasion radio di 15 propinsi. Di samping itu, untuk meningkatkan pemerataan pelaksanaan KIE, setiap Dati II telah dilengkapi dengan sarana mobil unit penerangan. Melalui berbagai kegiatan KIE tersebut pemahaman serta kesadaran masyarakat akan pentingnya KB telah ditingkatkan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 menunjukkan bahwa 96 persen dari pasangan usia subur (PUS) mengetahui tentang KB dan 55 persen telah melaksanakan KB. Sedangkan hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan persentase PUS yang mengetahui KB adalah 94 persen dan yang menjadi peserta KB 50 persen dari junilah PUS. b. Pelayanan Keluarga Berencana Pelayanan keluarga berencana dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam ber-KB yang bermutu, aman, mudah dan terjangkau agar memberikan kenyamanan dan kepuasan peserta KB. Pelayanan KB terutama dilaksanakan di rumah sakit dan klinik KB. Rumah sakit dan klinik KB tersebut selain berfungsi sebagai tempat pelayanan KB juga berfungsi sebagai tempat rujukan dan pengayoman bagi peserta KB yang mengalami komplikasi pemakaian alat/obat kontrasepsi. Upaya meningkatkan pemerataan dan pelayanan KB khususnya di daerah yang terpencil dilaksanakan melalui kegiatan tim keluarga berencana keliling (TKBK). Di samping itu, dalam rangka peningkatan mutu pelayanan KB telah dilaksanakan penyediaan peralatan pelayanan KB yang cukup sampai di tingkat desa. XVIII/85 Berbagai upaya pelayanan KB dan dukungan peralatan tersebut dilakukan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada PUS untuk berpartisipasi dalam ber-KB. PUS yang baru pertama kali memakai salah satu alat kontrasepsi disebut sebagai peserta KB baru. Untuk mempermudah melihat perkembangan pencapaian peserta KB baru penyajian data dalam Tabel XVIII-11 dibagi dalam 3 wilayah besar yaitu wilayah Jawa - Bali, wilayah Luar Jawa - Bali I, dan wilayah Luar Jawa - Bali II. Pembagian wilayah, tersebut sesuai dengan tahapan dimulainya penggarapan KB di Indonesia. Secara nasional jumlah peserta KB Baru pada tahun 1994/95 kurang lebih adalah 4,6 juta PUS atau sekitar 104 persen dari sasaran tahun pertama Repelita VI. Jumlah tersebut naik sekitar 350 ribu PUS dibandingkan pada tahun 1993/94. Tercapainya sasaran peserta KB baru disebabkan tingginya tingkat pencapaian di wilayah Luar Jawa Bali I yaitu sebesar kurang lebih 129 persen. Sedangkan di wilayah Jawa - Bali tingkat pencapaiannya hanya sebesar 94 persen dan di wilayah Luar Jawa - Bali II mendekati sasaran yang ditetapkan (Tabel XVIII-11). Rendahnya tingkat pencapaian di wilayah Jawa - Bali kemungkinan dikarenakan sebagian besar PUS berusia muda sehingga lebih sulit diajak untuk ber-KB karena masih menginginkan anak. Di samping upaya meningkatkan jumlah peserta KB, upaya lain yang dilakukan adalah meningkatkan pemakaian kontrasepsi efektif yang memberikan perlindungan lebih lama terhadap kehamilan. Jenis kontrasepsi efektif tersebut terdiri dari IUD, suntikan, dan implant. Pada tahun 1994/95 pemakaian berbagai jenis alat kontrasepsi oleh peserta KB baru umumnya menurun dibandingkan dengan tahun 1993/94, kecuali pemakaian implant. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin berminat pada alat kontrasepsi efektif (Tabel XVIII-12). XVIII/86 Untuk memberikan hasil nyata dalam penurunan kelahiran, peserta KB baru tersebut dibina kelangsungannya dalam pemakaian alat kontrasepsi. Peserta KB yang secara terus menerus untuk waktu yang lama memakai alat kontrasepsi disebut peserta KB aktif. Pada tahun 1994/95 jumlah peserta KB aktif adalah sekitar 22,8 juta PUS (Tabel VIII-13). Jumlah peserta KB aktif di setiap wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Seperti halnya pada peserta KB baru, peserta KB aktif juga cenderung memakai alat/obat kontrasepsi efektif. Pada tahun 1994/.95 lebih dari 61 persen peserta KB aktif memakai kontrasepsi IUD, Suntikan, dan Implant masing-masing 22 persen, 31 persen dan 8 persen dari seluruh peserta KB aktif (Tabel XVIII-14). Selain melalui kegiatan KIE dan pelayanan KB yang terus menerus, tingginya tingkat kelangsungan pemakaian alat/obat kontrasepsi antara lain oleh karena dilakukannya pendekatan melalui upaya peningkatan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Kegiatan tersebut berupa peningkatan pendapatan bagi peserta KB, serta pembinaan bagi keluarga balita antara lain melalui usaha peningkatan pendapatan kelompok akseptor (UPPKA), yang selanjutnya berkembang menjadi usaha peningkatan pendapatan keluarga sejahtera (UPPKS). UPPKA atau UPPKS dilaksanakan dengan pemberian pinjaman modal secara bergulir kepada peserta KB. Pada tahun 1994/95 peserta UPPKA telah berjumlah 1,8 juta orang. Mulai Repelita VI kegiatan tersebut telah ditingkatkan melalui kerjasama dengan perbankan yaitu PT Bank Negara Indonesia (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan beberapa BUMN seperti PT Indosat, PT Telkom, PT Kimia Farma, dan PT Jasa Raharja. Di samping itu, dalam rangka memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada para ibu tentang bagaimana mendidik dan mengasuh anak balita dibentuk kelompok-kelompok bina keluarga XVIII/87 balita (BKB). Dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan tersebut diharapkan ibu-ibu mampu mendidik dan mengasuh anak balitanya sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sehat seutuhnya. Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 3,4 juta peserta BKB yang tersebar diseluruh Indonesia. Selanjutnya dikembangkan pula bina keluarga remaja (BKR), dan bina keluarga lanjut usia (BKL). c. Pemantapan Pelembagaan Program Dalam rangka meningkatkan pembudayaan NKKBS melalui gerakan keluarga berencana diupayakan keikutsertaan lembagalembaga yang ada dalam masyarakat secara aktif membantu program KB. Dengan upaya itu tumbuh dan berkembang kelompok-kelompok peserta KB yang diorganisasi dalam bentuk pembantu pembina KB desa (PPKBD) dan Sub-PPKBD. Sebagai upaya lebih lanjut untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembangunan KB, dari Sub-PPKBD dikembangkan kelompok-kelompok peserta KB yang terdiri dari 5-10 peserta KB. Pada tahun 1994/95 telah terbentuk sekitar 668,6 ribu kelompok KB yang tersebar di seluruh desa. Seiring dengan partisipasi lembaga-lembaga masyarakat dalam pelaksanaan KB, juga telah ditingkatkan kepedulian dan peran serta pemuka agama, pemuka masyarakat dan lembaga swadaya dan organisasi masyarakat seperti LKK-NU, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), PKK, serta Darma Wanita. Di samping itu, telah pula ditingkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi antara lain: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Dengan keikutsertaan lembaga/organisasi tersebut pada tahun 1994/95 masyarakat yang telah melaksanakan KB secara mandiri berjumlah sekitar 1,5 juta PUS. XVIII/88 d. Pendidikan dan Pelatihan Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan program KB dilakukan usaha-usaha pendidikan dan pelatihan tenaga program KB. Melalui pendidikan dan pelatihan tersebut, kemampuan dan keterampilan teknis makin meningkat sehingga tenaga program makin dapat memenuhi permintaan masyarakat yang akan . ber-KB. Jumlah tenaga program yang mendapat pelatihan pada tahun 1994/95 adalah para dokter sebanyak 2.705 orang dan bidan/pembantu bidan sebanyak 5.370 orang. Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dalam bidang KB dan bidang lain yang terkait, telah ditingkatkan pengetahuan dan keahlian tenaga program melalui pendidikan tinggi dalam program Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana. Pada tahun 1994/95 telah diselenggarakan pendidikan berjenjang yang meliputi: 400 orang D2, 3.000 orang D3, 406 orang S1, 121 orang S2, dan 14 orang S3 baik dalam negeri maupun luar negeri. Kerjasama internasional dalam KB telah dikembangkan terutama di antara negara-negara GNB. Kerjasama ini meliputi pertukaran informasi, pengalaman, keahlian dan iptek sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan kegiatan studi banding di Indonesia bagi 447 peserta yang berasal dari negara-negara Afrika, Asia, Pasifik Selatan dan Amerika Latin. Pelaporan dan Penelitian Salah satu aspek yang penting dalam pengelolaan gerakan KB nasi onal adal ah si st i m pencat at an dan pel apor an yan g d apat XVIII/89 menyediakan informasi secara cepat, tepat, akurat dan terus menerus. Sistem tersebut terus-menerus disempurnakan agar dapat memantau pelaksanaan, hasil dan dampak program KB. Pada akhir Repelita V telah dilakukan desentralisasi pengumpulan dan pengolahan data pada tingkat kabupaten/kotamadya. Dengan demikian, laporan dari tingkat kecamatan dan klinik tidak lagi langsung dikirim ke pusat. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan penyempurnaan sistim pencatatan dan pelaporan dengan mencakup informasi lebih luas yaitu tentang keluarga berencana, demografi dan keluarga sejahtera. Di samping itu dilakukan pula kegiatan penelitian dengan maksud untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang dampak program KB. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan 15 paket penelitian antara lain mengenai peran institusi masyarakat (PKK, PPKBD, BKB) di perdesaan, pelaksanaan KB di daerah kumuh, pantai dan kepulauan, serta penelitian tentang peningkatan kualitas pelayanan. Melalui kegiatan penelitian tersebut diupayakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelayanan KIE, kontrasepsi maupun pelayanan terpadu serta pengembangan kemandirian. Di samping itu dilakukan penelitian pula mengenai pemakaian alat kontrasepsi dalam upaya mengembangkan kontrasepsi yang dapat memberikan kepuasan kepada peserta KB. Penelitian lainnya yang bersifat lebih komprehensif adalah SDKI 1994 yang dilaksanakan berkerja sama dengan BPS dan Departemen Kesehatan. Kajian yang mendalam atas SDKI telah memberikan informasi yang sangat berarti antara lain tentang angka prakiraan jumlah permintaan terhadap pelayanan KB serta gambaran prioritas sasaran gerakan KB dimasa yang akan datang. XVIII/90