BAB 12 PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL BAB 12 PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL I. PENDAHULUAN Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II), pengembangan usaha nasional diarahkan pada peningkatan kemampuan dalam melaksanakan fungsi dan peran dunia usaha dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat ini memberikan landasan bagi pengembangan usaha nasional atas dasar demokrasi ekonomi yang berdasarkan P ancas i l a, yan g dal a m hal i ni produksi di kerj akan ol eh 203 semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang seorang. Amanat tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) 1993. Dalam hal ini, lebih ditegaskan lagi bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, dan dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa, yang diarahkan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan lahir batin, termasuk terpenuhinya rasa aman, rasa tenteram, dan rasa keadilan. Oleh karena itu, segala usaha dan kegiatan pembangunan harus memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Untuk mencapai tujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual, maka pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air. Dalam PJP II bangsa Indonesia memasuki proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat yang maju, adil, makmur dan mandiri berdasarkan Pancasila, dan sekaligus merupakan masa kebangkitan nasional kedua bagi bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dengan makin mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Untuk itu, sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila. Dalam rangka pencapaian sasaran ini, titik berat PJP II diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan peningkatan kualitas 204 sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya. Dalam bidang ekonomi, sasaran yang ingin dicapai pada PJP II adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang makin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri yang kuat, dan maju, pertanian yang tangguh, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan yang kukuh antara badan usaha koperasi, usaha negara dan usaha swasta, serta didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maju, produktif, dan profesional, iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pelaksanaan PJP II tetap bertumpu kepada Trilogi Pembangunan, dengan tekanan yang makin kuat pada upaya untuk membangun masyarakat yang makin berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diperlukan untuk menggerakkan dan memacu pembangunan yang berkelanjutan di berbagai bidang lain sekaligus sebagai kekuatan utama pembangunan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasilnya dengan mendorong lebih meningkatnya peran serta aktif rakyat dalam pembangunan, yang dijiwai semangat kekeluargaan dan didukung oleh stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Untuk mempercepat laju pertumbuhan dunia usaha dan memeratakan kegiatan usaha bagi seluruh lapisan masyarakat, perlu lebih diberikan perhatian pada usaha untuk membina dan melindungi usaha menengah, usaha kecil, tradisional dan informal. Pembangunan koperasi perlu dilanjutkan dan makin diarahkan untuk mewujudkan koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus 205 sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sehat, tangguh, kuat, dan mandiri serta sebagai sokoguru perekonomian nasional, yang merupakan wadah untuk menggalang kemampuan ekonomi rakyat di semua kegiatan perekonomian nasional, sehingga mampu berperan utama dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan itu, perlu ditingkatkan dengan sungguhsungguh penataan koperasi, usaha negara, dan usaha swasta agar masing-masing melaksanakan fungsi dan peranannya dalam perekonomian nasional yang didasarkan pada demokrasi ekonomi berlandaskan Pancasila. Perluasan dan penataan dunia usaha terus ditingkatkan dalam rangka menggairahkan kegiatan ekonomi, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha, serta meningkatkan pendapatan masyarakat secara lebih merata melalui mantapnya iklim yang mendukung pembinaan dan peningkatan usaha menengah, usaha kecil, usaha informal dan tradisional, serta kerja sama kemitraan antara koperasi, usaha negara, dan usaha swasta. Dunia usaha nasional yang terdiri atas koperasi, usaha negara dan usaha swasta akan makin kukuh dan menjadi kekuatan ekonomi nasional yang makin tangguh melalui penciptaan iklim usaha dan pola perdagangan yang sehat, dengan menyuburkan semangat dan kreativitas usaha serta mendorong peran serta, efisiensi, produktivitas dan daya saing serta meningkatkan pemerataan dan memberantas kemiskinan. Tata hubungan dan kerja sama serta kemitraan usaha yang bertanggung jawab antara berbagai unsur ekonomi nasional terutama antara pengusaha kuat dan pengusaha yang masih tertinggal, serta antara usaha besar, menengah dan kecil harus dibina dan dijalin dalam suasana saling membantu dan saling menguntungkan, sebagai suatu perwujudan kesatuan kekuatan ekonomi nasional. Dalam upaya memperluas peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi untuk menopang peningkatan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi perlu dikembangkan kebijaksanaan yang memajukan golongan ekonomi tertinggal melalui perluasan aksesnya terhadap sumber ekonomi dan faktor produksi serta kemudahan memasuki pasar. 206 Dalam bab ini akan dibahas pengembangan usaha nasional umumnya, sedangkan khusus untuk usaha koperasi secara rinci akan diuraikan dalam Bab 13 Koperasi. II. PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL DALAM PJP I Pembangunan nasional selama PJP I telah mampu memacu pertumbuhan ekonomi di seluruh pelosok tanah air dan mengubah struktur ekonomi Indonesia menjadi lebih kukuh dan makin berimbang. Kemajuan tersebut telah memberikan peluang dan landasan yang lebih kuat serta ruang gerak yang lebih luas bagi berkembangnya dunia usaha nasional. Hasil yang dicapai selama PJP I itu adalah berkat ditempuhnya berbagai kebijaksanaan yang tepat dan peran serta masyarakat. Secara sektoral, perkembangan ke arah struktur yang makin berimbang itu ditunjukkan oleh peranan sektor industri dalam produksi nasional yang terus meningkat berdampingan dengan sektor pertanian yang pertumbuhannya cukup mantap. Keadaan ini secara lebih khusus ditunjukkan oleh makin berkurangnya ketergantungan perekonomian Indonesia pada minyak dan gas bumi, baik dalam segi penerimaan devisa dari ekspor maupun dalam segi penerimaan dalam negeri pemerintah. Ekspor nonmigas meningkat dengan pesat, terutama dengan dilaksanakannya kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi sejak akhir Repelita III. Demikian pula, kebijaksanaan ini telah mendorong peningkatan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA). Perubahan struktur ekonomi tersebut tercermin pula dari makin meningkatnya peranan masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan pembangunan. Selma dasawarsa 1970-an bagian terbesar dari investasi dalam negeri berasal dari sektor pemerintah. Keadaan tersebut berbalik pada bagian kedua dasawarsa 1980-an, yang bagian terbesar dari investasi dalam negeri berasal dari masyarakat dan dunia usaha. Meningkatnya peranan dan partisipasi masyarakat termasuk dunia usaha dalam kegiatan pembangunan 207 makin memperkuat landasan bagi perekonomian Indonesia untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat di waktu mendatang. Lebih jauh lagi, makin meningkatnya peranan masyarakat dan dunia usaha dalam kegiatan pembangunan telah memberikan dampak ganda, yaitu meningkatkan lapangan kerja dan menciptakan kesempatan berusaha, serta makin dapat menyebarkan hasil pembangunan ke daerah yang sebelumnya kurang tersentuh oleh kegiatan ekonomi dan sekaligus masyarakat dapat menikmati hasilhasil itu secara langsung. Keadaan ini dimungkinkan, antara lain, karena makin mantapnya prasarana ekonomi nasional dalam PJP I yang tampak dari makin meningkat dan makin meluasnya jaringan pelayanan prasarana dasar seperti listrik, air bersih, jalan, pelabuhan, dan telekomunikasi. Lembaga keuangan yang terdiri atas perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, juga memegang peran penting dalam perkembangan dunia usaha, dan telah dapat melayani kebutuhan dunia usaha bagi pembiayaan investasi, baik investasi dalam kegiatan bare maupun untuk kepentingan restrukturisasi ataupun perluasan kegiatan yang ada, dan pembiayaan modal kerja. Pada tahun 1968 jumlah kredit yang disalurkan oleh lembaga perbankan yang terdiri atas bank sentral, bank pemerintah, bank swasta nasional dan bank asing campuran, berjumlah Rp126 miliar. Pada tahun 1992/93 jumlah ini meningkat hampir seribu. kali menjadi Rp124,9 triliun. Kredit tersebut dipergunakan untuk tujuan produksi, perdagangan, dan kebutuhan lainnya. Meningkatnya pelayanan kredit tersebut antara lain ditopang oleh telah berkembangnya dengan pesat sektor perbankan selama PJP I. Lembaga keuangan bukan bank seperti lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, dan pegadaian juga memegang peran yang makin penting dalam menopang perkembangan dunia usaha nasional. Lembaga pembiayaan telah mampu membiayai investasi dengan jumlah Rpl,9 triliun pada tahun 1987/88 dan meningkat 208 menjadi Rp6,8 triliun pada tahun 1991. Perkembangan usaha asuransi juga meningkat cukup pesat. Jumlah premi asuransi pada tahun 1972 adalah Rp25,7 miliar dan nilai investasi Rpl0,2 miliar, sedangkan pada tahun 1992 premi meningkat menjadi Rp2,7 triliun dan nilai investasi Rp6,3 triliun. Berbagai langkah yang ditempuh sejak tahun 1987 telah mampu mendorong perkembangan pasar modal yaitu sebagai salah satu sarana utama penghimpun dana dan pembiayaan jangka panjang bagi dunia usaha. Perkembangan itu terlihat dari bertambahnya jumlah perusahaan yang menerbitkan saham dan memasarkan obligasi di Bursa Efek Jakarta. Selama kurun waktu 1977-1987 ada 27 perusahaan yang menerbitkan saham dan obligasi. Sejak tahun 1988 sampai dengan akhir bulan Mei 1993 jumlah perusahaan yang masuk bursa (go public) telah berkembang menjadi 194 perusahaan. Perincian perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta adalah 156 buah yang menerbitkan saham dan 25 perusahaan memasarkan obligasi, sedangkan di bursa paralel tercatat 5 perusahaan menerbitkan saham dan 8 perusahaan memasarkan obligasi. Nilai kapitalisasi saham dan obligasi yang diterbitkan melalui pasar modal meningkat dari Rp3,2 triliun pada akhir tahun 1989 menjadi Rp36,7 triliun pada pertengahan tahun 1993 atau hampir 12 kali lipat dalam waktu kurang dari 4 tahun. Di bawah ini akan diuraikan secara lebih rinci perkembangan penanaman modal, perkembangan badan usaha milik negara (BUMN), serta perkembangan usaha kecil, informal, dan tradisional dalam PJP I. 1. Perkembangan Penanaman Modal Dampak dari berbagai kebijaksanaan dunia usaha antara lain tercermin dari peningkatan yang sangat pesat dalam jumlah dan nilai persetujuan penanaman modal. Jika pada tahun 1967/68 telah disetujui 45 proyek PMA dengan nilai investasi sebesar US$ 471,3 juta, sampai dengan tahun 1992/93 jumlah kumulatif proyek yang 209 disetujui meningkat 55 kali lipat menjadi 2.486 proyek dengan nilai investasi meningkat 116 kali lipat menjadi US$ 54,9 miliar. Selain itu, pada tahun 1968 hanya ada persetujuan 26 proyek PMDN dengan nilai investasi Rp37 miliar. Sampai dengan tahun 1992/93 jumlah kumulatif proyek PMDN telah meningkat 320 kali lipat menjadi 8.321 proyek, sedangkan nilai investasi meningkat lebih dari 5.821 kali lipat menjadi Rp215,4 triliun. . Selama PJP I, sebagian besar investasi PMDN dan PMA masih terpusat di Jawa: Pada Repelita I, nilai PMDN yang disetujui di Jawa mencapai 76 persen, dan pada Repelita V hanya mencapai 63,8 persen dari nilai investasi dalam periode yang bersangkutan. Ni1ai PMA yang disetujui di Jawa pada Repelita I mencapai 85,6 persen, dan pada Repelita V turun menjadi 72,1 persen. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan nilai investasi di luar Jawa. Pada Repelita II dan III, persetujuan PMDN di luar Jawa mulai meningkat setelah diberikannya insentif fiskal untuk proyek yang berlokasi di luar Jawa. Makin banyaknya PMDN yang berlokasi di luar Jawa pada Repelita IV sejalan dengan makin tersedianya prasarana dan sarana fisik di luar Jawa terutama di Sumatera. Pada Repelita V peningkatan penanaman modal dalam rangka PMDN di Jawa disebabkan oleh berkembangnya usaha properti, kawasan industri, dan jasa lainnya seperti pariwisata, konsultansi, rekayasa, telekomunikasi nondasar, jalan tol, dan pembangkit tenaga listrik. D a l a m upaya mendorong PMDN dan PMA ke kawasan timur Indonesia telah dikeluarkan berbagai kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi antara lain dengan diperbolehkannya pemilikan saham asing hingga 100 persen untuk jangka waktu tertentu; kemudahan berupa keringanan pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 50 persen untuk lima tahun pertama serta mendapat perlakuan pajak penghasilan (PPh) yang berbeda berupa kompensasi kerugian selama 8 tahun; dan kemudahan berupa 210 keluwesan dalam menggunakan metode penyusutan dan dalam menggunakan tenaga kerja asing pendatang. Persetujuan PMDN dan PMA yang berorientasi ekspor dalam PJP I terutama dalam Repelita IV dan V telah berkembang cukup pesat. Selama Repelita I, PMDN dan PMA berorientasi ekspor yang menonjol dan potensial sebagai penghasil devisa mencakup bidang kehutanan dan perikanan. Dalam Repelita II PMDN dan PMA berorientasi ekspor telah diperluas dan meliputi industri kayu, industri makanan dan mineral bukan logam serta perkebunan. Dalam Repelita III, peningkatan PMDN dan PMA yang berorientasi ekspor makin luas, dalam hal ini bidang kehutanan, perkebunan, perikanan, industri kayu, industri makanan dan mineral bukan logam sebagai penghasil devisa makin kuat. Sejalan dengan itu, industri kimia, barang logam dan tekstil mulai menonjol pula. Sejak Repelita IV, industri kertas dan barang logam mulai pula menjadi andalan penghasil devisa. Kemampuan industri tersebut di atas sebagai penghasil devisa makin menonjol dan mantap dalam periode Repelita V. 2. Perkembangan Badan Usaha Milik Negara Dalam PJP I berbagai kebijaksanaan pembinaan, pengelolaan dan pengawasan BUMN dilaksanakan untuk mencapai sasaran memantapkan peran serta BUMN dalam pembangunan perekonomian nasional. Kebijaksanaan itu meliputi pemantapan organisasi, penegasan fungsi, dan penyempurnaan pola pengembangan sehingga BUMN mampu menjadi makin produktif, makin efektif, dan makin efisien. Dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas itu dalam tahun-tahun terakhir PJP I telah dimulai kerja sama antara BUMN dengan berbagai lembaga pendidikan untuk meningkatkan kemampuan para pengelola BUMN dalam berbagai bidang. Peningkatan efisiensi juga dilakukan dengan mendorong penghematan biaya, mengarahkan investasi agar lebih efektif, dan meningkatkan pengawasan oleh para anggota dewan pengawas atau 211 dewan komisaris BUMN. Sejalan dengan itu, selain adanya keterbatasan dana pemerintah dan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan dana itu, penyertaan modal pemerintah (PMP) untuk pembiayaan investasi BUMN makin diperketat. Berkat berbagai kebijaksanaan itu, BUMN selama PJP I sudah banyak yang meraih kemajuan, baik dalam bentuk memperoleh keuntungan sebagai layaknya sebuah badan usaha maupun dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan negara sesuai dengan fungsinya. Dalam Repelita V, sumbangan pajak perseroan BUMN secara absolut mencapai rata-rata sebesar 38 persen dari total penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari BUMN dan bukan BUMN, tetapi secara relatif menurun dibandingkan dengan sumbangan dalam Repelita IV. Hal ini menunjukkan makin besarnya sumbangan usaha swasta dalam bentuk pajak perseroan dan penghasilan. Di pihak lain, sumbangan BUMN untuk penerimaan bukan pajak berupa deviden, dana pembangunan semesta (DPS) dan bagian laba pemerintah (BLP) mencapai rata-rata sebesar 44,6 persen dari total penerimaan bukan pajak yang berasal dari BUMN dan bukan BUMN. Sumbangan ini baik secara absolut maupun secara relatif meningkat dibandingkan dengan sumbangan dalam Repelita Keadaan ini mencerminkan adanya peningkatan efisiensi dan produktivitas dalam pengelolaan BUMN, dan sekaligus menunjukkan peran usaha swasta dalam bentuk sumbangan pajak yang makin meningkat. Perkembangan BUMN yang semakin mantap selama PJP I ditunjukkan pula oleh makin mampunya BUMN mengemban fungsinya yang lain, yaitu sebagai perintis berbagai kegiatan usaha, dan sebagai badan usaha yang turut menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Keberhasilan BUMN sebagai perintis usaha itu memberikan dampak berupa lebih terbukanya kesempatan bagi koperasi dan swasta untuk memasuki usaha baru. 212 3. Perkembangan Usaha Kecil, Informal, dan Tradisional Pengembangan usaha kecil, informal dan tradisional selama PJP I bertujuan meningkatkan kemampuan pengusaha kecil, informal dan tradisional untuk berperan serta dalam pembangunan. Sejalan dengan itu, telah dilaksanakan berbagai pembinaan usaha untuk mengembangkan kewirausahaan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, pembimbingan dan penyuluhan, baik secara langsung maupun dalam bentuk kerja sama dalam kemitraan yang sejajar dengan pengusaha besar dan menengah. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan usaha disediakan pula berbagai kemudahan kredit dan permodalan, serta bantuan untuk tempat berusaha, bimbingan teknologi, informasi pasar, dan pemasaran. Dalam rangka kemudahan kredit sejak Repelita I telah disediakan berbagai fasilitas kredit dengan persyaratan ringan, di antaranya kredit investasi kecil (KIK) dan kredit modal kerja permanen (KMKP) yang dimulai tahun 1973 dan berakhir pada Januari 1990. Fasilitas kredit itu kemudian diperluas dengan kredit mini sejak tahun 1974, kredit candak kulak (KCK) sejak tahun 1979/80 dan kredit midi sejak tahun 1980/8.1. Sejak tahun 1984 kredit mini dan kredit midi tersebut disempurnakan menjadi kredit umum perdesaan (Kupedes) agar jangkauannya lebih luas serta prosedurnya lebih mullah dan lebih cepat. Nilai Kupedes yang diberikan kepada setiap nasabah minimum sebesar Rp25 ribu dan maksimum Rp2 juta. Kupedes yang telah disalurkan sampai dengan tahun 1992/93 berjumlah Rp1,7 triliun. Apabila dibandingkan dengan penyaluran Kupedes sampai dengan akhir Repelita IV sebesar Rp606,5 miliar, berarti jumlah yang disalurkan meningkat 180,3 persen. Jumlah nasabah penerima Kupedes juga menunjukkan peningkatan. Sampai dengan tahun terakhir Repelita IV, yaitu tahun 1988/89 ada sekitar 1,4 juta nasabah. Sampai dengan tahun 1992/93 jumlah nasabah telah mencapai sekitar 1,7 juta nasabah, berarti meningkat sekitar 21,4 persen. 213 Sementara itu simpanan perdesaan (Simpedes) yang terhimpun sampai dengan 1992/93 berjumlah Rp1,7 triliun dengan jumlah penyimpan sebanyak 5,3 juta orang. Melalui kebijaksanaan yang dikenal sebagai Paket Januari 1990, fasilitas kredit bagi pengusaha kecil lebih diperluas dengan kredit usaha kecil (KUK). Kebijaksanaan itu mewajibkan setiap bank, kecuali bank asing/campuran, untuk mengalokasikan paling sedikit 20 persen dari jumlah seluruh kredit yang disalurkannya kepada pengusaha golongan ekonomi lemah dalam bentuk KUK. Nilai KUK yang diberikan kepada setiap nasabah maksimum sebesar Rp200 juta. Perkembangan penyaluran dana KUK telah menunjukkan peningkatan dari Rp 14,1 triliun sampai dengan Desember 1989 menjadi Rp22,6 triliun sampai dengan Desember 1992. Sampai dengan September 1993, untuk pengusaha kecil, informal, dan tradisional telah diberikan berbagai fasilitas perkreditan melalui koperasi/KUD, yaitu dalam bentuk kredit usaha tani (KUT) telah mencapai Rpl,3 triliun, kredit produksi tebu rakyat intensifikasi (TRI) mencapai Rp l,l triliun, serta kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA) berupa kredit modal kerja telah mencapai Rp829,9 miliar dan kredit investasi mencapai Rp112 miliar. Untuk membantu usaha di perdesaan yang belum terjangkau oleh sektor keuangan formal, pada tahun 1991 telah diaktifkan kembali sebanyak 1.346 badan kredit desa (BKD). Sampai dengan Maret 1993, kredit yang disalurkan telah mencapai Rp68,2 miliar dan sejak saat itu BKD dilebur menjadi bank perkreditan rakyat (BPR). Di samping fasilitas kredit prioritas tersebut, sejak tahun 1984 telah disediakan pula jenis kredit lainnya, seperti kredit dalam 214 rangka pengadaan barang untuk Pemerintah sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden (Keppres) No. 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN. Keppres tersebut secara khusus telah mencantumkan ketentuan untuk menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang dapat memberikan kesempatan usaha yang lebih luas bagi pengusaha kecil. Selama PJP I telah cukup banyak pengusaha kecil yang memanfaatkan kesempatan usaha tersebut dengan berhasil. Untuk meningkatkan kemampuan usaha industri kecil telah dilakukan pembinaan melalui kegiatan bimbingan dan pelayanan dalam sentra industri kecil. Sejak awal Repelita III sampai dengan tahun 1992 telah dibina sebanyak 7.522 sentra industri kecil di 27 propinsi. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara bersama dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang dimiliki oleh usaha swasta dan BUMN, serta berbagai balai latihan kerja dan balai penelitian milik pemerintah. Guna meningkatkan dan memperluas produksi barang dan bahan yang dihasilkan oleh pengusaha kecil, telah dikembangkan informasi usaha termasuk informasi pasar dan kegiatan promosi untuk barang dan bahan yang bersangkutan. Selain itu, untuk perluasan pemasaran bagi barang dan bahan yang dihasilkan oleh para pengusaha kecil telah dijalin program bapak angkat dan anak angkat. Kegiatan itu juga bertujuan membantu peningkatan jumlah dan kualitas produksi, pengadaan bahan baku, meningkatkan kemampuan manajerial, serta rekomendasi untuk mendapatkan kredit perbankan untuk permodalan. Sejak tahun 1989 dalam Repelita V telah dikeluarkan kebijaksanaan tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui BUMN. Pedoman itu menetapkan kewajiban BUMN untuk menyisihkan dana 1 persen sampai 5 persen dari laba setelah pajak untuk pengembangan usaha kecil dan koperasi. Dana tersebut disalurkan untuk meningkatkan kemampuan manajemen, mengatasi masalah kekurangan modal kerja, meningkatkan 215 keterampilan berproduksi dan pemasaran, serta memberikan jaminan dalam memperoleh kredit bank. Sampai dengan Oktober 1993 dana yang telah terhimpun berjumlah Rp326,7 miliar dan telah disalurkan sebesar 53 persen. Dana itu telah dimanfaatkan oleh sejumlah mitra usaha terdiri atas koperasi 9.348 unit dan pengusaha kecil 26.196 orang. Berbagai fasilitas dan kebijaksanaan yang khusus untuk pengembangan usaha kecil selama PJP I telah memberikan hasil yang berdampak ganda, tercermin antara lain dari meningkatnya jumlah unit usaha dan nilai produksi industri kecil serta meningkatnya penyerapan tenaga kerja di bidang industri kecil. Demikian pula ekspor komoditas industri kecil berkembang cukup pesat, seperti tercermin dari nilai ekspor yang semakin meningkat. Proporsi terbesar ekspor tersebut dalam volume disumbangkan oleh kelompok industri pangan, industri kimia dan bahan bangunan. Sementara itu proporsi terbesar dalam hal nilai ekspor adalah dari kelompok industri sandang, industri kulit, dan industri aneka kerajinan. III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN Peranan dunia usaha dalam pembangunan pada PJP I semakin penting. Dalam PJP II peranan dunia usaha dalam pembangunan akan meningkat lagi. Dalam rangka itu, berbagai masalah diperkirakan akan dihadapi dalam pengembangan dunia usaha dalam PJP II. Oleh karena itu, perlu dikenali tantangan, kendala, serta peluang yang ada agar dapat diambil kebijaksanaan dan program-program pembangunan yang tepat. 1. Tantangan Sebagai hasil PJP I, landasan pengembangan dunia usaha nasional sudah lebih luas dan potensi pengembangannya makin 216 meningkat. Namun, masih banyak pula masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, yang penanganannya masih perlu dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II, sebagai tantangan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Dalam PJP II pembangunan ekonomi diarahkan pada terwujudnya perekonomian nasional yang mandiri dan andal berdasarkan demokrasi ekonomi untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara selaras, adil, dan merata. Dalam pada itu, pertumbuhan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Untuk mewujudkan hal itu, usaha nasional yang terdiri atas koperasi, usaha negara dan usaha swasta harus tertata dengan mantap sehingga mampu menjadi penggerak utama pembangunan dan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan kegiatan pembangunan dan hasilnya, serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Upaya penataan struktur dunia usaha telah dilakukan sejak PJP I, tetapi hasilnya masih dirasakan belum memuaskan. Meskipun koperasi, usaha negara, dan usaha swasta telah tumbuh dan berkembang, laju pertumbuhan dan perkembangannya tidak berjalan dengan kecepatan yang sama, sehingga kedudukan dan kekuatan tiap-tiap wadah ekonomi tersebut secara struktural tidak berimbang. Dalam kaitan itu, makin disadari pentingnya peran serta seluruh dunia usaha dalam mengatasi masalah nasional ini. Oleh karena itu, tantangan utama yang dihadapi dalam pengembangan usaha nasional dalam PJP II adalah membangun kembali struktur dan mengonsolidasikan seluruh kekuatan ekonomi nasional sehingga koperasi, usaha negara, dan usaha swasta melaksanakan fungsi dan peranannya dalam perekonomian nasional yang berdasar pada demokrasi ekonomi. Agar usaha nasional mampu menjadi kekuatan nasional yang tangguh, diperlukan struktur dunia usaha nasional yang andal dan kukuh, yang antara lain ditunjukkan oleh adanya lapisan pengusaha menengah yang tangguh, yang saling menyangga dengan lapisan 217 pengusaha kecil dan lapisan pengusaha besar yang kuat. Struktur yang demikian belum terwujud dalam PJP I, yang ditunjukkan oleh adanya lapisan pengusaha besar yang relatif sedikit jumlahnya dan menguasai sebagian besar aset nasional, lapisan pengusaha menengah yang sangat sedikit dan kurang tangguh, serta lapisan pengusaha kecil sebagai dasar perekonomian rakyat yang banyak jumlahnya tetapi belum andal. Dengan struktur dunia usaha seperti itu, perekonomian nasional menjadi kurang kukuh dan demokrasi ekonomi tidak mudah diwujudkan. Sementara itu, usaha menengah dan kecil termasuk koperasi, serta usaha informal dan tradisional, memiliki potensi sangat besar dalam memperkukuh struktur dunia usaha, selain itu mampu pula menciptakan kesempatan usaha dan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan rakyat. Namun, terbatasnya akses terhadap faktor produksi, peluang pasar dan kemampuan usaha menyebabkan lapisan usaha tersebut belum berkembang secara optimal untuk dapat menjadi tangguh dan mandiri. Dengan demikian, tantangan dalam mewujudkan struktur dunia usaha nasional yang andal dan kukuh adalah menumbuhkan lapisan pengusaha menengah dan kecil yang tangguh yang memiliki usaha yang efisien, sehat, dan mandiri, serta mampu menjadi unsur kekuatan ekonomi rakyat dan sebagai tulang punggung dunia usaha nasional sehingga mempercepat upaya memperkukuh struktur perekonomian nasional. Dalam memasuki PJP II sejalan dengan makin pesatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, perekonomian dunia mengalami proses perubahan yang pesat dan mendasar, yang antara lain ditandai oleh makin terbukanya perekonomian dunia, makin tingginya kesalingtergantungan ekonomi antarnegara, dan makin ketatnya persaingan usaha. Proses perubahan yang pesat dan mendasar tersebut perlu dihadapi secara positif dan aktif. Perubahan itu membuka berbagai kesempatan dan sekaligus juga tantangan. Kemajuan yang pesat di bidang teknologi merupakan peluang bagi pengembangan ekonomi nasional. Untuk itu, kemajuan teknologi menuntut dunia usaha untuk mampu menyerap, menguasai, mengembangkan, dan mendayagunakan teknologi. Di samping kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja, teknologi berperan 218 mendorong upaya mempertahankan keunggulan komparatif secara dinamis guna menghadapi persaingan usaha yang makin ketat. Dalam kaitan itu, patut diperhatikan pula berbagai masalah yang menjadi perhatian dunia internasional, seperti masalah kelestarian fungsi lingkungan hidup dan berbagai masalah politik yang dikaitkan dengan kerja sama ekonomi dan perdagangan, yang dapat pula berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian di masa depan. Penanganan terhadap berbagai masalah tersebut menuntut terbentuknya konsolidasi dan kerja sama yang kukuh dalam dunia usaha nasional, dan antara dunia usaha, dan pemerintah. Dengan demikian, tantangan bagi dunia usaha adalah meningkatkan daya saing dalam pasar dunia dengan mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi dalam kerja sama ekonomi dan perdagangan internasional. Pembangunan yang makin meningkat dalam PJP II memerlukan dana yang makin besar pula, baik yang berasal dari sumber dana dalam negeri maupun sumber dana luar negeri, sebagai pelengkap. Dalam hubungan itu, PMDN dan PMA sebagai sumber investasi yang penting diharapkan berperan dalam memacu pertumbuhan dan pemerataan, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Dalam PJP I investasi dunia usaha telah me ningkat pesat, tetapi persebarannya masih belum merata sehingga belum sepenuhnya mendukung upaya pemerataan antardaerah, antarsektor, dan antargolongan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, serta memperbaiki struktur dunia usaha. Investasi masih terpusat di Jawa atau kawasan barat Indonesia pada umumnya, sedangkan investasi di kawasan timur Indonesia masih sangat terbatas. Secara sektoral, tampak investasi di sektor pertanian masih relatif tertinggal dibandingkan dengan investasi di sektor industri. Dalam pada itu, dana yang dimiliki masyarakat belum dimanfaatkan secara optimal dalam kegiatan investasi. Di sisi lain, persaingan dalam menarik investor asing makin ketat sebagai akibat adanya kecenderungan arus modal di dunia yang bergerak di antara dan ke negara-negara maju serta munculnya- negara pesaing 219 lain yang menyediakan berbagai kemudahan yang menarik. Oleh karena itu, tantangan dalam PJP II adalah memobilisasi segala dana dan daya pembangunan, terutama yang berasal dari dalam negeri, untuk meningkatkan, dan menyeimbangkan persebarannya antardaerah, antarsektor dan antargolongan ekonomi sesuai dengan tuntutan pembangunan nasional yang makin meningkat dan merata. Selain itu, upaya untuk menarik sumber daya luar negeri, baik modal maupun teknologi yang masih dibutuhkan untuk menunjang pembangunan, dan dalam suasana persaingan yang makin ketat juga merupakan tantangan. Dalam perekonomian nasional, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam hubungan itu, BUMN berfungsi dan berperan sebagai perintis, penggerak, dan pengarah pembangunan ekonomi, di samping memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menyumbang pembiayaan negara, serta menjadi stabilisator kegiatan usaha nasional. Selain itu, BUMN juga berperan sebagai pembina ekonomi rakyat. Pada kenyataannya, belum semua BUMN dapat melaksanakan fungsi dan perannya secara optimal, antara lain karena mekanisme kerja, efisiensi, dan produktivitasnya masih rendah. Dengan demikian, menjadi tantangan pula untuk meningkatkan kemampuan dan ketangguhan BUMN dalam pengelolaan serta penyelenggaraan fungsi dan perannya sesuai dengan amanat UUD 1945. 2. Kendala Perubahan perekonomian dunia yang ditandai dengan munculnya pengelompokan ekonomi antarnegara seperti Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North America Free Trade Agreement-NAFTA), dapat meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang makin menjadi kendala pemasaran hasil produksi usaha nasional dan mendorong persaingan yang kurang sehat. 220 Selain itu, secara umum pengembangan usaha nasional juga menghadapi kendala berupa rendahnya kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari kurang berkembangnya kewirausahaan dan rendahnya profesionalisme para pengusaha nasional. Kendala itu mempengaruhi efisiensi dan produktivitas usaha dan selanjutnya membatasi daya saing dan kemampuan dalam menciptakan dan memanfaatkan peluang usaha. Kinerja usaha nasional selain dipengaruhi oleh kualitas pengusahanya dan ketersediaan berbagai faktor produksi yang dibutuhkan juga dipengaruhi oleh tersedianya prasarana dan sarana penunjang yang memadai. Dalam hubungan itu, memasuki PJP II, dunia usaha nasional juga masih menghadapi kendala umum berupa terbatasnya sarana dan prasarana penunjang dengan persebaran yang kurang merata; iklim usaha yang belum sepenuhnya mendukung pengembangan dunia usaha; belum lengkapnya kelembagaan antara lain peraturan perundangan yang mendukung pengembangan usaha nasional, serta belum mantapnya pembinaan usaha nasional, baik antarsektor dan antargolongan ekonomi maupun antardaerah. Selain menghadapi kendala umum di atas, usaha kecil termasuk usaha informal dan tradisional pada khususnya juga menghadapi kendala lain, seperti terbatasnya akses terhadap bahan baku, permodalan, teknologi, informasi, dan pasar; terbatasnya kesempatan usaha dan kurangnya kepastian usaha; belum memadainya prasarana dan sarana usaha; serta terbatasnya kemampuan organisasi dan manajemen, termasuk kemampuan untuk menjalin kerja sama dalam kemitraan dengan wadah ekonomi lainnya. 3. Peluang Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan cukup tinggi dalam Repelita VI akan membuka berbagai peluang usaha, termasuk usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional. Adanya kemauan politik yang kuat dari Pemerintah dan berkem bangn ya t untutan 221 masyarakat untuk menciptakan pembangunan yang makin berkeadilan dan membangun sistem ekonomi yang lebih demokratis akan menciptakan lebih banyak peluang bagi pengembangan usaha menengah dan kecil termasuk usaha informal dan tradisional. Dengan makin meningkatnya daya beli dan perluasan pola permintaan rakyat, berarti pasar dalam negeri akan berkembang lebih besar sehingga memberikan peluang untuk menumbuhkan usaha nasional. Ketersediaan tenaga kerja yang mutunya makin meningkat serta sumber daya alam yang beraneka ragam merupakan pula peluang untuk menghasilkan produk yang lebih beragam dan kompetitif dalam meraih pasar luar negeri. Perubahan struktur perekonomian nasional dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa menciptakan peluang bagi berkembangnya penganekaragaman usaha termasuk agrobisnis, agroindustri, dan industri kecil lainnya. Makin terbukanya perekonomian dunia juga akan menciptakan peluang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, melalui kerja sama dengan negara tetangga, terutama di lingkungan negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). dan Asia Pasifik, serta negara mitra dagang lainnya. Kerja sama ini sekaligus akan membuka peluang pasar luar negeri termasuk bagi hasil produksi usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional; serta peluang untuk menarik modal asing. IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN 1. Arahan GBHN 1993 Dalam rangka pembangunan usaha nasional, GBHN 1993 telah menetapkan berbagai arahan dalam Repelita VI sebagai berikut. 222 Pengembangan dan pembinaan usaha nasional yang meliputi koperasi, usaha negara, dan usaha swasta diarahkan agar tumbuh menjadi kegiatan usaha yang mampu menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja menuju terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Dalam rangka pengembangan dan pembinaan usaha nasional terus didorong perluasan kerja sama dan keterkaitan usaha antarsektor dan antarsubsektor, antara usaha skala besar, menengah, dan kecil, berdasar kemitraan usaha yang saling menunjang dan saling menguntungkan, dengan semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Usaha nasional terus dibina dan dikembangkan agar makin berperan dalam mendorong perkembangan pasar dalam negeri dan meningkatkan daya beli rakyat serta makin mampu bersaing untuk melakukan terobosan pasar internasional sehingga makin mampu menghadapi arus globalisasi dan regionalisasi perekonomian dunia. Kerja sama usaha terutama dalam kegiatan investasi, perdagangan, dan pariwisata di lingkungan negara-negara ASEAN dan Asia Pasifik terus ditingkatkan secara menguntungkan dan diabdikan kepada kepentingan nasional. Dalam pengembangan usaha nasional harus dicegah penguasaan sumber ekonomi dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok atau golongan masyarakat tertentu dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat. Kerja sama antara koperasi, usaha negara, dan usaha swasta perlu lebih ditingkatkan dan dikembangkan. Badan usaha yang sudah berkembang dan berhasil harus didorong untuk membantu usaha ekonomi yang belum maju dalam meningkatkan kemampuan usaha ekonominya. Koperasi didorong untuk meningkatkan kerja sama antarkoperasi dan memperkukuh jaringan usahanya sehingga mampu berkembang menjadi usaha berskala besar yang lebih efisien dan produktif. Badan usaha milik negara terutama yang kegiatannya menyangkut kepentingan negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, perlu makin ditingkatkan efisiensi dan produktivitasnya. 223 Kemampuan dan peranan usaha kecil terus dikembangkan dengan meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana usaha disertai dengan pengembangan iklim yang mendukung, termasuk penyederhanaan perizinan, menyediakan kemudahan dalam melakukan investasi, memperoleh permodalan dan kesempatan usaha, juga kemudahan dalam memperoleh pendidikan, pelatihan dan bimbingan manajemen, serta alih teknologi. Teknologi yang telah dikuasai secara turun-temurun dan padat karya atau mempunyai ciri seni budaya daerah yang khas yang dimiliki oleh usaha kecil perlu memperoleh pengembangan dan perlindungan. Kewirausahaan di kalangan generasi muda, koperasi dan golongan ekonomi lemah perlu terus dipupuk dan dikembangkan melalui peningkatan kemampuan berproduksi, berusaha dan bekerja sama serta kemampuan menciptakan daya saing dalam pemasaran hasil produksi dan jasa. Pemberian berbagai bimbingan teknis dan informasi pasar perlu dilanjutkan agar koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah makin mampu memanfaatkan setiap peluang usaha yang mempercepat kemandirian dan memiliki kepribadian yang tangguh sebagai wiraswasta. Untuk menunjang usaha nasional, penanaman modal oleh masyarakat perlu lebih digalakkan, terutama penanaman modal dalam negeri. Penanaman modal asing masih diperlukan dan didorong untuk mendukung pembangunan di berbagai kegiatan yang belum mampu sepenuhnya dilaksanakan dengan modal dalam negeri, terutama yang menghasilkan barang modal, bahan baku, dan komponen sebagai substitusi impor, barang jadi, dan barang setengah jadi guna menciptakan kesempatan usaha dan lapangan kerja, meningkatkan ekspor, dan mendorong alih teknologi. Proses Indonesianisasi penanaman modal asing perlu terus dilakukan secara terarah dan bertahap. Usaha informal dan tradisional sebagai bagian dari ekonomi rakyat yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat serta merupakan kegiatan ekonomi nyata yang makin luas, perlu terus 224 dibina dan dilindungi agar tumbuh menjadi unsur kekuatan ekonomi yang andal, mandiri, dan maju serta mampu berperan dalam menciptakan kesempatan usaha dan lapangan kerja. Pembinaan usaha ekonomi rakyat diutamakan pada pengembangan kewiraswastaan, penyediaan sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan dan pelatihan, bimbingan dan penyuluhan, serta permodalan agar dapat meningkatkan usahanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2. Sasaran a. Sasaran PJP II Sasaran pengembangan usaha nasional dalam PJP II adalah terwujudnya struktur dunia usaha nasional yang makin kukuh dan makin berimbang sehingga usaha koperasi, usaha swasta dan usaha negara dapat melaksanakan peran dan fungsi pengembangan usaha berlandaskan demokrasi ekonomi. Di samping itu, menjadi sasaran pula terciptanya lapisan pengusaha menengah yang makin besar jumlahnya dan lapisan pengusaha kecil serta koperasi yang makin kuat, tangguh dan berperan dalam perekonomian nasional; terwujudnya Indonesia sebagai bangsa niaga yang andal dan tangguh dengan mantapnya daya saing usaha nasional di pasar dunia; serta seimbangnya persebaran investasi antardaerah, antarsektor, dan antargolongan ekonomi. Sehubungan dengan itu, dalam PJP II sasaran bertambahnya kesempatan kerja direncanakan sebanyak 68.647,5 ribu orang. Dari sasaran ini 3,6 persen adalah pengusaha informal sebesar 2.471,1 ribu orang yang terdiri dari 1.925,8 ribu orang berusaha sendiri dan 545,3 ribu orang berusaha dengan keluarga. Sedangkan sasaran pengusaha formal, yaitu pengusaha dengan buruh tetap sebesar 4.199 ribu orang atau 6,1 persen dari tambahan kesempatan kerja. 225 b. Sasaran Repelita VI Sasaran Repelita VI, adalah terwujudnya kualitas dan kemampuan usaha kecil, informal, dan tradisional yang makin kuat dan makin terorganisasi ke dalam unit usaha formal terutama koperasi. Berkaitan dengan itu, terwujud pula usaha menengah dan kecil yang jumlahnya makin besar dan berkualitas serta berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan nilai tambah. Sejalan dengan itu, menjadi sasaran pula dalam Repelita VI meningkatnya jumlah pengusaha menengah yang tangguh yang berasal dari tumbuhnya pengusaha baru, dan dari peningkatan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah; serta makin meningkatnya kemampuan dan kemandirian lapisan pengusaha kecil dengan peran yang makin besar dalam perekonomian nasional. Seiring dengan itu, sasaran lainnya adalah meningkatnya keterkaitan dan kemitraan usaha yang sejajar antara pengusaha besar, menengah, dan kecil yang saling mendukung dan saling menguntungkan. Disamping itu merupakan sasaran pula dalam Repelita .VI meningkatnya kemampuan koperasi untuk berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat. Adapun sasaran BUMN dalam Repelita VI adalah makin meningkatnya efisiensi dan produktivitas BUMN sehingga makin berperan, baik sebagai perintis, penggerak, dan pengarah usaha yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak dan usaha strategis maupun sebagai stabilisator perekonomian nasional; serta makin meningkatnya perolehan laba sebagai sumber penerimaan negara dan makin meningkatnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Secara khusus, dalam Repelita VI direncanakan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6,2 persen per tahun. Sumber pertumbuhan tersebut berasal dari peningkatan stok modal; peningkatan efisiensi; dan peningkatan sumbangan tenaga kerja. Untuk mencapai pertumbuhan itu diperlukan investasi sebesar Rp660,1 triliun 226 dan lebih dari 73 persen dari investasi tersebut diharapkan bersumber dari masyarakat. Ini menunjukkan makin besarnya peranan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan nasional. Berdasarkan sasaran tersebut maka dalam Repelita VI direncanakan bertambahnya kesempatan kerja sebanyak 11.913 ribu orang. Diantaranya sebesar 1.650,2 ribu orang atau 13,9 persen adalah pengusaha informal yang terdiri dari 1.048,6 ribu orang berusaha sendiri dan 601,6 ribu orang berusaha dengan keluarga. Sedangkan sasaran pengusaha formal, yaitu pengusaha yang berusaha dengan buruh tetap sebesar 555 ribu orang, atau 4,7 persen dari tambahan kesempatan kerja. Secara keseluruhan sasaran pengembangan usaha nasional dalam Repelita VI adalah meningkatnya efisiensi dan produktivitas usaha nasional dan meningkatnya peran serta masyarakat, sehingga meningkat pula pangsa pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan perolehan nilai tambah. 3. Kebijaksanaan Keberhasilan pembangunan dalam PJP I telah menempatkan dunia usaha dalam kedudukan yang makin penting dan berperan lebih besar sebagai sumber pertumbuhan, perubahan, dan dinamika dalam pencapaian sasaran pembangunan nasional dalam PJP II. Agar lebih mampu mengemban kedudukan dan peran itu, dunia usaha memerlukan penyempurnaan tatanan kebijaksanaan secara mendasar, bukan saja untuk mengupayakan keberhasilan dalam meraih berbagai sasaran baru dalam PJP II, melainkan juga dalam menuntaskan pencapaian berbagai sasaran yang belum sepenuhnya terselesaikan dalam PJP I. Berkenaan dengan itu kebijaksanaan pengembangan usaha nasional meliputi penataan struktur dunia usaha, peningkatan kemampuan pengusaha menengah dan kecil, peningkatan daya saing usaha nasional, peningkatan dan penyebaran investasi, serta peningkatan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas serta pemantapan peran BUMN. 227 a. Penataan Struktur Dunia Usaha Dalam rangka pengembangan usaha nasional dilakukan upaya untuk menata struktur dunia usaha yang lebih seimbang, merata, berkeadilan, kukuh, dan mandiri. Untuk itu, diupayakan dengan membina dan melindungi usaha kecil, informal, dan tradisional serta golongan ekonomi lemah terhadap persaingan yang ,tidak seimbang, melalui kepastian hukum yang menjamin ruang geraknya secara proporsional untuk mengembangkannya menjadi pengusaha kecil yang tangguh; melanjutkan pembangunan koperasi dalam rangka mewujudkan koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sehat, tangguh, dan mandiri serta sebagai sokoguru perekonomian nasional, sebagai wadah untuk menggalang kemampuan ekonomi rakyat di semua kegiatan perekonomian nasional; meningkatkan penataan koperasi, usaha negara, dan usaha swasta agar masing-masing melaksanakan fungsi dan peranannya dalam perekonomian nasional yang berdasar atas demokrasi ekonomi; mengembangkan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang menumbuhkan kesempatan dan iklim usaha bagi golongan usaha menengah dan kecil; menata kelembagaan ekonomi seperti kelembagaan keuangan, permodalan, pemasaran, tenaga kerja, komunikasi, transportasi, informasi, iptek, dan kelembagaan ekonomi lainnya, yang lebih diarahkan untuk meningkatkan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat; menyempurnakan kelembagaan pemerintah agar lebih mampu mendorong tumbuhnya dunia usaha nasional yang efisien dan adil serta merata; menyempurnakan peraturan perundangan dan pelaksanaannya untuk mencegah terjadinya monopoli, monopsoni, etatisme, dan free fight-liberalism yang merugikan masyarakat, serta lebih mendorong tumbuhnya partisipasi, efisiensi, dan produktivitas rakyat. b. Peningkatan Kemampuan Pengusaha Menengah dan Kecil Dalam rangka mewujudkan pengusaha menengah dan kecil, yang merupakan bagian terbesar dari pengusaha nasional, agar menjadi tangguh dilaksanakan upaya peningkatan prakarsa, etos 228 kerja dan peran sertanya di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat. Untuk itu, diupayakan peningkatan kemampuan kewirausahaan dan manajemen, serta kemampuan penguasaan dan pemanfaatan teknologi bagi para pengusaha menengah dan kecil. Guna meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan peran serta pengusaha menengah dan kecil dalam pembangunan diupayakan perluasan akses terhadap faktor produksi termasuk pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, teknologi, dan pasar; penyempurnaan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang mendukung; dan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Peningkatan kemampuan pengusaha menengah dan kecil termasuk pengusaha informal dan tradisional dilakukan pula melalui penciptaan iklim usaha yang mendukung dalam berbagai sektor, terutama di bidang agrobisnis, agroindustri, dan industri menengah dan kecil lainnya, serta di sektor jasa. Khusus untuk mengembangkan peran pengusaha kecil termasuk pengusaha informal dan tradisional dilakukan upaya dengan menata dan mengembangkan kelembagaan usaha; meningkatkan kemampuan pemupukan dan pemanfaatan modal, serta mengembangkan lembaga keuangan seperti modal ventura; mengembangkan sarana dan prasarana pemasaran; memberikan kemudahan dan perlindungan usaha; serta meningkatkan kerja sama, keterkaitan, kemitraan usaha dengan koperasi, pengusaha menengah, pengusaha besar dan BUMN. Upaya menumbuhkembangkan usaha kecil, informal, dan tradisional yang tangguh juga dilakukan dengan meningkatkan kemampuan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar; meningkatkan kemampuan akses terhadap sumber permodalan serta memperkuat struktur permodalan; meningkatkan kemampuan akses dan penguasaan teknologi dan informasi; serta meningkatkan kemampuan organisasi dan manajemen. 229 Bersamaan dengan itu, diberikan pula kesempatan kepada pengusaha kecil untuk berperan serta sebagai pemborong dan rekanan Pemerintah dalam kegiatan pemborongan atau pengadaan barang dan jasa untuk keperluan proyek pembangunan yang dibiayai dari dana APBN dan APBD. c. Peningkatan Daya Saing Usaha Nasional Dalam rangka meningkatkan daya saing usaha nasional, ditempuh kebijaksanaan yang meliputi upaya meningkatkan kerja sama, keterkaitan usaha dan kemitraan yang luas, kuat dan saling mendukung, baik antara badan usaha koperasi, usaha negara, dan usaha swasta maupun antara usaha kecil, menengah, dan usaha besar; mengembangkan kualitas sumber daya manusia usaha nasional yang mencakup peningkatan keahlian dan keterampilan, termasuk kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek serta kemampuan organisasi dan manajemen melalui pendidikan dan pelatihan; meningkatkan efisiensi dan produktivitas sistem produksi dan pemasaran, antara lain dengan menerapkan teknologi yang tepat; meningkatkan kualitas produk sesuai dengan permintaan pasar ekspor, antara lain dengan meningkatkan pengawasan dan pengendalian mutu produk, serta melaksanakan inovasi teknologi untuk meningkatkan nilai tambah produk dan menghasilkan produk unggulan. Untuk mendorong peningkatan mutu produk, efisiensi dan produktivitas dunia usaha melalui pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek, diupayakan untuk menciptakan iklim usaha yang kompetitif dengan mengembangkan peraturan yang mendukung. Selain itu, ditempuh pula kebijaksanaan menghapuskan proteksi usaha yang merugikan masyarakat; meningkatkan kemampuan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mengatasi berbagai masalah sosial; memperluas dan meningkatkan pendayagunaan sarana dan prasarana usaha seperti lembaga keuangan, transportasi, telekomunikasi, dan informasi; menumbuhkan kepekaan dan ketanggapan usaha; meningkatkan akses terhadap informasi pasar; serta meningkatkan promosi produk nasional di pasar internasional. 230 d. Peningkatan dan Penyebaran Investasi Upaya memobilisasi dana pembangunan nasional dilaksanakan dengan mengembangkan lembaga keuangan bank dan bukan bank, lembaga pembiayaan, seperti modal ventura,. pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya, sesuai dengan sasaran kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan menyempurnakan peraturan perundangan dan kelembagaannya sehingga lebih mampu mengerahkan dana guna meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham perusahaan. Dalam hal itu, kebijaksanaan pengembangan pasar modal dilaksanakan dengan tetap memperhatikan faktor stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan pengaruh makin terbukanya perekonomian dunia. Selain itu, pengembangan pasar surat berharga seperti saham, obligasi, dan sekuritas kredit terus dilaksanakan dengan mendorong agar makin banyak perusahaan yang masuk bursa (go public), serta makin meningkatkan keikutsertaan investor asing dalam pasar modal melalui kegiatan go international dalam rangka memanfaatkan peluang usaha, termasuk pemanfaatan iptek yang makin terbuka di pasar internasional. Penyebaran dana yang terhimpun dilaksanakan dengan mengalokasikan dana secara efisien dan efektif bagi masyarakat dengan memberikan prioritas dalam penyediaan dan kemudahan kredit bagi pengusaha kecil, pengusaha menengah, dan koperasi dalam rangka memeratakan kesempatan berusaha dan memperluas lapangan kerja, serta mengarahkan investasi ke berbagai daerah, sektor, dan golongan ekonomi dengan tujuan mengurangi kesenjangan antardaerah, antarsektor, dan antargolongan ekonomi. Upaya meningkatkan investasi, khususnya PMDN dan PMA, dilaksanakan dengan menciptakan iklim investasi yang mendukung dalam bentuk antara lain menerbitkan perangkat peraturan perundangan termasuk penyederhanaan prosedur perizinan; memberikan kepastian hukum; meningkatkan transparansi dan 231 konsistensi dalam pelaksanaan peraturan; meningkatkan pelayanan investasi di tingkat pusat dan daerah; memberikan kemudahan dan insentif fiskal dan moneter yang lebih menarik untuk investasi yang dilakukan di berbagai kegiatan seperti pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pembangunan sarana dan prasarana, terutama di kawasan timur Indonesia dan di daerah tertinggal lainnya; serta melaksanakan investasi di bidang industri dan bisnis lingkungan, agrobisnis dan agroindustri. Sebaliknya, mengenakan disinsentif bagi pengusaha yang merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup, dan yang menggunakan tenaga kerja asing yang merugikan dunia usaha. Di samping tetap melanjutkan kebijaksanaan investasi dalam PJP I, titik berat kebijaksanaan investasi, termasuk PMDN dan PMA dalam PJP II, adalah meningkatkan pemerataan investasi yang lebih mengarah ke sektor yang mempunyai keunggulan komparatif tinggi namun selama ini belum banyak diminati oleh para investor. Sektor-sektor yang demikian adalah antara lain sektor pertanian di perdesaan termasuk agrobisnis dan agroindustri dan sektor jasa yang mendukung kegiatan penanaman modal. Sejalan dengan itu, berbagai upaya ditempuh pula untuk meningkatkan pemerataan investasi ke daerah di luar Jawa yang masih tertinggal, khususnya kawasan timur Indonesia. Dalam memanfaatkan perubahan perekonomian dunia diupayakan untuk meningkatkan kerja sama investasi, terutama di lingkungan Asia Pasifik, meningkatkan pemanfaatan pasar modal, meningkatkan peran serta masyarakat dalam menghimpun dana investasi, serta meningkatkan informasi usaha, termasuk penanam an modal. e. Peningkatan Efisiensi, Efektivitas, dan Produktivitas serta Pemantapan Peran BUMN Dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas BUMN, diupayakan untuk lebih meningkatkan kemampuan penyelenggaraan dan pengelolaannya agar lebih tangguh, 232 kreatif, dan dinamis yang merupakan faktor penting dalam pengembangan usaha, termasuk peningkatan daya saing. Upaya peningkatan kemampuan tersebut dilaksanakan dengan menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan, serta meningkatkan wawasan, keterampilan dan keahlian, antara lain melalui berbagai forum komunikasi usaha, pendidikan, dan pelatihan yang berkesinambungan. Untuk itu, ditingkatkan kerja sama antara BUMN dan berbagai lembaga pendidikan. Kebijaksanaan selanjutnya adalah meningkatkan pendayagunaan sumber daya secara optimal; memberi kesempatan kepada BUMN untuk mengembangkan usaha sesuai dengan fungsi dan perannya secara lebih otonom dan mandiri; mendorong BUMN untuk meningkatkan kemampuannya dalam melindungi usaha menengah dan kecil, melayani kepentingan masyarakat, menjadi penggerak dan pendorong kemajuan dunia usaha; serta memantapkan peran BUMN sebagai aset nasional untuk mendorong pengembangan pertumbuhan dan pemerataan yang seimbang dalam kehidupan dunia usaha. Dalam upaya menyempurnakan struktur kelembagaan BUMN diperhatikan sejauh mana perimbangan fungsi BUMN, sebagai lembaga yang melaksanakan usaha perintisan, usaha yang penting bagi negara, dan usaha yang rnenguasai hajat hidup orang banyak di satu pihak, dan sebagai lembaga ekonomi yang merupakan salah satu sumber pembiayaan negara di pihak lain. Apabila diperlukan, penjualan saham BUMN dimungkinkan melalui pasar modal di dalam negeri dan di luar negeri secara sangat selektif dan berhatihati dengan senantiasa mengutamakan kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional. Dalam pada itu, BUMN didorong untuk merintis terwujudnya kepemilikan saham oleh masyarakat luas secara merata untuk menghindari terjadinya pemusatan pemilikan saham. Selain itu, ditempuh berbagai upaya agar BUMN berperan meningkatkan kepeduliannya terhadap kebutuhan usaha menengah, 233 kecil, informal, dan tradisional; serta untuk juga berperan dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi, antara lain mencegah terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat; serta menjadi pelopor dalam menegakkan etika usaha yang dapat memperluas kesetiakawanan sosial ekonomi di kalangan dunia usaha dan masyarakat. V. PROGRAM PEMBANGUNAN Dalam rangka mencapai berbagai sasaran pembangunan usaha nasional serta melaksanakan kebijaksanaan seperti tersebut di atas, sesuai dengan arahan GBHN 1993 disusun program pengembangan usaha nasional, yang meliputi program pokok dan program penunjang yang dilaksanakan, baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Program pokok meliputi program penataan kelembagaan usaha nasional, program pengembangan usaha menengah dan kecil, program pemupukan dan pendayagunaan dana masyarakat, serta program pembinaan badan usaha milik negara. Program penunjang meliputi program pengembangan informasi usaha nasional, dan program penelitian dan pengembangan usaha nasional. 1. Program Pokok a. Program Penataan Kelembagaan Usaha Nasional Program ini bertujuan untuk menata kelembagaan usaha nasional yang lebih berimbang, merata, berkeadilan, kukuh, dan mandiri, dengan menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang sehat dan mendukung berkembangnya usaha nasional, yang dilaksanakan dengan upaya sebagai berikut: (1) melanjutkan deregulasi dan debirokratisasi dalam sektor moneter dan rill antara lain di bidang perpajakan, perizinan, 234 pemasaran, perkreditan, ketenagakerjaan, dan investasi sehingga makin mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, dan demokratisasi usaha; serta menyusun peraturan perundangan usaha nasional yang lebih menjamin kepastian dan kesempatan berusaha serta persaingan usaha yang sehat; (2) memperluas kesempatan penanaman modal dengan menyederhanakan perizinan dan meningkatkan pelayanan penanaman modal; meningkatkan pengendalian dalam bentuk kegiatan penyuluhan, pembinaan, dan pemantauan penanaman modal; mempromosikan penanaman modal secara meluas baik di dalam maupun ke luar negeri; menyediakan data dan informasi di dalam dan luar negeri mengenai profil dan potensi penanaman modal; serta mengembangkan sistem insentif dan disinsentif untuk penanaman modal untuk menunjang pembangunan di bidang yang mendapat prioritas dan untuk mendukung pembangunan di daerah terbelakang, khususnya kawasan timur Indonesia serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; (3) mendorong peningkatan kesadaran untuk mewujudkan dan menerapkan etika usaha; (4) mendorong pembentukan sistem kelembagaan dan pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan usaha nasional. b. Program Pengembangan Usaha Menengah dan Kecil Program ini bertujuan untuk mengembangkan usaha menengah dan usaha kecil, termasuk usaha informal dan tradisional di semua sektor kegiatan ekonomi. Upaya pengembangan usaha menengah dan usaha kecil dilakukan dengan menciptakan dan mengembangkan iklim usaha 235 yang mendukung serta meningkatkan kepastian dan kesempatan usaha bagi pengusaha menengah dan kecil; serta meningkatkan kemampuan dan peranan himpunan usaha dan pengusaha dalam pembinaan dan pengembangan usaha menengah dan usaha kecil, termasuk mengembangkan pengaturan yang mendukung upaya itu. Khusus untuk usaha menengah dilakukan upaya pengembangan yang meliputi peningkatan kesempatan usaha; peningkatan kemampuan organisasi, manajemen, dan teknologi; pemberian kemudahan untuk memperoleh hak cipta; pengembangan sarana promosi usaha; pengembangan berbagai pola hubungan kemitraan usaha yang mencakup aspek manajemen, teknologi, permodalan, produksi, dan pemasaran. Sementara itu, khusus untuk usaha kecil, informal, dan tradisional dilakukan upaya sebagai berikut: (1) meningkatkan akses pasar dan pangsa pasar melalui peningkatan kesempatan usaha dan kepastian usaha; pengembangan jaringan usaha dan pemasaran termasuk sistem distribusi yang mantap; peningkatan promosi usaha; perluasan akses terhadap informasi usaha, penyediaan sarana dan prasarana usaha yang memadai; pengembangan lembaga pemasaran seperti pasar tradisional dan pasar lelang lokal; penyederhanaan perizinan; pemberian perlindungan yang mendidik, antara lain berupa pencadangan pasar, pencadangan lokasi usaha dan pengaturan alokasi resiko usaha; serta pemberian bimbingan, pendampingan dan penyuluhan usaha; (2) meningkatkan pemupukan modal dan meningkatkan kemampuan memanfaatkannya, antara lain dengan pemberian kemudahan untuk memperoleh berbagai fasilitas kredit perbankan bagi usaha kecil; peningkatan jumlah pagu, jenis pinjaman dan memberikan keringanan jaminan atas pinjaman untuk usaha kecil; peningkatan pemanfaatan dana yang tersedia di masyarakat, termasuk dana penyisihan laba bersih 236 BUMN; serta peningkatan kemampuan pengusaha kecil untuk menyusun kelayakan usaha dan memanfaatkan modal secara efektif dan efisien; (3) mendorong inovasi teknologi tepat guna; meningkatkan akses terhadap teknologi dan meningkatkan kemampuan memanfaatkannya melalui kegiatan bimbingan dan penyuluhan, pelatihan dan magang, menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, serta alih dan pencadangan teknologi; (4) meningkatkan kemampuan organisasi dan manajemen melalui peningkatan kemampuan pengusaha kecil, pengembangan sistem manajemen, peningkatan ketangguhan organisasi; peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diupayakan dengan meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan magang di bidang manajemen termasuk kewirausahaan, dan keterampilan teknis, seperti teknik produksi, teknik pengolahan dan teknik pemasaran; pendidikan dan pelatihan dilakukan secara terpadu, baik oleh instansi pemerintah, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, BUMN maupun perguruan tinggi; selain itu, juga dilakukan bimbingan dan penyuluhan dengan melibatkan asosiasi pengusaha kecil dan lembaga swadaya masyarakat, serta tenaga kerja sukarela terdidik; pengembangan sistem inkubator usaha; pengembangan pusat pelayanan konsultansi usaha; pengembangan sistem manajemen dilakukan sesuai dengan tingkat dan jenis usaha yang dikelola; dan peningkatan ketangguhan organisasi diupayakan, antara lain melalui peningkatan status usaha menjadi lebih formal, terutama melalui wadah koperasi, serta melalui peningkatan kualitas keterkaitan antara pengusaha kecil dengan asosiasi atau himpunannya, dan antarpengusaha kecil; (5) meningkatkan kemitraan usaha antarpengusaha kecil, informal, dan tradisional; serta antara pengusaha kecil, informal, 237 dan tradisional dan koperasi, BUMN, dan pengusaha menengah, dan pengusaha besar dalam berbagai bentuk kerja sama kemitraan, seperti kerja sama yang adil dan sederajat antara plasma dan inti dalam sistem perusahaan inti rakyat (PIR), subkontrak, dan pola pembinaan dalam rangka meningkatkan posisi tawar para pengusaha kecil. Dalam kemitraan tersebut, diberikan bantuan pembinaan dalam bidang kewirausahaan, manajemen, dan keterampilan; bantuan teknologi berupa alih teknologi dan pemberian lisensi; bantuan permodalan berupa modal kerja dan penjaminan pinjaman; bantuan produksi berupa keterkaitan, rekayasa dan rancang bangun produk, dan pengendalian mutu; serta bantuan pemasaran berupa upaya perluasan penjualan, dan penyediaan tempat usaha; untuk mendukung kegiatan tersebut dikembangkan pula informasi kemitraan, promosi dan temu usaha kemitraan; (6) memberikan prioritas dalam kegiatan pemborongan dan pengadaan untuk proyek pembangunan yang dibiayai dari dana APBN dan APBD kepada pengusaha kecil; (7) menghimpun dan menyusun data tentang usaha kecil, informal, dan tradisional dalam rangka menyusun strategi dan pola pembinaan dan pengembangan usaha; (8) memberikan perhatian khusus kepada pengusaha kecil di daerah tertinggal, transmigrasi, terpencil, lintas batas, dan kawasan timur Indonesia, antara lain melalui peningkatan kemampuan pengusaha kecil melalui pendidikan dan pelatihan; penyediaan sarana usaha dan modal awal dalam rangka penataan sektor informal, pengembangan kelompok usaha mandiri, dan peningkatan usaha di bidang industri; serta promosi dan pengembangan jaringan usaha yang didukung oleh penyediaan informasi usaha yang memadai; 238 (9) mengembangkan usaha baru yang bersifat terobosan, seperti usaha kecil di bidang agroindustri dan industri kecil di perdesaan. c. Program Pemupukan dan Pendayagunaan Dana Masyarakat Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukan dan pendayagunaan dana masyarakat untuk pengembangan usaha nasional, khususnya usaha menengah, usaha kecil termasuk usaha informal dan tradisional serta koperasi. Program ini dilaksanakan dengan kegiatan sebagai berikut: (1) meningkatkan pemupukan dana dengan berbagai macam tabungan masyarakat melalui lembaga keuangan yang makin luas jangkauannya dan makin efisien dalam menjalankan fungsinya; (2) meningkatkan pemupukan dana baik dari dalam maupun luar negeri melalui pasar modal, pengembangan pasar surat berharga seperti saham, obligasi, dan sekuritas kredit; (3) meningkatkan peran serta masyarakat dan penanam modal, baik dalam negeri maupun asing, dalam menghimpun dana dengan penjualan saham perusahaan melalui pasar modal dalam negeri; (4) meningkatkan kemampuan pasar modal dalam negeri untuk melaksanakan fungsi dan peranannya secara efisien; (5) mendorong pembentukan dan penguatan kelembagaan keuangan, baik bank maupun bukan bank, dan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan koperasi, usaha menengah, kecil, informal dan tradisional antara lain bank koperasi, lembaga perkreditan rakyat, bank perkreditan rakyat (BPR), koperasi bank perkreditan rakyat (KBPR), bank 239 perkreditan rakyat syariat (BPRS), lembaga modal ventura, lembaga penjamin kredit, dan sebagainya; (6) mendorong perbankan untuk membantu menyusun peta usaha bagi pengusaha kecil, informal, dan tradisional yang membutuhkan; serta memberikan penyuluhan dan bimbingan pemanfaatan kredit; (7) meningkatkan kerja sama antarlembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank dalam memperkukuh permodalan untuk lebih mengembangkan usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional; (8) mengarahkan investasi, baik untuk PMDN maupun PMA, ke berbagai daerah, sektor, dan golongan ekonomi yang memiliki potensi pengembangan ataupun keunggulan komparatif tinggi termasuk investasi dalam agroindustri dan agrobisnis di perdesaan; serta berbagai sektor jasa yang diperlukan untuk mendukung kegiatan investasi; dan ke wilayah tertinggal khususnya kawasan timur Indonesia. d. Program Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas BUMN agar mampu melaksanakan peranannya dalam perekonomian nasional. Program ini dilaksanakan dengan : (1) menyempurnakan organisasi BUMN ke arah struktur serta penyelenggaraan dan pengelolaan yang lebih efisien dan efektif seperti layaknya sebuah badan usaha; (2) mengidentifikasi dan menata bidang usaha yang layak dikembangkan oleh BUMN; (3) meningkatkan kemampuan manajemen BUMN agar mampu melaksanakan peran dan fungsinya secara efektif; 240 (4) mengembangkan kerja sama antara BUMN dan pars pelaku ekonomi lainnya, terutama dengan pengusaha kecil, informal, dan tradisional serta koperasi; (5) melaksanakan pemecahan atau penggabungan unit usaha sesuai dengan kebutuhan revitalisasi BUMN; (6) mengembangkan sistem kerja sama operasi dengan perusahaan lain, termasuk kerja sama dengan usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional; (7) mengembangkan dan menyempurnakan sistem kontrak yang saling menguntungkan, terutama dengan usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional; (8) mengembangkan usaha patungan untuk dapat lebih mendayagunakan sumber daya secara optimal; (9) memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pendanaan per usahaan yang bersumber dari masyarakat, termasuk pasar modal di luar negeri; (10) meningkatkan kepedulian dan dukungan BUMN terhadap pengembangan usaha menengah, kecil, informal, tradisional, dan masyarakat. 2. Program Penunjang a. Program Pengembangan Informasi Usaha Nasional Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengembangkan sistem informasi usaha nasional dan penyebarannya, terutama untuk usaha menengah dan kecil, antara lain berupa pengembangan jaringan informasi pemasaran dalam negeri ataupun ekspor, informasi ketersediaan modal, serta informasi untuk mendukung terciptanya kerja sama, keterkaitan dan kemitraan usaha 241 dalam pengembangan usaha menengah dan kecil; serta sistem informasi penanaman modal secara terpadu yang meliputi informasi tentang rencana umum tata ruang (RUTR), rencana detail tata ruang (RDTR), dan peta wilayah serta profil investasi di daerah tingkat I dan II, dan dokumentasi serta jaringan informasi penanaman modal. b. Program Penelitian dan Pengembangan Usaha Nasional Program ini meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan antara lain, untuk pengembangan penanaman modal, dalam rangka peningkatan realisasi dan penyebaran penanaman modal, baik antarsektor maupun antardaerah, terutama ke perdesaan dan kawasan Indonesia yang kurang maju, khususnya kawasan timur Indonesia; penelitian dan pengembangan dalam rangka peningkatan efisiensi, efektivitas, produktivitas, dan pemantapan peran BUMN serta penelitian dan pengembangan dalam rangka pembinaan dan pengembangan usaha menengah, kecil, informal, dan tradisional. VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam programprogram tersebut, yang merupakan program dalam bidang pengembangan usaha nasional, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99 adalah sebesar Rp l.494.070,0 juta. Rencana anggaran pembangunan pengembangan usaha nasional untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 12-1. 242 Tabel 12—1 RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL Tabun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99) (dalam juta rupiah) No. Kode Sektor/Sub Sektor/Program 05 SEKTOR PERDAGANGAN, PENGEMBANGAN USAHA NASIONAL. KEUANGAN DAN KOPERASI 05.3 Sub Sektor Pengembangan Usaha Nasional 05.3.01 05.3.02 Program Pengembangan dan Pembinaan Usaha Nasional Program Penyertaan Modal Pemerintah 05.5 Sub Sektor Koperasi dan Pengusaha Kecil 05.5.02 Program Pembinaan Usaha Kecil 1994/95 1994/95 — 1998/99 144.260,0 40.000,0 918.530,0 266.140,0 41.420,0 309.400,0