BAB 7 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL BAB 7 NERACA PEMBAYARAN INTERNASIONAL I. PENDAHULUAN Neraca pembayaran merupakan suatu catatan sistematis mengenai transaksi ekonomi antara penduduk suatu negara dan penduduk negara lainnya dalam suatu periode tertentu. Transaksi tersebut diklasifikasikan ke dalam transaksi berjalan, transaksi modal, dan lalu lintas moneter. Transaksi berjalan terdiri atas ekspor ataupun impor barang dan jasa, sedangkan transaksi modal terdiri atas arus modal sektor pemerintah ataupun swasta, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu lintas moneter adalah perubahan dalam cadangan devisa. Dengan demikian, neraca pembayaran memberikan gambaran arus penerimaan dan pengeluaran devisa serta perubahan neto cadangan devisa. Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) kebijaksanaan neraca pembayaran senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan bidang ekonomi, yaitu seperti yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, 363 yakni terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang makin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan usaha koperasi, negara, dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang optimal. Semua itu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maju, produktif, dan profesional, iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian integral dari kebijaksanaan pembangunan dalam PJP II tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan stabilitas nasional. Di bidang perdagangan, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim usaha yang menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan di bidang pinjaman luar negeri melengkapi kebutuhan pembiayaan pembangunan di dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan perkembangan neraca pembayaran secara keseluruhan. Kebijaksanaan kurs devisa diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan moneter dalam negeri. Kebijaksanaan neraca pembayaran yang serasi dan terpadu dengan kebijaksanaan pembangunan lainnya merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran pembangunan. Kondisi neraca pembayaran yang mantap mendorong arus perdagangan luar negeri, meningkatkan lalu lintas modal luar negeri untuk kepentingan pembangunan nasional, serta mendukung pertumbuhan 364 yang berlanjut dari perekonomian nasional. Sistem devisa bebas yang merupakan kebijaksanaan mendasar di bidang neraca pembayaran merupakan prasyarat dan perangkat ekonomi pokok bagi terciptanya efisiensi perekonomian nasional dalam berinteraksi dengan perekonomian internasional. GBHN 1993 menggariskan bahwa pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan iptek yang makin canggih memerlukan peningkatan kemampuan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang terpadu, berpijak pada potensi, kekuatan efektif dan kemampuan dalam negeri yang dilandasi disiplin, tanggung jawab, semangat pengabdian, dan semangat pembangunan serta kemampuan profesional yang tinggi. Dalam PJP II dana untuk pembiayaan pembangunan terutama digali dari sumber kemampuan sendiri. Sumber dana luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap, dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan asing. Pembangunan nasional pada dasarnya diselenggarakan oleh masyarakat bersama pemerintah. Oleh karena itu, peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan bahwa pembangunan adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab seluruh rakyat. GBHN 1993 menegaskan bahwa dalam Repelita VI impor barang dan jasa diarahkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang berorientasi pada ekspor, penghematan devisa, dan pola hidup sederhana. GBHN 1993 juga memberi petunjuk bahwa pembangunan yang diperoleh dari sumber dalam negeri harus lebih ditingkatkan. Pembangunan yang makin meningkat memerlukan biaya yang makin besar yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari sumber dana dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan pembiayaan dari sumber dana luar negeri sebagai pelengkap yang 365 diperoleh dengan syarat lunak, tidak memberatkan, tanpa ikatan politik dan digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai dengan prioritas dan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat serta peranannya secara bertahap harus dikurangi. Peranan investasi modal asing terus didorong dan potensi peran serta pihak asing perlu lebih dikembangkan terutama melalui pasar modal dalam negeri. Di samping itu, dalam Repelita VI, GBHN 1993 memberi petunjuk bahwa penanaman modal dalam negeri dan modal asing makin didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Kemudahan dan iklim investasi yang lebih menarik terus dikembangkan antara lain dengan penyediaan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, peraturan perundang-undangan yang mendukung dan penyederhanaan prosedur pelayanan investasi serta kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat. Dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan neraca pembayaran perlu dipegang dengan teguh seluruh asas nasional, terutama asas kemandirian, yaitu bahwa pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. Untuk itu, seluruh sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun potensial, didayagunakan dan dilaksanakan dengan memperhatikan seluruh faktor dominan yang dapat mempengaruhi lancarnya pencapaian sasaran pembangunan. Dalam melaksanakan kebijaksanaan neraca pembayaran perlu memperhatikan seluruh kaidah penuntun dan berlandaskan pada pengarahan GBHN 1993 seperti tersebut di atas. 366 II. KEBIJAKSANAAN NERACA PEMBAYARAN DALAM PJP I 1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri Meskipun harus melewati berbagai guncangan perekonomian yang terjadi, baik di luar maupun di dalam negeri, perkembangan neraca pembayaran selama PJP I secara umum terkendali dengan baik. Hal itu dimungkinkan berkat diambilnya berbagai kebijaksanaan di bidang neraca pembayaran dan kebijaksanaan ekonomi makro lainnya guna mengamankan posisi dan kondisi neraca pembayaran Indonesia dari waktu ke waktu. Dengan disertai kebijaksanaan sistem devisa bebas, keadaan neraca pembayaran selama PJP I terbukti telah turut mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan efisiensi perekonomian nasional, dan memantapkan arus perdagangan dan modal luar negeri. Pada awal pelaksanaan pembangunan nasional, kebijaksanaan di bidang neraca pembayaran diprioritaskan untuk menunjang perbaikan kondisi perekonomian dalam negeri melalui rehabilitasi dan perluasan kapasitas produksi, perbaikan sarana dan prasarana industri yang menghasilkan barang kebutuhan dalam negeri dan ekspor, stabilisasi harga kebutuhan pokok masyarakat, penyediaan bahan baku dan barang modal bagi kebutuhan industri dalam negeri, serta penyempurnaan sistem devisa bebas dan tingkat kurs devisa yang realistis. Dalam periode Repelita II dan Repelita III, peranan penerimaan devisa dari ekspor migas makin meningkat sejalan dengan kenaikan produksi dalam negeri dan meningkatnya harga minyak bumi di pasar internasional. Sementara itu, upaya untuk meningkatkan penerimaan devisa nonmigas mulai digalakkan. Peningkatan daya saing komoditas ekspor Indonesia dilakukan, antara lain, melalui pemantapan pengawasan mutu dan standardisasi, penurunan biaya produksi di dalam negeri, 367 penghapusan pungutan ataupun penurunan pajak ekspor, serta penyederhanaan prosedur ekspor dan impor. Dalam rangka menjaga kurs rupiah yang realistis guna memperkuat daya saing barang ekspor dan barang pengganti impor, dalam bulan November 1978 dilakukan devaluasi terhadap rupiah sebesar 33,6 persen, yaitu dari Rp 415,00 per US dollar menjadi Rp 625,00 per US dollar. Di awal tahun 1980-an neraca pembayaran Indonesia mengalami guncangan akibat merosotnya harga minyak bumi yang saat itu merupakan penyumbang terbesar bagi penerimaan devisa Indonesia. Berbagai harga komoditas primer lainnya merosot tajam di pasar internasional. Untuk mengamankan kelanjutan pembangunan dan situasi neraca pembayaran, pada bulan Maret 1983 rupiah didevaluasikan sebesar 27,8 persen dari Rp 700,00 per US dollar menjadi Rp 970,00 per US dollar, dan sejumlah proyek besar dengan komponen impor tinggi yang dibiayai pinjaman luar negeri dijadwalkan kembali. Guna mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan meningkatkan efisiensi nasional maka mulai tahun 1983 Pemerintah melancarkan serangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi. Untuk menggalakkan ekspor nonmigas, di bidang perdagangan luar negeri telah dilakukan pula penyempurnaan tata niaga, perizinan, pengangkutan, permodalan, perpajakan, dan perbankan. Akibat terus merosotnya harga minyak bumi di pasar internasional hingga mencapai di bawah US$ 10,0 per barel dan untuk mengamankan neraca pembayaran dan kesinambungan pembangunan, pada bulan September 1986 Pemerintah mengambil kebijaksanaan devaluasi rupiah sebesar 31 persen dari Rp 1.134,00 per US dollar menjadi Rp 1.644,00 per US dollar. Sejak itu, Pemerintah secara aktif menempuh kebijaksanaan sistem kurs valuta yang mengambang dan terkendali. Bersama-sama dengan kebijaksanaan deregulasi di bidang lainnya, kebijaksanaan kurs 368 valuta yang dilakukan telah berhasil meningkatkan daya saing ekspor Indonesia. Dengan berbagai kebijaksanaan mendorong ekspor tersebut, nilai ekspor nonmigas meningkat dengan cukup pesat dan peranannya dalam keseluruhan nilai ekspor makin besar. Ekspor nonmigas telah menjadi andalan dan penggerak utama pembangunan. Jenis dan macam komoditas ekspor nonmigas makin beragam, dan makin banyak dalam bentuk komoditas olahan, termasuk komoditas hasil industri sedang, kecil, dan kerajinan. Demikian pula, pasaran ekspor komoditas nonmigas makin luas, dengan dilakukannya berbagai usaha terobosan pasar dan kegiatan promosi secara aktif. Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan sebelumnya, pada bulan Oktober tahun 1993 telah dikeluarkan paket kebijaksanaan yang bersifat menyeluruh, mencakup sektor industri, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan, dan penanaman modal, yang berisikan perubahan mendasar dalam rangka peningkatan daya saing industri nasional dan menyangkut struktur bea masuk, tata niaga, perizinan, permodalan, dan perpajakan. Indonesia aktif berperan di berbagai forum internasional di bidang perdagangan, baik hubungan bilateral, regional maupun multilateral. Indonesia secara aktif ikut dalam Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade, GATT), Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (United Nation Conference on Trade and Development, UNCTAD), kerja sama ASEAN (Association of South East Asian Nations), dan berbagai forum kerja sama internasional lainnya, seperti Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organization, ICO), Organisasi Kayu Tropis Internasional (International Tropical Timber Organization, ITTO), Asosiasi Negara Penghasil Karet Alam (Association of Natural Rubber Producing Countries, ANRPC), Asosiasi Negara Produsen Timah (Association of Tin Producing Countries, ATPC), dan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries, OPEC). 369 Dalam rangka kerja sama ekonomi antarnegara ASEAN, dalam Konferensi Tingkat Tinggi IV tahun 1992 disepakati untuk lebih mengintegrasikan ekonomi ASEAN yang dijabarkan dalam bentuk perjanjian dalam rangka meningkatkan kerja sama ASEAN (Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Upaya integrasi itu diawali dengan kesepakatan untuk secara bertahap menerapkan tarif preferensial seragam yang diarahkan pada pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (Asean Free Trade Area, AFTA). 2. Perkembangan Neraca Pembayaran Selama PJP I neraca pembayaran telah berkembang ke arah struktur yang lebih seimbang. Apabila dalam dasawarsa 1970-an sumber penerimaan devisa Indonesia sebagian besar diperoleh dari ekspor migas, maka mulai dasawarsa 1980-an sumber penerimaan devisa sudah meluas. Ekspor nonmigas makin meningkat. Penerimaan jasa, terutama dari pariwisata juga meningkat. Impor nonmigas makin mengarah ke bahan baku dan penolong serta barang modal yang dibutuhkan untuk investasi dan industri di dalam negeri. Dalam transaksi modal, pinjaman luar negeri pemerintah, pemasukan modal swasta, termasuk PMA, merupakan pos pembiayaan penting. Dengan demikian, landasan neraca pembayaran makin beragam. Keadaan itu telah meningkatkan ketahanan perekonomian nasional terhadap guncangan yang terjadi, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selama PJP I, nilai keseluruhan ekspor telah meningkat menjadi sekitar 43 kali atau rata-rata sebesar 16,0 persen per tahun, dari US$ 872 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94. Ekspor nonmigas meningkat lebih pesat lagi, yaitu rata-rata sebesar 16,7 persen per tahun atau menjadi sekitar 50 kali, dari US$ 569 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 28,2 miliar pada tahun 1993/94 (Tabel 7 - 1). 370 Selama Repelita V, keseluruhan nilai ekspor meningkat dengan rata-rata 13,4 persen per tahun, yaitu dari US$ 19,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94. Selama kurun waktu tersebut ekspor nonmigas terus meningkat dengan pesat dan mantap, yaitu dengan rata-rata 18,2 persen per tahun, dan bahkan dalam 2 tahun terakhir meningkat dengan ratarata 21,7 persen per tahun. Sumbangan ekspor nonmigas terhadap keseluruhan penerimaan ekspor semakin meningkat hingga diperkirakan menjadi 75,8 persen pada tahun 1993/94. Perkembangan tersebut menunjukkan makin mampunya ekspor nonmigas berperan sebagai sumber penerimaan devisa utama. Di pihak lain, ekspor migas selama Repelita V hanya meningkat rata-rata sebesar 3,4 persen per tahun. Perkembangan itu menunjukkan pula makin berkurangnya ketergantungan penerimaan devisa dari migas. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri dan investasi di dalam negeri, kebutuhan akan barang impor terus meningkat, khususnya bahan baku dan penolong serta barang modal. Dalam PJP I nilai keseluruhan impor telah meningkat dengan rata-rata sebesar 15,1 persen per tahun, yaitu dari US$ 831 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 29,2 miliar pada tahun 1993/94. Dalam Repelita V, nilai impor nonmigas meningkat dengan cukup tinggi pada dua tahun pertama, yaitu 21,3 persen dan 31,0 persen masing-masing pada tahun 1989/90 dan 1990/91. Hal itu terutama disebabkan oleh memanasnya kegiatan perekonomian dalam negeri. Dengan langkah penyejukan perekonomian, laju pertumbuhan impor nonmigas dalam tahun 1990/91-1993/94 dapat dikendalikan menjadi rata-rata 10,0 persen per tahun. Pengeluaran devisa neto untuk jasa dalam PJP I meningkat dengan rata-rata 14,9 persen per tahun, yaitu dari US$ 328 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 10,9 miliar pada tahun 1993/94. Dalam Repelita V, keseluruhan pengeluaran jasa neto meningkat rata-rata sebesar 8,1 persen per tahun, yang terdiri atas jasa sektor migas rata-rata sebesar 3,5 persen, dan sektor nonmigas rata-rata sebesar 10,2 persen per tahun. Penerimaan devisa dari pariwisata 372 dalam kurun waktu yang sama meningkat pesat rata-rata sebesar 21,6 persen per tahun, yaitu dari US$ 1,4 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 3,8 miliar dalam tahun 1993/94. Pembayaran bunga dan transfer keuntungan PMA serta bank-bank asing meningkat dengan rata-rata 6,1 persen per tahun. Transfer tenaga kerja di luar negeri meningkat rata-rata sebesar 23,1 persen per tahun. Sebagai negara berkembang yang masih membutuhkan dana pembangunan yang besar, transaksi berjalan secara umum menunjukkan defisit, kecuali pada tahun 1979/80 dan tahun 1980/81, pada waktu terjadi kenaikan harga minyak bumi dan harga ekspor komoditas lainnya. Besarnya defisit bervariasi seiring dengan perkembangan ekspor dan impor barang ataupun jasa. Defisit transaksi berjalan pada tahun 1989/90 adalah sebesar US$ 1,6 miliar, kemudian meningkat menjadi sebesar US$ 3,7 miliar pada tahun 1990/91, dan sebesar US$ 4,4 miliar pada tahun 1991/92. Besarnya defisit transaksi berjalan tersebut karena meningkatnya suhu perekonomian pada waktu itu. Selanjutnya, defisit transaksi berjalan dapat dikendalikan sehingga menjadi US$ 2,6 miliar pada tahun 1992/93, dan diperkirakan menjadi US$ 2,9 miliar pada tahun 1993/94. Dana yang berasal dari luar negeri meliputi pinjaman pemerintah, pinjaman komersial sektor swasta, dan penanaman modal asing. Dalam PJP I pinjaman luar negeri pemerintah meningkat dari US$ 266 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 5,9 miliar pada tahun 1993/94. Pinjaman terbesar diperoleh dalam bantuan proyek bersyarat lunak, kemudian disusul oleh pinjaman lainnya dan bantuan program. Sejalan dengan masa tenggang waktu dan meningkatnya pinjaman yang jatuh tempo, pelunasan pinjaman pemerintah naik dari US$ 3,8 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 5,1 miliar pada tahun 1993/94. Meskipun pelunasan pinjaman meningkat, dengan peningkatan ekspor, perbandingan pelunasan hutang pemerintah dan swasta terhadap nilai ekspor (Debt Service Ratio, DSR) menurun dari 37,5 persen pada tahun 1989/90 menjadi 30,5 persen pada tahun 1993/94. 373 Pemasukan modal (neto) sektor swasta selama PJP I meningkat dari US$ 65 juta pada tahun 1968 menjadi US$ 6,7 miliar pada tahun 1993/94, atau meningkat rata-rata sebesar 20,1 persen per tahun. Dalam Repelita V, untuk 2 tahun pertama pemasukan modal neto swasta meningkat dengan cukup pesat, kemudian melambat dengan pengendalian moneter untuk mendinginkan suhu perekonomian. Penanaman modal asing (neto) meningkat dari US$ 585 juta pada tahun 1988/89 menjadi US$ 2,0 miliar pada tahun 1993/94. Cadangan devisa selama PJP I berhasil dipelihara pada tingkat yang memadai untuk menciptakan iklim yang aman bagi kebutuhan transaksi luar negeri dan kebutuhan pembangunan nasional. Jumlah cadangan devisa selama Repelita V meningkat dari US$ 6,0 miliar pada tahun 1988/89 menjadi US$ 13,1 miliar pada tahun 1993/94. Jumlah cadangan devisa pada tahun 1993/94 cukup untuk membiayai impor (c.&f.) selama 5,5 bulan. III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN Kebijaksanaan neraca pembayaran internasional selama PJP I diarahkan agar sasaran-sasaran pembangunan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dalam PJP II kebijaksanaan neraca pembayaran internasional diarahkan terutama untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan kemampuan ekspor serta menunjang iklim usaha. Untuk itu, perlu dikenali berbagai tantangan, kendala, dan peluang yang ada. 1. Tantangan Setelah melewati resesi berat di awal tahun 1980-an, perekonomian dunia mengalami kebangkitan kembali dan pertumbuhan yang panjang selama tahun-tahun selanjutnya dalam 374 dasawarsa tersebut. Namun, berbagai gejolak dan ketidakpastian tetap mewarnai perkembangannya sehingga resesi ringan muncul kembali ketika memasuki dasawarsa 1990-an. Berbagai ketidakpastian dan perkembangan yang kurang menguntungkan seperti ketidakstabilan kurs mata uang utama, meluasnya gejala proteksionisme terutama di negara maju, melemahnya harga komiditas primer, dan timbulnya blok ekonomi sebagai akibat terjadinya perubahan tatanan ekonomi dan politik di berbagai kawasan diperkirakan akan tetap mewarnai perkembangan ekonomi dunia di masa depan. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah bagaimana memperkuat daya tahan perekonomian nasional sehingga dapat mengatasi berbagai ketidakpastian dan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut sehingga momentum pembangunan dapat tetap terpelihara dan sasarannya tercapai. Kecenderungan globalisasi yang makin kuat sejak dua puluh tahun terakhir, yang antara lain disebabkan oleh penurunan biaya transportasi dan komunikasi akibat kemajuan teknologi, telah menyebabkan lalu lintas barang, jasa, modal, dan faktor produksi lainnya mengalir dengan bebas dan hampir tidak mengenal batasbatas wilayah negara. Di satu pihak, keadaan itu telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia walaupun tidak secara merata dinikmati oleh tiap negara. Di pihak lain, keadaan tersebut telah menciptakan persaingan yang kian tajam antarnegara dalam memperebutkan pasar. Kecenderungan globalisasi tersebut diperkirakan masih akan berlanjut dalam PJP II. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia adalah bagaimana memenangkan persaingan yang makin tajam di pasar internasional, terutama dalam meningkatkan pangsa pasar ekspor di berbagai pasar dunia.. Pesatnya kemajuan di bidang teknologi, yang ditunjukkan dengan makin pendeknya daur hidup suatu produk, menyebabkan kekuatan daya saing suatu negara yang berlandaskan pada keunggulan komparatif statis dengan mengandalkan kekayaan sumber alam dan tenaga kerja berlimpah, cenderung tidak dapat lagi diandalkan. Bersamaan dengan itu, ketersediaan sumber daya 375 alam, baik dalam jenis dan jumlah maupun mutunya, juga makin berkurang, demikian pula sumber pendanaan bagi keperluan investasi akan makin langka. Perkembangan tersebut mengakibatkan sumber daya manusia akan makin menentukan dalam memenangkan persaingan jika dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Tantangan di masa mendatang adalah bagaimana meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif industri nasional yang mengandalkan pada keterampilan dan kreativitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi, dan kemampuan manajemen dengan tetap memanfaatkan dan secara dinamis mengembangkan keunggulan komparatif yang dimiliki. Kegiatan ekonomi dan pembangunan akan memerlukan devisa yang makin besar. Dengan makin menurunnya peranan ekspor migas, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memacu ekspor nonmigas, termasuk ekspor jasa, di masa depan. Selain itu, walaupun macam dan jenis ekspor nonmigas telah makin beragam, basis ekspor masih tetap sempit dan terkonsentrasi pada komoditas seperti tekstil dan pakaian jadi, kayu lapis, udang dan ikan, karet, serta alat-alat listrik. Demikian pula, meskipun pasar ekspor telah makin meluas, namun masih terpusat pada beberapa negara saja. Oleh karena itu, tantangan berikutnya yang dihadapi adalah bagaimana memperluas basis komoditas ekspor Indonesia dan memantapkan pasar tradisional serta meningkatkan penerobosan pasar baru yang potensial sehingga memperkuat keandalan sisi penerimaan devisa. Hubungan internasional yang patut diperhatikan dewasa ini dan waktu mendatang adalah hal yang berkaitan dengan berbagai isu politik dan isu lain seperti lingkungan hidup yang dipermasalahkan, terutama oleh negara maju, dan dikaitkan dengan hubungan ekonomi, perdagangan, dan penyaluran dana pinjaman. Oleh karena itu, menjadi tantangan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut sesuai dengan falsafah hidup dan pembangunan bangsa Indonesia. 376 Peningkatan ekspor yang cukup tinggi adalah penting, tidak saja sebagai penghasil devisa yang dibutuhkan dalam pembangunan, tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Untuk itu, di samping tumbuhnya pengusaha ekspor yang tangguh dan kukuh, tumbuhnya pengusaha kecil dan menengah adalah sangat penting. Pengusaha ekspor menengah dan kecil terbukti merupakan penyumbang yang cukup besar untuk komoditas ekspor seperti tekstil, pakaian jadi, kerajinan rakyat, dan komoditas ekspor lainnya. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan iklim dan lingkungan usaha yang lebih meningkatkan dan menumbuhkan pengusaha ekspor yang kukuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan internasional yang makin tajam. Tantangan yang lebih khusus adalah bagaimana iklim dan lingkungan usaha tersebut dapat lebih meningkatkan tumbuhnya pengusaha ekspor menengah dan kecil. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan meningkatnya kegiatan pembangunan serta pendapatan masyarakat memerlukan impor yang makin meningkat pula. Kebijaksanaan impor yang ditempuh adalah mendukung dan mendorong pertumbuhan industri yang efisien dan tangguh, menjamin tersedianya barang dan jasa yang belum dihasilkan di dalam negeri, dan mendorong ekspor. Merupakan tantangan untuk senantiasa mengupayakan penggunaan devisa secara hemat dan efisien sehingga keseimbangan neraca pembayaran tetap dapat terjaga. Berakhirnya perang dingin dan berlangsungnya restrukturisasi ekonomi dan politik di negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan di negara berkembang, seperti RRC, Vietnam, dan negara Asia lainnya mempengaruhi tatanan ekonomi dan arus modal internasional. Oleh karena itu, masalah yang dihadapi di pasar uang dan modal internasional adalah makin tajamnya persaingan untuk menarik dana internasional, baik dalam bentuk pinjaman lunak, pinjaman komersial maupun investasi langsung. Tantangannya adalah bagaimana 377 mengamankan agar arus dana internasional yang masih diperlukan untuk membiayai kegiatan pembangunan tidak terganggu. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana menciptakan iklim investasi yang sehat dan menarik bagi masuknya dana internasional, baik untuk kegiatan pemerintah maupun masyarakat guna mendukung pembangunan. Guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat diperlukan investasi yang cukup besar. Pembiayaannya terutama harus berasal dari sumber pembiayaan dalam negeri, sedangkan sumber-sumber luar negeri adalah sebagai pelengkap. Sebagai sumber dana pelengkap, sumber-sumber dana luar negeri yang mencakup penanaman modal dan pinjaman luar negeri masih diperlukan bagi pembangunan. Penanaman modal asing (PMA) perlu terus didorong, bukan hanya sebagai sumber dana tetapi juga sumber teknologi baru dan keterampilan baru. Pinjaman luar negeri tetap dimanfaatkan sepanjang tidak memberatkan perekonomian nasional sekarang dan di masa mendatang. Terutama bagi pinjaman komersial dan pinjaman tidak lunak lainnya, harus diupayakan agar tetap dalam batas-batas yang aman bagi neraca pembayaran dalam jangka panjang. Selain itu harus diupayakan agar pengembalian pinjaman yang dilakukan, baik jumlah cicilan maupun bunganya tetap dalam batas kemampuan untuk membayarnya karena jika tidak, kestabilan perekonomian akan menjadi terganggu dan dapat berkembang ke arah spekulasi. Oleh karena itu, merupakan tantangan pula dalam kebijaksanaan neraca pembayaran untuk senantiasa mengupayakan agar besarnya kewajiban pelunasan kembali pinjaman yang dilakukan, terutama pinjaman di sektor swasta, tidak menimbulkan guncangan terhadap posisi neraca pembayaran internasional yang dapat mengganggu kestabilan perekonomian. 2. Kendala Terus melemahnya harga komoditas primer, termasuk minyak bumi, di pasar internasional sebagai akibat lemahnya permintaan 378 terutama di negara-negara industri di satu pihak dan terus meningkatnya produksi di negara penghasil di pihak lain merupakan kendala yang sukar dipecahkan dan berakibat menurunnya nilai tukar perdagangan komoditas primer Indonesia. Kecenderungan menurunnya harga minyak dunia dan Indonesia cukup berpengaruh terhadap penerimaan devisa dari ekspor. Tingginya pengangguran dan terdesaknya beberapa jenis industri manufaktur di negara maju oleh negara industri baru telah menyebabkan kecenderungan perdagangan dunia, terutama negara maju, makin protektif. Hal itu merupakan kendala bagi peningkatan akses pasar komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional. Merupakan kendala berikutnya pula dalam upaya meningkatkan ekspor adalah lemahnya ketangguhan sisi penawaran ekspor, terutama kesinambungan produksi, mutu, kemasan, ketepatan waktu pengiriman, penguasaan informasi dan antisipasi pasar, pemahaman hukum perdagangan, dan persyaratan perdagangan internasional lainnya. Di samping itu, kendala struktural yang dihadapi oleh sektor ekspor adalah kurang memadainya penyediaan prasarana penunjang, seperti tenaga listrik, transportasi, dan komunikasi. Relatif rendahnya kualitas angkatan kerja Indonesia dewasa ini merupakan kendala dalam upaya mengembangkan sisi penawaran ekspor. Hal tersebut menyebabkan terbatasnya penguasaan keterampilan dan teknologi untuk menghasilkan komoditas ekspor yang bernilai tambah tinggi. Besarnya defisit transaksi berjalan terutama disebabkan oleh defisit dalam pos jasa. Kendala yang dihadapi dalam usaha memperkecil defisit neraca jasa adalah lemahnya daya saing berbagai industri jasa yang dimiliki. Kendala penting lain adalah intensitas perubahan nilai tukar berbagai mata uang utama, terutama apresiasi mata uang ye n 379 terhadap dollar Amerika. Kendala itu menyulitkan pengelolaan neraca pembayaran yang mantap mengingat sebagian besar pinjaman, terutama pinjaman pemerintah, adalah dalam bentuk yen, sementara sebagian besar perolehan devisa adalah dalam bentuk dollar Amerika. Apresiasi yen menyebabkan makin meningkatnya kewajiban pelunasan cicilan pokok dan bunga. 3. Peluang Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya yang beraneka ragam. Dengan potensi sumber daya mineral, kelautan, hutan, dan sumber daya alam lainnya serta kekayaan dan keanekaragaman budaya, Indonesia mempunyai peluang cukup besar untuk meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor dan pariwisata. Indonesia, bersama negara di kawasan Asia Pasifik lainnya mengalami pertumbuhan cukup tinggi dalam dua dasawarsa terakhir. Arus perdagangan dan modal antarnegara di kawasan ini sangat pesat. Pusat pertumbuhan ekonomi dunia dalam abad ke-21 adalah di kawasan Asia Pasifik. Indonesia dapat memanfaatkan berbagai peluang yang timbul dari kecenderungan pertumbuhan di kawasan ini. Kerja sama ASEAN, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi merupakan peluang yang penting bagi kepentingan sesama negara anggota ataupun bagi kepentingan Indonesia. Terbentuknya AFTA dapat dimanfaatkan untuk peningkatan arus perdagangan antarnegara serta peningkatan industri dalam negeri. Solidaritas dan semangat kerja sama antara sesama negara berkembang dan anggota Gerakan Nonblok merupakan peluang pula untuk meningkatkan arus perdagangan barang dan jasa serta modal antara Indonesia dengan sesama negara berkembang lainnya. 380 Meningkatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan peluang untuk meningkatkan komoditas ekspor unggulan, terutama komoditas industri pengolahan yang bernilai tambah tinggi, serta untuk meningkatkan ekspor jasa, termasuk tenaga kerja. Kebijaksanaan kurs valuta yang secara aktif mengambang dan terkendali sejak tahun 1986 telah mengurangi timbulnya guncangan penyesuaian kurs, dan mendorong daya saing komoditas ekspor Indonesia. Hal itu juga mendukung upaya peningkatan ekspor Indonesia. IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN 1. Arahan GBHN 1993 GBHN mengamanatkan bahwa setiap perkembangan, perubahan dan gejolak dunia, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun militer, terus diikuti secara saksama agar secara dini dapat diperkirakan terjadinya masalah yang dapat mempengaruhi stabilisasi nasional, serta yang menghambat kelancaran pembangunan dan pencapaian tujuan nasional agar dapat diambil langkah yang tepat dan cepat untuk mengatasinya. Perkembangan dunia yang mengandung peluang yang menunjang dan mempercepat pelaksanaan pembangunan nasional perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. GBHN menggariskan pula bahwa kebijaksanaan fiskal, moneter, dan neraca pembayaran dilaksanakan secara serasi dalam rangka mendukung pemerataan pembangunan dan hasilnya yang makin meluas dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis. Di bidang ekspor GBHN 1993 mengamanatkan bahwa guna mendorong ekspor, khususnya komoditas nonmigas, upaya 381 peningkatan daya saing dan penerobosan serta perluasan pasar luar negeri terus dikembangkan melalui peningkatan efisiensi produksi, mutu komoditas, jaminan kesinambungan dan ketepatan waktu penyerahan, serta penganekaragaman produk dan pasar, yang didukung oleh penyempurnaan sarana dan prasarana perdagangan termasuk jaringan informasi pasar, peningkatan promosi serta peningkatan akses pasar melalui kerja sama perdagangan internasional dan regional, baik bilateral maupun multilateral. Berbagai sarana dan prasarana penunjang ekspor terutama perkreditan, perasuransian, lalu lintas keuangan, dukungan perangkat hukum serta pelayanan usaha perlu makin dimantapkan. Dalam pelaksanaan ekspor perlu dibina keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan eksportir. Di bidang impor GBHN 1993 mengamanatkan bahwa kebijaksanaan impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa, khususnya barang modal, bahan baku dan bahan penolong untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri sehingga mampu menghasilkan barang dan jasa dengan mutu dan harga yang bersaing dalam rangka menunjang ekspor dan mendorong penggunaan produksi dalam negeri. Perlu pula dilakukan penghematan penggunaan devisa, terutama yang digunakan untuk impor barang mewah. Di bidang penanaman modal dan pinjaman luar negeri GBHN 1993 menyatakan bahwa sumber dana luar negeri dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pembangunan nasional, yaitu sebagai sumber pelengkap pembiayaan pembangunan dan sebagai wahana alih teknologi yang efektif. Penanaman modal asing terus didorong bagi kegiatan ekspor dan kegiatan pembangunan yang belum ditanggulangi dengan modal dan kemampuan teknologi dalam negeri melalui pengembangan iklim yang menarik, prosedur yang sederhana, pelayanan yang lancar, sarana dan prasarana ekonomi yang menunjang, serta peraturan yang konsisten sehingga memberi jaminan kepastian berusaha dan keamanan investasi. Bantuan luar negeri dan pinjaman luar negeri dimanfaatkan sepanjang tidak ada 382 ikatan politik, tidak memberatkan perekonomian, dan digunakan untuk membiayai kegiatan yang produktif sesuai dengan prioritas dan yang memberikan dampak sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. 2. Sasaran Dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan, sasaran kebijaksanaan neraca pembayaran dalam PJP II diarahkan pada tercapainya berbagai sasaran pembangunan bidang ekonomi sebagaimana yang diamanatkan oleh GBHN 1993. Dalam rangka mewujudkan perekonomian yang mandiri dan andal, sasaran pokok kebijaksanaan neraca pembayaran dalam PJP II adalah terciptanya kemampuan perekonomian untuk meningkatkan perolehan devisa yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan sehingga makin terwujud kemampuan membangun dengan kekuatan sendiri. Perkiraan neraca pembayaran Indonesia dalam Repelita VI didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu asumsi mengenai berbagai perkembangan ekonomi dunia dan berbagai perkembangan ekonomi makro di dalam negeri. Asumsi mengenai berbagai perkembangan perekonomian internasional tersebut mencakup laju pertumbuhan ekonomi dunia, terutama negara maju, tingkat inflasi dunia, tingkat suku bunga, serta nilai paritas antara valuta negara industri utama. Di dalam negeri, perkiraan neraca pembayaran sangat terkait dengan sasaran yang ditentukan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, pola pertumbuhan di tiap sektor ekonomi, dan sasaran pertumbuhan investasi, baik di tiap-tiap sektor ekonomi ataupun secara keseluruhan, serta berbagai perkiraan sumber pembiayaan investasi, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Penentuan sasaran sumber pembiayaan dari luar negeri, yang pada gilirannya menentukan arus lalu lintas modal luar negeri, baik pemerintah maupun swasta, selalu mengacu pada asas kemandirian yang merupakan asas pokok dalam PJP II. 383 Keseluruhan nilai ekspor selama Repelita VI diharapkan meningkat rata-rata sebesar 13,7 persen per tahun, yaitu dari US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 70,6 miliar pada tahun 1998/99. Nilai ekspor nonmigas diperkirakan meningkat dengan rata-rata sebesar 16,8 persen per tahun, yaitu dari US$ 28,2 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 61,2 miliar pada tahun 1998/99. Sumber peningkatan terbesar ekspor nonmigas berasal dari hasil industri nonmigas, yang diperkirakan meningkat dengan rata-rata 17,8 persen per tahun (Tabel 7 - 2). Nilai ekspor migas diperkirakan hanya meningkat rata-rata sebesar 0,8 persen per tahun, yaitu dari US$ 9,0 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 9,4 miliar pada tahun 1998/99. Peningkatan yang lambat ini disebabkan oleh relatif lemahnya harga di pasar internasional dan terbatasnya produksi di dalam negeri, sedangkan tingkat konsumsi dalam negeri terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan kegiatan pembangunan di sektor lainnya. Nilai impor nonmigas selama Repelita VI diperkirakan meningkat dengan rata-rata 15 persen per tahun. Untuk menunjang pertumbuhan sektor industri, impor bahan bake dan penolong serta barang modal diperkirakan terus bertambah besar walaupun kemampuan produksi dari dalam negeri meningkat dengan cepat. Sebaliknya, peranan impor barang konsumsi makin menurun sebagai akibat makin banyaknya barang konsumsi yang dihasilkan di dalam negeri dan makin mendalam serta meluasnya kegiatan industri pengolahan di dalam negeri yang mampu bersaing dengan barang impor. Selama Repelita VI impor sektor migas diperkirakan meningkat rata-rata sebesar 7,9 persen per tahun. Nilai impor tersebut terutama dipengaruhi oleh investasi di bidang perminyakan dan volume beserta harga impor minyak bumi mentah yang diperlukan untuk konsumsi dalam negeri. 384 TABEL 7 - 2 SASARAN NERACA PEMBAYARAN, 1994/95 -1998/99 (jute US dollar) Akhir Uraian Repelita V 1) R e p e l i t a VI 1996/97 1997/98 1994/95 1995/96 1998/99 37186 28189 9017 41962 32762 9200 47653 38166 9487 53997 44544 9453 61564 52118 9448 70623 61239 9384 -29198 -33213 -37827 -43385 -49437 -56945 -25904 -3294 -29686 -3527 -34080 -3747 -39199 -4188 -45160 -4277 -52128 -4817 -10876 -11859 -12971 -14037 -15262 -16474 -7902 -2974 -8737 -3122 -9703 -3288 -10733 -3304 -11830 -3432 -12996 -3478 -2888 -3110 -3145 -5837 2749 -5661 2551 -5617 2472 -3425 -5388 1963 -3135 -4872 1737 -2796 -3885 5894 5713 6487 6350 8628 8724 0 5894 0 5713 0 8487 0 6350 0 8828 0 6724 -5148 -4973 -5165 -4484 -4474 -4860 6683 3571 4433 4958 5368 5330 2048 4835 2307 1284 2487 1946 2702 2254 2729 2639 2930 2400 E. Lalu lintas moneter -1113 -1201 -2810 -3417 -4387 -4398 F. Selisih yang tidak diperhitungkan -3430 0 0 0 0 0 A. Barang dan jasa 1. Ekspor (f.o.b.) a. Bukan minyak bumi & gas alam cair b. Minyak dan gas bumi 2. Impor (f.o.b.) a. Bukan minyak bumi & gas alam cair b. Minyak dan gas bumi 3. Jasa-jasa (neto) a. Bukan minyak bumi & gas alam cair b. Minyak dan gas bumi 4. Transaksi berjalan a. Bukan minyak bumi & gas alam cair b. Minyak dan gas bumi B. Pinjaman pemerintah 1. Bantuan program 2. Bantuan proyek dan pinjaman lain C. Pelunasan pinjaman pemerintah 2) D. Pemasukan modal lain 1. Investasi langsung (neto) 2. Modal lainnya 1089 Catatan : 1) Angka perkiraan realisasi (tahun terakhir Repelita V) 2) Pokok pinjaman 385 Pengeluaran devisa neto untuk jasa diperkirakan naik rata-rata sebesar 8,7 persen per tahun, yang terdiri dari kenaikan rata-rata sebesar 3,2 persen untuk jasa sektor migas dan rata-rata sebesar 10,5 persen untuk jasa sektor nonmigas. Penerimaan devisa untuk jasa yang sangat menonjol terjadi pada sektor pariwisata yang mempunyai potensi dan peluang besar sebagai salah satu sumber penerimaan devisa, perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Dalam tahun 1993/94 penerimaan dari pariwisata adalah sebesar US$ 3,8 miliar, dan pada akhir Repelita VI diperkirakan mencapai US$ 8,9 miliar. Penerimaan jasa lainnya yang menonjol adalah dari transfer tenaga kerja di luar negeri yang diperkirakan meningkat rata-rata sebesar 26,8 persen per tahun, yaitu dari US$ 291 juta pada tahun 1993/94 menjadi US$ 953 juta pada tahun 1998/99. Pengeluaran jasa untuk pengangkutan meningkat dari US$ 2,9 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 5,7 miliar pada tahun 1998/99 (Tabel 7 - 3). Defisit transaksi berjalan selama Repelita VI tetap dalam batas yang aman, yaitu jika pada tahun 1993/94 diperkirakan sebesar US$ 2,9 miliar, atau 2,0 persen terhadap PDB, maka pada tahun 1998/99 diperkirakan akan mencapai US$ 2,8 miliar, atau 1,3 persen terhadap PDB. Pinjaman pemerintah selama Repelita VI sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman bersyarat lunak. Realisasi pinjaman per tahun yang berasal dari komitmen di masa lampau dan komitmen yang diperoleh selama Repelita VI diperkirakan meningkat dari US$ 5,9 miliar pada tahun 1993/94 menjadi sekitar US$ 6,7 miliar pada tahun 1998/99. Dalam pengelolaan pinjaman luar negeri pemerintah, pembayaran bunga dan angsuran pokok atas pinjaman setiap tahunnya berada pada tingkat yang aman dan tidak menimbulkan gangguan terhadap jalannya pembangunan nasional. Peningkatan hasil devisa dari ekspor, terutama ekspor nonmigas, memungkinkan penurunan dalam perbandingan pelunasan hutang terhadap nilai ekspor (DSR) 386 TABEL 7 - 3 SASARAN JASA-JASA DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI, 1994/95 - 1998199 (jute US dollar) Akhir Uraian A Jasa-jasa non faktor (neto) 1. Pengangkutan 2. Perjalanan/pariwisata a.Penerimaan b.Pengeluaran 3. Biaya angkutan lain 4.Jasa-jasa lainnya B. Pendapatan faktor (neto) 1. Bunga dan transfer keuntungan PMA/bank-bank asing 2) 2. Transfer tenaga kerja di Iuar negeri Jumlah Catatan : Repelita V 1) Repelita 1994/95 1995196 1996197 N VI 1997/98 1998/99 Laju Pertumbuhan Rata-rata (%) -4211 -4350 X128 -8094 -759 -8381 14.8 -2878 -3265 -3749 -4312 -4968 -5734 14,8 2299 2550 3388 6109 -2721 4911 4420 -1870 2916 5167 -2251 4018 3811 -1512 7324 -3306 8944 -4033 16,4 18,6 21,7 -682 -750 -825 -908 -998 -1098 10,0 -2950 -2885 -3470 -4262 -5211 -6460 17,0 -3691 -4387 -4575 4639 -4671 -4815 46 -3982 -4731 -4998 -5175 -5375 -5588 8,9 291 344 421 536 704 953 26,8 -7902 -8737 -9703 -10733 -11830 -12996 105 1) Angka perkiraan realieasi (tahun terakhir Repelita V) 2) Termasuk bunga sektor swasta dan BUMN yang mantap. DSR pinjaman luar negeri pemerintah diperkirakan menurun dari 21,1 persen pada akhir Repelita V menjadi 13,0 persen pada akhir Repelita VI. Berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan iklim investasi yang menarik selama Repelita VI diharapkan akan meningkatkan arus masuk modal swasta sehingga investasi langsung neto diperkirakan meningkat minimal sebesar rata-rata 7,4 persen per tahun, yaitu dari US$ 2,0 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 2,9 miliar pada tahun 1998/99. Pemasukan modal swasta lainnya diperkirakan menurun dengan rata-rata 12,3 persen per tahun, yaitu dari US$ 4,6 miliar pada tahun 1993/94 menjadi US$ 2,4 miliar pada tahun 1998/99. DSR sektor swasta diperkirakan menurun dari 9,4 persen pada akhir Repelita V menjadi 7,6 persen pada akhir Repelita VI. Jumlah pinjaman pemerintah dan swasta pada akhir Repelita V sekitar US$ 83 miliar. Persentasenya terhadap PDB akan menurun dari sekitar 57 persen pada akhir Repelita V menjadi sekitar 46 persen pada akhir Repelita VI. DSR sektor pemerintah dan swasta secara keseluruhan akan menurun dari 30,5 persen pada akhir Repelita V menjadi 20,6 persen pada akhir Repelita VI. Cadangan devisa selama Repelita VI diupayakan tetap pada tingkat yang aman setiap tahunnya, yaitu cukup untuk membiayai sekitar 5 bulan impor (c. & f.). Keseluruhan keadaan itu menunjukkan bahwa pada akhir Repelita VI ekonomi Indonesia akan lebih mandiri. 3. Kebijaksanaan Sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan, kebijaksanaan neraca pembayaran dilaksanakan secara serasi dengan kebijaksanaan fiskal dan moneter guna mendukung pemerataan pembangunan dan hasilnya secara meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 388 Kebijaksanaan neraca pembayaran yang membawa pengaruh mendorong terhadap pembangunan nasional selama Repelita V terus dilanjutkan dan dimantapkan dalam Repelita VI. Kebijaksanaan sistem devisa bebas yang merupakan kebijaksanaan mendasar untuk mendorong perdagangan dan investasi di dalam negeri akan terus dilanjutkan dan dimantapkan. Dalam Repelita VI kebijaksanaan neraca pembayaran diarahkan untuk menunjang tercapainya sasaran laju pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 6,2 persen per tahun, mewujudkan tatanan perekonomian nasional yang kukuh, memelihara ketahanan ekonomi yang mantap dan dinamis, serta menumbuhkan lapisan pengusaha yang mampu bersaing dalam skala internasional, dengan memberikan perhatian khusus kepada pengusaha menengah dan kecil. Kebijaksanaan neraca pembayaran diarahkan untuk terus mendorong ekspor, meningkatkan dan sekaligus menghemat devisa dengan meningkatkan industri pengganti impor dan meningkatkan efisiensi penggunaan devisa, memanfaatkan modal dan pinjaman luar negeri untuk kegiatan produktif, menciptakan iklim usaha yang menarik bagi penanaman modal, memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, dan memupuk cadangan devisa yang memadai. Berbagai ketidakpastian dalam perekonomian, perdagangan, dan keuangan internasional diupayakan untuk diantisipasi sedini mungkin dan disiapkan alternatif pemecahannya untuk mengamankan jalannya pembangunan nasional. Dalam kaitan itu, peningkatan kerja sama bilateral, multilateral, dan regional di berbagai forum internasional, seperti UNCTAD, GATT, Perjanji an komoditas, OPEC, dan Gerakan Nonblok akan terus dimantapkan dalam rangka menjaga dan memperjuangkan kepentingan nasional. 389 a. Kebijaksanaan di Bidang Ekspor Ekspor memiliki aspek strategis tidak saja sebagai penghasil devisa yang dibutuhkan dalam pembangunan, tetapi juga untuk meningkatkan lapangan kerja, kesempatan berusaha, dan memacu laju pembangunan. Pokok kebijaksanaan di bidang ekspor dalam Repelita VI ditujukan untuk meningkatkan penghasilan devisa, memperluas basis ekspor, baik dengan meningkatkan keragaman komoditas maupun perluasan pasar ekspor barang dan jasa Indonesia, dan meningkatkan daya saing komoditas ekspor di pasar internasional. Dalam rangka meningkatkan dan memantapkan penerimaan devisa dari migas diupayakan pemantapan harga minyak di pasar internasional melalui kerja sama yang lebih erat antar sesama negara anggota OPEC. Makin besarnya kebutuhan migas untuk konsumsi dalam negeri menekan kemampuan ekspor minyak bumi. Oleh karena itu, usaha pencarian dan pengalihan ke energi alternatif, seperti batu bara, terus dimantapkan. Untuk mengimbangi turunnya penerimaaan migas, eskpor nonmigas harus meningkat lebih cepat lagi. Tercapainya berbagai sasaran pembangunan dalam Repelita VI sangat ditentukan oleh keberhasilan peningkatan ekspor nonmigas. Langkah penting dalam rangka peningkatan penerimaan ekspor nonmigas adalah penganekaragaman komoditas ekspor melalui pemanfaatan sumber daya alam dan manusia serta teknologi. Meningkatnya ragam komoditas ekspor Indonesia, terutama dengan tahap pengolahan lebih lanjut, berarti pula meningkatnya nilai tambah dan kesempatan kerja. Ekspor hasil industri terus ditingkatkan efisiensi dan daya saingnya sehingga menghasilkan barang yang makin bermutu, bernilai tambah tinggi dan padat keterampilan sehingga menciptakan keunggulan kompetitif di pasar internasional. Penganekaragaman jenis komoditas ekspor dan peningkatan tahap pengolahan akan memperkukuh landasan ekspor sehingga 390 menjadi andal terhadap guncangan pasar dunia. Kebijaksanaan tersebut disertai pula dengan kebijaksanaan meningkatkan akses pasar komoditas ekspor Indonesia. Promosi aktif baik ke pasar tradisional maupun pasar potensial terus dilanjutkan dan dimantapkan. Upaya mengantisipasi dan memecahkan berbagai hambatan terobosan ekspor ditingkatkan, terutama terhadap negara industri ataupun blok ekonomi, seperti Pasar Tunggal Eropa (PTE) dan NAFTA. Daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional ditingkatkan melalui peningkatan efisiensi seluruh jajaran produksi, pemasaran, tata niaga, disertai usaha meningkatkan mutu, jaminan kesinambungan, ketepatan waktu penyerahan, serta pemenuhan persyaratan perdagangan internasional lainnya. Upaya tersebut didukung dengan peningkatan sarana dan prasarana penunjang ekspor, terutama perkreditan, perasuransian, lalu lintas keuangan, jasa pengangkutan, dukungan perangkat hukum, pelayanan usaha, penyediaan jaringan informasi pasar, peningkatan promosi, serta peningkatan akses pasar melalui kerja sama perdagangan internasional dan regional, baik bilateral maupun multilateral. Kebijaksanaan deregulasi di bidang ekspor terus dilanjutkan sehingga makin meningkatkan daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional. Keterkaitan yang saling menguntungkan antara produsen dan eksportir dibina dan diperluas, terutama dalam rangka mendorong ekspor oleh pengusaha menengah dan kecil. Kawasan pengolahan ekspor terus dikembangkan dan dimantapkan pemanfaatannya sehingga mendorong produksi ekspor barang industri, meningkatkan lapangan kerja, dan menarik investasi. Kebijaksanaan pengelolaan kurs valuta asing yang tetap menjaga daya saing komoditas ekspor Indonesia sangat penting dan terus dilanjutkan. b. Kebijaksanaan di Bidang Impor dan Jasa Kebijaksanaan di bidang impor ditempuh secara serasi dan terpadu dengan kebijaksanaan di bidang lain dalam rangka 391 meningkatkan stabilitas ekonomi, terutama menjamin kesinambungan produksi dan kegiatan di sektor lainnya, serta mendorong penggunaan devisa secara efisien dalam rangka menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Kebijaksanaan impor, khususnya impor barang modal dan bahan baku serta penolong, diarahkan untuk mendorong peningkatan investasi di berbagai sektor ekonomi dan pengembangan industri dalam negeri yang efisien, kukuh dan tangguh sehingga mampu menghasilkan barang dan jasa dengan mutu dan harga yang bersaing, sekaligus menunjang ekspor dan mendorong penggunaan produksi dalam negeri. Penghematan penggunaan devisa dilakukan, terutama yang digunakan untuk impor barang mewah. Seiring dengan kebijaksanaan pengembangan industri dalam negeri, kebijaksanaan impor diarahkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional dengan membebaskan dan melonggarkan tata niaga berbagai jenis barang impor, restrukturisasi tarif, dan penurunan tarif secara bertahap dan transparan. Pengendalian besarnya defisit dalam pos jasa ditempuh melalui kebijaksanaan peningkatan penerimaan devisa dari jasa, terutama jasa pariwisata dan transfer pendapatan tenaga kerja di luar negeri, serta jasa konstruksi. Penghematan pengeluaran jasa dilakukan melalui peningkatan kemampuan produksi sektor jasa oleh perusahaan dalam negeri, terutama di bidang pengangkutan barang ekspor dan impor, asuransi, jasa perbankan, dan jasa keuangan lainnya. Impor barang dan jasa untuk kebutuhan pemerintah dikendalikan, kecuali untuk yang sangat dibutuhkan dan tidak dapat dihasilkan di dalam negeri. Pengadaan barang-barang kebutuhan pemerintah senantiasa mengutamakan penggunaan produk dalam negeri. 392 c. Kebijaksanaan di Bidang Penanaman Modal dan Pinjaman Luar Negeri Dalam upaya meningkatkan laju pembangunan nasional, selain terus meningkatkan sumber pembiayaan dari dalam negeri, sumber pembiayaan luar negeri tetap diperlukan. Dalam menuju masyarakat yang maju dan mandiri, seperti diamanatkan oleh GBHN, secara relatif sumber pembiayaan luar negeri diupayakan menurun. Sumber pembiayaan luar negeri dalam bentuk investasi langsung (penanaman modal asing/PMA) didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat, serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Penanaman modal asing didorong bagi kegiatan ekspor dan kegiatan pembangunan yang belum dapat dilakukan oleh modal dan kemampuan teknologi dalam negeri. Dalam rangka itu, diupayakan untuk mengembangkan iklim investasi yang menarik, prosedur yang sederhana, pelayanan yang lancar, sarana dan prasarana yang menunjang, serta peraturan yang konsisten sehingga memberi jaminan kepastian berusaha dan keamanan investasi. Kemudahan dan iklim investasi yang sehat dan menarik dikembangkan, antara lain, dengan menyediakan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, peraturan perundangundangan yang mendukung, penyederhanaan prosedur pelayanan investasi serta kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat. Pelaksanaan kebijaksanaan deregulasi, debirokratisasi, dan desentralisasi di bidang penanaman modal dalam negeri dan asing terus dimantapkan, baik di pusat maupun di daerah-daerah, sehingga Indonesia merupakan tempat menarik bagi para investor. Kebijaksanaan penanaman modal diarahkan untuk mendorong pengusaha menengah dan kecil agar dapat tumbuh dan berkembang sehingga memperkukuh tatanan perekonomian nasional. Pemanfaatan pinjaman luar negeri pemerintah dalam Repelita VI tetap berfungsi sebagai pelengkap, dan diperoleh dengan syarat 393 lunak, tidak memberatkan dan dalam batas kemampuan negara untuk membayar kembali, serta tanpa ikatan politik. Jumlah pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan dana pembangunan yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri. Penggunaannya ditujukan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang produktif sesuai dengan prioritas dan yang memberi manfaat sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat. Pengelolaan pinjaman luar negeri yang mencakup mekanisme pemantauan dan evaluasi yang cermat tentang jumlah, komposisi, denominasi valuta, tingkat suku bunga, dan jatuh waktu pelunasan akan terus disempurnakan. Dengan demikian, pada saat terjadi gejolak keuangan internasional, berbagai langkah pengamanan dapat segera ditempuh. Pengelolaan pinjaman luar negeri juga diarahkan untuk mengurangi risiko gejolak tingkat bunga dan perubahan kurs valuta, serta dampak terhadap beban hutang. Kebijaksanaan diarahkan pula agar terwujud peningkatan kapasitas pengembalian, baik pembayaran cicilan pokok maupun bunga atas hutang luar negeri. Kebijaksanaan diarahkan agar perbandingan antara jumlah pelunasan hutang terhadap nilai ekspor berada pada tingkat yang cukup aman ditinjau dari perkembangan perekonomi an secara keseluruhan. Pinjaman komersial luar negeri swasta perlu terus dipantau dan diantisipasi kecenderungannya. Dengan adanya pemantauan yang cermat dan efektif, kebijaksanaan dan pengamanan dini dapat dilaksanakan melalui kebijaksanaan fiskal-moneter yang tepat sehingga beban pembayaran kembali pinjaman tetap berada dalam batas kemampuan ekonomi Indonesia. d. Kebijaksanaan Devisa Dalam rangka menciptakan posisi neraca pembayaran yang makin mantap, kebijaksanaan devisa dalam Repelita VI diarahkan untuk senantiasa menjaga kondisi perekonomian yang sehat, andal, dan sekaligus mendorong ekspor, mengendalikan impor barang dan 394 jasa, serta mendukung kestabilan pasar dan kurs valuta asing. Dengan meningkatnya volume transaksi dan kebutuhan devisa sejalan dengan meningkatnya kegiatan perekonomian, jumlah cadangan devisa diusahakan senantiasa dalam keadaan aman dan memadai bagi kebutuhan perekonomian dan pembangunan. Kebijaksanaan devisa juga diarahkan untuk menjamin kelangsungan sistem devisa bebas, dan menunjang kemampuan memenuhi semua kewajiban pembayaran internasional. e. Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Dalam Repelita VI kerja sama ekonomi luar negeri yang telah dirintis selama ini terus dimantapkan. Dalam rangka itu, Indonesia akan turut secara aktif dalam berbagai forum ekonomi internasional baik bilateral, regional maupun multilateral dengan tujuan untuk mengamankan dan memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam rangka Gerakan Nonblok, Indonesia akan melanjutkan peran aktifnya untuk memperjuangkan kepentingan negara anggota, terutama dalam upaya meningkatkan kegiatan pembangunan dan terwujudnya dialog yang positif dan saling menguntungkan antara Utara dan Selatan. Solidaritas dan kesatuan sikap antara negara berkembang dimantapkan dalam usaha memperjuangkan mantapnya pasar dan perjanjian komoditas primer, usaha menghilangkan hambatan perdagangan, serta meningkatkan kerja sama ekonomi dan teknik antarnegara berkembang. Dalam rangka ASEAN, melalui kerja sama antarnegara anggota, baik antarpemerintah maupun antarmasyarakat, diupayakan kegiatan yang makin memperkukuh ketahanan nasional dan regional melalui forum kerja sama ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. 395 DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM A AFTA ANRPC = ASEAN Free Trade Area = Association of Natural Rubber Producing APM ATPC = angka partisipasi murni = Association of Tin Producing Countries Countries B Bapedal Bapepam BBM BIS BKB BKPMD BPKP BPN BPR Bulog = Badan Pengendalian Dampak Lingkungan = Badan Pelaksana Pasar Modal = bahan bakar minyak = Bank for International Settlements = = = = = = Bina Keluarga Balita Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Badan Pertanahan Nasional bank perkreditan rakyat Badan Urusan Logistik C CAP CCCN CFRS = Cadangan Anggaran Pembangunan = Custom Cooperation Council Nomenclature = custom fast release system D DSR = G GSO = Geo-stationary Orbit 396 debt service ratio H hankam hankamneg hansip HS = = = = pertahanan keamanan pertahanan keamanan negara pertahanan sipil harmonized system I ICO IDT Inpres ipeda iptek ITTO = = = = = = International Coffee Organization Inpres Desa Tertinggal Instruksi Presiden iuran pembangunan daerah ilmu pengetahuan dan teknologi International Tropical Timber Organizatic K kamtibmas KB KEP KK KLBI km KPR KTI KTT KUD KUK Kupedes KUT KVA = = = = = = = = = = = = = = keamanan dan ketertiban masyarakat keluarga berencana kurang energi protein kepala keluarga kredit likuiditas Bank Indonesia kilometer kredit pemilikan rumah = kawasan timur Indonesia konperensi tingkat tinggi koperasi unit desa kredit usaha kecil kredit usaha pedesaan kredit usaha tani kurang vitamin A L lansia linmas LKBB LNG = = = = lanjut usia perlindungan masyarakat lembaga keuangan bukan bank Liquefied Natural Gas 397 M menwa MI migas MIPA MPO MPR MPR-RI MTs resimen mahasiswa madrasah ibtidaiyah minyak dan gas bumi matematika dan ilmu pengetahuan alam menghitung pajak orang Majelis Permusyawaratan Rakyat Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia = madrasah tsanawiyah N NKKBS Non-KUD = Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera = non-koperasi unit desa O OPEC OPP OPT = Organization of Petroleum Exporting Countries = organisasi peserta pemilu = Operasi Pasar Terbuka P P2WKSS PAD PBB PBB PBDR PDB PDRB PEB pelita pemilu perum Perumnas PJP 398 = = = = = = = = Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera = pendapatan asli daerah = pajak bumi dan bangunan = Perserikatan Bangsa-Bangsa = pajak bunga, dividen, dan royalti = produk domestik bruto = produk domestik regional bruto = pedagang eceran besar = pembangunan lima tahun = pemilihan umum = perusahaan umum = Perumahan Nasional = pembangunan jangka panjang PKK PKLN PLTN PMA PMDN PON PP PPBN PPh PPM PPN PPUKP SK PT PTA PTE PTKP Puskesmas R rakorbang ratih Repelita VI Rp RRC RRI RS RSS Rupbasan S satpam SBI SBM SBPU SD = = = = = = = = = = = = = = = = = Pendidikan Kesejahteraan Keluarga pinjaman komersial luar negeri pusat listrik tenaga nuklir penanaman modal asing penanaman modal dalam negeri Pekan Olahraga Nasional peraturan pemerintah Pendidikan Pendahuluan Bela Negara pajak penghasilan Program Pendidikan Masyarakat pajak pertambahan nilai Proyek Pengembangan Usaha Kecil pertambangan skala kecil = perguruan tinggi perguruan tinggi agama Pasar Tunggal Eropa pendapatan tidak kena pajak pusat kesehatan masyarakat = = = = = = = = = rapat koordinasi pembangunan rakyat terlatih Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam rupiah Republik Rakyat Cina Radio Republik Indonesia rumah sederhana rumah sangat sederhana rumah tempat penitipan benda sitaan negara = = = = = satuan pengamanan Sertifikat Bank Indonesia setara barel minyak surat berharga pasar uang sekolah dasar 399 SDM SDMI SEA simpedes sishankamrata sismiop sistep SLJJ SLTA SLTP SNSE SP3 SST T tabanas taska TFR TPAK TPP TVRI U UNCTAD UU UUD W wankamra waskat wasmas wasnal wisman wisnus 400 = sumber daya manusia = sekolah dasar madrasah ibtidaiyah = southeast asian = simpanan pedesaan = sistem pertahanan keamanan rakyat = semesta sistem manajemen informasi objek = pajak sistem tempat pembayaran = sambungan langsung jarak jauh = sekolah lanjutan tingkat atas = sekolah lanjutan tingkat pertama = sistem neraca sosial ekonomi = Sarjana Penggerak Pembanguna Perdesaan = satuan sambungan telepon = tabungan pembangunan nasional = tabungan asuransi berjangka = total fertility rate = tingkat partisipasi angkatan kerja = tunjangan perbaikan penghasilan = Televisi Republik Indonesia = United Nations Conference on Trade and Development = Undang-Undang = Undang-Undang Dasar = = = = = = perlawanan keamanan rakyat pengawasan melekat pengawasan masyarakat pengawasan fungsional wisatawan mancanegara wisatawan nusantara