tinjauan pustaka

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
Memahami Jawara: dari Non Governing Elite menjadi Governing Elite
Jawara merupakan entitas penting dalam sejarah dan realitas masyarakat
Banten. Jawara sering diidentikkan sebagai seorang yang memiliki keberanian,
agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), dan terbuka/blakblakan (Hudaeri, 2002: 2). Versi tentang munculnya jawara beragam, pertama
sebutan jawara hadir pada masa kerajaan Sunda. Kedua, ada yang mengatakan
bahwa kelompok jawara itu muncul seiring dengan berdirinya Kesultanan Banten
tahun 1552 (Halwany dan Chudari, 1993: 69-70; Sunatra, 1997: 184). Ketiga,
jawara merupakan organisasi tukang pukul, yang awalnya berasal dari istilah orok
lanjang “bayi menjelang dewasa” (Ekadjati, 1995: 223).
Keempat, kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka adalah golongan yang
dilahirkan oleh Kiayi yang kemudian disebut jawara (Sunatra, 1997: 185).
Kelima, pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 memaknai jawara sebagai
kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara
dipersamakan dengan kelompok “bandit sosial”. Istilah ini disematkan kepada
orang-orang yang mengacau dan memberontak terhadap pemerintah Kolonial
Belanda terutama pada masa Daendels (Sunatra, 1997: 180-181). Keenam, dalam
perkembangan selanjutnya, jawara diartikan sebagai orang yang berani merampok
(jalma wani rampog) atau pembohong atau penipu (jalma wani rahul)
(Kartodirdjo, 1984: 43).
Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat Banten. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu
memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk
mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik.
Bahkan kemudian, ada yang menggunakan istilah bandit lokal untuk
menggambarkan betapa citra jawara itu begitu negatif. Buruknya citra jawara
mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif
kaum jawara dengan mengemukakan bahwa bahasa kirata jawara itu adalah
jagoan yang berani tetapi ramah (jalma wani ramah). Mereka sebenarnya
pelindung masyarakat pedesaan dan sangat patuh kepada kaum ulama. Mereka
tidak melakukan kejahatan untuk keuntungan dirinya sendiri, karena jawara
bukanlah pencuri atau perampok (Adimihardja dalam Sunatra, 1997: 181).
Keenam versi tentang jawara di atas menjadi penanda dialektika Jawara.
Pun demikian menjadi proses periodeisasi eksistensi jawara. Era Kerajaan Sunda,
Kesultanan Banten, dan Pra kemerdekaan, jawara dan segala atributnya dicitrakan
sebagai pejuang rakyat. Era awal kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru citra
jawara mengalami pasang surut dan terdikotomikan antara negatif dan positif.
Dalam dua periodeisasi tersebut posisi jawara adalah sebagai kelas yang dikuasai
(the rulled class) dan non-governing class.
7
Gambar 2.1 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi
Penguasa
(The Rulling Class)
Yang dikuasai
(The Rulled Class)
Elit Penguasa
Kaum Jawara
Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Momentum otonomi daerah menjadi titik balik pemanfaatan perbaikan
citra jawara di mata masyarakat. Pemberlakuan sistem otonomi daerah yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 membuka ruang baru bagi
sirkulasi politik kejawaraan di daerah. Menurut pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan
daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya,
pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” (UUD 1945, pasal 18).
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi otonomi
daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Terbukanya peluang dan ruang sosial politik pada era otonomidesentralisasi seperti nampak dalam penjelasan di atas membuka kesempatan
Jawara untuk mengisi dan mengkonsolidasikan kekuatan politik di daerah dan
pedesaan. Pada periodeisasi desentralisasi ini posisi sosial Jawara daerah dan
pedesaan naik menjadi kelas elit, kelas penguasa (the rulling class), dan
governing class.
8
Gambar 2.2 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi
Penguasa
(The Rulling Class)
Yang dikuasai
(The Rulled Class)
Elit Jawara
Masyarakat/Rakyat
Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Menurut Pareto, yang disebut dengan elit adalah sekelompok kecil
individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat
kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto menggolongkan
masyarakat ke dalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite).
Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang
memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing
elite). Pareto menjelaskan antara governing elite dan non-governing elite
senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga
terjadilah sirkulasi elit. Setiap elit yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila
secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi
sirkulasi elit akan tetap berjalan karena secara individual baik elit keturunan
maupun elit yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai
dengan waktu dan sebab-sebab biologis (Varma, 2007: 204).
Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk
apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah (the rulling
class) dan kelas yang diperintah (the rulled class). Kelas yang memerintah
memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli
kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari
kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan
kekerasan (Varma, 2007: 206-207). Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai
kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat.
Definisi ini kemudian didukung oleh Robert Michel (dalam Niel, 1984: 35) yang
berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan.
Sementara itu, bila merujuk pada dasar pandangan Weber, transformasi
kedudukan jawara dari the rulled class menjadi the rulling class – istilah Mosca
atau dari non governing elite menjadi governing elite – istilah Pareto, tentunya
meniscayakan terjadinya transformasi otoritas atau kedudukan jawara. Kedudukan
jawara yang semula bersifat karismatik-tradisional mengalami pergeseran ke arah
legal-formal.1 Pergeseran dipengaruhi oleh terbukanya ruang politik desentralisasi
1
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih
ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis.
Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu:
adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide
9
yang terjadi di masyarakat. Dalam posisi ini, jawara mampu memanfaatkan basis
massa untuk melakukan konsolidasi politik dengan memainkan keran kekuasaan
dan gaya kepemimpinan politiknya.2 Realitas inilah yang menjadi sisi menarik
dari dinamika demokrasi Indonesia saat ini.
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan muncul dalam wujud kemampuan untuk memimpin,
mengajak dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian
tujuan tertentu. Menurut Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2006) kepemimpinan
merupakan proses sosial yang diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan
seseorang atau badan untuk menggerakan warga masyarakat. Dengan demikian
kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakan orang
lain untuk mencapai suatu tujuan. Selain sebagai proses sosial, Koentjaraningrat
(dalam Komarudin, 2011: 60) memberi pengertian kepemimpinan sebagai
kedudukan. Dalam konteks ini kepemimpinan merupakan suatu kompleksitas dari
sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseoarang atau badan.
Menurut Locke (1997) konsepsi kepemimpinan terkait pada tiga hal
utama, yaitu: Pertama, kepemimpinan menyangkut „orang lain‟, bawahan atau
pengikut, kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika
tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua
kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung
makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka. Kedua,
kepemimpinan merupakan suatu „proses‟. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti
melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi
otoritas. Walaupun posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong
proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk
membuat seseorang menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus „membujuk‟
yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa
seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta
adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Konsep otoritas
tradisional bersumber atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian
tradisi. Kekuasaan yang legal formal atau berdasarkan hukum adalah kekuasaan yang didasarkan
atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang
kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. (Schaft,
1995: 206; Albrow 1996: 38; dan Wrong (Ed.), 2003: 299-230).
2
Amitai Etzioni (1961) yang membagi masyarakat atau massa ke dalam tiga kategori besar.
(1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial
terikat secara politik pada suatu organisasi sosial-politik, karena loyalitas normatif yang
dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisiskrisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis
terhadap krisis-krisis empirik yangdihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrab dengan
modernitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit
(berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi.
Sementara itu, massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada
mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi
politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum.
10
orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para
pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi,
menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan
hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi.
Dari beberapa definisi di atas, pada dasarnya ”kepemimpinan adalah
masalah nilai antara pemimpin dan yang dipimpinnya.” Karena ia masalah nilai
maka setidaknya ada tiga hal utama yang dapat mengukur efektifitas dan
keberhasilannya. Pertama, kepercayaan (trust). Sebagaimana dijelaskan oleh
Fukuyama (1995) kepercayaan ialah harapan yang tumbuh di dalam suatu
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama
berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan
penerapan terhadap pemahaman ini. Kedua, program kerja dan kebijakan publik.
Ketiga, partisipasi masyarakat.
Sementara itu, gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam
pengklasifikasian tipe kepemimpinan, gaya kepemimpinan memiliki tiga pola
dasar yaitu, mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan hubungan kerja,
dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Moenir AS (1988: 255)
mengelompokkan gaya kepemimpinan dalam dua kubu yaitu gaya dominatif dan
gaya persuasif. Gaya dominatif adalah gaya yang “keras”, di sini pemimpin
menunjukkan kekuasaannya dengan kekuatan dan kekerasan agar keberhasilan
kepemimpinan tercapai. Dengan gaya ini terlihat unsur kemanusiaan kurang
dihargai.
Sebaliknya kubu kedua yaitu gaya persuasif adalah gaya yang berlawanan
dengan gaya pertama, di mana kepemimpinan menyelaraskan tingkah laku
kepemimpinannya dengan situasi lingkungan dalam arti pemimpin menciptakan
perpaduan yang serasi untuk mencapai tujuan. Dalam gaya ini faktor manusiawi
menjadi pertimbangan utama dalam pencapaian tujuan. Di antara dua kubu yang
bertentangan itu terdapat dua sub kubu, yang dapat dipandang sebagai kubu
peralihan. Dengan demikian gaya kepemimpinan ada empat jenis, yang masingmasing dapat berdiri sendiri, atau rangkaian tahap dari yang lain. Keempat gaya
tersebut oleh Rensis Likert disebut dengan Leadership`s Systems.
Tabel 1.1 Empat Jenis Gaya Kepemimpinan
Gaya Kepemimpinan
Kubu
Dominasi
Persuasif
Dimensi Tujuan Organisasi
Jenis
1. Eksplotatif-Otoritatif
Dimensi Satu (Jangka Pendek)
2. Otoritatif
Dimensi Dua (Jangka Menengah)
3. Konsultatif
4. Partisipatif
Dimensi Tiga (Jangka Panjang)
Gaya eksploitatif-otoritatif adalah gaya kepemimpinan yang ditandai
dengan sikap pemimpin yang cenderung memeras kelompok orang yang
dipimpinnya, tidak menghargai pendapat atau saran. Mitos ketakutan yang
diciptakan menjadi bagian dari gaya kepemimpinan ini. Kedua, gaya
kepemimpinan otokratif lebih lunak dari gaya pertama, namun pengambilan
keputusan masih tetap berada pada pemimpin dan ciri lainnya seperti sedikit
memberi kelonggaran untuk memberi pendapat dan saran sedikit sekali
memberikan pelimpahan dalam pengambilan keputusan, peranan sanksi atas
11
pelanggaran masih ditonjolkan untuk menegakkan disiplin. Kemudian pemberian
penghargaan masih kurang. Ketiga, Gaya konsultatif. Gaya ini memberikan
kemudahan dan ruang pendapat atau saran sudah mulai terbuka. Keempat, gaya
partisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang menekankan tumbuhnya ide
partisipatif dan adanya keterbukaan program-program kepemimpinan yang
memihak kepada masyarakat sebagai kelompok yang dipimpinnya.
Demokratisasi di Pedesaan dan Politik Kekerabatan/Keluarga
Demokratisasi di pedesaan sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun
1998, memasuki era baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan,
memainkan peran di dalam politik pedesaan hingga arena politik daerah. Aktoraktor lokal atau orang kuat lokal (local strongmen/bossism) yang terorganisasi dan
memiliki simbol kultural lokal–jawara, berada dipanggung politik.
Kemunculannya tidak terlepas dari adanya jaringan atau ikatan kekuarga (clan),
kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan
adanya integrasi sosial, kelompok kekerabatan yang besar, kelompok kekerabatan
yang berdasarkan asas unilinear.
Bangunan ikatan keluarga (clan) tidak terlepas dari siapa patron awal yang
membangun pondasi yang kuat. Klan tersebut mampu berada pada level kekuatankekuatan yang mapan untuk kemudian dikonsolidasikan pada tataran elit yang
kemudian menjadi kekuatan pada tingkat lokal dan nantinya pada tingkatan skala
nasional. Klan atau jaringan keluarga pada ranah pangung politik sangat berperan
besar, di mana nantinya dapat mempengaruhi proses politik atau sebuah kebijakan
dan efek sosial politik dari opini politik klan yang dibangun.
Politik klan (keluarga/kekerabatan) muncul di era reformasi seiring
perubahan peta pembangunan lokal, regional, dan global. Secara pararel konteks
pembangunan3 daerah telah memunculkan dinamika perubahan arah
pembangunan (Pike, at.al, 2006). Politik kekerabatan merupakan salah satu
impact dari logika pembangunan tersebut. Politik kekerabatan merupakan pola
hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan
(unilineal discent associations). Formasi sosial dan aliansi politik yang terbentuk
juga bertumpu pada pertalian perkawinan dan hubungan darah (Kurtz 2001).
Struktur politik kekerabatan itu bersifat tertutup di mana elemen-elemen
penyangganya (keluarga, suku, klan, faksi) merupakan entitas yang saling melekat
dan menyatu. Mereka dituntut saling mendukung dan menopang guna
mempertahankan struktur dan menjaga tradisi politik kekerabatan yang dianut
3
Ide foucault yang melakukan kritik terhadap wacana modernisme dengan pendekatan poststruktural melalui pembongkaran hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan digunakan
oleh Arturo Escobar dan Mansur Faqih untuk membongkar hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan dibalik wacana teori pembangunan sebelumnya, yaitu teori–teori modernisasi yang
hadir di dunia ketiga semasa perang dingin dalam bentuk wacana developmentalisme. Pendekatan
ini telah melahirkan teori pembangunan baru, yang melihat pembangunan bukan pesoalan
kebijakan, tetapi juga sebagai masalah wacana yang dapat kita sebut dengan teori pembangunan
poststruktural (Escobar, 2005; Rhicard Peet dan Hartwick Elaine, 2009). Wacana inilah yang
kemudian menjadi diskursus yang menyentuh ranah praktis, termasuk dalam hal ini kepemimpinan
politik jawara.
12
bersama. Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentimen
primordialitas dan politik pragmatisme. Menurut Colin Hay (2007) dalam “Why
We Hate Politics”, ketika arena politik bekerja melayani kepentingan pragmatis
personal elit-elit politik, maka kepentingan personal dalam arena politik hanya
akan menghasilkan irasionalitas kolektif.
Kuatnya praktik politik kekerabatan dalam proses demokratisasi di
Indonesia menandakan elit-elit penguasa ingin memelihara geneologi politik dan
kekuasaan di kalangan anggota keluarganya sendiri. Bagi para elit berkuasa,
menjaga geneologi kekuasaan itu amat perlu, terutama berkaitan dengan dua
kepentingan strategis, yaitu: (1) merawat trah kekuasaan dan menjaga
keberlangsungan karier politik; (2) mempertahankan penguasaan atas akses ke
sumber-sumber ekonomi dan finansial. Kondisi ini diperkuat oleh otonomi daerah
yang kembali ke atas panggung (Philip McCann and Frank van Oort, 2009). Oleh
karena itu, untuk menjaga kedua kepentingan strategis itu, mereka tak mungkin
menyerahkan kepada orang lain, kecuali kepada kerabat dan keluarga sendiri.
Dengan kata lain, elit yang memerintah lebih menaruh kepercayaan kepada orang
yang terikat hubungan darah. Dalam tradisi politik kekerabatan ada ungkapan
yang amat masyhur, “blood is thicker than water” atau “darah lebih kental dari
air”. Dengan demikian, sirkulasi kekuasaan hanya akan berputar di kalangan
anggota keluarga sendiri dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kondisi ini
sesuai dengan yang diutarakan oleh Cliford Geertz (2000) negara teater lahir dari
partai milik keluarga. Dalam sebuah Negara teater, tokoh utamanya adalah anak,
menantu, suami, istri, keponakan, sementara rakyat sebagai pemilih, adalah
penonton.
Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients
and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society, ada
empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elit-elit penguasa
di suatu Negara: pertama, kepercayaan (trust) ini lebih disebabkan karena kerabat
lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus
pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas, kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi
dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga
wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas
(solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh
terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan
kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi
(protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan
keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu
menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain. Keempat hal itu
merupakan faktor elementer pola relasi politik, yang bermuara pada apa yang
disebut Meyer Fortes (1978) sebagai amity yang menjadi jantung dalam hubungan
kekerabatan. Istilah ini merujuk pola hubungan yang melahirkan perasaan damai,
aman, dan nyaman bagi elit politik.
Kajian-Kajian Tentang Jawara (Local Strongmen): Mengawali Kritik,
Menemukan Signifikansi Penelitian
Secara sederhana, pemikiran-pemikiran tentang local strongmen (orang
kuat lokal/aktor lokal) dapat kita pelajari dengan memahami pemikiran Migdal
13
dan Sidel.4 Menurut Migdal (2001) struktur masyarakat merupakan faktor utama
yang mendorong lahirnya “orang kuat lokal” (local strongmen). Local strongmen
tumbuh dalam struktur masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok otonom
di bawah penguasaan para tuan tanah dalam ikatan patron-klien. Ini menjadi basis
kekuatan mereka sekaligus membuat kontrol sosial terpecah-pecah. Dengan
kekuatan yang dimilikinya local strongmen dapat mengendalikan kekuatan negara
di tingkat lokal, terutama ketika negara dalam keadaan lemah (weak state).
Migdal (2001), menyebutkan strategi triangle of accommodation sebagai
strategi local strongmen untuk bertahan. Dengan demikian, Kehadiran local
strongmen merupakan refleksi dari kuatnya masyarakat. Migdal (2001: 256)
mengemukakan local strongmen bisa sukses karena pengaruh mereka dan bukan
aturan resmi yang dibuat: “why local strongmen have, through their success at
social control often effectively captured parts of third world states”. Mereka
sukses dalam menguasai posisi-posisi penting dan memastikan alokasi sumber
daya karena pengaruh mereka (own rules) dan bukan karena aturan yang secara
resmi dibuat. Ada tiga argumen yang menjelaskan fenomena keberhasilan orang
kuat lokal menurut Migdal (2001: 238-258):
1. Local strongmen telah mengembangkan “weblike societies” melalui
organisasi otonom yang dimiliki, dalam kondisi masyarakat yang
terfragmentasi secara sosial.
2. Local strongmen melakukan kontrol sosial melalui distribusi komponen
yang disebut “strategies of survival” dari masyarakat lokal. Ini
menghasilkan pola personalism, clientalism, dan relasi patron – client.
3. Local strongmen menguasai “state agency” dan sumber daya, sehingga
agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan kepentingan local
strongmen. Local strongmen melakukan kontrol dan limitasi atas otonomi
dan kapasitas negara, dan berhasil melemahkan negara dalam proses
pencapaian tujuan perubahan sosial.
Oleh karena itu, Migdal menilai bahwa kekuasaan local strongmen
tersebut merugikan sebab mereka berfokus pada kepentingan dirinya dan dengan
pengaruh yang dimilikinya mereka dapat mengabaikan aturan formal dan
menghambat pembangunan ekonomi.
Sementara itu, Sidel (dalam Harris, Stokke, dan Tornquist, 2004: 51-74)
dalam tulisannya tentang bossism5, melihat bahwa local strongmen merupakan
produk dari struktur Negara. Menurut Sidel, negara yang otoriter dan sentralistik
pada masa Soeharto menjadi lahan subur bagi lahirnya para “boss lokal”, baik
yang berasal dari militer, birokrat, maupun masyarakat sipil. Dengan berbasiskan
pada “kapitalisme primitif” yang digerakkan oleh negara, mereka menjalankan
aneka fungsi negara yang meluas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Demokratisasi dan desentralisasi pasca-Soeharto mengalihkan genggaman atas
4
Pandangan Migdal tentang jawara “orang kuat lokal” difokuskan kepada structure of
society. Sementara itu, pandangan Sidel lebih menitikberatkan perhatian pada structure of the state
(Sidel dalam Harris, Stokke, dan Tornquist, 2004: 51-74).
5
Sidel mendefinisikan bossism sebagai calo kekuasaan yang memiliki monopoli atas kontrol
terhadap sumberdaya kekerasan dan ekonomi dalam suatu wilayah yang berada di bawah
yuridiksinya. Bos-bos inilah yang memanipulasi negara sehingga memiliki kekuatan dan mampu
melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, dan mengeksploitasi sumber
daya alam.
14
fungsi negara yang meluas tersebut dari negara otoriter dan sentralistik yang
berpusat di Jakarta kepada para pejabat yang dipilih di tingkat lokal. Banyak dari
pejabat yang dipilih itu adalah para boss lokal yang memiliki modal (ekonomi,
jaringan, dan sebagainya), yang dibangun pada masa Soeharto, untuk
mempengaruhi proses pemilihan melalui politik uang, kekerasan, dan lain-lain.
Menurut Sidel para boss lokal itu, baik sebagai pemain utama, mitra junior,
maupun penjaga bisa membawa efek positif terhadap perkembangan kapitalisme
(industrialisasi pembangunan) di wilayah sekitar mereka.
Pada konteks ini, Sidel berkesimpulan bahwa eksistensi dan
keberlangsungan “boss” merupakan refleksi kekuatan negara. Hal ini berlawanan
dengan tesis Migdal “strong societies and weak states”. Orang kuat lokal
melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara berkolaborasi dengan negara dan
partai politik pemerintah, melakukan stationary bandit dan rowing bandit
(kriminalitas). Migdal menyatakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan
ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, berdasar hal
tersebut maka terbentuklah “triangle of accomodation”. Ironisnya triangle ini
mengijinkan sumber daya negara untuk memperkuat local strongmen dan
organisasinya yang mengatur the game conflict. Lebih lanjut Migdal (2001: 256)
mengemukakan bahwa keberlangsungan local strongmen juga tergantung pada
kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka; mereka belajar mengakomodasi
pemimpin yang populis untuk menangkap organisasi negara pada level yang lebih
rendah. Sidel menyatakan, penggunaan coercive violence merupakan strategi yang
digunakan para bos untuk bertahan.
Dua pemikiran tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana
local strongmen atau jawara tumbuh dan mengkonsolidasikan kekuasaannya.
Pemikiran Migdal lebih tepat digunakan untuk menguraikan jawara pada masa
kesultanan hingga pra-Soeharto ketika negara lemah: kesultanan runtuh; kendali
kekuasaan kolonial terbatas; dan negara baru Indonesia hingga orde Soekarno
belum stabil. Sedangkan pemikiran Sidel lebih cocok untuk menggambarkan
jawara pada masa Soeharto tatkala negara dengan proyek pembangunannya
(industrialisasi) begitu kuat dan memerlukan partner di luar struktur resmi negara
demi mengimbangi oposisi Islam serta menjaga aneka kepentingan negara di
daerah.
Kelemahan pemikiran Migdal adalah tidak melihat bahwa local
strongmen seperti yang digambarkannya dapat mengalami dinamika seiring
dengan perubahan konteks politik, ekonomi, dan sosial, yang melingkupinya.
Dalam kasus Indonesia, konteks tersebut ialah otoriterianisme Soeharto,
industrialisasi, dan modernisasi. Konteks tersebut mengubah pola hubungan dan
sifat jawara dari patron yang melindungi basis massanya (masyarakat pesisir)
berdasarkan nilai-nilai ideal tertentu menjadi “preman” yang melayani klien
utamanya, yaitu negara dan modal, serta menjalin hubungan berlandaskan
kepentingan pragmatis-opportunis. Pada sisi lain, pemikiran Sidel, luput dalam
melihat sejarah panjang jawara yang jejak-jejaknya berurat-berakar dalam
kehidupan sehari-hari pada masyarakat Banten, khususnya pesisir Tangerang
hingga saat ini.
Baik Migdal maupun Sidel tidak secara spesifik menjelaskan pengaruh
local strongmen terhadap kelompok paling marginal di daerah dan sebaliknya.
Tetapi secara umum, Migdal menilai negatif keberadaan local strongmen tersebut,
15
sedangkan Sidel sebaliknya menilai positif. Keduanya tidak melihat karakter
pragmatis dari local strongmen, yang bisa berperan positif maupun negatif,
tergantung pada apakah yang dihadapinya menguntungkan dirinya atau tidak.
Kerangka Konseptual
Jawara di pedesaan pesisir Tangerang memiliki varian yang khas dalam
persinggungan budaya antara Banten dan Betawi. Persinggungan posisi
kewilayahan dan potensi SDA yang strategis menjadi penanda kontestasi
kekuasaan dan marginalisasi masyarakat pesisir Tangerang, pinggiran
metropolitan Jakarta. Penguasaan dan kepemilikan asset SDA menjadikan posisi
sosial jawara mengalami transformasi terutama seiring terbukanya ruang politik di
era desentralisasi. Jawara yang sebelumnya merupakan kelas yang dikuasai (the
rulled class) menjadi kelas penguasa (the rulling class), elit yang memerintah
(governing elite).
Praktik kepemimpinan dan politik kejawaraan ditandai oleh adanya ciri
politik kekerabatan/keluarga, trah kejawaraan dan kekuasaan keturunan jawara
menjadi realitas politik pembangunan masyarakat di pedesaan. Kondisi ini secara
serius membawa dampak bagi marginalisasi masyarakat pesisir di bidang
ekonomi, politik, dan pendidikan. Secara teoretis mengindikasikan bahwa wajah
pembangunan demokrasi politik kejawaraan bersifat oligarkhi-monarki.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kerangka konseptual tesis ini dapat
dilihat melalui gambaran di bawah ini.
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Tesis
2)
Fokus Penelitian
dan kajian sejenis
1)
Kepemimpinan “ Orang Kuat
Lokal” Jawara di Pedesaan
Bentukan
Masyarakat
4)
Konseptualisasi
3)
Bentukan
Negara
5)
non governing elite
– governing elite
Gaya kepemimpinan
Jawara Pedesaan
1. Otoritatif
2. eksploitatif –
otoritatif
3. Otoritatif –
konsultatif
1. Orla
2. Orba
3. Reformasi:
6)
Politik Kekerabatan
/Keluarga
1. Ascribed status
2. Legitimasi
kharisma –
tradisional
3. Neopatrimonialism
Refleksi Empiris
1. Kuat dan mengakarnya kelembagaan jawara;
2. Episentrum politik kekerabatan dan oligarkhimonarki kejawaraan di Banten mengakar dari
pedesaan;
3. Marginalisasi masyarakat pesisir Teluk Naga
Refleksi Teoretis
7)
Teathrical Leadership
Sumber: Kerangka konseptual diformulasikan dari (1) Hudaeri; Michrob dan Chudari; Sunatra; dan
Kartodirdjo, (2) Migdal, (3) Sidel, (4) Pareto, (5) Komarudin; Etzioni; Moenir, (6) Kurtz; Hay, (7) Formula
peneliti.
Download