37 MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI TANGERANG: Dialektika Budaya Banten-Betawi-China Pengantar Melacak akar istilah jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang secara historis bukan perkerjaan studi yang mudah. Tantangan terberatnya adalah peneliti harus mampu membongkar literasi “history” atau “geschiedenis” yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Instrumen sejarah perlu dibentangkan agar satu demi satu informasi yang diharapkan dapat ditampilkan. Signifikansinya tentu bahwa penulisan sosio-historis jawara pesisir dapat menjadi khasanah di tengah kekosongan studi tentang jawara pesisiran. Untuk itu, pembahasan pada bagian ini menjadi parameter penting untuk diketengahkan sebagai ruang pengetahuan dan diskusi keilmuan sosial. Pada bagian ini akan dibahas mengenai (1) konteks sosio-historis jawara pesisir; (2) silat pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi; (3) tradisi-tradisi jawara pesisiran; dan (4) kedudukan dan jaringan sosial jawara pesisir pra otonomi – desentralisasi. Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang adalah masyarakat yang multikultural. Setidaknya ada tiga kultur yang dominan yaitu pertautan antara kultur Banten, Betawi, dan China. Ketiga kultur tersebut memberi sumbangsih warna kejawaraan di pesisir Teluk Naga Tangerang hingga menyediakan cetak biru keturunan-keturunan jawara hari ini. Sketsa identitas sosial kejawaraan tersebut, bila ditelusuri kebelakang mulai terbentuk dan melembaga sejak awal abad ke-19. Pada masa ini di daerah Banten, Betawi, Tangerang dan sekitarnya terus-menerus dilanda perlawanan, kerusuhan sosial, dan pemberontakan rakyat terhadap penjajah Belanda. Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin perlawanan secara mutlak harus memiliki kekuatan fisik, pandai bela diri “maenpukulan” atau pencak silat, dan memiliki ilmu kesaktian, mereka itulah para jawara 25 (Suhartono, 1995: 4; Sunatra, 1997: 180-181; Shahab, 2002: 1). 25 Menurut Abdur Rozaki (2004: 9) terdapat berbagai istilah dalam penyebutan orang kuat lokal, di Banten dikenal dengan istilah jawara-Banten, di Madura ada “Blater“,di Jawa pada umumnya disebut “Bandit“ atau “Kecu“,di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “preman”, di Jakarta ada jagoan-Betawi, dan di Bali dikenal dengan istilah pecalang . Semua istilah ini merujuk kepada satu kata yaitu “jagoan” atau “champion”. Menurut Ong Hok Ham (2002: 102) pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang Raja seringkali dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun ia harus memiliki wahyu kedaton sebagai legitimasi. Tapi dalam praktik kekuasaan politik seorang penguasa diukur dari jumlah kekuatan yang dimiliki dan raja tidak lain adalah seorang jago. 38 Istilah jawara bagi masyarakat pesisir Teluk Naga Tangerang berangkat dari istilah potong letter26 lidah natif Betawi yaitu juware atau juara27 yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat. Nama-nama seperti Ki Puun dan Ayub bin Sa‟ari atau yang lebih populer dengan panggilan Ayub dari Teluk Naga adalah dua legenda Jawara Pesisiran, Tangerang. Keduanya mewakili prototipe jawara pejuang di garda terdepan bersama rakyat dalam melawan Belanda dan Tuan Tanah. Box 5.1 Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga Ayub dari Teluk Naga Jero adalah jagoan Pasar Ikan yang sedang ngamuk hingga membuat seisi kampung Teluk Naga dibuat kalang kabut. Jero dilaporkan kepada Meneer Marsose. namun sebelum kaki tangan Meneer datang, Jero yang ingin mengganggu Nyi Dimah berhasil dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ayub. Setelah Jero menyerah, datanglah anak buah Wan Abud, Betok dan Kaisan. Keduanya menangkap Jero dan menyerahkannya pada Tuan Fran De Break seorang Meneer Marsose. Betok dan Kaisan mengarang cerita bahwa dirinyalah yang mampu melumpuhkan Jero sehingga Wan Abud (Tuan Tanah Teluk Naga) dan Meneer Marsose merasa senang. Akhirnya Jero pun dimasukkan ke dalam sel. Sementara kalahnya Jero oleh membuat penasaran para jagoan di kampung tersebut. Ayub adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut Koh Asiong, dan di ajarkan ilmu silat Kun Tao hingga dewasa. Ketika Koh Asiong pulang ke negeri leluhurnya di tanah Tiongkok, Ayub diserahkan ke saudara angkatnya Koh Asiong yaitu Nyi Dimah dan dijadikan anak angkatnya. Ayub di ajarkan ilmu bela diri Seliwa, Beksi, dan juga belajar mengaji oleh suami Nyi Dimah. Suatu hari Ayub disuruh Nyi Dimah memetik kelapa di kebon, namun tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan seorang perempuan yang meminta tolong karena hendak di perkosa oleh Tatang dan kawan-kawan jagoan dari Pintu Air. Ayub mampu menyelamatkan perempuan tersebut dan mengantarkan ke pulang. Perempuan tersebut adalah Rogayah. Sementara itu di penjara Marsose, Jero akhirnya bebas. Dalam perjalanan pulang, Jero bertemu kembali dengan Ayub. Jero ingin membalas dendam, namun sayang akhirnya ia juga kalah lagi. Sumber: Sinopsis Film, 1979 Selain Ayub, nama jawara pembela rakyat yang juga cukup dikenal adalah Kaiin bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia 26 Varian dalam bahasa Betawi untuk mempercepat pengucapan atau penuturan suatu kata, dalam konteks ini kata jawara dituturkan menjadi juware atau juara. 27 Jika istilah jawara pesisir Teluk Naga Tangerang dipersamakan dengan istilah jagoan “jago” yang menurut Ridwan Saidi (2007: 43) merupakan kata pinjaman (loanword) dari bahasa Portugis “Jogo” berarti “champion” atau juara, maka istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-16 ketika Portugis berkuasa di Malaka dan Sunda Kelapa (Shahab, 2002:1). Versi lain, menurut Robert Bridson Cribb (1990: 30) sejak tahun 1620 belanda sangat rajin menghadiahkan tanah kepada abdi, sahabat, dan pendukungnya. Dari sinilah kemudian lahir feodalisme, tuan tanah yang berimbas kepada lahirnya para centeng/jawara atau jagoan yang menjadi abdi tuan tanah. Sementara itu, menurut Irwan Sjafe‟i (dalam Sahab, 2002: 1) pada abad ke-19 yang disebut jago betawi adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dada atau benteng penghalang orang yang datang dari luar dan mencoba mengganggu keamanan kampung. Para jawara tersebut, biasanya menggunakan senjata golok yaitu golok betok dan golok ujung turun. 39 belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat) dan kesaktian. Tanggal 10 Februari 1924 ia memimpin pemberontakan melawan Tuan Tanah28 Kampung Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi (Shahab, 2008). Box 5.2 Beberapa Mantra Jawara Mantra kekebalan (senjata tajam) Alloh ya Rosululloh terang hirup……. (sebutkan namanya) Diraksa Alloh moga djauhkeun balai-balaina jangan sampai terjadi di manamana Alloh ya Rosulullah segala segali sakti bumi ……… (sebutkan namanya) Minta saciduh metu seucap nyata asal rapet kudu rapet……. (sebutkan namanya) Tetep lempeng nyembah ke Alloh sareng taat ke rasululloh Mantra braja musti (pukulan berapi) Golok tapel braja musti Aku bernama sitengan besi guluntungan Sing digenggam remek remuk Remek remuk kulunapsin djaikotul maut Sumber: Wawancara dengan Kong Sabu, 24 maret 2012 Sementara itu, Qosim ”Macan Sepatan” dan Tatang ”Jawara Pintu Air”, menjadi protipe jawara yang menjadi pembela Tuan Tanah dan Belanda. Mereka bekerja sebagai pengumpul pajak (debt collector), mengawasi kerja rodi, dan menjadi kepanjangan tangan para Tuan Tanah (bandingkan dengan Onghokham, 1981). Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik, mereka juga dikenal tukang kawin, dan berperilaku destruktif. Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif kaum jawara, seperti dengan membangun slogan jawara pelindung masyarakat pedesaan, patuh kepada kaum ulama, dan membangun kelembagaan afiliasi jawara dan santri. Contohnya, membentuk ormas gabungan sejenis “Kaisar” (kiayi, santri, dan jawara) se-Pantura, Tangerang.29 Konteks keberadaan jawara atau juware dalam natif betawi seperti dijelaskan di atas, bila dikaji dari asal-usul sosialnya dengan mengacu pada sistem 28 Pada jaman partikelir, lahan persawahan mayoritas dimiliki Tuan Tanah Cina. Sampai awal abad 20, tanah partikelir Tangerang dan daerah sekitar Batavia dikuasai oleh 304 tuan tanah. Banyaknya jumlah Tuan Tanah itu, menurut Kartodirdjo (1984) menunjukkan bahwa daerah Tangerang adalah salah satu daerah pusat pemilikan partikelir di tanah Jawa. Praktek tidak manusiawi yang terjadi di tanah partikelir seperti cuke, contingenten (penyerahan hasil panen yang berlebihan), termasuk heerendiensten (kerja bakti), dan hoofdgeld belasting (pajak kepala) mengakibatkan makin buruknya kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem ini terus berlangsung hingga tahun 1942 (Ekadjati, 2004). 29 Kaisar merupakan Ormas gabungan “kiayi, santri, dan jawara” yang didirikan tahun 2006 oleh KH. Zaki Mubarok. Kaisar bertempat di Desa Muara, Teluk Naga Tangerang. Selain sebagai ormas kaisar juga mengajarkan silat sejenis Tjimande dan Seliwa. 40 ekologis pesisir Teluk Naga, Tangerang, maka tak bisa dilepaskan dengan ekosistem pesisir. Pesisir, dengan area lahan yang sangat sedikit, tandus, gersang, dan tidak produktif untuk sistem pertanian.30 Kondisi ini diperparah pula oleh adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam kondisi kemiskinan dan ketertinggalan. Selain itu, karakter kolonial dan kehidupan jaman partikelir juga turut andil dalam men-support sebagian kaum jawara untuk bekerja sebagai tukang pukul, centeng, perampok, dan pemeras rakyat. Sebagai pembenaran, kondisi ini ditengarai sebagai bagian dari strategi bertahan kaum jawara akibat kemiskinan dan penjajahan yang telah berlangsung lama dan berurat-berakar. Dalam kondisi ini, karakter religius masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kultur keislaman Banten – Betawi yang kuat, seolah “terbelah” oleh kondisi basis material ekologis ini. Sebab, dalam konteks sosioekologis, tidak semua orang atau masyarakat di pesisir “terserap” ke dalam wacana dan ritual keagamaan yang dibawa oleh kiai sebagai agen sosial di desa. Jawara, yang menurut Tihami (dalam Hudaeri, 2002; lihat juga Kartodirdjo, 1984). merupakan kelompok sosial yang dilahirkan dari pesantren juga tak luput dari dinamika sosial ini.31 Dalam dinamika ini, struktur ekologi pedesaan pesisir juga melahirkan proses sosiologis yang tidak selalu merujuk pada keberagamaan yang dikembangkan oleh para kiai. Sebab, dalam realitas berikutnya muncul proses sosial lain yang dibangun oleh basis sosial lainnya yakni kaum jawara – di sinilah awal “perpisahan” jawara dan kiayi. Bila di masa awal pembentukan identitas kejawaraan ini, dilatari oleh ekspresi spontanitas untuk mengatasi problem hidup akibat kondisi kemiskinan dan penjajahan, maka pada tahap perkembangan selanjutnya identitas kejawaraan mengalami fase ideologisasi. Dalam arti, dengan menjadi jawara atau juware/juara dapat memberi jalan guna mengatasi kesulitan hidup yang menghimpitnya. Dengan menjadi jawara dan bergabung dengan kelembagaannya (peguron) dapat membangun previlage diri sebagai „pendekar‟ atau jagoan yang disegani di 30 Gambaran tidak produktifnya lahan pertanian di pesisir Teluk Naga, Tangerang dapat dilihat dari asal-usul penamaan Tegalangus yang berarti“tegalan yang hangus”, “kering kerontang”. Tegalangus saat ini adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Naga. Dahulu desa Tanjung Pasir merupakan bagian dari desa tersebut, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi desa mandiri. 31 Tihami mengungkapkan: “Kyai sejak zaman sultan dulu punya murid yang belajar ngaji sama Kyai. Di antara muridnya itu ada yang punya angleh (bakat) pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, ada juga di antara murid Kyai yang punya bakat pada kecenderungan yang bernuansa kejuangan. Lalu pada akhirnya yang cenderung pada ilmu agama itu namanya Santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa hikmah (magi) adalah Jawara. Dua-duanya murid Kyai. Oleh karena itu, Santri disebut pembela agama, kalau Jawara bertindak dalam perjuangan kemerdekaan dan perjuangan lain. Jadi, Kyai mempunyai dua pasukan kekuatan, yaitu Santri dan Jawara. Jawara ini, meskipun kecenderungannya mempunyai kekuatan fisik, tetapi karena murid Kyai, maka diisi dengan yang disebut ilmu hikmah. Jadi Jawara itu bukan hanya memiliki kekuatan lahir, tapi juga kekuatan batin. Santri, mengandalkan ilmu agama, tetapi ia juga ikut berjuang bersama kiai. Karena itu, ia juga harus punya kemampuan mempertahankan fisik, meskipun porsinya kecil dibandingkan Jawara, tetapi kekuatan hikmahnya besar. Jawara kekuatan hikmahnya lebih kecil ketimbang santri. Kekompakan Santri dan Jawara di bawah pimpinan kyai inilah sebetulnya kunci kemenangan dalam memperjuangkan masyarakat Banten. Pada waktu dulu, kemudian pada kurun berikutnya, kalau saya baca di tulisan orang Belanda, ada semacam perpecahan.” (Mansur, 2000: 269-270). 41 desanya. Pun demikian, hal ini pada gilirannya dapat membangun kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai nelayan, buruh tambak, buruh tani dan sejenisnya yang tidak memberikan penghasilan yang mencukupi. Seperti dijelaskan sebelumnya, berbagai bentuk kesulitan dan keprihatinan hidup masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang saat jaman penjajahan, tidak saja karena kondisi sistem ekologis pesisiran yang kurang memberikan keuntungan ekonomis. Akan tetapi, juga diakibatkan oleh struktur kekuasaan penjajah Belanda dan Tuan Tanah yang tidak mempedulikan kondisi hidup masyarakatnya. Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang sejak masa lalu secara turun-temurun mengalami eksploitasi oleh „kekuasaan bersaudara‟, yakni penjajah Belanda yang menjalankan birokrasi kekuasaan dengan Tuan Tanah yang kerap kali memeras secara ekonomi, fisik, dan psikologis masyarakat. Proses feodalisasi yang berlangsung di Teluk Naga, Tangerang ini semakin memarginalisasikan penduduk desa, sebaliknya memberikan keuntungan pada pihak Belanda dan Tuan Tanah. Dalam kondisi demikian, tidak jarang muncul pemberontakan sepihak dari golongan rakyat, melalui kaum jawara yang memiliki jiwa kepahlawanan. Seiring berjalannya waktu pemberontakan, kekerasan, bahkan pembunuhan, pencurian, perampokan dan pembakaran terutama yang digerakkan oleh kaum jawara kepada Tuan-Tuan Tanah di Tangerang mulai marak. Pemerintah kolonial tentu sangat gelisah dengan kondisi tersebut, untuk mengatasinya Belanda memerintahkan para jawara yang bekerja kepada mereka dan tuan tanah. Menangkap jawara dengan jawara, itulah strategi yang paling sering digunakan pihak penjajah Belanda. Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial tidak cukup mampu menerapkan tertib hukum. Bahkan pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan para jawara pendukungnya sebagai alat pengintai (informan) yang membuat eksistensi “jawara” seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Saling tukar menukar jasa untuk penguatan masing-masing kekuasaan yang dimiliki secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan yang dimilikinya. Dengan demikan, eksisnya entitas sosial jawara inheren dengan lemahnya institusionalisasi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat. Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara yang saling mengakomodasi unsur-unsur kejawaraan yang destruktif membuat entitas kejawaraan memiliki elastisitas, kelenturan sehingga dapat hadir di berbagai posisi kultural dan struktural. Terkait konteks tersebut, asal usul sosial kejawaraan di Teluk Naga, Tangerang ini, sangat terkait dengan struktur ekologis dan gerak sosiologis masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Tumbuhnya entitas sosial jawara sebagai suatu kekuatan sosial masyarakat, terutama di kawasan pedesaan dengan demikian merupakan produk dari pergumulan sosiologis masyarakat tersebut. Pada perkembangan dewasa ini, pemaknaan citra jawara dalam konstruksi sosial masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut tak lepas dari dinamika politik dan konteks historis yang melingkupinya. Bila dipetakan setidaknya ada lima konstruksi sosial jawara saat ini, yaitu: (1) jawara struktural/bentukan, (2) status asli/kultur; (3) persepsi subyektif; (4) simbol; dan (5) psikologi mitos. 42 Tabel 5.1 Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan Ada, karena diciptakan untuk menjaga stabilitas wilayah Centeng, Keamanan atau security informal, bodigard lurah/kepala desa Kelas Bawah Pragmatis Mengikut kepada Boss/Tuan Negatif-Positif Negara dan corporate Tabel 5.2 Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan Ada, karena equel dari sistem sosial budaya masyarakat Juara kampung/jago, jaro atau kepala dusun Kelas Menengah Transformatif Memihak rakyat Positif Civil society Tabel 5.3 Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan Ada, karena hadirnya atribut subyektif yang disematkan kepada seorang jawara Orang yang ingin kesohor, berwatak sompral, gengsi sosial tinggi, pandai bergaul dengan komunitas jawara. Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara Tabel 5.4 Konstruksi jawara atribut/simbol Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan Ada, karena hadirnya atribut/simbol yang menunjukkan nilai kejawaraan Banyak istri, suka main judi dan sawer, bisa berantem/silat, memiliki magic Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara-Korporate Tabel 5.5 Konstruksi jawara psikologi mitos Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan Ada, karena hadirnya mitos kejawaraan yang diturunkan melalui kharisma kekuatan dari orangtua dan guru. Keturunan elite jawara, orang kuat lokal yang memiliki status, Kelas Menengah-Atas Pragmatis-Populis Memihak kepentingan, elitis Positif Negara-Korporate Sumber: Diolah dari Data Lapangan, 2010-2012. 43 Kelima konstruksi jawara di atas merupakan pergeseran pemaknaan jawara secara empirik dalam pandangan masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang. Seperti ditengarai diawal pergeseran tersebut, erat kaitannya dengan dinamika politik, struktur ekologis, dan gerak sosiologis masyarakat pesisir dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi Silat secara sosiologis adalah salah satu wujud identitas kejawaraan. Di samping itu, silat juga menjadi simbol dokrin perjuangan jawara – “bela diri, bela bangsa, dan bela negara”. Silat pesisiran Teluk Naga Tangerang memiliki karakter yang khas, karena mengalami akulturasi dengan budaya Betawi dan China. Budaya Banten tetap ada, walaupun tidak dominan. Setidaknya ada tiga aliran silat yang cukup membumi di pesisir Teluk Naga yaitu Tjimande, Seliwa, dan Beksi. Silat Tjimande berasal dari Kebon Djeruk Hilir, Bogor. Silat ini banyak dikembangkan di daerah Bogor dan Banten. Tjimande memiliki 5 aspek dalam maenpo (pencak silat Sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya (tradisi), bela diri, spiritual dan pengobatan. Menurut Wahyudin (Wakil Sekjen TTKKDH)32, Tjimande banyak dilatih di kampung-kampung. Tak terkecuali di pesisiran Teluk Naga Tangerang (Wawancara, 24 April 2011). Sementara itu, aliran seliwa mengandalkan ketangkasan bermain golok. 33 Sebab, pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian, pada tahap awal seorang pemula akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah menguasai jurus tangan kosong, sang murid baru diperbolehkan memegang golok dalam berlatih. Jurus Seliwa terdiri dari 6 pohon (pu’un), 6 jurus kembang, dan 1 jurus gabungan. Di dalam jurus-jurus tersebut terdapat cara memegang senjata pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat, menyerang, berpindah tangan, dan memulangkan kembali golok ke sarungnya tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata. Itulah silat golok seliwa. Lain halnya dengan beksi34, silat khas China ini, gerakan dan jurusnya murni kekuatan fisik dan kecepatan berpikir untuk melumpuhkan musuh. Menurut Bapak Enyon (65), guru silat beksi, Tanjung Burung: 32 Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir, merupakan salah satu organisasi massa terbesar di Banten, dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Ketua Umum TTKKDH saat ini adalah H. Maman Rizal. Sementara kantor Pusat TTKKDH berada di Serang, Banten. 33 Secara historis silat aliran seliwa telah dipergunakan sejak lama oleh orang betawi. Guru pertama seliwa adalah Satim dari Tigaraksa, Tangerang yang melarikan diri ke Jakarta dengan menggunakan rakit melintasi saluran sungai mookervart (sungai buatan yg dibangun tahun 1681, berupa sebuah kanal yg menghubungkan sungan cisadane dan kali angke). Lihat Irvan Setiawan, “Silat Betawi Tempo Dulu dan Sekarang” dalam Jurnal Penelitian Vol. 40 No. 1 April 2008. 34 Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya China dan Betawi pesisir. Silat Beksi diciptakan Lie Cheng Oek, warga keturunan China yang tinggal di Kampung Dadap, Teluk Naga Tangerang, Banten. 44 Istilah Beksi berasal dari bahasa China yaitu “bek” berarti pertahanan dan “si” berarti empat. Sehingga Beksi berarti empat pertahanan. Dalam Beksi ada ada 9 formasi, 12 jurus dan 6 jurus kembangan yang harus dikuasai setiap jawara pesilat (Wawancara, 20 April 2012). Lanjutnya, silat aliran Beksi ini adalah aliran silat yang paling berat dan tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 19.00 sampai 01.00 dini hari, setiap harinya. Aliran silat beksi memiliki 12 tingkatan, di mana tiap tingkatan memiliki kerumitan gerakan tersendiri. Karena aliran ini merupakan aliran silat yang cukup sulit, maka banyak murid dari Enyon (65) yang tidak sampai pada tingkat 12. Jika ada 20 murid, hanya 2 sampai 3 orang yang bisa sampai pada tingkat 12. Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau 5. Hal ini disebabkan mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental maupun fisik. Jurus-jurus dalam aliran silat beksi antara lain, janda berias (menyisir rambut), jandu renda (menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan laut teripang yang tak tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bandrong (gerakan yang menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes (gerakan dengan menggunakan kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang (pukulan yang paling keras). Selain menggunakan kekuatan fisik, silat juga membutuhkan kekuatan magic untuk lebih melindungi pesilatnya, sang jawara. Di samping ketiga aliran tersebut, di pesisir Teluk Naga juga terdapat sebagian kecil jawara silat Trodon. Masing-masing aliran silat ini mempunyai ciri gerak dan keampuhannya dalam memberikan dampak luka kepada lawannya. Sejarah mencatat, bagaimana para jawara masa lalu dan kini disegani lantaran kemampuan “maenpukulnya” dan kesaktian yang dimiliki. Artinya silat dan jawara bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Silat merupakan salah satu instrumen yang mengantarkan jawara sebagai entitas sosial yang mempunyai pengaruh kuat di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Epistemologi khas Jawara seperti gertak ancaman, main pukul, perang urat syaraf, dan selesai oleh upeti, tak akan berpengaruh, bagai “macan ompong”, tanpa kemampuan bermain silat dan kesaktian. Di sinilah silat menjadi since quanon vision bagi jawara, atribut kekuasaan, dan imagology yang, bahkan secara politis menjadi dimistifikasikan sebagai simbol kharisma, politik pencitraan, dan identitas ketokohan yang merujuk pada kedigdayaan dan kesaktian seorang jawara. Dialektika silat kemudian menjadi penanda perilaku politik jawara, hingga jawara desa. Dikemas secara menarik, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar kekuasaan yang sudah lazim. Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran Eksistensi kejawaraan merupakan produk pergumulan sosiologis masyarakat. Untuk melanggengkannya ia ditopang oleh tradisi-tradisi yang dikembangkan. Selain silat, tradisi kejawaraan pesisiran Teluk Naga, Tangerang 45 ialah hiburan cokek.35 Cokek merupakan hiburan khas masyarakat pesisiran perpaduan etnis China dan Betawi yang disukai para jawara sejak awal abad ke-19 hingga saat ini. Cokek berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek yang berarti penari wanita. Para penari cokek berdiri berjejer sambil menari mengikuti irama gambang kromong. Penari cokek mengajak tamu untuk menari bersama secara berpasangan dengan berhadap-hadapan. Bila tamu tersebut bersedia ikut menari, maka mulailah mereka ngibing. Ngibing inilah yang sangat disukai para jawara. para jawara biasanya ngibing sambil minum tuak (dan sejenisnya) dan nyawer. Gambar 5.1 Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong Sumber: Koleksi Pribadi Sepintas, bila diamati lebih mendalam tarian cokek memiliki persamaan dengan sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini dalam beberapa aspek mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat. Berikut ini beberapa grup musik gambang kromong – tari cokek yang masih eksis di Teluk Naga, Tangerang. Tabel 5.6 Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga No. 1. 2. 3. 4. Nama Grup Naga Sakti Sinar Rembulan Shinta Nara Cahaya Mustika Pemimpin/Pengurus Teng Suek (Alm) Mamat Koh Wie Tiang Picis dan Sabar Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. 35 Dalam beberapa keterangan cokek berasal dari Teluk Naga, Tangerang. Menurut versi ini, pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Tan Sio Kek mempunyai sebuah kelompok musik. Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Tehiyan, Su Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain musik. Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersama-sama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong. Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek (Ruchiyat, 2003). 46 Selain tarian cokek yang diiringi musik gambang kromong, tradisi hiburan jawara pesisir Teluk Naga dewasa ini, ialah hiburan “Orgen Tunggal dan “Dangdut”.36 Dalam penampilannya orgen tunggal maupun dangdut sering diikuti dengan acara joget dan saweran oleh kaum keturunan jawara, tokoh masyarakat, atau elit desa. Hal ini menjadi penanda bahwa hiburan cokek, dangdut, dan orgen tunggal erat kaitannya dengan pesta-pesta hiburan yang erotis. Dalam skala kecil hiburan “Layar Tancap” juga masih menjadi pilihan alternatif sebagian kecil masyarakat pesisiran Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara. Semua tradisi dan hiburan tersebut ditampilkan dalam acara-acara besar dan pesta hajatan/perkawinan yang sangat massif dilakukan oleh masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang. Menurut Lepai (salah satu ketua umum grup kondangan di Teluk Naga) kegiatan pesta hajatan/perkawinan di tiga desa penelitian massif dilakukan, terutama setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Sedikitnya ada 15-20 keluarga yang melakukan pesta hajatan/perkawinan setiap minggunya. Menurut Lepai, karena banyaknya jumlah keluarga yang menyelenggarakan pesta hajatan/perkawinan, maka untuk memudahkan menjangkau semuanya dibuatlah grup kondangan di setiap desa, sebagai bentuk ikatan solidaritas grup dan mobilisasi massa.37 Berikut ini disajikan grup-grup kondangan yang terdapat di Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara dan desa lainnya di Teluk Naga, Tangerang. Tabel 5.7 Grup Kondangan No. Nama Grup Pemimpin/Pengurus Paguyuban Aristanada Calon 1. Famili 2 Nisur Cs 2. Muara Bersatu Naji 3. Muara Awal Setia Sumarno Juta 4. Putra Pantai Nasan 5. Elang Laut Mdr. Masin Goak 6. Putra Cisadane Kusum 7. Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. Alamat Muara Muara Muara Muara Muara Tanjung Pasir Tanjung Burung Massifnya penyelenggaraan pesta hajatan tidak hanya semata wujud ikatan tradisi, namun juga adanya kepentingan kapital. Tradisi hajatan memiliki kepentingan uang. Untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga. Timbulnya hutang, hidup dalam pas-pasan menjadi konsekuensi logis dari penyelengaraan hajatan. Akhirnya terbangun image bahwa hajatan adalah sebuah fiesta-extravagansa berlebihan yang lebih mengarah kepada tradisi hura-hura dan pesta pora. Ironisnya, hal ini terjadinya di tengah realitas sosial-ekonomi masyarakat pesisir yang senantiasa miskin dan marginal – the poorest on the poor. 36 Tradisi jawara yang memiliki ekses negatif dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan Banten, selain saweran dalam hiburan cokek dan dangdut, juga masih didapati ramainya sabung ayam, ajang judi dadu dan main kartu. 37 Wawancara dengan Guru Lepai, di kediamannya pada tanggal 20 Maret 2012, pukul 13.0015.00. 47 Gambar 5.2 Potret Pesta Hajatan di Pedesaan Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012. Kondisi ini secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi kejawaraan pesisir. Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan kekuasaan, konsolidasi politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Arena hajatan mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan mengendalikan kondisi sosial masyarakat pesisir. Namun sebaliknya, menjadikan masyarakat semakin terpuruk, marginal, dan tak berdaya. Selain itu, massifnya hajatan di pesisir Teluk Naga, Tangerang menyebabkan tinggi angka putus sekolah, pernikahan dini, dan perceraian. Kondisi ini dapat dianoligikan seperti “sudah jatuh tertimpa tangga pula…..”, itulah frase yang tepat untuk mengungkapkan keterpurukan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Meminjam bahasa Onghokham (2002: 102), dialektik problem kesejahteraan masyarakat menisbatkan kekuasaan legitimit bagi jawara – dalam logika ini, sosok jawara tidak lain adalah seorang superjago dalam teater kehidupan masyarakat pesisir. Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi – Desentralisasi Kedudukan dan peran sosial jawara tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari adanya hubungan emosional yang melekat, yakni melalui jalur kekerabatan38, hubungan 38 Relasi kekerabatan secara historis mengukuhkan dan menjadikan jawara memiliki modal sosial yang besar. Dengan demikian modal-modal kekuasaan jawara dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya supaya tetap kompatibel dan adaptif dengan berbagai situasi dan kondisi zaman. Selain itu, kuatnya jalur hubungan kekeluargaan/kekerabatan secara politik menjadi penanda semakin menguatnya politik kekerabatan trah jawara. Menurut banyak kalangan hal ini dikatakan sebagai gejala “neopatrimonialisme” (Varma, 2007). Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," Anak atau keluarga para elit masuk 48 guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Ketiganya turut membentuk kekuatan jawara pesisir Teluk Naga. Selain itu, secara lokalitas kuatnya jaringan jawara pesisir Teluk Naga juga tak lepas dari faktor pertautan nilai budaya Banten, Betawi, dan Cina; kepercayaan (trust); dan eklektisisme39 yang muncul seiring perkembangan kejawaraan di pesisir Teluk Naga. Ketiga ciri khas itulah yang belakang membuat jawara pesisiran menjadi kekuatan baru sebagai elit formal dalam struktur sosial masyarakat Teluk Naga. Gambar 5.3 Faktor-Faktor yang Mempersatukan Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten Kekerabatan Seguru-Seelmu Organisasi Massa Nilai Budaya Trust Eklektisisme Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. Kedudukan dan kekuasaan jawara yang diperoleh saat ini, secara sosiologis melalui berbagai proses periodeisasi sebagai penanda eksistensi kejawaraan (lihat tabel 5.3. tentang kedudukan jawara). Tabel 5.8 Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang Aspek Status Sosial Peran Era Kolonial dan Orde Lama The rulled class Patron petani dan nelayan; pejuang rakyat bersama para santrikiayi; centeng-centeng perkebunan, dan pemimpin tradisional/informal (non governing elite) di masyarakat pedesaan Era Orde Baru The rulled class dan sebagian kecil menjadi ruling class (kepala desa) Security informal; mitra junior swasta/pengusaha; pedagang; dan instrumen stabilitas yang diciptakan oleh Negara Era Reformasi The rulling class Pemimpin lokal dan daerah (governing elite); pemodal dan mitra pemodal (swasta dan Negara); institusi yang disiapkan: partai politik, lembaga perwakilan, birokrasi, kelompok penekan, LSM, Ormas, asosiasi profesional, paguyuban kedaerahan maupun etnis dan sebagainya. 39 Sifat lentur jawara, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan pergumulan zaman. 49 Sumber power Legitimasi mitos, magic, penguasaan beladiri Legitimasi mitos, magic, penguasaan beladiri, dan uang Tipe Kepemimpinan (sumber legitimasi) Posisi terhadap Negara Pola Hubungan dengan Stakeholders Persepsi Masyarakat KharismatikTradisional KharismatikTradisional Independen Dependen Idealis (membela rakyat) Fungsional dan pragmatis Positif Negatif Legitimasi mitos, magic, uang, jaringan dan org. sosial Kombinasi antara kharisma-tradisional dan legal formal Mempengaruhi Negara Fungsionalpragmatis dan 40 monopolistik Awal positif, sesudah berkuasa 41 cenderung negatif Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. Periodeisasi fase orde lama, kedudukan sosial jawara tidaklah seberuntung dan sebaik saat reformasi. Hingga kekuasaan Soekarno berakhir, jawara lebih banyak memainkan “peran tradisional” dengan menjadi patron bagi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga. Ia bertindak sebagai pemimpin tradisional/informal – non governing elite – karena anggapan masyarakat tentang kesaktiannya dan kemampuan beladiri yang dikuasainya. Adapula jawara yang menjadi centeng (keamanan) di pasar, menjadi pedagang, dan syahbandar. Sebagai patron, jawara mengikat kliennya dengan nilai-nilai perlindungan, kesetiaan, stabilitas, dan nasionalisme. Pada saat itu, jawara relatif independen dari Negara. Ia tidak terlalu banyak bersentuhan dengan politik elit, jaringan sosialnyapun terbatas. Otoriterianisme Soeharto dan proyek-proyek pembangunannya (industrialisasi) mengubah peran, pola hubungan, dan sifat jawara. Jawara dikooptasi oleh rezim Orde Baru sebagai instrumen yang menjamin kepentingan Soeharto di daerah dan di pedesaan. Pada era ini, jawara hanya dijadikan warga Negara kelas bawah – the rulled class – yang memiliki peran sebagai security informal. Keberadaan tersebut diciptakan untuk menjaga stabilitas Jakarta dan wilayah satelit di sekitarnya. Pada saat Orde Baru konfigurasi politik lokal di pesisir Teluk Naga, Tangerang didominasi oleh kepentingan otoriterianisme Soeharto yang berkolaborasi dengan elit lokal dan elit ekonomi (pengusaha China/Tionghoa). Sepanjang sejarah politik Orde Baru masyarakat pesisir Teluk Naga selalu berada dalam posisi yang lemah dan termarjinalisasi secara politis. Sementara itu, 40 Relasi elit jawara dengan stakeholder di tiga daerah penelitian bersifat ambigu, di mana mereka ditakuti sekaligus dihormati. Hubungan yang ambigu ini ditandai dengan ambiguitas makna “Jawara” itu sendiri. Jawara bisa berarti jahat-wani (berani) - rampog (rampok) – rampog uang rakyat/korupsi, bisa juga berarti jago-wani-ramah. 41 Persepsi masyarakat tersebut didasarkan pada konteks bahwa elit jawara yang meminpin di pedesaan – propinsi inkonsisten dalam menjalankan roda pembangunan, irrasional dalam mengambil keputusan, cenderung mempertahankan trah kekuasaan (status qua) dan belum mengakomodasi pertisipasi rakyat. Meminjam bahasa politik telah terjadi gejala Incrementalism. Yaitu kondisi di mana keputusan ditetapkan tidak melalui proses rasional tetapi melalui penyesuaian - penyesuaian kecil dalam status quo kenyataan politik. 50 kaum jawara tetap berada dalam posisi the rulled class. Namun demikian, dalam skala yang sedikit, jawara tetap diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah dan mitra junior modal swasta yang berinvestasi di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Kooptasi rezim Orde Baru berhasil mengubah jawara dari patron yang melindungi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga, Tangerang menjadi pelayan Orde Baru dan modal swasta. Pola hubungan yang dibangun menjadi fungsional dan pragmatis. Pada masa reformasi terjadi dinamika elit lokal yaitu memperebutkan arena politik dan ekonomi lokal dalam rangka mempengaruhi kebijakan pembangunan. Arena politik dan ekonomi didominasi oleh jawara (governing elite) yang bertransformasi dari elit tradisional menjadi elit legal formal dalam struktur sosial masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang pada khususnya dan Banten pada umumnya. Kekuasaan jawara sebagai elit legal formal secara substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan penguasaan pesisir. Kondisi sosial ini secara sistemik setidaknya ditopang oleh kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur politik yang mendukung, penguasaan atas sumberdaya alama, dan posisi wilayah yang strategis sebagai penyangga Ibukota. Oleh karena itu, era reformasi menunjukkan perluasan arena politik jawara, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan – kepala desa – hingga kepala daerah. Peristiwa politik ini ditandai dengan terpilihnya 13 kepala desa di pesisir Teluk Naga, yang merupakan keturunan jawara (termasuk kepala desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara). Hal ini semakin menegaskan bahwa pola perkembangan dan jaringan jawara massif dan mapan dari tingkat desa hingga propinsi. Hari ini, Banten yang tersisa adalah tanah untuk para jawara. Mereka, elit jawara pesisir Teluk Naga berafiliasi dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa), elit militer, dan elit lokal lainnya dalam mengukuhkan kekuasaannya. Tabel 5.9 Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan Politik Formal Komponen Tokoh Elit Propinsi Hj. Ratu Atut (Gub Banten/ putri alm. H. Tb. Chasan Sochib) Propinsi, Kab/Kota masuk trah kekuasaan Tb. Cs. dan 13 kepala desa di Teluk Naga masuk dalam jaringan ini – Monarkhi Banten Kabupaten/Kota Jayabaya (bupati lebak) Heryani (Wakil Bupati Pandeglang) Ismet Iskandar (Bupati Tangerang/keturunan jawara) – Zaki putra Ismet menjadi bupati pengganti Ismet yang didukung oleh Ratu Atut Airin Rachmi D (Walikota Tangsel) Tb. Khaerul Zaman (Wk. Walikota Serang) Ratu Tatu Chasanah (Wk. Bupati Serang) Kecamatan Teluk Naga Seluruh kepala desa dari 13 kecamatan di Teluk Naga merupakan para Jawara 51 Sumber Kekuasaan Tipe Kepemimpinan Saluran Politik Legitimasi mitos, magic, org. silat, Uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal Golongan Karya Legitimasi mitos, magic, org. silat, Uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal PDI-P Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya Legitimasi mitos, magic, uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal PDI-P, Golkar, dan Demokrat Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012. Gambar 5.4 Peta Kepemimpinan Jawara dari Propinsi – Pedesaan Propinsi Kabupaten Kecamatan Desa Desa Desa PEMUDA Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. Ikhtisar Setiap pergantian struktur kekuasaan pada level elit selalu berekses pada perubahan-perubahan sosial, politik, bahkan perubahan budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal itu dapat dilihat dari realitas transformasi jawara di ranah pedesaan – banten. Jawara yang dalam natif dialek betawi dikenal dengan sebutan juware atau juara mengalami periodeisasi dan proses pergumulan sosialnya sejak orde lama hingga era reformasi. Jawara tengah bermetamorfosa dan memainkan peran yang signifikan dalam ruang demokratisasi banten. Realitas empirik ini merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah yang kemudian melahirkan corak baru perpaduan antara nilai demokrasi universal dan lokal a la banten – Bantenisasi demokrasi.