MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI

advertisement
37
MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI
TANGERANG: Dialektika Budaya Banten-Betawi-China
Pengantar
Melacak akar istilah jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang secara historis
bukan perkerjaan studi yang mudah. Tantangan terberatnya adalah peneliti harus
mampu membongkar literasi “history” atau “geschiedenis” yang membutuhkan
ketekunan dan ketelitian. Instrumen sejarah perlu dibentangkan agar satu demi
satu informasi yang diharapkan dapat ditampilkan. Signifikansinya tentu bahwa
penulisan sosio-historis jawara pesisir dapat menjadi khasanah di tengah
kekosongan studi tentang jawara pesisiran. Untuk itu, pembahasan pada bagian
ini menjadi parameter penting untuk diketengahkan sebagai ruang pengetahuan
dan diskusi keilmuan sosial. Pada bagian ini akan dibahas mengenai (1) konteks
sosio-historis jawara pesisir; (2) silat pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi; (3)
tradisi-tradisi jawara pesisiran; dan (4) kedudukan dan jaringan sosial jawara
pesisir pra otonomi – desentralisasi.
Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir
Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang adalah masyarakat yang
multikultural. Setidaknya ada tiga kultur yang dominan yaitu pertautan antara
kultur Banten, Betawi, dan China. Ketiga kultur tersebut memberi sumbangsih
warna kejawaraan di pesisir Teluk Naga Tangerang hingga menyediakan cetak
biru keturunan-keturunan jawara hari ini. Sketsa identitas sosial kejawaraan
tersebut, bila ditelusuri kebelakang mulai terbentuk dan melembaga sejak awal
abad ke-19. Pada masa ini di daerah Banten, Betawi, Tangerang dan sekitarnya
terus-menerus dilanda perlawanan, kerusuhan sosial, dan pemberontakan rakyat
terhadap penjajah Belanda. Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin perlawanan
secara mutlak harus memiliki kekuatan fisik, pandai bela diri “maenpukulan” atau
pencak silat, dan memiliki ilmu kesaktian, mereka itulah para jawara 25
(Suhartono, 1995: 4; Sunatra, 1997: 180-181; Shahab, 2002: 1).
25
Menurut Abdur Rozaki (2004: 9) terdapat berbagai istilah dalam penyebutan orang kuat
lokal, di Banten dikenal dengan istilah jawara-Banten, di Madura ada “Blater“,di Jawa pada
umumnya disebut “Bandit“ atau “Kecu“,di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “preman”, di
Jakarta ada jagoan-Betawi, dan di Bali dikenal dengan istilah pecalang . Semua istilah ini merujuk
kepada satu kata yaitu “jagoan” atau “champion”. Menurut Ong Hok Ham (2002: 102) pada masa
prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang Raja seringkali
dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun ia harus memiliki wahyu kedaton sebagai
legitimasi. Tapi dalam praktik kekuasaan politik seorang penguasa diukur dari jumlah kekuatan
yang dimiliki dan raja tidak lain adalah seorang jago.
38
Istilah jawara bagi masyarakat pesisir Teluk Naga Tangerang berangkat
dari istilah potong letter26 lidah natif Betawi yaitu juware atau juara27 yang tidak
terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat. Nama-nama
seperti Ki Puun dan Ayub bin Sa‟ari atau yang lebih populer dengan panggilan
Ayub dari Teluk Naga adalah dua legenda Jawara Pesisiran, Tangerang.
Keduanya mewakili prototipe jawara pejuang di garda terdepan bersama rakyat
dalam melawan Belanda dan Tuan Tanah.
Box 5.1 Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga
Ayub dari Teluk Naga
Jero adalah jagoan Pasar Ikan yang sedang ngamuk hingga membuat seisi
kampung Teluk Naga dibuat kalang kabut. Jero dilaporkan kepada Meneer Marsose.
namun sebelum kaki tangan Meneer datang, Jero yang ingin mengganggu Nyi Dimah
berhasil dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ayub. Setelah Jero menyerah, datanglah anak
buah Wan Abud, Betok dan Kaisan. Keduanya menangkap Jero dan menyerahkannya
pada Tuan Fran De Break seorang Meneer Marsose. Betok dan Kaisan mengarang cerita
bahwa dirinyalah yang mampu melumpuhkan Jero sehingga Wan Abud (Tuan Tanah
Teluk Naga) dan Meneer Marsose merasa senang. Akhirnya Jero pun dimasukkan ke
dalam sel.
Sementara kalahnya Jero oleh membuat penasaran para jagoan di kampung
tersebut. Ayub adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut Koh Asiong, dan di
ajarkan ilmu silat Kun Tao hingga dewasa. Ketika Koh Asiong pulang ke negeri
leluhurnya di tanah Tiongkok, Ayub diserahkan ke saudara angkatnya Koh Asiong yaitu
Nyi Dimah dan dijadikan anak angkatnya. Ayub di ajarkan ilmu bela diri Seliwa, Beksi,
dan juga belajar mengaji oleh suami Nyi Dimah.
Suatu hari Ayub disuruh Nyi Dimah memetik kelapa di kebon, namun tiba-tiba
dikejutkan oleh teriakan seorang perempuan yang meminta tolong karena hendak di
perkosa oleh Tatang dan kawan-kawan jagoan dari Pintu Air. Ayub mampu
menyelamatkan perempuan tersebut dan mengantarkan ke pulang. Perempuan tersebut
adalah Rogayah. Sementara itu di penjara Marsose, Jero akhirnya bebas. Dalam
perjalanan pulang, Jero bertemu kembali dengan Ayub. Jero ingin membalas dendam,
namun sayang akhirnya ia juga kalah lagi.
Sumber: Sinopsis Film, 1979
Selain Ayub, nama jawara pembela rakyat yang juga cukup dikenal adalah
Kaiin bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak
kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia
26
Varian dalam bahasa Betawi untuk mempercepat pengucapan atau penuturan suatu kata,
dalam konteks ini kata jawara dituturkan menjadi juware atau juara.
27
Jika istilah jawara pesisir Teluk Naga Tangerang dipersamakan dengan istilah jagoan
“jago” yang menurut Ridwan Saidi (2007: 43) merupakan kata pinjaman (loanword) dari bahasa
Portugis “Jogo” berarti “champion” atau juara, maka istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-16
ketika Portugis berkuasa di Malaka dan Sunda Kelapa (Shahab, 2002:1). Versi lain, menurut
Robert Bridson Cribb (1990: 30) sejak tahun 1620 belanda sangat rajin menghadiahkan tanah
kepada abdi, sahabat, dan pendukungnya. Dari sinilah kemudian lahir feodalisme, tuan tanah yang
berimbas kepada lahirnya para centeng/jawara atau jagoan yang menjadi abdi tuan tanah.
Sementara itu, menurut Irwan Sjafe‟i (dalam Sahab, 2002: 1) pada abad ke-19 yang disebut jago
betawi adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dada atau benteng penghalang
orang yang datang dari luar dan mencoba mengganggu keamanan kampung. Para jawara tersebut,
biasanya menggunakan senjata golok yaitu golok betok dan golok ujung turun.
39
belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat) dan kesaktian. Tanggal 10
Februari 1924 ia memimpin pemberontakan melawan Tuan Tanah28 Kampung
Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi (Shahab, 2008).
Box 5.2 Beberapa Mantra Jawara
Mantra kekebalan (senjata tajam)
Alloh ya Rosululloh terang hirup……. (sebutkan namanya)
Diraksa Alloh moga djauhkeun balai-balaina jangan sampai terjadi di manamana
Alloh ya Rosulullah segala segali sakti bumi ……… (sebutkan namanya)
Minta saciduh metu seucap nyata asal rapet kudu rapet……. (sebutkan namanya)
Tetep lempeng nyembah ke Alloh sareng taat ke rasululloh
Mantra braja musti (pukulan berapi)
Golok tapel braja musti
Aku bernama sitengan besi guluntungan
Sing digenggam remek remuk
Remek remuk kulunapsin djaikotul maut
Sumber: Wawancara dengan Kong Sabu, 24 maret 2012
Sementara itu, Qosim ”Macan Sepatan” dan Tatang ”Jawara Pintu Air”,
menjadi protipe jawara yang menjadi pembela Tuan Tanah dan Belanda. Mereka
bekerja sebagai pengumpul pajak (debt collector), mengawasi kerja rodi, dan
menjadi kepanjangan tangan para Tuan Tanah (bandingkan dengan Onghokham,
1981). Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya
masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Umumnya, masyarakat memandang
bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri
dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan
kekerasan fisik, mereka juga dikenal tukang kawin, dan berperilaku destruktif.
Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk
mengembalikan citra positif kaum jawara, seperti dengan membangun slogan
jawara pelindung masyarakat pedesaan, patuh kepada kaum ulama, dan
membangun kelembagaan afiliasi jawara dan santri. Contohnya, membentuk
ormas gabungan sejenis “Kaisar” (kiayi, santri, dan jawara) se-Pantura,
Tangerang.29
Konteks keberadaan jawara atau juware dalam natif betawi seperti
dijelaskan di atas, bila dikaji dari asal-usul sosialnya dengan mengacu pada sistem
28
Pada jaman partikelir, lahan persawahan mayoritas dimiliki Tuan Tanah Cina. Sampai awal
abad 20, tanah partikelir Tangerang dan daerah sekitar Batavia dikuasai oleh 304 tuan tanah.
Banyaknya jumlah Tuan Tanah itu, menurut Kartodirdjo (1984) menunjukkan bahwa daerah
Tangerang adalah salah satu daerah pusat pemilikan partikelir di tanah Jawa. Praktek tidak
manusiawi yang terjadi di tanah partikelir seperti cuke, contingenten (penyerahan hasil panen yang
berlebihan), termasuk heerendiensten (kerja bakti), dan hoofdgeld belasting (pajak kepala)
mengakibatkan makin buruknya kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem ini terus
berlangsung hingga tahun 1942 (Ekadjati, 2004).
29
Kaisar merupakan Ormas gabungan “kiayi, santri, dan jawara” yang didirikan tahun 2006
oleh KH. Zaki Mubarok. Kaisar bertempat di Desa Muara, Teluk Naga Tangerang. Selain sebagai
ormas kaisar juga mengajarkan silat sejenis Tjimande dan Seliwa.
40
ekologis pesisir Teluk Naga, Tangerang, maka tak bisa dilepaskan dengan
ekosistem pesisir. Pesisir, dengan area lahan yang sangat sedikit, tandus, gersang,
dan tidak produktif untuk sistem pertanian.30 Kondisi ini diperparah pula oleh
adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat masyarakat pesisir Teluk Naga,
Tangerang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam kondisi
kemiskinan dan ketertinggalan.
Selain itu, karakter kolonial dan kehidupan jaman partikelir juga turut
andil dalam men-support sebagian kaum jawara untuk bekerja sebagai tukang
pukul, centeng, perampok, dan pemeras rakyat. Sebagai pembenaran, kondisi ini
ditengarai sebagai bagian dari strategi bertahan kaum jawara akibat kemiskinan
dan penjajahan yang telah berlangsung lama dan berurat-berakar. Dalam kondisi
ini, karakter religius masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari kultur keislaman Banten – Betawi yang kuat, seolah
“terbelah” oleh kondisi basis material ekologis ini. Sebab, dalam konteks sosioekologis, tidak semua orang atau masyarakat di pesisir “terserap” ke dalam
wacana dan ritual keagamaan yang dibawa oleh kiai sebagai agen sosial di desa.
Jawara, yang menurut Tihami (dalam Hudaeri, 2002; lihat juga
Kartodirdjo, 1984). merupakan kelompok sosial yang dilahirkan dari pesantren
juga tak luput dari dinamika sosial ini.31 Dalam dinamika ini, struktur ekologi
pedesaan pesisir juga melahirkan proses sosiologis yang tidak selalu merujuk pada
keberagamaan yang dikembangkan oleh para kiai. Sebab, dalam realitas
berikutnya muncul proses sosial lain yang dibangun oleh basis sosial lainnya
yakni kaum jawara – di sinilah awal “perpisahan” jawara dan kiayi.
Bila di masa awal pembentukan identitas kejawaraan ini, dilatari oleh
ekspresi spontanitas untuk mengatasi problem hidup akibat kondisi kemiskinan
dan penjajahan, maka pada tahap perkembangan selanjutnya identitas kejawaraan
mengalami fase ideologisasi. Dalam arti, dengan menjadi jawara atau juware/juara
dapat memberi jalan guna mengatasi kesulitan hidup yang menghimpitnya.
Dengan menjadi jawara dan bergabung dengan kelembagaannya (peguron) dapat
membangun previlage diri sebagai „pendekar‟ atau jagoan yang disegani di
30
Gambaran tidak produktifnya lahan pertanian di pesisir Teluk Naga, Tangerang dapat
dilihat dari asal-usul penamaan Tegalangus yang berarti“tegalan yang hangus”, “kering
kerontang”. Tegalangus saat ini adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Naga. Dahulu desa
Tanjung Pasir merupakan bagian dari desa tersebut, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi desa
mandiri.
31
Tihami mengungkapkan: “Kyai sejak zaman sultan dulu punya murid yang belajar ngaji
sama Kyai. Di antara muridnya itu ada yang punya angleh (bakat) pada ilmu pengetahuan agama.
Tapi, ada juga di antara murid Kyai yang punya bakat pada kecenderungan yang bernuansa
kejuangan. Lalu pada akhirnya yang cenderung pada ilmu agama itu namanya Santri, sedangkan
yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa hikmah (magi) adalah Jawara. Dua-duanya
murid Kyai. Oleh karena itu, Santri disebut pembela agama, kalau Jawara bertindak dalam
perjuangan kemerdekaan dan perjuangan lain. Jadi, Kyai mempunyai dua pasukan kekuatan, yaitu
Santri dan Jawara. Jawara ini, meskipun kecenderungannya mempunyai kekuatan fisik, tetapi
karena murid Kyai, maka diisi dengan yang disebut ilmu hikmah. Jadi Jawara itu bukan hanya
memiliki kekuatan lahir, tapi juga kekuatan batin. Santri, mengandalkan ilmu agama, tetapi ia juga
ikut berjuang bersama kiai. Karena itu, ia juga harus punya kemampuan mempertahankan fisik,
meskipun porsinya kecil dibandingkan Jawara, tetapi kekuatan hikmahnya besar. Jawara kekuatan
hikmahnya lebih kecil ketimbang santri. Kekompakan Santri dan Jawara di bawah pimpinan kyai
inilah sebetulnya kunci kemenangan dalam memperjuangkan masyarakat Banten. Pada waktu
dulu, kemudian pada kurun berikutnya, kalau saya baca di tulisan orang Belanda, ada semacam
perpecahan.” (Mansur, 2000: 269-270).
41
desanya. Pun demikian, hal ini pada gilirannya dapat membangun kualitas hidup
yang lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai nelayan, buruh tambak,
buruh tani dan sejenisnya yang tidak memberikan penghasilan yang mencukupi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, berbagai bentuk kesulitan dan keprihatinan
hidup masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang saat jaman penjajahan, tidak saja
karena kondisi sistem ekologis pesisiran yang kurang memberikan keuntungan
ekonomis. Akan tetapi, juga diakibatkan oleh struktur kekuasaan penjajah
Belanda dan Tuan Tanah yang tidak mempedulikan kondisi hidup masyarakatnya.
Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang sejak masa lalu secara turun-temurun
mengalami eksploitasi oleh „kekuasaan bersaudara‟, yakni penjajah Belanda yang
menjalankan birokrasi kekuasaan dengan Tuan Tanah yang kerap kali memeras
secara ekonomi, fisik, dan psikologis masyarakat.
Proses feodalisasi yang berlangsung di Teluk Naga, Tangerang ini
semakin memarginalisasikan penduduk desa, sebaliknya memberikan keuntungan
pada pihak Belanda dan Tuan Tanah. Dalam kondisi demikian, tidak jarang
muncul pemberontakan sepihak dari golongan rakyat, melalui kaum jawara yang
memiliki jiwa kepahlawanan. Seiring berjalannya waktu pemberontakan,
kekerasan, bahkan pembunuhan, pencurian, perampokan dan pembakaran
terutama yang digerakkan oleh kaum jawara kepada Tuan-Tuan Tanah di
Tangerang mulai marak. Pemerintah kolonial tentu sangat gelisah dengan kondisi
tersebut, untuk mengatasinya Belanda memerintahkan para jawara yang bekerja
kepada mereka dan tuan tanah. Menangkap jawara dengan jawara, itulah strategi
yang paling sering digunakan pihak penjajah Belanda.
Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial tidak cukup mampu
menerapkan tertib hukum. Bahkan pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan
para jawara pendukungnya sebagai alat pengintai (informan) yang membuat
eksistensi “jawara” seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Saling
tukar menukar jasa untuk penguatan masing-masing kekuasaan yang dimiliki
secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan yang
dimilikinya. Dengan demikan, eksisnya entitas sosial jawara inheren dengan
lemahnya institusionalisasi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat.
Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara
yang saling mengakomodasi unsur-unsur kejawaraan yang destruktif membuat
entitas kejawaraan memiliki elastisitas, kelenturan sehingga dapat hadir di
berbagai posisi kultural dan struktural.
Terkait konteks tersebut, asal usul sosial kejawaraan di Teluk Naga,
Tangerang ini, sangat terkait dengan struktur ekologis dan gerak sosiologis
masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Tumbuhnya entitas
sosial jawara sebagai suatu kekuatan sosial masyarakat, terutama di kawasan
pedesaan dengan demikian merupakan produk dari pergumulan sosiologis
masyarakat tersebut.
Pada perkembangan dewasa ini, pemaknaan citra jawara dalam konstruksi
sosial masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang mengalami pergeseran.
Pergeseran tersebut tak lepas dari dinamika politik dan konteks historis yang
melingkupinya. Bila dipetakan setidaknya ada lima konstruksi sosial jawara saat
ini, yaitu: (1) jawara struktural/bentukan, (2) status asli/kultur; (3) persepsi
subyektif; (4) simbol; dan (5) psikologi mitos.
42
Tabel 5.1 Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan
Konsep
Posisi sosial
Kedudukan
Ideologi
Keberpihakan
Citra diri
Institusi yang melembagakan
Ada, karena diciptakan untuk menjaga stabilitas
wilayah
Centeng, Keamanan atau security informal, bodigard
lurah/kepala desa
Kelas Bawah
Pragmatis
Mengikut kepada Boss/Tuan
Negatif-Positif
Negara dan corporate
Tabel 5.2 Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli
Konsep
Posisi sosial
Kedudukan
Ideologi
Keberpihakan
Citra diri
Institusi yang melembagakan
Ada, karena equel dari sistem sosial budaya masyarakat
Juara kampung/jago, jaro atau kepala dusun
Kelas Menengah
Transformatif
Memihak rakyat
Positif
Civil society
Tabel 5.3 Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif
Konsep
Posisi sosial
Kedudukan
Ideologi
Keberpihakan
Citra diri
Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut subyektif yang disematkan
kepada seorang jawara
Orang yang ingin kesohor, berwatak sompral, gengsi
sosial tinggi, pandai bergaul dengan komunitas jawara.
Kelas Bawah-Menengah
Pragmatis
Memihak kepentingan
Negatif
Negara
Tabel 5.4 Konstruksi jawara atribut/simbol
Konsep
Posisi sosial
Kedudukan
Ideologi
Keberpihakan
Citra diri
Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut/simbol yang menunjukkan
nilai kejawaraan
Banyak istri, suka main judi dan sawer, bisa
berantem/silat, memiliki magic
Kelas Bawah-Menengah
Pragmatis
Memihak kepentingan
Negatif
Negara-Korporate
Tabel 5.5 Konstruksi jawara psikologi mitos
Konsep
Posisi sosial
Kedudukan
Ideologi
Keberpihakan
Citra diri
Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya mitos kejawaraan yang diturunkan
melalui kharisma kekuatan dari orangtua dan guru.
Keturunan elite jawara, orang kuat lokal yang memiliki
status,
Kelas Menengah-Atas
Pragmatis-Populis
Memihak kepentingan, elitis
Positif
Negara-Korporate
Sumber: Diolah dari Data Lapangan, 2010-2012.
43
Kelima konstruksi jawara di atas merupakan pergeseran pemaknaan
jawara secara empirik dalam pandangan masyarakat pesisiran Teluk Naga
Tangerang. Seperti ditengarai diawal pergeseran tersebut, erat kaitannya dengan
dinamika politik, struktur ekologis, dan gerak sosiologis masyarakat pesisir dalam
merespon kondisi sosial yang dihadapinya.
Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi
Silat secara sosiologis adalah salah satu wujud identitas kejawaraan. Di
samping itu, silat juga menjadi simbol dokrin perjuangan jawara – “bela diri, bela
bangsa, dan bela negara”. Silat pesisiran Teluk Naga Tangerang memiliki karakter
yang khas, karena mengalami akulturasi dengan budaya Betawi dan China.
Budaya Banten tetap ada, walaupun tidak dominan. Setidaknya ada tiga aliran
silat yang cukup membumi di pesisir Teluk Naga yaitu Tjimande, Seliwa, dan
Beksi. Silat Tjimande berasal dari Kebon Djeruk Hilir, Bogor. Silat ini banyak
dikembangkan di daerah Bogor dan Banten. Tjimande memiliki 5 aspek dalam
maenpo (pencak silat Sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya (tradisi), bela diri,
spiritual dan pengobatan. Menurut Wahyudin (Wakil Sekjen TTKKDH)32,
Tjimande banyak dilatih di kampung-kampung. Tak terkecuali di pesisiran Teluk
Naga Tangerang (Wawancara, 24 April 2011).
Sementara itu, aliran seliwa mengandalkan ketangkasan bermain golok. 33
Sebab, pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian,
pada tahap awal seorang pemula akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan
kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah
menguasai jurus tangan kosong, sang murid baru diperbolehkan memegang golok
dalam berlatih. Jurus Seliwa terdiri dari 6 pohon (pu’un), 6 jurus kembang, dan 1
jurus gabungan. Di dalam jurus-jurus tersebut terdapat cara memegang senjata
pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat,
menyerang, berpindah tangan, dan memulangkan kembali golok ke sarungnya
tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata. Itulah silat golok seliwa.
Lain halnya dengan beksi34, silat khas China ini, gerakan dan jurusnya
murni kekuatan fisik dan kecepatan berpikir untuk melumpuhkan musuh. Menurut
Bapak Enyon (65), guru silat beksi, Tanjung Burung:
32
Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir, merupakan salah satu organisasi massa terbesar di
Banten, dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Ketua Umum TTKKDH saat ini adalah
H. Maman Rizal. Sementara kantor Pusat TTKKDH berada di Serang, Banten.
33
Secara historis silat aliran seliwa telah dipergunakan sejak lama oleh orang betawi. Guru
pertama seliwa adalah Satim dari Tigaraksa, Tangerang yang melarikan diri ke Jakarta dengan
menggunakan rakit melintasi saluran sungai mookervart (sungai buatan yg dibangun tahun 1681,
berupa sebuah kanal yg menghubungkan sungan cisadane dan kali angke). Lihat Irvan Setiawan,
“Silat Betawi Tempo Dulu dan Sekarang” dalam Jurnal Penelitian Vol. 40 No. 1 April 2008.
34
Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya China dan Betawi pesisir. Silat Beksi
diciptakan Lie Cheng Oek, warga keturunan China yang tinggal di Kampung Dadap, Teluk Naga
Tangerang, Banten.
44
Istilah Beksi berasal dari bahasa China yaitu “bek” berarti pertahanan dan “si” berarti
empat. Sehingga Beksi berarti empat pertahanan. Dalam Beksi ada ada 9 formasi, 12
jurus dan 6 jurus kembangan yang harus dikuasai setiap jawara pesilat (Wawancara, 20
April 2012).
Lanjutnya, silat aliran Beksi ini adalah aliran silat yang paling berat dan
tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 19.00 sampai 01.00
dini hari, setiap harinya. Aliran silat beksi memiliki 12 tingkatan, di mana tiap
tingkatan memiliki kerumitan gerakan tersendiri. Karena aliran ini merupakan
aliran silat yang cukup sulit, maka banyak murid dari Enyon (65) yang tidak
sampai pada tingkat 12. Jika ada 20 murid, hanya 2 sampai 3 orang yang bisa
sampai pada tingkat 12. Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau
5. Hal ini disebabkan mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental
maupun fisik.
Jurus-jurus dalam aliran silat beksi antara lain, janda berias (menyisir
rambut), jandu renda (menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan
laut teripang yang tak tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bandrong
(gerakan yang menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes
(gerakan dengan menggunakan kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang
(pukulan yang paling keras). Selain menggunakan kekuatan fisik, silat juga
membutuhkan kekuatan magic untuk lebih melindungi pesilatnya, sang jawara.
Di samping ketiga aliran tersebut, di pesisir Teluk Naga juga terdapat
sebagian kecil jawara silat Trodon. Masing-masing aliran silat ini mempunyai ciri
gerak dan keampuhannya dalam memberikan dampak luka kepada lawannya.
Sejarah mencatat, bagaimana para jawara masa lalu dan kini disegani lantaran
kemampuan “maenpukulnya” dan kesaktian yang dimiliki. Artinya silat dan
jawara bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Silat merupakan salah
satu instrumen yang mengantarkan jawara sebagai entitas sosial yang mempunyai
pengaruh kuat di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Epistemologi khas Jawara
seperti gertak ancaman, main pukul, perang urat syaraf, dan selesai oleh upeti, tak
akan berpengaruh, bagai “macan ompong”, tanpa kemampuan bermain silat dan
kesaktian. Di sinilah silat menjadi since quanon vision bagi jawara, atribut
kekuasaan, dan imagology yang, bahkan secara politis menjadi dimistifikasikan
sebagai simbol kharisma, politik pencitraan, dan identitas ketokohan yang
merujuk pada kedigdayaan dan kesaktian seorang jawara. Dialektika silat
kemudian menjadi penanda perilaku politik jawara, hingga jawara desa. Dikemas
secara menarik, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar
kekuasaan yang sudah lazim.
Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran
Eksistensi kejawaraan merupakan produk pergumulan sosiologis
masyarakat. Untuk melanggengkannya ia ditopang oleh tradisi-tradisi yang
dikembangkan. Selain silat, tradisi kejawaraan pesisiran Teluk Naga, Tangerang
45
ialah hiburan cokek.35 Cokek merupakan hiburan khas masyarakat pesisiran
perpaduan etnis China dan Betawi yang disukai para jawara sejak awal abad ke-19
hingga saat ini. Cokek berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek yang berarti penari
wanita. Para penari cokek berdiri berjejer sambil menari mengikuti irama
gambang kromong. Penari cokek mengajak tamu untuk menari bersama secara
berpasangan dengan berhadap-hadapan. Bila tamu tersebut bersedia ikut menari,
maka mulailah mereka ngibing. Ngibing inilah yang sangat disukai para jawara.
para jawara biasanya ngibing sambil minum tuak (dan sejenisnya) dan nyawer.
Gambar 5.1
Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong
Sumber: Koleksi Pribadi
Sepintas, bila diamati lebih mendalam tarian cokek memiliki persamaan
dengan sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini
dalam beberapa aspek mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang
kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat. Berikut ini beberapa grup musik
gambang kromong – tari cokek yang masih eksis di Teluk Naga, Tangerang.
Tabel 5.6 Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga
No.
1.
2.
3.
4.
Nama Grup
Naga Sakti
Sinar Rembulan
Shinta Nara
Cahaya Mustika
Pemimpin/Pengurus
Teng Suek (Alm)
Mamat
Koh Wie Tiang
Picis dan Sabar
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
35
Dalam beberapa keterangan cokek berasal dari Teluk Naga, Tangerang. Menurut versi ini,
pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Tan Sio Kek
mempunyai sebuah kelompok musik. Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu rambut
yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat
musik yaitu, Tehiyan, Su Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain
musik. Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga
alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersama-sama alat musik kampung yang
dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik
yang dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong. Sedangkan para
gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai cokek, yang
diartikan anak buah Tan Sio Kek (Ruchiyat, 2003).
46
Selain tarian cokek yang diiringi musik gambang kromong, tradisi hiburan
jawara pesisir Teluk Naga dewasa ini, ialah hiburan “Orgen Tunggal dan
“Dangdut”.36 Dalam penampilannya orgen tunggal maupun dangdut sering diikuti
dengan acara joget dan saweran oleh kaum keturunan jawara, tokoh masyarakat,
atau elit desa. Hal ini menjadi penanda bahwa hiburan cokek, dangdut, dan orgen
tunggal erat kaitannya dengan pesta-pesta hiburan yang erotis.
Dalam skala kecil hiburan “Layar Tancap” juga masih menjadi pilihan
alternatif sebagian kecil masyarakat pesisiran Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan
Muara. Semua tradisi dan hiburan tersebut ditampilkan dalam acara-acara besar
dan pesta hajatan/perkawinan yang sangat massif dilakukan oleh masyarakat
pesisiran Teluk Naga Tangerang. Menurut Lepai (salah satu ketua umum grup
kondangan di Teluk Naga) kegiatan pesta hajatan/perkawinan di tiga desa
penelitian massif dilakukan, terutama setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu.
Sedikitnya ada 15-20 keluarga yang melakukan pesta hajatan/perkawinan setiap
minggunya. Menurut Lepai, karena banyaknya jumlah keluarga yang
menyelenggarakan pesta hajatan/perkawinan, maka untuk memudahkan
menjangkau semuanya dibuatlah grup kondangan di setiap desa, sebagai bentuk
ikatan solidaritas grup dan mobilisasi massa.37 Berikut ini disajikan grup-grup
kondangan yang terdapat di Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara dan desa
lainnya di Teluk Naga, Tangerang.
Tabel 5.7 Grup Kondangan
No.
Nama Grup
Pemimpin/Pengurus
Paguyuban Aristanada
Calon
1.
Famili 2
Nisur Cs
2.
Muara Bersatu
Naji
3.
Muara Awal Setia
Sumarno Juta
4.
Putra Pantai
Nasan
5.
Elang Laut
Mdr. Masin Goak
6.
Putra Cisadane
Kusum
7.
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Alamat
Muara
Muara
Muara
Muara
Muara
Tanjung Pasir
Tanjung Burung
Massifnya penyelenggaraan pesta hajatan tidak hanya semata wujud ikatan
tradisi, namun juga adanya kepentingan kapital. Tradisi hajatan memiliki
kepentingan uang. Untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela
meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga.
Timbulnya hutang, hidup dalam pas-pasan menjadi konsekuensi logis dari
penyelengaraan hajatan. Akhirnya terbangun image bahwa hajatan adalah sebuah
fiesta-extravagansa berlebihan yang lebih mengarah kepada tradisi hura-hura dan
pesta pora. Ironisnya, hal ini terjadinya di tengah realitas sosial-ekonomi
masyarakat pesisir yang senantiasa miskin dan marginal – the poorest on the poor.
36
Tradisi jawara yang memiliki ekses negatif dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan
Banten, selain saweran dalam hiburan cokek dan dangdut, juga masih didapati ramainya sabung
ayam, ajang judi dadu dan main kartu.
37
Wawancara dengan Guru Lepai, di kediamannya pada tanggal 20 Maret 2012, pukul 13.0015.00.
47
Gambar 5.2 Potret Pesta Hajatan di Pedesaan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012.
Kondisi ini secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi
kejawaraan pesisir. Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan
kekuasaan, konsolidasi politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Arena
hajatan mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan
mengendalikan kondisi sosial masyarakat pesisir. Namun sebaliknya, menjadikan
masyarakat semakin terpuruk, marginal, dan tak berdaya. Selain itu, massifnya
hajatan di pesisir Teluk Naga, Tangerang menyebabkan tinggi angka putus
sekolah, pernikahan dini, dan perceraian. Kondisi ini dapat dianoligikan seperti
“sudah jatuh tertimpa tangga pula…..”, itulah frase yang tepat untuk
mengungkapkan keterpurukan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang.
Meminjam bahasa Onghokham (2002: 102), dialektik problem kesejahteraan
masyarakat menisbatkan kekuasaan legitimit bagi jawara – dalam logika ini,
sosok jawara tidak lain adalah seorang superjago dalam teater kehidupan
masyarakat pesisir.
Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi – Desentralisasi
Kedudukan dan peran sosial jawara tidak bisa dilepaskan dari adanya
jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari adanya
hubungan emosional yang melekat, yakni melalui jalur kekerabatan38, hubungan
38
Relasi kekerabatan secara historis mengukuhkan dan menjadikan jawara memiliki modal
sosial yang besar. Dengan demikian modal-modal kekuasaan jawara dapat dikonversikan satu
dengan yang lainnya supaya tetap kompatibel dan adaptif dengan berbagai situasi dan kondisi
zaman. Selain itu, kuatnya jalur hubungan kekeluargaan/kekerabatan secara politik menjadi
penanda semakin menguatnya politik kekerabatan trah jawara. Menurut banyak kalangan hal ini
dikatakan sebagai gejala “neopatrimonialisme” (Varma, 2007). Benihnya sudah lama berakar
secara tradisional. yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik
berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut
neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan
ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," Anak atau keluarga para elit masuk
48
guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya.
Ketiganya turut membentuk kekuatan jawara pesisir Teluk Naga. Selain itu,
secara lokalitas kuatnya jaringan jawara pesisir Teluk Naga juga tak lepas dari
faktor pertautan nilai budaya Banten, Betawi, dan Cina; kepercayaan (trust); dan
eklektisisme39 yang muncul seiring perkembangan kejawaraan di pesisir Teluk
Naga. Ketiga ciri khas itulah yang belakang membuat jawara pesisiran menjadi
kekuatan baru sebagai elit formal dalam struktur sosial masyarakat Teluk Naga.
Gambar 5.3 Faktor-Faktor yang Mempersatukan
Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten
Kekerabatan
Seguru-Seelmu
Organisasi Massa
Nilai Budaya
Trust
Eklektisisme
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Kedudukan dan kekuasaan jawara yang diperoleh saat ini, secara
sosiologis melalui berbagai proses periodeisasi sebagai penanda eksistensi
kejawaraan (lihat tabel 5.3. tentang kedudukan jawara).
Tabel 5.8 Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang
Aspek
Status Sosial
Peran
Era Kolonial dan
Orde Lama
The rulled class
Patron petani dan
nelayan; pejuang rakyat
bersama para santrikiayi; centeng-centeng
perkebunan, dan
pemimpin
tradisional/informal
(non governing elite) di
masyarakat pedesaan
Era Orde Baru
The rulled class dan
sebagian kecil menjadi
ruling class (kepala
desa)
Security informal; mitra
junior
swasta/pengusaha;
pedagang; dan
instrumen stabilitas
yang diciptakan oleh
Negara
Era Reformasi
The rulling class
Pemimpin lokal dan
daerah (governing
elite); pemodal dan
mitra pemodal
(swasta dan
Negara);
institusi yang disiapkan: partai politik, lembaga perwakilan, birokrasi, kelompok penekan, LSM,
Ormas, asosiasi profesional, paguyuban kedaerahan maupun etnis dan sebagainya.
39
Sifat lentur jawara, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan pergumulan zaman.
49
Sumber power
Legitimasi mitos,
magic, penguasaan
beladiri
Legitimasi mitos,
magic, penguasaan
beladiri, dan uang
Tipe
Kepemimpinan
(sumber legitimasi)
Posisi terhadap
Negara
Pola Hubungan
dengan
Stakeholders
Persepsi
Masyarakat
KharismatikTradisional
KharismatikTradisional
Independen
Dependen
Idealis (membela
rakyat)
Fungsional dan
pragmatis
Positif
Negatif
Legitimasi mitos,
magic, uang,
jaringan dan org.
sosial
Kombinasi antara
kharisma-tradisional
dan legal formal
Mempengaruhi
Negara
Fungsionalpragmatis dan
40
monopolistik
Awal positif,
sesudah berkuasa
41
cenderung negatif
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Periodeisasi fase orde lama, kedudukan sosial jawara tidaklah seberuntung
dan sebaik saat reformasi. Hingga kekuasaan Soekarno berakhir, jawara lebih
banyak memainkan “peran tradisional” dengan menjadi patron bagi petani dan
nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga. Ia bertindak sebagai pemimpin
tradisional/informal – non governing elite – karena anggapan masyarakat tentang
kesaktiannya dan kemampuan beladiri yang dikuasainya. Adapula jawara yang
menjadi centeng (keamanan) di pasar, menjadi pedagang, dan syahbandar.
Sebagai patron, jawara mengikat kliennya dengan nilai-nilai perlindungan,
kesetiaan, stabilitas, dan nasionalisme. Pada saat itu, jawara relatif independen
dari Negara. Ia tidak terlalu banyak bersentuhan dengan politik elit, jaringan
sosialnyapun terbatas.
Otoriterianisme Soeharto dan proyek-proyek pembangunannya
(industrialisasi) mengubah peran, pola hubungan, dan sifat jawara. Jawara
dikooptasi oleh rezim Orde Baru sebagai instrumen yang menjamin kepentingan
Soeharto di daerah dan di pedesaan. Pada era ini, jawara hanya dijadikan warga
Negara kelas bawah – the rulled class – yang memiliki peran sebagai security
informal. Keberadaan tersebut diciptakan untuk menjaga stabilitas Jakarta dan
wilayah satelit di sekitarnya. Pada saat Orde Baru konfigurasi politik lokal di
pesisir Teluk Naga, Tangerang didominasi oleh kepentingan otoriterianisme
Soeharto yang berkolaborasi dengan elit lokal dan elit ekonomi (pengusaha
China/Tionghoa).
Sepanjang sejarah politik Orde Baru masyarakat pesisir Teluk Naga selalu
berada dalam posisi yang lemah dan termarjinalisasi secara politis. Sementara itu,
40
Relasi elit jawara dengan stakeholder di tiga daerah penelitian bersifat ambigu, di mana
mereka ditakuti sekaligus dihormati. Hubungan yang ambigu ini ditandai dengan ambiguitas
makna “Jawara” itu sendiri. Jawara bisa berarti jahat-wani (berani) - rampog (rampok) – rampog
uang rakyat/korupsi, bisa juga berarti jago-wani-ramah.
41
Persepsi masyarakat tersebut didasarkan pada konteks bahwa elit jawara yang meminpin di
pedesaan – propinsi inkonsisten dalam menjalankan roda pembangunan, irrasional dalam
mengambil keputusan, cenderung mempertahankan trah kekuasaan (status qua) dan belum
mengakomodasi pertisipasi rakyat. Meminjam bahasa politik telah terjadi gejala Incrementalism.
Yaitu kondisi di mana keputusan ditetapkan tidak melalui proses rasional tetapi melalui
penyesuaian - penyesuaian kecil dalam status quo kenyataan politik.
50
kaum jawara tetap berada dalam posisi the rulled class. Namun demikian, dalam
skala yang sedikit, jawara tetap diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam
proyek-proyek pemerintah dan mitra junior modal swasta yang berinvestasi di
pesisir Teluk Naga, Tangerang. Kooptasi rezim Orde Baru berhasil mengubah
jawara dari patron yang melindungi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk
Naga, Tangerang menjadi pelayan Orde Baru dan modal swasta. Pola hubungan
yang dibangun menjadi fungsional dan pragmatis.
Pada masa reformasi terjadi dinamika elit lokal yaitu memperebutkan
arena politik dan ekonomi lokal dalam rangka mempengaruhi kebijakan
pembangunan. Arena politik dan ekonomi didominasi oleh jawara (governing
elite) yang bertransformasi dari elit tradisional menjadi elit legal formal dalam
struktur sosial masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang pada khususnya dan
Banten pada umumnya. Kekuasaan jawara sebagai elit legal formal secara
substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap
kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan
penguasaan pesisir. Kondisi sosial ini secara sistemik setidaknya ditopang oleh
kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur
politik yang mendukung, penguasaan atas sumberdaya alama, dan posisi wilayah
yang strategis sebagai penyangga Ibukota.
Oleh karena itu, era reformasi menunjukkan perluasan arena politik
jawara, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan – kepala
desa – hingga kepala daerah. Peristiwa politik ini ditandai dengan terpilihnya 13
kepala desa di pesisir Teluk Naga, yang merupakan keturunan jawara (termasuk
kepala desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara). Hal ini semakin
menegaskan bahwa pola perkembangan dan jaringan jawara massif dan mapan
dari tingkat desa hingga propinsi. Hari ini, Banten yang tersisa adalah tanah untuk
para jawara. Mereka, elit jawara pesisir Teluk Naga berafiliasi dengan elit
ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa), elit militer, dan elit lokal lainnya
dalam mengukuhkan kekuasaannya.
Tabel 5.9 Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan Politik Formal
Komponen
Tokoh Elit
Propinsi
Hj. Ratu Atut (Gub
Banten/ putri alm. H.
Tb. Chasan Sochib)
Propinsi, Kab/Kota
masuk trah kekuasaan
Tb. Cs. dan 13 kepala
desa di Teluk Naga
masuk dalam jaringan
ini – Monarkhi Banten
Kabupaten/Kota
 Jayabaya (bupati
lebak)
 Heryani (Wakil Bupati
Pandeglang)
 Ismet Iskandar (Bupati
Tangerang/keturunan
jawara) – Zaki putra
Ismet menjadi bupati
pengganti Ismet yang
didukung oleh Ratu
Atut
 Airin Rachmi D
(Walikota Tangsel)
 Tb. Khaerul Zaman
(Wk. Walikota
Serang)
 Ratu Tatu Chasanah
(Wk. Bupati Serang)
Kecamatan
Teluk Naga
Seluruh kepala
desa dari 13
kecamatan di
Teluk Naga
merupakan para
Jawara
51
Sumber
Kekuasaan
Tipe
Kepemimpinan
Saluran Politik
Legitimasi mitos,
magic, org. silat, Uang,
dan jaringan
dari tradisional ke legal
formal
Golongan Karya
Legitimasi mitos,
magic, org. silat,
Uang, dan jaringan
dari tradisional ke legal
formal
 PDI-P
 Golongan Karya
 Golongan Karya
 Golongan Karya
 Golongan Karya
 Golongan Karya
Legitimasi mitos,
magic, uang, dan
jaringan
dari tradisional ke
legal formal
PDI-P, Golkar,
dan Demokrat
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Gambar 5.4 Peta Kepemimpinan Jawara
dari Propinsi – Pedesaan
Propinsi
Kabupaten
Kecamatan
Desa
Desa
Desa
PEMUDA
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Ikhtisar
Setiap pergantian struktur kekuasaan pada level elit selalu berekses pada
perubahan-perubahan sosial, politik, bahkan perubahan budaya masyarakat yang
bersangkutan. Hal itu dapat dilihat dari realitas transformasi jawara di ranah
pedesaan – banten. Jawara yang dalam natif dialek betawi dikenal dengan sebutan
juware atau juara mengalami periodeisasi dan proses pergumulan sosialnya sejak
orde lama hingga era reformasi. Jawara tengah bermetamorfosa dan memainkan
peran yang signifikan dalam ruang demokratisasi banten. Realitas empirik ini
merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah yang kemudian melahirkan
corak baru perpaduan antara nilai demokrasi universal dan lokal a la banten –
Bantenisasi demokrasi.
Download