kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara

advertisement
52
KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI KEKUASAAN
JAWARA PESISIR
Pengantar
Pasca reformasi seiring dengan diberlakukannya politik desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia, politik lokal menampakkan ragam dinamika. Salah
satu di antaranya adalah munculnya orang kuat di tingkat lokal dalam mengakses
kekuasaan. Orang kuat lokal (local strongmen, bossism) tumbuh dengan
memanfaatkan kran demokratisasi dan keterbukaan politik. Begitu pula dengan
kemunculan elit jawara di pesisir Teluk Naga, Tangerang Banten. Bila di masa
penjajahan dan awal kemerdekaan jawara mengisi peran Negara yang belum hadir
dalam masyarakat, sedangkan pada masa Orde Baru jawara mengisi peran civil
society yang lemah – jawara sebagai produk struktur Negara otoriterianis, maka di
era desentralisasi jawara hadir sebagai elit formal yang massif dari tingkat desa
hingga propinsi. Meminjam bahasa Pareto, jawara di era desentralisasi mengalami
transformasi dari non governing elite menjadi governing elite – dari the rulled
class menjadi the rulling class (Mosca). Kenyataan empiris ini menunjukkan era
baru kedudukan sosial jawara di masa otonomi-desentralisasi.
Berangkat dari realitas tersebut, tesis penting yang menjadi arah
pertanyaan kemudian ialah bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi
memungkinkan munculnya kepemimpinan formal dan konsolidasi kekuasaan
jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang? Ada dua poin penting sebagai jawaban
atas pertanyaan tersebut, pertama, sumber kekuasaan jawara dijastifikasi melalui
pewarisan secara turun temurun dalam frame legitimasi karisma-tradisional.
Kedua, strategi politik jawara memungkinkan hadirnya kepemimpinan formal.
Ketiga, peta konsolidasi memungkinkan kuatnya konsolidasi pemerintahan dan
dinamika pemerintahan jawara pedesaan.
Terkait tiga poin penting tersebut, maka bab 6 ini akan menjelaskan (1)
sumber kekuasaan dan ideologi jawara; (2) strategi politik jawara: pragmatisme
dalam balutan golok, putaran tasbih, dan kepentingan corporate; dan (3)
konsolidasi kekuasaan jawara.
Sumber Kekuasaan dan Ideologi Politik Jawara
Kekuasaan jawara sebagai kepala desa di pesisir Teluk Naga, Tangerang
merupakan pewarisan secara turun temurun. Hal ini terjadi lantaran jawara
memiliki tipe legitimasi karisma dan tradisional. Elit dengan tipe legitimasi
tradisionalnya memiliki hak untuk berkuasa didasarkan atas dasar keturunan yang
dimilikinya. Jabatan tersebut didasarkan pada prinsip primogenitur patrilineal.
Implikasinya bahwa kedudukan pemimpin atau kepala desa di atas bersifat
pewarisan, ascribed status. Dia legitimate untuk memerintah karena keyakinankeyakinan lama yang ada dan masih berlaku di masyarakat yang bersangkutan
53
mengharuskan begitu. Anggota masyarakat lainnya yang diperintah menerima
keadaan seperti ini sebagai kewajaran yang memang dibenarkan secara moral.
Box 6.1 Sketsa Terpilihnya Rsd42
Tahun 2010 jabatan kepala desa pegang oleh Rusdiyono (putra Buang
Muhadi/local strongmen). Terpilihnya Rusdiono tak lepas dari pengaruh bawaan
atau kharisma-tradional orangtuanya yang merupakan tokoh kuat lokal (local
strongmen), mantan kepala desa. Suksesi Rusdiono merupakan potret rutinisasi
kekuasaan yang terjadi di pedesaan.
Menurut Rusdiyono, pada awalnya “menjadi kepala desa bagaikan mimpi”,
karena lulusan SMA yang baru berusia 25 tahun ini hanya bekerja di pabrik tas dan
koper, bukan seorang politisi desa, intelektual partai, ataupun tokoh lokal.
Kharisma-tradisonal orangtua yang membawa ia muncul dipentas perpolitikan desa.
Figuritas orangtuanya menjadikan masyarakat berharap banyak agar ia mampu
meminpin desa Tanjung Burung agar lebih baik dan sejahtera. Sebab, selama
menjadi kepala desa Buang Muhadi mampu menjadi seorang pemimpin yang baik
di mata masyarakat, ia menjadi pemimpin yang disegani oleh masyarakat karena
pengaruh kejawaraannya. Kapital sosial dari masyarakat ini yang kemudian
membuat Rusdiyono memberanikan diri untuk mengikuti pemilihan kepala desa.
Sumber: wawancara 21 April 2012.
Kekuasaan yang turun-temurun itu melahirkan politik klan yang berbasis
pada jejaring politik keluarga. Politik keluarga akan lebih mudah untuk
dikonsolidasikan untuk kepentingan politik jangka panjang melalui solidaritas
kekeluargaan. Maka, para elit politik dari pedesaan-pusat dewasa ini secara massif
mengusung anggota keluarga menjadi pemimpin di berbagai lini kekuasaan.
Tabel 6.1 Potret Politik Kekerabatan/Keluarga
No.
Keluarga Birokrat
1.
2.
Presiden RI
Gubernur Banten
Hubungan
Kekerabatan
Anak
Suami
Anak
Ipar
3.
Bupati Tangerang
Anak
4.
Camat Teluk Naga
5.
Kepala
Burung
Kerabat Bupati
Tangerang
Kerabat
6.
Kepala Desa Tanjung Pasir
42
Desa
Tanjung
Kerabat
Posisi
Parpol
Anggota DPR RI
Anggota DPR RI
Anggota DPD RI
Walikota Tangerang
Selatan,
Kota/Kab.
Serang
Anggota DPR RI
(Sekarang
baru
menjadi
Bupati
menggantikan
Ayahnya)
-
Demokrat
Golkar
Sekdes, kaur, kadus
Mandor
Rw dan Rt
Sekdes, kaur, kadus
-
Golkar
-
-
Kasus Gnwn dan Spr, juga tak jauh berbeda dengan Rsd. Gnwn naik menjadi kepala desa
dikarenakan pewarisan kekuasaan dari bapaknya, Lurah Madi. Dalam kasus Gnwn, bahkan ada
unsur pemaksaan dari orang tua, karena Gnwn blm menikah, ia terpaksa harus menikah.
Sementara itu, Spr mewarisi kekuasaan dari kakeknya yang mantan kepala desa.
54
Kepala desa Muara
7.
Kerabat
Mandor
Rw dan Rt
Sekdes, kaur, kadus
Mandor
Rw dan Rt
-
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Selain faktor keturunan, jawara memiliki sejumlah modal yang kuat yang
kemudian dikelola bagi kepentingan dirinya maupun bagi kelompoknya. Modalmodal kekuasaan itu antara lain modal sosial, modal material, dan modal
simbolik. Modal-modal itu ter-cover dari sumber-sumber kekuasaannya, sehingga
merupakan bagian yang terintegratif tidak terpisah satu sama lainnya. Modal
sosial yang dimiliki jawara terlihat dari adanya saling percaya (trust) dengan
komunitasnya dalam aktifitas kesehariannya. Saling kepercayaan ini semakin
mengukuhkan organisasi dan jaringan sosial kejawaraan. Kekuasaan jawara
sebagai elit formal secara substansial dapat diteropong dari penguasaan modal
material terhadap kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset
tanah dan pesisir. Sementara itu, modal simbolik menjadi penanda eksistensi
kekuasaan jawara yang tidak terpisahkan dari konteks magic dan atribut
kejawaraan yang dimilikinya.
Untuk melanggenggkan kekuasaannya dilakukan cara-cara: seperti
pertama, melakukan kriminalitas dalam apresiasi kekuasannya, contoh: yang
dilakukan oleh Kepala desa muara, Spr yang menjual lahan tambak milik tentara.
Kepala desa Tanjung Burung yang melegalisasi judi sabung ayam, dan kepala
desa Tanjung Pasir yang menjual lahan tanah garapan dan jalan kepada
perusahaan Tanjung Pasir Resort. Kedua, penggunaan coersive violence atau
kekerasan fisik dalam memerintah, seperti mengancam dan sejenisnya. Ketiga,
menciptakan ketergantungan masyarakat dan elit lainnya seperti pengusaha,
politisi, dan broker politik dalam relasi patron-client.
Gambar 6.1 Pola Hubungan Patronase Jawara Pesisir
Birokrasi (B)
Politisi (P)
B
B
B
B
B
B
P
B
B
B
B
PB
PB
P
P
P
P
BP
KK
KK
KK
Kroni Kapitalis (KK)
Keterangan:
P
B
: Politisi
: Birokrasi
KK: Kroni Kapitalis
BP: Broker Politik
PB: Politisi-peBisnis
PB
BP
P
55
Selain dengan ketiga cara di atas, dalam usaha melanggengkan kekuasaannya
terkadang elit jawara juga berusaha menampilkan sikap-sikap populis, seperti: (a).
berusaha menjadi populis – mendekatkan diri kepada masyarakat; (b). hadir
takziyah dan tahlilan di masyarakat, dan (c) menghadiri acara hajatan masyarakat.
Dalam konteks ini, ideologi para elit pemerintah desa di Pesisir Teluk
Naga Tangerang Banten dapat dikategorikan, “neopatrimonialisme”.
Neopatrimonialisme adalah personalisasi kekuasaan oleh penguasa tertinggi,
dalam hal ini penguasa desa yang menciptakan jalinan pertukaran sumber daya
material dengan loyalitas yang memungkinkan penguasa (diktator) pribadi mampu
mempertahankan kekuasaannya dalam jangka panjang (Brown, 2004; Drake,
2002). Penguasa pribadi selalu menganggap sumber daya negara adalah milik
pribadi. Di sisi lain pemimpin rezim neopatrimonial tidak pernah menjanjikan
demokrasi dan partisipasi pada rakyatnya, sebaliknya dia malah memberengus
elemen-elemen demokrasi yang tumbuh, mengenggam erat lembaga lembaga
bentukan masyarakat, mematikan kekuatan oposisi, menyingkirkan pejabat yang
tidak loyal, membelenggu kebebasan politik publik, tidak toleran perbedaan,
menciptakan konflik antar kelompok dengan cara politik adu domba dan
sebagainya. Kokohnya penguasa pribadi dalam rezim neopatrimonial merupakan
penghambat utama bagi jalan menuju demokrasi.
Strategi Politik Jawara: Pragmatisme dalam Balutan Golok, Putaran Tasbih,
dan Kepentingan Corporate
Strategi politik merupakan instrumen penting bagi setiap aktor politik
untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, tak terkecuali bagi kaum
jawara pesisir. Ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Jawara pesisir Teluk
Naga, Tangerang untuk menjadi elit formal di pedesaan. Pertama, menumbuhkan
mitos power politics melalui simbol pragmatisme golok. Kedua, membangun
kedekatan dengan Kiyai. Ketiga, berafiliasi dengan pemodal (corporate).
Pragmatisme dalam Balutan Golok
Golok merupakan simbol entitas kejawaraan yang melegitimasi dan
merepresentasikan jatidiri jawara. Selain itu, dalam praksis politik, golok
merupakan simbol mitos power politics, di mana warna kekerasan mengejawantah
dalam simbol golok. Konsekuensi ini, memunculkan praksis politik jawara yang
cenderung menuntut kepatuhan, memaksakan kehendak, dan tak segan-segan
untuk melakukan kekerasan, demi meneguhkan kepemimpinan dan kekuasaannya.
Pada sisi ini, golok menjadi simbol strategi politik pragmatis kaum jawara. Dalam
praksis politik pragmatis ini, logika politik yang lebih menonjol ialah pencapaian
tujuan, bukan proses. Dalam bahasa yang lebih lugas, elit jawara cenderung
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
56
Tabel 6.2 Praktik Sosial Pragmatisme Jawara
Komponen
Sumber Legitimasi
Elite Rsd
Elite Gnwn
Kharisma orangtua Kharisma orangtua
(mantan
(mantan incumbent)
incumbent)
Pragmatis
Pragmatis (berafiliasi
Tujuan Politik
(berafiliasi dengan dengan pemodal dan
pemodal
dan jawara lokal)
jawara lokal)
Masyarakat
Militer (laten)
Kontra Politik
pendatang/etnik
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Elite Spr
Kharisma
kakek
(mantan incumbent)
Pragmatis
(berafiliasi dengan
pemodal dan jawara
lokal)
Militer (Manifest)
Terkait pola politik uang, strategi ini erat kaitannya dengan
penyelenggaraan Pilkades untuk memenangkan kandidat jawara sebagai elit
formal di pedesaan. Hal ini dapat didekati secara objektif melalui pembacaan atas
komponen-komponennya antara lain komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai
yang menggerakkannya. Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua
bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect
actor). Pelaku langsung politik uang dalam Pilkades terdiri dari Tim Sukses Calon
Kades dan Bandar judi. Sedangkan pelaku tidak langsung terdiri dari Calon
Kepala Desa dan Bandar/Pemain judi.
Pelaku langsung politik uang terjun langsung ke lapangan dengan
membagi-bagikan sejumlah uang kepada beberapa kelompok sasaran. Tim Sukses
ini dibentuk oleh Calon Kepala Desa. Kepentingan orang-orang yang tergabung
dalam Tim Sukses ini beragam, antara lain kepentingan sangat materialistis,
seperti harapan imbalan sejumlah uang yang tidak selalu dalam nominal besar.
Bahkan seorang informan penelitian ini menyatakan bahwa dia mendapatkan uang
hanya sebesar 100.000 sebagai “imbalan” untuk aktivitas menyukseskan
pemenangan calon Kades tertentu. Di samping itu, juga ada motivasi pragmatis
dalam jangka panjang, antara lain; agar yang bersangkutan beserta keluarganya
dimudahkan dalam urusan-urusan formal di desa seperti pengurusan KTP atau
sertifikat tanah. Selain itu, mereka juga merapat ke lingkaran dalam calon
penguasa politik desa agar mendapatkan keuntungan-keuntungan (benefits) dalam
jangka panjang, seperti keterlibatan dalam proyek-proyek desa.
Calon Kades merupakan pelaku tidak langsung yang sangat
mempengaruhi maraknya politik uang dalam Pilkades. Calon Kades menyediakan
sejumlah uang yang kemudian dicairkan kepada anggota Tim Sukses untuk
dibagi-bagikan kepada warga. Sumber dana yang dimiliki oleh Calon Kades
berasal dari Calon Kades itu sendiri dan orang kaya yang “meminjamkan”
sejumlah uang untuk membeli suara warga dengan “imbalan” komitmen dari
Calon Kades untuk melindungi kepentingan-kepentingan bisnis dan keamanan
(business and human security) orang kaya tersebut. Kenyataan money politics atau
serangan fajar ini nampak jelas dari kemenangan tiga elit keturunan jawara yang
memimpin desa pesisiran Teluk Naga. Berikut penuturan warga 3 dari desa.
“Pak Rusdiono menang dalam pilkades ya karena ngelakuin serangan fajar
(Wawancara ibu Isah, 22 April 2012 pukul 10.12)”
57
“Gunawan itu melakukan kecurangan dalam Pilkades, bapaknya bermain di
belakang, makanya dia menang. Dia, melakukan serangan fajar dan memainkan
suara dengan panitia (Wawancara dengan Irvan Yusna, 20 Juli 2011).43
“Di desa Muara, kemenangan lurah (baca: kepala desa) yang saat ini menjabat,
salah satu faktornya karena dapat dukungan dari Pak Nasan, selain juga faktor
serangan fajar (Wawancara bapak Bule, 5 Maret 2010).
Satu lagi aktor yang menempatkan uang menjadi faktor sebagai dorongan
yang sangat menentukan pilihan pemilih dalam Kepala Desa adalah Bandar atau
pemain judi. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon Kades yang
dipilihnya dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk
memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costsbenefits yang menguntungkannya. Pada aspek strategi, politik uang dalam
Pilkades di tiga desa penelitian berlangsung dalam beberapa strategi. Pertama,
dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon
Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.
Strategi permainan uang seperti ini memunculkan dua kemungkinan
penggunaan kartu; kartu dibiarkan tidak digunakan atau kartu suara dicobloskan
oleh panitia atau “orangnya” calon Kades yang membeli suara. Dua kemungkinan
ini mengindikasikan rendahnya netralitas dari Panitia Pemilihan Kepala Desa.
Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk
mencairkan dana yang bahasa mereka uang tersebut sebagai uang saku, dengan
besaran antara 10.000 sampai 50.000. Bisa juga berupa Pemberian Hadiah, makan
gratis pada saat pilkades, dan pemberian rokok. Para anggota tim sukses bisa
mendapatkan lebih dari itu. Strategi ini digunakan kepada dua sasaran; 1) pemilih
netral yang belum menentukan pilihan, dan 2) pemilih potensial.
Ketiga, serangan fajar. Strategi pembagian uang sebelum atau pada saat
fajar menyingsing pas hari pencoblosan dilakukan oleh anggota Tim Sukses
dengan sasaran warga yang kemungkinan besar pendukung calon Kades lawan.
Dengan nominal yang lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan oleh calon
Kades lawan, diharapkan pendukung calon Kades lawan berubah pikiran dan
mengalihkan dukungan kepada calon Kades yang bersangkutan, atau paling tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga potensi suara calon Kades lawan berkurang.
Keempat, pembagian uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu
calon Kepala Desa. Strategi ini bertujuan untuk pemenangan satu calon tertentu,
yang menjadi pilihan penggelontor uang dalam sebuah aktivitas perjudian.
Permainan uang seperti ini ikut mempengaruhi preferensi politik warga dalam
arena Pilkades.
Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar,
sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang
merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi.
Fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama
antara publik atau masyarakat bawah dan para elit politik di desa, yaitu nilai non
43
Dalam pelaksanaan Pilkades di Desa Tanjung Pasir terdapat enam calon yang bertarung.
Mereka adalah Surman yang meraih 1.623 suara, Masdi dengan 502 suara, Ahmad Sugiro dengan
202 suara, Sukari 280 suara, dan Masti meraih 719 suara. Sementara peraih suara terbanyak adalah
Gunawan dengan 1.733 suara. Gunawan adalah anak mantan kades yang sebelumnya menjabat.
58
demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural
democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi substantif
(substantive democrarcy).
Politik uang yang berlangsung ekstensif menunjukkan bahwa voluntarisme
atau kesukarelawanan politik yang ideal a ala Weberian yang mengidealkan
politik sebagai profesi sejati atau sebagai panggilan jiwa (politics as calling)
belakangan sama sekali tidak tampak dalam pemilihan Kepala Desa di Pesisir
Teluk Naga Tangerang. Praktek politik uang di dalam Pilkades tidak saja
mengamini fenomena menipisnya voluntarisme politik sebagai fenomena jamak
dalam konteks politik yang lebih luas, akan tetapi juga merupakan fenomena
degradasi kualitas demokrasi di tingkat desa. Dalam konteks masyarakat pedesaan
pesisir Teluk Naga, logika simbolisme pragmatis jawara kian mengukuhkan
warna politik uang tersebut. Dari sinilah kemudian transformasi elitis jawara
pedesaan berurat berakar, dibalik pragmatisme politik yang dimainkan.
Dibalik Strategi Putaran Tasbih
Selain memanfaatkan mitos power politics “pragmatisme golok – logika
kekerasan dan politik uang”, strategi politik jawara pesisir Teluk Naga untuk
menjadi elit ialah dengan melakukan pendekatan kepada ulama atau Kiayi.
Strategi politik ini, erat kaitannya dengan dua hal, pertama kultur Banten yang
memosisikan Ulama/Kiyai sebagai sosok yang berperan signifikan dalam
pergumulan sosial politik masyarakat. Kedua, geneologi jawara itu sendiri yang
merupakan “khodim kiyai” (Tihami, 1992). Singkatnya, Kiyai dan jawara
merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten
hingga saat ini. Keduanya, dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang
melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa, apa yang digagas oleh Clifford
Geertz (1960) tentang peran kiyai sebagai pialang politik (political broker) tetap
menguat, walaupun masa berganti. Secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat
vital, termasuk dalam ranah politik. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau,
terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta
betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat
sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi
(Horikoshi, 1987). Oleh karena itu, kedekatan jawara kepada Ulama/Kiyai untuk
dapat memperoleh kepercayaan politik masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.
Artinya menggandeng Kiai dalam memperebutkan kekuasaan struktural menjadi
strategi politik bagi jawara pesisiran Teluk Naga untuk menduduki kekuasaan
struktural sebagai elit Kepala Desa.
Berafiliasi dengan Pemodal (Corporate)
Strategi ketiga yang dilakukan oleh jawara pesisiran untuk menjadi elit
formal dalam pemerintahan ialah membangun afiliasi dengan pemodal/elit
ekonomi. Para jawara pesisiran Teluk Naga berafiliasi dengan elit ekonomi
(pengusaha keturunan Tionghoa) yang berasal dari Kota Tangerang dan Jakarta.
59
Dalam hubungan dengan pemodal jawara berperan sebagai pemegang kuasa dan
kontrol atas investasi aset. Strategi ini menempatkan bahwa perilaku politik
jawara tidak lepas dari kepentingan ekonomi pragmatis. Hal ini dapat dilihat dari
makna bela diri yang difahami sebagai jalan untuk mengejar kepentingan materi.
Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenamya adalah kepentingan
ekonomi.
Untuk kepentingan ekonomi tersebut, elit jawara berusaha
mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya
lokal, sebab sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka
tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional.
Pengejaran nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisional itu menjadi semakin kuat
karena mereka mampu mengontrol lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi
dan politik. Dalam konteks di tiga desa penelitian penguasaan dan kontrol jawara
atas aset akhirnya mendapat legitimasi struktural dan menempatkan posisi sosial
mereka sebagai elit formal desa.
Elite jawara pesisiran pun kuat secara internal karena mendapatkan
dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka
yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara.
Selain itu, jawara juga berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain,
seperti dengan Kiyai, birokrat pemerintah daerah, Ormas, dan NGO. Hubungan
ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing
pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembagalembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan
simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks
politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap
lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya
masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok
kritis.
Mengkonsolidasikan Pemerintahan
Membangun Tradisi Kepatuhan pada figur sental
Kepemimpinan atau kekuasaan a la jawara bersifat paternalistik dengan
seorang figur sentral (tokoh) yang dikelilingi para anak buah dan orang lain yang
mengakui kekuasaannya. Kepatuhan pada figur sentral adalah hal yang mutlak
demi menjaga soliditas sistem kekuasaan dalam peta konsolidasi kejawaraan.
Bahkan, bila perlu, hal itu ditegakkan dengan cara-cara kekerasan. Begitulah
konsepsi kepemimpinan atau kekuasaan jawara. Berikut ini gambaran mengenai
kepatuhan anak buah terhadap Jawara elit (kepala desa):
Tabel 6.3
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Burung
Kategori
Tinggi
Frekuensi
17
Subyek
Persentase (%)
44.74
60
14
Sedang
7
Rendah
38
Jumlah staf desa
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
36.84
18.42
100
Tabel 6.4
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Pasir
Kategori
Frekuensi
33
Tinggi
29
Sedang
5
Rendah
67
Jumlah staf desa
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Subyek
Persentase (%)
49.25
43.29
7.46
100
Tabel 6.5
Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Muara
Kategori
Frekuensi
21
Tinggi
19
Sedang
4
Rendah
44
Jumlah staf desa
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Subyek
Persentase (%)
47.73
43.18
9.09
100
Dari tabel 6.3, 6.4, dan 6.5, di atas, kepatuhan anak buah terhadap elit
jawara (kepala desa) sebagian besar pada tingkat yang tinggi dan sedang. Hal ini
mencerminkan bahwa anak buah – yang menjadi staf desa, masih memiliki
kecenderungan untuk percaya pada pimpinannya, dapat menerima sikap dan
tingkahlakunya, serta melaksanakan perintah atau permintaannya. Dengan
demikian, anak buah elit jawara tersebut memiliki kecenderungan untuk
mengubah sikap dan tingkahlakunya untuk mengikuti perintah atau permintaan
pimpinan sebagai bentuk rasa hormat dan kepatuhan kepada figur sentral itu.
Membangun Citra
Pencitraan ketokohan jawara pedesaan dikemas dan diusung secara cantik
di tengah masyarakat pedesaan pesisir Tangerang. Ketika ia dicalonkan sebagai
kandidat elit formal desa, citranya ditawarkan dalam kemasan yang cantik,
sehingga terlihat menarik di mata masyarakat pemilih. Para intermediaris (broker)
mengangkat kemasan berupa track record/latar belakang jawara calon kades yang
dilebih-lebihkan, gambaran awal visi-misi calon mengenai rencana kesiapannya
untuk menjadi kades dan sederetan program kebijakan yang dipoles untuk
berorientasi kepada masyarakat banyak. Selain itu, proses pembangunan
pencitraan elit jawara dilakukan melalui saluran-saluran kegiatan sosial
masyarakat seperti: gotong royong, menghadiri peringatan keagamaan, pesta
hajatan, menjenguk masyarakat yang sakit, dan takziyah.
61
Tabel 6.6 Pencitraan Elit Jawara (Kepala Desa) di Tiga Desa
Elit
Intensitas Kemunculan dari Beberapa Saluran Citra
Gotong
Kegiatan
Pesta
Menjenguk
Takziyah
royong
keagamaan
hajatan
masyarakat
yang sakit
Rendah
Rendah
Tinggi
Sedang
Sedang
Rsd
Rendah
Rendah
Tinggi
Sedang
Sedang
Gnwn
Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Spr
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Dari tabel 6.6 di atas, saluran citra yang tinggi dari masing-masing elit
adalah melalui pesta hajatan. Hal ini terjadi karena massifnya penyelenggaraan
pesta hajatan di tiga desa pesisir Teluk Naga, Tangerang tersebut. Kondisi ini
secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi kejawaraan pesisir.
Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan citra, kekuasaan, konsolidasi
politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Di sini, arena hajatan
mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan mengendalikan
kondisi sosial masyarakat pesisir.
Membangun Komunikasi dan Jaringan
Pada masyarakat modern, tugas utama adalah memperbesar dunia
kehidupan dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power).
Kekuasaan komunikatif ini ada ketika kekuasaan jaringan dan popularitas hadir ke
dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks jawara, kekuatan komunikasi dan
jaringan menjadi penanda penting dalam mengikat konsolidasi pemerintahan dan
melanggengkan kekuasaan mereka.
Para elit jawara desa (kepala desa) dalam membangun hubungan dengan
anak buahnya, baik yang menjadi aparatur desa maupun yang bukan (non formal)
mengedepankan soliditas jaringan yang khas. Salah satu yang khas adalah kuatnya
ikatan emosional, rasa kebersamaan, kekerabatan, pertemanan dan sebagainya.
Jaringan yang dibentuk oleh mereka kini mewujud menjadi basis konsolidasi
kekuasaan yang tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga
mewujud menjadi organisasi massa yang tersendiri. Di sinilah otoritas tradisional
elit jawara menjadi semakin kuat. Di samping menguatkan komunikasi dan
jaringan secara internal, jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan e!itelit lain, seperti birokrat, partai, dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang
sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut
elit-elit tersebut sebagai “mitra”.
Ikhtisar
Potret kejawaraan pedesaan pesisir Teluk Naga, Tangerang yang dominan
dalam penguasaan ranah politik-ekonomi menjadikan desa pada era otonomidesentralisasi menjadi contested. Proyek eksploitasi ekonomi-politik terhadap
desa membuat hancur otonomi desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Desa
62
menjadi ajang perebutan tarik-menarik kepentingan sosial-politik dan ekonomi
yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas dalam menentukan arah
perkembangannya ke depan. Dengan kondisi seperti ini, banyak pihak pesimistis
bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi akan dapat meningkatkan
kesejahteraan publik masyarakat pedesaan.
Pesimistis ini beralasan, karena dalam konteks masyarakat pedesaan
pesisir Teluk Naga Tangerang makna desa hari ini sudah tercerabut oleh
kepemimpinan jawara yang simbolis dan karikatif. Kepemimpinan yang minus
partisipasi politik aktif-partisipasi semu. Partisipasi demikian akan melahirkan apa
yang disebut Larry Diamond (2003) sebagai demokrasi semu (pseudo
democracy), di mana keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya
demokrasi sebenarnya (hakiki). Melihat fenomena politik jawara pedesaan ini,
jelas diperlukan berbagai telaah lebih mendalam mengenai demokratisasi desa.
Meski sarat persoalan di satu sisi, demokratisasi desa di sisi lain merupakan
keharusan untuk membangun kesejahteraan komunal di level rakyat paling bawah
tersebut.
Download