JAWARA DALAM BUDAYA BANTEN (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Jawara di Banten) Indrianti Azhar Firdausi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Serang Raya Jalan Raya Cilegon-Serang Km. 5, Drangong, Serang, Banten [email protected] ABSTRAK Jawara merupakan warisan budaya yang dikonstruksi sebagai bagian dari identitas masyarakat Banten. Dengan teoriInteraksi simbolik dimana ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (mind), mengenai diri (self) dan hubungannya di tengah interaksi sosial dan tujuan akhir memediasi serta mengintrepretasi makna di tengah masyarakat (society) dimana individu itu menetap. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati. Sedangkan metode etnografi komunikasi digunakan untuk mengetahui pola-pola komunikasi kelompok yang diwakilkan oleh unit-unit etnografi komunikasi yaitu situasi, peristiwa dan tindakan. Melalui Metode Etnografi Komunikasi dengan tiga unit analisis yaitu situasi komunikasi, peristiwa komunikasi dan tindakan komunikasinya ditemukan citra negatif jawara pada mulanya merupakan pelabelan kepada orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap kolonial, tidak sesuai dengan makna awalnya yaitu sebagai murid kiyai atau “tentarane Kiyai”. Sebuah lingkaran interaksi dapat menggerakkan mereka yang didefinisikan berbeda atau menyimpang untuk berpikiran atau berperilaku seperti yang dituduhkannya itu dimana jawara lebih dikenal sebagai subkuktur kekerasan, hal ini bagian dari identitas budaya Banten menjadikan posisi dan peranan jawara di sangat tinggi dimana dalam proses komunikasinya mereka kebanyakan berinteraksi dengan simbol-simbol kejawaraannya. Key note: Jawara, Budaya, Interaksi Simbolik, Etnografi Komunikasi. dirinya sebagai orang yang telah mencapai Pendahuluan derajat kewalian. Karena itu ia bukan saja Banten cukup di kenal di nusantara memiliki legitimasi kuat untuk mengurui berkat kesultanan yang pernah berdiri di hal-hal duniawi tetapi juga berkaitan daerah ini. Menyadari bahwa terbentuknya kesultanan Banten didasarkan dengan soal-soal keagamaan. pada Golongan yang menembus batas- semangat keislaman maka simbol-simbol keislaman banyak dijumpai batas hierarki pedesaan di Banten adalah dalam Jawara. pembentukan struktur pemerintahan dan Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan masyarakatnya. Gelar keagamaan dipakai kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi para penguasa Banten untuk melegitimasi 15 16 Jawara dalam Budaya Banten kekuatan spiritual, seperti penggunaan dikenal sebagai subkultur kesalehan dalam jimat, sehingga ia disegani masyarakat. masyarakat Banten dan jawara sebagai Jimat memberikan harapan dan memenuhi subkultur pengacau (Biro Humas Banten, kebutuhan praktis para jawara, salah 2005: 13) satunya adalah kekebalan tubuh dari Hingga saat ini pelabelan negatif benda-benda tajam. Keunggulan tersebut jawara melahirkan sosok jawara yang berkarakter dianggap sebagai identitas budaya Banten, khas. Terkenal dengan seragam hitamnya namun tidak dan kecenderungan terhadap penggunaan adanya pelestarian kekerasan dalam menyelesaikan setiap yanag persoalan. digeneralisasikan Sehingga bagi sebagian itu yang menjadi terpelihara. menutup Jawara kemungkinan budaya kekerasan khas kemudian sebagai karakter ciri masyarakat, jawara dipandang sebagai masyarakat Banten. Padahal pelaksanaan sosok yang memiliki keberanian, agresif, budaya sompral, dilakukan terbuka (blak-blakan) dan kekerasan oleh tersebut hanya oknum-oknum bersenjatakan golok, untuk menunjukan melabelkan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan Merujuk magis. mengenai kebudayaan yang dapat dikaji Citra negatif yang dimiliki jawara hingga kini memang pada sebagai pembahasan jawara. di atas melalui etnografi komunikasi, hal ini mulanya ditegaskan melalui premis dasar etnografi merupakan pelabelan kepada orang-orang yang dipaparkan yang dipaparkan oleh yang mengadakan perlawanan terhadap Morley dalam buku Etnografi Komunikasi kolonial. “strategi-strategi Kini, istilah pada dirinya yang jawara yang penelitian berkembang di masyarakat adalah bercitra seperti negatif, tidak sesuai dengan makna pada dirancang untuk mendapat akses ke dalam awalnya. Jawara lebih dikenal sebagai wilayah-wilayah yang telah dialamiahkan subkultur kekerasan dalam masyarakat. dan aktivitas-aktivitas khasnya” (Morley, Kiyai pun pada akhirnya menjaga jarak 1992:186) dengan para jawara. Kiyai dan santri tetap etnografi pada kualitatif prinsipnya Masyarakat bervariasi pada tataran konsisten mengajarkan keagamaan pada sejauh masyarakat. mengembangkan berhubungan dengan definisi peran sosial. nilai-nilai, keyakinan, peran dan simbol Dalam sebagian masyarakat kemampuan tersendiri yang agak berbeda dengan yang komunikatif bisa memiliki signifikansi dimiliki jawara. Pada akhirnya kiyai pun yang kecil atau tidak sama sekali dalam Mereka mana perilaku komunikatif Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) communication in real situations (communicative competence) rather than limiting itself to describing the potential ability of the ideal speaker/listener to produce grammatically correct sentences (linguistic competence). Speakers of a language in particular communities are able to communicate with each other in a manner which is not only correct but also appropriate to the sociocultural context. This ability involves a shared knowledge of the linguistic code as well as of the socio-cultural rules, norms and values which guide the conduct and interpretation of speech and other channels of communication in a community … [T]he ethnography of communication ... is concerned with the questions of what a person knows about appropriate patterns of language use in his or her community and how he or she learns about it (Farah (1998) in Wodak, 2011: 59). bentuk peran, meskipun kategori sosial tertentu bisa ditandai oleh perilaku komunikatif yang khas. Metode Penelitian Etnografi Komunikasi Metode Etnografi komunikasi; adalah suatu kajian mengenai pola-pola komunikasi sebuah komunitas budaya. Secara makro kajian ini adalah bagian dari etnografi. Thomas R. Lindlof dan Bryan C. Taylor, dalam bukunya Communication Qualitative Research 17 Methods, menyatakan: “Etnography Of Communication conceptualize communication as continous flow of information, rather than as segmented exchange message (Lindlof and Taylor, 2002:44). Dalam pernyataan tersebut, Lindlof dan Taylor menegaskan bahwa konsep komunikasi dalam etnografi komunikasi merupakan arus berkesinambungan, informasi bukan yang sekedar pertukaran pesan antar komponen semata. Tokoh pelopor dan sekaligus pendiri komunikasi etnografi adalah Dell Hymes dengan istilahnya yang terkenal yaitu “ethnography of speaking” (komunikasi etnografi) dalam memahami penggunaan bahasa. Hymes berpendapat : …that the study of language must concern itself with describing and analyzing the ability of the native speakers to use language for ... Bahwa studi bahasa memperhatikan dirinya menggambarkan dan kemampuan penutur dari harus dengan menganalisis asli untuk menggunakan bahasa untuk komunikasi dalam situasi nyata (kompetensi komunikatif) daripada membatasi diri untuk menggambarkan kemampuan potensial yang ideal dari penutur/lawan tutur untuk menghasilkan kalimat tata bahasa yang benar (kompetensi linguistik). Penutur bahasa dalam masyarakat tertentu dapat berkomunikasi satu sama lain dengan cara yang tidak hanya benar tetapi 18 Jawara dalam Budaya Banten juga sesuai dengan konteks sosial budaya. untuk mengumpulkan data untuk analisis Kemampuan ini melibatkan pengetahuan etnografi komunikasi yang paling penting bersama dari kode linguistik, aturan sosial adalahobservasi-participant, budaya, yang metode dimana peneliti akan masuk ke interpretasi dalam masyarakat dan introspeksi dimana norma memandu dan nilai-nilai perilaku dan berbicara dan saluran komunikasi lainnya peneliti dalam masyarakat ... etnografi komunikasi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang diserap ... berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan secara tidak sadar ketika tumbuh dalam tentang apa yang orang ketahui tentang masyarakat tertentu. Hal ini menjelaskan pola bagaimana jawara dapat mempengaruhi yang digunakan tepat dalam dari bahasa yang komunitasnya dan bagaimana ia belajar tentang hal itu. Unit-unit interaksi mencoba merupakan unsur-unsur budaya mengeksplisitkan yang berlaku di Banten dengan makna jawara saat ini. yang Etnografi komunikasi menjadi dikemukakan Hymes sebagai focus studi lebih luas karena tidak hanya meliputi etnografi mencakup situasi, peristiwa, dan modus komunikasi lisan (Speaking), tetapi tindakan.Situasi adalah setting umum, juga melibatkan komunikasi tulis (writing) peristiwa komunikasi seperti percakapan serta komuniksi isyarat (gesture), gerakan bisa tubuh (kinesics), atau tanda (sign). Hampir terjadi tindak tutur seperti mengemukakan pertanyaan. Dan yang semua ketiga tindak bahasa/tutur mendapatkan mengkomunikasikan makna tertentu sesuai statusnya dari konteks social, bentuk dengan apa yang dipahami masyarakatnya. gramatikal (Ibrahim, 45:1992) dan intonasinya, dalam anggota tubuh dapat pengertian bahwa tindak tutur mempunyai komunikasi adalah semua bentuk implikasi bentuk dan linguistic dan norma- pemberian komunikasi yang bermakna norma baik menggunakan tuturan verbal maupun social (Hymes,1972 dalam Ibrahim,1992) Tujuan isyarat bahasa tubuh atau tanda nonverbal. karya dalam etnografi Etnografi komunikasi seperti halnya komunikasi adalah untuk memperoleh pendekatan ilmiah dan humaniora, selalu pemahaman global mengenai pandangan berusaha untuk menemukan bentuk umum dan nilai-nilai suatu masyarakat sebagai dari yang khusus dan untuk memahami hal cara untuk menjelaskan sikap dan perilaku khusus itu berdasarkan yang umum. anggota-anggotanya. Saville-Troike dalam Ibrahim (1992) menyajikan dua proses Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) Definisi singkat dari ke tiga ide Teori Interaksi Simbolik Teori interaksi simbolik menekankan padahubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto, 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu lainnya. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008, 96), interaksi simbolik 19 pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia bersama dengan orang lain menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ada ide-ide dasar dalam membentuk makna dasar dan interaksi simbolik antara lain: 1. Pikiran (mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain 2. Diri (self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksi simbolik adalah teori yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 3. Masyarakat (society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. yang berasal dari pikiran manusia (mind), Mind, self dan society merupakan mengenai diri (self) dan hubungannya di karya George Harbert Mead dimana tengah interaksi sosial dan tujuan akhir memfokuskan pada tiga tema konsep dan memediasi serta mengintrepretasi makna asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun di tengah masyarakat (society) dimana diskusi mengenai interaksi simbolik. Tema individu itu menetap. Douglas (1970) pertama pada interaksi simbolik berfokus dalam Ardianto (2007:136), makna itu pada pentingnya membentuk makna bagi berasal dari interaksi dan tidak ada cara perilaku manusia, dimana dalam teori lain untuk membentuk makna, selain interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan membangun hubungan dengan individu dari proses komunikasi, karena awalnya lain melalui interaksi. makna tersebut tidak ada artinya sampai 20 Jawara dalam Budaya Banten pada akhirnya dikonstruksi seara mempunyai ilmu-ilmu kesaktian interpretatif oleh individu melalui proses (kedigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari interaksi untuk meciptakan makna yang senjata tajam, bisa memukul dari jarak disepakati jauh bersama (West-Turner, 2008:96) dan sebagainya.sehingga membangkitkan perasaan orang lain penuh Jawara di Banten memanfaatkan simbol-simbol dalam dan takut, kagum dan benci. sedangkan berinteraksi dengan masyarakat lainnya istilah jawara yang bersifat denotative yang bertentangan dengan kelompoknya. berisi tentang sifat yang merendahkan Tema simbolik kejawaraannya dengan pertentangan antara rasa hormat kedua pada berfokus pada interaksi pentingnya derajat (derogative) yang biasanya digunakan untuk orang yang berperilaku “konsep diri” atau “self-concept”. Dimana sombong, pada tema interaksi simbolik menekankan perintah agama Islam atau melalukan pada pengembangan konsep diri melalui sesuatu dengan cara-cara yang tidak baik individu terebut secara aktif, didasarkan terhadap orang lain untuk kepentingan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. dirinya sendiri atau kelompoknya, seperti Tema simbolik terakhir berkaitan pada dengan interaksi hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini melakukan kurang taat ancaman, menjalankan kekerasan dan kenekatan (Biro Humas Provinsi Banten, 2005:64) mengakui bahwa Jawara berangkat dari sikap norma-norma sosial membatasi perilaku kepahlawanan sejak jaman penjajahan tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap bahu individulah yang menentukan pilihan yang masyarakat Banten menumpas kompeni ada dalam sosial kemasyarakatanya. Fokus tapi dikondisikan menyimpang dari sikap dari tema ini adalah untuk menjelaskan itu.jawara mengenai pengawal kiai dan membela kebenaran, keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. membahu di bersama Banten kiai hadir dan sebagai Banten mempunyai kekhasan mengenai jawara dan itu dipertahankan. namun Situasi Komunikasi Jawara Banten ketika musuh bersama di Banten berupa Istilah jawara yang menunjukan referensi adalah untuk gelar identifikasi bagi seseorang orang-orang yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan penjajah sudah tidak ada, terjadi pergeseran peran ketika kiai kembali ke pesantren jawara memilih menetap di lapisan sosial dimana ia mendapatkan Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) 21 pelabelan status sosial yang cukup tinggi aksinya di mata masyarakat Banten. keadaan”. karena itu yang disebut “mengamankan kesan orang terhadap jawara cenderung Hal ini berkaitan dengan Tiga tema negative dan derogative sehingga ada konsep pemikiran George Herbert Mead istilah jawara di masyarakat sebagai “jago yang mendasari interaksi simbolik antara wadon lan luhur” (tukang main perempuan lain: 1) Pentingnya makna bagi perilaku dan tukang bohong), dan “jago wadon lan manusia. 2) Pentingnya konsep mengenai harta” (tukang main perempuan dan tamak diri 3) Hubungan antara individu dengan harta). kesan yang kurang baik tentang masyarakat jawara tersebut menyebabkan orang-orang Masyarakat memaknai jawara dengan latar yang memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan atau belakang sejarah sebagai jauharoh yang persilatan yang sudah “terpelajar” tidak artinya permata, dimana mereka ini adalah mau menamakan dirinya jawara tetapi kiyai lebih senang disebut pendekar. penjajah. Beberapa tokoh jawara menolak Jawara yang yang 2008:96). menentang keras memiliki jika jawara di cap buruk di mata kelebihan ilmu bela diri dan ilmu agama masyarakat, karena mereka memegang yang baik tmenolak jika jawara dicap teguh pengertian bahwa seseorang dapat buruk di sendiri muda (West-Turner, karena mereka disebut jawara adalah seseorang yang pengertian bahwa memiliki kemampuan dalam bela diri seseorang yang disebut jawara adalah yang disertai ilmu agama yang diaplikasikan memiliki kemampuan dalam bela diri dan dalam ilmu agama yang diaplikasikan dalam membela kebenaran dan menjaga stabilitas kehidupan sehari-hari untuk membela keamanan lingkungannya. Jawara dipakai kebenaran stabilitas sebagai kepentingan-kepentingan politik. keamanan lingkungannya.diluar itu tidak Di luar itu tidak dapat dikatakan jawara dapat dikatakan jawara karena asal usul karena asal-usul mereka tidak jelas, selain mereka tidak memang dapat dikatakan dari jalur keturunan, berbaur dalam masyarakat mereka tidak ada darah kejawaraan, dair memegang Banten. masyarakat teguh dan menjaga jelas. jawara kehidupan mereka sehari-hari untuk profesi segi ilmu agama mereka amat kurang dan masing-masing dari kalangan elite jawara perilaku yang membuat onar. Pada era sampai serdadunya elite jawara. ada kekinian jawara mengalami transformasi waktunya nilai yang selalu memakai simbol-simbol para melakukan kehidupan jawara muncul kepermukaan dan melakukan aksi – jawara dengan goloknya 22 Jawara dalam Budaya Banten Peristiwa Komunikasi Jawara Banten Peristiwa komunikasi merupakan unit dasar untuk tujuan deskriptif dimana peristiwa didefinisikan kerumunan jawara, beberapa mahasiswa terluka dalam kejadian itu. 1. Genre (Tipe Peristiwa) sebagai Kebanyakan peristiwa yang keseluruhan komponen yang utuh yang melibatkan jawara ketika ada indikasi dimulai dengan tujuan umum komunikasi. keamanan di daerah Banten terancam, Menemukan apa yang dapat menyusun jawara seakan turun ke jalan untuk peristiwa komunikatif dan kelas peristiwa mengamankan jika posisi mereka terdesak yang maka diketahui di dalam sebuah golok akan beraksi. Peristiwa masyarakat tutur merupakan bagian dari demontrasi yang dilakukan mahasiswa etnografi komunikasi. Ada satu peristiwa ketika ada pelantikan anggota DPRD yang menggambarkan bagaimana Jawara Banten di Serang yang berakhir kerusuhan Banten karena menonjolkan kekerasannya. budaya para jawara tersebut malah Peristiwa itu menimpa menodong golaknya kepada mahasiswa, mahasiswa yang sedang berdemonstrasi merupakan salah satu peristiwa yang dalam rangka pelantikan anggota DPRD menunjukkan fungsi para jawara serdadu Banten. Waktu itu 750 jawara membentuk tersebut, selain mengamankan tapi juga pagar mengelilingi gedung DPRD Banten meresahkan. atas nama pengamanan. Suasana sudah Sama halnya dengan jawara elite mencekam sejak pagi, jumlah polisi hanya yang bergerak di bidang bisnis dan ada hitungan puluhan. Kekerasan terjadi pemerintahan juga melakukan aksi yang ketika sama, dalam arti mengeluarkan golok mahasiswa berjumlah sekitar seratus orang hendak masuk ke gerbang untuk menemui anggota DPRD yang selesai tujuannya. dilantik dengan tujuan menyampaikan 2. Topic (Focus Referensi) aspirasi. Mendekati gerbang mahasiswa mengancam Dari demi peristiwa mencapai demontrasi dihalau oleh jawara yang bahkan beberapa mahasiswa yang berakhir kerusuhan dalam orang diantaranya sempat menghunuskan menghadapi golok. kacir menunjukkan fenomena jawara yang ada menyelamatkan diri ke kampus STAIN di Banten tidak terlepas dari tindakan yang terletak persis di sebrang gedung kekerasan jawaranya karena hal tersebut DPRD. Sebagian mahasiswa membalas terungkap dan dirasakan oleh masyarakat dengan melakukan lemparan batu kearah Banten. Sehingga muncul stigma negatif Mahasiswa kocar duel dengan jawara Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) 23 yang digeneralisasikan bahwa jawara itu mahasiswa yang menuntut keterbukaan orang-orang yang melestarikan budaya dalam kebijakan di wilayah Banten. kekerasan dari pergeseran makna jawara 4. Setting pembela rakyat menjadi jawara musuh Dalam peristiwa bentrokan dengan rakyat. mahasiswa, jawara datang dengan atribut 3. Tujuan (Purpose) kejawaraannya berpakaian hitam-hitam, Keputusan dan perilaku sesuka hati berbondong-bondong dengan memasang khas jawara bukan lain tidak mempunyai wajah tujuan. Setelah lepas campur tangan rezim mengacungkan Orde Baru dan mandiri ketika menjadi golok, jumlah jawara yg “mengamankan” provinsi, lebih terlihat jelas berawal dari garangnya banyak berseru senjata khasnya dibandingkan sambil yaitu jumlah kerjasama yang baik dengan penguasa mahasiswa yang berdemonstrasi. Dengan induk-rezim mempunyai sikap yang intimidatif tersebut serta citra hubungan baik dengan beberapa lapisan jawara di masyarakat yang kurang baik, elite para mampu membuat para mahasiswa yang pengusaha maupun pejabat yang duduk di berdemo berlarian karena takut dengan pemerintahan, ancaman goloknya. negara Orde baru seperti TNI/Polri, menjadikan tujuan kekuasaan tanpa batas dimiliki oleh jawara 5. Partisipan sepenuhnya, meskipun cara-cara mereka untuk mendapatkan harus perilakunya menjadi jawara putih dan menakut-nakuti jawara hitam, menurut aktivitasnya jawara masyarakatnya. Seperti yang terjadi pada terbagi menjadi jawara tulen, jawara peristiwa mahasiwa pengusaha, jawara preman dan gabungan dengan jawara di depan gedung DPRD jawara tulen dan jawara pengusaha.Jawara Banten, putih dianggap masih menghargai nilai- melukai tujuannya Jawara di klasifikasikan menurut dan bentrokan kondisi antara yang terjadi adalah menaku-nakuti mahasiswa dengan senjata nilai tajam khasnya yaitu golok dan teriakan sedangkan mengancam. Hal ini tentu saja membuat fenomena jawara yang ada saat ini. Jawara mahasiswa lari menjauh dari pasukan kebanyakan dilakoni oleh laki-laki, karena jawara tersebut. Tindakan tersebut jelas tidak ada perempuan yang dapat disebut bertujuan untuk melindungi orang-orang jawara. Perempuan hanya dianggap aset berkepentingan yang ada di dalam gedung gender DPRD perempuannya dengan baik. Jawara yang dari ancaman demokrasi etika kejawaraan jawara yang harus dengan hitam baik, merupakan menjaga kodrat 24 Jawara dalam Budaya Banten belum pernah wani biasanya disebut serdadu jawara elite, nyembelih mahasiswa, kesini kalau berani mereka yang melaksanakan tugas di kamu!). lapangan atas perintah para jawara elite siah!” (Saya terlibat bentrokan dengan mahasiswa ini Isi pesan seperti ini atau pihak yang mempunyai kepentingan. menggambarkan dominasi jawara dalam 6. Bentuk Pesan setiap peristiwa kekerasan. Jawara dikatakan tidak ada 8. Urutan Tindakan bedanya dengan masyarakat Banten pada Jawara dianggap sebagai orang- umumnya jika sudah berbaur dengan orang mereka sehari-hari. berorientasi kekuasaan sehingga tidak Namun bentuk interaksinya akan berbeda mampu mengolah suatu tindakan secara jika jawara sedang melakukan aksinya di intelektual. Hal ini tergambarkan pada lapangan dengan peristiwa bentrokan antara jawara dan masyarakat. Meskipun bentuk komunikasi mahasiwa yang berdemonstrasi. Sejak pagi di bentuk suasana sudah mencekam, jawara berdiri komunikasi non verbal tapi di setiap membentuk pagar di depan gedung DPRD ucapan ditujukan untuk menghalau mahasiswa yang akan kepada orang lain maka yang keluar masuk ke gedung. Ketika suasana mulai adalah nada marah melebihi komunikasi memanas, golok atau non verbalnya. yang mengancam secara symbol yaitu dari 7. Isi Pesan senjata khasnya, golok, ataupun teriakan- dalam kehidupan dan bersentuhan lapangan kebanyakan pengancaman yang Isi pesan ini merupakan referensi denotative level mengenai apa yang dikomunikasikan. Biasanya isi pesan yang berpendidikan keluarlah rendah, tindakan-tindakan teriakan ancaman yang membuat para mahasiswa kocar-kacir. 9. Kaidah Interaksi berupa ancaman-ancaman seperti yang Jawara menggunakan properti dilakukan jawara pada peristiwa bentrokan setianya seperti golok dan pakaian serba dengan hitam sebagai aturan turun ke lapangan mahasiswa menyampaikan yang aspirasinya di ingin depan dalam aksinya. Setiap peristiwa gedung DPRD Banten, kocar-kacir setelah komunikasi memiliki kaidah interaksi para mahasiswa yang berbeda. Pada peristiwa demonstrasi dengan mahasiswa yang berakhir ricuh dengan jawara memasuki menghalau gedung DPRD goloknya sambil berteriak “Aing yeuh can jawara pernah nyembelih mahasiswa, kadie mun diantaranya sebagai pelindung kelompok- terdapat kaidah interaksi Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) kelompok berkepentingan bisa dipisahkan dengan Kiai. Umum terjadi di memakai jasa mereka untuk mengamankan dunia pesantren, seorang Kiai tidak hanya situasi. Interaksi yang terjadi pun berubah mengajarkan wujud menjadi bentuk kekerasan secara santri-santrinya, tetapi juga silat, ilmu fisik maupun psikis bagi lawannya. kedigjayaan, Sementara itu yang 25 pada kelompok 1.) Interaksi kesaktian kepada bahkan ilmu Akan tetapi pada perkembangan berikutnya khususnya Kiai dan jawara jawara masyarakat keagaman kebatinan. jawara kaidah interaksi menurut perannya dapat dibedakan menjadi dua. ilmu sebagai umumnya berbeda yang menjalankan profesi di berputar lingkungannya. Ia tidak akan jawara yang dulu sebagai patriot menjadi mengeluarkan atribut orang yang sekedar menjual otot. Tindak kejawaraannya untuk berinteraksi pada menjadi kelompok terpisah seakan-akan secara mahzab. Zaman selanjutnya kriminal dan yang terus mengubah citra premanisme kerap normal dilekatkan. Bahkan dalam perpolitikan dengan masyarakat lain, di sini lokal saat maraknya pemilihan langsung mereka kepala berbaur tanpa ada perbedaan. 2.) Interaksi sebagai jawara yang daerah, kandidat jawara tertentu dimobilisasi sebagai pengumpul suara. Saat ini jawara menjadi kelompok siap menggunakan atribut nya yang untuk mencapai tujuannya. sekelompok golongan yang mempunyai 10. Norma-norma Interpretasi Membahas tentang jawara berarti dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan baik itu dalam hal politik dan kekuasaan. bicara mengenai stigma sementara stigma yang ada di masyarakat Banten belum Tindakan Komunikasi Jawara Banten Dalam penelitian Abdul Hamid tentu kebenarannya hanya karena penilaian secara umum. Jawara adalah realitas sosial masyarakat Banten, sejumlah literature memasukan jawara sebagai subkultur di samping Kiai atau Ulama. Cendekiawan Banten, MA Tihami, dalam kata pengantar untuk buku Tasbih dan Golok (2005) menyebutkan, mulanya jawara tidak dapat tentang Peran Jawara Kelompok Rawu Terhadap Kemenangan Pasangan AtutDjoko Dalam Pilgub Banten 2001-2006 (2004), untuk menegaskan posisinya dan perannya dalam pembangunan di Banten, jawara melakukan beberapa untuk mencapainya, diantaranya: tindakan 26 Jawara dalam Budaya Banten Pertama, dengan cara persuasi, (red. jawara) makin mendominasi di sebagai contoh pada setiap pemilihan Banten. pergeseran makna jawara bukan Gubernur Banten dari awal pembentukan berarti menghilangkan Banten hingga saat ini, dari kepemimpinan budaya sesungguhnya, non formal di pegang Alm. H. Tb Chasan menjadi bagian dari budaya Banten selain Sochib hingga keturunannya, kelompok dunia jawara sebagainya. melakukan pendekatan secara persilatan, norma-norma jawara debus, masih rebana dan intens pada sejumlah partai politik untuk mendukung suara bagi calon kepala daerah yang diusung dari keluarga dinasti. Karena Jawara dilakukan pada setiap Pilkada Banten di helat yang tidak terlepas dari campur Ketiga, intimidasi. Kekuatan massa jawara yang sudah teroganisir dengan baik membantu kelancaran proses penguasaan opini. Jawara melakukan control terhadap media lokal mengenai pemberitaan yang menyangkut jawara, dengan melakukan ancaman langsung ke “korbannya”, strategi lain jawara mengontrol opini dengan “membeli” tulisan wartawan lokal. Sebetulnya disebabkan pergeseran yang masuk dan Islam seiring oleh berkembangnya agama runtuhnya kerajaan Sunda akibat serangan Maulana Yusuf.Meskipun Islam sudah diterima secara luas, namun bukan berarti kehidupan keagamaan dan kepercayaan masyarakat intimidasi terhadap “korban” Keempat, mengalami serangan Banten di bawah pimpinan tangan jawara dapat Budaya Kehidupan keagamaan di Banten telah Kedua, politik uang, cara ini juga Identitas Banten dari hitung-hitungan mereka calon yang diusung nya akan menang. Sebagai citra-citra negative tersebut dapat diubah jika jawara bisa sepenuhnya bercorak Islam.Dalam kenyataan praktik praktik animistis masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.sinkretisme menjadi sebuah kenyataan yang masih mewarnai kehidupan masyarakat Banten. Sehingga antara agama (khususnya Islam) dan magic (kepercayaan) dicampurkan, menghasilkan kebudayaan-kebudayaan yang membentuk image Banten. Dalam cerita-cerita rakyat, kembali ke “khitoh” nya sebagai murid dikalangan Kiai tapi yang terjadi “budaya kekerasan” menyebut Ki Mas Jo dan Ki Agus Jo, dua zaman penjajahan masih terpelihara dengan baik, malah warisan budaya ini masyarakat Banten sering pengawal yang juga bagian dari pasukan temput Sultan Hasanudin dalam proses Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) 27 Islamisasi di Banten, dianggap tokoh- bandit-bandit sosial. Dalam tokoh jawara (Biro Humas Prov. Banten, perkembangannya citra negative itulah 2005) yang bertahan, namun sedikit sisi positif Masyarakat Banten sangat menjaga dari jawara yang eksis sampai saat ini. apa yang menjadi peninggalan budayanya. Meskipun begitu, peran sosial jawara di Mereka juga mempertahankan peranan mata masyarakat Banten dewasa ini masih turun menurun pada jawara, misalnya terbagi dua yaitu, jawara yang memiliki sebagai guru silat, guru ilmu batin (magi), ilmu yang berasa dari agama Islam yang pemain debus, bahkan sebagai tentara memanfaatkan untuk keamana masyarakat wakaf atau biasa di sebut “khodim kiyai”. dan jawara yang memiliki ilmu kedugalan Karena nafas Islam begitu kuat bersanding atau ilmu hitam yang digunakan untuk dengan dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jawara kehidupan sehari-hari dalam masyarakat dianggap sebagai identitas budaya Banten, Banten, maka budaya yang muncul adalah namun budaya animistis yang percaya dengan adanya pelestarian budaya kekerasan yang kekuatan-kekuatan benda keramat dan menjadi keahlian seseorang akan ilmu maginya. digeneralisasikan Hal masyarakat Banten.Padahal pelaksanaan penggunaan tersebut banyak magi dilakukan oleh kelompok jawara atau kiyai. Dengan berjalannya tidak budaya kehidupan menutup ciri khas sebagai kekerasan dilakukan oleh kemungkinan kemudian karakter tersebut oknum-oknum yang sosial dalam masyarakat Banten, aktivitas melabelkan dalam komunitas jawara juga berjalan di jawara.merupakan warisan budaya Banten dalamnya.Peristiwa-peristiwa heroistik di yang masih bertahan sampai saat ini selain sini kebudayaan lainnya yang ada di Banten. melibatkan perjuangan jawara dirinya hanya sebagai bersama masyarakat Banten untuk merebut kembali kemerdekaan dari pemeirntah colonial Belanda. Awal sejarah tentang jawara mencatat, bahwa mereka adalah murid kiyai yang diberi kelebihan ilmu bela diri selain ilmu keagamaan, kemudian makna jawara berkembang menjadi negative ketika Belanda memanfaatkan nama heroik jawara untuk dijadikan Jawara Sebagai Simbol Kepemimpinan Informal Jawara merupakan bagian dari subkultur selain Kiai dan Ulama yang memiliki kedudukan di mata masyarakat Banten. kedudukan itu bukan pelabelan formal melainkan pelabelan informal yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri 28 Jawara dalam Budaya Banten dimana jawara adalah kelompok yang kiyai menjadi pemimpin dalam masyarakat mempunyai sosial. pengaruh kuat sekaligus menembus batas-batas hierarki pedesaan Hal ini sesuai dengan tiga dari di Banten. Jawara sebagai orang yang tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) memiliki keunggulan dalam fisik dan dalam West-Turner (2008: 99) dimana kekuatan-kekuatan memanipulasi asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: kekuatan spiritual, seperti penggunaan 1. Manusia bertindak terhadap manusia jimat oleh lainnya berdasarkan makna yang diberikan masyarakat. Jimat memberikan harapan orang lain kepada mereka. 2. Makna dan memenuhi kebutuhan praktis para diciptakan dalam interaksi antar manusia. jawara, salah satunya adalah kekebalan 3. Makna dimodifikasi melalui proses tubuh dari benda-benda tajam.Keunggulan interpretif. tersebut telah melahirkan sosok jawara diasumsikan masyarakat Banten saat ini yang memiliki karakter yang khas. adalah jawara yang dulu stigmanya keras sehingga Ada yang ia pendapat disegani bahwa jawara Maka makna-makna yang dipelihara sampai sekarang. terbagi dalam dua kelompok, pertama Ketika Kiyai kembali ke pesantren kaum jawara yang memegang teguh ilmu dan sibuk mengurusi para santri dan agama yang disebut “Jawara Ulama”, dan keagamaannya, jawara memilih menetap kedua, kelompok yang mengguanakan di lapisan sosial di mana ia telah “elmu hideung” (ilmu hitam).Penggunaan mendapatkan pelabelan status sosial yang istilah “elmu hideung” bagi orang Banten cukup tinggi di mata masyarakat Banten. adalah ilmu kepandaian untuk memperoleh Ia dibekali ilmu magi dari kiai dimana kekebalan tidak tidak semua orang bisa mendapatkannya, berdasarkan ajaran Islam (Sunatra dalam hal itu merupakan faktor utama yang Lubis, menurut menyebabkan jawara mampu bertahan dan sejarah kerasnya jawara hanya terhadap melakukan metamorfosa posisi mereka kompeni saja.Jawara berangkat dari sikap dari tentara fisik menjadi pemimpin politik kepahlawanan sosial (kadugalan) yang 2002:127).Meskipun tapi dikondisikan masyarakat atau pejabat menyimpang dari sikap itu. Ketika tidak pemerintahan. Jawara memang bukan ada lagi profesi tapi mereka memiliki charisma dan musuh bersama di masyarakat Banten berupa penjajah terjadi pergeseran peran jawara, awalnya sebagai tentara kesaktian bahkan kebal secara fisik. Jurnal Lontar Volume 4 Nomor 3 (September – Desember 2016) 29 dan heroik. Peranannya juga tidak hanya Kesimpulan Jawara adalah yang terbatas kepada guru persilatan, elmu dikonstruksi oleh budaya Banten. Mereka kesaktian atau “tentara wakaf” tetapi juga hadir setelah runtuhnya kesultanan Islam sebagai di Banten, rakyat membutuhkan figure sosial. Bahkan untuk saat ini, jawara yang dapat membantu melawan penjajah memiliki peran penting dalam sosial dimana karena politik masyarakat Banten. Dari berbagai legitimasi kekuatan fisik, ilmu magi dan tindakan jawara untuk mempertahankan ilmu agama dari kiyai. Banten punya eksistensinya di segala sektor di Banten kekhasan, itu terjadi proses komunikasi mereka yang dipertahankan. Dengan kombinasi peran kebanyakan berinteraksi dengan simbol- sosial simbol kejawaraannya. jawara elite menjadi elite embel-embel dan politik, jawara sumber-sumber pemimpin sebuah pergerakan kekuasaan yang didapat jawara sekaligus tindakan sosial jawara menjadikan posisi dan peranan jawara di Banten sangat tinggi. Hal ini menunjukkan eksistensi jawara bukan bereksistensi hanya ada tapi dalam juga rangka mempertahankan pelabelan jawara dan budayanya. Dalam masyarakat Banten yang pernah mengalami tekanan sosial dan politik yang sangat dalam dan lama telah menciptakan budaya kekerasan dikenal sebagai identitas dari lembaga adat Banten. Kemampuannya memanipulasi kekuatan Ibrahim, Abd Syukur. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional Lubis. Nina H. 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3S yang utamanya dimainkan oleh sosok jawara. Yang Daftar Pustaka Hamid, Abdul. 2004. Peran Jawara Kelompok Rawu Terhadap Kemenangan Pasangan Atutu Djoko Dalam Pilgub Banten 20012006. Skripsi. Jakarta. Universitas Indonesia supranatural (magi) dan keunggulan dalam hal fisik telah membuatnya jadi sosok yang ditakuti sekaligus dikagumi, sehingga terkadang muncul menjadi tokoh yang kharismatik Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya ------------2005. Apa dan Siapa Orang Banten. Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten -----------2005` Tasbih dan Golok. Serang: Biro Humas Setda Banten