Menjamin Perlindungan Anak melalui Konstitusi: Urgensi Amandemen UUD 1945 Menuju Konstitusi Anak (Child Constitusion), Sebuah Penjajakan Awal Oleh: Adzkar Ahsinin Pendahuluan Konstitusi dalam sistem demokrasi menjadi prasyarat fundamental dalam menjaga relasi antara warga Negara dengan Negara karena konstitusi dapat menjadi batas-batas bagi kekuasaan Negara yang terepresentasikan melalui lembaga-lembaga Negara dan aparat Negara. Dengan demikian, upaya memberikan batasan terhadap kekuasaan merupakan karakteristik materi konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2010). Konstitusi sebagai batasan terhadap kekuasaan dapat diketemukan pada definisi-definisi konstitusi yang berhasil diindentifikasi oleh Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Konstitusi Ekonomi. Melalui bukunya tersebut Jimly Asshiddiqie mengungkapkan beberapa definisi dari konstitusi: a. Oxford Dictionary of Law mengartikan konstitusi tidak saja (i) aturan tertulis, tetapi juga (ii) praktik-praktik, yaitu apa yang dikerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan negara. Di samping itu yang diatur konstitusi tidak saja berkenaan dengan (i) organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik ditingkat pusat maupun ditingkat pemerintahan daerah, tetapi juga (ii) mekanisme hubungan antarnegara atau organ Negara satu sama lain, dan (iii) hubungan antara organ-organ Negara itu dengan warga Negara; b. Phillips Hood dan Jakson mengemukakan definisi konstitusi sebagai suatu bangunan aturan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susunan dan kekuasaan organ-organ Negara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara berbagai organ itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ Negara tersebut dengan warga Negara; c. Ivo D. Duchacek menegaskan bahwa konstitusi merupakan identifikasi sumber-sumber, tujuan-tujuan , penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum. d. Friedrich mengkaitkan dengan konstitusionalisme yakni sebagai suatu sistem yang terlembagakan menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakantindakan pemerintah. Perihal yang sama juga dinyatakan oleh Sri Sumantri (1984) bahwa materi dalam UUD 1945 pada dasarnya berintikan : a. Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM) dan warga Negara; b. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental; c. Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Selanjutnya, menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2002) juga menyatakan pemikiran yang senada bahwa ide dasar konstitusionalisme yang mencakup supremasi hukum, batasan terhadap kekuasaan Negara, dan jaminan hak-hak sipil rakyat atas kebebasan asasinya. 1|Page Sehubungan dengan jaminan HAM dalam konstitusi, pandangan dari H.J. McCloskey yang dikutip oleh James W. Nickel (1996) mengenai teori pemberian hak. Jaminan HAM dalam suatu konstitusi dapat dikerangkai dengan teori pemberian hak-plus (entitlement-plus theory) dan teori pemberian hak yang diimplementasikan melalui hukum (legally implemented entitlements theory). Teori yang pertama menyatakan bahwa pemberian hak saja tidak dapat membentuk hak secara penuh (fullfledged rights) apabila tidak dilengkapi penanggung jawab yang dibebani kewajiban. karena pemberian hak tidak penuh menjamin kepastian perlindungan HAM. Beban bagi para penanggung jawab ini adalah plus yang ditambahkan pada pemberian hak guna menghasilkan suatu hak yang penuh. Sementara itu, teori yang kedua, mensyaratkan bahwa hak harus diimplementasikan melalui hukum. Oleh karena praktik-praktik penegakan hukum merupakan upaya untuk mewujudkan eksistensi suatu hak. Eksistensi hukum suatu hak dapat ditelusuri dalam sistem dan mekanisme hukum lokal, nasional, maupun internasional. Mengacu pada teori di atas maka konstitusi merupakan condition sine quanon bagi jaminan eksistensi HAM, termasuk hak-hak anak. Dengan diaturnya hak anak dalam konstitusi maka hak anak dan perlindungan anak semakin kuat eksistensinya. Pencantuman hak anak dalam konstitusi membawa implikasi yuridis lebih jauh karena setiap produk peraturan perundang-undangan harus tunduk pada norma konstitusi. Konstitusionalitas Hak Anak dalam UUD 1945 Konstitusionalitas Hak Asasi Manusia (HAM) bagi warga negara terjadi apabila HAM terjamin dan diatur dalam hirarki norma hukum tertinggi yakni substansi HAM ditempatkan dalam suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Pasca Amendem UUD 1945, UUD 1945 mengatur jauh lebih lengkap dibandingkan sebelum amandemen, dari semula hanya 5 pasal yang mengatur HAM (hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, jaminan kemerdekaan beragama dan berkepercayaan, serta hak atas pengajaran, hak atas akses sumberdaya alam)1 menjadi setidaknya 17 pasal (dengan 38 substansi hak-hak yang beragam) yang terkait dengan hak asasi manusia.1 Tabel berikut mendeskripsikan konstitusionalitas HAM dalam UUD 1945 Pasca Amendemen.2 Kualifikasi Hak Hak Sipil dan Hak Politik (Kebebasan) 1 Pasal Yang Jaminan Hak Mengatur Bab X A Hak Asasi Manusia 28A 28I 28D ayat (1) 28I Hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum R. Herlambang Perdana Wiratraman, Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Setelah Amandemen UUD 1945: Konsep, Pengaturan dan Dinamika Implementasi, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasiona, Jurnal Hukum Panta Rei, Vol. 1, No. 1 Desember 2007 2 Tabel tersebut mengadopsi tabel yang dibuat oleh R. Herlambang Perdana Wiratraman dengan beberapa perubahan, ibid 2|Page 28D ayat (3) 28D ayat (4) 28E ayat (1) 28E ayat (1) 28E ayat (1) 28E ayat (2) 28E ayat (3) 28F 28G ayat (1) 28G ayat (2) 28I 28H ayat (4) 28I ayat (1) 28I ayat (1) Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Persamaan) 28B ayat (1) 28C ayat (1) 28D ayat (2) 28H ayat (1) Hak –Hak Solidaritas 28H ayat (3) 28C ayat (2) 28H ayat (1) 3|Page Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Hak atas status kewarganegaraan dan memilih kewarganegaraan Hak bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak berkomunikasi dan memperoleh informasi Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat Hak untuk tidak disiksa Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia Hak memperoleh suaka politik dari negara lain Hak mempunyai hak milik pribadi Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani Hak beragama Hak untuk tidak diperbudak Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif Hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan Hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar Hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, Hak untuk bekerja, mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Hak bertempat tinggal Hak memperoleh pelayanan kesehatan Hak atas jaminan sosial Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya Hak mendapatkan lingkungan hidup 28H ayat (2) 28I ayat (3) Hak bagi Subyek Khusus: Hak Perempuan 28H ayat (2) Hak bagi Subyek Khusus: Hak Anak 28B ayat (2) 34 ayat (1) Hak Sipil dan Hak Politik (Kebebasan) 27 ayat (1) 27 ayat (2) 28 29 ayat (2) Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Persamaan) Hak –Hak Solidaritas 27 ayat (2) 31 ayat (1) 34 ayat (1) 33 ayat (3) Hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak atas identitas budaya Hak masyarakat tradisional dihormati Hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara Bab Lain Persamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak mendapat pendidikan Fakir miskin dipelihara oleh negara Hak atas pemanfaatan sumber daya alam Berdasarkan tabel di atas, konstitusionalitas hak anak sudah dijamin dan diatur dalam UUD 1945 yakni: a. Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa : Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara Konstitusionalisasi norma hukum perlindungan anak membawa implikasi yuridis yakni setiap produk peraturan perundang-undangan yang diajukan dan dibuat oleh legislatif3 dan eksekutif4 harus tunduk terhadap norma konstitusi. 3 Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang Pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama 4 Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR 4|Page Meskipun UUD 1945 hasil amandemen telah mengatur norma perlindungan hak anak, namun demikian UUD 1945 belum secara penuh mengakomodasi norma dan prinsip hak anak yang menjadi semangat Konvensi Hak Anak. KHA dikerangkai 4 prinsip sebagai pilar yang menopang implementasi hak-hak anak yang lain. Keempat prinsip tersebut meliputi: a. Hak untuk diperlakukan sama (non-diskriminasi); b. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; c. Keputusan berdasarkan kepentingan terbaik anak; d. Menghormati pandangan anak (partisipasi) Dua dari 4 prinsip KHA tersebut yakni: (i) prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan (ii) prinsip menghormati pandangan anak belum terakomodasi dalam UUD 1945. Dengan demikian, prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip menghormati pandangan anak belum menjadi norma konstitusi. Implikasi yuridis akibat belum diaturnya kedua prinsip ini dalam konstitusi maka hak anak belum sepenuhnya terjamin dalam sistem hukum yang ada. Hal sebaliknya terjadi apabila seluruh prinsip KHA diakomodasi menjadi norma konstitusi maka semua peraturan perundang-undangan yang ada harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan norma konstitusi yang berlaku. Komitmen penuh Negara untuk menjamin hak-hak anak mensyaratkan Negara mengabadikan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi. Konstitusi berfungsi sebagai kerangka bagi penyusunan dan pelaksanaan undang-undang nasional dan kebijakan untuk menjamin realisasi perlindungan dan pemenuhan hak anak. Lebih jauh konstitusionalitas hak anak karena memiliki status standar norma tertinggi maka tindakan Negara yang terformulasikan dalam peraturan perundang-undangan dapat dieksminasi kesesuaiannya dengan konstitusionalitas hak anak. Hal ini sesuai dengan substansi norma Pasal 3 KHA yang mengatur tindakan yang dilakukan pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, pengadilan, birokrasi dan legislative harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Dengan demikian tanpa ada norma konstitusi hak anak maka hak-hak anak tidak dapat dijamin. Komitmen ini merupakan kewajiban yuridis Negara yang tercantum dalam Pasal 4 bahwa Negara harus melakukan reformasi hukum sehingga hak anak yang diakui dalam KHA terealisasi sepenuhnya. Langkah utama implementasi ketentuan Pasal 4 KHA untuk memberikan perlindungan terhadap anak adalah dengan mengatur hak-hak anak dalam konstitusi langkah. Langkah ini semestinya diikuti dengam membangun legislasi nasional untuk mengembangkan sistem perlindungan anak karena Indonesia sepenuhnya terikat dengan KHA setelah meratifikasi KHA melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Dalam hal ini konstitusi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan upaya reformasi kebijakan dan legislasi dan ekspresibagi Negara untuk memberikan prioritas wilayah kebijakannya agar responsif terhadap kebutuhan spesifik anak. Hal yang lebih mendasar lagi dari langkah mereformasi konstitusi adalah memperkuat anak-anak sebagai subyek hak (right holders) bukan hanya sebagai obyek belas kasihan. Selanjutnya konstitusi juga berfungsi bagi upaya pemulihan bagi setiap anak yang hak konstitusionalnya dilanggar melalui mekanisme administrasi dan proses yudisial (Nadine Perrault , et.al.,2008). Dengan kata lain anak sebagai subyek hak memiliki konstitusionalitas hak untuk mengajukan tuntutan agar hak-haknya dilindungi dan dipenuhi melalui mekanisme nasional yang ada. 5|Page Menurut, Nadine Perrault , et.al.,(2008), reformasi hukum dalam konteks pembentukan norma konstitusi hak anak dapat diinisasi melalui 2 (dua) proses yakni: a. Memformulasikan konstitusi yang baru b. Merivisi atau mengamandemen konstitusi yang telah ada. Dalam hal melakukan reformasi hukum, termasuk reformasi konstitusi harus tetap berada pada koridor prinsip-prinsip (Nadine Perrault et.al., 2008), sebagai berikut: a. universalitas hak-hak; b. saling ketergantungan dan keterkaitan hak; c. non diskriminasi dan kesetaraan; d. partisipasi semua stakeholder sebagai subyek hak; e. akuntabilitas dari semua pengemban tugas melaksanakan kewajiban HAM dan supremasi hukum. Seperti pendapat Mosikatsana T.L yang dikutip oleh Nadine Perrault , et.al., (2008), pengaturan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA menjadi norma konstitusi sangat signifikan dalam mengimplementasikan KHA secara efektif di Negara pihak karena konstitusionalitas tersebut akan berdampak positif sebagai berikut : a. Pengaturan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi secara spesifik akan memicu dan memberikan loncatan bagi upaya reformasi legislatif; b. Kemanfataan minimal, konstitusionalitas akan memberikan legitimasi bagi wacana politik hak-hak anak dan memberikan justifikasi politik bagi pemerintah dalam menetapkan dan mengeluarkan anggaran untuk program sosial bagi anak-anak; c. Dengan adanya alokasi pengaturan khusus bagi hak anak pada hukum tertinggi (supreme law) negara, maka anak secara legal dilekati hak dan dipandang sebagai subyek hak; d. Anak dimungkinkan untuk melakukan tuntutan (claim) substansial kepada negara karena anak memiliki hak konstitusional yang harus dijamin dan dilindungi; e. Memungkin anak mempergunakan mekanisme hukum sebagai upaya untuk melindungi dari erosi kemanfaatan sosial yang seharusnya menjadi kewajiban negara; f. Meningkatkan justisiablitas hak anak sehingga hak anak dapat ditegakkan; g. Penawaran pemerintah dapat terjustifikasi secara politik untuk penyediaan dan kemanfaatan bagi anak sehingga isu anak menjadi prioritas dalam pendistribusian sumber daya yang terbatas; h. Memberikan justifikasi secara moral dan legal terhadap pemerintah untuk menetapkan pengeluaran belanja untuk kesejahteraan sosial karena akan mempengaruhi kebijakan fiskal di suatu Negara. Kategorisasi Konstitusi Negara dalam Perspektif HAM Untuk melihat sejauhmana suatu Negara melindungi hak-hak anak dapat merujuk pada pengkategorian konstitusi suatu Negara yang diinisiasi oleh Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow dalam studi Laying the Foundations for Children’s Rights: An Independent Study of some Key 6|Page Legal and Institutional Aspects of the Impact of the Convention on the Rights of the Child. Pengaturan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi suatu negara signifikan karena akan menentukan bagaimana kebijakan Negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak disusun. Pengakuan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA menjadi norma konstitusi secara nyata berdampak pada pemajuan hak-hak anak karena hak tersebut dapat diperkuat kembali melalui peraturan perundang-undangan sebagai derivasi norma konstutusi tersebut. Oleh karenanya Komite Hak Anak menyambut baik Negara yang melakukan inkorporisasi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dalam konstitusi Negara pihak. Sejalan dengan hal ini, Komite Hak Anak juga mendorong Negara pihak yang lain yang belum melakukan inkorporisasi prinsip-prinsip dan norma-norma KHA untuk melakukan langkah yang serupa (Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow, 2005). Menurut mereka terdapat 3 (tiga) kategorisasi yang diajukan oleh Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow dalam untuk mengeksaminasi sejauhmana konstitusi suatu negara memberikan perlindungan hak anak yakni: 1. Konstitusi anak yang tersembunyi (‘The invisible child’ constitution), yakni konstitusi tidak mengekspresikan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan anak-anak. Substansi-substansi konstitusi yang dapat dikategorikan dalam kelompok ini adalah: a. Konstitusi memang memuat beberapa referensi HAM, namun tidak terdapat referensi yang mengatur hak-hak anak secara khusus lebih dikarenakan pertimbangan usia dan relativitas kultural; b. Konstitusi mengasumsikan bahwa hak asasi anak sudah tercakup secara penuh dengan cara menafsirkan referensi HAM yang ada. Manakala pengalaman historis tidak menunjukkan praktik-praktik positif yang sama terhadap penghargaan hak asasi anak maka jurisprudensi menjadi penting untuk menegakkan hak asasi anak c. Konstitusi secara historis telah menetapkan prinsip dasar hak anak, namun terdapat korelasi yang terbalik antara memperluas cakupan aturan hak-hak anak dan praktikpraktik penghargaan terhadap hak asasi anak. 2. Konstitusi perlindungan khusus (The special protection constitution), yakni konstitusi telah merefleksikan perlakuan khusus yang ditujukan untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan dari situasi yang mengancam terhadap kehidupan mereka. Suatu konstitusi dikatakan memberikan perlindungan khusus yang dapat direfleksikan dengan cara sebagai berikut : a. Konstitusi menekankan pada aturan perlindungan ketimbang pengaturan hak anak sehingga aturan yang relevan dengan perlindungan terhadap anak lebih mengemuka; b. Perspektif utama konstitusi melalui pendekatan perlindungan khusus bagi anak untuk merefleksikan hak asasi anak telah menjadi perhatian; c. Ruang lingkup isu hak asasi anak dalam konstitusi masih terbatas jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan dalam KHA. Isu-isu khusus anak yang masuk dalam konstitusi meliputi : (i) perlindungan terhadap keluarga dan ibu (protection of the family and of motherhood); (ii) perlakuan khusus terhadap anak dalam perlindungan dan perwatan (special measures of protection and assistance for children); (iii) non diskriminasi dalam perlakuan (non-discrimination in relation to these measures ); (iv) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial (protection of children from economic and social 7|Page exploitation); (v) perlindungan dari kondisi berbahaya dan pekerjaan berbahaya (protection from harmful or dangerous work); dan (vi) pembatasan usia anak yang dipekerjakan (age limits for child labour). 3. Konsitusi hak asasi anak (The children’s rights constitution), yakni konstitusi yang telah mengakomodasi seluruh prinsip-prinsip dan atau sebagian norma-norma yang terkandung dalam KHA. Konstitusi hak asasi anak ditandai dengan hal-hal berikut: a. Konstitusi telah mengadopsi secara khas pendekatan hak anak dengan menyebutkan satu persatu hak-hak anak; b. Meskipun hanya sedikit hak asasi anak yang dijamin dalam KHA terekspresikan dalam konstitusi, namun konstitusi telah mengatur isu-isu anak yang sangat penting; c. konstitusi telah memuat spectrum hak asasi anak yang luas, namun belum belum mengatur secara spesifik partisipasi anak. Menurut hasil studi Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow, Konstitusi Indonesia termasuk konstitusi kategori kedua di mana isu yang menjadi substansi konstitusi secara eksplisit (tersurat) hanya kewajiban untuk memberikan perlindungan/dukungan terhadap kelompok anak tertentu seperti anak yatim, difabel, dan anak-anak yang sangat membutuhkan (a special obligation to protect/support certain groups of children such as orphans, the disabled and needy).5 Selain telah mengatur perlindungan khusus bagi anak khususnya anak terlantar, pasca amandemen UUD 1945 juga telah mengatur hak anak meski secara terbatas.6 Terkait dengan hal di atas, permasalahan konstitusionalitas suatu hak, dapat juga mengacu pada pembagian kategorisasi konstitusi dalam kaitan dengan hak atas lingkungan yang sehat yang diungkapkan oleh Mas Achmad Santosa dalam Kata Sambutan dalam buka karangan Jimly Asshiddiqie yang berjudul Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945. Menurut Mas Achmad Santosa, dalam konteks perlindungan terhadap lingkungan hidup, komitmen Negara yang termanifestasikan dalam konstitusi terbagi menjadi 4 (empat) kategori. Dengan mengadopsi pembagian kategori tersebut dan dikaitkan dengan komitmen Negara terhadap hak anak dapat dilihat seberapa besar komitmen suatu Negara dapat diuraikan di bawah ini. 7 a. Kategori Komitmen Tinggi Terdapat pengakuan bahwa anak sebagai subyek hak yang dilekati dengan hak-hak subyektif (subjective rights) sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik anak dan kewajiban Negara (the duty of the state) dalam memberikan perlindungan terhadap anak, serta arah dari kebijakan sosial Negara dalam menjamin kesejahteraan anak berdasarkan prinsip-prinsip KHA dalam kemasan khsusus child charter. Kategori ini menawarkan paradigm baru anak dipandang sebagai warga Negara yang setara dengan warga Negara dewasa. b. Kategori Komitmen Memadai Terdapat pengakuan anak sebagai subyek hak dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan kepada anak dalam pasal-pasal khusus (tidak dicampurkan atau ditumpangkan dengan hak-hak asasi lain), tanpa disertai arah kebijakan sosial Negara dalam memberikan perlindungan bagi anak-anak. 5 Lihat Pasal 34 (1) yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Lihat Pasal 28B ayat (2) 7 Mas Achmad Santosa dalam Jimly Asshidiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 6 8|Page c. Kategori Komitmen Sedang Terdapat pengakuan anak sebagai subyek hak tanpa mengakui secara spesifik kewajiban Negara dalam memberikan perlindungan kepada anak. Namun terdapat muatan tentang pola dan arah perlindungan anak meskipun tidak ditempatkan dalam pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampur dengan pengaturan hak-hak asasi lainnya. d. Kategori Komitmen Rendah Konstitusi sama sekali tidak mengakui norma konstitusi terkait dengan pengakuan anak sebagai subyek hak dan kewajiban Negara dalam memberikan perlindungan kepada anak serta tidak mencantumkan pola dan arah kebijakan sosial dalam memberikan perlindungan kepada anak. Urgensi Menjadikan Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak dan Prinsip Partisipasi menjadi Norma Konstitusi Pendekatan berbasis hak dalam memformulasikan konstitusi memperhitungkan norma internasional yang bersifat umum maupun norma yang spesifik yang mengutamakan anak, anak sebagai subyek hak dari kedua standar norma tersebut. Apabila inkorporisasi seluruh norma hukum HAM Internasional belum memungkin dilakukan maka inkorporisasi dapat dengan cara mengadopsi prinsip-prinsip standar hukum HAM Internasional baik yang bersifat umum maupun khusus (Nadine Perrault , et.al., 2008). Berdasarkan hal ini maka terdapat prinsip-prinsip dan norma-norma instrumen hukum HAM Internasional minimal yang dapat diadopsi menjadi norma konstitusi berbasis perlindungan hak anak dapat dideskripsikan berdasarkan ragaan di bawah ini. DUHAM Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya Konvensi Hak Anak Inkorporisasi/Transformasi Negara Pihak Konstitusi Negara Pihak 9|Page Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Melihat pengaturan yang ada dalam UUD 1945 yang telah memiliki dimensi pengaturan hak anak dan perlindungan anak maka UUD 1945 masih termasuk kategori berkomitmen sedang. Pengkategorian ini melihat indikator-indikator sebagai berikut: a. Pengaturan norma konstitusi hak anak masih bersifat umum belum merinci hak-hak anak sebagaimana diatur dan dijamin dalam KHA; b. Pengaturan norma konstitusi hak anak masih ditempatkan bersama-sama dengan pengaturan hak-hak asasi lain belum diatur secara khusus. c. Di samping itu, UUD 1945 belum mengatur pola kebijakan sosial sebagai arah perlindungan bagi anak-anak sesuai dengan karakteristik haknya yang spesifik. d. Lebih jauh, prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip partisipasi juga belum diakui sebagai norma konstitusi. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak merupakan salah prinsip yang menjamin efektifnya implementasi KHA dan merupakan hak dasar bagi operasionalisasi hak-hak lain dalam KHA. Kepentingan terbaik bagi anak terkait dengan pasal-pasal yang mengatur hal-hal (Canadian Coalition for the Rights of Children, 2009) sebagai berikut: a. Kepentingan terbaik bagi anak menjadi satu-satunya alasan untuk memisahkan anak dari orang tua (Pasal 9 ayat (1)) dan satu-satunya alasan untuk menolak melakukan kontak dengan orang tua (Pasal 9 ayat (3)); b. Tanggung jawab bagi orang tua untuk mendewasakan anak untuk tetap memperhatikan kepentingan terbaik dari anak (Pasal 18) c. Kepentingan terbaik bagi anak terkait dengan pengasuhan alternatif bagi hak anak dengan memperhatikan latar belakang identitas budaya agama, budaya dan bahasa (Pasal 20); d. Kepentingan terbaik menjadi landasan utama bagi upaya adopsi (Pasal 21); e. Kepentingan terbaik bagi anak sebagai faktor pertimbangan utama untuk memberikan akses keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak harus dipisah dengan tahanan dewasa kecuali kepentingan terbaik bagi anak menjadi pertimbangan untuk menyatukan dengan tahanan dewasa (Pasal 37 dan Pasal 40); f. Menjamin hak anak untuk mendapatkan proses pengadilan yang adil kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik bagi anak terutama dengan memperhatkan usia atau keadaannya (Pasal 40). Mengingat pentingnya prinsip kepentingan terbaik dalam mengefektifkan implementasi hak-hak yang lain maka menjadikan prinsip ini sebagai norma konstitusi merupakan conditio sine quanon. Prinsip ini dapat menjadi kerangka hukum dan landasan utama dalam menyusun kebijakan termasuk dalam reformasi legislatif, penganggaran, perencanaan, dan pemrograman. Dengan kata lain prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang diatur dalam Pasal 3 KHA merupakan kunci utama bagi upaya pengembangan norma konstitusi dan menjadi referensi ketika menginterpretasi ketentuan yang saling kontradiktif sehingga memperkuat anak sebagai subyek hak. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak sudah menjadi norma konstitusi seperti tercantum dalam Konstitusi Negara Afrika Selatan dan Negara Ethiopia (Nadine Perrault, et.al., 2008). Konstitusi Negara Afrika Selatan Pasal 28 ayat (2) menyatakan bahwa: Kepentingan terbaik bagi anak merupakan pertimbangan terpenting dalam setiap hal yang terkait dengan anak. 10 | P a g e Sementara Konstitusi Negara Ethiopia dalam Pasal 36 ayat (2) menetapkan bahwa: Dalam semua tindakan mengenai anak yang diambil oleh institusi kesejahteraan sosial baik privat maupun publik, lembaga pengadilan, dan badan-badan administrasi harus berdasarkan pada pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak. Tabel berikut menunjukkan Konstitusi Negara yang telah menjamin konstitusionalitas prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Pasal dalam KHA Pasal 3 ayat (1) Norma yang Diatur Kepentingan terbaik bagi anak Konstitusi Negara dan Pasal yang Mengatur Ekuador Pasal 48 Ethiopia Pasal 36 ayat (2) Gambia Pasal 29 ayat (1) Namibia Pasal 15 Afrika Selatan Pasal 28 ayat (2) Uganda Pasal 34 ayat (1) Sumber: Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow, 2005 Kemudian prinsip partisipasi anak semestinya juga menjadi norma konstitusi karena terkait dengan pemenuhan baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya anak. Dalam hal ini partisipasi dapat didefiniskan sebagai proses melibatkan individu maupun kelompok dengan sarana yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam kegiatan bernegara dalam lingkup politik, ekonomi,sosial,dan budaya. Namun demikian prinsip partisipasi anak, yakni pandangan anak didengar terkait dengan permasalahan yang berdampak pada kehidupan mereka belum diterima sepenuhnya di banyak Negara di dunia termasuk Indonesia. Partisipasi anak termasuk ruang lingkup aturan umum hak sipil dan politik yang mengekspresikan hak atas kebebasan ekspresi, berkumpul, dan memperoleh informasi. Dengan demikian hak partisipasi anak perlu mendapatkan dorongan agar menjadi perspektif dalam konstitusi. Seperti halnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak, Komite Hak Anak juga menegaskan bahwa Pasal 12 KHA merupakan prinsip yang sangat fundamental karena relevan dengan implementasi keseluruhan hak anak yang dijamin dalam KHA. Di samping itu pasal ini dipergunakan sebagai kerangka dasar untuk menginterpretasikan seluruh pasal dalam KHA. Paragraf 1 Pasal12 mensyaratkan Negara untuk memastikan bahwa setiap anak mampu membentuk pandangannya sendiri untuk mengekspresikan pandangansecara bebas dalam setiap permasalahan yang berdampak pada kehidupannya. Namun pandangan anak tersebut harus diberikan bobot sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. 11 | P a g e Komite secara konsisten menekankan bahwa anak harus dianggap sebagai subjek hak yang aktif dalam pembuatan kebijakan. Pengimplementasian hak untuk berpartisipasi8 harus dikaitkelindankan dengan hak anak atas kebebasan berekspresi (Pasal13); kebebasan atas berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 14); dan kebebasan berorganisasi (Pasal 15), sehingga anak memiliki status sebagai individu yang dilekati hak-hak yang mendasar dan memiliki pandangan dan perasaaan sendiri. Selanjutnya Komite menolak pendekatan belas kasihan dan paternalistik dalam menyelesaikan isu anak. Oleh karenanya Negara pihak dalam mengimplementasikan norma Pasal 12 melakukan identifikasi praktik tradisional, budaya, dan tingkah laku yang menghalangi partisipasi anak (Rachel Hodgkin and Peter Newell, 2002). Dalam perspektif HAM, upaya reformasi legislatif terkait dengan implementasi KHA, pendekatannya berbasis pada pengakuan penuh partisipasi anak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki sebagai subyek hak masyarakat sipil. Artinya pendekatan ini membutuhkan partisipasi penuh masyarakat sipil dalam seluruh proses pembuatan peraturan perundang-undangan, mulai dari perancangan, perdebatan di legislatif, dan persetujuan karena hasilnya akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung pada kehidupan anak-anak. Pendekatan ini lebih jauh akan berdampak pada efektivitas upaya legislasi pada seluruh segmen masyarakat sipil dan keseluruhan aspek kehidupan anak-anak (Nadine Perrault , et.al., 2008). Konstitusi Negara yang telah menjadikan prinsip hak anak untuk berpartisipasi sebagai norma konstitusi dapat ditemukan pada tabel di bawah ini. Pasal dalam KHA Pasal 12 Norma yang Diatur Partisipasi Konstitusi Negara dan Pasal yang Mengatur Angola Pasal 30 ayat (2) Kolombia Pasal 45 Ekuador Pasal 49 Finlandia Pasal 5 ayat (3) Paraguay Pasal 56 Polandia Pasal 72 ayat (3) Romania Pasal 45 ayat (5) Swiss Pasal 11 ayat (2) Sumber: Philip Alston, John Tobin, dan Mac Darrow, 2005 Seperti disebut pada tabel di atas, Konstitusi Romania dalam Pasal 45 ayat (5) mengatur mengenai partisipasi anak. Pasal ini menyatakan bahwa: Otoritas publik terikat berkontribusi untuk menjamin terhadap kondisi partisipasi bebas kaum muda dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan olah raga. 8 Untuk melihat kewajiban Negara untuk menjamin partisipasi anak, Komite Hak Anak telah mengeluarkan Komentar Umum No. 12 (2009)mengenai hak anak untuk didengar (The right of the child to be heard) 12 | P a g e Kemudian Konstitusi Polandia dalam Pasal 72 ayat (3) menetapkan bahwa: Organ otoritas publik dan orang yang bertanggung jawab untuk anak-anak, dalam rangka pengembangan hak-hak anak, harus mempertimbangkan dan, sejauh mungkin, memberikan prioritas kepada pandangan anak. Di samping itu, meskipun sudah diamandemen hak perempuan juga luput sebagai norma konstitusi sehingga berdampak pada perlindungan terhadap kelompok perempuan dan terwujudnya kesetaraan gender dalam kehidupan bernegara. Semestinya UUD 1945 berkesesuaian dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984. Artinya konstitusi harus melindungi perempuan dari praktik-praktik diskriminasi baik yang bersumber dari budaya maupun agama. Namun, dalam UUD 1945 tidak satu pun Bab X A tentang HAM yang mengatur hak asasi perempuan. Terdapat 1 pasal yang dapat diinterpretasikan sebagai upaya perlindungan terhadap kelompok perempuan yakni Pasal 28H ayat (2) yang mengatur tindakan khusus sementara (affirmative action) atau diskriminisi positif. Konstitusi seharus sesuai dengan standar norma-norma internasional HAM, termasuk ketentuan yang menjamin kesetaraan laki-laki dan perempuan di bawah hukum. CEDAW telah menciptakan kewajiban yang mengikat yang harus dilaksanakan dengan itikad baik untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak. Perlindungan utama yang dimandatkan CEDAW adalah kewajiban-kewajiban untuk mengimpelemtasikan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan baik secara formal maupun de jure dan kesetaraan substantif atau kesetaraan secara de facto. Kewajiban kesetaraan secara substantif mensyaratkan pengaturan dalam konstitusi agar hak-hak perempuan terjamin dan terlindungi. KHA dan CEDAW telah memperkenalkan perspektif gender dalam upaya melakukan reformasi legislatif untuk merubah sistem hukum yang menghalangi anak perempuan dan perempuan menikmati hak-haknya. Isu gender merupakan titik kritis dalam membangun kerangka hukum untuk merealisasikan perlindungan dan pemenuhan hak anak dan hak perempuan (Nadine Perrault , et.al., 2008). Sehubungan dengan permasalahan ini Rekomendasi Umum No.23 Tahun 1997 tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik menyatakan bahwa Negara wajib menjamin hak perempuan dalam kehidupan publik dalam konstitusinya. Kemudian dalam Rekomendasi Umum No.25 Tahun 2004 tentang Tindakan Khusus Sementara juga dinyatakan bahwa hal yang sama. Berdasarkan hal ini dengan belum diaturnya hak konstitusi perempuan secara khusus dalam UUD 1945 maka akan berdampak pada ketiadaan jaminan hukum hak perempuan dan hak anak perempuan. Kesimpulan Dony Gahral Adian (2010) mengutip pandangan dari Thomas Paine yang menyatakan bahwa konstitusi bukan tindakan penguasa, melainkan tindakan rakyat yang mengonstitusi pemerintahan, pemerintahan tanpa konstitusi adalah kekuasaan tanpa hak. Mengacu pendapat Thomas Paine maka sudah seharusnya anak sebagai bagian integral rakyat Indonesia diakui eksistensi konstitusionalnya sebagai subyek hak yang penuh dan setara. Upaya 13 | P a g e yang seharusnya dilakukan adalah kembali melakukan amandemen minimal untuk menjadikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak dan prinsip partisipasi anak menjadi norma konstitusi. Namun upaya reformasi hukum ini akan lebih mendekati kondisi ideal apabila norma-norma dalam KHA yang sangat fundamental diinkorporisasi/ditransformasi menjadi norma konstitsui sehingga UUD 1945 kelak menjadi Konstitusi Hak Anak. 14 | P a g e