Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional A. Pengertian Anak yang Berhadapan dengan Hukum H ukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus dan/ atau dapat1 dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi (kelembagaan). 2 Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), dimaknai sebagai : Seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana. 3 Persinggungan dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang dikonstruksikan pada anak.4 Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. 5 Dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.6 Hukum internasional memiliki 2 (dua) sifat , yakni instrumen yang mengikat secara hukum (legally binding instrument) dan instrument yang tidak mengikat secara hukum (instruments not legally binding) namun memiliki kekuatan secara moral (have morally persuasive force), Sifat mengikat ini bergantung pada jenis intrumen hukum internasional tersebut. Instrumen Hukum internasional yang berbentuk perjanjian internasional (treaty) seperti 1 kovenan, konvensi, protocol memiliki sifat mengikat secara hukum. Negara yang telah meratifikasi suatu intrumen perjanjian internasional harus melaksanakan kewajiban hukum berdasarkan prinsip itikad baik (pacta sunt servanda principles). Apabila instrument tersebut diformulasikan dalam bentuk deklarasi, guidelines, prinsip-prinsip biasanya memiliki karakteristik tidak mengikat secara hukum. Negara tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakannya, namun instrument tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan (sumber) hukum. 2 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, Improving the Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile justice, UNICEF ROSA, 2006 3 UNICEF, Child Protection Information Sheet, Child Protection INFORMATION Sheet, 2006 4 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, op.cit 5 Nikhil Roy & Mabel Wong, Juvenile Justice : Modern Concepts of Working with Children in Conflict with the Law, Save the Children UK, 2004 6 Anna Volz, Advocacy Strategies Training Manual: General Comment No.10: Children’s Rights in Juvenile Justice, Defence for Children International, 2009 Page 1 of 21 Mengacu pada proses ini, maka terdapat 3 (tiga) tahap peradilan anak, tahap pertama, mencakup pencegahan anak dari tindak pidana. Tahap ini meliputi implementasi tujuan kebijakan sosial yang memungkinkan anak dalam pertumbuhannya sesuai dengan kepentingan terbaiknya. Tahap kedua, ditandai anak bersentuhan dengan prosedur formal sistem peradilan pidana. Tahap ini merupakan bentuk tanggung jawab anak melalui proses peradilan pidana. Tahap ketiga, resosialisasi diawali dari proses isolasi di lembaga pemasyarakatan sampai pembebasan anak.7 Sebangun dengan kerangka di atas, standar internasional sistem peradilan pidana anak pada prinsipnya ditujukan untuk mendorong kekhususan praktik-praktik peradilan pidana anak dan mengembangkan sistem peradilan pidana yang berbeda sehingga perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya.8 Hal ini dikarenakan terdapatnya kesenjangan tingkat kematangan antara orang dewasa dengan anak, baik secara moral, kognitif, psikologis, dan emosional.9 Oleh karenanya, dalam membangun sistem peradilan anak semestinya berperspektif bahwa anak yang berhadapan dengan hukum pada dasarnya merupakan korban, meskipun anak tersebut telah melakukan tindak pidana. B. Sistem Peradilan Pidana Anak Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child) menandaskan bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana yang dipisahkan secara khusus bagi anak sehingga anak dapat menikmati perlindungan hukum (due process) dan hak asasi yang melekat padanya. Pemisahan ini menjadi conditio sine quanon karena mereka masih di bawah umur. Lebih jauh Komite mengintepretasikan bahwa sistem peradilan pidana yang bersifat khusus ini merupakan upaya perlindungan khusus karena anak yang berhadapan dengan hukum dikategorikan sebagai kelompok rentan (vulnerable groups).10 Kerentanan anak yang berhadapan dengan hukum menjadi rasionalitas dan justifikasi bagi Komite Hak Anak untuk menekan negara mengupayakan suatu konstruksi sistem peradilan pidana yang memberikan perlindungan khusus. Hal ini disebabkan anak-anak rentan menjadi korban tindak kekerasan oleh aparat penegak hukum manakala ia ditangkap dan ditahan, seperti: pemukulan, penyiksaan, atau tindakan lain yang kejam dan tidak manusiawi. Pada titik ini pula anak seringkali tidak didampingi atau tanpa kehadiran orang tuanya, pekerja sosial atau pengacara sehingga risiko mengalami kekerasan dan intimidasi semakin tinggi. Lebih jauh mereka juga berpotensi menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh individu-individu yang berada dalam institusi-institusi penegak hukum. Tingkat kerentanan dan risiko mengalami kekerasan semakin tinggi dialami oleh anak perempuan, khususnya tindakan pelecehan seksual dan penyalahgunaan kewenangan selama penahanan dan investigasi. Dampak lebih jauh, mereka berpotensi terpapar HIV/AIDs dan penyakit menular lainnya. Kemudian, isu yang terkait dengan tahanan atau narapidana perempuan, khususnya anak perempuan, berkisar pada keselamatan dan kenyamanan, yang Barbara Henkes, The Role of Education in Juvenile Justice in Eastern Europe and The Farmer Soviet Union, Constitutional & Legal Policy Institute, Hungary, 2000 8 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, op.cit 9 Hangama Anwari, Justice for The Children: The situation for children in conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC, tanpa tahun 10 Barbara Henkes, op.cit. Pengertian kelompok rentan pada dasarnya sebangun dengan pengertian anak dalam sitausi sulit maupun aak yang membutuhkan perlindungan khusus. 7 Page 2 of 21 mencakup isu kelembagaan, seperti penempatan ruang, fasilitas, dan pelayanan kesehatan reproduksi. Bahkan perempuan termasuk anak perempuan yang dicabut kebebasannya karena berjenis kelamin perempuan, berpotensi mengalami penganiayaan berbasis gender (gender spesific torture). Terkait dengan permasalahan di atas Aturan Standar Minimum PBB bagi Tahanan (UN Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners) Paragraf 8 menegaskan bahwa: Perbedaan kategorisasi tahanan harus dijaga melalui pemisahan institusi atau bagian dari institusi penahanan berdasarkan jenis kelamin, usia, catatan tindak pidana yang dilakukannya, alasan hukum penahanan atau perlakuan terhadap mereka. Pada dasarnya terdapat 4 (empat) cakupan komponen dari sistem peradilan pidana, meliputi: a. Substansi hukum pidana (substantive criminal law (law of crimes)). fokus pada penentuan jenis tindakan yang dikualifikasi sebagai tindakan salah atau ilegal; b. Tanggung jawab pidana (criminal responsibility) , fokus pada penentuan kriteria untuk menetapkan seseorang dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya dan dapat memikul sanksi atas tindak pidana tersebut. Penetapan ini berdasarkan elemen mental atau kapasitas untuk melakukan tindak pidana; c. Proses tindak pidana (criminal process), fokus pada metode yang dipergunakan untuk menentukan aturan hukum pidana yang dilanggar dan mengidentifikasi seseorang dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang dilakukannya; d. Hukuman pidana (sentencing), fokus pada hukuman yang harus ditanggung akibat tindak pidana yang dilakukan seseorang dan jenis-jenis hukuman pidana yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya.11 Mengacu pada keempat komponen tersebut dan mengkaitkannya dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, maka kekhususan sistem peradilan pidana anak harus mencakup keempat komponen sistem peradilan pidana. Kekhususan ini untuk menegaskan bahwa hukum yang mengatur anak yang berhadapan dengan hukum merupakan rezim hukum tersendiri (sui generis). Oleh karena substansi hukum yang medasarinya harus bersifat lex spesialis. Dalam upaya membangun rezim hukum anak yang berhadapan hukum, terdapat 4 (empat) fondasi KHA yang relevan untuk mengimplementasikan praktik peradilan pidana anak, yakni: a. Kepentingan terbaik bagi anak, sebagai pertimbangan utama dalam setiap permasalahan yang berdampak pada anak (Pasal 3); b. Prinsip non diskriminasi, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak (Pasal 2); c. Hak anak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang (Pasal 6); d. Hak anak atas partisipasi dalam setiap keputusan yang berdampak pada anak, khususnya kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang mempengaruhi anak (Pasal 12). Komite Hak Anak PBB, dalam Komentar Umum12 No. 10 tentang Hak Anak dalam Sistem Peradilan Pidana (children’s rights in juvenile justice) menegaskan kembali prinsip-prinsip dalam 11 Gerry Maher, Age and Criminal Responsibility, Ohio State Journal of Criminal Law, Vol 2: 493 Page 3 of 21 menangani anak yang berkonflk dengan hukum. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam komentar umum tersebut meliputi: a. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus konsisten dengan upaya mewujudkan kehormatan dan harga diri anak; b. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus menegakkan penghormatan terhadap hak anak dan kebebasan dasar lainnya; c. Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus memperhitungkan usia anak dan memajukan upaya reintegrasi dan mengasumsikan anak memiliki peran yang konstruktif dalam masyarakat; d. Penghormatan terhadap martabat anak mensyaratkan bahwa semua bentuk kekerasan dalam memperlakukan anak yang berhadapan dengan hukum harus dilarang dan dicegah.13 Sebangun dengan kerangka fundamental dari KHA tersebut di atas, maka tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana anak pada dasarnya ditujuakn untuk membangun sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak (fair and humane). Adapun karakteristik sistem peradilan pidana anak yang adil dan ramah terhadap anak, meliputi: a. b. c. d. e. Berlandaskan hak anak; Menerapkan prinsip keadilan restoratif; Menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan utama; Fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama; Menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir (the last resort) dan memungkinkan menahan anak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;14 f. Prinsip proporsionalitas; g. Menekankan rehabilitasi dan reintegrasi; h. Melakukan Intervensi secara layak dan tepat waktu; i. Prosedur khusus untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak.15 jika Hal mendasar lainnya, sistem peradilan pidana anak membutuhkan pengakuan tanggung jawab yang berbeda, tidak hanya pada anak sebagai pelaku, namun juga pada anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi. Pembedaan tanggung jawab ini harus dibuat antara: a. Anak yang berhadapan dengan hukum, yang mana akan ditangani melalui sistem peradilan pidana; b. Anak yang berisiko, yang mana menjadi fokus pelayanan sosial dan tidak dihadapkan di pengadilan; c. Anak sebagai korban atau saksi, yang mana harus mendapatkan manfaat dari setiap upaya perlindungan.16 Setiap badan perjanjian (Komite) mempublikasi hasil interpretasi terhadap ketentuan instrumen Hukum Hak Asasi Manusia dalam bentuk komentar umum. Tujuan dari komentar umum adalah memberikan petunjuk untuk mengimplementasikan suatu instrumen. Terkiat dengan implemnentasi hak anak, Komentar Umum Komite Hak Anak pada dasarnya merupakan upaya Komite untuk memberikan interpretasi hukum terhadap suatu norma dalam KHA. 13 Lihat paragraph 13, CRC/C/GC/10, 25 April 2007 14 Nikhil Roy & Mabel Wong, op. cit 15 Hangama Anwari, op.cit 16 Bernard Boëton, op.cit 12 Page 4 of 21 C. Sistem Peradilan Pidana Anak dan Isu-Isu yang Relevan Berdasarkan uraian di atas, isu yang relevan dengan sistem peradilan pidana anak setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan usia pertanggungjawaban pidana anak Kematangan anak sesuai dengan usia dan tingkat Salah satu isu yang penting dalam wilayah kebijakan peradilan pidana adalah menyediakan mekanisme hukum yang merefleksikan transisi dari usia masa kanak-kanak yang dianggap tidak bersalah menuju kematangan dan sepenuhnya dapat bertanggung jawab menurut hukum pidana.17 Usia pertanggungjawaban tindak pidana merujuk pada usia seseorang dianggap memiliki kemampuan untuk menilai (kapasitas untuk membedakan benar atau salah) dan dapat memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Dalam kaitan ini, terdapat 2 (dua) isu yakni: (i) usia di mana seorang anak dianggap memiliki kapasitas mental untuk melakukan tindak pidana; dan (ii) usia di mana anak dianggap layak untuk memikul tanggung jawab terhadap penuntutan dan sanksi formal atas tindak pidana yang dilakukannya.18 Seiring dengan isu ini terdapat 2 (dua) ketentuan mengenai tanggung jawab pidana yakni: (i) usia minimum pertanggungjawaban pidana; dan (ii) pembebanan secara gradual (bertingkat) tanggung jawab pidana yang mana bergantung pada pemahaman anak terhadap tindakan salah yang dilakukannya. 19 Dalam menentukan apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, harus diperhatikan keterkaitan antara pikiran (thought), perasaan (feeling), dan tindakan (action) sebagai elemen penting dalam menentukan kesalahan dan mengambil keputusan hukum atas kesalahan tersebut. Asumsi ini sesungguhnya menegaskan 2 (dua) kriteria penting untuk menuntut tanggung jawab hukum, yakni mens rea (guilty of mind) dan actus reus (guilty act). Kriteria pertama, mens rea, mengatakan bahwa subyek disebut melakukan tindak pidana dan karenanya pantas dikenai tanggung jawab hukum kalau seseorang tersebut mengetahui dan mengerti tentang apa yang dilakukannya. Dengan kata lain, subyek dalam kapasitas mental yang pantas untuk dikenai tanggung jawab hukum. Pengetahuan dan pengertian tidak cukup untuk menetapkan seseorang melakukan tindak pidana, harus terbukti bahwa subyek melakukan atau nyata-nyata melakukan kejahatan yang tuduhkan padanya (actus reus). Kriteria kedua, actus reus, penting karena menjadi bukti yang paling jelas bahwa tersangka tidak saja mengerti, tetapi juga memiliki kemampuan untuk melakukan perbuatan yang disangkakan.20 Lebih jauh untuk menilai kelayakan anak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya harus memperhatikan elemen perkembangan anak secara psikologis yang meliputi dimensi kognitif, dimensi moral, dimensi mental, dan dimensi lingkungan. 21 Adam Graycar, The Age of Criminal Responsibility, Australian Institute of Criminology, 2000 www.africanchildforum.org/Documents/age_of_cri_response.pdf 19 Adam Graycar, op.cit. 20 Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan , Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009 21 Adam Graycar, op.cit. 17 18 Page 5 of 21 Filosofi umum penentuan ini dijelaskan dalam Aturan Standar Minimum bagi Administrasi Peradilan Pidana (Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (the “Beijing Rules”)): Usia minimum tanggung jawab pidana berbeda secara luas sesuai dengan budaya dan sejarah. Pendekatan modern mempertimbangkan anak dapat bertanggung jawab apabila memenuhi komponen moral dan psikologis. Selanjutnya secara individual anak harus dapat memberikan penilaian dan pemahaman untuk dapat memikul tanggung jawab bahwa tindakannya merupakan tindakan antisosial. 22 Selanjutnya, terdapat 3 (tiga) jenis perbedaan dari mens rea yakni: 1) maksud (intention); seseorang bermaksud melakukan actus reus; 2) sengaja tidak mau tahu (willful blindness): seseorang mengetahui kemungkinan tindakannya ilegal namum memilih untuk tidak menanyakan atau menyelidiki situasi tersebut; 3) tindak pidana karena kelalaian (criminal negligence); manakala seseorang tidak menyadari konsekuensi tindakannya.23 Ketiga perbedaan tersebut, dapat digunakan untuk mengeksaminasi sampai sejauhmana kapasitas anak memahami tindak pidana yang dilakukannya. Dengan kata lain, anak dalam batas usia tertentu belum memiliki kemampuan untuk menganalisis risiko terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Pada titik ini, usia dan tingkat kematangan anak menjadi tolok ukur untuk menentukan dan mengukur derajat mens rea anak-anak. Kemudian, actus reus, bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pidana pelaku. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Selain syarat eksternal untuk menentukan adanya kesalahan, harus ada syarat internal. Persyaratan ini terletak pada diri pelaku di mana pelaku dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal, mens rea, merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Mens rea hanya dapat terjadi jika pelaku melakukan actus reus secara sengaja (voluntary). Voluntary adalah refleksi dari otonomi diri untuk melakukan tindak pidana. Dengan demikian, voluntary merupakan syarat adanya mens rea, yang bersumber dari sifat otonomi pelaku sebagai subyek hukum.24 Dikaitkan dengan anak yang berhadapan dengan hukum maka doktrin mens rea, actus reus, dan voluntary menjadi relevan untuk menentukan pertanggung jawaban pidana anak. Apakah anak memahami tindak pidana yang dilakukan, nyata nyata melakukan, dan bertindak atas refeleksi otonomi diri. Hal ini penting untuk melihat pengaruh relasi kuasa atas diri anak ketika melakukan tindak pidana. Relasi kuasa dan lingkungan yang melingkupi diri anak dapat menjadi faktor utama anak melakukan tindak pidana. Pada titik ini, terdapat teori doli incapax yang memberikan limitasi pertanggungjawaban pidana anak dan mengkaitkan dengan tingkat kelayakan tingkat kematangan anak ketika Adam Graycar, ibid Ontario Justice Education Network, Mens Rea / Actus Reus Handout, tanpa tahun 24 Chairul Huda, op.cit. Actus reus merupakan elemen fisik, tindakan salah melakukan tindakan yang dilarang oleh hukum pidana. Mens rea merupakan elemen mental untuk menentukan telah dilakukannya tindak pidana. Elemen ini dibutuhkan untuk melihat kesalahan seseorang yang memiliki melakukan tindak pidana. Lihat J. Thomas Dalby, Criminal Liability In Childre, Journal Article Excerpt, tanpa tahun 22 23 Page 6 of 21 melakukan tindak pidana.25 Doli incapax dimaknai sebagai suatu asumsi bahwa anak tidak memiliki kapasitas untuk melakukan tindak pidana (incapable of crime).26 Komite Hak Anak memandang bahwa aturan doli incapax sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan batas usia pertanggungjawaban pidana yang efektif bagi anak. Oleh karena itu, doktrin ini dapat berguna sebagai lapisan perlindungan terhadap hak anak.27 Komite Hak Anak dalam Komentar Umum No. 10, memberikan interpretasi hukum untuk menentukan usia minimum pertanggungjawaban pidana (minimum age of criminal responsibility (MACR). Komite memaknainya sebagai berikut: 1) Anak melakukan tindak pidana di bawah usia minimum tidak dapat bertanggung jawab menurut prosedur hukum pidana. Anak memiliki kapasitas untuk melanggar hukum pidana tetapi pada saat melakukan tindak pidana di bawah usia minimum pertanggungjawaban pidana. Asumsi ini tidak dapat dibantah bahwa secara formal tidak dapat dituntut dan memikul tanggung jawab menurut prosedur hukum pidana; 2) Anak pada batas atau di atas usia minimum pertanggungjawaban pidana pada saat melakukan tindak pidana atau melanggar hukum pidana tetapi masih di bawah 18 tahun secara formal dapat dituntut dan menjadi subyek prosedur hukum pidana. Namun demikian prosedur tersebut harus sesuai sepenuhnya dengan prinsip dan norma KHA.28 Dalam hal ini, Pasal 40 KHA ayat (3) huruf (a) menentukan bahwa: Negara harus meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: (a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana Apabila mengacu pada pasal tersebut, KHA tidak secara definitif menentukan umur minimal pertanggung jawaban pidana anak. Oleh karena itu, Komite Hak Anak dalam Komentar Umum No. 10, merekomendasikan usia di bawah atau lebih rendah 16 tahun sebagai usia minimum pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian pada usia ini, anak secara formal diasumsikan tidak dapat dituntut sebagai subyek hukum yang dapat dimintakan dan memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannnya.29 Sedangkan untuk anak di atas 16 tahun sampai di bawah 18 tahun, Komite merekomendasikan anak dapat ditangani dan perlakuan sebagai orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Namun demikian, berdasarkan prinsip non diskriminasi, mereka tetap di bawah perlindungan khusus dalam sistem peradilan pidana anak. Bahkan sampai batas-batas tertentu, sistem peradilan pidana anak dapat diberlakukan sampai batas usia 21 tahun.30 b. Keadilan Restoratif 25 26 27 28 29 30 Don Cipriani, op.cit. Australian Institute of Criminology, Crime Facts Info No. 106, The age of criminal responsibility, 2005 www.africanchildforum.org/Documents/age_of_cri_response.pdf Lihat paragraph 31, CRC/C/GC/10, 25 April 2007 Lihat paragraph 38, CRC/C/GC/10, 25 April 2007 Lihat paragraph 38, CRC/C/GC/10, 25 April 2007 Page 7 of 21 Menurut Howard Zehr, keadilan restoratif dimaknai sebagai proses untuk melibatkan, memungkinkan keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas, yakni para pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu pelanggaran yang spesifik. Kemudian secara bersama, mengidentifikasi dan mengarahkan kerugian, kebutuhan, dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan dan menempatkan hak para pihak sebagai titik yang mungkin dituju untuk diselesaikan. Kemudian menurut Sharpe keadilan restoratif memiliki karakteristik yang fundamental dengan beragam nilai yang disebut dengan pengikutsertaan (partisipasi), demokrasi, tanggung jawab, pemulihan, keamanan, penyembuhan, dan reintegrasi.31 Selanjutnya menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), keadilan restoratif merujuk pada proses untuk memecahkan tindak pidana (kejahatan) dengan memusatkan pada perbaikan kerugian (luka) korban, menetapkan pelaku bertanggung jawab atas tindakannya, dan melibatkan masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi tersebut. Dengan demikian proses restoratif merupakan setiap proses yang mana korban dan pelaku atau individu lainnya atau anggota komunitas yang terpengaruh oleh suatu tindak pidana, mengambil bagian bersama secara aktif dalam penyelesaian berbagai masalah yang muncul akibat tindakan pidana tersebut dengan bantuan fasilitator.32 Berdasarkan definisi yang beragam tersebut, Johnston dan Van Nes membagi beberapa ragam definisi keadilan restoratif dalam 2 (dua) kelompok, kemudian mengkombinasikan 2 (dua) kelompok tersebut dalam upaya menjelaskan keadilan restoratif. Ketiga definisi tersebut meliputi: 1) Definisi berbasis proses (process-based definitions), menekankan kepentingan antara pihak yang menerima pengaruh tindak pidana dan akibat dari tindak pidana tersebut. Pada titik ini, keadilan restoratif dapat dikatakan sebagai suatu proses yang meletakkan semua pihak secara bersama dalam rangkaian fakta-fakta tindak pidana dengan tujuan untuk memecahkan dan menyepakati penyelesaian akibat tindak pidana dan implikasi tindak pidana pada masa yang akan datang; 2) Definisi berbasis keadilan (justice-based definitions), menekankan pada capaian (outcome) dan/atau nilai keadilan restoratif. Keadilan restoratif berbasis keadilan merupakan setiap tindakan yang terutama ditujukan untuk mencapai keadilan melalui perbaikan kerugian akibat tindak pidana tersebut; 3) Definisi ketiga merupakan kombinasi dari definisi berbasis proses dan definisi berbasis keadilan. Keadilan restoratif merupakan suatu proses untuk menetapkan luka dan kebutuhan dari korban dan pelaku sebagai tujuan bersama untuk diselesaikan sehingga kedua belah pihak, seperti halnya komunitas di mana mereka merupakan bagian darinya, dapat tersembuhkan.33 Meskipun terdapat beberapa difinsi mengenai keadilan restoratif, Luna menunjukkan terdapat 3 (tiga) prinsip yang dapat disatukan dalam pendekatan keadilan restoratif, Ketiga prinsip tersebut meliputi: Ann Skelton & Boyane Tshehla, Child Justice in South Africa, Institute for Security Studies, Monograph 150 September 2008, 32 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, op.cit 33 Alicia Victor, Sub-Report on Delivery: Restorative Justice, The National Prosecuting Authority of South Africa, 2006 31 Page 8 of 21 1) Tindak pidana tidak hanya menyebabkan kerugian/luka kepada negara, tetapi juga korban, pelaku, dan komunitas. Oleh karena itu, pelaku terutama telah merusak hubungan antar manusia dan kedua telah melakukan pelanggaran hukum; 2) Korban, pelaku, komunitas, dan pemerintah harus bersikap aktif terlibat dalam proses peradilan pidana dari titik yang paling awal hingga titik yang paling maksimal; 3) Pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara tata tertib dan komunitas (masyarakat) bertanggung jawab membangun perdamaian untuk memajukan keadilan.34 Mengacu pada urain di atas maka keadilan restoratif merupakan salah satu cara untuk menjawab permasalahan perilaku tindak pidana dengan menyeimbangkan kebutuhan komunitas, korban, dan pelaku.35 Komunitas menjadi bagian penting dari proses keadilan restoratif karena (i) tindak pidana bisa berasal dari pola-pola hubungan dan kondisi sosial komunitas; dan (ii) pencegahan tindak pidana dalam beberapa hal juga menjadi tanggung jawab komunitas (bersama pemerintah pusat dan lokal dalam mengembangkan kebijakan sosial) untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang menjadi penyebab tindak pidana.36 Dalam perspektif hak anak, semua pihak mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan sistem keadilan restoratif bagi anak. Dengan demikian pengembangan sistem ini harus berdasarkan pertimbang-pertimbangan sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) Anak-anak berpartisipasi secara penuh; Pemulihan ditawarkan kepada korban; Anak diberikan kesempatan untuk mengakui tindak pidana yang dilakukannya;37 Perasaan komunitas dipulihkan.38 Konsep keadilan restoratif, kemudian diakomodasi dalam Deklarasi Wina mengenai Tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice), pada tahun 2000 . Dekalrasi ini mendorong setiap negara untuk mengembangkan kebijakan, prosedur, dan program keadilan restoratif sebagai upaya untuk memberikan penghormatan secara penuh hak, kebutuhan, dan kepentingan, korban, pelaku, komunitas, dan seluruh pihak terkait lainnya. Seiring dengan, deklarasi tersebut, konsep keadilan restoratif kembali dikembangan oleh kelompok ahli yang dituangkan dalam Prinsip-Prinsip Dasar mengenai Penggunaan Program Keadilan Restoratif dalam Permasalahan Tindak Pidana (Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters). Selanjutnya, pada tahun 2005, terdapat sebuah deklarasi dalam Kongres Kesebelas PBB mengenai Pencegahan dan Perlakuan terhadap Pelaku Tindak Pidana (Eleventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), yang menekan Alicia Victor, ibid United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, op.cit 36 Alicia Victor, op.cit 37 Hal ini menjadi penting karena langkah pertama dari keadilan restorative adalah pelaku harus menghadapi kenyataan bahwa ia telah melakukan tindak pidana. Bagaimanapun, hal ini tidaklah cukup,pelaku juga harus memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Proses ini akan mendorong kearah pengakuan salah bahwa tindakannya salah dan harus meminta maaf kepada korban. Ini dapat dicapai melalui rekonsiliasi yang dibarengi dengan penggantian kerugian bagi korban. Lihat Ann Skelton & Boyane Tshehla, ibid 38 Nikhil Roy & Mabel Wong, op.cit. 34 35 Page 9 of 21 setiap negara untuk mengakui pentingnya pengembangan kebijakan, prosedur, dan program keadilan restoratif, termasuk alternatif penghukumannya.39 c. Diversi Diversi dapat dimaknai sebagai upaya menjauhkan suatu kasus dengan kriteria tertentu dari proses peradilan pidana formal menuju ke arah dukungan komunitas untuk menghindari dampak negatif yang diakibatkan oleh proses peradilan pidana. Pada dasarnya tindakan diversi dapat dilakukan pada tahapan manapun dalam proses peradilan pidana. Penerapan diversi bergantung pada keputusan polisi, jaksa, pengadilan, atau badan-badan sejenis.40 Namun demikian, dalam banyak sistem keputusan diversi dibuat pada awal proses peradilan pidana. Dengan demikian diversi merupakan kanalisasi kasus tertentu untuk dijauhkan dari sistem peradilan pidana yang pada umumnya berdasarkan kondisi-kondisi tertentu yang menempatkan pelaku pada posisi yang sulit (fait accompli).41 Lebih jauh, menurut Van Rooyen, diversi dapat juga didefinisikan sebagai prima facie pengalihan suatu kasus dari upaya penyelesaian melalui proses persidangan yang normal. Hal ini berimplikasi bahwa tuntutan kepada pelaku berdasarkan kondisionalitas tertentu dapat ditarik mundur atau dihentikan. Selanjutnya pelaku harus berpartisipasi pada program khusus atau memulihkan korban. Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratanpersyaratan yang disepakati oleh para pihak.42 Kemudian berdasarkan pendapat Anderson, metode diversi yang dibentuk secara internasional meliputi: 1) Pembebasan bersyarat (conditional discharge), di mana tuntutan tindak pidana dicabut apabila tersangka mentaati persyaratan-persyaratan tertentu seperti pembayaran jumlah tertentu, memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat, atau memberikan ganti kerugian kepada korban; 2) Penyederhanaan prosedur (simplified procedures), melalui perundingan untuk mempercepat proses, tidak memperumit terdakwa dengan cara yang lebih baik , atau prosedur yang lebih cepat, seperti penawaran tuntutan atau penghukuman; 3) Dekriminalisasi (decriminalization) tindak pidana tertentu yang seringkali terjadi, kemudian dipindahkan dari jangkauan arena (yurisdiksi) peradilan pidana.43 Diversi bertujuan untuk memutus lingkaran setan stigmatisasi, kekerasan, penghinaan, dan mengurai ikatan sosial antar pelaku. Diversi juga akan menghindari kemungkinan muncul “sekolah kejahatan”, mengurangi risiko residivisme, menghindari biaya hukum yang semakin mahal, dan membantu mengintegrasikan pelaku. Diversi merupakan upaya 39 40 41 42 43 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, op.cit Inter-Parliamentary Union & UNICEF, op.cit United Nation Office in Drugs and Crime, Cross-Cutting Issues: Juvenile Justice, op.cit Alicia Victor, op.cit Alicia Victor, ibid Page 10 of 21 konstruktif untuk membangun kembali relasi sosial yang rusak akibat tindak pidana, dibandingkan melakukan pengucilan pelaku dari konteks kehidupan sosialnya.44 Dalam konteks alokasi anggaran, penahanan dan pemasyarakatan membutuhkan biaya yang mahal sehingga lebih baik diarahkan alternatif selain penahanan. Dengan kata lain, penahanan anak bukan upaya untuk mengefektifkan biaya pemajuan keselamatan dan keamanan masyarakat. Ketersediaan dana untuk intervensi di luar penahanan lebih efektif mengurangi residivisme dan pemajuan keamanan publik.45 Diversi menjadi alternatif untuk mengurangi belanja sosial pembiayaan penahanan dan pemasyarakatan yang cenderung mengalami peningkatan, untuk dialihkan untuk pembiayaan pencegahan tindak pidana. Isu diversi menjadi perhatian Komite Hak Anak sebagaimana terlihat dalam Komentar Umum No. 10. Komentar Umum ini kembali mengingatkan pentingnya pelaksanaan Pasal 40 ayat (3) KHA. Dalam Komentar Umum tersebut, Komite menegaskan bahwa mayoritas anak yang melakukan tindak pidana hanya melakukan tindak pidana ringan yang semestinya tidak menjalani prosedur hukum formal. Permasalahan ini merupakan cakupan dari pengalihan dari proses peradilan pidana dan dirujuk pada alternatif layanan sosial. Metode ini semestinya dapat diterapkan pada kasus pidana ringan yang dilakukan anak. Mengarahkan anak-anak agar dijauhkan dari sistem peradilan pidana formal akan mengurang stigma dan efek negatif akibat proses hukum tersebut.46 D. Perlindungan Hukum Anak yang Berhadapan dengan Hukum Berdasarkan Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional47 Diawali dengan Standar Aturan Minimum PBB mengenai Perlakuan terhadap Tahanan pada 1955, PBB kemudian mengadopsi sejumlah standar dan norma yang dirancang untuk memajukan administrasi peradilan di seluruh penjuru dunia. Standar dan norma tersebut diadopsi dalam wilayah kerja sama internasional, perlakuan terhadap pelaku tindak pidana, peradilan, penegakan hukum, peradilan pidana anak, perlindungan saksi, hukuman mati, pencegahan hukuman kejam dan tidak manusiawi, dan hak asasi manusia.48 Penerapan standar dan norma PBB dapat dijadikan sebagai perangkat yang berguna untuk meningkatkan penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia, peningkatan performa capaian sistem peradilan pidana, dan perlindungan terhadap masyarakat. Tidak hanya itu, instrumen tersebut dapat dijadikan sebagai landasan untuk mengembangkan parameter yang terukur terkait dengan kejujuran (fair play) dan efektivitas operasionalisasi sistem peradilan pidana nasional dari perspektif internasional.49 Bernard Boëton, op.cit Barry Holman & Jason Ziedenberg, The Dangers of Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and Other Secure Facilities, The Justice Policy Institute, 46 Anna Volz, op.cit 47 Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (International human rights law) adalah kumpulan yang terdiri dari instrumen internasional dan regional yang dapat berbentuk deklarasi, perjanjian, protokol, dan instrument lain. Keseluruhan secara bersama menyediakan suatu pembangunan kerangka hukum bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di seluruh dunia. Lihat www.genderandpeacekeeping.org/resources/5_What_is_IHL.pdf 48 Jay S. Albanese, United Nations standards and norms, and their impact on criminal justice policy and practice dalam The Application of The United Nation Standard and Norms in Crime Prevention dan Criminal Justuce, United Nations Office on Drugs and Crime, 2003 49 Matti Joutsen, The application of United Nations standards and norms in crime prevention and criminal justice. Background paper, dalam The Application of The United Nation Standard …, ibid 44 45 Page 11 of 21 Meskipun KHA merupakan sumber utama bagi pengakuan hak anak dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, namun KHA bukan satu-satunya. Komite Hak Anak memberikan catatan bahwa KHA merefleksikan suatu perspektif holistik terhadap perkembangan masa kanak-kanak berdasarkan prinsip tidak dapat dibagi (indivisibility), tidak terpisahkan (inalienable), dan saling bergantung (interdependent) dari semua hak asasi manusia. Keseluruhan perjanjian internasional di bidang hak asasi manusia dapat diterapkan pada anak-anak. Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) pada Komentar Umum No. 17 atas Pasal 24 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik mencatat bahwa semua anak menerima keuntungan terhadap semua hak sipil yang diakui oleh Kovenan berdasarkan keindividuan mereka.50 Dalam kerangka ini, terdapat sejumlah instrumen yang mengakui dan menjamin hak individual anak-anak ketika mereka dirampas kebebasannya. Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang dapat dijadikan sebagai standar internasional bagi perlindungan hukum anak yang berhadapan dengan hukum tercantum dalam tabel di bawah ini.51 Instrumen Spesifik Anak Konvensi Hak Anak (KHA), 1989 (UN Convention on the Rights of the Child/CRC) Komentar Umum Komite Hak Anak Nomor 10 tentang Hak Anak dalam Peradilan Pidana Anak, 2007 (UN Committee on the Rights of the Child General Comment No. 10 on Children’s rights in juvenile justice) Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak, 1990 (UN Guidelines on the Prevention of Juvenile Delinquency: the ‘Riyadh Guidelines’) Aturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, 1990 (UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty : the ‘JDLs’) Aturan Minimum PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak, 1985 (UN Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice: the ‘Beijing Rules’) Resolusi PBB 1997/30 mengenai Administrasi Peradilan Anak: Pedoman Wina, 1997 (UN Resolution 1997 / 30 – Administration of Juvenile Justice: the Vienna Guidelines) Instrumen Spesifik Non-Anak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 1948 (UN Universal Declaration of Human Rights: UDHR) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik, 1966 (UN International Covenant on Civil and Political Rights: ICCPR) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya, 1966 (UN International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: ICESCR) Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, 1984 (UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment: CAT) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, 1979 (UN Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women: CEDAW) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1966 (UN International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination: CERD) Protokol Opsional Mengenai Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol to the Convention against Torture) Jean Tomkin, Orphans of Justice In search of the best interests of the child when a parent is imprisoned: A Legal Analysis, Quaker United Nations Office, 2009 50 Tabel yang berwarna biru muda merupakan instrument Hukum Hak Asasi Manusia yang mempunyai kekuatan secara hukum (legally binding) terhadap negara peratifikasi. 51 Page 12 of 21 Pedoman PBB bagi Tindakan terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, 1997 (UN Guidelines for Action on Children in the Criminal Justice System) Standar Minimum Aturan PBB mengenai Perlakuan terhadap Tahanan, 1955 (UN Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners: The Standard Minimum Rules) Prinsip-Prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Program Keadilan Restoratif dalam Permasalahan Tindak Pidana (UN Basic Principles on the use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters) Aturan Minimum PBB mengenai Tindakan Non Penahanan, 1990 (UN Minimum Rules for Non-Custodial Measures: The Tokyo Rules) Kode Bertindak PBB bagi Aparat Penegak Hukum, 1979 (UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials) Prinsip Dasar PBB mengenai Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, 1990 (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) Pedoman PBB mengenai Keadilan dalam Permasalahan yang Menyertakan Korban Anak dan Saksi Kejahatan (The United Nations Guidelines on Justice in Matters involving Child Victims and Witnesses of Crime) Konvensi ILO 182 mengenai Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak , 1999 (ILO Convention 182 concerning the Elimination and immediate prohibition of the Worst Forms of Child Labour (Convention 182) Sumber: Anna Volz, 2009 dan United Nation Office in Drugs and Crime, 2006 Adopsi KHA pada 20 November 1989, menjadi titik kulminasi dari proses yang panjang bagi hak asasi anak mendapatkan pengakuan jaminan internasional yang komprehensif. Secara khusus, KHA menjadi tanda yang jelas bagi arah pergerakan pengakuan bahwa anak sebagai pemilik hak yang aktif (active holder of rights) dan bukan hanya sekedar sebagai obyek hak yang bersifat pasif (not merely a passive object of the rights). KHA berisikan campuran hak-hak yang bersifat umum, seperti hak atas perkembangan hidup, serta hak hak yang ditujukan untuk kesejahteraan, tetapi KHA juga menjamin baik hak sipil dan hak politik dan hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya. Seperangkat ketentuan hak yang luas menjadi substansi KHA yang merefleksikan sebuah spektrum perspektif global yang luas mengenai hak anak.52 KHA merupakan instrumen hukum yang penting terkait dengan peradilan pidana anak sebab ia mengikat secara hukum bagi semua anggota PBB, kecuali Amerika Serikat dan Somalia.53 Oleh karenanya, KHA lebih memiliki kekuatan hukum dan secara luas dapat diterapkan dibanding instrumen Hukum Hak Asasi Manusia lainnya. Hal ini dikarenakan KHA memiliki karakteristik unik sebagai berikut: a. KHA merupakan hasil konsensus seluruh masyarakat dunia karena hampir seluruh negara di dunia meratifikasi KHA. Konsensus ini terwujud karena KHA memiliki sifat lentur dan peka terhadap perbedaan kultural dibandingkan instrumen yang lainnya. Popularitas KHA yang sedemikian luas karena mengkombinasikan model yang fleksibel sehingga KHA menjadi instrumen politik yang memiliki kekuatan penuh apabila dilihat dari dampak hukum dan perdebatan konstitusionalitas hak anak dalam banyak negara; Jean Tomkin, op.cit. KHA merupakan instrument Hukum Hak Asasi Manusia yang paling luas diterima oleh masyarakat Internasional. Sampai saat ini terdapat 193 negara anggota PBB meratifikasi KHA, kecuali Amerika Serikat dan Somalia. 52 53 Page 13 of 21 b. KHA mencakup beragam hak yang sangat luas, sosial, hukum, kultural, sipil, dan hak asasi manusia. Hal ini merupakan representasi baru sebuah pendekatan yang luas terhadap hak asasi anak. Dengan demikan, anak-anak tidak hanya diakui semata-mata sebagai obyek perlindungan, meskipun hak atas perlindungan menjadi prinsip utama, mereka merupakan umat manusia, bagian masyarakat dunia, dan berhak mendapatkan penghormatan atas hak asasi dan kebebasan mereka. Hal fundamental lain, KHA menyediakan kerangka kerja untuk memperlakukan anak sebagai warga negara (citizenship for children) melalui pemberian hak atas partisipasi dalam setiap keputusan yang berdampak pada kehidupannya; c. KHA unik karena pasal-pasalnya memiliki sifat pembawaan yang saling bertautan dan tidak terpisah satu dengan yang lainya dan pembacaan setiap pasal harus dikaitkan dengan pasal lain guna mewujudkan martabat anak sebagai tema utamanya; d. KHA membentuk Komite Hak Anak sebagai mekanisme evaluasi dan tindak lanjut bagi setiap negara anggota. Tidak hanya mekanisme monitoring, KHA menciptakan sistem penyebutan/penamaan (system of naming and shaming) untuk mempermalukan negara anggota yang kebijakannya tidak mematuhi dan menyesuaikan dengan spirit KHA. e. KHA berisikan pendekatan liberalis secara relatif karena KHA tidak memperlakukan anak sebagai orang dewasa, juga tidak memperlakukan sebagai manusia dewasa dengan tubuh kecil (mature minors) yang dilekati otonomi diri secara penuh dan kebebasan dalam membuat keputusan. KHA menetapan bahwa hak anak untuk berpartisipasi dalam membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupannnya diberikan secara gradual sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. 54 Dalam konteks melakukan reformasi sistem peradilan pidana anak instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang dapat dijadikan sandaran yuridis mencakup: KHA, Pedoman Riyadh, Aturan Beijing, Aturan Perlindungan bagi Anak yang Kehilangan Kebebasannya, Aturan Tokyo, dan Pedoman Wina. Uraian singkat dari masing-masing instrumen di atas sebagai berikut:55 a. KHA Pasal yang paling spesifik terkait dengan sistem peradilan pidana anak dapat diketemukan pada Pasal 3756 dan Pasal 40.57 Apabila membaca Pasal 37 KHA, maka Tali Gal, Victim to Partners: Child Victims and Restorative Justice, Thesis Submitted for the degree of PhD at the Australian National University, 2006 55 Uraian instrument ini sebagian besar diambil dalam Anna Volz, op.cit. 56 Pasal 37 KHA menyatakan bahwa negara harus menjamin bahwa: a) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penyiksaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun; b) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenangwenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat; c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa. 54 Page 14 of 21 norma yang tercantum di dalamnya ditujukan pada isu pencabutan kebebasan (deprivation of liberty). Hal yang terpenting dari isu ini terkait dengan pencabutan kebebasan seorang anak. Upaya pencabutan tersebut harus merupakan upaya terakhir dan dilaksanakan dengan waktu sesingkat mungkin. Secara khusus Pasal ini menyatakan: 1) Larangan melakukan penyiksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, hukuman mati, pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas tahun; d) 57 Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu. Pasal 40 KHA terdiri dari beberapa ayat sebagai berikut: 1) Negara mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat. 2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin bahwa: a) Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut: (i) Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum; (ii) Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya; (iii) Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya; (iv) Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; (v) Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum; (vi) Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan; (vii) Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan. 3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; 1) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu. Page 15 of 21 2) 3) Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat; Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan anak dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga dan mendapatkan bantuan hukum.58 Sedangkan Pasal 40 KHA, isu yang dituju terkait dengan persoalan administrasi peradilan anak. Pasal ini berisikan kewajiban yang mengikat suatu negara untuk melaksanakan prinsip administrasi peradilan pidana anak, antara lain meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) Martabat anak: hak setiap anak yang berhadapan dengan hukum untuk diperlakukan secara hormat dan bermartabat; Pertimbangan usia: perlakukan terhadap anak harus menyesuaikan dengan usia anak; Reintegrasi: tujuan dari sistem peradilan pidana anak adalah memajukan reintegrasi dan rehabilitasi anak; Diversi: sampai di titik mana proses dan tahapan peradilan pidana, upaya yang paling layak adalah menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga anak dapat menikmati hak asasinya dan mendapatan perlindungan hukum secara penuh; Jaminan minimal: Pasal 40 menyediakan jaminan minimum hak asasi anak dalam administrasi peradilan pidana, termasuk praduga tak bersalah, akses mendapatkan bantuan hukum, kerahasiaan, dan lain sebagainya.59 Meskipun demikian, kedua pasal tersebut terkait dengan pasal-pasal lain karena KHA bukan hanya instrumen hukum yang berisikan daftar hak anak yang bersifat terpisah satu sama lain. KHA telah dirancang untuk melindungi anak sebagai seorang manusia secara utuh menyeluruh. Untuk itu, sangat penting untuk mendudukkan Pasal 37 dan Pasal 40 dalam konteks kerangka KHA. Di samping itu, kedua Pasal ini juga merupakan ketentuan payung bagi perlindungan anak dalam sistem peradilan. Dalam konteks ini, pasal-pasal terkait lainnya meliput: (i) Pasal 6 (hak untuk hidup, keberlangsungan hidup, dan perkembangan); (ii) Pasal 3 ayat (1) (kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama); (iii) Pasal 2 (tidak didiskriminasi berdasarkan alasan apapun); (iv) Pasal 12 (hak untuk berpartisipasi); dan (v) Pasal 4 (implementasi, termasuk hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya sampai pada jangkuan semaksimal mungkin dari sumbersumber mereka yang tersedia). Selanjutnya, pasal lain dalam KHA yang relevan dengan peradilan pidana anak, termasuk aspek pencegahannya, meliputi : Pasal 3 ayat (3), Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 36 dan Pasal 39. Terkait dengan implementasi seluruh Pasal KHA, Hodgkin dan Newell menyatakan bahwa 4 (empat) prinsip umum KHA menjadi pedoman bagi setiap negara dalam menerapkan setiap pasal dan menginterpretasikan setiap pasal dalam KHA.60 Lebih jauh keempat prinsip ini, apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 KHA dalam rangka Hangama Anwari. Justice for the Children: The situation for children in conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC, tanpa tahun 59 Hangama Anwari, ibid 60 Tali Gal, op.cit 58 Page 16 of 21 melakukan reformasi sistem peradilan pidana, maka langkah pertama, melakukan inkorporisasi (penyatuan) prinsip dan norma KHA dalam hukum domestik. Dengan kata lain, negara harus menerjemahkan prinsip dan norma universal KHA dalam hukum domestik dan praktik-praktik negara untuk memastikan perlindungan dan pemajuan hak anak. Pengejawantahan prinsip dan norma KHA dalam hukum domestik, dalam pendekatan berbasis hak (rights based approach) merupakan pelaksanakan kewajiban untuk memenuhi (to fulfil) hak asasi anak. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum, dan semua tindakan lain yang memadai guna memenuhi sepenuhnya atas hak-hak asasi manusia.61 Upaya inkorporisisasi prinsip dan norma KHA dalam hukum domestik pada prinsipnya merupakan upaya mengimplementasikan kewajiban negara untuk memenuhi hak anak. Pengejawantahan prinsip dan norma KHA dalam hukum domestik untuk melakukan reformasi sistem peradilan pidana dapat divisualisasikan sebagai berikut:62 Kewajiban negara yang lain menurut pendekatan berbasis hak adalah: 1) Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam penikmatan atas hak-hak asasi manusia 2) Kewajiban untuk melindungi (to protect) mengharuskan negara mencegah pelanggaran atas hak-hak asasi manusia oleh pihak ketiga. Lihat dalam Joachim Theis,; Promoting Rights-Based Approaches: Experiences and Ideas from Asia and the Pacific; Save The Children Sweden, 2004 62 Mengadopsi Nancy Kanyago, In the Best Interests of the Child: Harmonising lawsin Eastern and Southern Africa, African Child Policy Forum & Unicef, 2007 61 Page 17 of 21 KHA Non Diskriminasi (Pasal 2) Kepentingan Terbaik Bagi Anak (Pasal 3) Hak Hidup, kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (Pasal 6) Penghormatan terhadap Pendapat Anak (Pasal 12) Isu Pencabutan Kebebasan (Pasal 37) Isu Administrasi Peradilan Pidana Anak (Pasal 40) Negara Meratifikasi KHA Implementasi Melalui Legislasi, Administrasi, dan langkah lainnya (Pasal 4) Inkorporisasi melalui Tindakan Parlemen/legislatif Inkorporisasi Melalui Anggaran Publik Inkorporisasi Melalui Praktik Peradilan Sistem Peradilan Pidana Page 18 of 21 b. Pedoman PBB tentang Pencegahan Tindak Pidana Anak (Pedoman Riyadh) Pedoman Riyadh menghadirkan suatu pendekatan proaktif dan menyeluruh untuk pencegahan dan pengintegrasian sosial, detail strategi sosial dan ekonomi yang melibatkan hampir tiap-tiap area sosial, keluarga, sekolah dan masyarakat, media, kebijakan sosial, perundang-undangan, dan administrasi peradilan anak. Secara khusus, negara-negara direkomendasikan untuk mengembangkan intervensi berbasis komunitas (community-based intervention) untuk membantu mencegah anakanak berhadapan dengan hukum. Pedoman Riyadh juga meminta negara melakukan dekriminalisasi status pelanggaran hukum anak. Rekomendasi lain yang ditekankan kepada setiap negara berupa prioritasi program pencegahan sehingga anak terhindar dari risiko ditelantarkan, dilalaikan, dieksploitasi, dan disalahgunakan. c. Aturan Minimum PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (Aturan Beijing) Aturan Beijing menyediakan pedoman bagi negara dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak dan menghormati kebutuhan anak. Hal ini dapat dicapai melalui upaya mengembangkan pemisahan dan pengkhususan sistem peradilan pidana anak Aturan Beijing merupakan instrumen internasional pertama yang mengatur norma-norma administrasi peradilan pidana secara detail dan menyeluruh dengan pendekatan hak anak dan perkembangan anak. Aturan Beijing mendorong, penggunaan diversi sehingga anak terhindar dari penggunaan proses peradilan formal dan diarahkan memanfaatkan mekanisme berbasis masyarakat setempat. Aturan ini juga berisikan prosedur bagi pihak yang berwenang sebelum melakukan tindakan terhadap anak berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Selanjtnya aturan ini memuat pertimbangan berdasarkan kehati-hatian sebelum mencabut kebebasan anak, pelatihan khusus bagi seluruh pegawai yang menangani kasus anak, pertimbangan melepaskan anak dari penahanan. Menurut aturan ini sistem peradilan pidana harus adil dan ramah dengan menekankan pada kebaikan anak dan memastikan reaksi petugas sesuai dengan keadaan pelaku. Di samping itu Aturan Beijing menekankan penting rehabilitasi bagi pelaku dan mendapatkan bantuan pendidikan. d. Aturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya Instrumen ini sangat detail dalam mengedepankan standar baku yang dapat diterapkan ketika seorang anak meringkuk pada institusi atau faslitas penahanan. Dengan aturan ini, maka risiko anak menjadi korban penyalahgunaan kewenangan atas perintah pengadilan, administrasi atau pejabat publik lainnya dapat dicegah. Sebagai tambahan, instrumen ini mencakup prinsip universal yang menggambarkan keadaan spesifik anak-anak yang dirampas kebebasannya. Penekanan pencabutan Page 19 of 21 kebebasan harus merupakan upaya terakhir dan penahan dilakukan dengan periode yang sesingkat mungkin. Dalam konteks perampasan kebebasan anak tidak terelakkan, standar yang detail terkait dengan kondisi-kondisi minimal perlakuan terhadap anak harus diperkenalkan. Aturan ini merupakan suatu kerangka kerja yang secara internasional diterima yang diharapkan dapat menghapus efek perampasan kebebasan yang merugikan anak dengan memastikan rasa hormat terhadap hak azasi anak. e. Aturan Minimum PBB mengenai Tindakan Non Penahanan (Aturan Tokyo) Aturan ini dimaksudkan untuk mempromosikan keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam pengelolaan peradilan pidana, khususnya dalam memperlakukan pelaku, Keterlibatan ini merupakan upaya mendorong pelaku agar memilik rasa tanggung jawab terhadap komunitas. Menurut aturan ini Pemerintah harus mencoba memastikan keseimbangan dan kesesuaian antara hak individu pelaku, hak korban, memperhatikan keamanan serta keselamatan publik , dan mencegah tindak pidana. Fleksibilitas memperlakukan anak pelaku tindak pidana merupakan upaya memberikan perlindungan kepada masyarakat. Di samping itu, fleksibilitas perlakuan anak juga merupakan upaya untuk menghindari penggunaan hukuman penjara yang tidak perlu. Untuk itu, sistem peradilan pidana perlu menyediakan suatu cakupan tindakan yang luas karena berkenaan dengan upaya non penahanan, pra persidangan menuju pasca penempatan penghukuman. Apabila terdapat kelayakan dan kesesuaian dengan sistem hukum, polisi, penuntut umum atau aparat penegak hukum lainnya yang berhadapan dengan kasus tindak pidana harus diberdayakan. untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat, mencegah tindak pidana, dan memajukan penghormatan terhadap hukum dan hak korban. f. Resolusi PBB 1997/30, Administrasi Peradilan Pidana, Pedoman Wina Resolusi ini menyediakan suatu tinjauan informasi yang diterima oleh suatu pemerintah mengenai bagaimana peradilan pidana diatur di negara mereka dan khususnya keterlibatan mereka dalam mempersiapkan program tindakan untuk memajukan efektivitas penerapan aturan internasional dan standar peradilan pidana anak. Dokumen ini berisikan lampiran Pedoman bagi Tindakan mengenai Anak dalam Sistem Peradilan Pidana (Guidelines for Action on Children in the Criminal Justice System) sebagai elaborasi dalam pertemuan ahli yang diselenggarakan di Wina pada Februari 1997. Rancangan program tindakan ini menyediakan seperangkat tindakan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu tatanan untuk membangun berfungsinya administrasi peradilan anak yang sesuai dengan KHA, Pedoman Riyadh, Aturan Beijing, dan Aturan Pencabutan Kebebasan. g. Komentar Umum No, 10 Komite Hak Anak Komentar Umum No.10 mengeksplorasi beberapa aspek kebijakan peradilan pidana anak termasuk pencegahan anak melakukan tindak pidana, diversi dari proses peradilan, usia Page 20 of 21 minimum pertanggung jawaban pidana, jaminan pengadilan yang jujur, larangan hukuman mati dan hukuman penjara seumur hidup, dan pencabutan kebebasan. Tujuan dikeluarkan Komentar ini antara lain: 1) Untuk mendorong Negara mengembangkan dan menerapkan suatu kebijakan peradilan pidana anak yang menyeluruh untuk mencegah anak melakukan tindak pidana berdasar pada dan sesuai dengan KHA; 2) Untuk menyediakan pedoman dan rekomendasi bagi negara untuk membuat kebijakan peradilan pidana yang menyeluruh, dengan perhatian khusus mencegah anak melakukan tindak pidana, pengenalan tindakan alternatif dengan untuk menanggapi anak yang melakukan tindak pidana tanpa menggunakan prosedur pengadilan dan untuk menafsirkan dan menginterpretasikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 40; 3) Untuk memajukan integrasi dalam kebijakan nasional mengenai peradilan pidana anak secara komprehensif dan standar internasional lainnya, khususnya Aturan Beijing, Aturan Pencabutan Kebebasan, dan Pedoman Riyadh. h. Pedoman PBB untuk Tindakan Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana63 Pedoman ini merekomendasikan bahwa untuk mengimplementasikan pedoman ini dipertimbangkan hal-hal berikut ini: 1) Penghormatan terhadap martabat manusia, sesuai dengan 4 (empat) prinsip KHA; 2) Berorientasi pada pendekatan berbasis hak; 3) Pendekatan menyeluruh untuk mengimplementasikan sistem peradilan pidana anak dengan memaksimalkan sumber daya dan langkah-langkah lainnya; 4) Mengintegrasikan pelayanan berbasis antardisiplin ilmu/pendekatan; 5) Partisipasi anak dan menekankan peran komunitas; 6) Pemberdayaan mitra melalui proses pengembangan kapasitas; 7) Pelaksanaan berdasarkan akuntabilitas dan transparans; 8) Tanggapan yang proaktif berbasis pencegahan yang efektif dan tindakan pemulihan terhadap anak; 9) Keberlanjutan tanpa bergantung secara terus menerus dengan badan-badan eksternal; 10) Pengajuan anggaran yang layak dan membuka aksesibiltas terhadap kebutuhan mendasar anak. 63 Paragraf 8, Rekomendasi Dewan Ekonomi dan Sosial, Resolusi 1997/30 pada 21 Juli 1997 Page 21 of 21