Diskriminasi terhadap Anak

advertisement
ANAK SEBAGAI KORBAN PALING AWAL DAN PALING RENTAN KARENA
TINDAKAN DISKRIMINATIF1
Oleh: Adzkar Ahsinin
Pendahuluan
Setiap terjadi peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menimpa
sekelompok masyarakat, dapat dipastikan pelanggaran HAM tersebut juga menimpa
anak-anak. Dalam peristiwa ini anak menjadi korban dan terkena dampak akibat
pelanggaran tadi. Perspektif disiplin HAM secara jelas mendeklarasikan bahwa hak
anak adalah HAM sehingga jelas pertautan kewajiban negara untuk menghargai,
melindungi, dan memenuhi hak-hak anak tidak berbeda dengan kelompok masyarakat
lain. Bahkan Konvensi Hak Anak (KHA)/ Convention on the Rights of the Child (CRC)
dibentuk secara sui generis karena instrumen hukum HAM internasional yang ada
belum secara spesifik dapat memberikan perlindungan kepada anak. Diagram berikut
mendeskripsikan pertautan dan karakteristik khas KHA dengan instrumen hukum HAM
yang lain.2
Natural Rights
CEDAW
1980
CRC
1989
Universal Declaration of Human
Rights 1948
Demikian pula halnya jika terjadi tindakan diskriminatif yang menimpa sekelompok
masyarakat, dipastikan anak sebagai bagian kelompok tadi akan mengalami hal yang
serupa. Namun rentanitas penderitaan korban diskriminasi tersebut akan lebih diderita
oleh anak-anak. Karena bisa saja terjadi dalam pada setiap kelompok yang mengalami
diskriminasi, anak juga menjadi korban tindak diskriminatif oleh anggota kelompok
tersebut. Situasi ini terjadi karena perlindungan dan pemenuhan hak asasi anak
bergantung pada lingkaran-lingkaran di luar diri anak sebagai lingkungan sosiologis
Tulisan menjadi bahan masukan bagi Koalisi LSM Anti Diskriminasi sebagai bahan masukan hearing dengan fraksi PKB
dalam penyusunan RUU Anti Diskriminasi Rasial dan Etnis pada Oktober 2005 . Tulisan ini kemudian diolah kembali
untuk kepentingan pengembangan website YPHA
2 Mahesh Patel, Human Rights as an Emerging Development Paradigm and some implications for Programme Planning, Monitoring and
Evaluation, Urban Jonsson, RD up to Version 1.6) HRAP M&E Workshop Update, May, 2001, hal. 6
1
1
dan sekaligus pihak-pihak tempat mana anak tersebut menggantungkan hidup dan
kehidupannya. Lingkaran sosiologis yang melingkupi kehidupan anak-anak
tergambarkan pada bagan di bawah ini.3
Merujuk pada gambar tersebut maka derajat penderitaan anak akan berbeda-beda
akibat perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh setiap lingkar-lingkar para pihak
yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Selain mendeskripsikan lingkar-lingkar
penanggung jawab
perlindungan dan
pemenuhan hak anak, bagan tersebut juga merefleksikan realitas sosial yang terjadi
pada masyarakat yang menjadi faktor terjadinya tindakan diskriminasi. Faktor tersebut
bersumber pada pola-pola relasi kuasa yang terjadi antara lingkaran-lingkaran tersebut.
Relasi kuasa yang terjadi pada lingkar-lingkar tersebut secara sosiologis justru
membangun suatu konstruksi sosial yang merugikan anak. Konstruksi sosial yang ada
menghasilkan pola-pola relasi yang tidak adil dan tidak setara antara anak dengan
pihak-pihak di luar anak yang seharus bertanggung jawab terhadap anak. Dengan kata
lain pola relasi menggambarkan ada pihak yang subyek dan ada pihak yang menjadi
obyek. Subyek-obyek seringkali dipahami menjadi logika ”penguasaan” di mana subyek
adalah pihak yang mendapatkan keuntungan, sedang obyek adalah pihak yang
kehilangan keuntungan atau yang dirampas hak-haknya. Relasi kuasa ini pada akhirnya
mengakibatkan bentuk-bentuk diskriminasi pada pihak-pihak yang ditandai sebagai ”si
lemah” pada suatu konstruksi sosial yang dikuasai oleh ”si kuat”.4 Diskriminasi
terhadap anak juga bersumber pada terdapatnya stratifikasi sosial yang ada pada
masyarakat. Pitirim A. Sorokin menyatakan bahwa stratifikasi sosial adalah pembedaan
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Pembedaan kelas
berdampak pula terhadap akses pemenuhan suatu hak yang dimiliki anak. Dalam sistem
stratifikasi yang bersifat tertutup (closed social stratification) kemungkinan pindahnya
Joachim Theis, Promoting Rights-Based Approaches : Experiences and Ideas from Asia and the Pacific, Save the
Children Sweden, 2004, hal. 7
4 Agus Hartono, Memahami Anak dalam Partisipasi, dalam Buletin Kelopak Indonesia, Juni 2004, hal. 4
3
2
anak dari satu lapisan ke lapisan yang lain yang lebih baik tertutup. Sedangkan dalam
stratifikasi sosial yang terbuka (open social stratification) ada kemungkinan anak-anak
untuk pindah ke lapisan yang lebih.5 Diskrimnasi berdasarkan ras, warna kulit,
keturunan atau asal usul etnik atau kebangsaan, agama atau keyakinan, serta jenis
kelamin merupakan sistem stratifikasi sosial yang tertutup. Di sisi lain, diskriminasi
karena status sosial merupakan sistem stratifikasi sosial yang terbuka. Meskipun
terdapat perbedaan, namun dampaknya tetap menghalangi dinikmatinya suatu hak yang
melekat pada anak.
Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, anak-anak dikategorikan sebagai
kelompok yang rentan (vulnerable groups), di samping kelompok rentan lainnya seperti
: pengungsi (refugees), pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDP’s),
kelompok monoritas (national minorities), pekerja migrant (migrant workers),
penduduk asli pedalaman (indigenous peoples), dan perempuan (women).6
Pengkategorian serupa juga dilakukan oleh Komite PBB untuk Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (Commitee on Economic, Social, and Cultural Rights),
mengidentifikasi kelompok rentan sebagai berikut : petani yang tidak memiliki tanah,
pekerja di desa, pengangguran di desa, pengangguran di kota, kaum miskin kota, anakanak, usia lanjut, dan kelompok khusus lainnya.7 Individu-individu yang masuk dalam
kategori ini, kadang-kadang mengalami bahwa kemampuan mereka untuk menikmati
dan merasakan suatu standar kehidupan yang setara dan layak sebagaimana kelompok
yang lain menjadi sangat sulit. Kelompok ini dikatakan rentan karena secara tradisional
telah menjadi sasaran proses diskriminasi.8 Jika kelompok ini mengalami diskriminasi
tentu saja anak-anak juga akan mengalami hal yang serupa karena anak-anak secara
genealogis menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Dalam perspektif kerangka hukum KHA, terdapat sekelompok anak yang disebut
childern in need of special protection/CNSP atau anak-anak dalam situasi khusus.
Mengacu pada Komite Hak Anak PBB terdapat 4 (empat) kelompok anak yang termasuk
kategori ini9 :
Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni
pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun
pengungsi dalam negeri (internally displaced people)10dan anak yang berada
dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict)11
2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi12, penyalahgunaan
obat (drug abuse)13, eksplotasi seksual14, perdagangan anak (trafficking15), dan
ekploitasi bentuk lainnya16
1.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grafindo Perkasa, cetakan ketigapuluhdelapan, Januari 2005,
hal. 227 - 234
6 Willem Van Genugten J.D dalam Iskandar Hoesin, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak-Anak, Suku
Terasing, dll) dalam Perspketif HAM, Makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum VIII, 2003
7 Asbjorn Eide, Hak Atas Standar Hidup yang Layak Termasuk Hak Pangan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai
Pilihan, Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (ed.), Jakarta, 2001, hal. 108
8 Asbjorn Eide, Hak –Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sebagai Hak Asasi Manusia dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya:
Esai-Esai Pilihan, op. cit, hal. 27
9 Lihat Overview of the reporting procedured : 24/10/94 CRC/C/33
10 Lihat Pasal 22 KHA
11 Lihat Pasal 38 KHA
12 Lihat Pasal 32 KHA
5
3
3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law)17
4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from
indigenous people and minorities)18
Sebangun dengan konsep hukum di atas, Vivit Muntarbhorn mengidentifikasi
kelompok-kelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan
(children in especially difficult circumstances/ CEDC) sebagai berikut :19
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Anak-anak pedesaan
Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan
Anak perempuan
Pekerja anak
Pelacuran anak
Anak-anak diffabel
Anak-anak pengungsi dan tidakberkewarganegaraan
Anak-anak dalam penjara
Anak-anak korban kekerasan dan terlantar
Bagan di bawah menggambarkan situasi anak yang membutuhkan perlindungan khusus
apabila dilihat
stratifikasi sosial masyarakat yang menjadi lingkungan sosiologis
kehidupan anak-anak. Stratifikasi sosial merupakan salah satu akar masalah terjadinya
perlakuan yang diskriminatif termasuk pada anak-anak.
Upper class
Middle class
CNSP/CEDC
Lower class
Situasi ini menyebabkan anak-anak yang termasuk kategori membutuhkan
perlindungan khusus mengalami hambatan untuk menikmati hak-hak asasinya karena
apabila dilihat dari stratifikasi sosial yang ada mereka sebagian besar berada pada
kelas bawah (lower class).
Lihat Pasal 33 KHA
Lihat Pasal 34 KHA
15 Lihat pasal 35 KHA
16 Lihat Pasal 36 KHA
17 Lihat Pasal 37, 39, dan 40 KHA
18 Lihat Pasal 30 KHA
19 Candra Gautama, Konvensi Hak Anak : Panduan Bagi Jurnalis, Jakarta, LSPP, 2001, hal. 6 – 10
13
14
4
Diskriminasi, selain disebabkan karena faktor pola relasi dan stratifikasi sosial terjadi
karena ketertutupan akses bagi anak untuk berpartisipasi karena kecenderungan yang
terjadi orang pihak-pihak yang bertanggung jawab pada anak malah merasa memiliki
kekuasaan untuk menginterpretasikan pandangan dan pendapatnya anak sesuai
keinginannya. Dampaknya kebutuhan anak yang bersifat spesifik bisa terdistorsi karena
interpretasi tersebut sehingga menimbulkan hambatan-hambatan yang dirasakan anak
dalam menikmati hak-haknya.
Dengan demikian anak berpotensi mengalami diskriminasi yang bersumber pada : (i)
konstruksi sosial yang ada dalam masyatakat; dan (ii) sistem ketatanegaraan yang ada.
Sumber pertama merupakan bentuk diskriminasi secara horisonantal. Diskriminasi
secara vertical bersumber pada pihak yang mempunyai otoritas untuk membuat
kebijakan public yakni negara. Dalam perspektif Johan Galtung, sumber pertama
merupakan bentuk kekerasan personal dan kultural, sedangkan sumber kedua
merupakan bentuk kekerasan struktural.20
Dalam perspektif sosiologis, sumber diskriminasi terhadap anak dapat diidentifikasi
sebagai berikut : 21
1. Alasan-alasan yang berdasarkan pada sikap sosial :
a. Anak-anak dipandang tidak matang, tidak kompeten, tidak bertanggung
jawab dan irasional, karenanya tidak dipercaya untuk berpartisipasi;
b. Karena orang dewasa pernah menjadi anak-anak, maka orang dewasa
merasa layak untuk bertindak atas nama anak-anak;
c. Anak-anak dilihat sebagai urusan domestik keluarga karena itu sudah
sepantasnya diperlakukan sebagai pihak yang pasif dan bergantung pada
orang tua;
d. Bagi kebanyak orang dewasa memberikan apa yang seharusnya menjadi
hak-hak anak dipandang sebagai ancaman terhadap relasi kekuasaan
antara orang dewasa dengan anak-anak;
e. Masih hidup kultur ketidakberdayaan dan nonpartisipasi bagi anak.
2. Alasan-alasan yang terkait dengan struktur dan fungsi otoritas setempat :
a. Sikap paternalistik birokrat yang mendasarkan pada pandangan bahwa
selaku abdi negara mereka diberikan legitimasi untuk mengambil
keputusan bagi anak-anak berdasarkan perspektif orang dewasa;
b. Struktur birokrasi yang ada tidak membuka ruang-ruang yang
memungkinkan anak untuk berpartisipasi;
c. Kerangka legislatif menghambat partisipasi;
d. Anak-anak cenderung tidak terlihat dalam hitungan statistik.
3. Alasan-alasan yang terkait dengan adanya pandangan bahwa issue anak tidak
berdampak secara politis sehingga tidak masuk dalam agenda politik :
Johan Galtung, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban, Pustaka Eureka, Surabaya,
2003.
21 Mengadopsi Victoria Jhonson, et.al, Institusi dan Kekuasaan, dalam Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta,
REaD Book, 2002, hal. 483 - 485
20
5
a. Kebijakan pemerintah cenderung didominasi masalah perekonomian
ketimbang tujuan-tujuan pelayanan jaminan sosial sehingga cenderung
rekatif daripada proaktif;
b. Anak-anak dipandang sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif;
c. Anak-anak tidak diberikan haknya untuk memberikan suaranya sehingga
kebutuhan dan kepentingan mereka dikalahkan oleh kebutuhan orang
dewasa yang mempunyai suara.
Perspektif HAM terhadap Tindak Diskriminasi terhadap Anak
Istilah diskriminasi tidak didefinisikan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR),22 termasuk di
dalamnya prinsip non diskriminasi. Namun, Komite Hak Asasi Manusia (The Human
Rights Committee), melalui Komentar Umum Nomor 18 (General Comment) pada 1989,
menekankan bahwa prinsip ”non diskriminasi” semestinya ditampakan dalam tataran
implementasi. Kesajajaran di muka hukum dan kesamaan perlindungan hukum tanpa
diskriminasi, menjadi basis dan prinsip umum bagi upaya perlindungan HAM. 23
Kemudian Komite mengutip Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial24 (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination/CERD) untuk mendefinisikan pengertian diskriminasi. Pasal tersebut
menyatakan bahwa :
Suatu pembedaan, pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna
kulit, keturunan atau asal usul etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau
berakibat mencabut atau mengurangi pengakuan, perolehan atau pelaksanaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu kesederajatan, di
bidang pilitik, ekonomi, sosial, budaya atau bidang-bidang kehidupan
kemasyarakatan lainnya.
Pengertian tersebut dielaborasi lebih lanjut pada Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan25 (Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Pasal tersebut mendefiniskan hal
yang serupa, yakni : 26
Setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Pemerintah RI telah meratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York,
1998, hal. 21
24 Pemerintah RI telah meratifikasi melalui UU Nomor 29 Tahun 1999
25 Pemerintah RI telah meratifikasi melalui UU Nomor 7 Tahun 1984
26 Rachel Hodgkin and Peter Newell, op. cit,
22
23
6
Lebih lanjut, Komite memberikan catatan bahwa istilah diskriminasi yang digunakan
dalam Kovenan harus dipahami menyiratkan setiap pembedaan, pengucilan,
pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pilihan politik atau opini lain, asal-usul kebangsaan, kepemilikan, kelahiran atau status
lain, yang mana ditujukan atau mengakibatkan dihapuskannya atau mengurangi
pengakuan, penikmatan atau penggunaan oleh setiap manusia berdasarkan kesejajaran
kedudukan atas semua hak dan kebebasannya.27 Dalam konteks diskriminasi terhadap
anak Komentar Umum Komite menegaskan bahwa Kovenan meminta bahwa anak harus
diberikan perlindungan terhadap diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, asal usul kebangsaan dan sosial, kepemilikan atau kelahiran. Sedangkan
prinsip-prinsip non diskriminasi, dimaknai sebagai jaminan penikmatan atas semua
hak-hak yang dijamin dalam Kovenan (Pasal 2) ; persamaan hak antara laki-laki dengan
perempuan (Pasal 3), persamaan kedudukan di hadapan pengadilan dan badan
peradilan (Pasal 14), mempunyai hak dan kesempatan tanpa pembedaan untuk ikut
serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan (Pasal 25); dan kesederajatan di muka
hukum (Pasal 26). Komitmen negara ditandai dengan sampai sejauhmana praktekpraktek dan legislasi memastikan upaya-upaya perlindungan dan penghapusan setiap
diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan.28 Lebih jauh Komite juga menekankan
bahwa penikmatan hak dan kebebasan atas dasar kesamaan kedudukan diupayakan
melalui tindakan afirmatif (affirmative action) yang ditujukan untuk menghapuskan
kondisi-kondisi yang melanggengkan diskriminasi sebagaimana telah dilarang oleh
Kovenan.29
Bahasa Pasal 2 KHA diinterpretasi oleh Komite Hak Anak (Committee on the Rigts of
the Child) dengan menekankan bahwa kewajiban negara pihak untuk mencegah
diskriminasi dalam setiap aspek implementasi meliputi tinjauan legislasi, perencanaan
strategis, pemantauan, penyadaran publik, pendidikan dan kampanye, dan evaluasi
upaya-upaya yang telah diambil untuk mengurangi disparitas. Philip Alston dalam
Bulletin of Human Rights memberikan komentar yang menyatakan bahwa istilah
hukum internasional kewajiban untuk menghargai (to respect) menyaratkan negara
pihak untuk menahan diri dari setiap tindakan yang dapat melanggar setiap hak anak.
Sedangkan, kewajiban untuk memastikan (to ensure) menyiratkan kewajiban afirmatif
dalam rangka mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menjamin penikmatan
hak-hak anak yang relevan.30 Implementasi prinsip non diskriminasi diturunkan lebih
jauh dengan mengkaitkan ketentuan Pasal 3, Pasal 6, dan Pasal 12. KHA.31
indikator pemenuhan hak-hak tersebut perlu dijadikan rujukan.
Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan dan kesehatan Komite Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (Committee on Economic, Social, and Cultural) telah menetapkan
kriteria terpenuhinya hak-hak tersebut dalam komentar umumnya.
1. Hak atas pendidikan dikatakan telah terpenuhi apabila indikator-indikator di
bawah ini terpenuhi , yakni :32
ibid
Lihat General Comment Nomor 18 : non-discrimination : .10/11/89, par. 3
29 op.cit, hal. 22
30 ibid
31 ibid
32 Committee on Economic, Social, and Cultural Rights, General Comment No. 13, The right to education (art. 13), par. 6
27
28
7
a. Ketersediaan (availability) : keberfungsian institusi pendidikan dan
program-program pendidikan mesti dapat tersedia secara layak bagi
semua orang.
b. Aksesibilitas (accessibility) : setiap orang punya akses atas lembaga,
institusi dan program-program pendidikan tanpa diskriminasi. Prinsip
non diskriminasi, dimaknai bahwa pendidikan harus dapat diakses bagi
semua orang, khususnya kelompok rentan. Dalam hal ini aksesibilitas
pendidikan diartikan biaya pendidikan mesti terjangkau.
c. Akseptibilitas (acceptability) : format, substansi pendidikan seperti
kurikulum, metode pengajaran mesti berkesesuaian dengan situasi,
kondisi dan budaya siswa;
d. Adaptibilitas (adaptability) : pendidikan mesti fleksibel, dapat
disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat.
2. Hak atas kesehatan dikatakan telah terpenuhi apabila indicator-indikator di
bawah ini terpenuhi , yakni : 33
a. Ketersediaan (availability) : keberfungsian fasilitas kesehatan, obatobatan dan pelayanan kesehatan publik serta program-program
kesehatan mesti dapat dinikmati oleh setiap orang.
b. Aksesibilitas (accessibility) : fasilitas dan layanan kesehatan mesti dapat
diakses secara layak bagi semua orang tanpa diskriminasi. Prinsip non
diskriminasi mensyaratkan bahwa kelompok yang rentan semestinya
mendapatkan jaminan pemenuhan hak atas kesehatan.
c. Akseptabilitas (acceptability) : semua fasilitas kesehatan mesti
dilaksanakan
berdasarkan etika medis dan kebudayaan, seperti
penghormatan budaya individu, minoritas, penduduk dan komunitas, dan
memenuhi prinsip-prinsip sensitive gender.
d. Kualitas (quality) : prinsip kualitas mempunyai arti secara medis dan
ilmu pengetahuan (scientifically) layak dan berkualitas baik.
Berdasarkan paparan di atas, diskriminasi terhadap anak dapat dipetakan dengan tabel
berikut ini.34
Lingkup Tindakan
Diskriminatif




Tindakan membedakan
Tindakan mengecualikan
Tindakan membatasi
Tindakan memilih
Obyek Tindakan Diskriminatif
Akibat Tindakan
Diskriminatif
 Kelompok anak-anak pada
umumnya karena dianggap
belum menjadi manusia
seutuhnya baik secara hukum,
sosial, dan budaya
 Anak yang berada dalam situasi
khusus (CNSP/CEDC)
 Anak sebagai bagian dari
Menghapus atau mengurangi :
pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi anak,
martabat, dan kebebasankebebasan pokok di bidang
politik, sipil, ekonomi, sosial,
dan budaya
Committee on Economic, Social, and Cultural Rights General Comment No. 14, The right to the highest attainable standard of
health (art. 12)., par. 12
34 Mengadopsi Ester Indahyani Yusuf, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Sebuah Kajian
Hukum tentang Penerapannya di Indonesia, Bahan Bacaan, Kursus HAM untuk Pengacara X, Elsam, 2005
33
8
kelompok rentan : perempuan,
pengungsi (refugees),
pengungsi dalam negeri
(internally displaced
persons/IDP’s), kelompok
monoritas (national
minorities), pekerja migrant
(migrant workers), penduduk
asli pedalaman (indigenous
peoples), petani yang tidak
memiliki tanah, pekerja di
desa, pengangguran di desa,
pengangguran di kota, kaum
miskin kota
Jaminan dan Perlindungan Hukum Internasional terhadap Anak dari
Tindakan Diskriminasi
Merujuk pada Komentar Umum Nomor 18 Komite Hak Asasi, maka landasan yuridis
larangan untuk melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap anak terdiri atas :
1. Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
a. Pasal 2 ayat (1) :
Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang
yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya,
tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
b. Pasal 3 :
Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang
sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak
sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.
c. Pasal 14 ayat (1) :
Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan
pengadilan dan badan peradilan.
d. Pasal 25 huruf a :
Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa
pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan
tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk
Ikut serta dalam
pelaksanaan urusan pemerintahan.
e. Pasal 26 :
Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Dalam hal
ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin
perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau
sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
9
Dalam konteks hak anak, Komentar Umum Nomor 17 Komite Hak Asasi Manusia
menjadikan Pasal 24 Kovenan Hak Sipil dan Politik menjadi landasan yuridis
yang utama.35 Pasal 24 berbunyi :
(1) Setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah
perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap
keluarga, masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras,
warna, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan atau kelahiran.
(2) Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus
memperoleh suatu nama.
(3) Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan.
2. Konvensi Hak Anak
KHA sebagai instrumen utama yang secara sui generis mengatur hak-hak anak
ditegakkan berdasar 4 prinsip utama sebagai pilar pemenuhan dan perlindungan
hak anak , yakni :36
a. Pasal 2:
Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang
dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam
yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun (the obligation
of States to respect and ensure the rights set forth in the Convention to
each child within their jurisdiction without discrimination of any kind)
b. Pasal 3 (1):
Kepentingan-kepentingan
terbaik
anak
harus
merupakan
pertimbangan utama dalam semua tindakan yang diambil mengenai
anak (the best interests of the child as a primary consideration in all
actions concerning children).
c. Pasal 6 :
Tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan dan
Negara-negara Pihak harus menjamin sampai pada jangkauan
semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak (the child’s
inherent right to life and States parties’ obligation to ensure to the
maximum extent possible the survival and development of the child).
d. Pasal 12 :
Anak mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat sesuai dengan
pandangannyat dengan bebas dalam semua masalah yang
mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang
Komite Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa pelaksanaan kewajiban Pasal 24 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik harus
diinterpretasikan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 26. Lihat General Comment No. 17 : Rights of the Child (Art. 24)
:.07/04/89, par. 5
36 COMMITTEE ON THE RIGHTS OF THE CHILD : GENERAL COMMENT No. 5 (2003) : CRC/GC/2003/5 :
General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44, para. 6). Lihat
Paragraph 12.
35
10
semestinya sesuai dengan umur dan kematangan anak (the child’s right
to express his or her views freely in “all matters affecting the child”, those
views being given due weight).
Selain landasan tersebut larangan melakukan tindakan diskriminasi dapat merujuk
pada:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia :
a. Pasal 2 :
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada kekecualian apa pun,
seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik
atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak
milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
2. Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Budaya :
a. Pasal 2 (2) :
Negara Pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak
yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apapun sepertii ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran
atau status lainnya.
b. Pasal 3 :
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama
antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini.
3. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan :37
a. Pasal 1 :
Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "diskriminasi terhadap
perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang
dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan
untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh
kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
persamaan antara laki-laki dan perempuan.
b. Pasal 2 :
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam
segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara
Semua ketentuan ini harus dibaca dengan interpretasi ekstensif dan sistematis dengan merujuk pada ketentuan KHA
karena dalam kelompok perempuan juga terdapat kelompok perempuan anak. Dalam titik ini terdapat cara atau metode
khusus bagi anak-anak dalam mengartikulasikan kepentingan terbaiknya. Partisipasi anak merupakan sarana untuk
mencapai perlindungan anak dari tindak diskriminasi. Namun terdapat catatan penting bahwa partisipasi anak berbeda
dengan partisipasi perempuan, partisipasi masyarakat atau kelompok marjinal lainnya yang lebih mengacu pada politic and civil
rights dan economic, social, and cultural rights. Partisipasi pada “orang dewasa” akan menghasilkan kesetaraan. Sedangkan
partisipasi anak akan memunculkan child protection atau perlindungan anak sesuai dengan KHA. Lihat presentasi Antarini
Arna yang berjudul: Prinsip-prinsip Dasar Partisipasi Anak, YPHA, tanpa tahun
37
11
yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus
diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha :
1) Mencantumkan azas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam
Undang Undang Dasar nasional mereka atau perundang-undangan
yang tepat lainnya jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk
menjamin realisasi praktis dari azas ini, melalui hukum dan cara-cara
lain yang tepat ;
2) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan
peraturanperaturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu,
melarang semua diskriminasi terhadap perempuan;
3) Tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap
perempuan, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah
dan lembaga-lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban
tersebut ;
4) Membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan
undang-undang, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang,
peraturan-peraturan, keblasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang
diskriminatif terhadap perempuan;
c. Pasal 3 :
Negara-negara peserta membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk
pembuatan undang-undang di semua bidang, khususnya di bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya, untuk meniamin perkembangan dan kemajuan
perempuan sepenuhnya, dengan tuiuan untuk menjamin mereka
melaksanakan
dan
menikmati
hak-hak
asasi
manusia
dan
kebebasankebebasan pokok atas dasar persamaan dengan laki-laki
Tindakan Diskriminasi terhadap Anak melalui Kebijakan Publik
Tindakan diskriminasi terhadap anak dilakukan oleh negara melalui kebijakan publik
yang terformulasikan ke dalam regulasi dan anggaran publik. Diskriminasi tersebut
diindikasikan dengan ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (uncapable)
negara untuk menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai prioritas penetapan
kebijakan publiknya. Kewajiban afirmatif yang menjadi konsekuensi yuridis bagi
Pemerintah Republik Indonesia, tidak nampak dalam langkah-langkah implementasi.
Pada akhirnya, pilihan politik ini berdampak pada terhambatnya penikmatan hak-hak
anak yang seharusnya melekat pada setiap individu anak seperti yang telah dijamin
dalam instrumen hukum hak asasi manusia.
Selain itu, instrumen hukum yang seharusnya menghilangkan praktek-praktek
diskriminasi terhadap anak yang terjadi di dalam kehidupan sosial masyarakat belum
nampak.38 Kondisi ini disebabkan karena instrumen hukum nasional secara substansi
tidak selaras dengan substansi instrumen hukum hak asasi internasional yang menjamin
pemenuhan hak-hak anak. Kemudian instrumen hukum nasional ini dijadikan rujukan
oleh alat-alat negara.
Prinsip “equality before the law” yang seharusnya menempatkan permasalahan anak
setara dengan permasalahan kenegaraan lainnya, tidak nampak dalam praktek-praktek
38
Kewajiban yuridis ini diamanatkan Pasal 4 CERD dan Pasal 2 huruf f CEDAW
12
kenegaraan. Hal ini disebabkan adanya kesenjangan relasi kuasa antara pengambil
kebijakan dengan anak-anak. Anak-anak secara struktur sosial menempati lapisan
bawah, tentu saja secara politik tidak mendapatkan akses untuk dilibatkan pelaksanaan
jalannya pemerintahan. Kata persamaan seharusnya dimaknai tidak hanya pada akses
terhadap penerapan pemenuhan hak asasi manusia yang sama bagi anak-anak tetapi
juga persamaan terhadap manfaat atau pada hasilnya (equality of acces, equality of
opportunity and equality of result).39 Selanjutnya, dalam titik ini negara dilekati 2 (dua)
unsur kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM, yakni : (i)
kewajiban mengenai tindakan (obligation of conduct) dan (ii) kewajiban mengenai hasil
(obligation of result).
Kewajiban yang pertama membutuhkan tindakan yang diperhitungkan dengan cermat
untuk menjamin dipenuhinya suatu hak tertentu. Sedangkan kewajiban yang kedua,
mengharuskan negara untuk mencapai target tertentu guna memenuhi standar
substantif terinci.40 Anggaran publik yang disusun berbasis pemenuhan hak anak
menjadi konsekuensi logis, politik, dan yuridisnya. Oleh karenanya politik kebijakan
anggaran publik sudah semestinya merealisasikan tujuan negara tersebut. Pencapaian
hasil dari suatu hak memang tergantung pada ketersediaan finansial yang memadai dan
sumber daya yang lain. Namun, kurangnya sumber daya tidak mengurangi kewajiban
negara untuk menjamin sedikitnya tingkat minimum dari hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya bagi semua penduduk.41
Terkait dengan hal ini, General Comment Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya PBB Nomor 3 (1990) tentang Sifat dari Kewajiban-Kewajiban Negara Peserta
(On the Nature of State Obligations) menegaskan bahwa realisasi progresif memiliki
batas-batas. Dalam hal halangan sumber daya, negara harus menjamin sedikitnya
tingkat minimal dari tiap-tiap hak untuk dipenuhi.42 Dengan kata lain, terdapat ambang
batas di mana keterbatasan sumber daya tidak dapat dijadikan dalih bagi negara untuk
mengingkari atau tidak mampu memenuhi hak-hak tersebut. Ambang batas inilah yang
disebut sebagai minimum core content of rights, di mana negara harus segera
mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negaranya.43
Beberapa Produk Hukum yang Diskriminatif terhadap Anak
1. UUD 1945
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang seharusnya menjamin hak
konstitusional
anak malah menegasikan salah satu hak anak yang paling
fundamental, yakni hak anak untuk menyatakan pendapat. Konstitusi merupakan
Mengadopsi pemikiran Ratna Batara Munti, Sejauhmana Negara Memperhatikan Masalah Perempuan (CEDAW dan Pertanyaan
tentang Kebijakan-Kebijakan Negara), Jurnal Perempuan, Edisi 45, Jakarta, YJP, 2006
40 Lihat Pedoman Maastricht, bagian II Paragraf 2
41 Lihat Kovenan Hak Ekonomi, Sosila, dan Budaya, Pasal 4 : Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui bahwa dalam hal
pemenuhan hak-hak yang dijamin oleh Negara sesuai dengan Kovenan ini, Negara hanya dapat mengenakan pembatasan
hak-hak tersebut sesuai dengan ketentuan hukum, sepanjang hal ini sesuai dengan sifat hak-hak tersebut, dan semata-mata
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.
42 Allan McChesney, Memajukan dan Membela : Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Yogyakarta, Insist Human Right, 2003,
hal. 29
43 Naning Mardiniah, Meneropong Hak atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan : Analisis
Situasi Tiga Kabupaten : Indramayu,
Sikka, dan Jayapura, Jakarta, CESDA-LP3ES, hal. 15
39
13
aturan dasar yang membatasi kekuasaan negara dalam menjalin relasinya dengan
warga negara, termasuk anak-anak. Namun kenyataannya, UUD 1945 tidak
memberikan pengakuan hak anak untuk berpartisipasi. Pasal 28 B ayat (2) UUD
1945 hanya mencantumkan bahwa:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Padahal hak anak untuk berpartisipasi merupakan salah satu prinsip dasar KHA
yang menjamin setiap anak dapat menikmati setiap hak yang dijamin dalam KHA.
Hal ini ditegaskan oleh Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child)
yang menyatakan bahwa:44
Status Pasal 12 yang menjamin hak anak untuk berpartisipasi merupakan
prinsip
dasar KHA yang relevan dalam mengimplementasikan dan
menginterpretasikan seluruh pasal yang terdapat pada KHA.
Dengan tidak diakuinya hak anak untuk berpartisipasi dalam UUD 1945, negara
telah menghilangkan akses bagi setiap anak untuk menikmati hak-haknya sebagai
warga negara. Dalam negara yang demokratis partisipasi merupakan hak yang
mendasar bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam pengambilan kebijakan
publik karena setiap kebijakan publik akan memiliki dampak pada setiap kehidupan
warga negara baik secara individu maupun kolektif. Oleh karena itu KHA mengakui
hak anak untuk berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak
pada kehidupannya. Pasal 12 ayat (1) KHA menyatakan bahwa:
Negara harus menjamin bahwa anak-anak yang mampu membentuk
pandangannya sendiri, mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya
secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak-anak tersebut, dan
pendapat anak-anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan
mereka.
Penjaminan tersebut harus diimplementasikan dengan cara mengatur hak anak atas
partisipasi dalam sistem hukum nasional suatu negara. Dalam hal ini, hukum
nasional meneruskan delegasi yang dimandatkan oleh hukum internasional.
Pendelegasian tersebut dapat diwujudkan dengan mengakui hak anak untuk
berpartisipasi dalam konstitusi suatu negara.
Selain tidak mengatur hak anak atas partisipasi, UUD 1945 juga tidak mengakui
prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip ini semestinya menjadi pertimbangan
utama bagi setiap bagi pihak yang bertanggung jawab memberikan perlindungan
kepada anak. Pasal 3 KHA menyatakan bahwa:
1) Dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga
pengadilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik
bagi anak harus dijadikan pertimbangan utama.
Rachel Hodgkin & Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, 1998, hal.
145
44
14
2) Negara berupaya untuk menjamin adanya perlindungan dan pemeliharaan
sedemikian rupa yang diperlukan untuk kesejahteraan anak, dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua anak, walinya yang sah, atau
orang lain yang secara hukum bertanggungjawab atas anak yang
bersangkutan, dan untuk tujuan ini harus mengambil semua tindakan legislatif
dan administratif yang diperlukan.
3) Negara harus memastikan bahwa lembaga-lembaga, instansi-instansi dan
fasilitas-fasilitas yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dan
perlindungan anak menyesuaikan diri dengan standar-standar yang
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, terutama dalam bidang keselamatan,
kesehatan, dalam jumlah maupun kesesuaian petugas, dan pula dalam adanya
pengawasan yang baik.
Prinsip kepentingan terbaik bagi anak merupakan salah satu fondasi hak substantif
bagi anak karena prinsip ini memberiakn mandat bahwa setiap keputusan yang
berdampak pada anak harus dilandasi pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak.
Negara memiliki kewajiban untuk meletakkan mekanisme dan memfasilitasi
melalui kebijakan publik sehingga dapat memperhatikan kepentingan terbaik bagi
anak. Di samping itu negara juga harus menyediakan langkah-langkah legislatif
untuk memastikan bahwa mereka yang memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan tentang anak-anak mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan
anak. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang diatur dalam Pasal 3 KHA harus
dijadikan rujukan bagi setiap upaya intervensi kepada kelompok anak. Konsep
kepentingan terbaik anak menjadi spirit bagi Negara untuk mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi setiap individu anak dan kelompok
dalam proses
pengambilan keputusan. 45
Dengan tidak tercantumkannya prinsip partisipasi anak dan kepentingan terbaik
bagi anak memiliki konsekuensi yuridis yang berpotensi menghilangkan akses bagi
anak untuk menikmati hak asasinya. Oleh karenanya sangat strategis menempatkan
kedua prinsip ini menjadi norma yang tercantum secara eksplisit dalam UUD.
Menurut Jimly Asshiddiqiekonstitusionalisasi suatu norma ke dalam UUD
berimplikasi memiliki implikasi yuridis bahwa setiap produk undang-undang harus
tunduk kepada norma konstitusi.46
2. UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Beberapa ketentuan dalam UU ini bertentangan dengan prinsip non diskriminasi,
yakni :
a. Pasal 5 ayat (4) :
Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.47
Jean Zermatten, The Best Interests of the Child Literal Analysis, Function and Implementation, Working Report , 2010
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,
hal. 13
47 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur hal yang sama. Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 52
menyatakan anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
45
46
15
b. Pasal 50 ayat (3):
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Gejala munculnya pengkategorisasian institusi pendidikan ke dalam sejumlah
kelompok sekolah, seperti sekolah internasional, sekolah unggulan, sekolah biasa,
dan sebagainya. Pembedaan perlakuan tersebut merupakan indikasi situasi
pendidikan yang diskriminatif. Kemudian penentuan kelulusan dengan
standardisasi nilai minimal mata pelajaran tertentu dan pembagian jalur
pendidikan berdasarkan kategorisasi kemampuan finansial dan akademik
seseorang, dapat dikualifikasikan pula sebagai politik pendidikan
yang
diskriminatif. Diskriminasi pendidikan semakin diperkuat dan dipertegas oleh
negara ketika
UU No 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan48
disahkan. Melalui UU ini negara hendak menegasikan kewajibannya sebagai
pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak atas pendidikan dan
menyerahkan penyelenggaraan pendidikan pada mekanisme pasar.
c. Pasal 54 ayat (1) :
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
Pasal ini menjadi legitimasi penyelenggaraan komersialisasi pendidikan.
Dampaknya keterjangkauan biaya pendidikan akan menjadi permasalahan bagi
anak-anak dari keluarga miskin.
Dalam titik ini Pemerintah melakukan
diskriminasi terhadap anak-anak keluarga miskin untuk mengeyam hak atas
pendidikan melalui produk regulasi.
d. Ketiadaan kebijakan pemerintah untuk menjamin anak-anak perempuan yang
hamil dan atau mempunyai anak agar tetap memperoleh haknya meneruskan
pendidikannya, juga merupakan bentuk diskrimansi atas dasar jenis kelamin.
Permasalahan ini telah menjadi keprihatinan Komite Hak Anak PBB dalam
Pandangan Atas Laporan Indonesia khususnya terhadap pelaksanaan kewajiban
Negara Indonesia dalam menjamin hak anak khususnya hak atas pendidikan.49
3. Keppres No. 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi KHA
Pemberian landasan yuridis yang berbeda dalam meratifikasi sebuah instrumen
hukum internasional HAM menunjukkan derajat perhatian dan kepentingan yang
berbeda dari pemerintah terhadap permasalahan tersebut. KHA yang mengatur
secara sui generis kepentingan anak diratifikasi dengan Keputusan Presiden,
MK melaui amar putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/ 2009 menyatakan bahwa UU Nomor 9 Tahun
2009 tentang BHP bertentangan dengan UUD NRI 1945.
49 Lihat Concluding Observation CRC/C/15/Add.223, Paragraf 61
48
16
sedangkan instrumen hukum HAM internasional yang lain diratifikasi dengan i
undang-undang.
Perbedaan ini dapat menjadi indikasi tindak diskriminasi
pemerintah terhadap permasalahan anak. Padahal prinsip non diskriminasi
ditegakkan dengan basis prinsip equality before the law. Dari perspektif Hukum
Administrasi Negara, Keppres bisa berfungsi sebagai keputusan tata usaha negara
yang bersifat administratif dan hanya berdampak individual. Di sisi lain Keppres
memang bisa berfungsi mengatur dan berdampak pada publik. Bias fungsi ini
menjadi kendala yuridis dalam mengimplementasikan ketentuan KHA dalam
melakukan reformasi hukum yang mengatur permasalahan anak.
Pasca keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan ratifikasi KHA dengan sumber formil hukum
berupa Keputusan Presiden mempunyai implikasi yuridis dalam pembentukan UU.
Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan rujukan yuridis (dasar hukum) karena
Keputusan Presiden secara hierarkis lebih rendah daripada undang-undang.
Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Keppres tidak terdapat lagi pada jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan. Lebih jauh jika ditilik pada materinya berkaitan
dengan hak-hak asasi manusia, sudah semestinya dasar hukum ratifikasi KHA
dirubah. Menurut Pasal 10 UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : d. hak asasi manusia dan
lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru. Oleh karena secara
substanstif KHA mengatur perlindungan HAM dan merupakan kaidah hukum baru
bagi hukum nasional sudah semestinya landasan hukum pemberlakuannya
ditingkatkan derajatnya menjadi undang-undang.
4. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU ini didasari pendekatan sekterian (berbasis agama) yang akan dampaknya akan
menghalangi anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan perlindungan
dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Adopsi merupakan alternatif
bagi anak untuk medapatkan haknya tersebut. Prinsip yang mendasari hak ini
menurut KHA adalah kepentingan terbaik untuk anak bukan berdasarkan agama
atau keyakinan. Namun prinsip ini dilanggar oleh Pemerintah RI dalam mengatur
permasalahan kuasa asuh, perwalian, pengasuhan, dan adopsi anak.
Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan: Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan
diasuhnya. Demikian pula masalah perwalian anak, Pasal 33 ayat (2) menyatakan :
Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama
dengan agama yang dianut anak. Kemudian masalah pengasuhan anak, Pasal 37 ayat
(3) menyatakan : Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang
menjadi landasan lembaga yang bersangkutan. Ayat selanjutnya menyatakan :
Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan
agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang
17
dianut anak yang bersangkutan. Pengaturan yang sama juga dijumpai Pasal 39 ayat
(3) : Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. Ayat (5) dari pasal yang sama menegaskan : Dalam hal asal usul anak
tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk
setempat.
Hukum HAM internasional berpusat pada prinsip kepentingan prinsip dalam halhal yang berkaitan dengan anak-anak dan adopsi. KHA secara jelas mengatur
kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3). Penegasan
yang sama juga terlihat pada Pasal 21 yang menyatakan:
Pasal 21
Negara mengakui dan/atau memperkenankan adanya sistem pengangkatan
anak, harus menjamin bahwa kepentingan terbaik anak yang bersangkutan
merupakan pertimbangan paling utama.
Kemudian Konvensi Adopsi Den juga menetapkan aturan bahwa adopsi antar negara
berlangsung berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak dan dengan menghormati
hak-hak fundamental anak (Pasal 1).
5. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
UU ini sangat minim mengatur tentang pemenuhan hak anak atas derajat kesehatan
yang optimal. Hak anak atas kesehatan hanya diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 17.
Pasal-pasal tersebut tidak secara eksplisit mengatur hak anak atas fasilitas
kesehatan, layanan kesehatan, dan obat-obatan sebagai hak yang fundamental untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal.
6. Praktek-Praktek Tindak Diskriminasi Terhadap Anak
Penolakan sejumlah anak yang bermaksud bertemu anggota Komisi X DPR pada
saat memperingati sepekan Hari Pendidikan Nasional dengan alasan mereka belum
berusia 18 tahun sehingga tidak boleh terlibat dalam aktivitas politik. Penolakan
anggota parlemen merupakan bentuk praktek-praktek diskriminasi terhadap anak
untuk terlibat dalam urusan pemerintahan. Padahal Pasal 12 KHA menjamin bahwa
anak mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat sesuai dengan pandangannya
dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu.
Rekomendasi
1.
18
Cakupan masalah RUU Diskriminasi sebaiknya diperluas tidak hanya terbatas
diskriminasi berbasis etnis dan ras. Karena secara substansial RUU Diskriminasi
Ras dan Etnis telah diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination/CERD), yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah.
Konsekuensi yuridis bagi negara setelah meratifikasi suatu perjanjian internasional
berupa implementasi perjanjian tersebut signifikan dilakukan ketimbang membuat
2.
3.
19
UU dengan substansi yang sama. Salah satu langkah implementasi yang perlu
segera dilakukan adalah merubah seluruh materi peraturan perundang-undangan
yang secara substansi tidak berkesesuaian dengan substansi instrumen hukum
internasional yang telah diratifikasi. Dengan demikian apabila memang DPR
hendak mengajukan hak inisiatif mengajukan RUU Diskriminasi cakupan
masalahnya diperluas tidak hanya terbatas pada ras dan etnis. Tindak diskriminasi
yang menimpa sekelompok masyarakat karena mereka masih anak-anak perlu
mendapatkan perhatian. Artinya secara substantif diskriminasi yang menimpa
anak-anak harus masuk dalam cakupan RUU Diskriminasi. Karena Apabila
ditelisik lebih jauh sampai saat ini banyak produk hukum dan praktek-praktek
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang berpotensi mendiskriminasi
anak-anak. Selain hal tersebut anak-anak yang karena status sosial, kapabilitas
intelektualitas, agama, dan situasi dan kondisi khusus yang melekat pada anak
mendapatkan kesulitan untuk menikmati hak-hak asasinya juga perlu
mendapatkan perhatian untuk dimasukan sebagai cakupan masalah dalam RUU
tersebut.
DPR perlu segera mengajukan RUU perubahan terhadap produk peraturan
perundangan-undangan yang secara substansial berpotensi mendiskriminasi anakanak
DPR perlu membuka ruang konsultasi seluas-luasnya dengan anak-anak agar
mereka dapat mengutarakan pendapatnya sebagai wujud hak sebagai warga negara
untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan/publik
Download