Mengapa Harus Melakukan Advokasi Isu-Isu Hak Anak ? 1 Oleh: Adzkar Ahsinin Situasi Kebijakan di Indonesia Ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 merupakan landasan hukum bagi upaya advokasi isu hak anak. KHA merupakan instrumen Hukum Internasional yang mengakui eksistensi hukum anak sebagai subyek hak (rights holders) pada semua aspek kehidupan baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Artinya Negara berkewajiban menerjemahkan hak anak menjadi kenyataan. Pasal 4 KHA merupakan elemen kunci untuk mengimplementasikan KHA. Pasal 4 menyatakan bahwa Negara harus mengambil langkah legislatif, administratif, dan langkah lainnya guna mengimplementasikan prinsip dan norma KHA. Reformasi legislatif merupakan elemen penting dari untuk memastikan bahwa seluruh produk legislasi sesuai sepenuhnya dengan prinsip dan norma KHA.2 Reformasi hukum merupakan langkah awal bagi upaya mengimplementasikan hak anak secara efektif dan berkesinambungan (Innocenti Research Centre, 2007). Dengan demikian Negara berkewajiban untuk memeriksa seluruh spektrum kebijakan publik yang mempengaruhi realisasi hak-hak anak, baik dari konstitusi, undang-undang, anggaran, perencanaan, dan program yang ada apakah mencerminkan perlindungan dan pemenuhan hak anak (Elizabeth Gibbons et., al., 2008). Oleh karena itu, reformasi legislatif merupakan salah satu strategi yang efektif untuk memajukan dan melindungi hak anak. Elemen kunci lain agar hak anak dapat terpenuhi adalah alokasi anggaran untuk memenuhi hak anak , khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal 4 menyatakan bahwa pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya anak-anak mensyaratkan Negara mengambil tindakan secara maksimal sesuai dengan jumlah sumber daya yang tersedia (Innocenti Research Centre, 2007). Komentar Umum No. 5 Komite Hak Anak mengenai Langkah Umum Pengimplementasian KHA juga kembali menekankan upaya melakukan reformasi legislatif (Erica Hall, 2007) sebagai berikut: a. Komite berpendapat kajian komprehensif dari semua peraturan perundang-undangan nasional untuk memastikan kepatuhan sepenuhnya dengan KHA merupakan kewajiban negara pihak. Tinjauan terhadap produk legislatif tidak hanya pasal per pasal, tetapi secara holistik, mengakui kesalingketergantungan dan keutuhan HAM; b. Negara harus menjamin dengan segala cara yang tepat bahwa ketentuan-ketentuan KHA akan diberikan akibat hukum (legal effect) dalam sistem hukum nasional negara pihak; 1 Disampaikan dalam Acara Peluncuran dan Bedah Buku Memperjuangkan Kebijakan Yang Memenuhi Hak Anak yang diselenggarakan oleh World Vision Indonesia, Jakarta, 5 November 2010 2 Tindakan-tindakan yang semestinya dilakukan untuk melaksanakan norma pasal 4 KHA mencakup: a. Memastikan bahwa semua peraturan perundang-undangan (legislative policy) secara penuh sesuai dengan prinsipprinsip dan ketentuan KHA; b. Membuat suatu strategi nasional secara komprehensif guna memenuhi dan melindungi hak-hak anak; c. Mengalokasian dan menganalisis anggaran publik berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak. Lihat, Rachel Hodgkin dan Peter Newell, Implementation Handbook for the Convention on the Rights of the Child, UNICEF, New York, USA, 1998 Page 1 of 10 c. Menekankan tindakan inkorporisasi3 KHA dalam hukum domestik agar ketentuan-ketentuan KHA dapat diberlakukan melalui pengadilan dan diterapkan oleh otoritas nasional. d. Memastikan bahwa semua hukum nasional yang relevan, termasuk hukum lokal atau adat, sesuai dengan KHA; e. Menegaskan pentingnya prinsip-prinsip dan norma-norma hak-hak anak menjadi norma konstitusi nasional; f. Memastikan bahwa hukum nasional mencerminkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam KHA; g. Menekankan penting pengaturan secara sektoral di bidang pendidikan, kesehatan, dan akses keadilan yang mencerminkan konsisten dengan prinsip-prinsip dan standar KHA. Kesimpulan Pengamatan (concluding observation) dari Komite Hak Anak atas Laporan Pemerintah Indonesia terkait dengan pelaksanaan KHA juga dapat dijadikan sebagai alat eksaminasi sejauhmana hak anak dilindungi. Dalam Kesimpulan Pengamatan, Komite menyoroti ratifikasi yang dilakukan terhadap KHA tanpa melibatkan persetujuan legislatif melalui undang-undang.4 Hal ini juga ditekankan oleh Pelapor Khusus Hak Atas Pendidikan Katarina Tomaševski yang menyatakan bahwa Konvensi Hak Anak diratifikasi melalui keputusan presiden yang memiliki status terendah dalam hirarki sumber hukum sehingga terdapat pembatasan hukum untuk terimplementasi secara efektif.5 Situasi kebijakan di Indonesia sebagaimana telah terurai di atas, khususnya peraturan perundangundangan yang berlaku, dapat dipergunakan untuk melihat sampai sejauhmana Negara berpihak pada anak. Artinya reformasi hukum yang menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjamin penikmatan hak anak belum dilaksanakan secara optimal. Tabel sandingan antara peraturan perundang-undangan dengan KHA berikut ini menunjukkan belum berpihaknya Negara untuk memenuhi komitmen internasional untuk memajukan dan melindungi hak anak. 3 Menurut Aliran Dualisme, hukum internasional dapat menjadi norma hukum nasional melalui (i) inkorporisasi, yakni ketentuan hukum internasional langsung menjadi bagian dari hukum nasional; (ii) transformasi yakni ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum berlaku dalam lingkungan hukum nasional; dan (iii) delegasi, yakni hukum nasional mendapatkan limpahan kewenangan dari hukum internasional untuk memberlakukan ketentuan hukum internasional. Lihat Imelda Kamil Ariadno, Hukum Internasional, Diadit Media, Jakarta, 2007 4 Lihat Paragraf 14, Concluding Observations: Indonesia, Committee on The Rights of The Child, CRC/C/15/Add.223, 26 February 2004 5. Lihat Paragfraf 10, Laporan Pelapor Khusus Hak Atas Pendidikan, Katarina Tomaševski, E/CN.4/2003/9/Add.1, 4 November 2002 Page 2 of 10 Jenis Peraturan PerundangUndangan/Kebijakan UUD 19456 Keppres No. 36 Tahun 1990 mengenai ratifikasi KHA 11 Titik Kritis UUD 1945 belum mengakomodasi7 prinsip hak anak untuk menyatakan pendapat8 dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak9 sebagaimana telah dijamin dalam KHA. UUD 1945 hanya mengatur hak anak secara umum, ringkas, dan sederhana, dan ditujukan bagi kelompok anak tertentu10 belum mengokomodasi prinsip dan norma KHA secara utuh. Landasan hukum Keputusan Presiden untuk meratifikasi KHA mempunyai kelemahan mendasar, yakni Keputusan Presiden tidak dapat dijadikan rujukan yuridis bagi pembuatan undang-undang karena KHA Pasal 12 Pasal 3 Pasal 4 Pasal 2 Pasal 4 6 Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 7 Apabila mengacu pada pendapat Jimly Asshidiqie maka komitmen Negara terhadap pemajuan dan perlindungan anak dapat dikategorikan beerkomitmen sedang karena sudah memberikan pengakuan konstitusionalitas hak anak meski belum mengakui secara spesifik duty the state. Norma yang mengakui eksistensi anak sebagai subyek hak masih disatukan dengan HAM secara umum. Pasal lain yang mengatur jaminan hak anak adalah Pasal 34 yang mengatur bahwa anak yang terlantar dipelihara Negara. Lihat Jimly Asshidiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 8 Pasal 12 KHA menyatakan bahwa: Negara harus menjamin bahwa anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri, mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak-anak tersebut, dan pendapat anak-anak dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan mereka. 9 Pasal 3 KHA menyatakan bahwa: Dalam semua tindakan yang menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus dijadikan pertimbangan utama. 10 Dalam konteks perlindungan anak, terdapat 3 kategori konstitusi yakni: a. Konstitusi ’anak yang tersembunyi (The ‘invisible child’ constitution), yakni konstitusi suatu Negara yang tidak mengekspresikan secara khusus ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan anakanak. b. Konstitusi ‘perlindungan khusus’ (The ‘special protection’ constitution), yakni konstitusi yang telah merefleksikan perlakuan khusus yang ditujukan untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perlindungan dari ancaman kehidupan mereka. c. Konsitusi ‘hak asasi anak’ (The ‘children’s rights’ constitution), yakni konstitusi yang telah mengakomodasi prinsip-prinsip dan sebagian dari norma-norma yang terkandung dalam KHA. Sementara menurut Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow Konstitusi Indonesia termasuk Konstitusi ‘perlindungan khusus’ (the ‘special protection’ constitution), di mana isu yang menjadi substansi konstitusi secara eksplisit (tersurat) hanya kewajiban untuk memberikan perlindungan/dukungan terhadap kelompok anak tertentu seperti anak yatim, difabel, dan anak-anak yang sangat membutuhkan. Philip Alston, John Tobin, Mac Darrow LAYING THE FOUNDATIONS FOR CHILDREN’S RIGHTS : An Independent Study of some Key Legal and Institutional Aspectsof the Impact of the Convention on the Rights of the Child, The UNICEF Innocenti Research Centre, Giuntina, Florence, Italy, UNICEF, 2005 11 Sebelum berlaku UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Keputusan Presiden termasuk dalam hirarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lihat Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Page 3 of 10 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban UU No. 3 Tahun 1997 bertentangan dengan hirarkis peraturan perundang-undangan di Indonesia. 12 Kecuali KHA, instrumen HAM Internasional Pokok yang lain diratifikasi dengan UndangUndang13 UU PTPPO hanya mendefinisikan perdagangan orang belum mendefinisikan perdagangan terhadap anak Tidak memuat prinsip-prinsip KHA Perlindungan khusus terhadap korban dan saksi anak belum diatur Kompensasi sebagai kewajiban Negara belum diatur Mengatur kewajiban asasi anak Adopsi tidak berdasar pada prinsip non diskriminasi dan kepentingan terbaik bagi anak Belum mengatur perlindungan terhadap anak yang menjadi saksi dan korban sehingga isu-isu krusial terkait dengan kebutuhan yang khusus anak dan perlakuan khusus bagi anak (prinsip kepentingan terbaik bagi anak) tidak tercakup di dalamnya. Penetapan usia pertanggung-jawaban pidana anak terlalu rendah 8 tahun Penggunaan istilah hukum (legal term) anak nakal Proses pengadilan terhadap yang melakukan tindak pidana anak yang sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana dari pengadilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali Pidana yang dijatuhkan terhadap anak sama dengan pidana yang dijatuhkan kepada orang dewasa Hukum Acara bagi orang dewasa dalam KUHAP juga diberlakukan pada kasus anak Pasal 11 Pasal 12 (1) Pasal 19 Pasal 34 Pasal 35 Pasal 39 Pasal 4 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 3 (1) Pasal 12 (2) Pasal 39 Pasal 40 Pasal 3 Pasal 37 Pasal 40 12 Lihat Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa hirarkis perundang-undangan di Indonesia terdiri dari: a. UUD 1945; b. Undang-Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah 13 Menurut Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Pasal 8UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa materi perjanjian internasional yang berkenaan denga HAM diratifikasi dengan undang-undang Page 4 of 10 yang berhadapan dengan hukum Konsep keadilan restoratif terhadap perkara anak belum diakomodasi Diversi terhadap perkara anak belum diatur Reformasi legislatif dan penganggaran hak anak ini di Indonesia penting dilakukan dengan segera karena realita menunjukan pelanggaran hak anak di Indonesia masih masif terjadi di seluruh penjuru tanah air. Situasi pelanggaran hak anak ini menunjukkan bahwa legislasi dan anggaran publik yang ada belum responsif terhadap perlindungan dan pemajuan hak anak. Pada titik ini upaya advokasi menjadi penting dilakukan guna merubah legislasi dan anggaran publik yang tidak responsif terhadap anak menjadi kebijakan yang responsif terhadap anak berdasarkan prinsip: a. b. c. d. non diskriminatif (Pasal 2), kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3), partisipasi anak (Pasal 12), dan kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6). Di samping reformasi hukum, Negara juga harus didorong untuk meratifikasi perjanjian internasional mengenai HAM yang belum diratifikasi. Berdasarkan RAN HAM 2004-2009 terdapat janji Pemerintah untuk meratifikasi perjanjian internasional yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan anak sebagai berikut: Perjanjian Internasional Janji Pemerintah Protokol Opsional KHA mengenai Keterlibatan Ratifikasi seharusnya telah dilakukan pada 2006 Anak dalam Konflik Bersenjata Protokol Opsional KHA mengenai Perdagangan Ratifikasi seharusnya telah dilakukan pada 2005 Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak Statuta Roma mengenai Mahkamah Pidana Ratifikasi seharusnya telah dilakukan pada 2005 Internasional Secara visual isu advokasi hak anak untuk merubah kebijakan publik yang berasal dari pemetaan situasi kebijakan public di atas dapat dilihat pada ragaan di bawah ini. Page 5 of 10 Ratifikasi KHA Kewajiban Negara Komentar Umum Komite Hak Anak Janji Pemerintah RAN HAM Pasal 4 Pasal 42 dan Pasal 44 Reformasi Kebijakan Pelaporan Negara ke Komite Hak Anak Concluding Observation (Kesimpulkan Pengamatan) Situasi Kebijakan Advokasi Situasi Pelanggaran Hak Anak Berdasarkan Pengalaman Anak-Anak Upaya advokasi selain ditujukan bagi isu-isu yang mengemuka sebagaimana telah diuraikan di atas, juga dapat berasal dari persepsi dan perspektif anak baik sebagai kelompok maupun sebagai individu. Isu advokasi akan lebih memperoleh legitimasi apabila berasal dari permasalahan yang dialami dan dirasakan oleh anak-anak. Dengan kata lain berdasarkan pengalaman anak-anak dalam menjalani kehidupannya. Anak-anaklah yang lebih mengetahui situasi pelanggaran hak anak yang menimpa dirinya dibandingkan orang dewasa. Partisipasi anak dapat dilakukan melalui media yang ramah terhadap anak sehingga setiap anak dapat mengekspresikan pandangan dan pengalaman yang dirasakannya. Media-media pilihan anak dapat dipergunakan sebagai sarana bagi partisipasi anak guna melakukan identifikasi pelanggaran anak. Partisipasi anak tidak mengenal usia. Pada dasarnya setiap anak dapat berpartisipasi dengan cara mereka masing-masing. Orang dewasa harus bisa memaknai partisipasi anak sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya. Agar anak dapat berpartisipasi dalam melakukan identifikasi pelanggaran hak yang dialaminya perlu dilakukan pengorganisasian kelompok anak. Page 6 of 10 Pengorganisasian kelompok anak bertujuan untuk mengangkat pelanggaran hak anak berdasarkan persepsi dan perspektif anak-anak. Artinya permasalahan yang mengemuka bukan merupakan perspektif dan persepsi orang dewasa. Dalam hal ini orang dewasa memfasilitasi kelompok anak sehingga dapat memunculkan isu yang akan diadvokasi. Dengan kata lain, pengorganisasian kelompok anak dapat dijadikan sebagai sarana untuk memunculkan isu advokasi. Advokasi yang dilandasi isu yang berasal dari partisipasi anak yang lebih kontekstual dan otentik karena dibangun dari kebutuhan spesifik anak Dalam konteks pengorganisasian kelompok anak, analisis sosial dapat dipergunakan sebagai metode untuk menemukenali isu anak (problem statement) yang dapat dijadikan sebagai isu strategis advokasi. Analisis sosial dipergunakan untuk menjawab 3 persoalan mendasar yakni: a. Siapa yang paling dirugikan dan siapa yang paling diuntungkan atas situasi sosial yang tidak adil ? b. Hak-hak apa yang hilang akibat situasi sosial yang tidak adil ? c. Siapa yang bertanggung jawab atas situasi yang tidak adil ? Upaya Advokasi Hak Anak Advokasi merupakan upaya yang sistematis dan terencana dengan menggunakan strategi tertentu yang ditujukan (Ritu R. Shama, 2004) untuk: a. Merubah kebijakan dan mengintegrasikan permasalahan dalam suatu program serta solusinya b. Mempengaruhi pengambil keputusan baik pada tingkat organisasi, local, provinsi, nasional, dan internasional. c. Memberikan informasi, pendidikan, dan komunikasi kepada masyarakat sehingga menarik perhatian masyarakat tentang suatu masalah Apabila pengertian advokasi tersebut dikerangkakan dalam sistem hukum maka upaya tersebut ditujukan (Lawrence M. Friedman, 1984) terhadap: a. Isi hukum, yakni norma atau aturan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan; b. Struktur hukum, yakni perangkat kelembagaan dan pelaksana isi hukum; c. Budaya hukum, yakni pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan, Sistem hukum tersebut dalam pendekatan berbasis hak (rights based approach) seharusnya mencerminkan pelaksanaan 3 kewajiban dasar Negara (Todd Landman, 2006), yakni: a. Kewajiban untuk menghormati (to respect) mengharuskan Negara dan seluruh organ dan aparat negara untuk menjauhkan diri dari melakukan, mendukung atau mentoleransi praktikpraktik, kebijakan atau instrumen hukum yang melanggar integritas individu atau menyerang kebebasan mereka untuk mengakses sumber daya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Artinya negara tidak melakukan intervensi terhadap penikmatan HAM oleh setiap individu. Page 7 of 10 Hal ini juga mensyaratkan bahwa terdapat upaya legislatif dan administratif yang memberikan jamin terhadap HAM. b. Kewajiban untuk melindungi (to protect) mengharuskan Negara dan para aparat negara untuk mencegah pelanggaran hak oleh orang lain atau aktor non-negara. Lebih jauh untuk melaksanakan kewajiban ini, negara harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pihak ketiga tidak mengganggu penikmatan HAM. Apabila pelanggaran HAM terjadi, Negara harus menjamin akses mekanisme pemulihan hukum. c. Kewajiban untuk memenuhi (to fulfil) mencakup pengeluaran publik, regulasi pemerintahan terkait perekonomian, penyediaan pelayanan dasar dan infrastruktur yang terkait, dan redistribusi tindakan. Tugas pemenuhan terdiri dari langkah-langkah aktif yang diperlukan untuk menjamin kesempatan untuk mengakses hak. Untuk itu negara harus mengambil langkah-langkah progresif untuk mewujudkan hak yang bersangkutan. Kewajiban ini dibagi lagi menjadi kewajiban untuk memfasilitasi dan untuk merealisasi HAM. Dalam konteks pemajuan dan perlindungan anak maka upaya advokasi tersebut ditujukan untuk mendekatkan antara realita dengan kondisi yang diidealkan dalam KHA. Dengan kata lain terjadi perubahan sosial yang memberikan keadilan bagi anak-anak sehingga mereka dapat menikmati hakhaknya. Keterkaitan antara advokasi, sitem hukum, dan pendekatan hak dalam rangka memberikan keadilan bagi anak di atas dapat divisulisasikan melalui ragaan sebagai berikut: Page 8 of 10 DUHAM Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya Kovenan Hak Anak Subyek Hak: Anak Menghormati Substansi Hukum Advokasi Pendokumentasian Melalui Audio Visual Pemangku Kewajiban: Negara Melindungi Struktur Hukum Issue Strategis Pelanggaran Hak Anak: Commission Ommission Pengorganisasian Kelompok Anak Memenuhi Budaya Hukum Advokasi Partisipasi Melalui Media yang Ramah Terhadap Anak Page 9 of 10 Hambatan 1. Ketiadaan data statistik anak yang valid dan terpilah berdasarkan segregasi jenis kelamin dan kelompok usia 2. Infrastruktur dan suprastruktur politik belum berpihak pada pemajuan dan perlindungan hak anak 3. Gerakan sosial masyarakat sipil yang berbasis pada isu hak anak relative jauh tertinggal dengan gerakan sosial lain, misal gerakan dengan basis isu perempuan, lingkungan, hak sipil dan politik, kemiskinan, globalisasi, dan isu lainnya. Di samping itu isu anak sering kali masih diabaikan dalam semesta gerakan transformasi sosial , bahkan masih terdapat anggapan anak tidak mampu menjadi aktor dalam melakukan transformasi sosial. 4. Seringkali LSM yang berfokus pada isu anak pilihan intervensinya pada pendekatan berbasis kebutuhan dan pendekatan berbasis charity sehingga sulit untuk mengembangkan jaringan advokasi 5. Anak sebagai beneficiaries agar menjadi konstituen gerakan sosial memerlukan pengorganisasian dengan metode khusus, waktu, dan proses yang relatif lebih lama, termasuk pengorganisasian bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. 6. Pengorganisasian anak idealnya dapat membongkar relasi subordinat antara : a. Antara anak dengan anak (antar usia , antar jenis kelamin, antar kelas); b. Antara anak dengan orang dewasa; c. Antara anak dengan Negara. Namun untuk membongkar relasi-relasi yang subordinat tersebut mensyaratkan metode yang khusus sehingga membutuhkan jaringan yang luas dan kuat berdasarkan kesamaan basis isu. Sumber Gambar: Page 10 of 10