Permasalahan perlindungan anak di Indonesia kian berat dan kompleks, serud juga mendesak sehingga perlu diberikan penanganan khusus. Terlabih pada anak yang berkonflik dengan hukum. Anak Berkonflik dengan Hukum, selanjutnya disebut sebagai ABH adalah seorang anak yang berusia diatas 12 tahun dan dibawah 18 tahun yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana sehingga menghantarkannya pada hokum dan system peradilan pidana anak selanjutya disebut sebagai SPPA. Adapun factor yang menyebabkan anak dapat berkonflik dengan hukum dikelompokkan menjadi dua, yakni factor eksternal dan internal. Adapun factor internal meliputi, 1. Keterbatasan ekonomi keluarga ABH 2. Keluarga tidak harmonis, dan 3. Kurangnya perhatian orangtua Sementara factor eksternal meliputi, 1. Pengaruh globalisasi tanpa diimbangi kesiapan mental anak 2. Lingungan pergaulan yang kurang baik 3. Ketiadaan forum curhat atau lembaga untuk konseling anak, dan 4. Kurangnya fasilitas bermain yang mengakibatkan anak sukar untuk menyalurkan kreativitasnya. Berbagai factor yang dikemukakan penyaji satu memungkinkan anak melakukan kegiatan criminal yang dapat mengantarkan mereka pada hukum dan system peradilan. Persinggungan dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang dikonstruksikan pada anak. Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. Dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Adapun karakteristik sistem peradilan pidana anak yang adil dan ramah terhadap anak, meliputi: a. Berlandaskan hak anak; b. Menerapkan prinsip keadilan restoratif; c. Menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan utama; d. Fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama; e. Menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir (the last resort) dan jika memungkinkan menahan anak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya; f. Prinsip proporsionalitas; g. Menekankan rehabilitasi dan reintegrasi; h. Melakukan Intervensi secara layak dan tepat waktu; i. Prosedur khusus untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak. Dalam UU nomor 11 tahun 2012 mengenai SPPA, yang baru efektif pada bulan juli tahun 2014 silam ini mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif dan Diversi. Menurut Howard Zehr, keadilan restoratif dimaknai sebagai proses untuk melibatkan, memungkinkan keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas, yakni para pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu pelanggaran yang spesifik. Kemudian secara bersama, mengidentifikasi dan mengarahkan kerugian, kebutuhan, dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan dan menempatkan hak para pihak sebagai titik yang mungkin dituju untuk diselesaikan. Selanjutnya menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), keadilan restoratif merujuk pada proses untuk memecahkan tindak pidana (kejahatan) dengan memusatkan pada perbaikan kerugian (luka) korban, menetapkan pelaku bertanggung jawab atas tindakannya, dan melibatkan masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi tersebut. Dengan demikian Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, juga pihak lain yang terlibat untuk bersamasama mencari penyelesaian atas persoalan yang terjadi dengan adil, juga menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Mengacu pada berbagai definisi maka keadilan restoratif merupakan salah satu cara untuk menjawab permasalahan perilaku tindak pidana anak dengan menyeimbangkan kebutuhan komunitas, korban, dan pelaku. Komunitas menjadi bagian penting dari proses keadilan restoratif karena; (i) tindak pidana bisa berasal dari pola-pola hubungan dan kondisi sosial komunitas; dan (ii) pencegahan tindak pidana dalam beberapa hal juga menjadi tanggung jawab komunitas (bersama pemerintah pusat dan lokal dalam mengembangkan kebijakan sosial) untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang menjadi penyebab tindak pidana. Dalam perspektif hak anak, semua pihak mempunyai tanggung jawab dalam pengembangan sistem keadilan restoratif bagi anak. Hal ini menjadi penting karena langkah pertama dari keadilan restorative adalah pelaku harus menghadapi kenyataan bahwa ia telah melakukan tindak pidana. Bagaimanapun, hal ini tidaklah cukup,pelaku juga harus memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Proses ini akan mendorong kearah pengakuan salah bahwa tindakannya salah dan harus meminta maaf kepada korban. Ini dapat dicapai melalui rekonsiliasi yang dibarengi dengan penggantian kerugian bagi korban . Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : • untuk menghindari anak dari penahanan; • untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat; • untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak; • agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya; • untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal; • menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan; • menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan. Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika : • mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya; • memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban; • memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses; • memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga; • memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut : • Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa • Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu : • Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak • Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum • Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata • Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman • Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive Sedangkan Diversi dapat dimaknai sebagai prima facie pengalihan suatu kasus dari upaya penyelesaian melalui proses persidangan yang normal. Hal ini berimplikasi bahwa tuntutan kepada pelaku berdasarkan kondisionalitas tertentu dapat ditarik mundur atau dihentikan. Selanjutnya pelaku harus berpartisipasi pada program khusus atau memulihkan korban. Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratanpersyaratan yang disepakati oleh para pihak. Diversi bertujuan untuk memutus lingkaran setan stigmatisasi, kekerasan, penghinaan, dan mengurai ikatan sosial antar pelaku. Diversi juga akan menghindari kemungkinan muncul “sekolah kejahatan”, mengurangi risiko residivisme, menghindari biaya hukum yang semakin mahal, dan membantu mengintegrasikan pelaku. Diversi merupakan upaya konstruktif untuk membangun kembali relasi sosial yang rusak akibat tindak pidana, dibandingkan melakukan pengucilan pelaku dari konteks kehidupan sosialnya. Adapun metode diversi yang dibentuk meliputi: 1) Pembebasan bersyarat (conditional discharge), dimana tuntutan tindak pidana dicabut apabila tersangka mentaati persyaratan-persyaratan tertentu seperti pembayaran jumlah tertentu, memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat, atau memberikan ganti kerugian kepada korban; 2) Penyederhanaan prosedur (simplified procedures), melalui perundingan untuk mempercepat proses, tidak memperumit terdakwa dengan cara yang lebih baik , atau prosedur yang lebih cepat, seperti penawaran tuntutan atau penghukuman; 3) Dekriminalisasi (decriminalization) tindak pidana tertentu yang seringkali terjadi, kemudian dipindahkan dari jangkauan arena (yurisdiksi) peradilan pidana.43 Dalam konteks alokasi anggaran, penahanan dan pemasyarakatan membutuhkan biaya yang mahal sehingga lebih baik diarahkan alternatif selain penahanan. Dengan kata lain, penahanan anak bukan upaya untuk mengefektifkan biaya pemajuan keselamatan dan keamanan masyarakat. Ketersediaan dana untuk intervensi di luar penahanan lebih efektif mengurangi residivisme dan pemajuan keamanan publik.45 Diversi menjadi alternatif untuk mengurangi belanja sosial pembiayaan penahanan dan pemasyarakatan yang cenderung mengalami peningkatan, untuk dialihkan untuk pembiayaan pencegahan tindak pidana. Diversi memiliki ‘ketentuan’, yakni; 1. sanksi atas tindak pidana dibawah 7 tahun 2. dan Bukan merupakan pengulangan tindak pidana UU SPPA P.7 Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.