TINJAUAN HUKUM DIVERSI PADA ANAK PELAKU TINDAK

advertisement
Judul
: TINJAUAN HUKUM DIVERSI PADA ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA PELECEHAN
SEKSUAL TERHADAP ANAK
(Studi Kasus Penetapan no : 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt )
Disusun oleh : Sartika Nilasari
NPM
: 12101096
FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA
ABSTRAKSI
Tujuan Penelitian ini adalah Mengkaji tinjauan hukum penerapan diversi
pada anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak.
Kejahatan terhadap anak-anak, terutama kejahatan seksual, masih terus
terjadi di sekitar kita. Yang memprihatinkan, dari beberapa kasus yang terjadi,
sebagian besar kejahatan seksual terhadap anak itu justru terjadi di tempat-tempat
yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mereka. Pemerintah meningkatkan
perlindungan anak melalui berbagai program dan regulasinya, mulai dari program
Kota Layak Anak hingga sampai pada Revisi Undang-Undang Perlindungan Anak
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014. Lantas bagaimana bila pelaku kekerasan seksual terhadap
anak tersebut pelakunya juga anak-anak padahal Undang-undang No. 11 Tahun
2012 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan
hak-hak dan kewajiban anak, khususnya anak sebagai tersangka dalam proses
peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari
penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana.
Metode penelitian ini menggunakan Jenis penelitian penelitian hukum
normatif karena mengkaji Ketetapan No : 01/Pen.Pid.Diversi /2015/PN.Skt terkait
dengan pelaksanaan Diversi terhadap asas-asas hukum yang berlaku dan
sinkronisasi terhadap hukum yang terkait.
Berdasarkan pada hasil kajian pustaka dan analisa yang dilakukan penulis
terhadap Penerapan diversi pada anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual
terhadap anak dalam Studi Kasus Penetapan No : 01/Pen.Pid.Diversi
/2015/PN.Skt melalui mekanisme Diversi dengan keputusan berupa tindakan
diikut sertakan dalam program pendidikan dan pembinaan di Pondok Pesantren
Baitul Musthofa Surakarta, sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
karena memenuhi prasyarat sesuai dengan ketentuan Undang-undang 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 7 ayat (2) bahwa tindak pidana
yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana, serta ketentuan usia dibawah 12
yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu bahwa Dalam hal Anak belum berumur
12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
1
keputusan untuk menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang
kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam)
bulan.
Kata kunci : Kesepakatan Diversi.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong terjadinya kemudahan
informasi dan tehnologi dalam perkembangan globalisasi pada saat ini.
Siapapun yang mampu mengakses informasi melalui internet dan media
massa baik cetak maupun elektronik, tentu saja akan mendapatkan
berbagai informasi tanpa ada pembatas, tak terkecuali anak.
Anak dengan mudah mengakses informasi baik itu yang layak
maupun yang tidak layak bagi mereka secara mudah. Banyak informasi
dan tayangan bagi orang dewasa yang dengan begitu saja muncul diselasela anak sedang browsing melalui internet. Tayangan-tayangan tersebut
secara tidak langsung mempengaruhi perilaku anak, sehingga anak
menjadi korban dan/atau melakukan tindak kejahatan karena terpengaruh
oleh tayangan tersebut. Minimnya pendidikan kesehatan reproduksi dan
seksualitas serta kurangnya pemahaman religiusitas mendorong banyaknya
kejahatan
seksual
di
Indonesia.
Kejahatan
ini
juga
didukung
penyalahgunaan teknologi informasi, seperti maraknya pornografi di
internet.
2
Kejahatan terhadap anak-anak, terutama kejahatan seksual, masih
terus terjadi di sekitar kita. Yang memprihatinkan, dari beberapa kasus
yang terjadi, sebagian besar kejahatan seksual terhadap anak itu justru
terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi
mereka.
Di sisi lain pemerintah meningkatkan perlindungan anak melalui
berbagai program dan regulasinya, mulai dari program Kota Layak Anak
hingga sampai pada Revisi Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014.
Lantas bagaimana bila pelaku kekerasan seksual terhadap anak
tersebut pelakunya juga anak-anak padahal Undang-undang No. 11 Tahun
2012 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap
pelaksanaan hak-hak dan kewajiban anak, khususnya anak sebagai
tersangka dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur
acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada
pelaksanaan pidana.
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pada uraian yang mendasari penelitian ini di atas,
maka peneliti merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitin ini
adalah sebagai berikut :
3
Bagaimana penerapan diversi pada anak pelaku tindak pidana pelecehan
seksual terhadap anak ?
(Studi Kasus Penetapan No : 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt)
B. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Ada dua jenis penelitan hukum yaitu penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris (sosiologis)………(Mukti Fajar ND, 2010:153)
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa penelitian hukum itu
berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama, penelitian hukum normatif, yang
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian
sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Kedua, penelitian
hukum sosiologis atau empiris yang mencakup, penelitian terhadap
identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektifitas
hukum………(Soerjono Soekanto, 1983:51)
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan penelitian normatif,
karena mencakup asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum serta
perbandingan hukum terhadap Tinjauan Hukum Diversi Pada Anak Pelaku
Tindak Pidana Pelecehan Seksual Terhadap Anak (Studi Kasus Penetapan no
: 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt )
.
4
2. SIFAT PENELITIAN
Penelitian ini bersifat diskriptif analitis, yang mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang
menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di
dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian………..(Zainuddin Ali,
2011:105 – 106) Oleh karenanya Penelitian ini bersifat diskriptif analitis
sebab bertujuan menggambarkan pentingnya Diversi Pada Anak Pelaku
Tindak Pidana Pelecehan Seksual Terhadap Anak
3. ALAT PENGUMPULAN DATA
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka.
Penelitian ini dilakukan melalui teknik Studi Pustaka, yaitu merupakan cara
pengumpulan data dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier dan atau
bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan
dengan membaca, melihat, mendengar, maupun sekarang banyak dilakukan
penelusuran
bahan
hukum
tersebut
internet………(Mukti Fajar ND, 2010:160)
5
dengan
melalui
media
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penerapan diversi pada anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual
terhadap
anak
dalam
Studi
Kasus
Penetapan
No : 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt
Terlapor berdasarkan Laporan Polisi No : LP/B/299/V/2014/
Jateng/Resta Ska Tanggal 11 Mei 2014 dengan tuduhan telah melakukan
persetubuhan terhadap anak di bawah umur, sebagaimana dimaksud dalam
rumusan pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan
Anak
yang
disebutkan
dalam
Ketetapan
No : 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt adalah berusia 12 tahun. Menurut
ketentuan Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
terlapor masuk dalam kategori anak.
Anak merupakan asset Negara dan merupakan bagian warga negara
yang harus di lindungi karena mereka merupakan generasi penerus bangsa
dimana dimasa yang akan datang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa
Indonesia. Setiap anak disamping wajib mendapatkan pendidikan formal
seperti sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga meraka
dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi masyarakat.
6
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka yang terkait dengan anak yang
berkonflik dengan hukum diatur secara khusus dengan undang-undang ini,
hal tersebut diterapkan sesuai dengan asas lex specialis derogate legi generali
yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat
khusus ( lex specialis ) mengesampingkan hukum yang bersifat umum ( lex
generali ) dalam hal ini bahwa untuk mengadili anak yang berkonflik dengan
hukum menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dengan mengesampingkan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang bersifat umum.
Dalam studi kasus Ketetapan No : 01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt
yang menyatakan Kesepakatan Bersama (Diversi) sebagaimana yang tertuang
di dalam Berita Acara Kesepakatan Bersama No. SKB/01/I/2015 Resta Ska,
tertanggal 21 Januari 2015 tersebut sah menurut hukum, yang artinya bahwa
penyelesaian perkara tersebut didahului dengan adanya diversi pada tingkat
penyidikan seperti yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak
di pengadilan negeri wajib di upayakan Diversi.”
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Diversi sendiri hanya dapat
dilaksanakan apabila ancaman pidana penjara dibawah 7 tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana. Dalam hal ini terlapor GLB
berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun
7
2002 tentang Perlindungan Anak diancam minimal 5 tahun dan maksimal 15
tahun, dengan mengambil ketentuan minimal yaitu 5 (lima) tahun maka
ancaman tersebut kurang dari 7 (tujuh) tahun dan baru sekali dilakukan maka
penyelesaian perkara tersebut memenuhi ketentuan dilakukannya Diversi.
Berikutnya terkait dengan usia terlapor GLB yang masih berusia 12
tahun berdasarkan ketentuan Pasal 21 menyatakan bahwa Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk :
1. Menyerahkan kembali kepada orang tua/Wali; atau
2. Mengikutsertakan
dalam
program
pendidikan,
pembinaan,
dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun
daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Kemudian dalam Pasal 69 ayat (2) disebutkan bahwa Anak yang belum
berusia 14 (empat belas) hanya dapat dikenai tindakan.
Diversi yang dilakukan dalam penanganan perkara ini tidak mempertemukan
antara pihak korban maupun pelaku, mereka ditemui secara terpisah oleh
Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pendamping Anak untuk
menggali permasalahan serta harapan-harapan dari masing-masing pihak.
Setelah itu Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pendamping Anak
melakukan musyawarah untuk menentukan sanksi yang akan ditetapkan
dengan
mempertimbangkan
kepentingan
terbaik
bagi
anak
dengan
persetujuan pihak Pelaku dan pihak Korban. Hasil musyawarah tersebut
8
dimintakan Penetapan Pengadilan dan dinyatakan sah menurut hukum. Dalam
hal ini perspektif dan keberpihakan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan
dan Pendamping Anak untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi Anak
sangat menentukan sanksi bagi Anak.
Dalam
ketetapan
tersebut
Kesepakatan
Bersama
(Diversi)
menyepakati dijatuhi hukuman tindakan yang berupa pelaku diikut sertakan
dalam program pendidikan dan pembinaan di Pondok Pesantren Baitul
Mustofa Surakarta. Sampai pada kesepakatan tersebut maka sudah sesuai
dengan ketentuan Undang-undang 11 Tahun 2012 tentan Sistem Peradilan
Pidana Anak terkhusus Pasal 21 ayat (1) dan pasal 69 ayat (2), namun ada hal
yang tertinggal yang tidak disebutkan adalah jangka waktu bagi Anak dalam
menjalani program pendidikan dan pembinaan tersebut. hal ini sangat rentan
dalam pelaksanaan dan pengawasan terhadap kesepakatan tersebut.
Kemudian terkait dengan biaya pendidikan dan pembinaan tersebut tidak
ditentukan menjadi tanggung jawab siapa. Hal ini apabila dikemudian hari
diatur secara jelas dan tegas, sehingga dapat memberatkan keluarga Anak
dengan alasan biaya pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan dan pembinaan tersebut.
Terkait dengan putusan yang berupa tindakan perlu untuk diatur lebih
jelas dan tegas lagi terkait dengan tujuan dan hasil yang diharapkan dari
tindakan yang diberikan tersebut, misal :
-
Diikut sertakan dalam program pendidikan dan pembinaan di Pondok
Pesantren Baitul Mustofa Surakarta, apa hasil yang akan dituju oleh
9
Pondok Pesantren tersebut dalam mendidik dan membina Anak Pelaku
tersebut, kemudian Program dan Model apa yang diberikan kepada Anak,
dan yang terakhir adalah mekanisme Pengawasan yang dilakukan untuk
memastikan Program yang dijalankan memberikan pengaruh positif
kepada Anak. Hal lain terkait dengan tujuan Sistem Peradilan Pidana
Anak untuk mewujudkan Keadilan Restoratif belumlah tampak dalam
putusan tindakan ini karena justru tidak mengatur pemulihan hubungan
antar pihak melalui sebuah program yang di monitoring terus menerus.
-
Dikembalikan kepada Orang Tua, secara eksplisit apa yang harus
dilakukan oleh orang tua terhadap anak terkait dengan kesepakatan
tersebut ? hal ini juga tidak diatur dengan jelas dan tegas demikian pula
dengan pengawasannya sehingga tujuan untuk memperbaiki dan
memulihkan Anak tidak dapat diukur secara jelas. Dalam beberapa kasus
yang ada justru Anak kemudian melakukan pengulangan kembali atas
tindakannya karena tidak pernah merasa bersalah dan menyadari
perbuatan serta menyesal atas akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya
tersebut.
Diversi/upaya pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana dengan maksud
memberikan perlindungan bagi Anak dan menjauhkan Anak dari perampasan
kebebasan, namun demikian pada pelaksanaan sanksinya kurang mendapat
perhatian yang lebih baik sehingga tujuan mencapai keadilan yang
memulihkan masih sangat jauh dari harapan.
10
D. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
studi
pustaka
dari
Ketetapan
No
:
01/Pen.Pid.Diversi/2015/PN.Skt, peraturan perundang-undangan, landasan
teori dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
Penerapan diversi pada anak pelaku tindak pidana pelecehan seksual
terhadap anak dalam Studi Kasus Penetapan No : 01/Pen.Pid.Diversi
/2015/PN.Skt melalui mekanisme Diversi dengan keputusan berupa tindakan
diikut sertakan dalam program pendidikan dan pembinaan di Pondok
Pesantren Baitul Musthofa Surakarta, sudah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan karena memenuhi prasyarat sesuai dengan ketentuan
Undang-undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal
7 ayat (2) bahwa tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak
pidana, serta ketentuan usia dibawah 12 yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1),
yaitu bahwa Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan
atau
diduga
melakukan
tindak
pidana,
Penyidik,
Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi
pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan
sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
11
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Mukti Fajar ND. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
12
Download