Chapter I - Universitas Sumatera Utara

advertisement
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak
berperan sangat strategis sebagai successor (penerus) suatu bangsa. Anak adalah
penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa, selain itu anak merupakan harapan
orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet
pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus
yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini dan anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanakkanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri
seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan
serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.1
Menurut hukum positif anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa
(minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah
umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang
berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak
itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum
dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini
juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.2
Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena
peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa.3
Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang
memenuhi syarat hukum. Istilah pendewasaan menunjuk kepada keadaan belum
1
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 20014), hlm. 1.
2
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 5.
3
Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm.
50.
Universitas Sumatera Utara
11
dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membedakan hal ini
karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan
berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam
taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang
yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan
bimbingan khusus. Ketidakmampuan anak maka seorang yang belum dewasa
harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang
kearah kedewasaan maka seseorang tersebut harus dibimbing.
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang
disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21
tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan
acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang
menurut hukum perdata belum dewasa. Anak yang berumur 17 tahun dan telah
kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur
menurut Pasal 294 dan 295 KUHP adalah yang belum mencapai umur 21 tahun
dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya
diputus, ia tidak kembali menjadi kedalam kategori belum cukup umur.
Perkembangan dunia tekhnologi terutama dalam bidang yang berbasis
internet (networking) sangat membantu dan mendukung perkembangan segala
macam jenis kebutuhan manusia. Melalui internet semua hal dapat dilakukan
dengan cepat, mudah, dan murah. Keberadaan internet tidak selalu membawa
dampak positif bagi semua kalangan. Internet yang digunakan anak tanpa
pengawasan dari orang dewasa sangat rentan terhadap pertumbuhan psikologis
anak, diakibatkan banyaknya situs-situs porno yang sangat mudah di akses oleh
anak terutama anak dibawah umur.4
Tidak terbatasnya jaringan akses internet dan lemahnya pengawasan dari
orang tua membuat anak bisa dengan leluasa mengakses situs-situs porno. Anak
yang pada dasarnya belum terlalu mengerti soal seks, cenderung mengikuti apa
yang dilihatnya dan akhirnya mempraktekkan hal yang dilihatnya kepada anak4
Anak
Bisa
Jadi
Pelaku
Kekerasan
Seksual,
http://health.kompas.com/read/2014/05/14/1616274/anak.bisa.jadi.pelaku.kekerasan.seksual,
(diakses terakhir tanggal 17 Januari 2015).
Universitas Sumatera Utara
12
anak sebayanya, sehingga anak tersebut menjadi pelaku tindak pidana kejahatan
seksual. Kasus-kasus kejahatan seksual saat ini telah banyak dilakukan oleh anakanak, mulai dari kasus pelecehan, sodomi, pencabulan, bahkan pemerkosaan
kepada anak-anak dibawah umur lainnya.5 Masyarakat yang semakin terbuka
terhadap persoalan seksualitas membuat pornografi dan pornoaksi begitu mudah
dijumpai anak-anak. Adegan seksual itu ada dalam tayangan televisi, film,
internet, video game, keping cakram, hingga aktivitas seksual orang tua yang
dilihat anak. Di sejumlah negara eropa, tontonan pornografi pada anak sudah
dikategorikan sebagai kekerasan seksual pada anak. Anak juga belum bisa
membedakan apa yang terjadi di dunia maya ataupun dunia nyata. 6
Pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya orang dewasa.
Besarnya kemampuan anak meniru apa pun yang dilihat dan dialami bisa
mendorong anak melakukan kekerasan seksual terhadap temannya. Keluarga
menjadi benteng utama untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual. Faktor eksternal menjadi pemicu terbesar anak
melakukan kekerasan seksual itu. Faktor eksternal itu biasanya berupa
pengalaman kekerasan seksual masa lalu yang dialami anak baik yang dilakukan
orang dewasa atau temannya maupun paparan pornografi dan pornoaksi dari
lingkungan sekitar.7
Anak ketika menjadi korban kekerasan, umumnya tidak paham apa yang
sebenarnya terjadi pada diri mereka. Anak hanya akan merasa direndahkan dan
dihina, saat menjadi pelaku kekerasan, anak juga merasa tidak bersalah karena
mereka juga pernah diperlakukan sama oleh orang lain. Keterbatasan memahami
apa yang dialami atau dilihat itu membuat anak sulit menceritakan pengalaman
seksual yang dialaminya kepada orangtua. Terlebih lagi jika hubungan orangtua
dan anak tidak hangat sehingga membuat anak takut dimarahi.8
Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan
formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana
tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang
5
Ibid.
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
6
Universitas Sumatera Utara
13
anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan
pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil
menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang
proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin
profesional dalam melakukan tindak kejahatan.9
Pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh anak mengacu pada bentuk
pelecehan seksual anak di mana anak pra puber adalah korban pelecehan seksual
oleh satu atau lebih anak lain atau remaja dan di mana tidak ada orang dewasa
yang terlibat langsung. Istilah ini menggambarkan aktivitas seksual di antara
anak-anak yang terjadi tanpa persetujuan, tanpa kesetaraan, atau sebagai akibat
dari paksaan.10 Hal ini termasuk ketika salah satu dari anak-anak menggunakan
kekuatan fisik, ancaman, tipu daya atau manipulasi emosional untuk memperoleh
kerja sama. Pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh anak dibedakan lebih
jauh dari bermain seksual secara normatif atau rasa ingin tahu pada anatomi dan
eksplorasi yang sering dikenal dengan istilah “bermain dokter” karena terbuka dan
tindakan sengaja diarahkan pada rangsangan seksual atau orgasme. 11 Beberapa
banyak kasus, inisiator melakukan eksploitasi kepada anak lain yang belum
mengerti, dan korban tidak menyadari sifat dari apa yang terjadi kepada mereka.
Ketika pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu saudara itu dikenal
sebagai kekerasan seksual antar saudara.12
Pengaturan ketentuan pidana bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak
menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia diatur dalam 3
aturan yaitu KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak selanjutnya disingkat dengan SPPA, sebagai aturan yang
menjelaskan tentang ketentuan pidana atau tindakan pidana yang dapat dijatuhkan
kepada anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
9
M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1.
10
Pelecehan
Seksual
Antar
Anak-Anak,
http://id.wikipedia.org/wiki/pelecehan_seksual_antar_anak-anak, (diakses terakhir tanggal 17
Januari 2015).
11
Ibid.
12
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
14
Pada prinsipnya pelecehan seksual tidak diatur secara khusus namun diatur
dalam tindak pidana kesopanan atau kesusilaan yang ada dalam KUHP Pasal 290
dan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Pasal 290 KUHP menyatakan dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun di hukum:
1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut untuk disangkanya, bahwa umur orang itu
belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa
orang itu belum masanya buat kawin.
3. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya
atau patut untuk disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15
tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum
masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan
pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain
dengan tiada kawin.
Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau
dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum.
Hukum
internasional
mensyaratkan
negara
untuk
memberikan
perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan
hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau
kelembagaan.13
Mengenai penanganan perkara pidana anak, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menghendaki petugas hukum
khusus, dimana dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi ada petugas yang
sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan
ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara
13
Inter Parliamentary Union & Unicef, Improving The Protection Of Children In Conflict
With The Law In South Asia: A Regional Parliamentary Guide On Juvenile Justice, (Unicef: Rosa,
2006), hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
15
anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak,
penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang Undang-Undang
untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masingmasing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan
memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya
petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak.
Ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak menyatakan, bahwa “anak berhak atas pemeliharaan
dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan.
Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar.” Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.14
Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
berakibat hukum.15 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum
perlu diusahakan demi
kegiatan
kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak.16 Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek
pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut
pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif
Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya
interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, oleh karena itu
untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk,
14
Ibid., hlm. 180.
Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 23.
16
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm.
15
222.
Universitas Sumatera Utara
16
tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang
mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.17
Perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk
kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus
diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahan
kan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara
langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Hal
terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas
anak untuk menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap
masyarakat dan perubahan sosial menurut perspektif mereka.18
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “penangkapan, penahanan atau
tindakan pidana penjara bagi anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, oleh sebab itu perlindungan
terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban
bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan
bangsa.”
Peranan masyarakat dalam perlindungan anak dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan
Pidana Anak (SPPA), yang menjelaskan bahwa :
“Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari
pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak dengan cara:
a. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak
yang berwenang.
b. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan
dengan anak.
c. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak.
17
18
Ibid, hlm. 12.
Mansour Fakih, Op. Cit., hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
17
d. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan
pendekatan keadilan restoratif.
e. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak
korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan.
f. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
penanganan perkara anak, atau
g. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak.”19
Kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak belum tentu sepenuhnya
karena keinginan dari anak sendiri. Anak yang melakukan pelanggaran hukum
atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar
diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya.
Memberikan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem
peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan
kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)
seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana
dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap
lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep
diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana
terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan
memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti
anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem
peradilan pidana.
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
mengandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak
yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal
19
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Universitas Sumatera Utara
18
seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau
non pemerintah. Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi
sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and
rehabilitation) anak pelaku tindak pidana.
Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku
anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang
membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di
amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari
sistem peradilan pidana formal. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini
diberi judul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana
Kejahatan Seksual Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Juvenile
Justice System) Di Indonesia.”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang
akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor
yang terkait didalamnya. Adapun yang menjadi permasalahan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana
kejahatan seksual melalui diversi menurut ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia?
2.
Bagaimana peranan aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan
diversi terhadap anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya
ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya
hukum yang mengatur tentang penerapan diversi di Indonesia. Sesuai perumusan
masalah diatas adapun tujuan penelitian ini adalah
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai bentuk perlindungan hukum
bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
19
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai peranan aparat penegak
hukum dalam mengambil tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana
kejahatan seksual.
D. Manfaat Penelitian
Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritas
kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada
para praktisi hukum.
1.
Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat
menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan
displin ilmu hukum
2.
Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya
diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang
diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru
serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.20
Secara praktis diharapkan juga agar penelitian ini dapat menjadi bahan
masukan bagi masyarakat dan pemerintah serta yang diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan
kepastian hukum kepada hak anak yang tersangkut kasus pidana, mengingat faktor
pengawasan internal dan eksternal sangat dibutuhkan dalam mengawasi
perkembangan anak.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak
Pidana Kejahatan Seksual Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak
(Juvenile Justice System) Di Indonesia” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian
ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada
seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan
bahwa
substansi
pembahasannya
berbeda.
Penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan
keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera
20
Soerjono Soekanto (1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm.
106.
Universitas Sumatera Utara
20
utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu hukum
juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang
memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:
1.
Nama
: Rafiqoh Lubis
Nim
: 992105119
Tahun
: 2001
Judul
: Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Peradilan Pidana
Anak (Studi Kasus Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)
2.
Nama
: Lidya Rahmadani Hasibuan
Nim
: 127005096
Tahun
: 2014
Judul
: Restorative Justice Sebagai Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
3.
Nama
: Noprianto Sihombing
Nim
: 127005118
Tahun
: 2014
Judul
: Penerapan Diversi Dalam Kasus Tindak Pidana Penganiayaan
Yang Dilakukan Oleh Anak Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1.
Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 21 Teori berguna
untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan
21
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
21
bahwa keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 22
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori
diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk
memahami mengenai konsep diversi yang diterapkan bagi anak pelaku tindak
pidana kejahatan seksual, dimana konsep diversi diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana.
Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori perlindungan hukum.
Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian
itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa
disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan
melekatnya hak itu pada seseorang.23
Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia.24 Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.25 Perlindungan hukum
merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan
22
Soerjono Soekanto(1), Ibid., hlm. 6.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 53.
24
Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana:
Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3.
25
Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis,
Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14.
23
Universitas Sumatera Utara
22
perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.
Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlindungan
hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif
yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif. Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam
peraturan
perundang-undangan
dengan
maksud
untuk
mencegah
suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban. Sedangkan perlindungan hukum represif merupakan
perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman
tambahan.26 Perlindungan hukum bagi seluruh rakyat adalah prinsip pengakuan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Adapun elemen
dan ciri-ciri negara hukum pancasila ialah:
a.
Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan
asas kerukunan.
b.
Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara.
c.
Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir.
d.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Ruang lingkup perlindungan hukum bagi anak mencakup perlindungan
terhadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak, dan perlindungan
hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan.27
Konsekuensi dari lingkup perlindungan hukum bagi anak sebagimana tersebut di
atas adalah, bahwa semua kebijakan hukum (produk perundang-undangan) yang
berkaitan dengan anak harus bermuara kepada penegakan kebebasan anak,
penegakan hak asasi anak, dan terwujudnya kesejahteraan anak. Hukum
26
27
Ibid., hlm. 20.
Waluyadi, Op. Cit, halaman 1.
Universitas Sumatera Utara
23
internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk
oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan
hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui
pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan. 28
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dalam menangani perkara pidana anak menghendaki petugas hukum khusus,
dimana dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi ada petugas yang
sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan
ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara
anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak,
penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang Undang-Undang
untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masingmasing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan
memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya
petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak.
Seperti yang tercantum dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah
di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar. Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka
mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.29
Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
berakibat hukum,30 oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan
perlindungan anak. Kepastian hukum
perlu diusahakan demi
kegiatan
kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa
28
Inter Parliamentary Union & Unicef, Improving The Protection Of Children In Conflict
With The Law In South Asia: A Regional Parliamentary Guide On Juvenile Justice, (Unicef: Rosa,
2006), hlm. 2.
29
Ibid., hlm. 180.
30
Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
24
akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak.31 Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek
pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut
pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.
Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif
Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya
interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi,32 oleh karena itu
untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk,
tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang
mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.
Perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk
kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus
diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahan
kan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara
langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Point
terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas
anak untuk menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap
masyarakat dan perubahan sosial menurut perspektif mereka.33
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “penangkapan, penahanan atau
tindakan pidana penjara bagi anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.” Perlindungan terhadap anak
pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut,
karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa.
31
Arief Gosita, Op. Cit., hlm. 222.
Ibid. hlm. 12.
33
Mansour Fakih, Op. Cit., hlm. 20
32
Universitas Sumatera Utara
25
Peranan masyarakat dalam perlindungan anak dapat juga dilihat dari
ketentuan sistem peradilan pidana anak, dimana disebutkan bahwa: 34
Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari
pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak dengan cara:
a.
Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak
yang berwenang.
b.
Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan anak.
c.
Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak.
d.
Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan
pendekatan keadilan restoratif.
e.
Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak
korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan.
f.
Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
penanganan perkara anak, atau
g.
Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak.
Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir,
peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum
konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram
terutama melalui hubungan acaranya. Fungsi teori perlindungan hukum dalam
penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak dari anak pelaku tindak
pidana kejahatan seksual mengingat anak masih dalam usia pengawasan dan
pembelajaran dari orang tua kandungnya segingga diperlukan konsep diversi
untuk melindungi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual.
Teori dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori kepastian hukum.
Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian
34
Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
Universitas Sumatera Utara
26
yang tunggal.
Gustaf
Radbruch, dalam
konsep ajaran prioritas
baku
mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah
keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama
dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta
diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga
unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. 35
Keadilan yang dimaksudkan oleh Radbruch adalah keadilan dalam arti
yang sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.
Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang
sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum
dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang
harus ditaati.36
Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan
pada prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law
dan the persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim
yang mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan
otoritas. Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas
pada putusan-putusan terdahulu.37
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara
normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan
logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma.38
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini
35
Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009),
hlm. 287-288.
36
Ibid., hlm. 162.
37
Ibid., hlm. 294.
38
Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apaitu-kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2015).
Universitas Sumatera Utara
27
dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena
lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian
hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak
menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar
peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa
kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak
hukum.
Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid)
dalam pergaulan manusia, dimana dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu
harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Kedua tugas tersebut
tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi
main hakim sendiri (eigenrichting). Penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu
teori saja tetapi harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang
ada maka tujuan hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan,
kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan perdamaian.39
Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller
menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan:
Kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:40
a.
Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan
berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
b.
Peraturan tersebut diumumkan kepada publik.
c.
Peraturan tersebut tidak berlaku surut.
d.
Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum.
e.
Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan.
f.
Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
g.
Tidak boleh sering diubah-ubah.
h.
Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
39
Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hlm. 22.
40
Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294.
Universitas Sumatera Utara
28
Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan
melindungi hak-hak anak dari tuntutan hukum atas tindak pidana kejahatan
seksual yang dilakukannya, mengingat perlunya kepastian hukum atas sanksi
pidana yang dijatuhkan pengadilan kepada anak pelaku tindak pidana kejahatan
seksual.
2.
Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan
konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara
abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan
abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi
operasional.41 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional
dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian
yakni:
a.
Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman
sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia
b.
Anak pelaku kejahatan atau anak yang berhadapan dengan hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. 42
c.
Kejahatan seksual adalah suatu tindak pidana yang dilakukan berupa ancaman
dan pemaksaan secara seksual seperti pemerkosaaan dan perbuatan cabul
terhadap korban.
d.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana.
e.
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara
anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
41
hlm. 3.
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998),
42
Anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi, a. Pelaku atau tersangka tindak
pidana, b. Korban tindak pidana, c. Saksi suatu tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
29
G. Metode Penelitian
1.
Jenis dan Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,
jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam
proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.43
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis
penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.
Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka
yang ada.44 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan
mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian
hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum
subjektif (hak dan kewajiban).
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis.
Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
fenomena buatan manusia kemudian dianalisis dan ambil kesimpulan atas
permasalahan tersebut. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang
berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi
atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang
berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah
berlangsung yang kemudian dianalisa.45
43
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), hlm. 42.
44
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),
hlm. 13.
45
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35.
Universitas Sumatera Utara
30
2.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa
yang akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Metode pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif
(legal research) yang bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang di
teliti. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan normatif yang secara
deduktif yang dimulai dari analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal
yang menjadi permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan
dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya
serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.
3.
Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini diambil dari data-
data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah:
a.
Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak ,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 Tentang Ratifikasi Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukum yang Kejam, Tidak Manusiawi
Dan Merendahkan (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman
Or Dedgrading Treatment and Punishment), Undang-Undang Nomor 35
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1987,
Universitas Sumatera Utara
31
Tanggal 6 November Tahun 1987 Tentang Tata Tertib Sidang Anak, Surat
Edaran Jaksa Agung RI SE-002/J.A/4/1989 Tentang Penuntutan Terhadap
Anak, Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9
November Tahun 1995 Tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI MA/KUMDIL/31/K/2005 Tentang
Kewajiban Setiap Pengadilan Negeri (PN) Mengadakan Ruang Sidang
Khusus Dan Ruang Tunggu Khusus Anak Yang Akan di sidangkan,
TR/II24/XI/2006 Kabareskim Polri, 16 November 2006 Dan TR/395/VII/2008
9 Juni 2008 Tentang Diversi Dan Restorative Justice Dalam Penanganan
Kasus Anak Pelaku Dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Anak Dalam
Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban, Atau Saksi, Surat Keputusan
Bersama Mahkamah Agung RI, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
Menteri Hukum Dan Ham, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan
Perempuan
Dan
Perlindungan
No.66/KMA/SKB/XII/2009,No.148A/A/JA/12/2009,
No.MHH-08
HM.03.02
Tahun
2009,
No.
Anak,
B/45/XII/2009,
No.10/PRS-2/KPTS/2009,
No.09/Men.PP Dan PA/XII/2009 Tanggal 22 Desember 2009 Tentang
Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
b.
Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang
relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran
karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan
materi yang diteliti.
c.
Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsepkonsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan
(library reseacrh) dan juga dengan melakukan wawancara langsung dengan
informan (field reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah
serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,
mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-
Universitas Sumatera Utara
32
bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku
literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian.
Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara
sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik
dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.46
5.
Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.47 Data yang
telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif,
yaitu:
a.
Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan prinsip diversi dalam upaya perlindungan
hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum.
b.
Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya
melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.
c.
Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk
menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan
hukum tersebut.
d.
Menemukan
hubungan
konsep,
asas
dan
kaidah
tersebut
dengan
menggunakan teori sebagai pisau analisis.
Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan
menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan
membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas
46
Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24.
47
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 225.
Universitas Sumatera Utara
33
dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan
tujuan penulisan yang dirumuskan.48
48
Lexi Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara
Download