10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak berperan sangat strategis sebagai successor (penerus) suatu bangsa. Anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa, selain itu anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini dan anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanakkanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.1 Menurut hukum positif anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur (minderjarig heid/inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.2 Anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa.3 Istilah kedewasaan menunjuk kepada keadaan sesudah dewasa, yang memenuhi syarat hukum. Istilah pendewasaan menunjuk kepada keadaan belum 1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 20014), hlm. 1. 2 Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Restu Agung, 2007), hlm. 5. 3 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 50. Universitas Sumatera Utara 11 dewasa yang oleh hukum dinyatakan sebagai dewasa. Hukum membedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Ketidakmampuan anak maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan maka seseorang tersebut harus dibimbing. Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Anak yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut Pasal 294 dan 295 KUHP adalah yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi kedalam kategori belum cukup umur. Perkembangan dunia tekhnologi terutama dalam bidang yang berbasis internet (networking) sangat membantu dan mendukung perkembangan segala macam jenis kebutuhan manusia. Melalui internet semua hal dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan murah. Keberadaan internet tidak selalu membawa dampak positif bagi semua kalangan. Internet yang digunakan anak tanpa pengawasan dari orang dewasa sangat rentan terhadap pertumbuhan psikologis anak, diakibatkan banyaknya situs-situs porno yang sangat mudah di akses oleh anak terutama anak dibawah umur.4 Tidak terbatasnya jaringan akses internet dan lemahnya pengawasan dari orang tua membuat anak bisa dengan leluasa mengakses situs-situs porno. Anak yang pada dasarnya belum terlalu mengerti soal seks, cenderung mengikuti apa yang dilihatnya dan akhirnya mempraktekkan hal yang dilihatnya kepada anak4 Anak Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, http://health.kompas.com/read/2014/05/14/1616274/anak.bisa.jadi.pelaku.kekerasan.seksual, (diakses terakhir tanggal 17 Januari 2015). Universitas Sumatera Utara 12 anak sebayanya, sehingga anak tersebut menjadi pelaku tindak pidana kejahatan seksual. Kasus-kasus kejahatan seksual saat ini telah banyak dilakukan oleh anakanak, mulai dari kasus pelecehan, sodomi, pencabulan, bahkan pemerkosaan kepada anak-anak dibawah umur lainnya.5 Masyarakat yang semakin terbuka terhadap persoalan seksualitas membuat pornografi dan pornoaksi begitu mudah dijumpai anak-anak. Adegan seksual itu ada dalam tayangan televisi, film, internet, video game, keping cakram, hingga aktivitas seksual orang tua yang dilihat anak. Di sejumlah negara eropa, tontonan pornografi pada anak sudah dikategorikan sebagai kekerasan seksual pada anak. Anak juga belum bisa membedakan apa yang terjadi di dunia maya ataupun dunia nyata. 6 Pelaku kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya orang dewasa. Besarnya kemampuan anak meniru apa pun yang dilihat dan dialami bisa mendorong anak melakukan kekerasan seksual terhadap temannya. Keluarga menjadi benteng utama untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual. Faktor eksternal menjadi pemicu terbesar anak melakukan kekerasan seksual itu. Faktor eksternal itu biasanya berupa pengalaman kekerasan seksual masa lalu yang dialami anak baik yang dilakukan orang dewasa atau temannya maupun paparan pornografi dan pornoaksi dari lingkungan sekitar.7 Anak ketika menjadi korban kekerasan, umumnya tidak paham apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka. Anak hanya akan merasa direndahkan dan dihina, saat menjadi pelaku kekerasan, anak juga merasa tidak bersalah karena mereka juga pernah diperlakukan sama oleh orang lain. Keterbatasan memahami apa yang dialami atau dilihat itu membuat anak sulit menceritakan pengalaman seksual yang dialaminya kepada orangtua. Terlebih lagi jika hubungan orangtua dan anak tidak hangat sehingga membuat anak takut dimarahi.8 Seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana, sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang 5 Ibid. Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid. 6 Universitas Sumatera Utara 13 anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.9 Pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh anak mengacu pada bentuk pelecehan seksual anak di mana anak pra puber adalah korban pelecehan seksual oleh satu atau lebih anak lain atau remaja dan di mana tidak ada orang dewasa yang terlibat langsung. Istilah ini menggambarkan aktivitas seksual di antara anak-anak yang terjadi tanpa persetujuan, tanpa kesetaraan, atau sebagai akibat dari paksaan.10 Hal ini termasuk ketika salah satu dari anak-anak menggunakan kekuatan fisik, ancaman, tipu daya atau manipulasi emosional untuk memperoleh kerja sama. Pelecehan seksual anak yang dilakukan oleh anak dibedakan lebih jauh dari bermain seksual secara normatif atau rasa ingin tahu pada anatomi dan eksplorasi yang sering dikenal dengan istilah “bermain dokter” karena terbuka dan tindakan sengaja diarahkan pada rangsangan seksual atau orgasme. 11 Beberapa banyak kasus, inisiator melakukan eksploitasi kepada anak lain yang belum mengerti, dan korban tidak menyadari sifat dari apa yang terjadi kepada mereka. Ketika pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu saudara itu dikenal sebagai kekerasan seksual antar saudara.12 Pengaturan ketentuan pidana bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak menurut Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia diatur dalam 3 aturan yaitu KUHP, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disingkat dengan SPPA, sebagai aturan yang menjelaskan tentang ketentuan pidana atau tindakan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 9 M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1. 10 Pelecehan Seksual Antar Anak-Anak, http://id.wikipedia.org/wiki/pelecehan_seksual_antar_anak-anak, (diakses terakhir tanggal 17 Januari 2015). 11 Ibid. 12 Ibid. Universitas Sumatera Utara 14 Pada prinsipnya pelecehan seksual tidak diatur secara khusus namun diatur dalam tindak pidana kesopanan atau kesusilaan yang ada dalam KUHP Pasal 290 dan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 290 KUHP menyatakan dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun di hukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. 2. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut untuk disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin. 3. Barang siapa membujuk (menggoda) seseorang yang diketahuinya atau patut untuk disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin. Hukum internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan.13 Mengenai penanganan perkara pidana anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menghendaki petugas hukum khusus, dimana dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara 13 Inter Parliamentary Union & Unicef, Improving The Protection Of Children In Conflict With The Law In South Asia: A Regional Parliamentary Guide On Juvenile Justice, (Unicef: Rosa, 2006), hlm. 2. Universitas Sumatera Utara 15 anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang Undang-Undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masingmasing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak menyatakan, bahwa “anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.” Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.14 Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.15 Oleh karena itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.16 Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, oleh karena itu untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, 14 Ibid., hlm. 180. Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 23. 16 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 15 222. Universitas Sumatera Utara 16 tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak.17 Perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahan kan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Hal terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas anak untuk menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan perubahan sosial menurut perspektif mereka.18 Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “penangkapan, penahanan atau tindakan pidana penjara bagi anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, oleh sebab itu perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa.” Peranan masyarakat dalam perlindungan anak dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang menjelaskan bahwa : “Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak dengan cara: a. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang. b. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak. c. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak. 17 18 Ibid, hlm. 12. Mansour Fakih, Op. Cit., hlm. 20. Universitas Sumatera Utara 17 d. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan pendekatan keadilan restoratif. e. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan. f. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak, atau g. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak.”19 Kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak belum tentu sepenuhnya karena keinginan dari anak sendiri. Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Memberikan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice mengandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal 19 Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Universitas Sumatera Utara 18 seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah. Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi atau di amerika serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem peradilan pidana formal. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini diberi judul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Seksual Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia.” B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan pertanyaan mengenai objek empirik yang akan diteliti dan jelas batas-batasnya serta dapa diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait didalamnya. Adapun yang menjadi permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual melalui diversi menurut ketentuan peraturan perundangundangan di Indonesia? 2. Bagaimana peranan aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum yang mengatur tentang penerapan diversi di Indonesia. Sesuai perumusan masalah diatas adapun tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Universitas Sumatera Utara 19 2. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai peranan aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual. D. Manfaat Penelitian Penelitan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritas kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktis kepada para praktisi hukum. 1. Manfaat yang bersifat teoretis adalah diharapkan hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan displin ilmu hukum 2. Manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya diharapkan memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada.20 Secara praktis diharapkan juga agar penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan pemerintah serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak yang tersangkut kasus pidana, mengingat faktor pengawasan internal dan eksternal sangat dibutuhkan dalam mengawasi perkembangan anak. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Seksual Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera 20 Soerjono Soekanto (1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106. Universitas Sumatera Utara 20 utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu hukum juga telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang memiliki kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain: 1. Nama : Rafiqoh Lubis Nim : 992105119 Tahun : 2001 Judul : Peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi Kasus Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan) 2. Nama : Lidya Rahmadani Hasibuan Nim : 127005096 Tahun : 2014 Judul : Restorative Justice Sebagai Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 3. Nama : Noprianto Sihombing Nim : 127005118 Tahun : 2014 Judul : Penerapan Diversi Dalam Kasus Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anak Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 21 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan 21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. Universitas Sumatera Utara 21 bahwa keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. 22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami mengenai konsep diversi yang diterapkan bagi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual, dimana konsep diversi diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana. Teori yang digunakan dalam tesis ini adalah teori perlindungan hukum. Menurut Satjipto Raharjo hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.23 Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.24 Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.25 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan 22 Soerjono Soekanto(1), Ibid., hlm. 6. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan Kelima, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53. 24 Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3. 25 Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis, Magister Ilmu Hukum, (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14. 23 Universitas Sumatera Utara 22 perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif yakni bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Sedangkan perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan.26 Perlindungan hukum bagi seluruh rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri negara hukum pancasila ialah: a. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan. b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara. c. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir. d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Ruang lingkup perlindungan hukum bagi anak mencakup perlindungan terhadap kebebasan anak, perlindungan terhadap hak asasi anak, dan perlindungan hukum terhadap semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan.27 Konsekuensi dari lingkup perlindungan hukum bagi anak sebagimana tersebut di atas adalah, bahwa semua kebijakan hukum (produk perundang-undangan) yang berkaitan dengan anak harus bermuara kepada penegakan kebebasan anak, penegakan hak asasi anak, dan terwujudnya kesejahteraan anak. Hukum 26 27 Ibid., hlm. 20. Waluyadi, Op. Cit, halaman 1. Universitas Sumatera Utara 23 internasional telah menetapkan standar perlakuan yang harus atau dapat dirujuk oleh setiap negara dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Hukum internasional mensyaratkan negara untuk memberikan perlindungan hukum dan penghormatan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum melalui pengembangan hukum, prosedur, kewenangan, dan institusi atau kelembagaan. 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam menangani perkara pidana anak menghendaki petugas hukum khusus, dimana dalam bidang kesehatan sudah tidak asing lagi ada petugas yang sebutannya dokter anak sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara anak. Berkenaan dengan bidang pengadilan anak, dikenal adanya penyidik anak, penuntut umum anak dan hakim anak yang diberi wewenang Undang-Undang untuk menangani perkara pidana anak sesuai dengan tingkat pemeriksaan masingmasing, sesuai kewenangan serta untuk menyelesaikan perkara anak dengan memperhatikan kepentingan anak yang didalam KUHAP tidak dikenal adanya petugas pemeriksa yang khusus untuk perkara anak. Seperti yang tercantum dalam Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Kedua ayat tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan perlakuan adil terhadap anak.29 Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum,30 oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa 28 Inter Parliamentary Union & Unicef, Improving The Protection Of Children In Conflict With The Law In South Asia: A Regional Parliamentary Guide On Juvenile Justice, (Unicef: Rosa, 2006), hlm. 2. 29 Ibid., hlm. 180. 30 Abdul G. Nusantara, Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 23. Universitas Sumatera Utara 24 akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.31 Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua, menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Menurut Arif Gosita, bahwa perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi,32 oleh karena itu untuk mengetahui adanya, terjadinya perlindungan anak yang baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, maka harus diperhatikan fenomena yang relevan, yang mempuyai peran penting dalam terjadinya kegiatan perlindungan anak. Perlindungan anak terdapat dalam berbagai bidang kehidupan untuk kepentingan anak dan mempunyai dampak positif pada orang tua. Harus diperjuangkan agar asas-asas perlindungan anak diperjuangkan dan dipertahan kan sebagai landasan semua kegiatan yang menyangkut pelayanan anak secara langsung atau tidak langsung demi perlakuan adil kesejahteraan anak. Point terpenting dari usaha perlindungan anak adalah bagaimana membangun kapasitas anak untuk menyuarakan kehendak, cita-cita dan harapan mereka terhadap masyarakat dan perubahan sosial menurut perspektif mereka.33 Ketentuan dalam Pasal 16 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “penangkapan, penahanan atau tindakan pidana penjara bagi anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.” Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. 31 Arief Gosita, Op. Cit., hlm. 222. Ibid. hlm. 12. 33 Mansour Fakih, Op. Cit., hlm. 20 32 Universitas Sumatera Utara 25 Peranan masyarakat dalam perlindungan anak dapat juga dilihat dari ketentuan sistem peradilan pidana anak, dimana disebutkan bahwa: 34 Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak dengan cara: a. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak yang berwenang. b. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak. c. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak. d. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan pendekatan keadilan restoratif. e. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan. f. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak, atau g. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan anak. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui hubungan acaranya. Fungsi teori perlindungan hukum dalam penulisan tesis ini adalah untuk melindungi hak-hak dari anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual mengingat anak masih dalam usia pengawasan dan pembelajaran dari orang tua kandungnya segingga diperlukan konsep diversi untuk melindungi anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual. Teori dalam penulisan tesis ini juga menggunakan teori kepastian hukum. Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki pengertian 34 Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Universitas Sumatera Utara 26 yang tunggal. Gustaf Radbruch, dalam konsep ajaran prioritas baku mengemukakan bahwa tiga ide dasar hukum atau tiga tujuan utama hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Keadilan merupakan hal yang utama dari ketiga hal itu tetapi tidak berarti dua unsur yang lain dapat dengan serta merta diabaikan. Hukum yang baik adalah hukum yang mampu mensinergikan ketiga unsur tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. 35 Keadilan yang dimaksudkan oleh Radbruch adalah keadilan dalam arti yang sempit yakni kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Kemanfaatan atau finalitas menggambarkan isi hukum karena isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang mau dicapai oleh hukum tersebut. Kepastian hukum dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.36 Kepastian hukum itu berkaitan dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for precedent (stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent (yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian hukum adalah putusan yang berisi prediktabilitas dan otoritas. Kepastian hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan-putusan terdahulu.37 Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas, dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.38 Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Pendapat ini 35 Ali Ahmad, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 287-288. 36 Ibid., hlm. 162. 37 Ibid., hlm. 294. 38 Yance Arizona, Kepastian Hukum, http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apaitu-kepastian-hukum/, (diakses tanggal 21 Februari 2015). Universitas Sumatera Utara 27 dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif legal positivism karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap formulasi gramatikal dan antinomi antar peraturan, sehingga menciptakan keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum. Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia, dimana dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Penerapan teori hukum tidak dapat hanya satu teori saja tetapi harus gabungan dari berbagai teori. Berdasarkan teori hukum yang ada maka tujuan hukum yang utama adalah untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan perdamaian.39 Fuller memberikan makna yang lebih luas tentang kepastian hukum. Fuller menjabarkan pendapatnya tentang kepastian hukum, dengan menyatakan: Kepastian hukum selalu berkaitan dengan hal-hal seperti:40 a. Adanya sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, bukan berdasarkan putusan sesaat untuk hal-hal tertentu. b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik. c. Peraturan tersebut tidak berlaku surut. d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum. e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan. f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. g. Tidak boleh sering diubah-ubah. h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari. 39 Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 22. 40 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 294. Universitas Sumatera Utara 28 Fungsi teori kepastian hukum disini adalah untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak dari tuntutan hukum atas tindak pidana kejahatan seksual yang dilakukannya, mengingat perlunya kepastian hukum atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan kepada anak pelaku tindak pidana kejahatan seksual. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional.41 Maka dalam penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni: a. Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia b. Anak pelaku kejahatan atau anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. 42 c. Kejahatan seksual adalah suatu tindak pidana yang dilakukan berupa ancaman dan pemaksaan secara seksual seperti pemerkosaaan dan perbuatan cabul terhadap korban. d. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. e. Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 41 hlm. 3. Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 42 Anak yang berhadapan dengan hukum dibagi menjadi, a. Pelaku atau tersangka tindak pidana, b. Korban tindak pidana, c. Saksi suatu tindak pidana. Universitas Sumatera Utara 29 G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.43 Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner. Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.44 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban). Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis. Penelitian deskriftif analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia kemudian dianalisis dan ambil kesimpulan atas permasalahan tersebut. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung yang kemudian dianalisa.45 43 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 42. 44 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 13. 45 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35. Universitas Sumatera Utara 30 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif (legal research) yang bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang di teliti. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan normatif yang secara deduktif yang dimulai dari analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. 3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang terdapat dalam penelitian ini diambil dari data- data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah: a. Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak , Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995 Tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukum yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman Or Dedgrading Treatment and Punishment), Undang-Undang Nomor 35 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1987, Universitas Sumatera Utara 31 Tanggal 6 November Tahun 1987 Tentang Tata Tertib Sidang Anak, Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/J.A/4/1989 Tentang Penuntutan Terhadap Anak, Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 November Tahun 1995 Tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung RI MA/KUMDIL/31/K/2005 Tentang Kewajiban Setiap Pengadilan Negeri (PN) Mengadakan Ruang Sidang Khusus Dan Ruang Tunggu Khusus Anak Yang Akan di sidangkan, TR/II24/XI/2006 Kabareskim Polri, 16 November 2006 Dan TR/395/VII/2008 9 Juni 2008 Tentang Diversi Dan Restorative Justice Dalam Penanganan Kasus Anak Pelaku Dan Pemenuhan Kepentingan Terbaik Anak Dalam Kasus Anak Baik Sebagai Pelaku, Korban, Atau Saksi, Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan No.66/KMA/SKB/XII/2009,No.148A/A/JA/12/2009, No.MHH-08 HM.03.02 Tahun 2009, No. Anak, B/45/XII/2009, No.10/PRS-2/KPTS/2009, No.09/Men.PP Dan PA/XII/2009 Tanggal 22 Desember 2009 Tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum. b. Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang diteliti. c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsepkonsep dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library reseacrh) dan juga dengan melakukan wawancara langsung dengan informan (field reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan- Universitas Sumatera Utara 32 bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.46 5. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut.47 Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu: a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan prinsip diversi dalam upaya perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum. b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan. c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut. d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis. Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas 46 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24. 47 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225. Universitas Sumatera Utara 33 dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.48 48 Lexi Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48. Universitas Sumatera Utara