Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PERKARA ANAK DI LUAR PENGADILAN Susilowati Idaningsih*, Jawade Hafidz** * ** Mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, email : [email protected] Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang ABSTRACT Islam gives serious concerns about children's education. This can be seen from the various terms used by the Qur'an to show the meaning of children with various derivations such as zurriyah, ibn, walad, athfal, shabiy, aqrab asbath, ghulam, thifl, nasl, rabaib and ad'iya'akum. Children in growing up can commit a criminal offense, which resulted in the child must deal with the law. The problem certainly includes the legal process, where the estuary of law enforcement practices often place them as inmates in prison. Children facing the law consist of children as perpetrators, children as victims, and children as witnesses. Referring to the settlement based on the principle of the best interests of the child, an alternative solution for delinquent children is required through the restorative justice model. This writing uses normative juridical research methods by conducting a study of library and documentary against written sources already available. This writing discusses the application of restorative justice outside the courts, effectiveness, constraints and solutions to be able to realize restorative justice in Law no 11 of 2012. Restorative justice model is a deliberative effort of recovery by involving victims and perpetrators and their respective families, which is expected to produce a verdict which is not punitive, but still prioritizes the interests and responsibilities of the child as the perpetrator of the crime, the victim and the community itself which ultimately is expected to prevent the child in trouble with the law from the black notes of the judicial process for having been involved with the legal process. Law No. 11 of 2012 has been set about restorative justice, but there are still some shortcomings. Completion with restorative justice model is expected to run well, for it is expected that the equality of perception among law enforcement officers in solving the case of children dealing with the law with alternative settlement of children's case through the application of the idea of restorative justice. Key words : restorative justice PENDAHULUAN Penegakkan hukum pidana merupakan suatu rangkaian proses yang terdiri dari pentahapanpentahapan.1 Sistem hukum pidana merupakan suatu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive 1 Nyoman Serikat Putra Jaya, Prof.,Dr.,S.H Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 11 ║1 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 system) dan pidana hanya merupakan sarana/alat untuk mencapai tujuan.2 Sehingga apabila dilihat secara fungsional/operasional sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebijakan legislatif), tahap “aplikasi’ (kebijakan yudikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan eksekutif).3 Dimana semua pentahapan tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dintegrasikan secara menyeluruh, agar proses penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan yang dicita-citakan. Sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, yang dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya dalam bukunya yang berjudul “Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)”, dikatakan bahwa penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum (das sollen) menjadi kenyataan (das sein). Keinginan-keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiranpikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Dalam penanganan perkara pidana pada umumnya berkaitan erat dengan Sistem Peradilan Pidana yang dikenal dengan istilah Criminal Justice System (CJS), dimana didalam mengaplikasikan suatu formulasi/kebijakan (peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan melibatkan para penegak hukum). Dalam praktek proses penegakan hukum seperti ini merupakan paradigma lama yang condong pada bentuk konvensional yaitu peradilan retributif, yang sifatnya lebih condong pada pembalasan terhadap perbuatan jahat (criminal) yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Rancangan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak yang telah disahkan pada bulan 30 Juli tahun 2012 sebagai perubahan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum saat ini khususnya dalam rangka memberikan perlindungan terhdadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut salah satu pasalnya memuat ketentuan tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 tahun bisa dilakukan upaya diversi atau diselesaikan diluar proses hukum serta mewajibkan pendekatan keadilan restoratif dimana melibatkan pelaku (Anak Berhadapan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku dan pihak lain yang terkait dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian masalah secara bersama-sama tanpa mengedepankan pembalasan. Bahwa upaya diversi tersebut juga disebutkan wajib diupayakan di setiap tingkatan proses hukum oleh penegak hukum, yaitu dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang 2 Barda Nawawi arief, Prof.,Dr.,S.H., Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (perspektif pembaharuan & perbandingan hukum pidana). Pustaka Magister, Semarang, 2011, hal.3 3 Ibid, hal.4 2║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) pengadilan, yang kemudian hasil kesepakatan dalam upaya diversi tersebut dituangkan didalam kesepakatan Diversi dan pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum. Adapun yang menjadi dasar filosofi ketentuan diversi tersebut adalah karena anak belum dapat memahami apa yang dilakukannya, serta mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest for the child) dan sesuai Konvensi Hak Anak (Convention On The Rights Of The Child) 1990 yang diratifikasi oleh Indonesia selaku anggota United Nations (PBB) melalui Keppres Nomor 36 tahun 1990 menyatakan bahwa pidana merupakan upaya terakhir (Ultimum Remedium) selain Itu juga dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa anak adalah aset bangsa dan generasi penerus yang perlu mendapat perlindungan secara utuh dari negara. Meskipun demikian konsep diversi juga mempertimbangkan kepentingan korban, kepatutan didalam masyarakat, umur anak (minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan. Dengan demikian Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dapat memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pemulihan secara psikologis dan pembauran lagi didalam masyarakat lebih mudah dilakukan dibandingkan apabila ABH telah dipidana penjara, hal ini terkait dengan label negative yang secara implisit melekat pada diri anak. Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Sehingga yang menjadi permasalahan disini adalah pada jaman globalisasi seperti sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah sekali didapatnya melalui media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh ABH boleh jadi sudah dikehendaki oleh ABH dan dia juga memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu. Meskipun demikian Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang, sebagai hak yang paling mendasar dan hakiki yang perlu mendapat perlindungan dan perhatian secara khusus, agar anak dapat bertumbuh kembang secara baik dan berkualitas sebagai generasi penerus bangsa, karena anak merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya dan perlu mendapat perlindungan secara utuh. Ajaran mengenai Keadilan Restoratif di Indonesia baru mulai diperhatikan semenjak dirancangnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang saat ini telah diubah ║3 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 sebagian dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terutama dalam ruang lingkup Sistem Peradilan Anak. Sehingga kemudian muncul ide untuk secara expresis verbis memasukkan Keadilan Restoratif ke dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku saat ini. Dengan adanya Keadilan Restoratif dalam penegakan hukum pidana Indonesia, diharapkan anak akan mendapat hak yang semestinya. Hal ini dikarenakan semua yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana anak ini dilakukan dengan cara dan ketentuan khusus, yang dikecualikan dari penyelesaian perkara pidana terhadap orang-orang dewasa. Bahwa dalam keadilan restoratif ini fokusnya adalah pada penyelesaian masalah, tanggungjawab, kewajiban dan masa depan apa yang harus dilakukan, dengan melakukan dialog dan negosiasi normal, sebagai cara untuk memberikan pemulihan kepada dua belah pihak “rekonsiliasi/restorasi” sebagai tujuan akhir.4 Terkait dengan hal tersebut dalam mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan pergantian terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak5, telah mengatur secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam mewujudkan hal tersebut. Dengan banyaknya jumlah perkara yang dijatuhi hukuman berupa pemidanaan (penjara) terhadap anak-anak yang terlanjur berkonflik dengan hukum memberikan gambaran bahwa hak-hak anak kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak, khususnya para pelaku penegakan hukum, yang secara langsung turut andil dalam tahap aplikasi. Namun demikian diperlukan juga adanya klasifikasi kejahatan yang masih dapat ditoleransi untuk dapat dilakukan penyelesaian melalui jalur Keadilan Restoratif sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 4 KPAI-Raoul Wallenberg Institut of Human Rights and Humanitarian Law (RWI), Ringkasan Acara dan Sumber Buku Pegangan, Lokakarya Konsultatif Sistem Peradilan Anak 2009, Jakarta, 2010, hal.13 5 Pengadilan Negeri Bangil, Penerapan Diversi Dalam Sidang Anak. 4║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) Dalam perkembangannya mengenai praktek Keadilan Restoratif, dapat dideskripsikan dengan posisi negara (state) berada di tengah dengan posisi netral, sedangkan anak sebagai korban (victim), anak sebagai pelaku (offender) dan masyarakat (community) berusaha menyelesaikan masalah yang ada melalui jalur kekeluargaan untuk memulihkan keadaan. Namun, demikian dalam fenomena sosial kemasyarakatan Keadilan Restoratif belum mendapatkan tempat sesuai porsinya dalam praktek peradilan. Dimana anak sebagai generasi penerus bangsa dilindungi oleh instrumen hukum baik UU Nomor 35 Tahun 2014 jo UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak serta Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu fakir miskin dan anak-anak terlantar dilindungi oleh Negara, yang dalam pengimplementasiannya diharapkan sempurna. Akan tetapi, anak sebagai manusia juga memiliki tingkat kecerdasan (IQ) dan Emosi (EQ) yang berbeda per individu, didalam realita ada anak yang lebih mudah memahami banyak hal daripada anak seumurannya, dengan dasar pemahaman terhadap segala tindakan itulah maka anak tersebut dapat pula dikenakan tanggungjawab terhadap perbuatannya tersebut sebagai efek jera yang jangan disamakan dengan orang dewasa serta harus ada muatan pendidikan didalamnya. Apabila dikorelasikan dengan 3 (tiga) nilai hukum yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Konsep diversi yang diakomodasi didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang berlaku saat ini tersebut sebagai kepastian hukum apakah benar-benar sudah megakomodasi rasa keadilan secara seimbang bagi para pihak khususnya pihak korban, karena diversi jika tidak berhasil disatu tingkat pemeriksaan maka harus diupayakan di tingkat pemeriksaan selanjutnya sehingga memberi kesan bahwa kepentingan ABH lebih diutamakan daripada kepentingan korban/keluarga korban. Sehingga akhirnya penulis tertarik untuk mengambil judul “KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PERKARA ANAK DI LUAR PENGADILAN”. Berdasarkan uraian diatas, penulis merumuskan permasalahan utama dalam penulisan dengan judul “KEADILAN RESTORATIF SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PERKARA ANAK DI LUAR PENGADILAN” dengan pembatasan pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: Bagaimana penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak Di Luar Pengadilan? Bagaimana efektifitas Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara terhadap Anak Di Luar Pengadilan? Apa saja yang menjadi kendala dan solusi dalam mewujudkan Keadilan Restoratif berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012? PEMBAHASAN 1. Penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak Di Luar Pengadilan ║5 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 A. Bentuk dan Pelaksanaan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak di Tingkat Bapas Bapas memiliki beberapa fungsi yang harus dilalui seperti Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), melakukan registrasi serta mengikuti sidang Pengadilan Anak yang dimana hal tersebut yang akan membuat tugas pokok dari Bapas berjalan dengan baik dan menentukan klien yang akan ditangani oleh Bapas. Melaksanakan Pembimbingan Kemasyarakatan terdapat pengertian-pengertian ataupun istilah yang digunakan sebagai berikut : 1. Petugas kemasyarakatan (PK) adalah petugas pada balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang melakukan bimbingan warga binaan pemasyarakatan 2. Klien Pemasyarakatan adalah Warga Binaan pemasyarakatan yang dibimbing oleh BAPAS 3. Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) adalah kegiatan penelitian untuk mengetahui bagaimana latar belakang kehidupan warga binaan ataupun klien pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh BAPAS, yang memiliki fungsi : a. Bahan pertimbangan untuk memutus perkara pidana di Pengadilan Negeri b. Bahan penentuan program pembinaan narapidana, anak Negara dan anak sipil dalam LAPAS c. Bahan pertimbangan dalam rangka pemberian asimilasi, cuti mengunjungi keluarga (CMK), pembebasan bersyarat (PB) dan cuti menjelang bebas bagi narapidana (CMB) d. Bahan pertimbangan penghentian penyidikan anak yang belum mencapai usia 8 (delapan) tahun yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana Peranan Bapas lebih kepada pemulihan suatu klien pemasyarakatan dan memberikan bimbingan yang sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku sehingga klien pemasyarakatan mampu untuk pulih dari keadaan sebelumnya. Sistem pemasyarakatan memang tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem peradilan secara keseluruhan. Untuk melaksanakan pembinaan di dalam Bapas diperlukan suatu program agar proses pembinaan, pembimbingan maupun pengawasan berjalan dengan baik. Anak yang ditahan dan/atau berakhir di lembaga pemasyarakatan merupakan hasil dari tahapan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan yang melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan serta berbagai komponen lain seperti advokat, pekerja sosial, petugas balai pemasyarakatan, orang tua atau keluarga. 6║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) Pelaksanaan sistem Pemasyarakatan mempunyai tujuan akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri di dalam suatu masyarakat. Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan, pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Sistem pemasyarakatan merupakan tujuan akhir dari sitem peradilan pidana yang memutuskan untuk selanjutnya dibina di dalam suatu lembaga pemasyarakatan. Sistem Peradilan pidana dalam kerangka sistem merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hukum pidana dan menjaga ketertiban sosial, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang Rutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling dukung mendukung secara sinergis hingga tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana tersebut dapat dicapai dengan maksimal. B. Bentuk dan Pelaksanaan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak di Tingkat Kepolisian Konsep restorative Justice yang diimplementasikan dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempunyai dasar yuridis. Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan kembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6 UndangUndang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat sesuai dengan Konvensi Hak-Hak anak yang diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun1990. 6 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal 53 ║7 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 Peradilan pidana dengan Konsep Restorative Justice bertujuan untuk: 1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak; 2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan; 3) Menjauhkan anak dari pengaruh negatif proses peradilan; 4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak; 5) Mewujudkan kesejahteraan anak; 6) Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; 7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; 8) Meningkatkan keterampilan hidup anak.7 Konsep mengenai Restorative Justice masuk dalam Pasal 5, bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (ayat (1)), yang meliputi (ayat (2)): a) Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; b) Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; c) Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Dan ditegaskan bahwa pada huruf a dan b wajib diupayakan diversi (ayat (3)). Pasal 5 ayat (1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Perlakuan khusus dimulai pada saat tahap penyidikan, harus dibedakan pemeriksaan terhadap anak di bawah umur dengan orang dewasa. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. 8 Salah satu cara yang efektif dalam penerapan Restorative Justice adalah pihak kepolisian harus membuat satu tim khusus yang sudah dilatih dalam menangani permasalahan tentang anak, terutama pada perkara pencurian yang dilakukan oleh anak. Sehingga pihak Kepolisian dapat turun langsung menangani masalah dan berbaur dengan masyarakat. Sehingga bisa mengetahui secara langsung permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dan mencari solusi serta jalan keluar dengan menggunakan mediasi pendekatan restorative justice melalui mekanisme diversi. Apabila di setiap perkara pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur menerapkan Restorative Justice, secara tidak langsung dapat mengurangi anak yang ditahan di dalam rutan 7 8 8║ Ibid, hal 133 Lihat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) maupun lapas, dan berkurangnnya perkara yang masuk ke pengadilan, mengurangi jumlah narapidana yang ada di dalam lembaga, mengurangi anggaran negara. Jika semua pelaku tindak pidana dalam hal ini pencurian yang termasuk dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak di bawah umur, kemudian dimasukan kedalam lembaga pemasyarakatan sangat tidak memiliki nilai guna karena hanya berdampak buruk terhadap anak itu sendri. Anak yang seharusnya mendapatkan bimbingan, masih sangat membutuhkan pengetahuan seperti sekolah dan kasih sayang kemudian berbaur dengan para tahanan lainya yang nantinya hanya akan terkontaminasi dari sifat-sifat jahat. Sehingga dapat dikatakan pelaksanaan pemidanaan sesungguhnya belum tepat apabila masih dapat dicari jalan keluarnya. Yang sangat diperlukan adalah di setiap masalah yang bermunculan, bersama-sama masyarakat dan penegak hukum dan kedua belah pihak yang berperkara harus mencari win-win solution bagi persoalan kecil seperti di atas sehingga yang tadinya korban mempunyai emosional yang tinggi tidak lagi melaporkan kepada penegak hukum karena dapat menyelesaikan masalahnya dengan solusi yang tepat. C. Bentuk dan Pelaksanaan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak di Tingkat Kejaksaan Di Indonesia sendiri selama kurang lebih enam belas tahun menggunakan UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menggunakan pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributif), yang berparadigma penangkapan, penahanan, dan penghukuman penjara terhadap anak. Hal tersebut tentu akan berpotensi membatasi kebebasan dan merampas kemerdekaan anak dan akan berdampak pada masa depan seperti kepentingan terbaik bagi anak, fakta menunjukan jumlah narapidana anak yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan adanya undang-undang peradilan pidana anak yang mengharuskan penggunaan pendekatan keadilan restoratif pada anak maka ini berarti undang-undang peradilan anak memberi kewenangan kepada jaksa untuk mengupayakan proses diversi dalam konteks peradilan restoratif. Penerapan proses diversi dalam konteks keadilan restoratif oleh pihak kejaksaan dapat dilihat pada ragaan di bawah ini : Dengan adanya undang-undang peradilan pidana anak yang mengharuskan penggunaan pendekatan keadilan restoratif pada anak maka ini berarti undang-undang peradilan anak memberi kewenangan kepada jaksa untuk mengupayakan proses diversi dalam konteks peradilan restoratif. ║9 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 Melihat gambaran proses penyelesaian perkara anak sebagaimana dikemukakan diatas merupakan Substansi mendasar UU No. 11 Tahun 2012 adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menjauhkan stigma negative anak dimasa yang akan datang. Penanganan dalam proses peradilan anak yang salah dapat menimbulkan pertumbuhan mental , kejiwaan dan sosial anak menjadi negative dan berbahaya bagi generasi muda yang akan datang. Tujuan pemidanaan bukanlah untuk memberikan penghukuman melainkan memberikan pendidikan agar kelak merka dapat memperbaiki moral serta perilakunya serta tidak terjerumus dalam lingkungan yang salah. D. Bentuk dan Pelaksanaan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak di Tingkat Pengadilan Negeri Dalam PERMA 4 tahun 2014 dijelaskan bahwa Diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana (pasal 2). PERMA ini juga mengatur tahapan musyawarah diversi, dimana fasilitor yang ditunjuk Ketua Pengadilan wajib memberikan kesempatan kepada: a.Anak untuk didengar keterangan perihal dakwaan. b. Orang tua/Wali untuk menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan anak dan bentuk penyelesaian yang diharapkan c. Korban/Anak Korban/Orang tua/Wali untuk memberikan tanggapan dan bentuk penyelesaianyangdiharapkan. Bila dipandang perlu, fasilitator diversi dapat memanggil perwakilan masyarakat maupun pihak lain untuk memberikan informasi untuk mendukung penyelesaian dan/atau dapat melakukan pertemuan terpisah (Kaukus). Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak yang diketahuiolehpihaklainnya. 2. Efektifitas Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara terhadap Anak Di Luar Pengadilan Dalam Ketentuan Pemidanaan Terhadap Anak Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Hukum perlindungan anak merupakan subsistem hukum dan tujuan hukum pidana, yang didalamnya meliputi pemahaman dasar terhadap asas-asas hukum pidana seperti asas territorial, asas personal aktif, asas personal pasif, asas universalitas, asas fictie, dan lain-lain. 10 ║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) Ada dua langkah legislatif yang ditempuh untuk melindungi anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sebagai tambahannya ada beberapa kebijakan lain guna memberikan perlindungan yang lebih baik kepada anak yang disangka, didakwa atau dinyatakan bersalah telah melanggar hukum pidana, kebijakan tersebut meliputi: a) Agreement Lisan 1957, yang disepakati oleh Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial. Agreement ini menekankan perlunya perlakuan khusus terhadap anak, baik sebelum dan selama pemeriksaan di sidang pengadilan maupun sesudah putusan pengadilan. Disepakati bahwa pemeriksaan dilakukan dengan cara kekeluargaan, dan penahanan anak dipisahkan dari penahanan orang dewasa. b) Surat Edaran mahkamah Agung (SEMA) No.6 tahun 1959, yang menyebutkan bahwa persidangan terhadap anak harus dilakukan secara tertutup. c) Peraturan Menteri Kehakiman No. M. 06-UM.01.06 tahun 1983 Bab II Pasal 9-12, tentang Tata Tertib Sidang Anak, yang antara lain menyebutkan bahwa sidang anak memiliki sifat khusus bagi anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak, maka sidang perlu dilakukan dalam suasana kekeluargaan dengan mengutamakan kesejahteraan anak. d) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6 Tahun 1987, tentang Tata Tertib Sidang Anak.9 e) Adanya perumusan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan anak di Indonesia, menjadi suatu acuan yang lebih mengkhususkan kepada ketentuan hukum acara pidana anak. Adanya asas Lex Spesialis derogat lex generalis menjadi ketentuan yang mengikat dari asas umum. Undang-undang Pengadilan Anak pada Pasal 40 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku dalam acara pengadilan anak ialah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dengan demikian, hukum acara yang berlaku bagi children involved with the system of juvinele justice administration di Indonesia adalah KUHAP dan Undang-undang Pengadilan Anak. Penjatuhan pidana kepada anak-anak berbeda dengan penjatuhan pidana kepada orang dewasa. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, terhadap anak-anak diberikan pemidanaan yang seringan mungkin dan 9 Purniati, Mamik Sri Supatmi dan Ni Made Martini Tinduk, Op Cit, hlm. 64 ║ 11 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 setengah dari penjatuhan pidana pelaku tindak pidana dewasa, untuk penjatuhan sanksi terhadap anak diatur dalam Bab III tentang Pidana dan Tindakan Pasal 22 s/d Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Bagi anak yang melanggar hukum sanksi pidananya harus lebih bersifat mendidik dan membina anak kearah kehidupan yang lebih baik, agar menjadi anggota masyarakat yang patuh kepada hukum. Oleh karena itu sifat sanksi atau tindakan bagi anak harus berbeda dengan sifat sanksi pidana bagi orang dewasa. 3. Kendala dalam mewujudkan Keadilan Restoratif berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam pemasyarakatan anak sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 26 Beijing Rules adalah bahwa: 1. Tujuan dari pembinaan dan latihan bagi anak dalam lembaga adalah untuk memberikan perawatan, perlindungan, pendidikan dan keterampilan, dalam usaha untuk membantu mereka menempati peran yang konstruktif dan produktif dalam masyarakat kelak; 2. Anak-anak dalam lembaga harus dipisahkan dari terpidana dewasa (sedapat mungkin dalam bangunan yang terpisah); 3. Orang tua atau wali seorang anak, demi kesejahteraan dan kepentingan anak, harus memiliki akses dalam lembaga; 4. Kerjasama antar departemen dan antar lembaga perlu digalang untuk dapat memberikan latihan keterampilan dan pendidikan bagi anak, dengan maksud agar mereka yang berada di dalam lembaga tidak dirugikan pendidikannya.10 Perkembangan penanganan kasus dewasa ini, bahwa tidak semua kasus harus diselesaikan lewat jalur hukum tapi dapat dilakukan Diversi (pengalihan). Yang dimaksud dengan Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. Diversi dilakukan pada perkara yang sifatnya ringan dan dilakukan dengan melibatkan orang tua / wali, sekolah, masyarakat, LSM, BAPAS dan Departemen Sosial. Menurut standard Internasional Diversi dapat dilakukan pada setiap tahapan proses peradilan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan hakim. Namun dalam ketentuan hukum di Indonesia, pelaksanaan Diversi hanya dimungkinkan ditingkat penyidikan artinya hanya merupakan kewenangan dari kepolisian, sementara di lembaga lain seperti Kejaksaan, Kehakiman, atau Lembaga 10 Johannes Sutoyo, Anak dan Kejahatan (Jakarta: Jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1993), hlm. 63 12 ║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) pemasyarakatan belum ada aturan yang mengaturnya. Hal ini yang harusnya mulai dipikirkan oleh pemerintah agar penerapan Diversi ini dapat berjalan dalam semua tahap proses peradilan. Keberadaan Diversi ini sangat diperlukan, sebab melalui Diversi tersebut penuntutan pidana gugur dan criminal track record anakpun serta stigmatisasi anak tidak terjadi.11 Beberapa macam pendekatan non penal yang dipakai dalam rangka untuk menangani anak sebagai pelaku tindak pidana telah banyak diterapkan oleh negara-negara lain karena dianggap pendekatan tersebut lebih efektif. Di Negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak, yaitu: 1. Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak 2. Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum 3. Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata 4. Pendekatan Edukatif dalam pemberian hukuman 5. Pendekatan hukuman yang murni yang bersifat retributif.12 Di negara maju seperti Jepang, negara-negara Skandinavia dan di beberapa negara Eropa, penuntut umum memiliki ”Discretionary power of the prosecutor”, yaitu wewenang untuk mendeponir perkara anak, tidak untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan si anak sendiri berdasarkan faktor-faktor psikologis, kriminologis, dan edukatif. Wewenang inilah yang belum dimiliki oleh penuntut umum di Indonesia. Perlindungan bagi pelaku tindak pidana khususnya anak sangat berbeda perlakuannya terhadap pelaku tindak pidana dewasa. Terjadinya suatu tindak pidana merupakan pelanggaran ketertiban di dalam masyarakat. Keadilan restoratif pada tujuannya ingin mengembalikan kondisi masyarakat menjadi lebih baik dengan melibatkan semua unsur yang terlibat didalamnya. Menurut Howard Zehr dilihat dengan kacamata keadilan restoratif, tindak pidana adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan 11 M. Musa, Peradilan Restoratif Suatu Pemikiran Alternatif System Peradilan Anak di Indonesia, www.peradilanrestorative.com, 14 februari 2008. 12 Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, Children and Young People in Conflict with the Law, Op Cit, hlm.72 ║ 13 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati.13 Berdasarkan dari hal tersebut konsep yang digunakan bagi penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan dengan metode pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak dan pendekataan intervensi hukum, maka model penghukuman yang bersifat retoratif atau disebut retorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelaku tindak pidana anak. Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang.14 Restorative Justice berlandaskan pada prinsip due process, yang merupakan eksplorasi dan perbandingan antara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan korban. Sasaran peradilan restorative adalah mengharapkan berkurangnya jumlah anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara serta menghapuskan stigma pada diri anak dan mengembalikan anak menjadi manusia yang normal sehingga dapat berguna dikemudian hari. Proses restorative justice merupakan proses keadilan yang sepenuhnya dijalankan dan dicapai oleh masyarakat. Proses yang benar-benar ditujukan untuk mencegah dilakukannya kembali tindak pidana. Hal ini menjadikan keadilan sebagai sesuatu yang penuh dengan pertimbangan dalam merespon kejahatan dan menghindari terjadinya stigmatisasi. 15 Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice apabila:16 1. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. 2. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban. 3. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses. 4. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga. 13 Makalah APH Training-Diversi-RJ, FH UNDIP, Semarang, 2007. Ibid 15 Adrianus Meliala, Mamik Sri Supatnu, Santi Kusumaningrum, Kismi Widagso, Fikri Somyadewi, artikel: “Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Resedivisme”, http://152.118.58.226. 14 16 Ruben Achmad, Upaya Penyelesaian Masalah Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Di Kota Palembang (Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari, 2005), hlm.5-6 14 ║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 5. Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara remaja akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu didalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Adapun bentuk-bentuk Diversi adalah sebagai berikut:17 (1) Non intervensi (2) Peringatan informal (3) Peringatan formal (4) Mengganti kesalahan dengan kebaikan / Restitusi (5) Pelayanan Masyarakat (6) Pelibatan dalam program keterampilan (7) Rencana individual antara polisi, anak, dan keluarga (8) Rencana yang diputuskan oleh pertemuan tradisional (9) Rencana yang didasarkan pada hasil pertemuan kelompok keluarga Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan-pelayanan masyarakat atau pelayanan lain akan memerlukan persetujuan remaja itu, atau orang tua walinya dengan syarat keputusan merujuk perkara tersebut tergantung pada kajian dari pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan tersebut. Prinsip-prinsip dasar Diversi yang harus dipedomani yaitu: a. Anak tidak boleh dipaksa untuk mengakui bahwa ia telah melakukan tindakan tertentu Program Diversi hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan. Namun tidak boleh ada pemaksaan. b. Pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari Diversi. Karena mekanisme dan struktur Diversi tidak membolehkan pencabutan kebebasan dalam segala bentuk. c. Adanya kemungkinan penyerahan kembali ke pengadilan (perkara harus dapat dilimpahkan kembali ke system peradilan formal apabila tidak ada solusi yang dapat diambil) 17 Makalah APH Training-Diversi-RJ, Op Cit ║ 15 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 d. Adanya hak untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali. e. Anak harus tetap dapat mempertahankan haknya untuk memperoleh persidangan atau peninjauan kembali f. Tidak boleh ada diskriminasi. Pada akhirnya efektifitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarana, kemampuan profesional para penegak hukum, serta budaya masyarakat yang ada. Untuk dapat mengaplikasikan suatu model keadilan restoratif maka diantara para penegak hukum dan elemen terkait lainnya harus memiliki persepsi yang sama mengenai The Best Interest of The Child. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara Anak Di Luar Pengadilan. Sistem peradilan pidana anak dalam UU ini nampak belum sepenuhnya merefleksikan sistem peradilan restoratif yang bersifat komprehensif. Penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam UU ini cenderung memfokuskan pada program diversi, yakni “pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana” (Pasal 1 Angka 7). Kendati demikian, UU No. 11 Tahun 2012 telah menyodorkan terobosan baru dan diharapkan dapat menjadi “gong pembuka” dalam agenda reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan restorative. 2. Efektifitas Keadilan Restoratif dalam penanganan perkara terhadap Anak Di Luar Pengadilan. Keadilan Restoratif dapat melengkapi penyelesaian anak yang berkonflik dengan hukum, karena Keadilan Restoratif dapat memperjuangkan hak-hak anak di masa depan . Maka sebaiknya setiap anak yang berkonflik dengan hukum tidak harus dimasukkan kedalam lembaga permasyarakatan, karena hak-hak anak seperti hak untuk bersekolah, hak untuk mendapatkan lingkungan yang layak, dan hak untuk bermain akan terampas.Hal ini demi melindungi kepentingan anak dan menjauhkan stigma negatif apabila anak telah bersinggungan dengan pengadilan. 3. Kendala dalam mewujudkan Keadilan Restoratif berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Adapun variable- variable yang dapat menghambat pelaksanaanrestorative justice adalah: 1. Belum adanya undang- undang yang mengatur secara tegas tentang restorative justice. 16 ║ Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No. 1 September 2017 Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Anak … (Susilowati Idaningsih) 2. Kategori umur anak. 3. Aspek Sumber Daya manusia. 4. Sikap keluarga korban. Untuk terciptanya perlindungan anak memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik sehingga diperoleh keseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan terutama dalam masalah perlindungan hukumnya. DAFTAR PUSTAKA Al Qur’an dan terjemahannya Buku: Absori, S.H.,M.Hum, Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada Era Otonomi Daerah, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Abdul Rachman, 1980, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2016, Hukum Perlindungan Anak, PTIK, Jakarta. Abu Huraeroh, 2006, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bnadung. Achie Sudiarti Luhulima, 2000, Pemahaman Bnetuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempaun dan Alternatif Pemecahannya, PT. Alumni, Jakarta. Adnan Buyung Nasution, 1998, Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Agung Dewantara dan Nanda, 1987, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Jakarta : Aksara Persona Indonesia. Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. ___________, 1986, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung. Arief Gosita, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta ___________, 1989, Hukum Perlindungan Anak, Akademika Pressindo, Jakarta. Aroma Elmina Martha, 2003, Perempuan, Kekerasan dan Hukum, UII Press, Jogjakarta. Asnifriyanti, 2000, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita : Metode Penyelesaian Kasus Berperspektif Wanita, ALUMNI, Bandung. ║ 17 Jurnal Reformasi Hukum Vol. 1. No.1 September 2017 : 1 - 18 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. CV. Ananta, Semarang, ___________________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. ___________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. ___________________, 2008, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group, Semarang. Bambang Prakuso, 1989, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta. Bertnard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT Raja Grafindo, Jakarta. Esmi Warassih, 2014, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Pustaka Magister, Semarang. I.S Susanto, 1995, Kriminologi. Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Irma Setyowati Sumitro, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bumi Aksara, Jakarta. J.E. Sahetaphy, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. _____________, 1995, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung. Kartini Kartono, 2001, Patologi Sosial, Raja Grafindo, Jakarta. Kunarto dan Penyadur, 1996, PBB dan pencegahan Kejahatan Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakan Hukum,Cipta Manunggal, Jakarta. 18 ║