Praktek-praktek sistem peradilan pidana anak

advertisement
Bahan Masukan Draft Laporan Alternatif (Inisiatif)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10):
PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM
DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE
SYSTEM) DI INDONESIA : PERSPEKTIF HAK SIPIL DAN HAK POLITIK1
I. Pendahuluan
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan
seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun
dinas sosial. Maka tidaklah mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke
penjara atau rumah tahanan.2 Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian
terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari
hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan
di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam
lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anakanak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek,
Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002,
tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak
Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu
53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan
dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan
bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi
korban berbagai tindak kekerasan. 3 Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak
yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law).
Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau
diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana.4 Kemudian Majelis Umum PBB
dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice5 atau yang dikenal
dengan Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut a child or young person who is alleged
to have committed or who has been found to have committed an offence. Dalam perspektif
Konvensi Hak Anak/KHA (Convention The Rights of The Child/CRC),6 anak yang berkonflik
dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special
protection/CNSP)7. UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially
difficult circumstances’ (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan
mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas
institusi negara)8, membutuhkan proteksi berupa regulasi khsusus9, dan membutuhkan
1 Disampaikan sebagai bahan masukan bagi upaya penyusunan Laporan Alternatif (Inisiatif) Implementasi Kovenan Hak Sipil
dan Hak Politik yang dikoordinasi oleh HRWG
2 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem
Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hal. I
3 Tim Analisa Situasi dalam Kata Pengantar, ibid, hal. ii-iii
4 Lihat Pasal 40 ayat (1) KHA
5 General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985
6 Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990
7 Lihat KHA Pasal 37, 39 ,dan 40
8 Judth Enew, Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13(1),
Spring 2003, hal. 7 - 8
9 Myles Ritchie, CHILDREN IN ‘ESPECIALLY DIFFICULT CIRCUMSTANCES’: CHILDREN LIVING ON THE
STREET. CAN THEIR SPECIAL NEEDS BE MET THROUGH SPECIFIC LEGAL PROVISIONING?
CONSULTATIVE PAPER PREPARED FOR THE SOUTH AFRICAN LAW COMMISSION, 1999, hal. xii
1
perlindungan dan keamanan diri.10 Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak
tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang
berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup.11
Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatus
penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan
diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau
hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan
melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain.12 Pencabutan kebebasan seseorang
dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak
Politik, karena menyangkut pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara
individual. Terdapat 3 (tiga) hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk
mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga
hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali
tidak bermakna.13
Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan
legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana. Kovenan Internasional Hak Sipil
dan Hak Politik (International Covenant Civil and Politic Rights/ICCPR),14 sebagai instrument
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional utama (core instrument of human rights) yang
memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang
terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya setidaknya dalam pasal-pasal berikut : Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15. Namun dalam pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat
larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut : diskriminasi (Pasal 2 ayat
(1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat
(2), Pasal 6 ayat (1-6). Malahan negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan
berikut : memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka
hukum (Pasal 14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin
proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif
(Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterprestasikan15 dengan merujuk pada
ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih
jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah
menghadapi proses hukum.
Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut di atas, nampak dalam praktik negara melalui
aparatusnya dalam mewujudkan padunya sistem peradilan pidana (integrated criminal justice
system). Keterpaduan sistem peradilan pidana dimaknai sebagai “…the collective institutions
through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the
10 Wanjku Kaime-Atterhög, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on
Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, tanpa tahun, hal. I- 6, 7
11 ibid
12 Haji N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : EsaiEsai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001, hal. 180
13 Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, hal.
128
14 Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005
15 Interpretasi yang digunakan dalam laporan alternative ini adalah interpretasi sistematis dan ekstensif. Interpretasi yang
pertama adalah penafsiran yang mengkaitkan suatu ketentuan konvensi dengan ketentuan konvensi lainnya, sedangkan yang kedua
penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Selain itu interpretasi komparatif dipergunakan untuk melengkapi interpretasi
kedua interpretasi tersebut. Interpretasi komparatif ialah penafsiran dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem hukum
dengan peraturan yang ada pada sistem hukum yang lainnya. Lihat Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan,
Bandung, CV. Utomo, 2006, hal. 213-214
2
assessed punishment concluded…”16 Sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem
yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya
kombinasi yang serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan,
sebagaimana yang dinyatakan Pillai “ …the concept of an Integrated Criminal Justice System
does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on
one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’
somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed
services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own
operational method”.17
Merujuk pada makna di atas maka lembaga-lembaga yang terkait dalam sistem peradilan pidana
terpadu di Indonesia, dalam hal ini dimulai dari lembaga yang bertugas dalam proses
penyelidikan hingga pada lembaga yang bertugas dalam tahap pelaksanaan putusan , yakni
diawali pada institusi kepolisian, institusi kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi
lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh
melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan
penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Artinya sejak penangkapan
sampai menjalani hukuman orang ini akan berhadapan dengan institusi yang mempunyai
kewenangan monopoli secara eksklusif untuk melakukan kekerasan, yakni negara. Selain hal itu,
negara secara sah membuat instrumen represi dan mendayagunakan instrumen tersebut secara
legal dan terlegitimasi.18 Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana.
Padahal negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia,19 oleh
karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula melanggar hak
asasi manusia. Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak ketentuan-ketentuan
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri
dari : hak terdakwa dalam prapemeriksaan pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan
pengadilan yang adil; dan pembatasan-pembatasan hukum.20 Demikian pula halnya jika anakanak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya dilanggar oleh negara lebih besar
ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak
merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada
intervensi pihak lain.21 Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai
kelompok rentan (vulnerable group), 22 konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya
mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil
Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, 2003, www.pemantauperadilan.com
ibid
18 Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta, Elsam, 2003, hal. 7-8
19 Paparan Rafendi Djamin dalam Pelatihan Advokasi Step by Step, YPHA, 2006
20 Haji N.A. Noor Muhammad, op. cit., hal. 183
21 Lihat Mukadimah KHA : Mengingat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan
bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus. Kemudian mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi
mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus,
termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Lebih lanjut Pasal 2 menegaskan :
(1). Negara-negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam Konvensi ini pada setiap anak
yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang
lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak.
(2). Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua
bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum
anak atau anggota keluarga anak.
22 Menurut HumanRights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b,
Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant Workers; e. Indigenous Peoples, f. Children; dan g. Women. Lihat Iskandar
Hoesin, PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA, Makalah
Disajikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003.
16
17
3
dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkahlangkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga,
masyarakat dan Negara (Pasal 24 (1)).
II. Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Persepektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem
peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan,
yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua,
jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan
ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi
penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.23
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:24
a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau
kabur dari rumah;
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang
dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum
Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system
memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan
kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.25 Berangkat dari pemikiran ini, maka
tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi
dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial).
Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah :
a. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan,
merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang
merupakan ancaman terhadap masyarakat.
b. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan
menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa,
dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang
dituduh melakukan kejahatan.
c. Menjaga hukum dan ketertiban.
d. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut.
e. Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.
Berkaitan dengan implementasi fungsi sistem peradilan pidana di atas, dalam menangani anak,
maka pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak menjadi tujuan utama sistem tersebut. Fungsi
tersebut harus dilandasi prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the principle of the best
23 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Robert C. Trajanowics and Marry Morash, dalam
Juvenile Delinquency : Concept and Control, op. cit, hlm. 2
24 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam
Correction in America : An Introduction, ibid
25 Mappi FHUI, loc. cit
4
interests of the child). KHA menandaskan kewajiban tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3
sebagai berikut :
(1) Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif
atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan
pertimbangan utama.
(2) Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anak-anak
seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orang-orang lain yang secara
sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan
administratif yang tepat.
(3) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan
fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak,
harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa
yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan
kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang.
Kemudian, KHA menetapkan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan secara
khusus (special protection measures) kepada setiap anak yang dirampas kebebasannya (children
deprived of liberty) karena berkonflik dengan hukum. Kewajiban tersebut nampak pada pasalpasal berikut :
a. Pasal 37
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa :
1. Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan
kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman
mati atau pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat
dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di
bawah umur delapan belas tahun;
2. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum
atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya
sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
3. Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan
menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan
mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak
yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali
penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus mempunyai hak
untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui surat-menyurat dan
kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa.
4. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan
hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk menyangkal keabsahan
perampasan kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa lain yang
berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan segera mengenai tindakan apa pun
semacam itu.
b. Pasal 39
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan
penyembuahan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial seorang anak yang
menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan,
5
penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun, tidak manusiawi atau
hukuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan integrasi
kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan
kesehatan, harga diri dan martabat si anak.
c. Pasal 40
(1) Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh,
atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam
suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri
anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi
manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang
memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali
anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat.
(2) Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak,
terutama, harus menjamin bahwa:
a) Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar
hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang
oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu
dilakukan;
b) Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum
pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut:
1. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
2. Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan
terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya,
dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam
mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
3. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang
berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu
pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum
atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam
kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya
atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;
4. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk
memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh
keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syaratsyarat keadilan;
5. Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap
upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa
lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan
menurut hukum;
6. Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu
tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan;
7. Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat
persidangan.
(3) Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang,
prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara
khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar
hukum pidana, terutama:
a) Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap
tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
6
b) Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani
anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan
pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan
hukum dihormati sepenuhnya;
(4) Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah,
penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan programprogram pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan
harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang
sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka
maupun pelanggaran itu.
Sebangun dengan ketentuan ini, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, yang menjadi kerangka
hukum (legal framework) dan acuan bagi rumusan hukum perlindungan hak-hak sipil dan politik
bagi kelompok khusus, menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang yang berhadapan
dengan proses hukum pidana. Pada prinsipnya, secara substansif Kovenan mengatur pembatasan
hukum (legal limit) kewenangan aparatus manakala berhadapan dengan warga negara yang
melakukan tindak pidana. Jaminan Kovenan bagi orang yang melanggar hukum pidana, tertera
dalam pasal-pasal berikut :
a. Pasal 9
1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun
dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat
dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan
harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan
terhadapnya.
3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera
dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh
hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam
jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan
umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan
dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap
tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.
4) Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau
penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar
pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya,
dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak
sah, berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.
b. Pasal 10
1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi
dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
2) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan
dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan
statusnya sebagai orang yang belum dipidana;
3) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat
mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
7
4) Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan
rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur
harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan
status hukum mereka.
c. Pasal 14
1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan
peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam
menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang
berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan
peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum.
Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian
sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam
suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut
pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan
merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil
dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau
apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau
perwalian anak-anak.
2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah
sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.
3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak
atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh:
a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat
dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya;
b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan
pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;
c) Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;
d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung
atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak
ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum
demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana
yang cukup untuk membayarnya;
e) Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya
dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya,
dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;
f) Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak
mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di
pengadilan;
g) Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau
dipaksa mengaku bersalah.
4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi
bagi mereka.
5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap
keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan
hukum.
6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan
sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja
8
ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam
penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat
dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika
dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya
atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri.
7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang
pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan
hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.
d. Pasal 15
1) Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana
pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional.
Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada
hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah
dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan
hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut.
2) Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan
penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak
dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan
menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
Dengan demikian, ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan pencabutan
kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis berlaku pada seorang anak yang
melakukan tindak pidana.26 Namun, apabila terdapat ketentuan yang ruang lingkup berlakunya
secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum
yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hakhaknya27 dengan menggunakan legal term ”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10
ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)).
Artinya legal term ini harus dibaca dengan
menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak.28
Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hakhaknya sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi
pelaku kriminal dewasa.29 Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk
memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu
tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua
instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) UU
26 Lihat mukadimah KHA yang menyatakan : Mengingat bahwa kebutuhan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada
anak, telah dinyatakan dalam Deklarasi Jenewa mengenai Hak-hak Anak tahun 1924 dan dalam Deklarasi Hak-hak Anak yang disetujui
oleh Majelis Umum pada tanggal 20 November 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (terutama dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (terutama pasal 10) dan dalam statuta-statuta dan instrumen-instrumen yang relevan dari badanbadan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang memperhatikan kesejahteraan anak,
27 Lihat paragraph 11 butir b Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya menegaskan
bahwa menghilangkan kebebasan berarti bentuk penahanan atau hukuman penjara ataupun penempatan seseorang pada suatu tempat
penahanan, di mana orang tersebut tidak diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah sesuatu pihak kehakiman, administratif atau pihak
umum lainnya.
28 Lihat Pasal 1 KHA yang menyatakan bahwa untuk tujuan-tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di bawah
umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
29 OFFICE OF THE HIGH COMMISSIONER FOR HUMAN RIGHTS IN COOPERATION WITH THE
INTERNATIONAL BAR ASSOCIATION, HUMAN RIGHTS IN THE ADMINISTRATION OF JUSTICE: A Manual on Human
Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers UNITED NATIONS New York and Geneva, 2003, hal. 441
9
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia),30 maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis.
Meskipun hukum pidana menjadi legitimasi untuk mengurangi dan membatasi
penikmatan hak asasi seseorang, namun terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang tidak boleh
dikurangi dalam kondisi apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan hak-hak non derogable, yaitu
hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun
dalam keadaan darurat sekalipun. Terkait dengan seseorang yang berkonflik dengan hukum, h:
(i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari penyiksaan; (iii) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku
surut; dan (iv) hak sebagai subyek hukum, termasuk hak non derogable (Pasal 4 ayat (2) Kovenan
Hak Sipil dan Hak Politik) mutlak mendapatkan perlindungan dari negara.
Hak atas hidup diatur lebih lanjut dalam Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang
menegaskan :
(1) Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib
dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.
(2) Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan
hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
(3) Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami,
bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara
yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang
telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman
bagi Kejahatan Genosida.
(4) Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan
atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati
dapat diberikan dalam semua kasus.
(5) Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan
terhadap perempuan yang tengah mengandung.
(6) Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah
penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
KHA pada Pasal 6 ayat (1) kembali menegaskan bahwa negara-negara pihak mengakui bahwa
tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan.
Hak bebas dari penyiksaan diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, Pasal 7 yang
menyatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Larangan melakukan
penyiksaan terhadap anak diatur dalam Pasal 37 KHA :
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa:
30 Hal yang patut dicatat meskipun kedua instrumen Hukum Hak Asasi Manusia ini bersumber pada konvensi/perjanjian
internasional, namun manakala Pemerintah Indonesia meratifikasi kedua instrument tersebut menggunakan instrumen hukum dengan
derajat yang berbeda. KHA melalui Keputusan Presiden, sedangkan Kovenan Hak Sipil dan Politik melalui Undang-Undang. Perbedaan
ini akan berimplikasi secara hukum pada saat mengimplementasikan KHA dalam tataran operasionalisasi. Dalam legislative drafting, KHA
tentu saja tidak dapat dijadikan sebagai konsideran hukum, sebagai contoh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak
mencantumkan KHA sebagai landasan hukum pembuatan undang-undang ini. Kedua dalam tataran praktek, hakim jarang menggunakan
KHA karena derajatnya hukumnya lebih rendah ketimbang UU Perlindungan Anak. Asas hukum lex superior derogat lege inferiori dapat
menjadi amunisi hakim untuk mengesampingkan KHA.
10
a) Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam
yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau
pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan
untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur
delapan belas tahun;
Karena kedua konvensi ini tidak mendefinisikan unsur-unsur penyiksaan, larangan melakukan
penyiksaan dielaborasi dalam Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Manusia).31
Penyiksaan dimaknai dalam Pasal 1 sebagai :
“setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah
pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya
atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk
suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang
semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang
berlaku.”
Selanjutnya, negara-negara peratifikasi konvensi ini diwajibkan mengambil langkah-langkah
legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak
penyiksaan di dalam wilayah hukumnya guna mencegah terjadinya penyiksaan (Pasal 2 ayat (1)).
Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) menetapkan bahwa setiap Negara Pihak harus mengatur agar tindak
penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama
berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja
yang membantu atau turut serta dalam penyiksaan. Lebih jauh Pasal 11 mewajibkan harus
senantiasa mengawasi secara Sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi,
metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan
terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan
hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan. KHA mengatur
kewajiban serupa dalam Pasal 19 yang menegaskan :
(1) Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial
dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik
atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa,
perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam
pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki
tanggung jawab mengasuh anak.
(2) Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup
prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk
memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab
perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk identifikasi,
melaporkan, penyerahan, pemeriksaan, perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian
perlakuan buruk terhadap anak yagn digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana
layaknya, untuk keterlibatan pengadilan.
31
Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
11
Pasal ini secara khusus mengatur perlindungan hukum bagi anak-anak yang berada dalam
institusi negara yang disebabkan melakukan pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian,
aparat penegak hukum dalam menegakkan sistem peradilan pidana terikat kewajiban untuk tidak
melakukan segala bentuk penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau
hukuman yang menghinakan.
Kebenaran material yang menjadi titik tuju hukum pidana, tidak akan terwujud apabila
hak atas kesamaan di muka hukum tidak ditegakkan. Kesamaan di muka hukum ditandai dengan
pengakuan sebagai subyek hukum menjadi factor yang significan dalam menjalani proses
peradilan secara fair, imparsial, dan dibangun atas prinsip due process of law dan presumption
of innocent. Anak yang berkonflik dengan hukum juga sudah semestinya mendapatkan serupa
sehingga akses perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya tidak dilanggar.
Rumusan pengakuan setiap orang sebagai subyek hukum berada pada Pasal 16 Kovenan
Hak Sipil dan Hak Politik yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada. Pengakuan anak sebagai subyek menjadi akses
untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana eloborasi Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40
KHA .
Untuk melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan
memenuhi hak asasi anak yang berkonflik dengan hukum, kedua core instrument Hukum Hak
Asasi Internasional tersebut, dielobarasi lebih jauh melalui interpretasi dengan mendasarkan
pada instrumen Hukum Internasional berupa petunjuk atau peraturan Perserikatan BangsaBangsa antara lain sebagai berikut :
a. Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai
Administrasi Peradilan bagi Anak (United Nations Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)) Adopted by General Assembly
resolution 40/33 of 29 November 1985 :
Bagian satu : Prinsip-prinsip Umum
Butir 5. Tujuan–tujuan peradilan bagi anak
5.1. Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan
memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia
anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar
hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.
Butir 6. Ruang lingkup kebebasan membuat keputusan
6.1. Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak maupun
keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi
kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses
peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak,
termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturanpengaturan lanjutannya.
Butir 7. Hak-hak anak
7.1. Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti praduga tak bersalah,
hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak akan
pengacara, hak akan kehadiran orang tua wali, hak untuk menghadapi dan
memeriksa silang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang
lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap proses peradilan.
b. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja
(United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh
Guidelines)) Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 45/112 of 14
December 1990
Bagian : Perundang-undangan dan Administrasi Peradilan Anak
12
1) Butir 52.
Pemerintah-pemerintah agar menyususn dan menegakan prosedur dan undangundang khusus dalam rangka memajukan dan melindungi hak-hak dan kesejahteraan
remaja.
2) Butir 54.
Tidak seorang anak atau remajapun yang menjadi obyek langkah-langkah
penghukuman yang keras dan merendahkan marabat di rumah, sekolah atau institusiinstitusi lain
3) Butir 58.
Penegakan hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis kelamin, agar dilatih
untuk tanggap terhadap kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa dengan dan
menerapkan, semaksimal mungkin, program-program dan kemungkinankemungkinan penunjukan pengalihan anak dari sistem peradilan.
c. Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United
Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty) Adopted by
General Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990
1) Sistem pengadilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta
memajukan kesejahteraan fisik dan mental para anak. Hukuman penjara harus
digunakan sebagai upaya akhir.
2) Para anak hanya dapat dihilangkan kebebasannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dituangkan dalam peraturan-peraturan ini dan PeraturanPeraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Administrasi
Peradilan bagi Anak (Peraturan-peraturan Beijing). Menghilangkan kebebasan
seorang anak haruslah merupakan suatu keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan
untuk masa yang minimum serta dibatasi pada kasus-kasus luar biasa. Jangka waktu
sanksi harus ditentukan oleh pihak kehakiman yang berwenang, tanpa
mengesampingkan kemungkinan pembebasannya yang lebih awal.
3) Peraturan ini dimaksudkan untuk menetapkan standar-standar minimum yang dapat
diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi perlindungan anak-anak yang
kehilangan kebebasannya dalam segala bentuk, yang konsisten dengan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, dan dengan maksud meniadakan pengaruh-pengaruh
merugikan dari semua jenis penahanan dan untuk membina pengintegrasian dalam
masyarakat
4) Peraturan-peraturan ini harus diterapkan secara tidak berat sebelah, tanpa
diskriminasi apa pun berkaitan dengan ras, warna kulit, kelamin, usia, bahasa, agama,
kebangsaan, pendapat politik atau lainnya, kepercayaan-kepercayaan atau praktekpraktek budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga, asal etnis atau sosial dan
cacat jasmani. Kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek agama dan budaya, serta
konsep moral anak yang bersangkutan harus dihormati.
5) Menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi keadaan-keadaan
yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak yang
ditahan pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat
dari kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk
memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina
rasa tanggung jawab mereka dan mendorong sikap-sikap dan ketrampilanketrampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka
sebagai anggota-anggota masyarakat.
III. Praktik Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak Terpadu dalam Konteks
keindonesiaan
13
A. Telaah Komparatif Substansi Hukum Nasional vs Substansi Hukum Hak Asasi
Internasional
Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak sebagaimana telah dipaparkan diatas
ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik
bagi anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak
dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).
Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik
untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan
khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain
sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam
mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini
dapat dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General Comments
Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan 19) sebagai upaya Komisi
melakukan interpretasi hukum atas prinsip kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya
anak dari lingkungan orang tua (parental separation or divorce).32
Dalam kerangka ini, pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi
penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya pendekatan ini didasari 2
(dua) faktor sebagai berikut :33
1) Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga
sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian
hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
2) Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan
disadarkan.
Dalam perspektif yang lain, dalam konteks kehidupan anak dalam struktur lapisan
masyarakat dan tata kultur yang masih mendasarkan pada pola relasi antara anak dengan orang
dewasa (patron-klien relationship), maka anak yang melakukan tindak pidana seharusnya
dipandang sebagai korban (child perspective as victim). Anak melakukan tindak pidana tidak
terlepas dari faktor yang melatarbelakanginya. Bisa jadi faktor pola relasi yang tidak setara antara
anak dengan orang dewasa melatarbelakangi anak melakukan tindak pidana. Dalam titik ini
kuasa orang dewasa terhadap anak dimanfaatkan untuk mempengaruhi, menyuruh atau
melibatkan anak dalam suatu tindak pidana. Disamping itu faktor ketidakadilan struktural yang
mengakibatkan kemiskinan yang massive dan derasnya arus informasi tanpa regulasi menjadi
pemicu anak melakukan tindak pidana.
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5 (lima) macam
pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku pelanggaran hukum usia anak,
yaitu :34
1)
2)
3)
4)
5)
32
Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan pidana semata
Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributif
Rachel Hodgkin and Peter Newell, Implementation Handbook for The Convention on The Rigts of The Child, UNICEF, New York,
1998, hal. 39
33 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, Children and Young People in Conflict
with the Law, op. cit., hlm. 72
34 ibid
14
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka
yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Hal ini
didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat
secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.35 Dengan demikian, pendekatan yang dapat
digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan praktek-praktek
negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan
yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan
kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40).
Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat
restoratif atau disebut restorative justice saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani
pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara
pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Restorative justice berlandaskan pada
prinsip-prinsip due process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak
untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan
demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan
kejahatan yang dilakukannya. Selain itu, melalui model ini, kepentingan korban sangat
diperhatikan yang diterjemahkan melalui mekanisme kompensasi atau ganti rugi dengan tetap
memperhatikan hak asasi anak yang disangka telah melakukan pelanggaran hukum pidana.36
Pemulihan yang efektif menjadi hak korban pelanggaran hak asasi atau kebebasannya, walaupun
pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi.
Kemudian negara menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut
harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang
berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara
tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan (Pasal 2
ayat (3) huruf a dan b Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik).
Selain pendekatan restorative justice, pendekatan diversi dapat diterapkan
bagi
penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi adalah pengalihan
penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal
dengan atau tanpa syarat. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :37
1)
2)
3)
4)
5)
untuk menghindari anak dari penahanan;
untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal;
6) menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
7) menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
1) mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
2) memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan
dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
3) memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
35 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir John Muncie, dalam Youth and Crime : A Critical
Introduction, ibid, hal. 73
36 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, ibid, hal 74
37 Ruben Achmad, UPAYA PENYELESAIAN MASALAH ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI
KOTA PALEMBANG, Simbur Cahaya No. 27 Tahun X Januari 2005, hal. 5-6
15
4) memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan
keluarga;
5) memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang
dirugikan oleh tindak pidana.
Untuk dapat melihat sampai sejauhmana landasan hukum nasional dalam menegakkan
Sistem Peradilan Pidana Anak secara substansif berkesesuaian dengan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional, maka analisis substansi dengan metode komparasi menjadi signifikan
dilakukan. Tujuannya adalah selain untuk mengeksaminasi kepatuhan Negara Republik
Indonesia sebagai negara pihak perjanjian internasional sesuai dengan prinsip pacta sunt
servanda. Kedua, mengetahui kesenjangan substansi diantara kedua sistem hukum ini.
Dalam konteks, pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak, semua proses dan
pentahapan pengadilan anak dan keterlibatan institusi negara dalam proses tersebut perlu
ditelisik lebih jauh. Telisikan ini mengaju pada instrumen hukum yang menjadi dasar hukum
pelaksanaan poses, pentahapan, dan keterlibatan institusi negara dalam melaksanakan
pengadilan anak. Dengan kata lain bagaimana administration of justice yang dalam hal ini
dimaknai segala hal yang mencakup tertib hukum pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi
dalam proses penanganan perkara dan tata cara serta praktek litigasi.38 Dengan demikian
instrumen hukum yang relevan dengan pengadilan anak sebagai berikut :
1) KUHP dan instrumen hukum lain yang mengatur ketentuan pidana
Instrumen hukum pidana mengatur pidana dengan ancaman hukum mati perlu
mendapatkan perhatian. Hukuman mati merupakan ancaman terhadap hak atas hidup
yang non-derogable. Jaminan hak atas hidup perlu mendapatkan perhatian tersendiri
karena kecenderungannya banyak instrumen hukum di Indonesia memberlakukan pidana
mati. Sesuai dengan hukum di Indonesia pidana mati dijatuhkan atas kasus pembunuhan
berencana dan sengaja; usaha membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau yang
membuat mereka tak berdaya untuk memerintah; pengkhianatan; pembunuhan
berencana terhadap kepala negara dari negara sahabat; pembajakan yang menyebabkan
kematian; pencurian yang mengakibatkan kematian; menghasilkan, memproses,
menyaring, mengubah atau menyediakan narkotika; kejahatan terhadap kemanusiaan;
dan “terorisme”.39 Keseluruhan peraturan perundang-undangan ini tidak secara eksplisit
mengatur jika anak “terpaksa” atau “dipaksa” terlibat dalam tindak pidana yang
dikualifikasi dalam tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana mati. Legal term
yang digunakan seringkali menggunakan kalimat barang siapa, legal term ini menunjuk
semua orang pada umumnya termasuk di dalamnya anak-anak. Padahal jika merujuk
pada instrumen Hukum Hak Asasi Internasional, legal term yang digunakan
menyebutkan “anak” atau “seseorang/tersangka/terpidana di bawah umur”. Situasi ini
tentu berpotensi menjadi ancaman serius jaminan hak anak atas hidup.
Pengadilan anak-anak Mencatut Demi Hukuman Mati?
Mappi FHUI, op. cit, hal. 12
Padapidana
tahun
1995,
seorang
bocahKUHP
di Lumajang
pasal
dengan
ancaman nyawa
Khususnya,
mati
diberikan
dalam ketetapan
berikut: Pasaldijerat
104 (Usaha
dengan
sengaja menghilangkan
hukuman
mati.
Kini
urusan
hidup-mati
Ma'ruf
bukan
nama
sebenarnya
- (kolusi
Presiden atau Wakil Presiden atau menghilangkan kebebasan mereka atau membuat mereka tidak cocok untuk memerintah); 111
yangyang
masih
berusia
14 tahun,
sepenuhnya
berada
ditangan
hakim.
dengan kekuatan asing
mengakibatkan
perang);
123 (masuk
pelayanan militer
di sebuah
negara yangmajelis
perang dengan
Indonesia); 124
(membantu musuh);
Sebab,
127 (penipuan
Jaksadalam
Imam
menyampaikan
Sudarmadji
bahan-bahan
menuduh
militer pada
Ma'ruf
saat perang);
telah140
melakukan
(pembunuhan berencana terhadap
kepala negara daripembunuhan
negara sahabat); 340berencana
(pembunuhan dengan
sengajaBuyar,
dan terencana);
365 sekampungnya.
(pencurian yang mengakibatkan
kematian);
terhadap
teman
Artinya,
anakdan
444 (pembajakan ke
yangempat
mengakibatkan
kematian
seseorang). Undang-undang
berikut jugahukuman
berisi ketetapan
yang atau
memperbolehkan
pasangan
Sariman-Sarmi
ini diancam
mati
pidana pidana
mati sebagai hukuman
maksimum:
Undang-undang
Darurat perbuatan
No. 12/1951; KUHPM
(Kitab Undang-undang
Pidana
Militer);
penjara
seumur
hidup. Untuk
itu, ancaman
hukumanHukum
paling
ringan
Undang-undang No. 5/1997 tentang Obat Psikotropik; Undang-undang No. 22/1997 tentang Narkotika; Undang-undang No. 26/2000
adalah penjara 20 tahun.
tentang Pengadilan HAM; dan Undang-undang No. 15/2003 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorisme. Lihat Amnesty
International, Indonesia Urusan Tentang Pidana Mati, 2004, hal. 3-4
38
39
Menurut dakwaan jaksa, perbuatan itu terjadi pada tanggal 9 April silam, di persawahan
16
desa Mlawang, Kecamatan Klakah, Lumajang.
Pembunuhan itu terjadi akibat perkelahian di
antara mereka dengan menggunakan clurit. Hujaman clurit tersangka menjadi penyebab
kematian korban.
Sumber : www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1995/08/14/0007.html
Meskipun telah ada larangan untuk mengenakan hukuman mati bagi anak sebagaimana
telah tercantum dalam KUHP, kasus tersebut dapat dijadikan bukti nyata potensi yang
mengancam hak anak atas kehidupan.
Potensi ancaman tersebut sampai saat ini tetap ada jika melihat fenomena invlasi
instrumen hukum yang memuat hukuman mati, maka dapat dikatakan instrumeninstrumen tersebut menjadi ancaman bagi anak-anak yang melakukan tindak pidana yang
dikualifikasikan dengan ancaman hukuman mati, misalnya anak yang terlibat peredaran
narkotika.40 Sumber ancaman ini, berasal dari asas lex specialis derogat legi generalis
dan paradigma positivistik yang masih mendominasi para penegak hukum. Dalam
menetapkan hukuman, KUHP menjadi lex generalis41 ketentuan pidana yang bisa
dikesampingkan oleh ketentuan pidana instrumen hukum lex specialis.
Anak-anak Jakarta Terlibat Peredaran Narkoba
Dede Shinta Sudono, National Programme Officer pada Program Internasional Eliminasi
Pekerja Anak (IPEC) ILO Jakarta, melakukan kajian (rapid assesment). Kajian cepat ini
berdasarkan survei terhadap 92 anak di Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat.
”Ada 48 anak atau 50 persen dari mereka terlibat pembuatan obat terlarang.
Anak-anak itu mengepak, membungkus, memasukkan obat ke amplop kecil,
untuk selanjutnya dijual, atau mengepak dalam jumlah obat yang lebih besar
untuk selanjutnya dikirimkan,” kata Dede, Kamis (23/6).
40
Yang juga memprihatinkan, dari 90 anak yang menyatakan telah menjual obat
terlarang, sebagian mengakui bahwa mereka mulai menjual obat saat
menginjak usia 13 tahun atau kurang dan masih belajar di sekolah dasar.
Fenomena ini sejalan dengan usia kritis keterlibatan anak dalam perdagangan
narkoba, yakni 12-13 tahun untuk peredaran ganja dan 13-15 tahun untuk
peredaran heroin.
UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 82 ayat (1) menggunakan legal term barang siapa. Pasal tersebut
menyatakan bahwa Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjual,
membeli,bila
menyerahkan,
menerima,
menjadi
perantara
beli, alat menukar
narkotika Golongan I,
”Sedangkan
kita melihat
jenis obat
yang
dijual,dalam
ganjajual
merupakan
jenis termudah
dipidana dengandiperoleh
pidana mati
atau pidana Diikuti
penjara seumur
hidup, atau pidana
penjaraekstasi,”
seumur hidup,
pidana penjara paling lama
anak-anak.
pil psikotropika,
terutama
ujaratau
Dede.
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00 (satu miyar rupiah);
41 Lihat Pasal 47 ayat (2) yang menyatakan jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau
Soalhidup,
awalmaka
keterlibatan
anakanak
kegiatan
terlarang,
ia terdapat
menyebut
pidana penjara seumur
dijatuhkan pidana
penjara
palingdalam
lama lima
belas tahun.obat
Ketentuan
serupa juga
pada RUU
beberapa
aspek.
Di
antaranya
adalah
kemiskinan
absolut,
tekanan
teman
KUHP Pasal 126 ayat (3) yang menegaskan jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan
sebaya
dan
peran
keluarga,
bandar,
serta
masalah
yang
hadapi
pidana mati atau pidana
penjara
seumur
hidup,
maka pidanaperan
yang dijatuhkan
adalah
pidana
penjara paling
lamamereka
10 (sepuluh)
tahun.
di sekolah, termasuk putus sekolah.
17
Sumber : www.kompas.com/kompas-cetak/0506/24/metro/1836738.htm
Padahal standar internasional HAM menetapkan bahwa pidana mati seharusnya
hanya diberikan bagi kejahatan yang paling serius, dan menuju pada penghapusannya
sama sekali. Pasal 6 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menyatakan bahwa “di
negara-negara yang tidak menghapuskan pidana mati, pidana mati hanya diberlakukan
bagi kejahatan yang paling serius”. Komite HAM PBB (Human Rights Committee) dalam
Komentar Umum No. 6 menegaskan bahwa “ekspresi tentang kejahatan yang paling serius
harus diartikan secara terbatas, bahwa pidana mati hanya dilaksanakan sebagai tindakan
luar biasa”. 42
Ironisnya , UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, justru tidak
secara expressive vebris menyatakan jaminan dan perlindungan anak dari hukuman mati.
Ketentuan yang mengatur anak yang bekonflik dengan hukum antara lain Pasal 16, Pasal
17, Pasal 18 dan Pasal 64 tidak satupun mengatur jaminan dan perlindungan tersebut.43
Bandingkan dengan Pasal 37 huruf (a) KHA yang secara tegas menyatakan bahwa tidak
seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain,
tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan
seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat dikenakan untuk
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di bawah umur delapan belas
tahun.
2) KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau
menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan
cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Hukum Acara Pidana di Indonesia
saat ini telah diatur dalam satu undang-undang yang dikenal dengan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Dengan demikian, setiap proses tahapan proses beracara di peradilan pidana yakni : tahap
penyelidikan; tahap penyidikan; tahap penuntutan; tahap pemeriksaan pengadilan; dan
tahap pelaksanaan putusan berdasarkan pada ketentuan KUHAP.
Proses dan landasan hukum tersebut berlaku pula pada proses beracara di
peradilan pidana anak. Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku diterapkan pula dalam acara pengadilan
anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang- undang ini. Ketentuan peralihan ini menjadi
Amnesty Internationa, op. cit. hal. 11
Padahal Pasal 2 menyatakan bahwa Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, di mana salah satu
prinsipnya adalah hak untuk hidup dan kelangsungan hidup anak.
42
43
18
legalitas, intervensi negara melalui aparatnya untuk menangani anak yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Kekerasan negara44 terhadap anak dimulai manakala anak
bersinggungan dengan proses peradilan pidana anak yang pertama kali , yakni proses
penangkapan. Pasal 43 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa penangkapan anak nakal
dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun,
apabila membaca Bab V mengenai Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan,
Pemasukan Rumah, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat, khususnya Bagian Kesatu
Penangkapan dari Pasal 16 – 19, tidak satupun ketentuan tersebut mengatur mengenai
penangkapan anak yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini jelas bertentangan
dengan kewajiban negara untuk berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang,
prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada
anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana
sebagaimana dicantumkan Pasal 40 ayat (3) KHA. Ketentuan ini sejalan dengan ketentuan
Pasal 14 ayat (4) yang menetapkan bahwa dalam kasus orang di bawah umur, prosedur
yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka. Jika kondisi dibiarkan tanpa merubah KUHAP, maka negara
telah melakukan praktek pembenaran45 terhadap kekerasan negara terhadap anak pelaku
tindak pidana, yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang berbeda.
3) UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Batas penetapan usia pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini adalah 8 tahun. Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin.46 Anak Nakal definisikan sebagai :47
a) anak yang melakukan tindak pidana; atau
b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Penetapan usia 8 tahun sebagai titik asumsi batas minimal pertanggungjawaban
pidana menurut UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berdasarkan
Pandangan Komite Hak Anak (Commitee on The Rigths of The Child48) terlalu rendah.
Dalam pada itu Komite merekomendasikan agar Negara Pihak agar Negara Indonesia
menaikkan batasan usia minimal tanggungjawab kriminal sampai pada tingkat yang dapat
diterima secara internasional. Beijing Rules menentukan hal yang serupa, paragraf 4.1
menyatakan bahwa
konsep usia pertanggungjawaban tindak pidana tidak dapat
ditetapkan terlalu rendah, mengingat pertimbangan kedewasaan emosional, mental, dan
intelektual. Untuk dapat menentukan batas usia pertanggungjawaban tindak pidana yang
diterima secara internasional dengan merujuk pada praktek-praktek yang dijalankan oleh
44 Yang dimaksud kekerasan negara adalah ketika penggunaan kekerasan melalui instrument represi itu dilakukan di luar
kewenangan negara, dan yan menjadi batas kewenangannya adalah kebebasan individu berikut hak-hak turunannya yang sebagain besar
terangkum dalam instrument Hak Asasi Manusia Internasional. Lihat Samuel Gultom, op. cit. hal. 8
45 Praktek pembenaran mengacu pada proses persidangan pengadilan pidana anak yang masih menjadikan instrument hukum
pidana yang bertentangan dengan norma hukum hak asasi manusia internasional sebagai landasan hukum dalam proses tersebut.
Mengadopsi pemikiran Samuel Gultom, ibid
46 Lihat Pasal 1 angka 1
47 Lihat Pasal 1 angka 2
48 Pandangan Komite atas Laporan Negara Indonesia berdasarkan Ketentuan Pasal 44 KHA pada siding Komite yang ke-35.
Lihat paragraph 77 dan rekomendasinya pada paragraph 78
19
negara-negara lain. Tabel berikut dapat menunjukkan hukum kebiasaan internasional
yang dapat dijadikan parameter untuk menentukan usia pertanggungjawaban pidana.
Nama Negara
Usia Minimal Tanggung
Jawab Kriminal
14
18
15
10
15
13
14
12
7
14
18
12
8
16
8
16
15
Austria
Belgia
Denmark
Inggris
Finlandia
Perancis
Jerman
Yunani
Irlandia
Itali
Luxemburg
Belanda
Irlandia Utara
Portugal
Skotlandia
Spanyol
Swedia
Melihat kecenderungan praktek-praktek negara berdasarkan tabel di atas dapat
disimpulkan bahwa rata-rata negara tersebut menetapkan usia pertanggungjawaban
pidana minimal di atas 12 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan usia 12 tahun sebagai
batas minimal usia pertanggungjawab tindak pidana telah menjadi hukum kebiasaan
internasional (international customary law).
Legitimasi hukum kebiasaan internasional berasal dari praktek -praktek umum
yang telah diterima sebagai hukum yang hampir semuanya berisi elemen-elemen yang
bersifat konstitutif. Praktek-praktek negara tersebut bersifat tetap dan seragam dan
membentuk suatu kebiasaan. Praktek-praktek tersebut telah meningkat pelaksanaannya
secara universal karena banyak negara lagi yang telah menggunakannya sebagai
kebiasaan. Dengan kata lain, agar bisa menjadi suatu hukum kebiasaan internasional
maka kebiasaan-kebiasaan itu harus diterima dulu oleh negara-negara yang sudah
menyesuaikan diri terhadap kebiasaan-kebiasaan tersebut, yang sekarang telah menjadi
kekuatan hukum yang mengikat.49 Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas
usia pertanggungjawaban pidana telah diterima dalam praktek sebagian negara-negara,
maka dapat menjadi sumber hukum internasional.
Dengan memperhatikan Pandangan Komite dan hukum kebiasaan internasional di
atas dapat dikatakan bahwa UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
bertentangan dengan hukum internasional, khususnya dalam penetapan usia
pertanggungjawaban tindak pidana. Konsekuensi yuridis dan politisnya, undang-undang
tersebut perlu segera diamandemen. Pasal 40 ayat (3) huruf (a) KHA menandaskan
negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang,
prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada
anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana,
terutama:Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap
tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; Jika tidak dilakukan
amandemen, maka rentang usia pertanggungjawaban pidana anak yang demikian luas
49 Sumaryo Suryokusumo, Aspek Moral dan Etika dalam Penegakan Hukum Internasional, Seminar Mengenai Pembangunan
Hukum Nasional VIII, Diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Denpasar, 14 -18 Juli 2003
20
(usia 8 – 18 tahun) mempunyai implikasi hukum, yakni anak dengan rentang usia tersebut
berpotensi dikenai hukuman pidana. Kondisi ini jelas berkorelasi dengan meningkatkan
angka kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Pasal 37 ayat (2) KHA menetapkan
kewajiban negara untuk menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya
secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau
pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan
hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Hal
ini selaras dengan Pasal 14 ayat (4) Kovenan bahwa dalam kasus orang di bawah umur,
prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk
meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.
Selain hal di atas, penggunaan legal term anak nakal dalam UU Nomor 3 Tahun
1997, merupakan bentuk pengingkaran terhadap Riyadh Guidelines. Penggunaan legal
term anak nakal merupakan bentuk stigmatisasi (pelabelan) yang berdampak
perkembangan anak.
Butir 5 huruf f menegaskan bahwa memberi label
pembangkang/nakal kepada anak seringkali malah berkontribusi terjadinya
perkembangan pola perilaku anak yang tidak dikehendaki oleh anak itu sendiri. Hal
serupa diungkapkan pula oleh Romli Atmasasmita, dalam bukunya Teori dan Kapita
Selekta Kriminologi, menyebutkan menurut teori labeling, label atau cap dapat
memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk karier
kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label dengan sendirinya akan
menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya.50
Dalam persoalan ini, UU Nomor 3 Tahun 1997 itu gagal memberikan batasan yang
konsisten mana tindak pidana (straafbaar) dengan mana yang merupakan kenakalan
anak-anak (juvenile). Dalam UU nomor 3 Tahun 1997 pasal 2 huruf 1 a dan 1 b, diberikan
batasan yang secara general karena anak nakal itu adalah anak yang melakukan tindak
pidana. Itu artinya anak yang melakukan delik sesuai dengan ketentuan legal formal
berdasarkan azas legalitas. Dan yang kedua anak nakal adalah anak yang melakukan
pelanggaran atau melakukan perbuatan termasuk perbuatan yang dilarang menurut
ketentuan adat, kebiasaan dan sebagainya.51 Definisi kedua dapat berpotensi melanggar
prinsip legalitas yang menjadi basis utama pengadilan pidana. Ketentuan adat dan
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat bisa jadi malah merugikan anak, mengingat
kultur masyarakat yang menempatkan anak di bawah kendali orang tua. Limitasi
kenakalan anak yang tidak terbatas ini juga berpotensi digunakan oleh pihak kepolisian
untuk membawa anak yang dianggap melanggar kebiasaan ke meja hijau. Dengan
demikian pasal ini berpotensi digunakan oleh masyarakat dan kepolisian untuk
”mengadili” anak yang dianggap bersalah karena melanggar adat-istiadat setempat.
Secara normatif ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dalam Pasal 15 ayat
(1) melarang situasi tersebut. Pasal tersebut berbunyi : Tidak seorang pun dapat
dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan
tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan
hukum nasional maupun internasional. Larangan serupa dijumpai dalam Pasal 40 ayat 2
huruf (a) KHA yang menyatakan : Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh,
atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang
tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan
itu dilakukan
Penggunaan legal term “anak nakal” tersebut tidak berkesesuian dengan ketentuan
Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang berbunyi setiap orang yang dirampas
kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat
50
51
Melani, Setop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak, www.pikiran rakyat.com/cetak/0603/16/teropong
Mappi FH UI, Pengadilan Anak, www.pemantauperadilan.com
21
yang melekat pada diri manusia. Pelabelan ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal
14 ayat (2) Kovenan yang menyatakan bahwa setiap orang yang dituduh melakukan
kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut
hukum.
Hal krucial lain yang perlu medapatkan perhatian adalah tidak
diberikannya limitasi waktu bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara anak.
Pengadilan anak kerena merupakan bagian dari peradilan umum, maka proses dan
mekanisme hukumnya sama dengan peradilan umum lain. Dari segi waktu penyelesaian
dan mekanisme hukum juga sama dengan peradilan umum.
Seharusnya untuk perkara anak, hakim diberikan waktu secepatnya untuk
memeriksa dan memutus perkara anak, maksimal 90 hari kerja seperti Pengadilan
Kepailitan dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dalam upaya hukum tidak
perlu melalui mekanisem banding atau kasasi. Pengadilan Negeri atau pengadilan tingkat
pertama putusannya final and binding. Selain itu juga diarahkan sebagai forum
penyelesaiakan dengan mekanisme restorative justice. Butir 20.1 Beijing rules
menyatakan setiap perkara sejak awal ditangani secara cepat, tanpa penundaan yang
perlu. Penanganan tersebut harus dilandasi dengan tujuan mengutamakan kesejahteraan
anak (Butir 5.1) dalam suasana pengertian yang memungkinkan anak untuk ikut serta di
dalmmnya dan untuk menyatakan dirinya secara bebas (Butir 14.2).
Tujuan
mengutamakan kesejahteraan anak sebenarnya merupakan refleksi dari semangat Pasal
10 Kovenan Hak Sipil dan Politik.
4) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI
Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan
intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahan,
penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan
sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan tugasnya kepolisian diberikan
kewenangan diskresi (discretionary power). Kewenangan diskresi adalah kewenangan
legal di mana kepolisian berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara.
Berdasarkan kewenangan ini pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap
suatu perkara anak52 sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian
pengadilan pidana secara formal.
Namun jika melihat angka statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344
anak yang berusia 0 – 17 tahun (6,45% dari total pelaku kejahatan berdasar usia) disangka
sebagai pelaku tindak pidana sepanjang tahun 2000, maka dapat dikatakan kewenangan
diskresi tidak pernah dipergunakan untuk menangani perkara anak.53 Fakta ini
menunjukkan kepolisian belum menggunakan kewenangan diskresinya dalam menangani
perkara anak.
Jika membaca UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, dalam
konteks penanganan perkara anak, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur
kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang secara
khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang melanggar hukum
pidana. Pasal 16 ayat (1) menetapkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugas dalam
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : a.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian
penyidikan. Selanjutnya Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa untuk kepentingan umum
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ketentuan tersebut dapat
52
53
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, op.cit, hal. 74
supra catatan kaki no. 2
22
menjadi acuan bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun penggunaan
kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa.
Beijing Rules mengatur kewenangan diskresi melalui mekanisme pengalihan. Butir
11.1 menyatakan pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani
pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh
pihak berwenang yang berkompeten. Selanjutnya Butir 11.2 menetapkan polisi, penuntut
umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara anak akan diberi kuasa
untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut kebijaksanaan mereka, tanpa
menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang
ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai
dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturan-peraturan ini. Langkah ini
diperlukan karena menurut Butir 13.1 dinyatakan bahwa penahanan sebelum pengadilan
hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir. Dan menurut Butir 13.2
dinyatakan di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan diganti dengan
langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat, perawatan intensif atau
penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat atau rumah pendidikan.
Ketentuan ini dititahkan oleh KHA Pasal 37 huruf b yang mewajibkan negara
untuk menjamin tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar
hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan
seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai
upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat. Konstruksi hukum
serupa dapat ditemukan pada Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 14 ayat (4) yang
menyatakan dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus
mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi
mereka.
5) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
Jaksa sebagai penuntut umum perkara pidana mempunyai peran penting dalam
menjalankan fungsinya dalam penegakan sistem pengadilan pidana anak. Melalui
tuntutan yang diajukan kepada terdakwa anak dalam sidang pemeriksaan di pengadilan,
hakim memutus suatu perkara. Dalam memutuskan perkara yang diajukan kepadanya,
hakim mengaju pada tuntutan jaksa. Limitasi hukumnya, hakim tidak boleh memutus
perkara lebih dari tuntutan jaksa.
Oleh karenanya, dalam konteks perkara anak, seperti halnya polisi, jaksa juga
mempunyai kewenangan diskresional. Jaksa dapat mengambil tindakan pengabaian atau
tidak meneruskan suatu perkara anak ke tahap selanjutnya atau memberikan putusan
pengalihan dari proses hukum formal lebih lanjut.54 Jika merujuk pada UU Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, khusus bagian tugas dan wewenang jaksa, tidak
ditemukan landasan hukum yang secara khusus untuk menangani anak yang melakukan
pelanggaran hukum pidana. Memang kewenangan diskresi dapat terbaca pada Pasal 35
huruf c yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponeering/disposisi); namun
kewenangan tersebut terbatas pada Kejaksaan Agung, tidak dimiliki oleh jaksa yang
menangani suatu perkara.55
54
55
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk menyitir Stewart Asquith, op.cit, hal. 84
Pasal 30 ayat (1) menyatakan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
23
Situasi ini jelas mempersulit anak untuk mendapatkan haknya untuk mendapatkan
kebebasan, karena seharusnya penahanan oleh kejaksaan merupakan langkah yang
terakhir (Pasal 37 huruf b KHA). Pasahal Beijing Rules Butir 11.1 dan Butir 11.2 dapat
dijadikan alas hukum untuk mengabaikan perkara anak. Butir 11.1 menyatakan
Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani pelanggar-pelanggar
hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal oleh pihak berwenang yang
berkompeten, yang dirujuk pada peraturan 14.1 di bawah ini. Sedangkan Butir 11.2
menetapkan bahwa penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkaraperkara anak akan diberi kuasa untuk memutuskan perkara-perkara demikian, menurut
kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal,
sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masingmasing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam peraturanperaturan ini.
Apabila kewenangan ini tidak dilaksanakan oleh setiap jaksa yang menangani
perkara anak, maka hak anak untuk mendapatkan
hak atas langkah-langkah
perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga,
masyarakat dan Negara tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, bahasa,
agama, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan atau kelahiran (Pasal 24 ayat (1)
Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik). Langkah-langkah perlindungan ini dapat melalui
penggunaan kewenangan diskresi kejaksaan dalam rangka menjunjung martabat yang
melekat pada diri manusia manakala dirampas kebebasannya (Pasal 10 ayat (1) Kovenan).
6) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Sistem hukum continental\civil law yang dianut Indonesia, hakim menjadi aktor
sentral proses perjalanan persidangan. Hakim menjadi penentu akhir melalui penalaran
hukum yang tertuang dalam sebuah putusan hakim (vonis). Melalui penalaran hukum
hakim memberikan interpretasi dan konstruksi hukum suatu instrumen hukum.
Dalam memeriksa perkara anak, hakim seharusnya dengan kewenangannya dapat
mengakhiri proses peradilan setiap saat seperti yang dicantum dalam Butir 17.4 Beijing
Rules. Kewenangan hakim menghentikan perkara anak tidak diatur secara khusus dalam
UU Nomor 4 Tahun 2004. UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak juga tidak
mengatur kewenangan ini. Pasal 24 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang
menentukan bahwa setiap anak berhak untuk mendapat hak atas langkah-langkah
perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur seharusnya dapat dijadikan
sebagai landasan hukum bagi hakim untuk menghentikan perkara anak.
Putusan
demikian sah diberikan karena hakim diberikan kebebasan dalam Pasal 28 ayat (1) untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Kemudian pengalihan proses hukum formal ke jalur penyelesaian non formal
sebagaimana ditetapkan Beijing Rules Butir 11.1 melalui penerapan model restorative
justice dalam menangani perkara anak, dapat dilakukan oleh hakim. Restorative justice
dapat dijadikan rujukan bagi hakim untuk menyelesaikan perkara anak. Pada prinsipnya
restorative justice mengakui 3 (tiga) pemangku kepentingan (stakeholders) dalam
menentukan penyelesaian perkara anak. Ketiga pihak tersebut terdiri atas : (i) korban; (ii)
pelaku; dan komunitas. Restorative justice menjadi wahana mempertemukan korban dan
pelaku dalam rangka mengupayakn pemulihan bagi korban. Pelaku dibebani kewajiban
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
24
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban dan komunitas.56 Selain
itu, pelaku bertanggung jawab untuk mengakui kejahatannya, dan jika memungkinkan
memulihkan penderitaan korban.57 Namun semangat restorative justice tidak nampak
dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman, maupun UU Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hakim tidak diberikan kewenangan secara eksplisit
untuk memutuskan penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative
justice.
Penyelesaian perkara pidana anak yang berorientasi pada kepentingan pelaku
sebagaimana menjadi tujuan pendekatan restorative justice, berkesesuaian dengan
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik yang menjamin setiap
orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan
menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.
Restorative justice merupakan upaya untuk memperlakukan anak yang berkonflik
dengan hukum sesuai dengan martabatnya sesuai dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1)
KHA. Pasal ini menetapkan bahwa negara mengakui hak setiap anak yang dinyatakan
sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan
dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak,
yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan
keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran
konstruktif dalam masyarakat. Hal serupa juga dapat ditemui pada Peraturan-Peraturan
PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya. Butir 1 menetapkan sistem
peradilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan keselamatan serta memajukan
kesejahteraan fisik dan mental para anak. Hukuman penjara harus digunakan sebagai
upaya terakhir. Dengan demikian, pelanggaran hak-hak anak yang berkonflik dengan
hukum salah satunya bersumber pada instrumen hukum yang tidak berpihak pada
kepentingan terbaik bagi anak.
7) UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Proses Peradilan Pidana Anak berakhir pada institusi pemasyarakatan manakala
hakim memvonis terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana dan diperintahkan
menjalani hukuman pidana penjara. Anak yang dihukum penjara akan ditempatkan di
lembaga pemasyarakatan58 oleh jaksa sebagai pelaksana eksekusi. Dengan demikian anak
yang ditempatkan di lembaga peasyarakat berarti dirampas kebebasan pribadinya akibat
menjalani hukuman karena melakukan pelanggaran.
Menghilangkan kebebasan menurut Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang
Kehilangan Kebebasannya, dimaknai bentuk penahanan atau hukuman penjara apa pun
atau penempatan seseorang pada suatu tempat penahanan, di mana orang tersebut tidak
diperkenankan pergi sesukanya, atas perintah suatu pihak kehakiman, administrasi atau
pihak umum lainnya (Butir 11 huruf (b)).
Selanjutnya Butir 12 menentukan
menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan keadaan-keadaan
yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak. Para anak yang ditahan
pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin mendapatkan manfaat dari
kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti, yang akan berfungsi untuk
memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga diri mereka, untuk membina rasa
56 Vermont Agency of Human Services, Promoting Youth Justice Through Restorative Alternatives Planning Division September, 2003
. Konsep restorative justice dalam sistem hukum Indonesia dapat ditemui dalam UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Undang-undang ini mengadopsi penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar pengadilan (out court system)
57 The Fresno County Restorative Justice Framework, Februari, 2003
58 Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan (Lihat Pasal 1 angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
25
tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang akan
membantu mereka dalam mengembangkan potensi mereka sebagai anggota-anggota
masyarakat.
Jika membaca legal term “menjalani pidana”, “diserahkan pada negara untuk
dididik”, dan “atas permintaan orang tua atau walinya dididik dan ditempatkan” di LAPAS
dengan didasari putusan pengadilan,59 menunjukkan bahwa negara diberikan hak untuk
mengambilalih kewenangan pengasuhan orang tua. Hal yang perlu dicemaskan adalah
diberikannya kewenangan kepada petugas LAPAS menggunakan kekerasan. Pasal 47 ayat
(1) yang menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau
menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar
peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya, maka anak
akan berada pada sebuah institusi yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan.
Potensi kekerasan semakin ditampakkan Pasal 48 yang menetapkan bahwa pada saat
menjalankan tugasnya, petugas LAPAS diperlengkapi dengan senjata api dan sarana
keamanan yang lain. Kondisi ini jelas menempatkan anak pada suatu institusi yang
mengancam kehidupan anak arena ketentuan tersebut tidak memberikan pengecualian
kepada petugas LAPAS Anak. Seharusnya petugas LAPAS Anak tidak perlu dilengkapi
dengan senjata api atau peralatan keamanan lain. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak
yang Kehilangan Kebebasannya, Butir 65 menetapkan bahwa pembawaan dan
penggunaan senjata oleh personil fasilitas pemasyarakatan harus dilarang pada setiap
faslitas di mana anak-anak ditahan.
Ketentuan lain yang berpotensi melanggar hak anak, mengancam martabat anak
dan tujuan pemasyarakatan60, yakni ketentuan Pasal 47 ayat (1) yang memberikan
kewenangan kepada Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau
menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar
peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Kemudian,
ayat (2) menjelaskan bahwa jenis hukuman disiplin berupa tutupan sunyi paling lama 6
(enam) hari bagi Narapidana atau Anak Pidana dan atau menunda atau meniadakan hak
tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan ini merupakan tindakan tindakan–tindakan penghukuman yang
mencakup perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
Butir 67 Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya
menegaskan semua tindakan–tindakan penghukuman yang mencakup perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi atau merendahkan harus dilarang keras, termasuk hukuman
jasmani, penempatan pada sel gelap, pengurungan tertutup atau tersendiri atau hukuman
lainnya yang dapat mengancam kesehatan fisik atau mental anak yang bersangkutan.
Pengurangan jumlah makanan dan pembatasan atau penolakan kontak dengan anggota
keluarga dengan tujuan apa pun harus dilarang. Bekerja harus selalu dipandang sebagai
alat pendidikan dan sebagai sarana pemupukan harga diri anak dalam mempersiapkannya
untuk kembali ke masyarakat dan tidak boleh dipaksakan sebagai suatu sanksi disipliner.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 1 angka 8 mengkategorikan anak didik pemasyarakatan menjadi 3 (tiga) :
Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;
Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS
Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
60 Butir 66 Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya, menyatakan bahwa Tindakan-tindakan
59
1.
2.
3.
dan prosedur-prosedur penghukuman apa pun harus mempertahankan kepentingan keamanan dan kehidupan masyarakat yang
teratur dan harus konsisten dengan penghormatan martabat yang melekat pada anak itu dengan tujuan dasar pengasuhan pada
fasilitas pemasyarakatan, yaitu menanamkan ras keadilan, harga diri dan penghormatan bagi hak-hak asasi dasar setiap orang.
26
Tidak seorang anak pun boleh dikenakan sanksi lebih dari 1 kali pelanggaran displiner
yang sama. Sanksi kolektif harus dilarang.
Kovenan Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 melarang segala bentuk tindak kekerasan seorang
pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat setiap manusia. Segala bentuk penghukuman
tersebut jelas tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 10 Kovenan yang mengatur bahwa
setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan
dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. KHA Pasal 37 juga
menjamin hal serupa dimana huruf a mengatakan Pasal 37 Negara-negara Pihak harus
menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau
perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
Kemudian kewajiban ini dipertegas kembali pada huruf (c) yang mennetapkan bahwa
setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan
menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan
kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya.
8) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yuridis dalam menangani isu anak. Dalam
undang-undang ini hak-hak asasi anak dtelah diatur dan ditempatkan secara khusus pada
Bagian Hak Anak dari Pasal 52 – 66. Pasal-pasal tersebut secara rinci telah menjamin
sejumlah hak-hak anak yang harus dihargai, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara. Pasal
66, secara khusus mengatur hak-hak anak yang dicabut kebebasannya karena melanggar
hukum pidana. Namun jika kita membaca pasal-pasal tersebut tidak diketemukan secara
eksplisit prinsip-prinsip pemenuhan hak anak sebagaimana dituangkan dalam KHA
seperti :
a) Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam menyelesaikan perkara anak yang
berkonflik dengan hukum
b) Keharusan untuk menggunakan mekanisme hukum peradilan hukum pidana
sebagai upaya terakhir. Rumusan hukum yang dipergunakan Pasal 66 ayat (4)
berbunyi : Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan
sebagai upaya terakhir.
c) Pendekatan restorative justice sebagai hak asasi anak
Dalam perspektif legislative drafting, kesalahan fundamental undang-undang ini
adalah tidak mencantumkan secara rinci instrumen Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional yang telah diratifikasi dalam konsideran dasar hukum UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
9) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimaksudkan sebagai umbrella’s
law yang secara sui generis mengatur hak-hak anak. Namun dalam konsideran hukumnya
malahan tidak mencantumkan KHA sebagai referensi yuridis. Muara kesalahannya
terletak pada landasan hukum ratifikasi KHA dengan instrumen hukum Keputusan
Presiden. Seperti telah diketahui KHA diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990, oleh karenanya dalam pembuatan undang-undang yang mengatur
implementasi KHA, KHA sebagai sumber tidak bisa dicantumkan dalam konsideran
27
hukum. Keputusan Presiden secara hierarkis lebih rendah derajatnya ketimbang undangundang. Meskipun substansinya dapat diadopsi sebagai materi undang-undang. UU
Nomor 23 tahun 2002 Pasal 2 menyatakan bahwa asas dan tujuan perlindungan anak
salah satunya berlandaskan pada prinsip-prinsip KHA :
a)
b)
c)
d)
non diskriminasi;
kepentingan yang terbaik bagi anak;
hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang ini mewajibkan
negara untuk memberikan perlindungan khusus (Pasal 59). Elaborasi kewajiban
pemerintah untuk memberikan perlindungan khusus terdapat pada :
a) Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
(a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hakhak anak;
(b) penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
(c) penyediaan sarana dan prasarana khusus;
(d) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
(e) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum;
(f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga; dan
(g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
(a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
(b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
(c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial; dan
(d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Undang-undang ini, secara sumir mengatur persoalan anak yang berkonflik dengan
hukum, dan tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) yang menyatakan
bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir. Ketidakkonsistenan ini ditunjukkan dengan tidak diakomodasikannya
penyelesaian perkara anak diluar jalur hukum/pengadilan formal. Pendekatan
restorative justice selayaknya dijadikan solusi untuk menyelesaiakan kasus anak yang
berkonflik dengan hukum.
28
10) Perubahan Konstitusi (Amandemen UUD 1945)
Konstitusi negara demokratis menyaratkan bahwa salah satu unsur yang harus terdapat
di dalamnya adalah adanya jaminan penghormatan terhadap hak asasi warga negaranya.
Dengan demikian seluruh kompenen bangsa termasuk di dalamnya kelompok anak
mendapatkan perlindungan dari negara. Amendemen UUD 1945 mengatur hak asasi
manusia dalam Pasal 28 (huruf A s/d huruf J).
Pengakuan terhadap jaminan pengakuan eksistensi hak anak diatur dalam, Pasal
28 ayat (2) :
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Penggunaan legal term “setiap anak” perlu mendapatkan apresiasi, namun rumusan
hukumnya sangat umum dan hanya mencantumkan prinsip-prinsip perlindungan hak
anak dalam KHA. Selayaknya konstitusi negara sebagai landasan kontrak sosial kehidupan
bernegara mencantumkan semua daftar hak-hak asasi setiap komponen bangsa secara
rinci. Demikian pula halnya dengan hak asasi anak. Persoalan yang penting yang
seharusnya tercamtum di dalamnya adalah hak anak untuk mendapatkan penyelesaian
hukum melalui restorative justice. Daftar hak-hak asasi manusia yang lengkap yang
termuat dalam konstitusi berfungsi untuk mengeksaminasi dan mengaudit kesesuaian
substansi instrumen hukum dengan substansi konstitusi melalui mekanisme judicial
review dan constitusional complaint. 61
B. Praktek-Praktek Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak oleh Aparatus
Negara
Praktek-praktek implementasi sistem peradilan pidana anak yang menyimpang
berkorelasi positif dengan ketidakkonsistenan Pemerintah Indonesia dalam memformulasikan
substansi instrumen hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Pengejawantahan
nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma-norma hukum hak asasi manusia internasional dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan nasional suatu negara. Ketidakjelasan arah politik hukum
Pemerintah Indonesia menjadi causa prima penyimpangan substansi dan praktek-praktek hukum
di Indonesia. Arah Politik hukum RI seharusnya berkesesuaian secara substansi dengan merujuk
pada referensi hukum hak asasi internasional yang sudah diratifikasi. Namun realitanya secara
substansi malah menyimpang dari referensi hukum internasional yang dirujuknya.
Dampaknya, aparat hukum yang melaksanakan undang-undang juga akan melakukan
penyimpangan. Dalam konteks implementasi sistem peradilan pidana penyimpangan tersebut
terjadi pada semua proses dan tahanpan peradilan pidana.
1) Kepolisian
Metode kekerasan dan penganiayaan oleh aparat kepolisian yang biasa digunakan
untuk menangani pelaku tindak pidana dewasa juga digunakan untuk menangani perkara
anak. Dari beberapa kasus yang terjadi, metode kekerasan dan penganiayaan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian terjadi saat penangkapan, interograsi (memeriksa) dalam
proses penyusunan Berita Acara Pemeriksaan, dan pada saat ditahan di kantor kepolisian.
Tindak kekerasan dan penyiksaan merupakan upaya dari para aparat kepolisian untuk
mendapatkan pengakuan dari anak tentang perbuatan pidana yang dilakukannya.
61
Pan Mohamad Faiz, Menabur Benih Constitutional Complaint, www.sarwono.net
29
Bentuk-bentuk kekerasan dan penyiksaan yang sering dialami anak-anak yang
berkonflik dengan hukum bampak dalam kasus berikut :
Pengakuan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Suara Sunyi dari Balik Jeruji
Yadi, yang sudah hampir 3 tahun menghuni Rutan Kebonwaru, merasa aman di sini. Napi anak yang
bertubuh kurus dan berkulit hitam itu warga Ciwidey, Kab. Bandung. Dia divonis selama lima tahun. Saat
divonis umurnya 12 tahun. Kejahatannya memperkosa anak tetangga yang berumur 10 tahun. Juga ada
tuduhan mencabuli adik korbannya yang berusia 4,5 tahun. Vonis yang diterima Yadi adalah hukuman
maksimal untuk terpidana anak dalam kasus perkosaan.
Saat itu, Yadi mengaku tidak tahu apa artinya perkosaan. Yang dia tahu saat itu, hasrat seksualnya tak
terbendung karena terlalu sering diajak oleh tetangganya menonton film porno. Menurut pengakuannya,
anak tetangganya itu tidak menolak, dan aksi itu dilakukannya dua kali. Ia selalu memberi uang Rp
1.000,00. "Tapi saya tidak pernah melakukan dengan adiknya," ujarnya.
Peristiwa itu terjadi antara September-Oktober 2003. Setelah orang tua Putri mengetahui kejadian itu,
Yadi digelandang ke kantor polisi. Dia menghadapi tuduhan perkosaan dengan kekerasan, terhadap dua
anak kecil.
Karena sempat tidak mau mengaku, kata Yadi, organ vitalnya dijepit. Ia juga mengaku
sempat ditetesi lilin panas. Dia kemudian dimasukkan ke dalam sel. Setelah waktu berbuka,
lanjut Yadi, petugas mendatangi selnya. Yadi mengaku disuruh membuka celana dan
meletakkan organ vitalnya pada palang besi yang menempel di jeruji. Petugas, kata Yadi,
mengambil sapu, lalu gagang sapu itu dipukulkan. "Sakit sekali. Akhirnya saya mau
mengakui tuduhan. Kalau ingat kejadian itu, saya dendam sekali," ujarnya.Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) diserahkan ke jaksa. Lalu laksa mengajukan tuntutan di Pengadilan Bale Bandung.
"Waktu sidang saya ditanya sama hakim, kenapa keterangannya beda sama BAP. Saya bilang, BAP itu
terpaksa saya tanda tangani karena tidak kuat," ujar Yadi.
Sumber : www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/23/1001.htm
Perlakuan kekerasan dan penyiksaan yang kerap dilakukan sebagai metode untuk
mendapat pengakauan baik pada saat penangkapan, pemeriksaan, maupun dalam masa
penahanan, merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan
Martabat Manusia. Pasal 1 Konvensi menyatakan bahwa istilah "penyiksaan" berarti
setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah
pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga. Selain konvensi
tersebut, tindakan di atas juga melanggar ketentuan :
a) Konvensi Hak Anak (Pasal 37 dan Pasal 40)
b) Beijing Rules (Butir 5.1., Butir 7.1. Butir 10.3, dan Butir 13.3.4.5)
c) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Butir 17
dan butir 18)
d) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, dan Pasal 10)
Namun demikian, sampai saat ini aparat yang melakukan penyiksaan tidak pernah
mendapatkan hukuman. Padahal nyata-nyata ketentuan Konvensi Anti Penyiksaan
menyebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa setiap negara harus mengambil langkah30
langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk
mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya. Ayat (2) selanjutnya
menyatakan bahwa setiap Negara Pihak harus mengatur agar tindak penyiksaan
merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama berlaku
bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang
membantu atau turut serta dalam penyiksaan.
Selain hal tersebut di atas, tingginya anak yang berkonflik dengan hukum usia 0-17
tahun, menjalani proses peradilan pidana (angka penahan) menjadi permasalahan yang
perlu mendapatkan perhatian serius. Menurut data BPS, hingga Juli 2003 di Indonesia
terdapat 136.00 anak yang berkonflik dengan hukum. Setiap tahun, sedikitnya 4000 kasus
pelanggaran hukum dilakukan oleh anak.62 Selanjutnya, berdasarkan angka statistik
kepolisian tahun 2000 angka penahanan sebesar 11.344 kasus, bandingkan tahun 1999
dengan 6.029 kasus dan tahun 1998 dengan 10.025 kasus.63 Kemudian berdasarkan data
skunder yang diperoleh dari Poltabes Palembang tentang perkara pidana anak, antara
tahun 2000 s/d 2003, terdaftar sejumlah 75 kasus anak. Dari keseluruhan tersangka anak
tersebut ternyata semuanya dikenakan penahanan.64 Data berikut juga memperlihatkan
kondisi serupa. Sepanjang Januari sampai dengan Juli 2003 terjadi 43 kasus anak yang
berkonflik dengan hukum dengan jumlah pelaku 94 orang, yang diduga dan disangka
sebagai pelaku tindak pidana di Sumatera Utara. Artinya 13 orang anak akan dipenjara
setiap bulan.65
Tingginya angka penahanan menunjukkan kewenangan diskresi yang melekat pada
aparat kepolisian, yakni mempergunakan penahanan sebagai alternatif terakhir dalam
menangani anak tidak pernah dipergunakan. Tindakan ini jelas bertentangan dengan :
a) Konvensi Hak Anak (Pasal 40)
b) Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11.1, 2, 3, 4)
c) Konvensi Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10 ayat (4), Pasal 14 ayat (4))
Permasalahan yang mendasar yang seringkali dilanggar adalah hak untik
mendapatkan pendampingan oleh penasihat hukum. Hak ini selain merupakan akses bagi
anak untuk dipenuhi hak-haknya, juga terkait dengan due process of law. Namun, dalam
banyak kasus hak ini seringkali diabaikan oleh aparat kepolisian sehingga anak-anak
mengalami tindakan kekerasan dan penyiksaan. Pengabaian ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 37 huruf d KHA, Butir 18 huruf a Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak
yang Kehilangan Kebebasannya , yang menetapkan setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak atas akses segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat,
dan juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan
suatu pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas
putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu. Kovenan Hak Sipil dan Politik
Pasal 14 ayat (2) huruf b mengatur hal yang serupa dimana dinyatakan dalam
menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas
jaminan-jaminan minimal untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk
mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya
sendiri.
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini, op. cit, hal. 75
64 Ruben Achmad, op.cit, hal.8
65 Ariffani, Anak Nakal: Dari Terminoligi sampai Implementasi, Majalah Kalingga, Edisi November-Desember 2003, PKPAUNICEF, hal. 8
62
63
31
66% Anak Mendapat Kekerasan Fisik
Setiap anak yang berkonflik dengan hukum berhak untuk mendapatkan bantuan hukum dan didampingi
pengacara. Bantuan hukum dan pendampingan pengacara diperlukan anak untuk mengeliminasi
kekerasan karena selama proses hukum berlangsung, anak sering mendapatkan kekerasan dalam berbagai
bentuk.
"Dari hasil monitoring Lembaga Advokasi Hak Anak (Laha) terhadap 44 anak yang berada
di rumah tahanan (rutan) pada tahun 2004, 66 persen di antaranya mendapatkan
kekerasan fisik selama proses hukum tersebut. Bentuk kekerasan yang mereka alami
bervariasi, mulai dari disiram, dipukul, digencet, dan lainnya," ungkap Andi dari Divisi Kajian
dan Pendidikan Publik Laha, Jumat (5/8) di Bandung.
Sumber : www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/08/0310.htm
Pengalaman menjalani tahanan bersama orang dewasa juga banyak ditemui oleh anakanak yang berkonflik dengan hukum. Menurut data UNICEF, 5.000 anak yang ditahan
atau dipenjara, 84 % di antaranya ditempatkan di penjara dewasa.66 Situasi ini jelas
merupakan pelanggaran hak anak sebagaimana diatur dalam :
a) Pasal 10 ayat (3), Kovenan Hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa terdakwa di
bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera
dihadapkan ke sidang pengadilan.
b) Pasal 37 huruf (c), KHA yang menyatakan setiap anak yang dirampas
kebebasannya harus diperlakukan manusiawi dan menghormati martabat manusia
yang melekat, dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan
orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang dirampas kebebasannya harus
dipisahkan dari orang dewasa.
c) Butir 7.1., Butir 13.4, Beijing rules
d) Butir 27 dan Butir 29, Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya
Merujuk pada paparan di atas, spesialisasi polisi anak sudah semestinya segera
direalisasikan untuk meminimalisasi tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam
menangani anak. Butir 12.1, Beijing Rules mengatur bahwa agar dapat melaksanakan
fungsi-fungsinya dengan sebaik mungkin, perwira-perwira polisi yang sering atau khusus
menangani anak-anak atau yang terutama terlibat dalam pencegahan kejahatan anak akan
dididik dan dilatih secara khusus. Di kota-kota besar, unit kepolisian khusus seharusnya
dibentuk untuk tujuan itu. Kewajiban senada juga disebutkan dalam Peraturan PBB bagi
66
www.unicef.org/indonesia/id/protection_3146.html
32
Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya bahwa petugas harus mendapatkan
latihan sedemikian rupa sehingga memungkinkan mereka menjalankan tanggung jawab
mereka secara efektif, khususnya latihan dalam psikologi anak, kesejahteraan anak dan
standar-standar serta norma-norma hak asasi manusia dan hak asasi anak, termasuk
peraturan-peraturan ini. Petugas harus menjaga dan meningkatkan pengetahuan dan
kesanggupan profesional mereka dengan mengikuti kursus-kursus ‘latihan sewaktu
penugasan’, yang perlu diadakan secara berkala pada kesempatan yang memungkinkan
sepanjang karier mereka. Spesilisasi ini merupakan langkah awal untuk menepati
komitemen negara untuk melaksanakan kewajibannya negara sebagaimana ditetapkan
Pasal 10 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik.
2) Kejaksaan
Pada tahap penuntutan oleh jaksa penuntut umum, anak-anak juga mengalami
tindak kekerasan. Kekerasan yang dilakukan oleh jaksa memang bukan tindak kekerasan
langsung, melainkan kekerasan struktural. 67 Kekerasan ini bersumber dari keengganan
jaksa untuk menggunakan kewenangannya untuk mengabaikan perkara anak. Meskipun
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak secara tegas memberikan
kewenangan deskresi untuk menutup perkara, namun jika membaca KUHAP, sebagai
pedoman untuk melaksanakan proses litigasi perkara pidana, telah memberi alas hukum
bagi jaksa untuk menutup perkara demi hukum. Ketentuan-ketentuan tersebut berada di
dalam pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Kewenangan untuk menutup perkara belum
dipergunakan oleh jaksa dalam menangani perkara anak. Kasus di bawah ini
membuktikan masih dominannya pendekatan penghukuman.
Proses Hukum Bocah Pencuri Mie Instan
Peradilan terhadap anak-anak seperti dialami Raju di Sumatera Utara yang sempat menjadi sorotan,
ternyata dialami pula oleh empat bocah siswa SD dan SMP di Kagungan-Kota Agung, Kabupaten
Tanggamus (Lampung).
Keempat bocah itu, Sh (8) kelas 2 SDN 1 Kagungan, DE (13) kelas 2 SMPN 2 Kota Agung
Timur, Ad (11) kelas 5 SD 1 Kagungan, dan He (12) kelas 6 SDN 1 Kagungan didakwa
mencuri empat bungkus mie instan, perkaranya mulai disidangkan di Pengadilan
Negeri (PN) Kota Agung Rabu (15/3) lalu.
Para bocah yang menjadi terdakwa tersebut, dituduh mencuri mie instan saat bermain
di sekitar tambak udang di Pekon Kagungan, Kecamatan Kota Agung Timur, Minggu
(15/12--2005) sekitar Pkl. 10:00 WIB. Sekawanan bocah itu mengambil empat bungkus
mie yang harganya per bungkus Rp 500.
Namun ulah mereka diketahui salah satu penjaga tambak di sana dan ditangkap serta
sempat terkena pukulan di paha maupun tangan mereka. Kendati tidak ditahan, kasus
itu ternyata diadukan oleh perusahaan tambak tersebut ke Polsek Kota Agung yang
kemudian memproses mereka hingga ke pengadilan. Anak-anak di bawah 13 tahun itu
diancam Pasal 363 KUHP berupa pencurian dengan pemberatan. Persidangan ke-4
anak itu masih akan dilanjutkan pada Selasa (21/3) pekan depan.
67 Johan Galtung membagi tipologi kekerasan menjadi 3 (tiga) yaitu kekerasan langsung, kekerasan kultural, dan kekerasan
Bandar
Lampung,
Maret
2006 (event); kekerasan struktural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural
struktural. Kekerasan
langsung
adalah 17
sebuah
peristiwa
Sumber
: www.gatra.com/artikel.php?id=93057
adalah sesuatu yang
bersifat
permanen. Kekerasan langsung mewujud dalam perilaku, misalnya pembunuhan, pemukulan, intimidasi,
penyiksaan. Kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga mewujud dalam konteks, sistem, dan struktur, misalnya diskriminasi
dalam pendidikan, pekerjaan, pelayanan kesehatan. Kekerasan kultural mewujud dalam sikap, perasaan, nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat misalnya ,kebencian, ketakutan, rasisme, seksisme, ketidaktoleranan. Johan Galtung, Studi Perdamaian : Perdamaian dan Konflik
Pembangunan dan Peradaban, Surabaya, Pustaka Eureka, 2003, hal. 438
33
Kasus tersebut tidak perlu terjadi jika, kepolisian dan kejaksaan menggunakan
kewenangan diskresionalnya sehingga anak-anak tersebut tidak perlu menjalani proses
hukum formal sehingga anak tidak perlu mengalami penahanan di ruang tahanan.
Sementara itu berdasarkan data Poltabes Palembang tentang perkara pidana anak, antara
tahun 2000 s/d 2003, terdaftar sejumlah 75 kasus anak. Dari keseluruhan tersangka anak
tersebut ternyata semuanya dikenakan penahanan.68
Selama proses penahanan anak-anak juga mengalami kekerasan seperti kisah berikut :
Kisah Danang
Danang adalah satu dari ribuan anak Indonesia yang pernah berurusan dengan hukum. Hanya karena
solidaritas sesama teman sekolah, Danang terlibat tawuran dengan siswa sebuah STM di Jakarta Barat.
Danang yang waktu itu berusia 15 tahun dan duduk di kelas satu STM diciduk polisi.
Danang dan tiga rekannya dibawa ke polsek setempat di wilayah Kebayoran Baru. Siksaan pertama
diterima Danang di kantor polisi ketika penyidik dan oknum polisi memukuli dan
menendangi mereka. Pukulan kembali mereka terima ketika masuk ke sel tahanan, yang
mayoritas diisi laki-laki dewasa. "Saya ditinju di ulu hati, sampai sulit bernapas," ujarnya.
Siksaan kembali diterima Danang ketika ia dilimpahkan polsek ke Rumah Tahanan Negara
Pondok Bambu. Di Blok C, ia dimasukkan ke sebuah sel berisi 25 orang. Padahal, ukuran
kamar hanya 3 x 4 meter.
Di sini, siksaan malah lebih parah. Begitu masuk, Danang bukan cuma dipukuli. Kepalanya
dihajar batu bata. "Entah dari mana mereka dapat batu bata. Yang mukulin tak cuma
kepala kamar, tetapi juga anak-anak lain sesama tahanan. Mereka disuruh mukulin orang
baru," cerita Danang yang keluar dari Rutan Pondok Bambu dalam kondisi parah dengan
penyakit TBC.
Untung bagi Danang. Dia bertemu teman lama yang pernah nongkrong bareng dengannya di halte tak jauh
dari sekolah. Ia pun "terselamatkan".
Namun, empat anak lain yang masuk bersama Danang-berusia 14 hingga 17 tahun-tak bisa
menghindari siksaan. Pakaian mereka dilucuti. Bukan cuma dipukuli. Mereka juga harus
"pasrah" saat kaki mereka ditetesi lelehan plastik yang dibakar. Jeritan kesakitan pun
menggema di seluruh Blok C.
Siksaan dilanjutkan keesokan harinya. Keempat bocah ini disuruh bergantian berdiri
membelakangi dinding dan tangan direntangkan. Lalu, satu demi satu, secara bergantian,
anak-anak di sel itu melemparkan batu baterai-entah diperoleh dari mana-ke arah anak
yang harus mengalami siksaan itu. Tetesan darah dan jeritan kesakitan tidak menghalangi
berlanjutnya siksaan.
Rabu, 08 Oktober 2003
Sumber : www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/611424.htm
68
Ruben Ahmad, op.cit
34
Penahanan sebelum pengadilan hanya akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir
dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin, demikian aturan Butir 13.1, Beijing Rules.
Butir 13.2 , menetapkan bahwa di mana mungkin, penahanan sebelum pengadilan akan
diganti dengan langkah-langkah alternatif, seperti pengawasan secara dekat,
perawatan intensif atau penempatan pada sebuah keluarga atau pada suatu tempat
atau rumah pendidikan. Selain kewajiban tersebut, Butir 13.4 menyatakan anak-anak
yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan akan ditempatkan terpisah dari
orang-orang dewasa dan akan ditahan pada suatu lembaga terpisah atau pada suatu
bagian terpisah dari suatu lembaga yang juga menahan orang-orang dewasa.
Jika mengacu pada kasus diatas dan realitas yang terjadi, maka dapat disimpulkan
jaksa sebagai pelaku pelanggaran hak-hak anak karena Butir 13.3, Beijing Rules
menegaskan bahwa anak-anak yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan
berhak akan semua hak dan jaminan dari Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi
Perlakuan terhadap Narapidana yang telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Penempatan anak oleh jaksa pada ruang tahanan nyata-nyata melanggar ketentuan :
a) Beijing Rules (Butir 13.1, 2,3, 4,5 )
b) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (Butir 1,
Butir 28)
Keengganan kejaksaan untuk menutup atau mengabaikan atau tidak melanjutkan perkara
anak merupakan pelanggaran hak anak sebagaimana telah diatur dalam :
a) KHA (Pasal 37 huruf b)
b) Beijing Rules (Butir 11.1, 2, 3, 4 dan Butir 13.1, 2)
c) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10 ayat (1), Pasal 14 ayat (4))
Di samping itu, pada saat menjalani proses penuntutan anak-anak ditahan diruang
tahanan bersama tahanan dewasa. Kondisi ini nyata-nyata melanggar ketentuan :
a) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10 ayat (3), Pasal 14 ayat (4))
b) KHA (Pasal 37 huruf b dan huruf c)
3) Pengadilan
Kasus di bawah ini menggambarkan kinerja hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara anak yang dihadapi.
Stop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak
Menurut Distia Aviandari, S.H., dari catatan atas pengalaman penayangan anak yang berkonflik dengan
hukum pidana yang dilakukan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA), ternyata 95% anak yang
berkonflik dengan hukum dikenakan penahanan dan 100% vonis hakim berupa pidana
penjara, penahanan dan pidana penjara tidak terpisah dengan orang dewasa, anak dipaksa
mengaku, anak diperiksa di kepolisian siang dan malam, pernyataan dan pertanyaan aparat
dalam pemeriksaan memojokkan anak, anak menjadi objek eksploitasi tahanan dewasa,
adanya kekerasan fisik dan emosional selama proses pemeriksaan.
Demikian pula menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar dr. Kusnandi Rusmil, Sp.A.K.,
M.M, kenyataan menunjukkan dari 4.000 orang anak yang dikirim ke pengadilan, 90%
diputus untuk ditahan dan 88% di antara mereka dipenjara selama lebih kurang 12 bulan.
Sebanyak 73% dikirim ke penjara untuk pelanggaran kecil atau kenakalan anak-anak,
sedangkan 42% pelanggaran anak diputus untuk ditahan, dipenjara bersama orang dewasa.
Sumber : Melani
35
www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/16/teropong/komen_hukum.htm
Kemudian, kasus penjatuhan hukuman pidana seumur hidup terhadap LG (16
tahun) oleh hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo,
Sumatera Utara,69 memperjelas potret buram pelanggaran hak anak yang berkonlik
dengan hukum.
Akhir-akhir ini, pemberitaan kasus Raju semakin mempejelas
ketidakberdayaan negara dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak yang
menjadi kewajiban konstitusionalnya.
Raju Masih Kecil Kok Sudah Dipenjara...
Raut ketakutan terpancar di wajah mungilnya. Suara bocah kelas III SD itu pun terbata.
Jiwanya terguncang hebat. Ruang sidang, petugas berseragam, dan rumah tahanan
mungkin akan menjadi mimpi buruk bagi Muhammad Azwar (8) sepanjang hidupnya.
Bocah yang akrab dipanggil Raju oleh teman-teman sepermainannya itu harus memikul beban yang tak
semestinya ditanggung anak seusianya. Tak terbayangkan, perkara kecil, perkelahian antarteman,
berbuntut masuk ruang tahanan dan sidang di pengadilan berhari-hari. Sidang dijalaninya di Pengadilan
Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Rabu siang, 31 Agustus 2005, yang menjadi awal semua peristiwa ini, mungkin tak diingat Raju. Ia hanya
tahu, hari itu sepulang sekolah dia diejek Armansyah, kakak kelasnya yang berumur 14 tahun. Perkara
saling ejek anak SD yang lumrah terjadi ini berbuntut perkelahian. Raju tak terima dengan ejekan
Armansyah. Mereka berkelahi.
Keduanya sama-sama terluka. Masih terlihat bekas cakaran di wajah dan robekan di bibir Raju. Demikian
pula Armansyah. Dari visum dokter, iga dan pinggul kirinya mengalami memar.
Seharusnya perkara ini selesai saat kedua orangtua anak-anak ini bertemu. Sugianto, ayah Raju, sepakat
membiayai pengobatan Armansyah. Namun, entah mengapa, orangtua Armansyah mengadukan Raju
kepada polisi. Anak bungsu pasangan Sugianto dan Saedah itu disangka melakukan penganiayaan.
Maka, mulailah mimpi buruk dalam kehidupan Raju. Pada September 2005, tiga kali
Sugianto harus membawa Raju ke Kantor Polisi Sektor Gebang, Kabupaten Langkat, untuk
disidik. Dalam pemeriksaan, Raju sama sekali tidak didampingi penasihat hukum ataupun
petugas dari Balai Pemasyarakatan Anak (Bapas).
Petugas Bapas terkait sesungguhnya bisa memberikan rekomendasi apakah Raju layak
ditahan atau tidak. Saat dalam proses penyidikan, Raju memang belum ditahan. Berkas
perkara Raju dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan. Perkara
ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Stabat Cabang Pangkalan Brandan pada 12 Desember
2005.
Ruang sidang menjadi mimpi buruk kedua Raju setelah kantor polisi. Hakim tunggal yang
mengadili perkara Raju, Tiurmaida H Pardede, dirasakan telah menyidangkan perkara ini
demikian ”tegas”. Raju merasa diperlakukan sebagai pesakitan yang pantas duduk di kursi
terdakwa. Suara tegas ibu hakim menjadi seperti bentakan yang menakutkannya.
hal. 2
Raju akhirnya menangis di persidangan. ”Raju takut karena bu hakimnya bentak-bentak
Raju,” ujar bocah yang lahir pada 9 Desember 1997 itu.
Yang membuat orangtuanya prihatin, perkataan sang hakim pada sidang pertama seperti
sudah menyudutkan Raju. Menurut Saedah, pada sidang pertama hakim langsung
69 Sulaiman Zuhdi Manik, Anak yang Berkonlik dengan Hukum : Antara Hukuman dan Perlindungan, dalam Majalah Kalingga, op. cit,
memvonis anaknya. ”Hakim bilang, dari raut mukanya saja dia tahu bahwa anak saya
memang anak nakal,” ujar Saedah.
...
36
Lanjutan ……….
Di persidangan kedua, 19 Januari 2006, Raju benar-benar menjadi pesakitan. Oleh sang
hakim, bocah yang hobi bermain sepak bola sepulang sekolah ini diharuskan menjalani
penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Pangkalan Brandan, terhitung sejak hari itu hingga
2 Februari. Raju dianggap memberikan keterangan berbelit sehingga perlu ditahan. ”Raju
takut kerangkeng (penjara). Banyak orang jahat di sana,” ujar anak itu dengan mata
berkaca-kaca.
Tak tega melihat penderitaan anaknya, Sugianto pun tiap malam harus rela mendampingi anaknya di
rutan. ”Raju diperbolehkan menginap di ruangan kantor, tidak di sel,” ujarnya.
Ketakutan yang teramat sangat dan rasa rindu dengan suasana rumah, teman-teman, dan sekolah
membuat Raju stres. Hampir setiap saat Raju menangis minta pulang agar bisa sekolah. Selama 14 hari
Raju benar-benar dikurung.
Namun, Tiurmaida bersikukuh perkara Raju harus terus disidangkan karena pada saat
berkas masuk ke pengadilan usia Raju telah mencapai delapan tahun satu bulan.
Persidangan demi persidangan semakin merusak mental Raju. Apalagi hakim seperti tak melihat sosok
lugu Raju.
Saedah menuturkan, pada hari persidangan, Raju harus menunggu panggilan sidang di
ruang tahanan yang memang biasa tersedia di pengadilan. Di ruangan itu berkumpul
banyak terdakwa lain yang menunggu untuk disidangkan. Tak ada satu pun anak-anak.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 dan Raju tampak letih karena belum makan sejak
pagi. Saedah yang membawa bekal makanan dari rumah meminta izin kepada Ketua
Pengadilan Negeri Stabat Syamsul Basri agar anaknya bisa keluar sebentar untuk disuapi
makanan. Permintaan itu ternyata ditolak Syamsul dengan alasan izin mengeluarkan
tahanan harus dari hakim yang menyidangkan perkara.
Sumber : Khaeruddin
Rabu, 22 Februari 2006
www.kompas.com/kompas-cetak/0602/22/utama/2459558.htm
Layak apabila dikatakan hakim sebagai pelaku pelanggaran hak anak melalui putusannya.
Putusan hakim dalam menangani perkara dapat dikatakan telah memraktekkan kekerasan
37
yang dilakukan oleh negara. Pada titik ini hakim seharusnya dengan kewenanganya70
dapat melakukan hal berikut :
a) Mengesampingkan perkara anak/anak dibebaskan (Beijing Rules Butir 10.2, Butir
17.1,4, Butir 20.1, ; Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, Butir 1, 2; KHA Pasal 3 ayat (1), Pasal 40 huruf b butir iii; Kovenan
Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 9 ayat (3), (4));
b) Mengalihkan perkara anak ke jalur non formal ( Beijing Rules Butir 11.1,2,3,4;
KHA Pasal 4, Pasal 37 huruf b; Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, Pasal 24 ayat
(1))
c) Menerapkan pendekatan restoratif justice (Beijing Rules, Butir 5.1., Butir 14.1,2,
Butir 18.1; KHA Pasal 3 ayat (2), Pasal 40 ayat (1); Kovenan Hak Sipil dan Hak
Politik Pasal 2 ayat 3 huruf b)
Namun jika melihat realita yang ada, kewenangan ini tidak dipergunakan oleh hakim.
Kondisi ini, selain diakibatkan karena hukum positif secara eksplisit belum
mengakomodasikan dalam rumusan hukum yang khusus. Kedua masih mendominasinya
pemikiran positivisme hukum di kalangan hakim. Apa yang dikatakan undang-undang
adalah hukum.71 Kasus Raju merefleksikan, dominannya penganut pemikiran ini. Hakim
yang menyidangkan Raju dilandasi keyakinan bahwa tindakannya
semata-mata
mematuhi ketentuan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di mana
ditentukan bahwa anak yang telah berusia 8 tahun dapat dituntut pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang dilakukannya.
Jika kita sandingkan kekukuhan hakim tersebut dengan instrumen hukum
internasional maka tindakan ini bertentangan dengan ketentuan sebagai berikut hakim
tersebut :
a) Beijing Rules :
1) Butir 4.1. : Pada sistem-sistem hukum yang mengakui konsep usia
pertanggungjawaban kriminal bagi anak-anak, awal usia itu tidak dapat
ditetapkan pada tingkat usia yang lebih rendah, mengingat kenyataankenyataan kedewasaan emosional, mental dan intelektual.
2) Butir 5.1. : Sistem peradilan bagi anak akan mengutamakan kesejahteraan anak
dan akan memastikan bahwa reaksi apa pun terhadap pelanggar-pelanggar
hukum berusia anak akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada
pelanggar-pelanggar hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.
3) Butir 6.1. : Mengingat kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anakanak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang
memadai bagi kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada
seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari
administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan,
pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya.
70 Pasal 28 ayat ( 1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Lihat pula Butir 6.1. Bejing Rules yang menyatakan mengingat
kebutuhan-kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak maupun keragaman langkah-langkah yang tersedia, ruang lingkup yang memadai bagi
kebebasan untuk membuat keputusan akan diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan
bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan keputusan dan peraturan-peraturan lanjutannya.
71 Armada Riyanto positivisme pada kata latin ponere-posui-positus yang berarti meletakkan, memaksudkan bahwa tindakan
manusia itu adil atau tidak, sepenuhnya bergantung pada peraturan atau hukum yang diberlakukan. Lihat, Johnny Ibrahim, Teori dan
Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia, 2006, hal. 86
38
4) Butir 7.1 : Langkah-langkah pelindung prosedural yang mendasar seperti
praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan terhadapnya, hak
untuk tetap diam, hak akan pengacara, hak akan kehadiran orang tua/wali, hak
untuk menghadapi atau memeriksa silang sanksi-sanksi dan hak untuk naik
banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan dijamin pada seluruh tahap
proses peradilan.
5) Butir 10.2 : Seorang hakim atau pejabat atau badan berwenang lainnya akan,
tanpa penundaan, mempertimbangkan isu pembebasan.
6) Butir 11.1 : Pertimbangan akan diberikan, bilamana layak, untuk menangani
pelanggar-pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan
formal oleh pihak berwenang yang berkompeten
7) Butir 14.2 : menetapkan bahwa proses-proses peradilan akan kondusif bagi
kepentingan-kepentingan utama anak itu dan akan dilaksanakan dalam
suasana pengertian, yang akan memungkinkan anak itu untuk ikut serta di
dalamnya dan untuk menyatakan dirinya secara bebas.
b) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1) Butir 1 : Sistem peradilan bagi anak harus menjunjung tinggi hak-hak dan
keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental para anak.
Hukuman penjara harus digunakan sebagai upaya terakhir.
2) Butir 2 : Menghilangkan kebebasan seorang anak haruslah merupakan suatu
keputusan yang bersifat pilihan terakhir dan untuk masa yang minimum serta
dibatasi pada kasus-kasus luar biasa. Jangka waktu sanksi harus ditentukan
oleh pihak kehakiman yang berwenang, tanpa mengesampingkan kemungkinan
pembebasannya yang lebih awal.
3) Butir 17 : Para anak yang ditahan di bawah penangkapan atau tengah menunggu
peradilan (“belum diadili”) harus dianggap tidak bersalah dan harus diperlakukan
sebagai orang yang tidak bersalah. Penahanan sebelum peradilan sedapat mungkin
dihindarkan dan dibatasi pada keadaan-keadaan yang luar biasa. Dengan demikian,
segala upaya harus dilakukan untuk menerapkan tindakan-tindakan alternatif lain.
Namun demikian, jika penahanan preventif digunakan, pengadilan-pengadilan bagi
anak dan badan-badan pengusut harus memberi prioritas tertinggi pada penanganan
yang tercepat terhadap kasus-kasus demikian untuk menjamin agar masa penahanan
sesingkat mungkin. Para anak yang ditahan dan belum diadili harus dipisahkan dari
para anak yang telah dijatuhi hukuman.
c) KHA :
1) Pasal 3 ayat (1) : Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum,
penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik
anak harus merupakan pertimbangan utama.
2) Pasal 4 : Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif,
administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang
diakui dalam Konvensi ini.
3) Pasal 12 : Anak terutama harus diberi kesempatan untuk didengar pendapatnya
dalam persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang
mempengaruhi anak itu, baik secara langsung, atau melalui suatu perwakilan
atau badan yang tepat, dalam suatu cara yang sesuai dengan peraturanperaturan prosedur hukum nasional.
4) Pasal 37 huruf b : Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya
secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan,
penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang39
undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan
untuk jangka waktu terpendek yang tepat;
5) Pasal 37 huruf d : Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses
segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan juga hak untuk
menyangkal keabsahan perampasan kebebasannya, di hadapan suatu
pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas
putusan segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.
6) Pasal 40 ayat (1) : Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum
pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan
rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali
penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan
keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak
pada peran konstruktif dalam masyarakat.
7) Pasal 40 ayat 2 huruf b :Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh
telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan
berikut:
 Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum;
 Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan
terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya,
dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam
mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
 Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang
berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu
pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum
atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam
kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya
atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya;
 Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk
memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh
keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syaratsyarat keadilan;
d) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik :
1) Pasal 10 ayat (1) :
Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib
diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang
melekat pada diri manusia.
2) Pasal 10 ayat (3) : Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang
dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan
3) Pasal 14 ayat (1) : Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan
pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana
terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam
suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka
untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak
berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang
untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban
umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau
apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan
khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri;
namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata
40
harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan
anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut
berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.
4) Pasal 14 ayat (2) : Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak
dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum
5) Pasal 14 ayat (4) : Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai
harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan
rehabilitasi bagi mereka
Perkara Raju mungkin dapat mewakili potret pelanggaran hak anak yang
terstruktur dan sistematis melalui institusi peradilan.
Situasi ini tidak terlepas dari
substansi hukum yang melandasi hakim dalam melakoni tugas dan kewenangangannya.
Secara substansi UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berperspektif
anak sebagai korban. Spirit undang-undang ini adalah pemidanaan karena anak telah
diberi stigma lebih dahulu sebagai ”anak nakal” atau crime actor. Legal term ini berbeda
dengan legal term KHA yakni ”children in conflict with law” atau anak yang berkonflik
dengan hukum. Dalam perspektif KHA, anak diasumsikan belum mempunyai legal
capacity untuk melakukan tindak pidana mengingat kondisi dan sifatnya yang masih
tergantung pada orang dewasa, tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral, dan
spiritualnya belum matang. Dengan demikian negara justru harus melakukan intervensi
secara khusus dalam rangka melindungi anak, bukan malah sebaliknya anak dihadapkan
vis a vis dengan kekuasaan negara untuk mempertanggungjawabkan secara pidana.
Perspektif pendekatan penghukuman ini, justru nampak pada UU Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak yang secara sui generis ruang lingkupnya ditujukan untuk
mengadili perkara anak. Pasal-pasal berikut menunjukkan hal tersebut :
a) Pasal 1 angka 2 : Anak Nakal adalah :
1) anak yang melakukan tindak pidana; atau
2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik
menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan
b) Pasal 4 ayat 1 : Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah
sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin.
c) Pasal 5 :
1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali,
atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada
orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada
Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
d) Pasal 22 : Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan
yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
41
e) Pasal 23 :
1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan
pidana tambahan.
2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
 pidana penjara;
 pidana kurungan;
 pidana denda; atau
 pidana pengawasan.
3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak
Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
f) Pasal 24 :
1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
 mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
 menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
 menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja.
2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran
dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
g) Pasal 25 :
1) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a,
Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 atau
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
2) Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b,
Hakim menjatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal-pasal di atas jelas tidak mengakomodasi pendekatan kesejahteraan sebagaimana
menjadi nafas KHA dan Beijing Rules. UU ini memang menawarkan konsep tindakan
(maatregel) sebagai upaya alternatif selain penjatuhan pidana (straaft). Namun alternatif
ini tidak dijadikan sebagai model penyelasaian yang diprioritaskan. Padahal secara
konseptual, hukum pidana merupakan ultimum remidium, bukan upaya yang utama.
Seharusnya konstruksi hukumnya tindakan baru penjatuhan pidana. Ironisnya UU Nomor
23 Tahun 2002 tentang perlindugan anak juga tidak mengadopsi pendekatan restorative
justice sebagai content of act. Undang-undang ini hanya mengkategorisasikan anak yang
berkonflik dengan hukum memerlukan perlindungan khusus dan mendefinisikan anak
yang berkonflik dengan hukum. Elaborasi konsep ini tidak terformulasikan dalam
ketentuan yang rinci.
Secara konseptual model pendekatan kesejahteraan yang
tepat untuk
menyelesaikan perkara anak adalah pendekatan restorative justice, karena pendakatan ini
mencakup hal-hal berikut :
a) Mengidentifikasi dan menentukan langkah-langkah pemulihan kerugian
b) Melibatkan semua stake holders dalam menyelesaikan perkara
42
c) Mentransformasi relasi tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam
merespon tindak pidana.72
Hal lain yang esensial adalah dilibatkannya korban dan komunitas dalam suatu
proses yang holistik termasuk pihak-pihak lain berdasarkan prinsip pertanggungjawaban,
resolusi, dan pemulihan. Penekanan lainnya adalah terdapatnya proses healing dan upaya
membangun pertanggungjawaban moral komunitas. Proses ini berbanding terbalik
dengan pendekatan pemidanaan yang lebih menekankan penghukuman, menguntungkan
pihak tertentu, dan cenderung birokrat.73
Meskipun pendekatan ini berbasis korban (berperspektif hak anak) dan melibatkan
stakeholders yang lain, model ini belum dijadikan sebagai referensi oleh hakim dalam
menangani perkara anak karena 2 (dua) persoalan berikut :
a) Instrumen hukum yang melandasi sistem peradilan pidana anak belum
mengadopsi pendekatan ini secara utuh
b) Interpretasi dan konstruksi hakim dibangun berdasarkan pendekatan positivisme
hukum
c) Hakim yang mengadili perkara anak tidak memiliki keberpihakan pada korban dan
tidak memiliki pemahaman tentang hak-hak anak
4) Institusi Penahanan dan Pemasyarakatan
Institusi yang penahanan sebagai supporting system peradilan pidana juga berkontribusi
melanggar hak asasi anak. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
Rumah Tahanan Negara, Cabang Rumah Tahanan Negara atau di tempat tertentu oleh
penyidik ataupun penuntut umum atau hakim. Orang yang ditahan berarti setiap orang
yang dirampas kebebasan pribadinya kecuali sebagai akibat hukuman karena suatu
pelanggaran. Mengenai anak-anak yang ditahan karena menunggu proses peradilan,
secara normatif penahanan terhadap anak-anak yang disangka atau dituduh telah
melakukan pelanggaran hukum pidana hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir dan dalam waktu sesingkat mungkin
dengan jaminan pemenuhan atas semua hak-haknya sebagai orang yang ditahan dan hakhaknya sebagai anak. Hak-hak anak yang ditahan di antaranya adalah hak untuk
diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah, hak memperoleh semua bantuan yang
diperlukan dalam setiap tahapan peradilan, ditahan dalam tempat yang khusus untuk
anak, dipisahkan dari terpidana dan hak pemenuhan kebutuhan khusus sesuai dengan
usia dan jenis kelaminnya.74
Sedangkan yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah bagian dari tata
peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara dan
bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu (dilaksanakan
bersama-sama dengan aparat penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah
menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik. Orang yang
dipenjara berarti siapa pun yang dirampas kebebasan pribadinya sebagai akibat hukuman
karena suatu pelanggaran. Dalam perkara anak, putusan pidana penjara adalah pilihan
terakhir dan harus diputuskan dengan amat hati-hati dengan pertimbangan yang seksama
bahwa tidak ada alternatif lain yang memadai untuk merehabilitasi anak pelaku
72 Nancy D. Erbe, Appraising Surge in Legal Scholarship Regarding Restorative Justice and Discovering Lenses to the South: Is Global
Criminal Justice Necessarily Different Than United States Ideal?, Straus Institute for Dispute Resolution, Pepperdine University School of Law,
2005, hal.14
73 www.restorativejustice.org : What is Restorative Justice?
74 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini, op. cit, hal.124
43
pelanggaran hukum pidana. Terhadap anak-anak ini telah diberikan hak atas jaminan
standar perlakuan minimum orang-orang yang dipidana penjara dan haknya sebagai anak.
Hak tersebut di antaranya adalah hak ditahan di tempat yang khusus bagi anak dan
jaminan bahwa anak-anak ini memperoleh manfaat atas program-program kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga, hak untuk tidak menjadi sasaran hukuman dan penganiayaan
dan jaminan atas kebutuhan-kebutuhannya yang khas sesuai umur, jenis kelamin,
pelanggaran dan minatnya.75
Namun realita berbicara lain, institusi penahanan dan pemasyarakatan menjadi
tempat di mana anak-anak mendapatkan kekerasan dari negara melalui aparatisnya dan
kekerasan akibat pola relasi yang tidak setara. Kekerasan pertama bersifat horisontal,
sedangkan kekerasan yang disebut kemudian bersifat horisontal. Perpektif Galtungian,
menyebut kekerasan oleh negara merupakan kekerasan struktural yang bersumber pada
kebijakan. Kekerasan langsung sumbernya berasal dari perilaku komunitas itu sendiri.
Kekerasan struktur di Lapas Anak dapat ditunjukkan kasus di bawah ini :
80% Hunian Lapas di Indonesia Lebihi Kapasitas
Sekitar 80% Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan (Rutan) di Indonesia,
tingkat huniannya melebihi kapasitas.
"Tingkat hunian lapas mencapai 40% sampai 30% di atas kapasitas yang tersedia, bahkan
ada lapas yang kapasitasnya untuk 300 orang terpaksa harus dihuni oleh 800 napi," kata
wakil Komisi III DPR-RI, M Akil Mochtar, SH di Denpasar, Senin (11/07).
Ketika berdialog dengan utusan instansi terkait yang dipimpin Wakil gubernur Bali, IGN Kesuma Kelakan,
M. Akil menambahkan ada sejumlah Lapas harus tidur secara bergantian pada malam hari
akibat ruangan yang sangat sempit.
Jika kondisi demikian dibiarkan berlarut-larut, bisa jadi melanggar HAM. Untuk itu
Pemerintah propinsi dan kabupaten hendaknya dapat mengatasi masalah tersebut dengan
baik.
M. Akil dalam kunjungan ke Bali bersama 13 wakil rakyat lainnya mengaku, dalam kunjungannya ke
sejumlah daerah antara lain Jatim, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Palembang, Batam, Riau dan Kaltim.
Langkah yang perlu diambil pemerintah dengan memperbesar anggaran Departemen
75 ibid
Kehakiman dan HAM. tambahan anggaran departemen tersebut bisa dimanfaatkan untuk
menambah bangunan Lapas.
44
Penambahan dana merupakan salah satu solusi untuk mengatasi persoalan Lapas, agar kondisinya tidak
semakin parah.
Sumber : www.kapanlagi.com/h/0000072105.html (11 Juli 2005)
Wujud kekerasan lain dari negara tergambar pada paparan berikut ini :
Negara Ngutang Rp80 Miliar untuk Makan Napi
Untuk kepentingan konsumsi atau makan sehari-hari bagi para narapidana (napi) di seluruh
Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia, negara masih harus ngutang sebesar kurang
lebih Rp80 miliar.
Utang kepada rekanan Departemen Hukum dan HAM sebesar itu, tercatat selama enam bulan
ini, kata Wakil Ketua Komisi III DPR M Akil Mochtar SH MH, ketika dicegat wartawan di Denpasar, Senin
(11/07).
Usai melakukan pertemuan dengan jajaran Polda Bali, Akil menyebutkan, pihak Depkum dan HAM
terpaksa ngutang dulu kepada rekanannya, sehubungan dana untuk itu belum turun dari
pemerintah.
Wakil Ketua Komisi III mengungkapkan, cukup besarnya beban hutang hanya untuk konsumsi
napi selama enam bulan itu, antara lain juga disebabkan oleh over capasity-nya LP yang ada
di Indonesia.
Nyaris seluruh LP yang ada di Indonesia, kini tercatat menampung penghuni yang melebihi
kapasitas sebenarnya. "Ada LP yang over capasity lebih dari 50% dari yang distandarkan,"
ungkapnya.
Akibatnya, jatah makan yang seharusnya diperuntukkan untuk 100 orang pada satu LP,
misalnya, kemudian terhitung harus memberi makan kepada napi yang jumlahnya lebih
banyak dari 100.
Sumber : www.kapanlagi.com/h/0000072110.html (11 Juli 2005)
Pola pelanggaran tersebut, pasti juga menimpa anak-anak yang berada pada LAPAS,
karena kondisi tersebut terjadi pada semua rutan/lapas di seluruh tanah air. Dengan
demikian kondisi over capacity yang berdampak pada ancaman terpenuhinya hak asasi
juga dialami oleh anak-anak yang menghuni LAPAS. Kondisi LAPAS Anak yang over
capacity tergambar di bawah ini :
a) LPA Anak Tangerang terpaksa menampung 343 anak laki-laki dengan rentang usia
jauh, 12 hingga 26 tahun. Padahal, kapasitas LP Anak Tangerang hanya 220 anak.
Akibatnya sel berukuran 1x1,5 meter yang seharusnya hanya untuk satu anak, kini
terpaksa dihuni 3 anak tanpa alas.76
b) Rutan Pondok Bambu yang idealnya menampung 504 orang ternyata kini dihuni
854 tahanan perempuan dan 364 anak laki-laki, yang variasi umurnya 14 hingga 22
tahun.77
76
77
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124.htm
ibid
45
c) Rutan Kebon Waru, narapidana yang masih dalam kategori anak menjadi warga
rutan berama para napi dewasa. Para tahanan anak ada ruangan seluas 5x10 meter
yang diisi 22 tahanan anak. Rutan ini berpenghuni 1.482 orang, melebihi batas
kapasitas daya tampung 780 orang.78
Kondisi over capacity tersebut, berimplikasi terhadap akses pemenuhan hak-hak anak
yang lain seperti: jaminan ketersediaan pangan yang layak dan memadai, air bersih,
pakaian, tempat tidur, sanitasi, kesehatan, pendidikan, privasi.
Kehidupan Penjara Anak
Di Lembaga Pemasyarakatan dan rutan sangat rawan ditemukannya masalah-masalah
yang berkaitan dengan kesehatan. Kesehatan yang dimaksud tentunya adalah soal
kesehatan fisik dan psikis. Semua tekanan yang ada di LP, kekurangan kualitas fasilitas,
dan makin padatnya penghuni LP jadi penyebab utama "sakitnya" para anak penghuni LP.
"Sakitnya pasti ada dua, fisik dan psikis. Secara fisik adalah sakit kepala, sesak napas sehingga makan jadi
enggak enak, akhirnya sakit perut dan menjadi stres. Secara psikis jadi sering melamun, marah-marah
tidak karuan dan tidak tahu apa masalahnya. Ini bisa depresi tinggi. Kalau enggak tertahan, bisa
78 www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
menyerang kita, dia bisa bunuh diri. Nah, pelayanannya ini harus personal approach," ujar Pak Ayumi.
46
Data mengejutkan lainnya datang dari Rutan
Kebon Waru. Menurut data yang terkumpul
dari Paguyuban Ragi Bandung bekerja sama dengan LAHA bulan Maret 2003, dari 102
narapidana anak dan dewasa yang dilayani kesehatannya, terdapat penyakit kulit menular
(scabies) atau yang biasa disebut buduk mencapai 90 persen, sedangkan penyakit lainnya
adalah infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), pusing-pusing, dan lain-lain.
Disparitas usia yang juah berbeda (usia 10 tahunan – usia 20 tahunan) diantara penghuni
LAPAS Anak, selain Over capacity juga menjadi faktor terjadinya kekerasan seksual yang
dialami oleh anak di LAPAS.
Kekerasan Seksual di Penjara Anak
MESKI sudah empat tahun lalu dibebaskan dari penjara, Danang (19) tidak juga mampu
melupakan wajah penuh kesakitan anak
47 laki-laki yang secara seksual disiksa dua rekan
satu selnya. Lengkingan kesakitan anak itu-saat dua pria yang berusia 20-an tahun
memasukkan (maaf) alat kelamin mereka secara bergantian ke dubur anak berusia 10
tahun itu-pun sulit ia lupakan. Hingga kini, perasaan bersalah terus saja menghinggapi.
SAYA WAKTU itu ingin bantu itu, Mbak, tapi saya takut. Saya pasti dihajar kepala dan
teman-teman satu sel kalau berani membantu anak itu,? tutur Danang saat dijumpai di
Jika situasi dan kondisi ini dibiarkan terus berlangsung negara telah mengingkari
ketentuan hukum internasional sebagai berikut :
a) Beijing rules :
1) Butir 26.2. : Anak-anak yang berada di lembaga-lembaga pemasyarakatan akan
menerima perawatan, perlindungan dan semua bantuan yang diperlukan –sosial,
pendidikan, keterampilan, psikologis, pengobatan dan fisik– mungkin mereka
diperlukan karena usia, jenis kelamin dan kepribadian mereka dan demi
kepentingan keseluruhan pertumbuhan mereka
2) 27.2. Upaya-upaya akan dilakukan untuk melaksanakan sejauh mungkin prinsipprinsip yang relevan yang telah ditetapkan dalam Peraturan-Peraturan Minimum
Standar bagi Perlakuan terhadap Narapidana agar dapat memenuhi kebutuhankebutuhan anak-anak yang khususnya sesuai usia, jenis kelamin dan kepribadian
mereka.79
b) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1) Butir 3 : Peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk menetapkan standarstandar minimum yang dapat diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi
perlindungan para anak yang kehilangan kebebasannya dalam segala bentuk, yang
konsisten dengan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar, dan
dengan maksud meniadakan pengaruh-pengaruh merugikan dari semua jenis
penahanan dan untuk membina pengintegrasian dalam masyarakat.
2) Butir 12 : Menghilangkan kebebasan harus dikenakan pada kondisi-kondisi dan
keadaan-keadaan yang menjamin penghormatan hak-hak asasi manusia para anak.
Para anak yang ditahan pada fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus dijamin
mendapatkan manfaat dari kegiatan-kegiatan dan program-program yang berarti,
yang akan berfungsi untuk memajukan dan mempertahankan kesehatan dan harga
diri mereka, untuk membina rasa tanggung jawab dan mendorong sikap-sikap dan
keterampilan-keterampilan yang akan membantu mereka dalam mengembangkan
potensi mereka sebagai anggota-anggota masyarakat.
Penjelasan butir ini menyatakan beberapa perlindungan dasar yang mencakup pelanggar-pelanggar hukum berusia anak
yang ditahan di lembaga-lembaga pemasyarakatan terkandung dalam Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi Perlakuan
terhadap Narapidana (penginapan, arsitektur, perlengkapan tempat tidur, pakaian, pengaduan-pengaduan dan permohonanpermohonan, kontak dengan dunia luar, makanan, perawatan pengobatan, ibadah keagamaan, pemisahan berdasarkan usia,
susunan petugas, pekerjaan, dll.). Tidak akan layak merubah peraturan-peraturan minimum standar itu menurut ciri-ciri khusus
dari lembaga-lembaga pemasyarakatan pelanggar-pelanggar hukum berusia anak di dalam lingkup peraturan-peraturan hukum
berusia anak di dalam lingkup Peraturan-Peraturan Minimum Standar bagi Administrasi Peradilan bagi Anak.
79
48
3) Butir 13 : Para anak dihilangkan kebebasannya tidak boleh, untuk alasan apa pun
yang berkaitan dengan status mereka, diingkari hak-hak sipil, ekonomi, politik
sosial atau budaya yang berhak mereka miliki berdasarkan hukum nasional
ataupun internasional dan yang sesuai penghilangan kebebasannya.
4) Butir 31 : Anak-anak yang kehilangan kebebasannya mempunyai hak akan
fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan yang memenuhi semua persyaratan
kesehatan dan harga diri manusia.
5) Butir 32 : Rancang-bangun fasilitas pemasyarakatan untuk anak dan lingkungan
fisiknya harus sesuai dengan tujuan rehabilitasi pengasuhan di tempat tinggal,
dengan perhatian yang seimbang terhadap kebutuhan anak akan privasi.
6) Butir 33 : Akomodasi-akomodasi untuk tidur umumnya harus terdiri dari bangsalbangsal tidur untuk kelompok-kelompok kecil atau kamar-kamar individual,
dengan mempertimbangkan nilai-nilai setempat. Selama jam-jam tidur harus
terdapat pengawasan yang teratur, tidak mengganggu terhadap sesama daerah
tempat tidur, termasuk kamar-kamar individual dan bangsal-bangsal kelompok,
agar dapat menjamin perlindungan setiap anak. Setiap anak harus, sesuai dengan
standar-standar setempat atau nasional, disediakan perlengkapan tempat tidur
yang terpisah dan cukup, yang harus dalam keadaan bersih saat diberikan, dirawat
dan cukup sering diganti untuk menjamin kebersihan.
7) Butir 34 : Tempat-tempat sanitasi harus ditempatkan sedemikian rupa dan
berstandar cukup untuk memungkinkan setiap anak untuk, sebagaimana
dibutuhkan, membuang hajat dalam keprivasian dan dalam cara yang bersih dan
pantas.
8) Butir 35 : Pemilikan barang-barang pribadi adalah unsur dasar hak privasi dan
penting untuk kesejahteraan anak. Hak setiap anak untuk memiliki barang-barang
pribadi dan untuk barang-barang itu harus sepenuhnya diakui dan dihormati.
9) Butir 36 : Sejauh mungkin, anak harus mempunyai hak untuk menggunakan
pakaiannya sendiri. Fasilitas-fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa
setiap anak memiliki pakaian pribadi yang sesuai dengan iklim dan cukup untuk
menjamin kesehatan yang baik, dan yang tidak boleh merendahkan atau
memalukan.
10) 37. Setiap fasilitas pemasyarakatan harus menjamin bahwa setiap anak menerima
makanan yang disiapkan secara pantas dan disajikan pada waktu-waktu makan
yang normal dan berjumlah serta bermutu cukup untuk memenuhi standar diet,
kebersihan dan kesehatan, serta sejumlah mungkin persyaratan-persyaratan
keagamaan dan budaya. Air minum bersih harus tersedia bagi setiap anak pada
setiap saat.
11) Butir 41 : Setiap anak patut menerima perawatan kesehatan yang memadai, baik
pencegahan maupun pemulihan, termasuk perawatan gigi, mata, kejiwaan,
maupun produk-produk farmasi dan diet-diet khusus sesuai petunjuk dokter.
Semua perawatan kesehatan tadi harus, sedapat mungkin, diberikan pada anak
yang ditahan melalui fasilitas-fasilitas dan pelayanan-pelayanan kesehatan
masyarakat yang layak di mana terletak fasilitas pemasyarakatan, untuk mencegah
pencederaan anak itu dan mengembangkan harga diri dan integrasi dengan
masyarakat.
c) KHA :
1) Pasal 37 huruf (c) : Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan
manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat, dan dalam suatu
cara dan mengingat akan kebutuhan-kebutuhan orang pada umurnya. Terutama,
setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa
49
kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak dan harus
mempunyai hak untuk mempertahankan kontak dengan keluarga melalui suratmenyurat dan kunjungan, kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa
2) Pasal 39 : Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis dan integrasi kembali sosial
seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi atau
penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun,
tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, atau konflik bersenjata.
Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus berlangsung dalam suatu
lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri dan martabat si anak.
3) Pasal 40
 Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai
tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk
diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa
penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan
anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orangorang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk
meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran
konstruktif dalam masyarakat.
 Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah,
penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan programprogram pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan
kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani
dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan
dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu.
d) Kovenan Hak Sipil dan Politik :
1) Pasal 10
 Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri
manusia.
 Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana.
Muara permasalahan over capasity sebagai terurai di atas bersinggungan dengan ranah
politik hukum dan politik kebijakan anggaran publik. Muara pertama disebabkan karena
child protection paradigm dan konsep restorative justice
tidak dijadikan basis
pembentukan perundang-undangan yang mengatur sistem peradilan pidana anak.
Padahal ketentuan-ketentuan berikut seharusnya mengikat secara hukum (legal binding)
untuk dipatuhi oleh pemerintah Indonesia :
a) Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya :
1) Butir 5 : Peraturan-peraturan ini dirancang untuk digunakan sebagai standar
rujukan yang sesuai dan untuk memberikan dorongan dan tuntunan bagi para
praktisi yang terlibat dalam pengelolaan sistem peradilan bagi anak.
2) Butir 7 : Di mana sesuai, negara-negara harus memasukkan peraturan-peraturan
ini ke dalam perundang-undangan mereka atau menyesuaikannya dan
memberikan jawaban-jawaban yang efektif jika dilanggar, termasuk ganti rugi jika
terjadi cidera pada anak. Negara-negara juga harus mengawasi pelaksanaan
peraturan-peraturan ini.
b) Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (Riyadh Guidelines)
50
1) Butir 5 : Agar diakui kebutuhan akan dan pentingnya kebijakan-kebijakan
progresif mengenai pencegahan tindak pidana dan studi sistematis serta
penjabaran terhadap upaya-upaya. Agar dihindari kriminalisasi (criminalizing)
dan penalisasi (penalizing) atas suatu perilaku anak yang tidak menyebabkan
kerugian serius terhadap perkembangan anak atau membahayakan orang lain.
2) Butir 5 huruf b : Filosofi dan pendekatan-pendekatan yang khusus mengenai
pencegahan tindak pidana, berdasarkan undang-undang, proses, institusi-institusi
dan jaringan pelayanan jasa yang ditujukan untuk mengurangi motivasi, keutuhan
dan peluang atau kondisi-kondisi yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
3) Butir 5 huruf d : Perlindungan kesejahteraan, perkembangan, hak-hak dan
kebutuhan-kebutuhan seluruh anak;
4) Butir 52. Pemerintah-pemerintah agar menyusun dan menegakkan prosedur dan
undang-undang khusus dalam rangka memajukan dan melindungi hak-hak dan
kesejahteraan anak.
c) KHA :
1) Pasal 3 :
 Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa
administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak
harus merupakan pertimbangan utama
 Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan,
dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang
anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh
para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan,
dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang
berwenang.
2) Pasal 4
Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan
tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi
ini. Mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak
harus melakukan tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum
mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam
kerangka kerjasama internasional
3) Pasal 19
 Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif,
sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk
kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau
perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan
seks selam dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain
manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.
 Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya
mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan programprogram sosial untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang
mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk
pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan,
pemeriksaan, perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk
terhadap anak yagn digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya,
untuk keterlibatan pengadilan.
 Pasal 40 ayat (3) . Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan
pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga51
lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai,
dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama:
o Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak
dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
o Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani
anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan
pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan
hukum dihormati sepenuhnya;
d) Kovenan Hak Sipil dan Politik :
1) Pasal 2 ayat (2) : Apabila belum diatur dalam ketentuan perundang-undangan atau
kebijakan lainnya yang ada, setiap Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk
mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya
dan dengan ketentuan - ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan
ketentuan perundang-undangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk
memberlakuka hak-hak yang diakui dalam Kovenan
Muara kedua berpangkal pada anggaran publik yang ditetapkan pemerintah.
Mustahil anak-anak yang berkonflik dengan hukum terpenuhi hak-haknya apabila alokasi
anggarannya tidak tersedia. KHA secara khusus mengamanatkan kewajiban ini. Pasal 4
menyatakan bahwa Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif,
administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam
Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak
harus melakukan tindakan-tindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum
mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam
kerangka kerjasama internasional. Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak
Pidana Anak (Riyadh Guidelines) Butir 52 menetapkan kewajiban serupa, pemerintahpemerintah agar menyusun dan menegakkan prosedur dan undang-undang khusus dalam
rangka memajukan dan melindungi hak-hak dan kesejahteraan anak.
Hak atas pendidikan sebagai prasyarat fundamnetal untuk dapat menikmati hakhak yang lain karena. Selain itu pendidikan juga penting karena akan memperkuat hak
asasi manusia.80 Namun anak-anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan dan
rutan terancam tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Dalam penikmatan hak atas
pendidikan anak-anak ini mendapatkan perlakuan yang berbeda (diskriminatif). Hanya
anak-anak yang menghuni Lapas Anak Tangerang yang bisa memperoleh pendidikan dari
sekolah di dalam lapas. Namun bagi anak-anak yang dihukum di Rutan Pondok Bambu,
serta banyak LP maupun Rutan lain, mereka terpaksa harus putus sekolah. 81 Konsep
Rutan Kebon Waru yang berbeda dengan Lapas menjadi alasan mengapa rutan Kebon
Waru tidak menyelenggarakan pendidikan bagi tahanannya.82 Seharusnya perlakuan
diskriminasi ini tidak perlu terjadi karena KHA ditegakkan atas prinsip non diskriminasi.
Beijing Rules, butir 2.1. Tertutupnya akses untuk mendapatkan hak atas pendidikan
merupakan pengingkaran Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan
Kebebasannya, Butir 38-39.
Permasalahan lain akan terus melingkupi anak yang berkonflik dengan dan juga
sekaligus berpotensi melanggar hak anak jika pola pemidanaan tetap menjadi mind set
dalam menangani perkara anak. Jika mengikuti logika peradilan umum, maka anak akan
menjalani masa dicerabut kebebasannya pada institusi berikut:
Manfred Nowak, Hak ata Pendidikan dalam Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta, Elsam, 2001, hal. 212-213
www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/nasional/61124/html.
82 www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
80
81
52
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Tahanan kepolisian  pembuatan BAP
Tahanan kejaksaan  penuntutan
Tahanan pengadilan negeri  pengadilan tingkat pertama
Tahanan pengadilan tinggi  pengadilan tingkat banding
Tahanan Mahkamah Agung  pengadilan tingkat kasasi
Pemasyarakatan  menjalani eksekusi putusan hakim
Selama proses tersebut berlangsung, realita yang terjadi adalah :
1) Bercampur dengan orang dewasa
Anak yang ditempatkan dalam lembaga penahanan adalah anak-anak yang menjalani
masa penahanan sebelum persidangan atau sebelum perkaranya memiliki ketetapan
hukum.Sedangkan anak yang menjalani seringkali ditahan bersama orang-orang
dewasa. Kondisi Rutan Kebon Waru, menggambarkan situasi ini, anak-anak yang
ditahan membaur dalam satu lingkungan dengan tahanan dewasa. 83 Kemungkinan
pada saat anak-anak menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan anakanak juga bercampur dengan narapidana dewasa. Keterbatasan jumlah lembaga
pemasyarakatan anak di Indonesia bisa menjadi pembenar asumsi ini. Berikut daftar
lembaga pemasyarakatan anak di Indonesia (2002):84
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Lapas
Lapas Anak Medan
Lapas Anak Tanjung Pati
Lapas Anak Pekanbaru
Lapas Anak Muara Bulian
Lapas Anak Palembang
Lapas Anak Kota Bumi
Lapas Anak Pria
Lapas Anak Wanita
Lapas Anak Kutoarjo
Lapas Anak Blitar
Lapas Anak Sungai Raya
Lapas Anak Pontianak
Lapas Anak Martapura
Lapas Anak Pare-Pare
Lapas Anak Tomohon
Lapas Anak Gianyar
Lapas Anak Kupang
Propinsi
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Lampung
Tangerang
Tangerang
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Utara
Bali
Nusa Tenggara Timur
Keterbatasan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagaimana dengan nasib anakanak yang berkonflik dengan hukum yang mendiami propinsi, kabupaten dan kota
yang tidak ada fasilitas LAPAS anak ? Mengingat saat ini jumlah wilayah administrasi
di Indonesia yang terdiri dari 33 propinsi, 349 kabupaten, dan 91 kota.85 Kondisi ini
jelas merupakan ancaman besar terhadap pemenuhan hak-hak anak yang berperkara
pidana.
2) Mengalami kekerasan fisik dan penyiksaan
www.kompas.com/kompas-cetak/0411/26/muda/1400764.htm
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini, op. cit, lampiran 1
85 http://id.wikipedia.org/wiki/Jumlah_Wilayah_Administratif_di_Indonesia
83
84
53
Penyiksaan sebagai salah satu manifestasi tindak kekerasan merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Disiplin hak asasi manusia
mengkategorikan hak bebas dari penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi
dalam kondisi apapun (non-deragable rigths).86 Instrumen hukum hak asasi manusia
telah mengatur kewajiban negara untuk melindungi setiap warga negaranya dari
penyiksaan. Bahkan telah diatur dalam konvensi tersendiri berdasarkan tematic issue
(sui generis).
Dalam konteks anak yang berada pada institusi negara, yakni LAPAS dan rutan, kekerasan
yang dialami berasal dari sesama penghuni (horisontal) maupun dilakukan oleh aparat
(vertikal). Keduanya bersumber dari ketidaksetaraan relasi diantara para pihak.
Kekerasan horisontal bersumber dari relasi antara penghuni yang senior (penghuni lama)
vs yunior. Sedangkan kekerasan vertikal anak berhadapan vis a vis dengan pemegang
otoritas di lembaga pemasyarakatan. Kedua kekerasan ini berdimensi kekerasan langsung
dan kekerasan kultural. Sedangkan kekerasan vertikal selain berdimensi kekerasan
langsung dan kultural, mempunyai dimensi yang spesifik karena bersinggungan dengan
institusi yang dilekati otoritas.
Praktek-praktek kekerasan yang terjadi di LAPAS Anak pada dasarnya dipergunakan
sebagai mekanisme tawar menawar untuk mendapatkan “kenyamanan” di penjara.
Petugas dan penghuni berkolaborasi dalam menjalankan bisnis jasa keamanan. Artinya
untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan dan mendapatkan fasilitas di
penjara, orang tua anak harus membayar sejumlah uang. Realita berikut menjadi fakta
bahwa kekerasan memang didesain oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan
keuntungan.
Premanisme di Lembaga Pemasyarakatan
Sama seperti kehidupan di luar, duit memang berkuasa. Mulai dari orangtua yang hendak
menjenguk anaknya hingga untuk bisa mendapatkan kasur tipis ataupun bantal, semua
dapat diatasi dengan duit. Kondisi ini terjadi hampir di semua penjara, termasuk penjara
anak.
Untuk bisa masuk ke dalam lingkungan penjara, orangtua harus membayar uang kepada
penjaga di pintu gerbang. Jumlahnya bervariasi, tergantung kebijakan penjaga-penjaga itu.
Sesampai di dalam pun, para orangtua harus meninggalkan uang jika mereka tidak mau
anak-anaknya dikasari kelompok-kelompok preman yang ada di dalam. Buah tangan yang
dibawa anggota keluarga pun kerap hilang di tengah jalan.
"Misalnya orangtua kasih Rp 100.000 saja, ya, yang sampai ke anak paling banyak Rp 10.000. Itu sudah
bagus tuh segitu, bahkan sering kali kurang dari itu. Hilangnya, ya, di tengah jalan. Ada di petugas, ada
pula di kelompok-kelompok preman yang beroperasi di dalam blok," tutur salah seorang petugas. Bisnis
tak hanya ada di luar tembok penjara, tetapi juga di dalam penjara. Bisnis yang
dipraktikkan beragam, mulai dari menjual kasur dan bantal, lemari kecil yang terbuat dari
papan bekas yang dijual seharga Rp 35.000, rokok, sayur oncom, kerupuk, hingga karpet
plastik. Barang dagangan para petugas ini mereka titipkan kepada anak-anak dengan
sistem komisi
Sumber : http://www.kompas.com/kompascetak/0310/08/utama/612732.htm
86
Lihat Pasal 4 Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
54
Dalam perspektif hak asasi manusia kekerasan dan penganiayaan di lembaga
pemasyarakatan merupakan pelanggaran hak anak yang dilakukan melalui tindakan (act
by commission) maupun pembiaran (act by ommission). Kekerasan yang dilakukan oleh
negara di atas, tidak terlepas dari legitimasi yang diberikan oleh UU Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 47 ayat (1) kepada petugas LAPAS. Pasal tersebut
menyatakan Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan
hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan
keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Ketentuan ini akan
memberikan wilayah diskresi yang luas terhadap petugas LAPAS memberikan hukuman
dengan dalih menegakkan disiplin dan tata tertib LAPAS. Bahkan sampai saat ini bentukbentuk penghukuman yang tidak manusia dan menghina martabat anak masih sering
dipraktekkan. Hukuman isolasi diruang tertutup masih digunakan sebagai alat
mendisplinkan penghuni LAPAS. Bagi para penghuni LAPAS baru dimasukkan ruang
karantina untuk proses adaptasi.
Adaptasi ala Lapas Anak Tangerang
Para pendatang baru, seperti 69 orang anak yang baru saja dilimpahkan oleh Rumah Tahanan
Negara (Rutan) Pondok Bambu, Sabtu (27/9), juga merasakan kemerdekaan sebagai sesuatu
yang sangat mahal harganya.
Kata mahal ini bukan hanya bermakna konotatif, tetapi juga denotatif. Artinya, untuk bisa
keluar dari sel karantina, mereka harus mengeluarkan uang untuk sekadar bisa merasakan
nikmatnya sinar matahari, birunya langit, atau nyamannya duduk di rumput.
"Kalau sudah dua minggu, kalian bilang ya sama petugas. Sebab, itu batas waktu kalian di
dalam," kata Eddy Prayitno, Kepala Seksi Kegiatan Kerja, kepada puluhan anak yang berada
dalam sel karantina. Saat itu Edi menemani Kompas berkunjung ke sel-sel yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan (LP) Anak Tangerang, kemarin.
Sebagai pendatang baru, mereka terpaksa dikarantina dulu. Mereka sama sekali
tidak boleh keluar dari sel. Tidur, mandi, buang air besar, hingga bermain harus
mereka lakukan di dalam sel karantina. Namanya memang kamar mandi, tetapi
nyatanya hanya terdiri atas sebuah keran yang disambung dengan selang pendek. Air yang
keluar pun tidak deras.Tujuan mereka dimasukkan ke dalam sel karantina semula
untuk proses adaptasi pendatang baru terhadap LP Anak Tangerang. Idealnya
cuma satu minggu, tetapi pada praktiknya bisa berbulan-bulan.
Sumber : www.kompas.com/kompas-cetak/0310/08/utama/612732.htm
IV. Penutup
Kekerasan oleh negara terhadap anak yang menghadapi sistem peradilan pidana anak
berdasarkan paparan di atas. tidak terlepas dari berbagai faktor berikut :
1) Tidak jelasnya arah politik hukum Pemerintah RI dalam mengimplementasikan ketentuan
hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Ketidakjelasan ini diterjemahkan
dalam produk hukum yang secara substansif malah bertentangan dengan sumber rujukan
yuridisnya. Pertentangan ini salah satunya bersumber dari dianutnya paradigma
perspektif partikularisme pembuat undang-undang dalam memaknai hak asasi manusia.
Paradigma yang dikedepankan Negara Indonesia memiliki perspektif yang lain dalam
memaknai hak asasi manusia yakni bersumber pada budaya bangsa Indonesia
2) Substansi produk hukum yang menyimpang tersebut, pada akhirnya dijadikan rujukan
bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam menegakkan
55
sistem peradilan pidana anak. Akibatnya terjadi praktek-praktek pelanggaran hak anak
yang sistematis dan terstruktur.
V. Rekomendasi
1) Implementasi hukum hak asasi internasional tidak cukup hanya pada ranah substansi
hukum, namun ranah tata laksana (struktur) hukum dan ranah budaya hukum juga perlu
mendapatkan perhatian yang sama. Namun demikian amandemen produk hukum yang
mengimplementasikan instrumen hukum internasional yang secara substansi masih
menyimpang perlu dilakukan segera. Langkah ini sangat signifikan untuk merubah
praktek-praktek aparat penegak hukum yang bertanggungjawab dalam mewujudkan
sistem peradilan pidana anak.
2) Mengadopsi konsep restorative justice dalam suatu produk hukum yang mengatur secara
khusus sistem peradilan pidana anak
3) Menaikkan anggaran publik yang layak yang secara khusus ditujukan untuk memenuhi
hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum
4) Memperbanyak lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan anak sesuai dengan jumlah
kabupaten/kota di Indonesia
5) Membuat mekanisme pengawasan dan sanksi hukum bagi semua aparat yang
bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan anak berbasis hak asasi anak
56
Download