qwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwerty uiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasd fghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzx cvbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq AKSESBILITAS HAK ATAS PENDIDIKAN wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui ALGHIFFARI AQSA, S.H. opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmqwertyuiopasdfghjklzxc vbnmqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmq wertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyui opasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopasdfg hjklzxcvbnmrtyuiopasdfghjklzxcvbn mqwertyuiopasdfghjklzxcvbnmqwert yuiopasdfghjklzxcvbnmqwertyuiopas 1/1/2009 DEPOK BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Alinea ke-4 jelas dikatakan bahwa salah satu cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kemudian dalam 31 UUD NRI tahun 1945 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Hal tersebut dapat diartikan bahwa hak atas pendidikan merupakan hak dasar dan hak konstitusional setiap warga Negara dimana Negara bertanggungjawab menyediakan hak dasar tersebut. Selain diatur dalam konstitusi, hak atas pendidikan juga diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana pada Pasal 12 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”. Serta dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya pada Pasal 13 ayat (1) dikatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Diaturnya hak atas pendidikan dalam konstitusi negara Indonesia dan berbagai peraturan perundang-undangan dikarenakan pendidikan merupakan aspek penting dalam sebuah bangsa dimana kemajuan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan warga negaranya, bahkan kemerdekaan Indonesia terwujud setelah rakyat Indonesia diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan sehingga memiliki kesadaran untuk merdeka dan memiliki strategi dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pendidikan juga merupakan elemen yang memiliki beban yang sangat berat karena berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi peradaban bangsa ditentukan oleh pendidikan. 2 Kendati telah diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya dimana negara wajib menyediakan pendidikan bagi warga negaranya, saat ini masih banyak terdapat warga negara yang tidak bisa menikmati pendidikan, tidak mampu membayar untuk bisa menikmati pendidikan, berhenti sekolah/kuliah karena tidak mampu, menjadi miskin dan terjerat hutang demi membiayai pendidikan, bahkan banyak pula yang bunuh diri karena frustasi tidak sanggup membayar biaya pendidikan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana keseriusan pemerintah dan apa saja langkah yang telah dilakukan serta bagaimana fakta riil di masyarakat mengenai hak atas pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh warga negara sesuai dengan UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 11 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. B. POKOK PERMASALAHAN Adapun pokok permasalahan dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah Hak Atas Pendidikan diatur dalam instrumen hukum nasional dan internasional. 2. Bagaimanakah kondisi riil dari pemenuhan hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. 3. Sejauh mana pendidikan mampu diakses secara ekonomi oleh warga negara Indonesia. C. TUJUAN PENELITIAN Dalam penelitian ini, penulis membagi tujuan penelitian menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. C.1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum penelitian adalah memberikan sumbangsih pemikiran dalam ranah hak asasi manusia, terutama dalam hak atas pendidikan. C.2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah menjawab pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Hak Atas Pendidikan diatur dalam instrumen hukum nasional dan internasional. 2. Bagaimanakah kondisi riil dari pemenuhan hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. 3. Sejauh mana pendidikan mampu diakses oleh warga negara Indonesia. 3 D. METODOLOGI PENELITIAN Ada dua sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan cara penelitian langsung ke lapangan melalui penyebaran angket. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat melalui penelusuran literatur buku-buku, berita, laporan penelitian, regulasi dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan hak atas pendidikan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Bertujuan untuk mendapatkan data sekunder melalui penelusuran literatur, peraturan perundang-undangan, instrumen hukum internasional, kebijakan pemerintah serta informasi lain yang terkait. 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Bertujuan mendapatkan data sekunder melalui penyebaran angket yang berisikan 10 pertanyaan terkait hak atas pendidikan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif untuk mengasilkan data deskriptif. Penelitian ini memfokuskan masalah pada bagaimana ketentuan mengenai akses hak atas pendidikan dan implementasinya oleh pemerintah. E. PELAKSANAAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama 3 hari pada tanggal 9-11 Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Jakarta dan Depok, serta memanfaatkan situs jejaring di internet (Facebook),sehingga mampu mendapatkan data dari berbagai wilayah seperti Jawa Barat, Sumatera Barat dan juga daerah lain. F. SISTEMATIKA PENULISAN Peneliti membagi penulisan ke dalam empat bab, yaitu: a. Bab I, yaitu bab pendahuluan yang akan menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, pelaksanaan penelitian, dan sistematika penulisan. b. Bab II, yaitu bab mengenai hak atas pendidikan c. Bab III, yaitu bab mengenai survei aksesbilitas hak atas pendidikan. d. Bab IV, yaitu bab penutup yang akan menyimpulkan hasil penelitian dan mengajukan rekomendasi yang relevan sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan. 4 BAB II HAK ATAS PENDIDIKAN A. AKSESBILITAS EKONOMI HAK ATAS PENDIDIKAN DALAM INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL Adapun instrumen Nasional terkait aksesibilitas ekonomi hak atas pendidikan antara lain yaitu: 1. UUD 1945 hasil amandemen. Hak atas pendidikan di atur dalam Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, setiap warga negara wajib mengikutipendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, pemerintah mengusahakan satu sistem pendidikan nasional dan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan negara dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Diatur juga dalam Pasal 28 C ayat (1) yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan....”. 2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia”. 3. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 4. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Pasal 13 undang-undang menyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang atas pendidikan dan merealisasikan dengan pemenuhan pendidikan dasar bagi semua orang secara cuma-cuma, pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi cuma-cuma secara bertahap, mendorong pendidikan dasar, mengembangkan sistem sekolah yang aktif, sistem beasiswa yang memadai, kesejahteraan guru yang memadai dan kebebasan memilih sekolah dan pendidikan agama. 5 5. UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Sedangkan instrumen Internasional antara lain: 1. Deklarasi Universal HAM Pasal 26 ayat (1): “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan harus gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus diwajibkan. Pendidikan tehnik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua orang, berdasarkan kepantasan”. 2. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966; Hak atas pendidikan (The Right to Education) merupakan salah satu dari 8 hak inti yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966. Indonesia meratifikasi Kovenan ini pada tanggal 30 September 2005 menjadi negara pihak yang terikat dengan seluruh substansi yang diatur dalam Kovenan tersebut. 3. Komentar Umum (General Comments) E/C.12/1999/10 tertanggal 8 Desember 1999 yang dikeluarkan PBB berjudul “implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights” B. PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN Dalam pleminary reportnya (1999) kepada Commission on Human Rights United Nations, pelapor khusus hak atas pendidikan, Katarina Tomasevski, mengemukakan empat ciri (features) yang essensial yang perlu diperhatikan baik untuk primary education (pendidikan dasar), secondary education, maupun higher education. Dalam butir 6 General Comment E/C.12/1999/10, 8 Desember 1999 empat ciri-ciri tersebut adalah: a. Availability (ketersediaan) Berbagai institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai, seperti bangunan dan perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk laki-laki dan perempuan, air minum yang sehat, guru-guru yang terlatih dengan gaji kompetitif, materi-materi pengajaran, serta tersedianya fasilitas-fasilitas perpustakaan, laboratorium komputer dasn teknologi informasi. b. Accessibility (dapat diakses) Berbagai institusi dan program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi. Aksestabilitas mempunyai tiga dimensi karakter umum, yakni: 6 a) Tanpa diskriminasi: pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang, terutama kelompok-kelompok yang paling rentan, secara hukum dan faktual, dan tanpa diskriminasi terhadap kawasan yang dilarang dimanapun. b) Aksesbilitas fisik: pendidikan harus secara fisik aman dan terjangkau c) Aksesbilitas ekonomi; biaya pendidikan harus terjangkau oleh semua orang. Dimensi aksesbilitas ini tunduk pada pasal 13 ayat (2) dalam kaitannya dengan pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan dasar harus bebas biaya bagi semua orang dan negara harus secara progresif memperkenalkan pendidikan menengah dan tinggi yang bebas biaya. c. Acceptability (dapat diterima) d. Adaptability (kesesuaian) Terkait akses ekonomi dan pembiayaan pendidikan, pembiayaan pendidikan tidak lepas dari cara melihat pendidikan barang publik atau privat. Pendidikan sebagai barang publik berarti pemenuhannya tanggung jawab negara. Sebaliknya, sebagai barang privat warga barus membayar guna memperoleh pendidikan. Terkait akses ekonomi dan pembiayaan pendidikan tersebut, Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof. Soediarjo berpendapat konstitusi menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pemerintah negara Indonesia dibentuk guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam negara kesejahteraan, pendapatan negara untuk membiayai pendidikan, kesehatan, pertahanan negara, admnistrasi, dan infrastruktur dasar. Adapun sektor lain adalah sebagai sumber pendapatan. Semangat pendiri negara adalah meniru negara kesejahteraan di Eropa yang membiayai seluruh kebutuhan pendidikan. Pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi dipandang sebagai barang publik. (Kompas Kamis 12 Februari 2009 “Sektor Pendidikan Terabaikan, Sektor Pendidikan Terabaikan”). Melihat pendapat Prof. Soediardjo tersebut seharusnya konstitusi saja sudah cukup untuk memberikan akses pendidikan bagi seluruh warga negara dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi tanpa harus meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jika melihat ketentuan Pasal 13 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, pendidikan dasar harus bebas biaya bagi semua orang dan negara harus secara progresif memperkenalkan pendidikan menengah dan tinggi yang bebas biaya. Jadi cita-cita besarnya adalah pendidikan gratis dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. 7 Namun dalam implementasinya tidak ada satu pun kebijakan mengarah untuk merealisasikan hal tersebut, bahkan mungkin tidak terfikirkan karena masih banyak orang yang beranggapan bahwa pendidikan tinggi harus bayar (lihat hasil survei) bahkan pemerintah dan DPR yang meratifikasi kovenan ini sekalipun. C. KEBIJAKAN TERKAIT AKSESBILITAS EKONOMI HAK ATAS PENDIDIKAN 1. Anggaran Pendidikan 2009 Lebih dari 20% ABPN. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009, Anggaran Pendidikan Melalui Belanja Pemerintah Pusat adalah sekitar 89.5 triliun dan anggaran Pendidikan Melalui Transfer ke daerah sekitar 117.8 triliun. Total sekitar 207, 4 triliun atau sudah mencukupi 20 % seperti yang diamanahkan oleh konstitusi dari total 1030 triliun APBN Indonesia tahun 2009. Hal ini merupakan suatu bentuk keberhasilan dari pemerintah SBY-JK dibandingkan pemerintah sebelumnya walaupun komponen dari anggaran tersebut dapat diperdebatkan. 2. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sedikit membantu akses warga negara terhadap pendidikan dasar, namun faktanya angka putus sekolah tingkat pendidikan dasar masih tetap tinggi. Hal ini dikarenakan biaya pendidikan gratis untuk pendidikan dasar tidak dijalankan dengan benar sampai tingkat sekolah. Selain itu BOS tersebut tidak mampu membantu akses warga negara terhadap pendidikan menengah. 3. Otonomi atau Liberalisasi Pendidikan Adanya otonomi atau liberalisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimulai dilakukan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam UU Sisdiknas dan UU BHP pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk pendidikan menengah pemerintah menanggung sedikitnya 1/3 biaya operasional (Pasal 41 ayat (1) UU BHP), dan untuk pendidikan tinggi pemerintah paling sedikit ½ biaya operasional pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat (6) UU BHP). Artinya negara akan lepas tanggungjawab jika telah menyediakan batas minimal biaya operasional tersebut dan 8 masyarakat tidak dapat menuntut lebih, kekurangan dana menjadi tanggungjawab badan hukum pendidikan. Selain itu dana yang diberikan pemerintah diberikan dalam bentuk hibah dimana badan hukum pendidikan diharuskan kompetetitif dalam mengajukan proposal hibah (Pasal 41 ayat (10) UU BHP), jadi tidak semua badan hukum pendidikan mendapatkan bantuan. Jika ditinjau kebelakang, maka liberalisasi pendidikan berasal dari kesepakatan di General Agreement on Trade in Services (GATS) dimana pendidikan dimasukkan sebagai salah satu sektor jasa sehingga Indonesia harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan tersebut. Oleh karena itu dibentuklah UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU BHP. UU BHP juga muncul dengan adanya program Bank Dunia dengan nama Indonesia Managing Higher Education for Relevance dan Efficiency (IMHERE), dimana Indonesia mendapatkan pinjaman sebesar $50.000.000. Program tersebut bertujuan menjadikan pendidikan lebih evisien tanpa adanya intervensi dari pemerintah dan salah satu kunci indikatornya adalah adanya Badan Hukum Pendidikan. Jadi jelas bahwa tujuan dibentuknya UU BHP adalah untuk melepaskan tanggungjawab Negara terhadap pendidikan atau meliberalisasikan pendidikan, bukan bertujuan menjawab tantangan globalisasi. Akibat dari kebijakan otonomi atau liberalisasi pendidikan tersebut adalah biaya pendidikan akan semakin mahal dan warga negara semakin sulit untuk mendapatkan pendidikan. Contoh konkrit dari adanya kebijakan otonomi dan liberalisasi tersebut adalah mahalnya biaya pendidikan, misalnya di UI bisa mencapai 5 juta persemesester dengan uang pangkal mencapai 200 juta rupiah. Selain itu seleksi masuk perguruan tinggi di UI dilaksanakan dengan tujuan mencari keuntungan dengan melaksanakan berbagai tes seperti Seleksi Masuk UI (SIMAK UI), Ujian Masuk Bersama (UMB), dan Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri. D. FAKTA PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN Berdasarkan data statistic Departemen Pendidikan Indonesia, pada tahun 2006 dari total anak usia sekolah yang ada di Indonesia sebesar 84,353,000 anak, ada sebanyak 34,909,048 anak usia sekolah (5-24 tahun) yang tidak bersekolah, dimana 35,78% diantaranya tidak bersekolah karena alasan kurangnya biaya serta 23,56% harus bekerja baik untuk memenuhi biaya pendidikannya agar tetap dapat bersekolah maupun dipekerjakan oleh orang tuanya untuk menghidupi keluarganya. Drop out siswa SD meningkat sejak 2001-2006 dari 2,66 % - 3,17 %. 9 Menurut survei Nation Master.com, di Indonesia anak pendidikan dasar yang drop out pada tahun 2008 adalah 245,614 per tahun. Indonesia menduduki peringkat 27 dari 126 negara dalam hal drop out. Selain itu, berdasarkan data Unesco Institute for Statistic, pada tahun 2006 hanya 17 % usia pendidikan tinggi yang menikmati pendidikan tinggi dan hanya 60% usia sekolah menengah yang menikmati sekolah menengah. Berdasarkan data Kompas (Kompas Kamis 12 Februari 2009 “Pemilu: Sekolah Masih Menjadi Masalah”), angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa pertahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80%) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolah di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang. Hal tersebut disebabkan karena tidak mampu, lokasi sekolah yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan penting atau tidaknya pendidikan. Berdasarkan survei Kompas tersebut, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, Gorontalo, dan Maluku Utara pada tahun 2007 termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi yang lain. Survei dan statistik diatas membuktikan bahwa faktanya pendidikan masih sulit diakses oleh seluruh warga negara, terutama warga yang tidak mampu secara ekonomi. 10 BAB III SURVEI AKSESBILITAS HAK ATAS PENDIDIKAN A. TABULASI ANGKET MENGENAI AKSESBILITAS HAK ATAS PENDIDIKAN Adapun angket ditujukan kepada 148 orang yang terdiri dari mahasiswa dan sarjana berbagai kampus, baik negeri maupun swasta. Angket diberikan dengan cara dilakukan dengan cara penyebaran langsung di wilayah Jakarta dan Depok, serta juga penyebaran melalui internet (Facebook) sebanyak 75 buah dimana responden banyak berasal dari Jawa Barat, Sumatera Barat dan juga berbagai daerah lain. Adapun pertanyaan angket ini dimulai dari bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia, tingkat kepuasan terhadap pemerintah dalam hal pendidikan, sampai ke aksesibilitas ekonomi hak atas pendidikan. Berikut adalah hasil dari angket: 1. Menurut Anda bagaimanakah kondisi pendidikan Indonesia saat ini? 50.00% 45.00% 40.00% 35.00% 30.00% 25.00% Sangat Buruk 1st 20.00%Qtr 14.86% 15.00% 10.00% 5.00% 0.00% Buruk 43.91% Biasa Saja 24.32% Baik 16.21% Sangat Baik 0.01% 1st Qtr 11 2. Apakah Anda puas dengan kinerja pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang adil dan mampu diakses oleh setiap orang? Tidak Puas 58.10% 60.00% Sangat Tidak Puas 16.21% Cukup Puas 24.32% 40.00% Sangat Tidak Puas Tidak Puas Cukup Puas Sangat Puas 20.00% Sangat Puas 0.01% 0.00% 3. Bagaimanakah biaya pendidikan di Indonesia saat ini? Mahal 58.80% Sangat Mahal 27.02% 60.00% Sangat Mahal Biasa Saja 12.60% 40.00% Biasa Saja 20.00% Murah 0.13% Sangat murah 0,01% 0.00% 1st Qtr Sangat murah 4. Menurut Anda apakah semua orang bisa kuliah/sekolah tanpa membedakan mampu atau tidak mampu? 70.00% Tidak 62.16% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% Ya 37.16% Tidak Menjawab 0.01% 10.00% Tidak Menjawab 0.00% Ya 12 5. Apakah Anda pernah mengalami kesulitan dalam membayar uang sekolah/kuliah? Tidak 50.57% 51.00% 50.00% Ya 49.32% 49.00% Tidak Ya 48.00% 6. Apakah Anda punya teman/saudara/tetangga yang terpaksa tidak sekolah/kuliah atau berhenti sekolah/kuliah karena tidak ada biaya? Ya 88.51% 1 Tidak Menjawab 0.01% Tidak 10.81% Tidak Menjawab 0.5 Ya 0 7. Apakah Anda mengetahui bahwa pemerintah atau kampus/sekolah memiliki program beasiswa ataupun keringanan biaya kuliah? 100.00% 50.00% Ya 94.60% Tidak 5.40% Tidak Ya 0.00% 13 8. Apakah Anda pernah berusaha untuk mendapatkan beasiswa tersebut? 80.00% Ya 66.20% Tidak 0.338 60.00% 40.00% Tidak 20.00% Ya 0.00% 9. Bagaimana proses mendapatkan beasiswa tersebut? 80% 60% 40% Sulit 75% Mudah 20.30% Tidak menjawab 4.70% Tidak menjawab 20% Sulit 0% 10. Melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, apakah pendidikan dasar sampai perguruan tinggi harus digratiskan? Tidak Semua, PT Harus Bayar 44.60% 60.00% 40.00% Ya 52.02% Tidak Semua, PT Harus Bayar Tidak 3.38% Tidak 20.00% Ya 0.00% 14 B. ANALISA ANGKET Berdasarkan hasil angket, maka dapat didapat data sebagai berikut: 1. Bahwa sebagian besar responden menganggap bahwa pendidikan Indonesia masih sangat buruk dan sebagian besar responden sangat tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini dalam bidang pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan data bahwa 43,91% responden beranggapan bahwa pendidikan buruk dan 14, 86% beranggapan sangat buruk. Hanya 16,21% responden yang beranggapan bahwa pendidikan saat ini baik. Selain itu sebesar 58,1% responden tidak puas dengan kinerja pemerintahan, 16,21% bahkan sangat tidak puas. Hanya 24,32% responden yang puas dengan kinerja pemerintahan dalam bidang pendidikan. Hal ini menceriminkan kegagalan pemerintah dalam pemenuhan kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bagi warga negaranya. 2. Bahwa sebagian besar responden (85,82%) mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia mahal, 27,02% diantaranya beranggapan pendidikan di Indonesia sangat mahal. Hanya 3 orang dari 148 responden yang beranggapan pendidikan di Indonesia murah (0,2%) dan hanya 12,16% yang beranggapan biasa saja. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia memang sangat mahal sehingga sangat sulit untuk diakses oleh warga negaranya. 3. Bahwa dengan melihat kondisi Indonesia pada saat ini, lebih dari separuh responden (52,02%) berharap seluruh pendidikan di Indonesia dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus gratis, sedangkan yang mengatakan tidak semuanya gratis karena perguruan tingggi harus bayar menjawab sebesar 44,6%, 5 orang responden (3,38%) beranggapan bahwa semua tingkat pendidikan harus bayar. Harapan digratiskannya semua biaya pendidikan tersebut dikarenakan tingkat perekonomian masyarakat Indonesia masih sangat rendah. 4. Hampir separuh responden (49,2%) mengatakan pernah mengalami kesulitan dalam membayar uang sekolah/kuliah, sedangkan 50,67% mengatakan tidak pernah. Sebagian orang yang tingkat perekonomiannya cukup tinggi pun mengatakan pernah mengalami kesulitan dalam membayar uang sekolah/kuliah. Hal ini membuktikan bahwa biaya pendidikan sangatlah berat dan mempersulit keuangan keluarga. 5. Sebesar 88,51% orang memiliki teman/saudara/tetangga yang terpaksa tidak sekolah/kuliah atau berhenti sekolah/kuliah karena tidak ada biaya, hanya 10,81% yang mengatakan tidak memiliki. Hal ini membuktikan bahwa angka drop-out di Indonesia masih sangat tinggi dan 15 angka harapan sekolah masih rendah. Hal tersebut dikarenakan mahalnya biaya pendidikan. Besarnya angka penelitian ini membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia masih sulit didapatkan oleh warga negaranya, pemerintah gagal menyediakan pendidikan yang mudah diakses secara ekonomi oleh warga negaranya. 6. Sebagian besar orang mengetahui bahwa pemerintah atau kampus/sekolah memiliki program beasiswa ataupun keringanan (94,6%). Sebesar 66,2% pernah berusaha mendapatkan beasiswa tersebut dan 75% mengatakan bahwa proses mendapatkan beasiswa tersebut sulit. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang mengetahui adanya beasiswa namun sulit mendapatkan beasiswa tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa program pendidikan yang mahal, namun ditopang oleh beasiswa untuk orang yang tidak mampu merupakan program yang salah karena sulit diakses oleh sebagian besar orang. Hal tersebut dapat berakibat orang yang tidak mampu tidak dapat sekolah/kuliah. 7. Sebagian besar orang beranggapan bahwa saat ini tidak semua orang dapat menikmati pendidikan tanpa membedakan mampu atau tidak mampu (62,16%), sedangkan 37,16% beranggapan bahwa saat ini semua orang bisa menikmati pendidikan tanpa membedakan mampu atau tidak mampu. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan saat ini masih dikskriminatif, orang-orang yang bisa menikmati pendidikan adalah orang yang mampu saja. 16 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Dari penelitian di atas dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang sekaligus menjawab pokok permasalahan dari penelitian. Kesimpulan tersebut adalah: 1. Bahwa telah cukup banyak instrumen hukum nasional dan hukum internasional yang benar-benar menjamin hak atas pendidikan, seperti dalam konstitusi, UU HAM, DUHAM, dan juga UU N0. 11 Tahun 2005. Bahkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengatur hak atas pendidikan sangat progresif dari segi aksesibilitas karena negara diwajibkan menyediakan pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi secara cuma-cuma, walaupun disebutkan realisasi pendidikan cuma-cuma untuk pendidikan tinggi dilaksanakan secara bertahap. 2. Bahwa kondisi riil dari pemenuhan hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dikarenakan banyaknya kebijakan pemerintah yang justru menghambat akses seseorang atas pendidikan, seperti kebijakan kampus Badan Hukum Milik Negara, UU Badan Hukum Pendidikan dan UU Sikdiknas yang memberikan otonomi atau memprivatisasi bidang pendidikan sehingga penyelenggara pendidikan punya kewenangan untuk menarik biaya operasional yang cukup besar dari masyarakat dan memiliki ujian masuk yang mahal dan berlapis-lapis. Akibatnya orang tidak mampu secara ekonomi sulit menikmati pendidikan. Anggaran pendidikan yang sudah mencapai 207 Triliun atau 20% lebih dari APBN tidak sanggup memberikan akses yang seluas-luasnya kepada warga negara untuk menikmati pendidikan. 3. Tingginya angka anak usia yang tidak bersekolah karena tidak mampu (60% dari 34,909,048 anak), tinggnya angka Drop out siswa SD sebesar 3,17 % pada 2006 dan 245,614 orang pada tahun 2008, rendahnya usia usia pendidikan tinggi yang menikmati pendidikan tinggi (17 %), hanya 60% usia sekolah menengah yang menikmati sekolah menengah, serta angka survei yang menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia sangat mahal (85% responden), masih diskriminatif dalam hal ekonomi (62,16% responden), pernah mengalami kesulitan dalam membayar uang kuliah/sekolah (49,2%responden) dan banyaknya responden yang memiliki teman/saudara/tetangga yang drop-out ataupun tidak melanjutkan kuliah karena tidak mempunyai biaya (88,51%) menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih sulit diakses secara ekonomi oleh seluruh warga negaranya. Asas 17 aksesibilitas ekonomi dalam pemenuhan hak asasi manusia di bidang pendidikan tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. B. SARAN Adapun saran atau rekomendasi dari penelitian ini adalah: 1. Pemerintah dan DPR lewat Perpu harus mengganti/mencabut Pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menutup akses warga negara untuk menikmati pendidikan seperti Pasal pembiayaan dalam UU Sikdiknas dan UU BHP. 2. Pemerintah juga harus membatalkan segala perjanjian yang menutup akses terhadap hak atas pendidikan, seperti GATS dan IMHERE. Selain itu hutang yang timbul karena perjanjian tersebut haruslah dibatalkan atau tidak dibayar karena nyata-nyata telah melanggar hak asasi manusia, yaitu hak atas pendidikan. 3. Pemerintah seharusnya memberikan pendidikan gratis dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi (secara bertahap) kepada seluruh warga negaranya. Adapun langkah yang bisa dilakukan untuk pemenuhan tersebut bukan hanya semata meningkatkan anggaran sampai 20% sesuai konstitusi melainkan melakukan reorganisasi institusi pendidikan dan melakukan manajemen yang baik sehingga tercapai penyelenggaran pendidikan yang efektif dan mampu diakses oleh seluruh warga negara. 4. Dalam hal rencana akan dilakukannya amandemen UUD 1945, perlu dicermati bahwa semangat mulanya UUD 1945 adalah memberikan pendidikan yang mampu mencerdaskan seluruh bangsanya sehingga berpatokan terhadap alokasi dana sebesar 20% dari APBN adalah hal yang keliru. Demi membuka ruang dan aksesibilitas kepada seluruh warga negara ketentuan minimal 20% harus dihapuskan, karena bisa menjadi exit strategy bagi pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab memberikan pendidikan gratis bagi seluruh warga negara apabila anggaran yang dibutuhkan ternyata lebih dari 20%. Seharusnya konstitusi menjamin bahwa pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dilaksanakan oleh pemerintah tanpa memungut biaya. 18 Daftar Pustaka: Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) Buku: Damanik Jayadi dkk. Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan. Cet. I. Jakarta: Komnasham, 2005. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2006. Nur Agustiar Syah. Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Cet. I. Bandung: Lubuk Agung, Maret 2001. Pusgerak BEM UI 2007, Pusgerak BEM UI 2008, Rachman Yustisia, Kautsar Riumas, Arlinkasari Fitri. Kajian UU Badan Hukum Pendidikan. Pusgerak BEM UI tahun 2007 Rukmini Mimin dkk. Pengantar Memahami Hak Ekosob. Cet I. Jakarta: PATTIRO, Desember 2006. Artikel: Kompas Kamis 12 Februari 2009 “Sektor Pendidikan Terabaikan, Sektor Pendidikan Terabaikan”. Kompas Kamis 12 Februari 2009 “Pemilu: Sekolah Masih Menjadi Masalah”. 19