Dana Pendidikan Aceh dikeroyok lagi Dr. Nazamuddin, MA

advertisement
Dana Pendidikan Aceh dikeroyok lagi
Dr. Nazamuddin, MA
Universitas Syiah Kuala
Pada akhir tahun 2004 saya menulis opini di harian ini, berjudul Mau dibawa ke mana pendidikan
Aceh . Setelah tiga tahun berlalu, saya merasa pertanyaan itu perlu diulang lagi karena belum ada
jawaban yang meyakinkan tentang arah pendidikan Aceh. Ini bukan tentang libur di luar jadwal karena
paguyuban para guru ikut upacara peringatan Hari Guru Nasional 2007 pada 25 November 2007 yang
lalu, melainkan kinerja pelayanan pendidikan yang masih rendah dalam kegelimangan rupiah yang
dialokasikan khusus untuk pendidikan. Otonomi khusus yang mendatangkan dana besar untuk
pendidikan yang rata-rata Rp 700 milyar per tahun sejak 2002 ternyata belum memberikan hasil yang
memuaskan. Pendidikan belum dikelola dengan baik dan para pemimpin masih belum punya visi
pendidikan. Dana pendidikan yang besar dikeroyok rame-rame, tidak saja oleh berbagai instansi/dinas
yang jauh hubungannya dengan pendidikan, tapi juga oleh pengelola pendidikan swasta dengan
berbagai dalih untuk peningkatan prasarana, sarana, dan mutu pendidikan. Malah dana pendidikan
waktu itu dipakai untuk menanggulangi situasi darurat (krisis listrik, misalnya) - yang tentu saja di luar
rencana. Kesalahan peruntukan dana pendidikan akhirnya memberi hasil sia-sia, ibarat menabur garam
ke laut, tidak memberi kesan berarti bagi peningkatan mutu pendidikan di Aceh. Hati saya semakin
terenyuh ketika saya membaca di sebuah harian nasional bahwa pada peringatan Hari Guru Nasional di
Pekanbaru pada 25 November 2007, Presiden menganugerahkan Satyalancana bidang pendidikan
kepada 27 orang yang sangat berjasa dalam pelayanan pendidikan. Penerimanya ada gubernur, ada
bupati, ada kepala sekolah, ada guru, dan ada pengawas sekolah. Dari sederetan nama-nama penerima,
tidak satu pun dari Aceh. Dari Papua saja, ada dua orang penerima, dari Sumatera Utara saja yang dana
pendidikannya hanya sekitar Rp 200 miliar saja, ada Bupati yang menerima penghargaan itu karena
pengabdiannya untuk pendidikan. Dari Aceh, entahlah. Komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan
tampaknya masih jauh dari harapan. Di Aceh, pemerintahnya pada awalnya menjanjikan perubahan
fundamental, termasuk bidang pendidikan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Provinsi NAD 2007-2012, secara tegas disebutkan bahwa arah pembangunan pendidikan
difokuskan pada empat aspek, yaitu: (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu,
relevansi, dan daya saing lulusan; (c) peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik; dan
(d) pengembangan sistem pendidikan yang bernuansa Islami. Tapi dokumen perencanaan resmi ini
tidak dijadikan rujukan lagi ketika membagi-bagi duit pendidikan (alokasi dana pendidikan). Dana
pendidikan tampaknya dialokasikan untuk program-program instan, yang dirasa penting sekarang,
tanpa kajian mendalam apakah akan efektif untuk peningkatan pelayanan pendidikan dalam empat
bidang di atas. Beberapa contoh inisiatif spontanitas dapat saya kemukakan di sini. Ada usulan
program pemberdayaan anak yatim yang akan menghabiskan ratusan miliar rupiah dana pendidikan,
yang belum jelas aspek pendidikan mana yang akan ditangani. Tidak ada perdebatan bahwa anak yatim
memang harus dibantu dan diberdayakan, tapi bagaimana?. Jangan hanya menggunakan kata anak
yatim yang populis, tapi belum tentu akan efektif sebagaimana diniatkan. Ada lagi gagasan untuk
menyediakan bus sekolah di daerah-daerah. Pengalaman penyediaan bus sekolah di beberapa daerah
selama ini memperlihatkan bahwa ada bus sekolah yang sulit dioperasikan karena begitu terpencarnya
anak-anak sekolah di kampung-kampung (lain halnya di kota) dan sulitnya menyediakan biaya
pemeliharaan. Bahwa anak sekolah perlu dibantu biaya transportasi ke sekolah adalah sesuatu yang
wajar. Tapi mekanismenya perlu dipikirkan secara matang agar tidak terjadi pemborosan yang tidak
perlu. Ada pula gagasan untuk membangun asrama mahasiswa di luar negeri. Saya berfikir ini tidak
tepat. Bukan karena mahasiswa di luar negeri tidak perlu tempat tinggal, melainkan caranya tidak tepat
dengan membangun asrama. Di luar negeri mahasiswa pada umumnya tinggal di apartemen atau
dormitori kampus. Yang diperlukan hanyalah menyediakan beasiswa yang cukup untuk biaya hidup
(living allowance), tanpa perlu mengadakan proyek pembangunan asrama. Di Banda Aceh saja, begitu
banyak asrama mahasiswa yang dibangun oleh pemerintah kabupaten/kota yang begitu megah
bangunannya dan menghabiskan dana miliaran rupiah, tapi hanya dihuni sedikit mahasiswa. Banyak
mahasiswa yang lebih senang tinggal dengan saudara dekat mereka atau kos (sewa rumah atau kamar).
Dalam teori, dana publik selalu efektif jika disalurkan melalui pendekatan pengguna akhir
(beneficiaries), bukan pemasok (penyedia jasa). Dalam hal ini, pendekatan penyaluran langsung ke
pengguna akhir - yang disebut demand-driven - lebih efektif daripada menyalurkannya melalui institusi
birokrasi (supply approach). Cara ini dilakukan oleh Depdiknas dalam penyaluran dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) langsung ke sekolah, bukan melalui dinas pendidikan di kabupaten/kota.
Mengapa cara yang sama tidak dilakukan di Aceh, sekaligus mengurangi biaya birokrasi yang tidak
perlu. Selama ini, banyak sekali keluhan bahwa pemerintah kabupaten menerima alokasi dana
pendidikan dari provinsi, tapi kurang jelas apa dampak positif bagi mutu pendidikan di daerahnya. Kini
dengan dana pendidikan yang akan meningkat jumlahnya karena ada tambahan dana bagi hasil migas
dan dana otonomi khusus, jangan sampai dana pendidikan dikeroyok lagi seperti pada waktu lalu.
Jangan pula muncul program-program spontan, padahal gubernur sudah mengeluarkan Peraturan
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Strategik (Renstra)
Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007-2012. Kalau aturan dan rencana itu
dibuat hanya untuk disimpan dalam lemari, untuk apa perencanaan. *Badan pengelola beasiswa *
Sejak lama saya menyarankan pemerintah provinsi membentuk Badan Pengelola Beasiswa agar
pengelolaan beasiswa lebih fokus dan mencapai sasaran sesuai dengan visi pendidikan Aceh, dan
bahkan visi pembangunan Aceh secara umum. Selama ini beasiswa diberikan tahun per tahun dalam
bentuk bantuan pendidikan . Jadi, ada kemungkinan seseorang yang mendapatkan bantuan tahun ini
tidak mendapatkannya lagi tahun depan. Atau kemungkinan bantuan diputus di tengah jalan dan
seseorang dibiarkan terlunta-lunta di rantau orang. Mengapa tidak beasiswa dikelola secara sistematik
melalui sebuah badan khusus (atau apapun nama lainnya) di mana beasiswa penuh diberikan kepada
orang-orang yang tepat melalui seleksi yang standar dan cukup untuk membiayai sebuah program studi
(S1, S2, atau S3) atau jenjang sekolah tertentu hingga tuntas. Unsur-unsur penting dengan mudah dapat
dihitung, misalnya biaya hidup (living allowance), SPP (tuition fee), biaya buku, biaya penelitian, dll.
Lain daerah/negara tentu lain pula standarnya. Sejak tahun 2002, puluhan miliar dana pendidikan
ditabung begitu saja sebagai dana cadangan, yang tidak jelas peruntukannya dan siapa yang
mengelolanya. Diperkirakan dana cadangan itu sudah mencapai ratusan miliar rupiah. Mengherankan
bagaimana pemerintah Aceh membiarkan saja masalah ini berlarut-larut, sementara uang ada, tapi
program beasiswa tidak fokus. Bahkan mahasiswa di luar negeri seringkali mengeluh tentang ketiadaan
dukungan pembiayaan yang memadai. Semestinya beasiswa memang harus dikelola sebagai beasiswa
(scholarships) sebagaimana di luar negeri, bukan bantuan instan yang mungkin tidak berdampak
banyak bagi kemajuan Aceh. Ibarat arang habis, besi binasa. *Jangan salah kelola * Diperkirakan pada
tahun 2008, Aceh akan memperoleh dana pendidikan sekitar Rp 1.5 triliun rupiah. Dana sebesar ini
berasal dari 30 persen bagian dari tambahan dana bagi hasil migas (diperkirakan sebesar Rp 2,2 triliun,
di mana Rp 660 miliar di antaranya digunakan untuk pendidikan), dan dari sumber-sumber lain.
Sumber dominan lain adalah bagian dana otonomi khusus (yang diperkirakan mencapai jumlah Rp 3.53
triliun. Tidak ada kepastian apakah ketentuan pasal 193 UUPA bahwa 20 persen APBA dan APBK
harus dialokasikan untuk pendidikan. Jika APBA 2008 diperkirakan mencapai Rp 7,5 triliun, maka
mesti ada jaminan bahwa 1,5 triliun diantaranya (20 persen APBA) diperuntukkan untuk pendidikan.
Rancangan Qanun Migas dan Otsus yang sedang disiapkan belum menjamin hal itu. Kalau dari sumber
tambahan dana bagi hasil migas hanya menyediakan 660 miliar rupiah, maka mesti ada sumber lain
(dana otsus, PAD, atau lain-lain) untuk mencukupi jumlah itu. Jika tidak, maka patut dipertanyakan di
mana komitmen pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif) untuk pendidikan. Rancangan Qanun
Aceh tentang penyelenggaraan pendidikan juga sudah disiapkan dan mengatur sangat komprehensif
tentang apa yang sepatutnya dilakukan. Tapi program-program pendidikan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota sudah terlanjur dibuat. Tampaknya usulan-usulan program dari kabupaten/kota masih
dalam langgam lama, cilet-cilet. Semestinya ada program strategis di tingkat provinsi yang diatur
sedemikian rupa, baik pengadministrasiannya maupun pengelolaannya bersama kabupaten/kota, agar
tercapai visi dan misi pendidikan Aceh yang sudah dirumuskan dan menjadi konsensus bersama. Perlu
diingat lagi bahwa UUPA mengamanatkan bahwa alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan
(paling sedikit 20 persen dari APBA/APBK) diperuntukkan bagi pendidikan pada tingkat sekolah. Kata
pada tingkat sekolah tampaknya diabaikan begitu saja demi kepentingan inisiatif spontan tanpa proses
perencanaan yang matang. Padahal, begitu banyak sekolah dasar dan menengah yang masih perlu
perhatian, meliputi prasarana, sarana, mutu guru, mutu proses belajar mengajar, dll. Apalagi dalam
rancangan qanun pendidikan disebutkan semua anak usia 7-18 tahun harus ikut program wajib belajar,
maknanya pemerintah Aceh dan kabupaten/kota harus dapat menjamin program ini berlangsung
sukses. Bahkan untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), pasal 217 UUPA menyatakan
penduduk usia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. Kemudian lagi-lagi
pada pasal 218 ayat 2 diulang; alokasi dana pendidikan melalui APBA/APBK hanya diperuntukkan
bagi pendidikan pada tingkat sekolah. Kalau dana pendidikan masih mengalir ke mana-mana seperti
sebelumnya, patut dicurigai apa komitmen pemimpin untuk mutu pendidikan di Aceh. Maka, mari kita
kembali kepada tekad kita untuk melakukan perubahan fundamental, termasuk di bidang pendidikan.
Mari kita kembali kepada konsensus semua lapisan masyarakat Aceh sebagaimana tertuang dalam
UUPA. Mari kita kembali pada cita-cita meningkatkan mutu pendidikan masyarakat Aceh, agar Aceh
tidak terus tertinggal di masa depan. Ironis sekali, jika anak cucu kita menyalahkan generasi sekarang
karena kepemimpinan yang salah kaprah. *) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah :: indeks
Sumber: Serambinews, Opini # 05/12/2007 11:23 WIB *
Download