Makalah ADVANCED TRAINING Hak-hak Masyarakat Adat (Indigenous Peoples' Rights) Bagi Dosen Pengajar HAM di Indonesia Yogyakarta, 21 – 24 Agustus 2007 HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK: MASYARAKAT ADAT/BANGSA PRIBUMI Nicola Colbran Penasehat Hukum, Program Indonesia, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo HAK ATAS PERUMAHAN YANG LAYAK: MASYARAKAT ADAT/BANGSA PRIBUMI1 Nicola Colbran2 • • Pengambilan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, Peraturan yang menyatakan bahwa tanah ulayat tidak bisa dijaminkan sebagai agunan kepada bank, dan harus dikonversi terlebih dahulu menjadi hak guna usaha dengan jangka waktu tertentu. Apakah ini merupakan pelanggaran hak atas perumahan yang layak? Mengapa hak atas perumahan perlu dibahas dalam konteks hak masyarakat adat? Pertama: pada umumnya, komunitas masyarakat adat memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Konon, tanah mempunyai makna yang lebih luas bagi masyarakt adat. Tanah bukan sebatas harta kekayaan, melainkan mempunyai makna magis-religius, melandasi kehidupan komunal tradisional, tidak dapat dimiliki secara pribadi dan permanen, dan adalah cadangan bagi sumber kehidupan generasi mendatang.3 Masyarakat adat mewarisi hak untuk mengendalikan, mengelola dan memanfaatkan tanah dan segala kekayaan alam lainnya di dalam wilayah adat sesuai dengan kearifan tradisional. Kedua: tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah adat sering dirampas atas nama kebijakan negara dan kepentingan umum. Negara sering memberi hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan dan Kuasa Pertambangan yang baru di wilayah adat kepada para pemilik modal tanpa pemberitahuan dan perundingan yang layak. Ketiga: Kemiskinan di komunitas masyarakat adat serta diskriminasi terhadap masyarakat adat dapat dikaitkan dengan pengusiran secara paksa masyarakat adat dari tanahnya. Pencabutan tanah masyarakat adat untuk tujuan pembangunan tanpa ganti rugi yang memadai sangat merugikan status sosio-ekonomik masyarakat adat. Hak Atas Perumahan yang Layak Beberapa perjanjian internasional mengatur hak atas perumahan yang layak, misalnya: • Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya • Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras • Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan • Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Selain perjanjian utama HAM tersebut, hak atas perumahan juga diatur oleh beberapa instrumen internasional yang secara sangat khusus menyangkut hak masyarakat adat dan 1 Makalah disampaikan pada kegiatan “Advanced Training Tahap I tentang Hak-Hak Masyarakat Adat bagi dosen Pengajar Hukum dan HAM” Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007, diselenggarakan oleh Pusham UII bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Universtity of Oslo 2 Penasehat Hukum, Program Indonesia, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo 3 Rianto Adi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta. Misalnya, bagi orang Amungme di Papua, yang dieksploitasi kekayaan tembaga, emas, dan peraknya oleh Freeport Indonesia Incorporated, Gunung Estberg merupakan tempat istirahat nenek moyang mereka (Kompas, 11/9/1995). 1 bangsa-bangsa pribumi: misalnya Konvensi ILO No.169 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka. Dari sekian banyak perjanjian yang mengatur hak atas perumahan, perjanjian yang akan menjadi fokus makalah ini adalah Kovenan Ekosob, karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan ini.4 Kovenan ini mengatur hak atas perumahan secara langsung dan secara mendalam, dan Dewan Ekonomi dan Sosial telah memainkan peran utama dalam menyusun standar internasional yang lengkap mengenai hak atas perumahan yang layak. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya Karena pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kovenan Ekosob, maka Kovenan tersebut bersifat mengikat secara hukum pada Indonesia. Realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan baik intervensi jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Kovenan ini, Negara pihak harus mengambil langkah untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini. Langkah-langkah ke arah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara pihak yang bersangkutan. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajibankewajiban Kovenan. Apa yang dimaksud dengan Hak atas Perumahan yang layak?5 Hak atas perumahan sering salah ditafsirkan, karena dianggap sebagai hak yang mengharuskan Negara untuk membangun rumah untuk setiap orang di wilayahnya, dan yang memberikan jalan kepada orang yang tidak mempunyai rumah untuk menuntut rumah dari pihak Negara. Menurut pasal 11(1) Kovenan Ekosob, setiap orang mempunyai hak atas perumahan.6 Negara harus menjamin: • bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun,7 dan • hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini.8 Hak atas perumahan dilindungi pula oleh pasal 1 dan pasal 15: Pasal 1, paragraf 1 mengatur hak menentukan nasib sendiri9 dan pasal 15 mengatur, antara lain, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.10 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 5 Hak atas Perumahan yang layak diatur di Indonesia, antara lain, dalam UUD 1945 (pasal 28G, 28H), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (pasal 36(1), (2)) 6 “Negara pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus.” 7 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya (pasal 2, paragraf 2). 8 Negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini (pasal 3). 9 Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik dan kebebasan mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. 10 (1) Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang (a) untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya... 2 Dewan Ekonomi dan Sosial Dewan Ekonomi dan Sosial mengawasi perilaku Negara pihak dalam melaksanakan isi Kovenan baik secara hukum maupun dalam praktek. Setiap Negara pihak harus memberikan laporan berkala kepada Dewan Ekonomi dan Sosial mengenai pelaksanaan Kovenan yang menjelaskan langkah-langkah yang telah diambil untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Kovenan tersebut. Dewan kemudian memeriksa laporan ini dan sesudah itu mengirimkan komentar tertulis mengenai temuan-temuannya atas laporan kepada Negara asal. Komentar tersebut dapat berupa pertanyaan langsung atau hasil pengamatan. Dewan Ekonomi dan Sosial belum menyediakan kesempatan untuk menyampaikan pengaduan oleh individu atau LSM/ornop, termasuk masyarakat adat. Komentar Umum seringkali melengkapi Kovenan dengan menjadi lampiran bagi ketentuan Kovenan dan dengan menetapkan rincian petunjuk pelaksanaan Kovenan. Komentar Umum tersebut bukan merupakan suatu kesepakatan internasional, tetapi merupakan panduan yang tidak mengikat untuk pengembangan dan penerapan kebijakan dan pelaksanaan Kovenan di tingkat nasional. Inti Hak atas Perumahan yang layak Dewan Ekonomi dan Sosial telah mengeluarkan dua Komentar Umum yang menetapkan rincian petunjuk pelaksanaan hak atas perumahan yang layak (Komentar Umum Nomor 4 dan Komentar Umum Nomor 7). Komentar Umum No.4 mengatakan hak atas perumahan tidak boleh ditafsirkan secara sempit, melainkan harus dilihat sebagai suatu hak untuk tinggal di suatu tempat dengan rasa aman, damai dan bermartabat. Rujukan dalam pasal 11 (1) harus dipahami sebagai merujuk tidak hanya kepada perumahan, namun kepada perumahan yang layak. Perumahan yang layak menyangkut aspek legal atas kepemilikan dan penguasaan, ketersediaan pelayanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur, keterjangkauan, aksesibilitas, kelayakan huni, aksesibilitas, lokasi, kelayakan budaya, tetapi juga mengakui bahwa faktor-faktor sosial, ekonomi, budaya, iklim, ekologi serta faktor-faktor lain turut berperan dalam menentukan apa yang disebut sebagai layak. Dengan kata lain, menurut Komentar Umum, ada tujuh (7) elemen yang harus dipenuhi untuk menjamin perumahan yang layak: 1. Menjamin kepastian legal atas kepemilikan dan penguasaan tanah: Legal security of tenure Yaitu: tidak tergantung pada hak yang dipegang (hak milik, HGB, HGU dll) karena yang harus dijamin adalah perlindungan dari pengusiran secara paksa, penggusuran, ancaman dan paksaan yang lain. 2. Ketersediaan pelayanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur: Availability of services, materials, facilities and infrastructure Yaitu: rumah yang layak harus dilengkapi dengan fasilitas yang penting untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, keamanan, kenyamanan dan gizi, termasuk, antara lain akses terhadap air minum yang aman, bahan (seperti listrik, gas, minyak) untuk memasak, alat pemanas dan lampu, fasilitas MCK, fasilitas menyimpan makanan, tempat membuang sampah, penyaluran dan pelayanan darurat. 3. Keterjangkauan: Affordability Yaitu: ongkos sehari-hari yang berhubungan dengan perumahan, secara perorangan dan untuk rumah tangga, tidak boleh mengancam pemenuhan kebutuhan pokok yang lain. 3 4. Kelayakan huni: Habilitability Yaitu: rumah harus layak huni dari segi tempat yang memadai dan memberikan perlindungan dari rasa dingin, keadaan lembab, rasa panas, hujan dan faktor lain yang mengancam kesehatan, yang berbahaya dan yang dapat menyebabkan sakit atau memudahkan penularan penyakit. 5. Aksesibilitas: Accessibility Yaitu: kelompok rentan dapat mengakses fasilitas perumahan yang telah tersedia. 6. Lokasi: Location Yaitu: lokasi perumahan harus menjamin akses terhadap kesempatan kerja, pelayanan kesehatan, sekolah, tempat mengasuh anak dan fasilitas sosial yang lain. Rumah seharusnya tidak dibangun di tempat yang tercemar maupun dekat sumber polusi yang mengancam hak atas kesehatan orang yang menempati rumah itu. 7. Kelayakan budaya: Cultural adequacy Yaitu: cara membangun rumah, bahan yang dipakai dan kebijakan yang mendukung hak atas perumahan harus memungkinkan orang untuk mengekspresikan identitas budayanya serta keragaman perumahan. Komentar Umum No. 7 menjelaskan secara rinci kapan pengusiran diperbolehkan dan perlindungan apa yang diperlukan untuk menjamin Kovenan Internasional Hak Ekosob dihormati. Penggusuran/pengusiran secara paksa dapat diartikan sebagai pemindahan secara permanen atau sementara, yang bertentangan dengan kemauan individu, keluarga dan/atau komunitas, dari rumah dan/atau tanah yang ditempatinya tanpa penyediaan, dan akses terhadap, perlindungan hukum atau perlindungan layak yang lain. Komentar Umum No. 7 mengakui bahwa penggusuran/pengusiran secara paksa sangat mempengaruhi masyarakat adat. Komentar Umum tersebut mengharuskan Negara untuk tidak melakukan penggusuran/pengusiran secara paksa dan untuk menyelidiki, menyidik dan menuntut secara patut wakilnya atau pihak ketiga yang melakukan penggusuran/pengusiran secara paksa. Laporan Berkala kepada Dewan Ekonomi dan Sosial Laporan berkala Indonesia kepada Dewan Ekonomi dan Sosial mengenai pelaksanaan Kovenan Ekosob jatuh tempo tahun 2008. Dewan Ekonomi dan Sosial sudah mengeluarkan pedoman umum mengenai cara melapor. Pedoman ini menyebut beberapa pertanyaan yang dapat dijawab dengan memperhatikan kondisi masyarakat adat, dan sejauh mana masyarakat adat menikmati hak atas perumahan yang layak. Misalnya, Negara pihak diminta untuk “menyediakan informasi secara rinci mengenai kelompok yang rentan dalam hal hak atas perumahan”, khususnya: (i) Jumlah individu dan keluarga yang gelandangan (ii) Jumlah individu dan keluarga yang tidak mempunyai rumah yang layak dan yang tidak mempunyai akses terhadap keperluan mendasar seperti air bersih, tempat pembuangan sampah, fasilitas MCK, listrik, pelayanan pos dll. Informasi ini harus menyebut jumlah orang yang tinggal di rumah yang penuh sesak, tidak dibangun secara layak dan aman, dan kondisi lain yang mempengaruhi tingkat kesehatan orang yang menempati rumah itu. 4 (iii) (iv) Jumlah orang yang dianggap tinggal di kompleks perumahan yang liar atau tidak sah, dan Jumlah orang yang diusir dari rumah atau tanahnya dalam waktu 5 tahun terakhir serta jumlah orang yang tidak mendapatkan perlindungan hukum untuk mencegah pengusiran secara sewenang-wenang. Dalam kebijakan Negara untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan Ekosob, kelompok paling rentan patut mendapatkan perhatian utama. Informasi dari laporan berkala dapat dipakai untuk mengidentifikasi kelompok mana yang paling rentan. Dari informasi yang diberikan oleh Negara pihak yang membedakan antara kelompok umum dan kelompok rentan atau yang memisahkan kelompok umum dan kelompok rentan, sudah jelas bahwa masyarakat adat adalah kelompok yang sangat rentan. Hasil studi kasus hak atas perumahan di komunitas masyarakat adat di beberapa negara seperti Australia, Kanada, Ekuador, Kenya, Mexico dan Pilipina menunjukkan bahwa walaupun masyarakat adat di dunia dapat dibedakan secara kultural, hak atas perumahan sering dilanggar dan pelanggaran yang terjadi sering serupa. Penemuan dari studi kasus ini, berdasarkan 7 elemen hak atas perumahan yang layak yang tersebut di atas, menandakan bahwa: 1. Menjamin kepastian legal atas kepemilikan dan penguasaan tanah: Legal security of tenure Kepastian legal atas kepemilikan dan penguasaan tanah sering tidak terjamin, antara lain karena: • Negara mengambil-alih tanah adat/ulayat secara sepihak, serta mengusir orang secara paksa demi kepentingan pembangunan atau kepentingan umum (sering karena adanya eksploitasi di sektor perhutanan, minyak dan pertambangan). • Negara tidak melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara tuntas terhadap pihak (baik swasta maupun negeri) yang menggusur rumah atau mengusir orang secara paksa dari rumah atau tanahnya, atau terhadap pihak (misalnya pemilik rumah) yang berperilaku diskriminatif terhadap komunitas masyarakat adat (biasanya karena tidak mau melayaninya berdasarkan alasan seperti warna kulit, bahasa, agama, kekayaan, kelahiran atau status lainnya). 2. Ketersediaan pelayanan, bahan, fasilitas dan infrastruktur: Availability of services, materials, facilities and infrastructure Seringkali rumah komunitas masyarakat adat tidak dilengkapi dengan fasilitas mendasar seperti air minum yang aman dan listrik. Kondisi ini ditemukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. 3. Keterjangkauan: Affordability Perumahan di kota semakin mahal, dan ini mengurangi kesempatan masyarakat adat, yang pada umumnya miskin, untuk membeli atau menyewa rumah. 4. Kelayakan dihuni: Habilitability Individu dan keluarga sering tinggal di rumah yang penuh sesak. Kondisi ini sering mempercepat pembobrokan rumah, meningkatkan risiko penularan penyakit dan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. 5 Individu dan keluarga sering tinggal di rumah yang tidak melingunginya dari cuaca buruk. Hubungan antara kondisi perumahan yang tidak layak dan penyakit fisik sering ditemukan. 5. Aksesibilitas: Accessibility Perumahan yang layak sering tidak dapat diakses oleh komunitas masyarakat adat, khususnya di kota, karena sikap diskriminatif pemilik rumah terhadap mereka, yang mempersulit proses penyewaan rumah. 6. Lokasi: Location Masyarakat adat sering tinggal di daerah terpencil di mana pelayanan dan fasilitas pokok seperti pelayanan kesehatan, sekolah dan fasilitas sosial yang lain tidak dijamin oleh Negara. 7. Kelayakan budaya: Cultural adequacy Masyarakat adat sering tinggal di rumah yang tidak memenuhi kebutuhan budayanya. Misalnya, di Australia, ditemukan bahwa masyarakat adat seringkali tinggal di rumah yang disediakan Negara yang tidak memenuhi kebutuhan hubungan keluarganya karena terlalu kecil. Akibat dari pelanggaran tersebut adalah: • Dihilangkannya budaya dan identias adat • Tidak terwakilinya aspirasi masyarakat adat dalam proses pembangunan • Ditiadakannya hak menentukan nasib sendiri serta diasingkannya masyarakat adat dari proses dan struktur pengambilan keputusan • Terjadinya kemiskinan komunitas masyarakat adat • Ditambahnya pemindahan ke kota (sebagai akibat, antara lain, kemiskinan, pengadaan tanah, pengusiran secara paksa, pemusatan pelayanan mendasar di kota) Penutup Masyarakat adat mengalami diskriminasi dan ketidaksetaraan di hampir seluruh aspek perumahan, termasuk, peraturan dan kebijakan yang mempunyai dampak negatif terhadapnya, penyediaan sumber untuk perumahan, termasuk kredit dan pinjaman, dan praktek diskriminasi pemilik rumah dalam konteks menyewa rumah. Kondisi ini bahkan terlihat di Negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional dan di mana ada undang-undang dan mekanisme domestik yang ditujukan terhadap perwujudan persamaan dan/atau undang-undang yang mengakui hak atas perumahan untuk masyarakat adat. Langkah Untuk Masa Depan Dalam usaha untuk lebih menjamin perwujudan hak atas perumahan untuk masyarakat adat, penting kita semua menghimbau supaya: • pemerintah mengakui hak-hak kepemilikan dan kepunyaan masyarakat adat atas tanah yang secara tradisional telah mereka tempati, • pemerintah menghormati pentingnya budaya dan nilai-nilai spiritual masyarakat adat dalam hubungan mereka dengan tanah atau wilayah tempat mereka tinggal, • pemerintah memperluaskan partisipasi politik masyarakat adat di masa yang akan datang, • pemerintah melakukan konsultasi dengan masyarakat adat dalam mengambil keputusan, membentuk kebijakan dan melakuan tindakan yang berdampak langsung terhadap masyarakat adat, 6 • • pemerintah memulihkan kedaulatan masyarakat adat untuk mementukan nasib sendiri sebagaimana telah diwariskan oleh leluhur sebagai hak asal-usul dan hak tradisional, pemerintah mempertimbangkan kebiasaan dan hukum adat masyarakat adat ketika menerapkan hukum dan peraturan Negara kepada mereka. Selain langkah-langkah di atas, penting bahwa pemerintah memasukkan data terpisah mengenai kelompok yang rentan dalam hal hak atas perumahan. Dalam hal penyusunan laporan bayangan, LSM/ornop dapat menyediakan informasi dan data terpisah ini untuk disimak Dewan Ekonomi dan Sosial. Yang terakhir, ada manfaat mengikuti kemajuan perlindungan hak atas perumahan di tingkat internasional. Misalnya komite HAM telah mengeluarkan beberapa keputusan11 yang menyatakan hak untuk menikmati budaya sendiri yang terkandung pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik12 mengharuskan Negara untuk menghormati hak atas tanah ulayat sejauh mana diperlukan untuk meneruskan kebudayaan masyarakat adat. Dengan kata lain, pasal 27 dapat digunakan untuk menjamin perlindungan atas sebagian dari hak kepemilikan/penguasaan bersama atas tanah. Komite HAM PBB juga telah mengeluarkan Komentar Umum Nomor 23 yang menetapkan rincian petunjuk pelaksanaan Pasal 27. Paragraf 7 berbunyi: “Dalam hal pelaksanaan hak budaya yang dilindungi oleh pasal 27, budaya dapat diwujudkan dengan beberapa cara, termasuk cara kehidupan yang berhubungan dengan pemakaian sumber kekayaan alam dari tanah, khususnya bagi masyarakat adat. Hak itu dapat mencakup kegiatan tradisional seperti memancing atau pemburuan dan hak untuk hidup di cagar alam yang dilindungi oleh hukum. Perwujudan hak ini dapat mengharuskan perlindungan hukum untuk menjamin pastisipasi anggota kelompok minoritas dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhinya” 11 Misalnya, Ominayak v Canada UN doc. A/45/40, vol.II, pp.1-30 “Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orangorang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.” 12 7