makalah hak ekosob dan kewajiban negara

advertisement
PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA
UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA
Holiday Resort Lombok, 28 - 31 Mei 2012
MAKALAH
HAK EKOSOB DAN KEWAJIBAN NEGARA
Oleh:
Yosep Adi Prasetyo
Wakil ketuaKomisi Nasional Hak Asasi Manusia
2012
Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia
Yosep Adi Prasetyo
Wakil ketua
HAK EKOSOB DAN KEWAJIBAN NEGARA
Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak sipil, politik (sipol) dan hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warganegara. Sesungguhnya apa yang dipertaruhkan
oleh hak ekonomi, sosial, dan budaya – sama seperti hak sipil dan politik – yaitu martabat
manusia. Hak-hak ini melekat pada – atau tidak dapat direnggut dari – manusia karena ia
adalah manusia. Hak ini bukan pemberian atau belas kasih dari siapapun – termasuk bukan dari
1 Negara.
Pengantar
Banyak orang salah mengerti tentang hak asasi manusia (HAM). Pertama, HAM
dianggap sebagai senjata dari negara-negara Barat yang dipaksakan secara sepihak kepada
negara-negara berkembang. Ke dua, pelaksanaan HAM dianggap bukan hanya tanggungjawab
negara tapi juga tanggungjawab individu. Karena ituilah kemudian muncul istilah “kewajiban
asasi manusia”. Kedua hal ini, terutama yang ke dua, belakangan ini kerap diucapkan oleh
kalangan aparat dan pejabat di tanah air kita ini. Termasuk oleh sejumlah akademisi dari
sejumlah universitas.
Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah.
Kalau saja mau membuka-buka dokumen tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari akan kesalahan ini.
Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya
adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk
antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil).
Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak warganegara, termasuk hakhak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) seperti hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas
pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lain. Atas kewajiban inilah inisiatif negara,
dalam hal ini pemerintah, membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga
beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus seperti Badan Urusan Logistik yang
bertanggungjawab atas persediaan dan bahan-bahan kebutuhan pokok (sembako). Aplagi dalam
konstitusi Indonesia, dinyatakan bahwa negara/pemerintah merupakan pihak satu-satunya yang
berhak untuk menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri ini
sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Kesalahpahaman tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kesalahpahaman mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah salah satu sebab
pokok adanya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pertama, hak-hak ini lebih dianggap
sebagai aspirasi ketimbang suatu hak yang dapat ditegakkan atau harus dipenuhi. Beberapa sikap
pejabat negara daerah atau pusat menggambarkan kesesatan itu.1 Ke dua adalah anggapan bahwa
pemenuhan hak-hak sosial ekonomi hanya dan hanya dapat dilakukan melalui kebijakan
pembangunan (tidak mempunyai efek langsung). Pemikiran ini dilandasi anggapan bahwa
realisasi hak-hak tersebut memerlukan waktu dan dilakukan secara bertahap.2 Seringkali pula
karena alasan ini ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya hanya berlaku dalam
1
Hal ini antara lain ditunjukkan dari adanya sikap semena-mena sejumlah Pemerintah Daerah untuk menggusur
paksa pemukiman-pemukiman miskin – hanya untuk keindahan atau kebersihan kota. Penggusuran ribuan orang itu
dianggap sebagai suatu yang niscaya untuk menata kota. Contoh lain adalah sikap Menteri Kesehatan yang
mengancam melakukan penuntutan hukum atas laporan kondisi kesehatan warga di sebuah daerah dan bukan
terlebih dahulu mendengar atau menugaskan departemennya melakukan investigasi lebih lanjut. Sebuah contoh lagi,
adalah ’kompensasi’ kenaikan BBM. Istilah ’kompensasi’ mungkin hanya sebuah ungkapan untuk menutup
kekurangan (daya beli) yang dialami sebagian besar penduduk akibat kenaikan harga BBM. Meski demikian konsep
’kompensasi’ sekaligus menggambarkan sikap negara yang melihat pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya
bukan sebagai kewajiban akan tetapi sebagai ’belas kasih’ penguasa atas warganya.
2 Lihat Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966. 2 sistem politik tertentu atau di negara-negara kaya saja. Pemikiran ini tidak seluruhnya benar,
karena beberapa alasan. Antara lain, cara pemenuhan tidak mengubah legalitas dari hak
ekonomi, sosial, dan budaya sebagai hak asasi. Kalau memang pemenuhannya harus dilakukan
secara bertahap tidak berarti hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan hak asasi manusia.
Sehubungan dengan ini hak ekonomi, sosial, dan budaya dianggap sebagai hak-hak
positif yang membutuhkan campur tangan negara. Hal demikian oleh sebagian orang dianggap
sebagai dasar untuk tidak memperlakukan hak sosial ekonomi sebagai hak asasi. Bagi kelompok
yang memiliki pemahaman seperti ini, hak asasi hanyalah hak sipil dan politik yang
mensyaratkan negara untuk melakukan campur tangan tesebut. Akan tetapi dikotomis ini sangat
menyesatkan, karena realisasi dari hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya
memerlukan tindakan aktif negara.3 Di sisi lain, negara juga harus tidak melakukan campur
tangan. Sebagai contoh, pada hak sipil dan politik dikenal kewajiban negara untuk tidak
melakukan penyiksaan, menghambat kehidupan beragama, atau menahan seseorang secara
semena-mena. Pada hak ekonomi, sosial, dan budaya, contoh dari sifat negatif hak ekonomi,
sosial, dan budaya adalah negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa.
Alasan lainnya adalah realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak tergantung pada
ketersediaan sumber-sumber daya melainkan pada kesamaan akses terhadap sumber-sumber
tersebut.4 Oleh karena itu, pemerintah negara kaya sekalipun dapat dianggap melanggar hak asasi
seseorang jika mencegah akses yang sama terhadap sumber-sumber daya. Sebaliknya
pemerintah-pemerintah dari berbagai negara miskin, yang memiliki sumber daya yang terbatas,
juga dapat memenuhi hak tersebut misalnya melalui perangkat perundang-undangan.
Kekurangan sumber daya tidak dapat menjadi alasan bagi Negara untuk menghilangkan hak
asasi seseorang. Sekalipun memerlukan waktu, negara mempunyai kewajiban untuk menunjukan
bahwa telah melakukan langkah-langkah konkrit untuk mencapai pemenuhan hak ekonomi,
sosial, dan budaya.
Hal lain adalah ada banyak aspek dari hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, dan
pangan dapat dipenuhi secara langsung oleh negara sekalipun dengan sumber daya yang terbatas.
Hal ini berarti pemenuhan secara bertahap dan progresif tidak serta merta menghapus realisasi
secara langsung hak tersebut.5 Lihat saja di pinggir Kali Code, Yogyakarta. Tiadanya
penggusuran justru memberdaya masyarakat setempat untuk membangun pemukimannya
sendiri. Contoh-contoh lain yang telah diterima secara universal bahwa hak ini dapat segera
dinikmati atau memiliki efek kesegeraan adalah larangan melakukan diskriminasi, hak atas
kondisi kerja yang adil,6 hak mendirikan serikat buruh,7 hak anak untuk bebas dari eksploitasi
3
Sebagai contoh, realisasi hak untuk mendapat persidangan yang adil mengharuskan negara menyediakan hakim,
ruang pengadilan, dan penjara yang layak. Demikian juga dengan pemilihan umum yang bebas dan adil. Untuk
pelaksanaan Pemilu 2004, pemerintah telah mengalokasikan dana tidak kurang dari Rp. 3,023 trilyun. Satu trilyun di
antaranya dianggarkan untuk biaya pencetakan dan distribusi kartu suara. Lihat http://www.kompas.com/kompascetak/0303/22/nasional/201415.
4 Pandangan ini antara lain diungkapkan oleh International Commission of Jurists di dalam “Justiciability of
Economic, Social and Cultural Rights” 55 ICJ Review, Dec. 1995, hal. 207.
5 Pandangan dari Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya lihat Komentar Umum No. 3 [UN Doc.e/1991/23]
6 Pasal 7 [a] Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
3 ekonomi dan sosial,8 dan hak untuk tidak digusur secara paksa.9 Kebijakan pengembalian tanahtanah rakyat yang selama ini dirampas atas nama ’pembangunan’ adalah contoh lain yang dapat
dilakukan untuk memenuhi hak ekonomi dan sosial petani.
Sebab lain dari luasnya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah manipulasi
yang mempertentangkan antara nasi dan kebebasan. Pada zaman Orde Baru pemenuhan hak
ekonomi, sosial, dan budaya seringkali dikedepankan oleh pemerintah dengan cara memberangus
kebebasan-kebebasan sipil (hak berpikir/berkeyakinan, menyatakan pendapat dan berorganisasi
dan politik (hak mendirikan partai politik, pemilu yang bebas dan fair, hak untuk ikut
menentukan jalannya pemerintahan). Negara saat itu mengklaim bahwa untuk memenuhi
kebutuhan pangan, kesehatan, maupun tempat tinggal harus terdapat stabilitas. Dan stabilitas
diartikan tiadanya kritik, pemogokan, demonstrasi dan bentuk-bentuk pembatasan hak sipil dan
politik lainnya. Pada kenyatannya tindakan itu lebih sebagai klaim daripada riel, baik hak sipil
dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak terpenuhi. Jutaan petani kehilangan
tanahnya atas nama pembangunan – bersamaan dengan itu ribuan petani, mahasiswa, akademisi
kritis, maupun aktivis ornop yang ditangkap, disiksa, atau bahkan hilang secara paksa.
Kini manipulasi itu mengambil bentuk pada konsep bahwa Negara dianggap hanya
bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak sipil dan politik dan tidak boleh campur tangan
dalam realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya – yang sepenuhnya diserahkan pada non-negara
(swasta). Pandangan ini berkaitan dengan dikotomis sesat hak positif–negatif tersebut di atas
untuk membedakan hak sipil dan politk serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lebih dari itu,
gagasan yang memisahkan urusan swasta dan Negara secara mutlak ini pada galibnya
mengaburkan kenyataan bahwa persoalan ekonomi melibatkan kekuatan yang menentukan yaitu,
kekuasaan modal.10 Sedangkan karakter kekuasaan modal meletakan tanggung jawabnya bukan
kepada rakyat, melainkan hanya pada para pemegang saham. Jika Negara tidak berwenang
melakukan regulasi terhadap tata kelola bisnis implikasi yang sudah banyak terjadi adalah
komersialisasi pendidikan – yang menyebabkan semakin sempitnya akses pada pendidikan, atau
eksploitasi sumber daya ekonomi publik seperti air minum yang mengakibatkan masyarakat
semakin sulit memenuhi kebutuhan akan air bersih.
Berbagai cara pandang seperti inilah yang membuat tidak berkembangnya hak ekonomi,
sosial, dan budaya. Jika sejak dalam pikiran sudah ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan
budaya bukan hak asasi manusia maka dengan sendirinya pemenuhan, perlindungan, maupun
pengakuan terhadap hak-hak tersebut menjadi rendah. Sesungguhnya apa yang dipertaruhkan
oleh hak ekonomi, sosial, dan budaya – sama seperti hak sipil dan politik – yaitu martabat
manusia. Hak-hak ini melekat pada – atau tidak dapat direnggut dari – manusia karena ia adalah
manusia.
Hak ini bukan pemberian atau belas kasih dari siapapun – termasuk bukan dari Negara.
Hak ini bersifat universal berlaku bagi setiap manusia tanpa kecuali, laki-laki atau perempuan;
dewasa atau anak-anak; berkulit putih, hitam, coklat atau lainnya; apapun status kelahirannya;
apapun keyakinannya; memiliki hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya. Disamping itu baik
7 Pasal 8, ibid.
8 Pasal 10 [3], ibid.
9 Pasal 11, ibid.
10 Herry Priyono, Kompas 5/3/2002.
4 rumpun hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya tak
terbagikan/terpisahkan dan saling terkait.
Berbeda dengan ’kebutuhan’, yang bersifat kontekstual dan subyektif, hak asasi
mensyaratkan adanya pihak yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika negara gagal
melakukan kewajibannya memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya maka setiap orang yang
tersingkir mempunyai dasar untuk melakukan perlawanan.
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM tak pelak lagi selalu mengacu pada
DUHAM. Salah seorang penggagas DUHAM asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi
DUHAM sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil (pasal 1-11), hak sosial (pasal
12-17), hak politik (pasal 18-21), hak ekonomi dan budaya (pasal 22-27), serta tanggungjawab
negara 28-30.
Rene Cassin juga menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci yang memayungi pasalpasal dalam DUHAM, yaitu “biarkan saya menjadi diri saya sendiri” untuk pasal hak sipil,
“jangan campuri urusan kami” untuk pasal hak sosial, “biarkan kami turut berpartisipasi”
untuk pasal hak politik, “beri kami mata pencaharian” untuk pasal hak ekonomi dan budaya.
Adapun bangunan umum rujukan HAM bisa digambarkan sebagaimana bagan berikut,
Kewajiban Negara
Pasal 28‐30
Kovenan Hak Sipol 1976
Hak Sipil
(Pasal 1-11)
Hak Sosial
(Pasal 12-17)
Konvensi Int.l
Konvensi Int.l
Konvensi Int.l
Konvensi Int.l
Ratifikasi UU Nasional
Kovenan Hak Ekosob 1976
Hak Politik
(Pasal 18-21)
Hak Ekonomi & Bud
(Pasal 22-27)
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Sedunia
Bagan 1. Bangunan Instrumen HAM
Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hakhak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan
Interna-sional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights – ICCPR).
Pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No.
11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari
sistem hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok
5 yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan), CRC
(anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial).
Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena
negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan
kewqajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundangundangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah
pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan
dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fullfil) hak-hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah
yangh lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah,
kebijakan dan tindakan yang dilakukan.
Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen baik internasional maupun nasional
yang menjadi acuan utama sebagaimana tergambar dalam Bagan 2 dan Bagan 3.
Bagan 2. Instrumen HAM Internasional
6 Bagan 3. Instrumen HAM Nasional
Kewajiban Negara Yang mengikat
Setelah ratifikasi ICESCR, pemerintan Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat
secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah,
harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan
yang terkandung dalam ICESCR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera
melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICESCR. Semua
peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICESCR harus dicabut dan direvisi.
Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi.
Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi ICESCR yang telah diratifikasi,
sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang
seharusnya dinikmati warganegara.
Dengan telah diratifikasinya ICESCR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban
untuk membuat laporan mengenai upaya dan capaian pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya yang harus disampaikan pada Komite di PBB.
Obligasi negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam
Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial,
kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan “komitmen” dan
“kemauan baik”, yang tidak mengenal “setengah komitmen” atau “komitmen setengah-setengah”
melainkan “komitmen penuh” untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan
persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal
3 Kovenan.
7 Tabel 2: Hak-hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 11/2005
No Pasal
Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
1 Pasal 6 Hak hak atas pekerjaan
2 Pasal 7 Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan
3 Pasal 8 Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh
4 Pasal 9 Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial
5 Pasal 10 Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu,
anak, dan orang muda
6
7
8
9
Pasal 11 Hak atas standar kehidupan yang memadai
Pasal 12 Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang
dapat dicapai
Pasal 13 Hak atas pendidikan
Pasal 14 Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya
Pada dasarnya semua pemenuhan hak ekosob memang membutuhkan biaya. Misalnya,
jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang
layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan
maka Pemda jangan melakukan penggusuran. Hal lain adalah semua pemenuhan hak ekosob
mesti menunggu sumber daya yang berlimpah. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan –
memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga.
Pada dasarnya hak asasi menciptakan adanya kewajiban korelatif. Demikian pula dengan
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengacu pada Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kewajiban negara memang dirumuskan tidak secara ketat. Sebagai
contoh, pasal ini menggunakan istilah (a) ‘melakukan langkah-langkah’.. dengan segala cara
yang tepat’, (b) “hingga sumber-sumber daya yang paling maksimal yang ada”, (c)
”mencapainya secara bertahap”. Rumusan ini bisa menimbulkan kekhawatiran bagi pihak korban
hak-hak mereka tidak dapat direalisasikan. Seperti telah dijelaskan dimuka lingkup
tanggungjawab negara telah dijabarkan dalam Komentar Umum No. 3, Maastricht Guideline
(Acuan-acuan Maastricht), dan Limburg Principles (Prinsip-prinsip Limburg). Maastrich
guideline menggambarkan sejumlah tindakan yang bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran.
Panduan itu memang dirumuskan secara umum dan karenanya bisa dicoba diterapkan
dalam situasi riil. Daftar yang disusun di bawah ini didasarkan pada kewajiban negara untuk
aktif sehingga menjamin pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tepat. Kalau negara
(yang harusnya melakukan tapi) tidak melakukan kewajiban itu dianggap sebagai pelanggaran
hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan pembiaran, sebagai contoh:
• seperti juga diungkapkan dalam Prinsip-prinsip Limburg11, kegagalan negara untuk
melakukan langkah-langkah yang diperlukan (sesuai Pasal 2 ayat 1) merupakan
pelanggaran hak asasi manusia karena pembiaran;
• kegagalan merubah atau mencabut peraturan yang sungguh-sungguh tidak konsisten
dengan kewajiban yang ada dalam kovenan ini. Sebagai contoh, Peraturan Daerah DKI
11 Prinsip-prinsip Limburg, para. 16-20.
8 •
•
•
11/1988 mengenai Ketertiban Umum merupakan aturan yang jelas-jelas melarang hak
bekerja masyarakat (miskin) tentu merupakan aturan yang seharusnya dicabut. Tidak
dicabutnya peraturan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia ekonomi, sosial,
dan budaya;
kegagalan melaksanakan aturan atau memberlakukan kebijakan yang diperuntukan bagi
pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai contoh, strategi wajib sekolah
sembilan tahun (untuk memenuhi hak atas pendidikan) tapi tidak dijalankan bisa
dianggap sebagai pelanggaran negara atas hak pendidikan dengan pembiaran;
kegagalan mengatur pihak ke tiga (termasuk modal) entah individu atau kelompok agar
mereka mencegah melakukan pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya;
kegagalan negara memperhitungkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam membuat
perjanjian internasional dengan negara lain, sebuah organisasi internasional, atau dengan
perusahaan multinasional. Negara tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki kapasitas
untuk menjamin pencegahan pelanggaran oleh pihak ketiga.
Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak Ekosob
Dengan pengikatan Indonesia sebagai negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka
penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat
“secara sewenang-wenang” diklaim oleh lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dan
pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti
penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak
Ekosob)yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/2005,
Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap
terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa
Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob.
Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan “hak atas air”
sebagai “hak asasi manusia”– sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan,
maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian – “the right to water” sebagaimana
dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang
menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan. DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena
menafsirkan hak atas air sebagai “water rights” ala Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran
yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan
hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk
keuntungan orang seorang dan badan usaha privat.
Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk
perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati
semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai
manusia. Untuk itulah kerangka kerja negara disusun untuk keperluan meningkatkan penikmatan
hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan
(degradasi) penikmatan hak ekosob warganegaranya.
Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan
“minimum core obligation” atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan
diimplementasikan negara. Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi negara atau tidak,
akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya
9 menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak
ekosob.
Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal
dua bentuk obligasi negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of
conduct dan obligation of result.
Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban negara untuk melakukan
sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote),
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) – memfasilitasi (to
facilitate) dan menyediakan (to provide) – penikmatan hak-hak ekosob.
Mengakui (to recognize)
Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi
manusia. Dengan demikian jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka
semestinya negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para
pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat
memperoleh akses terhadap pelayanan
kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan,
maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem
hukum di Indonesia (justiciable).
Obligasi negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara
tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, negara
berkewajiban untuk menerima “the essential importance of international cooperation based on
free consent”.
Mempromosikan (to promote)
Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi
hak-hak ekosob. Promosi bukan saja perlu dilakukan melalui penyebaran iklan layanan
masyarakat tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif.
Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib
dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program
pemenuhan hak ekosob.
Partisipasi masyarakat semacam ini (full and meaningful participation), dimungkinkan
jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebijakan “pembangunan” secara luas
agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik.
Pentingnya negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang
pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal pelaporan yang dilakukan negara Pihak.
Menghormati (to respect)
Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan negara, mempunyai makna, negara tidak
melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob
masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu
sendiri.
Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetujuan sukarela calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan). Contoh lain, negara
10 tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau
kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk
serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan)
Melindungi (to protect)
Salah satu contoh yang paling prudent obligasi negara untuk melindungi hak ekosob,
yakni memastikan adanya “legal security of tenure”,13 keamanan hukum kepemilikan atas
tanah.12 Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundangundangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan,
termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi
keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi
ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar
dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan).
Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan
perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah
melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang
memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta negara untuk melakukan perlindungan
bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial.
Perlindungan, sebagai obligasi negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang
bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan).
Memenuhi: Memfasilitasi dan Menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide)
Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara
melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakanhak-hak ekosob setiap warga negaranya.
Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan
sebagai berikut:
• Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program
pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan Hak Ekosob);
• Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga
negara (Pasal 9 Kovenan Hak Ekosob);
• Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang
masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan Hak Ekosob);
• Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas
pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus
menerus (Pasal 11 Kovenan Hak Ekosob);
• Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggitingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob);
12
Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk
Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi negara untuk melindungi hak atas tanah: karena
tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya
diambil-alih. Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si
pemilik tanah.
11 •
•
Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap
orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (compulsory and free of
charge) (Pasal
13 dan 14 Kovenan Hak Ekosob). Tidak seperti sekarang, “cuma” bayar SPP, “cuma”
bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid;
Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob);
Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob
Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan: “Setiap Negara Peserta Kovenan ini
berupaya untuk mengambil langkah-langkah,secara sendiri maupun melalui bantuan dan
kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan
oleh sumberdaya yang tersedia, yangmengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi
sepenuhnyadari hak-hak yang diakui dalamKovenan ini dengan semua cara yangtepat, termasuk
pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkahlegislatif”.
Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2
tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan
dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya.
Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan.
Selain itu, penting untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2
Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan.
Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh
dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources), pencapaian
secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving progressively the full realization), dan
dengan
semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif
(by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures)’ adalah
bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol).
Penggunaan istilah “Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkah-langkah”
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan
dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak
Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa, “…walaupun realisasi sepenuhnya
atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkahlangkah ke arah itu
harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta
bersangkutan.”
Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan
kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajibankewajiban Kovenan. Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan
langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak
diimplementasikan.
Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan
tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah
tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasisituasinya. Interpretasi Komite terhadap
12 istilah ‘all appropriate measures’ jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan (obligations
of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result).
Sementara itu berkait istilah ‘mengadopsi langkah-langkah legislatif’’(adoption of
legislative measures) Komite memberi peringatan bahwa keberadaan hukum jelas penting tetapi
hal tersebut belumlah cukup membuktikan Negara Peserta telah menjalankan kewajibannya
sesuai Kovenan. Berdasarkan pengalaman Komite ketika membahas laporan Kanada
menyatakan, jika laporan difokuskan secara sempit pada aspek-aspek legal semata, maka
kecurigaan biasanya akan muncul berkenaan dengan adanya kesenjangan antara peraturan
perundang-undangan dengan praktik.
Dalam kenyataan, pembelajaran dan ekspresi dari banyak Negara Peserta dalam
mengimplementasikan kewajibannya telah mendorong pentingnya aplikasi pendekatan berbasis
hak dalam “pembangunan”. Suatu kebijakan ekonomi atau pembangunan memang untuk
mencapai kesejahteraan warganegaranya, tetapi mereka tidak dapat dibuat menunggu pemenuhan
hak-hak asasinya sampai klaim “pertumbuhan ekonomi” memungkinkan hal itu.
Kini ratifikasi Kovenan Hak Ekosob memberi pemahaman mendasar bahwa peningkatan
ekonomi haruslah secara nyata didasarkan pada penghormatan dan realisasi hak asasi manusia.
Pada titik ini, Komite sekali lagi memberi peringatan bahwa klausul realisasi secara progresif
sepatutnya juga dicerminkan pada pelaksanaan kewajiban yang menjamin agar tidak terjadi
perkembangan regresif atau kemunduran.
Jika hal itu pun terpaksa dilakukan dan terjadi, maka harus dijalankan dengan
pertimbangan yang sangat hati-hati, dibutuhkan justifikasi penuh dengan mengacu pada inti hak
yang ditentukan dalam Kovenan dan dalam konteks pemanfaatan sejauh mungkin atas
sumberdaya yang ada. Komite mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini,
tetapi tidak menganggap bahwa ketersediaan sumberdaya sebagai alasan untuk lepaskan
kewajibannya.
Dalam kasus semacam ini, Komite menyatakan bahwa, dalam kasus dimana sejumlah
cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus
membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak-hak orangorang ini memang diluar kendali.
Disinilah konteks gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan
oleh Komite. Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum
untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam
Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai
contoh, jika terdapat penduduk secara massal, menderita kelaparan, tidak memiliki akses
terhadap pelayanan kesehatan, tak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak
menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan Negara gagal menjalankan obligasinya
berdasarkan Kovenan.
Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya
sumberdaya yang ada, kewajiban Negara tetap dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang
seluas-luasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan, pada saat terjadi keterbatasan
sumberdaya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan
perlindungan dengan diadopsinya programprogram yang dirancang relatif murah.
Pasal 2 ayat (1) Kovenan, juga menegaskan tentang perlunya kerjasama dan bantuan
internasional berkait dengan upaya realisasi hak. Pada kenyataannya memang Negara Peserta
mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak
secara penuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga, yang biasanya menunjuk pada keterlibatan
13 lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional, untuk mendukung
bantuan teknis dan pinjaman dana.
Problemnya, pada banyak negara, bahwa pada akhirnya mereka menjadi sangat
tergantung pada aliran dana luar negeri, terjebak pada hutang luar negeri yang sangat besar, dan
sementara itu sebagian besar penduduknya tetap dan jatuh miskin. Kesulitan utama dari
persoalan ini adalah operasional dari lembaga atau badan pembangunan multilateral dan
keuangan internasional itu lepas dari kerangka kerja hak asasi manusia, dan negara pengutang
tidak berdaya karena situasi ketergantungan dan keterjebakan hutang yang dialaminya.
Pada suatu titik momentum ketika kelaparan dan kemiskinan menjadi musuh nomor satu
dari semua negara di dunia ini, kerjasama pembangunan internasional ditandai oleh berbagai
perubahan cara pandang dan kebijakan yang merujuk pada pemahaman bahwa realisasi hak asasi
manusia merupakan kunci untuk lepas dari situasi ini. Tetapi terpisahnya logika globalisasi
ekonomi dengan kerangka kerja hak asasi manusia menjadikan harapan akan membaiknya situasi
derita dunia menjadi pupus kembali.
Komite menegaskan bahwa Negara Peserta yang penduduknya dalam jumlah yang
signifikan mengalami kekurangan bahan pangan, kekurangan pelayanan kesehatan dasar, tiada
akses terhadap pemukiman dan perumahan yang layak, atau tiada akses terhadap pendidikan
dasar merupakan petunjuk awal bagi kegagalan Negara untuk memenuhi kewajiban sebagaimana
diatur Kovenan. Pemahaman ini didasarkan pada keberadaan gagasan kewajiban minimum
(minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Konsep kewajiban minimum
diajukan oleh Komite untuk menyangkal alasan tidak adanya sumberdaya sebagai faktor yang
mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa Negara mempunyai kewajiban
minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang
minimum.
Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran
terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Hak Ekosob. Dalam perkembangannya, penguatan
konsep pelanggaran Hak Ekosob terus dilakukan oleh banyak ahli hukum hak asasi manusia
internasional yang kemudian dituangkan dan dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Limburg (the
Limburg Principles). Prinsip-prinsip ini memberikan kerangka dasar bagi pengembangan lebih
lanjut atas berbagai asumsi dan konsep pelanggaran Hak Ekosob.
Tapi yang penting dipahami di sini adalah bahwa kegagalan Negara Peserta untuk
memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Kovenan jelas merupakan pelanggaran terhadap
Kovenan. Pelanggaran terhadap Kovenan tersebut, dapat dimaknai, dalam situasi dan kondisi di
mana negara Peserta:
• gagal mengambil langkah-langkah seperti yang disyaratkan dalam Kovenan;
• gagal menyingkirkan segera atas berbagai hambatan yang menghalangi realisasi hak
secara penuh;
• gagal untuk mengimplementasikan hak yang perlu segera direalisasikan;
• menerapkan pembatasan atas hak yang diakui dalam Kovenan dengan alasan-alasan yang
tidak sesuai seperti yang disyaratkan Kovenan;
• sengaja menghambat atau menghalangi realisasi bertahap atas hak-hak yang diakui dalam
Kovenan;
• gagal menyampaikan laporan sebagai ditentukan dalam Kovenan.
14 Di sisi lain, karena pengembangan konsep pelanggaran hak banyak difokuskan pada
pemenuhan kewajiban, maka pemahaman akan penegakan realisasi hak ekonomi, sosial, dan
budaya merupakan wilayah eksekutif dengan berbagai kebijakan dan programnya. Komite jelas
menolak pemahaman ini. Komite menyatakan bahwa hak ekosob juga menjadi urusan
pengadilan. Dengan begitu, menurut Komite, penegakan hak-hak yang terkandung dalam
Kovenan Hak Ekosob ini bisa ditangani oleh pihak yudikatif.
Untuk mengukur apakah negara berhasil atau sebaliknya gagal dalam menjalankan
obligasinya, seperti termuat dalam Kovenan Hak Ekosob, dapat menggunakan kebijakan dan
standard yang sudah ada. Jika belum maka, perlu dibuat blue-print untuk masing-masing
pemenuhan hak ekosob, yang dimuat dalam katalog hak Kovenan. Sebagai contoh, dalam rangka
pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati standard hidup yang layak bagi dirinya dan
keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian dan perumahan yang layak, serta
peningkatan kondisi kehidupan secara terusmenerus, pemerintah misalnya telah merumuskan
kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK). Menariknya, dokmen ini
disusun dengan perspektif, yang memandang problem kemiskinan berkait langsung dengan tidak
terpenuhinya hak-hak dasar, utamanya hak-hak ekosob. Dalam dokumen ini juga ditegaskan,
peristiwa kemiskinan adalah masalah hak asasi manusia.
Selain itu, SPNK juga memuat rekomendasi caracara penghapusan kemiskinan dan
pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dengan mekanisme implementasi
yang diadopsi oleh Kovenan Hak Ekosob. Memeriksa, dokumen SNPK ini, dapat dikatakan,
kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan, di satu sisi, kualitas kehidupan seseorang sangat
bergantung pada realisasi hak-hak asasinya, dan di sisi lain adalah menjadi kewajiban Negara
untuk melaksanakan realisasi hak-hak asasi itu sepenuhnya.
Mekanisme Monitoring Pelaksanaan Obligasi Negara
Selain memberikan penafsiran dan elaborasi terhadap pasal-pasal dalam Kovenan, fungsi
utama Komite Ekosob, melakukan pemantauan terhadap implementasi obligasi Negara Pihak
dalam mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi (memfasilitasi dan
menyediakan) hak-hak ekosob masyarakat. Mekanisme monitoring implementasi ketentuan
dalam Kovenan Hak Ekosob, dilakukan antara lain melalui pengawasan yang dilakukan Komite
Hak Ekosob yang dibentuk berdasarkan Kovenan, atau disebut dengan mekanisme berdasarkan
perjanjian (treatybased mechanism).
Walaupun “terlambat” lahir, dibandingkan “Komite Hak Asasi Manusia”, Komite Hak
Ekosob mulai menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pada 1986, menggantikan
sebuah Kelompok Kerja (Working Group) yang dibentuk Dewan Ekonomi dan Sosial –
Economic and Social Council (ECOSOC). Komite ini terdiri dari 18 pakar independen yang
bekerja untuk memeriksa (mengeksaminasi) laporan Negara Pihak dalam menjalankan obligasi
(kewajiban) yang tercantum di Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (Kovenan Hak Ekosob). Lihat Tabel 5.
Dalam menjalankan fungsinya, Komite bekerjasama dengan lembaga-lembaga khusus
PBB yang lain. Sebagai contoh, dalam memeriksa laporan yang berkaitan dengan obligasi negara
untuk memenuhi hak atas pangan, seperti dinyatakan dalam Pasal 11 Kovenan, Komite bekerja
sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian – Food and Agriculture Organisation (FAO).
Contoh lain, dalam memeriksa obligasi pemenuhan hak atas pendidikan, Komite mengambil
manfaat dan bekerjasama dengan para pakar yang bekerja pada Organisasi Pendidikan, Ilmu
15 Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organisation (UNESCO).
Demikian juga kerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional – International Labor
Organisation (ILO) dalam kaitan dengan hak-hak buruh atau bekerjasama dengan UN Centre for
Human Settlement (Habitat) berkaitan dengan hak setiap orang untuk menikmati perumahan
yang layak. Dialog yang terjadi antara Komite dengan perwakilan Negara dikembangkan, untuk
selanjutnya Komite memberikan rekomendasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan Negara
selanjutnya.
Dalam hal ini, Komite dituntut selalu mengembangkan praktik kreatif untuk mendorong
Negara Pihak benarbenar menjalankan kewajibannya. Dalam melaksanakan fungsinya, Komite
juga memperhatikan dokumen yang berkaitan dengan hak-hak ekosob, seperti Prinsip-prinsip
Limburg (Limburg Principles), yang kemudian dikembangkan di Maastricht pada 1986.
Selain treaty-based mechanism tersebut, maka dimungkinkan juga pengawasan dilakukan
berdasarkan nontreaty based seperti prosedur khusus (special procedure) dibawah Komisi Hak
Asasi Manusia (Commission on Human Rights) – yang sekarang diganti oleh Dewan Hak Asasi
Manusia (Human Rights Council). Komite Hak Ekosob dalam menjalankan fungsinya juga
mendengarkan pendapat dan
masukan dari para pelapor khusus ini
Penting untuk diingatkan lagi, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dimungkinkan
secara penuh, berdasarkan Kovenan Hak Ekosob, dimana Komite senantiasa meminta atau
terbuka untuk menerima masukan dari organisasi-organisasi non-pemerintah ketika memeriksa
laporan yang disampaikan Negara Pihak.
Tabel 3. Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Negara
DIMENSI-DIMENSI HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak
ekonomi,
sosial dan
budaya
I PENGHORMATAN (tidak
ada gangguan dalam
pelaksanaan hak)
II PERLINDUNGAN
(mencegah pelanggaran
oleh pihak ketiga)
III PEMENUHAN
(penyediaan
sumberdaya dan hasilhasil kebijakan)
Pemerintah berkewajiban membuat
UU untuk melindungi dan
menjamin hak setiap warganegara
agar tak mengalami diskriminasi
etnis, ras, jender atau bahasa dalam
bidang kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan, serta alokasi
sumberdaya yang kurang
Pemerintah harus
mengupayakan tindakan untuk
mencegah pelaku non-negara
berperilaku diskriminatif
sehingga membatasi akses
dalam bidang kesehatan,
pendidikan serta bidang
kesejahteraan lainnya
Pemenuhan secara
progresif; Investasi di
bidang kesehatan,
pendidikan dan bidang
kesejahteraan lainnya serta
alokasi sumberdaya untuk
kemampuan masyarakat
Mekanisme Pelaporan Sebagai Sebuah Pertanggungjawaban
Berbeda dengan hak-hak sipol yang jaminan utamanya ada dalam Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan Protokol Pertamanya, Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) tidak memiliki badan yang memonitor
pelaksanaan kovenan oleh negara pihak. Badan yang mengurusi persoalan hak-hak ini dalam
sistem PBB adalah Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (selanjutnya disebut Komite),
yang dibentuk pada 1987 di bawah ECOSOC. Aktivitas utamanya adalah menguji laporan16 laporan negara pihak hingga mengambil hasil observasi, membuat resolusi serta Komentar
Umum.13
Melalui proses demikian masalah tidak adanya mekanism menuntut keadilan secara
bertahap dicoba diatasi. Sebab, komite berhak untuk memonitor derajat realisasi hak-hak yang
ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Saat ini bahkan
sedang digagas adanya protokol tambahan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya khusus
mengenai mekanisme ‘komplain individu’ terhadap dilanggarnya hak asasi mereka.
Adapun untuk memonitor, menilai dan mengukur tindakan atau langkah-langkah yang
telah dilakukan negara dalam memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya setidaknya
melibatkan:
• Penggunaan indikator-indikator. Karena indikator inilah persis yang akan jadi ukuran sejauh
mana negara dari waktu ke waktu merealisasikan pemenuhan hak-hak asasi tersebut.
Indikator ini digunakan untuk mengukur situasi tertentu dan perubahan-perubahan yang telah
dicapai (harus diingat bahwa hak itu dicapai secara bertahap). Dan sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, standard-standar hak ekonomi, sosial, dan budaya belum
seluruhnya berkembang. Untuk itu penting membuat indikator mengenai kandungan dari
hak-hak ini untuk kegiatan monitoring maupun advokasi. Mungkin diantaranya melakukan
penelitian sehingga bisa ditemukan standar dengan pemahaman yang lebih mendalam.
Adakah misalnya metode produksi pangan atau perbaikan dalam konservasi dan sistem
distribusi pangan?
• Monitoring pada baik tindakan pemerintah dan hasil-hasil dari tindakan yang bersangkutan.
• Mengajukan tuntutan ke hadapan pengadilan berdasarkan standar-standar hak asasi manusia.
Seperti pernah disinggung sebelumnya di India dan sejumlah negara lain, tuntutan hak atas
tempat tinggal layak dapat diajukan dan diproses ke pengadilan.
• Memonitor alokasi anggaran pembangunan.
• Memonitor sejauh mana standar-standar hak asasi manusia menjadi ukuran dalam
perencanaan hingga evaluasi proses pembangunan.
Salah satu kewajiban pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR adalah
keharusan untuk menyampaikan pelaporan pelaksanaan isi konvensi ini kepada Sekjen PBB
untuk kemudian diteruskan kepada Komite HAM sebagaimana dalam sistem HAM PBB (lihat
Bagan 4). Komite HAM ini dibentuk oleh para negara pihak untuk mengawasi pelaksanaan
kovenan sebagaimana dalam Bagan 5 dengan periodisasi sebagaimana tergambar dalam Tabel
5.
Sesuai Pasal 40 ICCPR, laporan pendahuluan (initial report) pelaksanaan kovenan sudah
harus disampaikan kepada Sekjen PBB dalam kurun waktu 1 tahun setelah kovenan berlaku bagi
negara pihak. Setelah itu kewajiban pelaporan negara pihak tergantungpada permintaan Komite.
Monitoring terhadap Pelanggaran dan Pengaduan
13 Lihat Revised Guideline Regarding the Form and Contents of Reports to be Submitted by States Parties Under Article 16 and 17
of ICESCR, Juni 1991 (UN Doc.E/C.12/1991).
17 Bagan 4. Bagan Sistem HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
18 Bagan 5. Mekanisme Pertanggungjawaban Pelaksanaan dan Implementasi HAM
19 Tabel 5. Periodisasi Pelaporan
20 Tabel 6. Prosedur Khusus di bawah Komisi HAM dengan mandat tematik yang relevan dengan
hak-hak Ekosob (per 1 februari 2006)
21 Buku Referensi Yang Dianjurkan Untuk Dibaca:
•
•
•
•
Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
Insist Press, Yogyakarta, 2003.
Asbjorn Eide, Catarina Krause, and Allan Rosas (ed.), Economic, Social and Cultural
Rights, Martinus Nijhoff Publishers, 2001.
Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus
Nijhoff Publishers, 2003.
Komentar Umum Hak Sipol Dan Hak Ekosob, Komnas HAM, Jakarta, 2009.
22 KOMENTAR UMUM 9
(Sidang kesembilan belas, 1998)
(Laporan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
UN doc E/1999/22, hal. 117-121)
Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri
A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum
dalam negeri
1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan sifat dan jangkauan dari kewajiban-kewajiban Negara peserta.
Komentar umum ini ingin memperluas unsur-unsur tertentu dari pernyataan terdahulu.
Kewajiban utama yang berkenaan dengan Kovenan adalah agar Negara merealisasikan
hak-hak yang telah diakui di dalamnya. Dengan menuntut agar Pemerintah melakukan
hal tersebut “dengan segala cara yang tepat”, Kovenan menganut sebuah pendekatan
yang luas dan lentur yang memungkinkan untuk menerima kekhususan sistim hukum
dan administrasi tiap negara peserta, dan juga pertimbangan-pertimbangan lain yang
relevan.
2. Bagaimanapun, fleksibilitas ini hadir bersama dengan kewajiban setiap Negara
peserta untuk menggunakan segala cara yang ada untuk merealisasikan hak-hak yang
diakui dalam Kovenan. Dalam hal ini, persyaratan hukum yang fundamental dari
hukum hak asasi manusia internasional harus ditanamkan dalam pikiran. Karena itu,
norma-norma Kovenan harus diakui dengan cara yang tepat dalam tatanan hukum
dalam negeri, cara-cara pemulihan yang sesuai, harus tersedia bagi individu atau
kelompok yang tersakiti, dan cara-cara yang tepat untuk memastikan adanya
akuntabilitas pemerintah juga harus dibuat.
3. Pertanyaan-pertanyaan seputar pelaksanaan Kovenan di dalam negeri harus
dipertimbangkan berdasarkan dua prinsip hukum internasional. Pertama, sebagaimana
tercermin dalam pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian-Perjanjian pada
tahun 1969, adalah bahwa “[sebuah] negara tidak boleh menganggap kondisi-kondisi
dalam hukum internalnya sebagai pembenaran atas kegagalannya dalam pelaksanaan
suatu perjanjian.” Dengan kata lain, Negara harus mengubah tatanan hukum dalam
negeri seperlunya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian mereka. Prinsip
kedua tercermin dalam pasal 8 Universal Declaration of Human Rights, dimana
“Setiap orang berhak atas sebuah pemulihan yang efektif oleh peradilan nasional yang
kompeten karena tindakan pelanggaran atas hak-hak fundamental yang diberikan
kepadanya oleh undang-undang atau oleh hukum.” Kovenan tidak memiliki padanan
langsung dari pasal 2.3 (b) dari Kovenan Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik
yang mewajibkan Negara untuk, inter alia, “mengembangkan peluang pemulihan oleh
hukum.” Walau demikian, Negara yang mencari pembenaran atas kegagalannya untuk
menyediakan pemulihan oleh hukum dalam negeri atas pelanggaran hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya akan harus menunjukkan bahwa pemulihan-pemulihan semacam itu
“bukan cara yang tepat” dalam kondisi pasal 2.1 Kovenan atau bahwa, berdasarkan caracara lain yang digunakan, cara-cara itu tidak perlu diterapkan. Akan sukar untuk
menunjukkan hal ini sehingga Komite mempertimbangkan bahwa, dalam berbagai
kasus, “cara-cara” lain yang digunakan itu dapat dianggap tidak efektif jika cara-cara itu
tidak didukung atau dilengkapi dengan pemulihan oleh hukum.
B. Status Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri
4. Pada umumnya, standar-standar hak asasi manusia internasional yang terikat
secara hukum seharusnya berfungsi langsung dan dengan segera dalam sistem hukum
dalam negeri di tiap negara, dengan demikian memungkinkan individu-individu untuk
mencari pemenuhan atas hak-hak mereka di hadapan peradilan nasional. Aturan yang
menyatakan digunakannya seluruh usaha pemulihan di dalam negeri dalam hal ini
memperkuat dominasi pemulihan nasional. Eksistensi dan pengembangan lebih lanjut
dari berbagai prosedur internasional untuk memungkinkan adanya gugatan perorangan
adalah hal yang penting, tetapi prosedur-prosedur semacam itu akhirnya hanya bersifat
pelengkap terhadap pemulihan nasional yang efektif.
5. Kovenan tidak menuntut cara-cara khusus yang harus diterapkan dalam tatanan
hukum dalam negeri. Di samping itu, tidak ada kondisi-kondisi yang mewajibkan
integrasinya secara menyeluruh atau menuntut untuk sesuai status tertentu apapun
dalam hukum nasional. Walaupun metode yang tepat memasukkan hak-hak yang ada di
dalam Kovenan ke dalam hukum nasional bergantung pada masing-masing Negara,
cara-cara yang digunakan harus sesuai agar dapat memberikan hasil yang sejalan
dengan pelepasan penuh kewajiban-kewajibannya oleh Negara. Cara-cara yang terpilih
itu juga bisa ditinjau kembali sebagaibagian dari pemeriksaan Komite atas laporan
Negara dengan berbagai kewajibannya di bawah Kovenan.
6. Sebuah analisis atas praktek Negara yang berkenaan dengan Kovenan
memperlihatkan bahwa Negara telah menggunakan berbagai pendekatan. Sejumlah
Negara telah gagal samasekali untuk melakukan hal-hal yang spesifik. Dari negaranegara yang telah menerapkan ukuran-ukuran, sebagian di antaranya telah mengubah
Kovenan menjadi hukum dalam negeri dengan memberikan tambahan atau mengubah
undang-undang yang sudah ada, tanpa memunculkan kondisi-kondisi khusus Kovenan.
Sedangkan yang lain telah melaksanakan atau mengintegrasikannya ke dalam hukum
dalam negeri sedemikian rupa sehingga kondisi-kondisi khususnya tetap terjaga dan
mendapatkan kesahihan formal dalam tatanan hokum nasional. Hal ini kerap kali
dilakukan melalui sarana-sarana ketentuan konstitusional menurut prioritas pada
ketentuan dalam perjanjian hak asasi manusia internasional pada setiap hukum
domestik yang tidak sesuai. Pendekatan Negara terhadap Kovenan sangat bergantung
pada pendekatan yang diadopsi pada perjanjian secara umum dalam tatanan hukum
dalam negeri.
7. Apapun metodologi yang ditetapkan, terdapat beberapa prinsip yang muncul dari
kewajiban untuk memberikan dampak pada Kovenan dan, karenanya, harus dihormati.
Pertama, cara-cara pelaksanaan yang ditentukan harus cukup memadai untuk
memastikan pemenuhan berbagai kewajiban di bawah Kovenan. Kebutuhan untuk
memastikan justiciability (baca par. 10 di bawah) dipandang relevan saat
menentukan cara yang paling tepat untuk memberikan dampak hukum dalam negeri
pada hak-hak Kovenan. Kedua, laporan harus disusun dengan cara-cara yang telah
terbukti efektif di dalam negeri perihal kepastian perlindungan hak-hak asasi manusia
lainnya. Dimana cara-cara yang digunakan untuk memberi dampak pada Kovenan atas
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya itu berbeda dari cara-cara yang dipakai dalam
kaitannya dengan Kovenan-Kovenan hak asasi manusia lainnya, di situ harus terdapat
pembenaran yang kuat atas hal ini, dengan mempertimbangkan fakta bahwa rumusanrumusan yang dipakai dalam Kovenan dapat dibandingkan dengan rumusan-rumusan
yang dipakai dalam berbagai Kovenan seputar hak-hak sipil dan politik.
8. Ketiga, walaupun Kovenan tidak secara formal mewajibkan Negara untuk
mengintegrasikan kondisi-kondisinya ke dalam hukum dalam negeri, pendekatan
semacam itu lebih diinginkan. Pengintegrasian langsung dapat menghindarkan
masalah-masalah yang mungkin timbul dalam penerjemahan kewajiban Kovenan
menjadi hukum nasional, dan menyediakan suatu landasan bagi pengajuan hak-hak
Kovenan secara langsung oleh individu-individu dalam peradilan nasional. Karena
alasan ini, Komite sepenuhnya mendorong pelaksanaan dan pengintegrasian Kovenan
secara formal ke dalam hukum nasional.
C. Peran pemulihan secara hukum
Penyelesaian secara hukum atau penyelesaian pengadilan?
9. Hak atas sebuah pemulihan yang efektif tidak perlu ditafsirkan sebagai selalu
membutuhkan sebuah pemulihan oleh peradilan. Dalam banyak kasus, pemulihan
secara administratif akan cukup memadai dan orang-orang yang tinggal di dalam
wilayah yurisdiksi sebuah Negara memiliki sebuah harapan yang memiliki landasan,
didasarkan pada prinsip adanya keyakinan yang baik, bahwa segenap otoritas
administratif akan mempertimbangkan kondisi-kondisi Kovenan dalam pengambilan
keputusan mereka. Pemulihan administratif seperti itu harus dapat diakses, terjangkau,
tepat waktu, dan efektif. Hak tertinggi atas banding pengadilan dari prosedur
administratif jenis ini kerap kali juga merupakan cara yang tepat. Melalui cara yang
sama, terdapat sejumlah kewajiban, seperti kewajiban yang berkenaan dengan nondiskriminasi, dimana ketetapan tentang pemulihan oleh peradilan diperlukan untuk
memenuhi syarat-syarat dari Kovenan. Dengan kata lain, bilamana sebuah hak Kovenan
tidak dapat sepenuhnya efektif tanpa peran peradilan, maka pemulihan oleh peradilan
dibutuhkan.
Sifat Justiciability(dapat dituntut di pengadilan)
10. Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik, pemulihan oleh peradilan
terhadap pelanggaran-pelanggaran sifatnya esensial. Sayangnya, anggapan yang
sebaliknya justru kerap muncul sehubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya. Kesenjangan ini tidak dijamin baik oleh karakteristik hak maupun ketetapanketetapan Kovenan yang relevan. Komite telah menunjukkan bahwa banyak dari
ketetapan dalam Kovenan yang dianggap dapat langsung dilaksanakan. Dengan
demikian, dalam Komentar Umum No.3 disebutkan, melalui contoh, pasal 3, 7 (a), 8,
10.3, 13.2 (a), 13.3, 13.4, dan 15.3. Penting adanya untuk membedakan “Justiciability”
(yang merujuk pada berbagai persoalan yang sebaiknya diselesaikan melalui peradilan)
dan norma yang sifatnya lebih berdiri sendiri (dapat diterapkan melalui peradilan tanpa
perluasan lebih lanjut). Walau pendekatan umum terhadap setiap sistem hukum perlu
dipertimbangkan, tidak ada hak Kovenan yang tidak dapat, di kebanyakan sistem,
dianggap mempunyai setidaknya beberapa dimensi nilai peradilan yang berarti.
Terkadang persoalan yang melibatkan alokasi sumber daya harus diserahkan pada
otoritas politik dan bukannya pengadilan. Walau kekompetenan dari berbagai cabang
pemerintahan harus dihargai, tepat adanya untuk mengenal bahwa pengadilan biasanya
telah terlibat dalam banyak persoalan yang memiliki implikasi sumber daya yang
penting. Penerapan pengklasifikasian yang kaku atas hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya yang menempatkan hak-hak itu, melalui definisi, di luar jangkauan pengadilan
akan menjadi bersifat sewenang-wenang dan tidak sejalan dengan prinsip yang kedua
perangkat hak asasi manusia itu saling bergantung dan tidak terpisahkan. Hal ini juga
akan secara drastis membatasi kapasitas pengadilan dalam melindungi hak-hak dari
berbagai kelompok yang rawan
dan kurang beruntung dalam masyarakat.
Dapat dilaksanakan sendiri
11. Kovenan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa hak-hak yang dikandungnya
dapat memfungsikan-sendiri dalam sistem tempat opsi itu disediakan. Sesungguhnya,
saat dirancang, upaya-upaya untuk memasukkan sebuah ketetapan tertentu di dalam
Kovenan yang dipandang “non-memfungsikan-sendiri” ditolak. Di kebanyakan Negara,
penentuan apakah sebuah ketetapan Kovenan bersifat memfungsikan-sendiri adalah
persoalan yang dihadapi oleh pengadilan, bukan eksekutif atau legislatif. Supaya fungsi
itu efektif, pengadilan-pengadilan terkait harus mewaspadai karakteristik dan implikasi
dari Kovenan dan peran penting dari pemulihan oleh peradilan dalam penerapannya.
Karena itu, sebagai contoh, ketika Pemerintah terlibat dalam proses peradilan, mereka
harus mengajukan berbagai interpretasi atas hukum dalam negeri yang memberikan
dampak pada kewajiban-kewajiban Kovenan mereka. Juga, pelatihan peradilan harus
sepenuhnya menyertakan nilai peradilan dari Kovenan. Sangat penting untuk
menghindari tiap bentuk anggapan yang bersifat apriori bahwa norma-norma harus
dipandang bersifat non-memfungsikan-diri. Nyatanya, banyak dari norma-norma itu
dinyatakan dengan istilah-istilah yang sama jelas dan spesifiknya dengan berbagai
Kovenan hak asasi manusia lainnya, ketetapan-ketetapan yang oleh pengadilan dinilai
sebagai memfungsikan-diri.
D. Perlakuan Kovenan di Pengadilan Dalam Negeri
12. Di dalam panduan Komite mengenai laporan-laporan Negara, Negara diminta
untuk memberikan informasi apakah ketetapan-ketetapan Kovenan “dapat
dimunculkan sebelum, secara langsung diwajibkan oleh, Pengadilan, otoritas peradilan
dan administratif lainnya.” Sejumlah Negara telah menyampaikan informasi itu, tetapi
substansi yang lebih besar harus disertakan dalam unsur ini dalam laporan-laporan
mendatang. Terutama, Komite menuntut Negara untuk memberikan rincian mengenai
sistem hukum yang penting dari pengadilan dalam negeri mereka yang memanfaatkan
ketetapan-ketetapan Kovenan.
13. Atas dasar informasi yang tersedia, jelaslah bahwa praktek Negara beragam.
Komite mencatat bahwa sejumlah pengadilan telah menerapkan ketetapan-ketetapan
Kovenan baik secara langsung maupun melalui standar-standar yang mudah
ditafsirkan. Dalam prinsipnya, pengadilan-pengadilan lainnya beritikad untuk
mengenal relevansi Kovenan dalam menginterpretasikan hukum dalam negeri, tetapi
dalam prakteknya, dampak Kovenan pada interpretasi atau hasil dari kasus-kasus
sangat terbatas. Sedangkan ada pengadilan-pengadilan yang telah menolak nilai
hukum dari Kovenan dalam berbagai kasus dimana individu-individu bergantung
padanya. Masih terdapat peluang yang besar bagi pengadilan di banyak negara untuk
lebih bergantung pada Kovenan.
14. Dalam batas-batas implementasi dari fungsi tinjauan peradilan, pengadilan harus
mempertimbangkan hak-hak Kovenan dimana penting untuk memastikan bahwa
perilaku Negara konsisten dengan kewajiban-kewajibannya di bawah Kovenan. Tolakan
oleh pengadilan atas tanggung-jawab ini tidak sejalan dengan prinsip aturan hukum,
yang harus selalu diterapkan untuk memunculkan penghormatan terhadap kewajibankewajiban hak asasi manusia internasional.
15. Umum diterima bahwa hukum dalam negeri harus diinterpretasikan sedalam
mungkin dengan sebuah cara yang sejalan dengan kewajiban hukum internasional
sebuah Negara. Dengan demikian, ketika seorang pengambil keputusan dalam negeri
dihadapkan pada suatu pilihan antara sebuah interpretasi atas hukum dalam negeri
yang akan menempatkan Negara dalam pelanggaran terhadap Kovenan dan sebuah
interpretasi yang akan memampukan Negara untuk mematuhi Kovenan, hukum
internasional membutuhkan pilihan yang terakhir. Jaminan atas kesetaraan dan nondiskriminasi harus diinterpretasikan, seluas mungkin, dengan cara-cara yang
memfasilitasi perlindungan penuh atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
CATATAN
1. A/CONF.39/27.
2. Pelaksanaan Pasal 2.2 Negara "sepakat untuk menjamin" bahwa hak-hak dalam
Kovenan dilaksanakan “tanpa diskriminasi dalam segala bentuknya.”
3. Pedoman pelaporan, E/C.12/1990/8, Lampiran IV.
Download