PEMERKUATAN PEMAHAMAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK HAKIM SELURUH INDONESIA Holiday Resort Lombok, 28 - 31 Mei 2012 MAKALAH HAK EKOSOB DAN KEWAJIBAN NEGARA Oleh: Yosep Adi Prasetyo Wakil ketuaKomisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Yosep Adi Prasetyo Wakil ketua HAK EKOSOB DAN KEWAJIBAN NEGARA Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak sipil, politik (sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warganegara. Sesungguhnya apa yang dipertaruhkan oleh hak ekonomi, sosial, dan budaya – sama seperti hak sipil dan politik – yaitu martabat manusia. Hak-hak ini melekat pada – atau tidak dapat direnggut dari – manusia karena ia adalah manusia. Hak ini bukan pemberian atau belas kasih dari siapapun – termasuk bukan dari 1 Negara. Pengantar Banyak orang salah mengerti tentang hak asasi manusia (HAM). Pertama, HAM dianggap sebagai senjata dari negara-negara Barat yang dipaksakan secara sepihak kepada negara-negara berkembang. Ke dua, pelaksanaan HAM dianggap bukan hanya tanggungjawab negara tapi juga tanggungjawab individu. Karena ituilah kemudian muncul istilah “kewajiban asasi manusia”. Kedua hal ini, terutama yang ke dua, belakangan ini kerap diucapkan oleh kalangan aparat dan pejabat di tanah air kita ini. Termasuk oleh sejumlah akademisi dari sejumlah universitas. Pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Kalau saja mau membuka-buka dokumen tentang komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari akan kesalahan ini. Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Negara tidak bisa tidak memang harus memenuhi hak-hak warganegara, termasuk hakhak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) seperti hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan berbagai hak lain. Atas kewajiban inilah inisiatif negara, dalam hal ini pemerintah, membentuk berbagai departemen, kementerian, dan BUMN. Juga beberapa badan lain yang mendapat mandat khusus seperti Badan Urusan Logistik yang bertanggungjawab atas persediaan dan bahan-bahan kebutuhan pokok (sembako). Aplagi dalam konstitusi Indonesia, dinyatakan bahwa negara/pemerintah merupakan pihak satu-satunya yang berhak untuk menguasai dan mengelola semua kekayaan alam dan bumi di negeri ini sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kesalahpahaman tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kesalahpahaman mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah salah satu sebab pokok adanya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pertama, hak-hak ini lebih dianggap sebagai aspirasi ketimbang suatu hak yang dapat ditegakkan atau harus dipenuhi. Beberapa sikap pejabat negara daerah atau pusat menggambarkan kesesatan itu.1 Ke dua adalah anggapan bahwa pemenuhan hak-hak sosial ekonomi hanya dan hanya dapat dilakukan melalui kebijakan pembangunan (tidak mempunyai efek langsung). Pemikiran ini dilandasi anggapan bahwa realisasi hak-hak tersebut memerlukan waktu dan dilakukan secara bertahap.2 Seringkali pula karena alasan ini ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya hanya berlaku dalam 1 Hal ini antara lain ditunjukkan dari adanya sikap semena-mena sejumlah Pemerintah Daerah untuk menggusur paksa pemukiman-pemukiman miskin – hanya untuk keindahan atau kebersihan kota. Penggusuran ribuan orang itu dianggap sebagai suatu yang niscaya untuk menata kota. Contoh lain adalah sikap Menteri Kesehatan yang mengancam melakukan penuntutan hukum atas laporan kondisi kesehatan warga di sebuah daerah dan bukan terlebih dahulu mendengar atau menugaskan departemennya melakukan investigasi lebih lanjut. Sebuah contoh lagi, adalah ’kompensasi’ kenaikan BBM. Istilah ’kompensasi’ mungkin hanya sebuah ungkapan untuk menutup kekurangan (daya beli) yang dialami sebagian besar penduduk akibat kenaikan harga BBM. Meski demikian konsep ’kompensasi’ sekaligus menggambarkan sikap negara yang melihat pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan sebagai kewajiban akan tetapi sebagai ’belas kasih’ penguasa atas warganya. 2 Lihat Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UNGA Res. 2200 A (XXI), 16 Des. 1966. 2 sistem politik tertentu atau di negara-negara kaya saja. Pemikiran ini tidak seluruhnya benar, karena beberapa alasan. Antara lain, cara pemenuhan tidak mengubah legalitas dari hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai hak asasi. Kalau memang pemenuhannya harus dilakukan secara bertahap tidak berarti hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan hak asasi manusia. Sehubungan dengan ini hak ekonomi, sosial, dan budaya dianggap sebagai hak-hak positif yang membutuhkan campur tangan negara. Hal demikian oleh sebagian orang dianggap sebagai dasar untuk tidak memperlakukan hak sosial ekonomi sebagai hak asasi. Bagi kelompok yang memiliki pemahaman seperti ini, hak asasi hanyalah hak sipil dan politik yang mensyaratkan negara untuk melakukan campur tangan tesebut. Akan tetapi dikotomis ini sangat menyesatkan, karena realisasi dari hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya memerlukan tindakan aktif negara.3 Di sisi lain, negara juga harus tidak melakukan campur tangan. Sebagai contoh, pada hak sipil dan politik dikenal kewajiban negara untuk tidak melakukan penyiksaan, menghambat kehidupan beragama, atau menahan seseorang secara semena-mena. Pada hak ekonomi, sosial, dan budaya, contoh dari sifat negatif hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah negara tidak boleh melakukan penggusuran paksa. Alasan lainnya adalah realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak tergantung pada ketersediaan sumber-sumber daya melainkan pada kesamaan akses terhadap sumber-sumber tersebut.4 Oleh karena itu, pemerintah negara kaya sekalipun dapat dianggap melanggar hak asasi seseorang jika mencegah akses yang sama terhadap sumber-sumber daya. Sebaliknya pemerintah-pemerintah dari berbagai negara miskin, yang memiliki sumber daya yang terbatas, juga dapat memenuhi hak tersebut misalnya melalui perangkat perundang-undangan. Kekurangan sumber daya tidak dapat menjadi alasan bagi Negara untuk menghilangkan hak asasi seseorang. Sekalipun memerlukan waktu, negara mempunyai kewajiban untuk menunjukan bahwa telah melakukan langkah-langkah konkrit untuk mencapai pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hal lain adalah ada banyak aspek dari hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, dan pangan dapat dipenuhi secara langsung oleh negara sekalipun dengan sumber daya yang terbatas. Hal ini berarti pemenuhan secara bertahap dan progresif tidak serta merta menghapus realisasi secara langsung hak tersebut.5 Lihat saja di pinggir Kali Code, Yogyakarta. Tiadanya penggusuran justru memberdaya masyarakat setempat untuk membangun pemukimannya sendiri. Contoh-contoh lain yang telah diterima secara universal bahwa hak ini dapat segera dinikmati atau memiliki efek kesegeraan adalah larangan melakukan diskriminasi, hak atas kondisi kerja yang adil,6 hak mendirikan serikat buruh,7 hak anak untuk bebas dari eksploitasi 3 Sebagai contoh, realisasi hak untuk mendapat persidangan yang adil mengharuskan negara menyediakan hakim, ruang pengadilan, dan penjara yang layak. Demikian juga dengan pemilihan umum yang bebas dan adil. Untuk pelaksanaan Pemilu 2004, pemerintah telah mengalokasikan dana tidak kurang dari Rp. 3,023 trilyun. Satu trilyun di antaranya dianggarkan untuk biaya pencetakan dan distribusi kartu suara. Lihat http://www.kompas.com/kompascetak/0303/22/nasional/201415. 4 Pandangan ini antara lain diungkapkan oleh International Commission of Jurists di dalam “Justiciability of Economic, Social and Cultural Rights” 55 ICJ Review, Dec. 1995, hal. 207. 5 Pandangan dari Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya lihat Komentar Umum No. 3 [UN Doc.e/1991/23] 6 Pasal 7 [a] Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 3 ekonomi dan sosial,8 dan hak untuk tidak digusur secara paksa.9 Kebijakan pengembalian tanahtanah rakyat yang selama ini dirampas atas nama ’pembangunan’ adalah contoh lain yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak ekonomi dan sosial petani. Sebab lain dari luasnya pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah manipulasi yang mempertentangkan antara nasi dan kebebasan. Pada zaman Orde Baru pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya seringkali dikedepankan oleh pemerintah dengan cara memberangus kebebasan-kebebasan sipil (hak berpikir/berkeyakinan, menyatakan pendapat dan berorganisasi dan politik (hak mendirikan partai politik, pemilu yang bebas dan fair, hak untuk ikut menentukan jalannya pemerintahan). Negara saat itu mengklaim bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, maupun tempat tinggal harus terdapat stabilitas. Dan stabilitas diartikan tiadanya kritik, pemogokan, demonstrasi dan bentuk-bentuk pembatasan hak sipil dan politik lainnya. Pada kenyatannya tindakan itu lebih sebagai klaim daripada riel, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya tidak terpenuhi. Jutaan petani kehilangan tanahnya atas nama pembangunan – bersamaan dengan itu ribuan petani, mahasiswa, akademisi kritis, maupun aktivis ornop yang ditangkap, disiksa, atau bahkan hilang secara paksa. Kini manipulasi itu mengambil bentuk pada konsep bahwa Negara dianggap hanya bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak sipil dan politik dan tidak boleh campur tangan dalam realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya – yang sepenuhnya diserahkan pada non-negara (swasta). Pandangan ini berkaitan dengan dikotomis sesat hak positif–negatif tersebut di atas untuk membedakan hak sipil dan politk serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lebih dari itu, gagasan yang memisahkan urusan swasta dan Negara secara mutlak ini pada galibnya mengaburkan kenyataan bahwa persoalan ekonomi melibatkan kekuatan yang menentukan yaitu, kekuasaan modal.10 Sedangkan karakter kekuasaan modal meletakan tanggung jawabnya bukan kepada rakyat, melainkan hanya pada para pemegang saham. Jika Negara tidak berwenang melakukan regulasi terhadap tata kelola bisnis implikasi yang sudah banyak terjadi adalah komersialisasi pendidikan – yang menyebabkan semakin sempitnya akses pada pendidikan, atau eksploitasi sumber daya ekonomi publik seperti air minum yang mengakibatkan masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan akan air bersih. Berbagai cara pandang seperti inilah yang membuat tidak berkembangnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jika sejak dalam pikiran sudah ada anggapan bahwa hak ekonomi, sosial, dan budaya bukan hak asasi manusia maka dengan sendirinya pemenuhan, perlindungan, maupun pengakuan terhadap hak-hak tersebut menjadi rendah. Sesungguhnya apa yang dipertaruhkan oleh hak ekonomi, sosial, dan budaya – sama seperti hak sipil dan politik – yaitu martabat manusia. Hak-hak ini melekat pada – atau tidak dapat direnggut dari – manusia karena ia adalah manusia. Hak ini bukan pemberian atau belas kasih dari siapapun – termasuk bukan dari Negara. Hak ini bersifat universal berlaku bagi setiap manusia tanpa kecuali, laki-laki atau perempuan; dewasa atau anak-anak; berkulit putih, hitam, coklat atau lainnya; apapun status kelahirannya; apapun keyakinannya; memiliki hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya. Disamping itu baik 7 Pasal 8, ibid. 8 Pasal 10 [3], ibid. 9 Pasal 11, ibid. 10 Herry Priyono, Kompas 5/3/2002. 4 rumpun hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya tak terbagikan/terpisahkan dan saling terkait. Berbeda dengan ’kebutuhan’, yang bersifat kontekstual dan subyektif, hak asasi mensyaratkan adanya pihak yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika negara gagal melakukan kewajibannya memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya maka setiap orang yang tersingkir mempunyai dasar untuk melakukan perlawanan. Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM tak pelak lagi selalu mengacu pada DUHAM. Salah seorang penggagas DUHAM asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi DUHAM sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil (pasal 1-11), hak sosial (pasal 12-17), hak politik (pasal 18-21), hak ekonomi dan budaya (pasal 22-27), serta tanggungjawab negara 28-30. Rene Cassin juga menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci yang memayungi pasalpasal dalam DUHAM, yaitu “biarkan saya menjadi diri saya sendiri” untuk pasal hak sipil, “jangan campuri urusan kami” untuk pasal hak sosial, “biarkan kami turut berpartisipasi” untuk pasal hak politik, “beri kami mata pencaharian” untuk pasal hak ekonomi dan budaya. Adapun bangunan umum rujukan HAM bisa digambarkan sebagaimana bagan berikut, Kewajiban Negara Pasal 28‐30 Kovenan Hak Sipol 1976 Hak Sipil (Pasal 1-11) Hak Sosial (Pasal 12-17) Konvensi Int.l Konvensi Int.l Konvensi Int.l Konvensi Int.l Ratifikasi UU Nasional Kovenan Hak Ekosob 1976 Hak Politik (Pasal 18-21) Hak Ekonomi & Bud (Pasal 22-27) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Sedunia Bagan 1. Bangunan Instrumen HAM Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hakhak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Interna-sional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR). Pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok 5 yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu CEDAW (penghapusan diskriminasi perempuan), CRC (anak), CAT (penyiksaan), dan CERD (penghapusan diskriminasi rasial). Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewqajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundangundangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak-hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yangh lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen baik internasional maupun nasional yang menjadi acuan utama sebagaimana tergambar dalam Bagan 2 dan Bagan 3. Bagan 2. Instrumen HAM Internasional 6 Bagan 3. Instrumen HAM Nasional Kewajiban Negara Yang mengikat Setelah ratifikasi ICESCR, pemerintan Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICESCR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICESCR. Semua peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICESCR harus dicabut dan direvisi. Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi. Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi ICESCR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang seharusnya dinikmati warganegara. Dengan telah diratifikasinya ICESCR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan mengenai upaya dan capaian pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Obligasi negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan “komitmen” dan “kemauan baik”, yang tidak mengenal “setengah komitmen” atau “komitmen setengah-setengah” melainkan “komitmen penuh” untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal 3 Kovenan. 7 Tabel 2: Hak-hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 11/2005 No Pasal Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1 Pasal 6 Hak hak atas pekerjaan 2 Pasal 7 Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan 3 Pasal 8 Hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh 4 Pasal 9 Hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial 5 Pasal 10 Hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda 6 7 8 9 Pasal 11 Hak atas standar kehidupan yang memadai Pasal 12 Hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai Pasal 13 Hak atas pendidikan Pasal 14 Hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya Pada dasarnya semua pemenuhan hak ekosob memang membutuhkan biaya. Misalnya, jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan maka Pemda jangan melakukan penggusuran. Hal lain adalah semua pemenuhan hak ekosob mesti menunggu sumber daya yang berlimpah. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan – memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga. Pada dasarnya hak asasi menciptakan adanya kewajiban korelatif. Demikian pula dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mengacu pada Pasal 2 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, kewajiban negara memang dirumuskan tidak secara ketat. Sebagai contoh, pasal ini menggunakan istilah (a) ‘melakukan langkah-langkah’.. dengan segala cara yang tepat’, (b) “hingga sumber-sumber daya yang paling maksimal yang ada”, (c) ”mencapainya secara bertahap”. Rumusan ini bisa menimbulkan kekhawatiran bagi pihak korban hak-hak mereka tidak dapat direalisasikan. Seperti telah dijelaskan dimuka lingkup tanggungjawab negara telah dijabarkan dalam Komentar Umum No. 3, Maastricht Guideline (Acuan-acuan Maastricht), dan Limburg Principles (Prinsip-prinsip Limburg). Maastrich guideline menggambarkan sejumlah tindakan yang bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran. Panduan itu memang dirumuskan secara umum dan karenanya bisa dicoba diterapkan dalam situasi riil. Daftar yang disusun di bawah ini didasarkan pada kewajiban negara untuk aktif sehingga menjamin pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tepat. Kalau negara (yang harusnya melakukan tapi) tidak melakukan kewajiban itu dianggap sebagai pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan pembiaran, sebagai contoh: • seperti juga diungkapkan dalam Prinsip-prinsip Limburg11, kegagalan negara untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan (sesuai Pasal 2 ayat 1) merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena pembiaran; • kegagalan merubah atau mencabut peraturan yang sungguh-sungguh tidak konsisten dengan kewajiban yang ada dalam kovenan ini. Sebagai contoh, Peraturan Daerah DKI 11 Prinsip-prinsip Limburg, para. 16-20. 8 • • • 11/1988 mengenai Ketertiban Umum merupakan aturan yang jelas-jelas melarang hak bekerja masyarakat (miskin) tentu merupakan aturan yang seharusnya dicabut. Tidak dicabutnya peraturan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia ekonomi, sosial, dan budaya; kegagalan melaksanakan aturan atau memberlakukan kebijakan yang diperuntukan bagi pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai contoh, strategi wajib sekolah sembilan tahun (untuk memenuhi hak atas pendidikan) tapi tidak dijalankan bisa dianggap sebagai pelanggaran negara atas hak pendidikan dengan pembiaran; kegagalan mengatur pihak ke tiga (termasuk modal) entah individu atau kelompok agar mereka mencegah melakukan pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya; kegagalan negara memperhitungkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya dalam membuat perjanjian internasional dengan negara lain, sebuah organisasi internasional, atau dengan perusahaan multinasional. Negara tetap dianggap sebagai pihak yang memiliki kapasitas untuk menjamin pencegahan pelanggaran oleh pihak ketiga. Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak Ekosob Dengan pengikatan Indonesia sebagai negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat “secara sewenang-wenang” diklaim oleh lembaga-lembaga negara, termasuk DPR dan pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob)yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/2005, Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob. Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan “hak atas air” sebagai “hak asasi manusia”– sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan, maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian – “the right to water” sebagaimana dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan. DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena menafsirkan hak atas air sebagai “water rights” ala Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk keuntungan orang seorang dan badan usaha privat. Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai manusia. Untuk itulah kerangka kerja negara disusun untuk keperluan meningkatkan penikmatan hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan (degradasi) penikmatan hak ekosob warganegaranya. Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan “minimum core obligation” atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan diimplementasikan negara. Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi negara atau tidak, akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya 9 menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak ekosob. Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal dua bentuk obligasi negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of conduct dan obligation of result. Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban negara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) – memfasilitasi (to facilitate) dan menyediakan (to provide) – penikmatan hak-hak ekosob. Mengakui (to recognize) Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi manusia. Dengan demikian jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka semestinya negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem hukum di Indonesia (justiciable). Obligasi negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, negara berkewajiban untuk menerima “the essential importance of international cooperation based on free consent”. Mempromosikan (to promote) Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi hak-hak ekosob. Promosi bukan saja perlu dilakukan melalui penyebaran iklan layanan masyarakat tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif. Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program pemenuhan hak ekosob. Partisipasi masyarakat semacam ini (full and meaningful participation), dimungkinkan jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebijakan “pembangunan” secara luas agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik. Pentingnya negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal pelaporan yang dilakukan negara Pihak. Menghormati (to respect) Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan negara, mempunyai makna, negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu sendiri. Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetujuan sukarela calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan). Contoh lain, negara 10 tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan) Melindungi (to protect) Salah satu contoh yang paling prudent obligasi negara untuk melindungi hak ekosob, yakni memastikan adanya “legal security of tenure”,13 keamanan hukum kepemilikan atas tanah.12 Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundangundangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan). Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta negara untuk melakukan perlindungan bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial. Perlindungan, sebagai obligasi negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan). Memenuhi: Memfasilitasi dan Menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide) Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakanhak-hak ekosob setiap warga negaranya. Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan sebagai berikut: • Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan Hak Ekosob); • Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga negara (Pasal 9 Kovenan Hak Ekosob); • Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan Hak Ekosob); • Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus menerus (Pasal 11 Kovenan Hak Ekosob); • Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggitingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan Hak Ekosob); 12 Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi negara untuk melindungi hak atas tanah: karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya diambil-alih. Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si pemilik tanah. 11 • • Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (compulsory and free of charge) (Pasal 13 dan 14 Kovenan Hak Ekosob). Tidak seperti sekarang, “cuma” bayar SPP, “cuma” bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid; Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob); Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan: “Setiap Negara Peserta Kovenan ini berupaya untuk mengambil langkah-langkah,secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia, yangmengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnyadari hak-hak yang diakui dalamKovenan ini dengan semua cara yangtepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkahlegislatif”. Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2 tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan. Selain itu, penting untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2 Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan. Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources), pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving progressively the full realization), dan dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif (by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures)’ adalah bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol). Penggunaan istilah “Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkah-langkah” sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa, “…walaupun realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkahlangkah ke arah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan.” Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajibankewajiban Kovenan. Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasisituasinya. Interpretasi Komite terhadap 12 istilah ‘all appropriate measures’ jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan (obligations of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result). Sementara itu berkait istilah ‘mengadopsi langkah-langkah legislatif’’(adoption of legislative measures) Komite memberi peringatan bahwa keberadaan hukum jelas penting tetapi hal tersebut belumlah cukup membuktikan Negara Peserta telah menjalankan kewajibannya sesuai Kovenan. Berdasarkan pengalaman Komite ketika membahas laporan Kanada menyatakan, jika laporan difokuskan secara sempit pada aspek-aspek legal semata, maka kecurigaan biasanya akan muncul berkenaan dengan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktik. Dalam kenyataan, pembelajaran dan ekspresi dari banyak Negara Peserta dalam mengimplementasikan kewajibannya telah mendorong pentingnya aplikasi pendekatan berbasis hak dalam “pembangunan”. Suatu kebijakan ekonomi atau pembangunan memang untuk mencapai kesejahteraan warganegaranya, tetapi mereka tidak dapat dibuat menunggu pemenuhan hak-hak asasinya sampai klaim “pertumbuhan ekonomi” memungkinkan hal itu. Kini ratifikasi Kovenan Hak Ekosob memberi pemahaman mendasar bahwa peningkatan ekonomi haruslah secara nyata didasarkan pada penghormatan dan realisasi hak asasi manusia. Pada titik ini, Komite sekali lagi memberi peringatan bahwa klausul realisasi secara progresif sepatutnya juga dicerminkan pada pelaksanaan kewajiban yang menjamin agar tidak terjadi perkembangan regresif atau kemunduran. Jika hal itu pun terpaksa dilakukan dan terjadi, maka harus dijalankan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati, dibutuhkan justifikasi penuh dengan mengacu pada inti hak yang ditentukan dalam Kovenan dan dalam konteks pemanfaatan sejauh mungkin atas sumberdaya yang ada. Komite mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini, tetapi tidak menganggap bahwa ketersediaan sumberdaya sebagai alasan untuk lepaskan kewajibannya. Dalam kasus semacam ini, Komite menyatakan bahwa, dalam kasus dimana sejumlah cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak-hak orangorang ini memang diluar kendali. Disinilah konteks gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai contoh, jika terdapat penduduk secara massal, menderita kelaparan, tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan Negara gagal menjalankan obligasinya berdasarkan Kovenan. Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya sumberdaya yang ada, kewajiban Negara tetap dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang seluas-luasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan, pada saat terjadi keterbatasan sumberdaya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan perlindungan dengan diadopsinya programprogram yang dirancang relatif murah. Pasal 2 ayat (1) Kovenan, juga menegaskan tentang perlunya kerjasama dan bantuan internasional berkait dengan upaya realisasi hak. Pada kenyataannya memang Negara Peserta mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak secara penuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga, yang biasanya menunjuk pada keterlibatan 13 lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional, untuk mendukung bantuan teknis dan pinjaman dana. Problemnya, pada banyak negara, bahwa pada akhirnya mereka menjadi sangat tergantung pada aliran dana luar negeri, terjebak pada hutang luar negeri yang sangat besar, dan sementara itu sebagian besar penduduknya tetap dan jatuh miskin. Kesulitan utama dari persoalan ini adalah operasional dari lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional itu lepas dari kerangka kerja hak asasi manusia, dan negara pengutang tidak berdaya karena situasi ketergantungan dan keterjebakan hutang yang dialaminya. Pada suatu titik momentum ketika kelaparan dan kemiskinan menjadi musuh nomor satu dari semua negara di dunia ini, kerjasama pembangunan internasional ditandai oleh berbagai perubahan cara pandang dan kebijakan yang merujuk pada pemahaman bahwa realisasi hak asasi manusia merupakan kunci untuk lepas dari situasi ini. Tetapi terpisahnya logika globalisasi ekonomi dengan kerangka kerja hak asasi manusia menjadikan harapan akan membaiknya situasi derita dunia menjadi pupus kembali. Komite menegaskan bahwa Negara Peserta yang penduduknya dalam jumlah yang signifikan mengalami kekurangan bahan pangan, kekurangan pelayanan kesehatan dasar, tiada akses terhadap pemukiman dan perumahan yang layak, atau tiada akses terhadap pendidikan dasar merupakan petunjuk awal bagi kegagalan Negara untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diatur Kovenan. Pemahaman ini didasarkan pada keberadaan gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Konsep kewajiban minimum diajukan oleh Komite untuk menyangkal alasan tidak adanya sumberdaya sebagai faktor yang mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa Negara mempunyai kewajiban minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang minimum. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Hak Ekosob. Dalam perkembangannya, penguatan konsep pelanggaran Hak Ekosob terus dilakukan oleh banyak ahli hukum hak asasi manusia internasional yang kemudian dituangkan dan dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Limburg (the Limburg Principles). Prinsip-prinsip ini memberikan kerangka dasar bagi pengembangan lebih lanjut atas berbagai asumsi dan konsep pelanggaran Hak Ekosob. Tapi yang penting dipahami di sini adalah bahwa kegagalan Negara Peserta untuk memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Kovenan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kovenan. Pelanggaran terhadap Kovenan tersebut, dapat dimaknai, dalam situasi dan kondisi di mana negara Peserta: • gagal mengambil langkah-langkah seperti yang disyaratkan dalam Kovenan; • gagal menyingkirkan segera atas berbagai hambatan yang menghalangi realisasi hak secara penuh; • gagal untuk mengimplementasikan hak yang perlu segera direalisasikan; • menerapkan pembatasan atas hak yang diakui dalam Kovenan dengan alasan-alasan yang tidak sesuai seperti yang disyaratkan Kovenan; • sengaja menghambat atau menghalangi realisasi bertahap atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan; • gagal menyampaikan laporan sebagai ditentukan dalam Kovenan. 14 Di sisi lain, karena pengembangan konsep pelanggaran hak banyak difokuskan pada pemenuhan kewajiban, maka pemahaman akan penegakan realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan wilayah eksekutif dengan berbagai kebijakan dan programnya. Komite jelas menolak pemahaman ini. Komite menyatakan bahwa hak ekosob juga menjadi urusan pengadilan. Dengan begitu, menurut Komite, penegakan hak-hak yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekosob ini bisa ditangani oleh pihak yudikatif. Untuk mengukur apakah negara berhasil atau sebaliknya gagal dalam menjalankan obligasinya, seperti termuat dalam Kovenan Hak Ekosob, dapat menggunakan kebijakan dan standard yang sudah ada. Jika belum maka, perlu dibuat blue-print untuk masing-masing pemenuhan hak ekosob, yang dimuat dalam katalog hak Kovenan. Sebagai contoh, dalam rangka pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati standard hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian dan perumahan yang layak, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terusmenerus, pemerintah misalnya telah merumuskan kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK). Menariknya, dokmen ini disusun dengan perspektif, yang memandang problem kemiskinan berkait langsung dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar, utamanya hak-hak ekosob. Dalam dokumen ini juga ditegaskan, peristiwa kemiskinan adalah masalah hak asasi manusia. Selain itu, SPNK juga memuat rekomendasi caracara penghapusan kemiskinan dan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dengan mekanisme implementasi yang diadopsi oleh Kovenan Hak Ekosob. Memeriksa, dokumen SNPK ini, dapat dikatakan, kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan, di satu sisi, kualitas kehidupan seseorang sangat bergantung pada realisasi hak-hak asasinya, dan di sisi lain adalah menjadi kewajiban Negara untuk melaksanakan realisasi hak-hak asasi itu sepenuhnya. Mekanisme Monitoring Pelaksanaan Obligasi Negara Selain memberikan penafsiran dan elaborasi terhadap pasal-pasal dalam Kovenan, fungsi utama Komite Ekosob, melakukan pemantauan terhadap implementasi obligasi Negara Pihak dalam mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan) hak-hak ekosob masyarakat. Mekanisme monitoring implementasi ketentuan dalam Kovenan Hak Ekosob, dilakukan antara lain melalui pengawasan yang dilakukan Komite Hak Ekosob yang dibentuk berdasarkan Kovenan, atau disebut dengan mekanisme berdasarkan perjanjian (treatybased mechanism). Walaupun “terlambat” lahir, dibandingkan “Komite Hak Asasi Manusia”, Komite Hak Ekosob mulai menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pada 1986, menggantikan sebuah Kelompok Kerja (Working Group) yang dibentuk Dewan Ekonomi dan Sosial – Economic and Social Council (ECOSOC). Komite ini terdiri dari 18 pakar independen yang bekerja untuk memeriksa (mengeksaminasi) laporan Negara Pihak dalam menjalankan obligasi (kewajiban) yang tercantum di Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob). Lihat Tabel 5. Dalam menjalankan fungsinya, Komite bekerjasama dengan lembaga-lembaga khusus PBB yang lain. Sebagai contoh, dalam memeriksa laporan yang berkaitan dengan obligasi negara untuk memenuhi hak atas pangan, seperti dinyatakan dalam Pasal 11 Kovenan, Komite bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian – Food and Agriculture Organisation (FAO). Contoh lain, dalam memeriksa obligasi pemenuhan hak atas pendidikan, Komite mengambil manfaat dan bekerjasama dengan para pakar yang bekerja pada Organisasi Pendidikan, Ilmu 15 Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Demikian juga kerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional – International Labor Organisation (ILO) dalam kaitan dengan hak-hak buruh atau bekerjasama dengan UN Centre for Human Settlement (Habitat) berkaitan dengan hak setiap orang untuk menikmati perumahan yang layak. Dialog yang terjadi antara Komite dengan perwakilan Negara dikembangkan, untuk selanjutnya Komite memberikan rekomendasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan Negara selanjutnya. Dalam hal ini, Komite dituntut selalu mengembangkan praktik kreatif untuk mendorong Negara Pihak benarbenar menjalankan kewajibannya. Dalam melaksanakan fungsinya, Komite juga memperhatikan dokumen yang berkaitan dengan hak-hak ekosob, seperti Prinsip-prinsip Limburg (Limburg Principles), yang kemudian dikembangkan di Maastricht pada 1986. Selain treaty-based mechanism tersebut, maka dimungkinkan juga pengawasan dilakukan berdasarkan nontreaty based seperti prosedur khusus (special procedure) dibawah Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) – yang sekarang diganti oleh Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council). Komite Hak Ekosob dalam menjalankan fungsinya juga mendengarkan pendapat dan masukan dari para pelapor khusus ini Penting untuk diingatkan lagi, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dimungkinkan secara penuh, berdasarkan Kovenan Hak Ekosob, dimana Komite senantiasa meminta atau terbuka untuk menerima masukan dari organisasi-organisasi non-pemerintah ketika memeriksa laporan yang disampaikan Negara Pihak. Tabel 3. Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Negara DIMENSI-DIMENSI HAK ASASI MANUSIA Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya I PENGHORMATAN (tidak ada gangguan dalam pelaksanaan hak) II PERLINDUNGAN (mencegah pelanggaran oleh pihak ketiga) III PEMENUHAN (penyediaan sumberdaya dan hasilhasil kebijakan) Pemerintah berkewajiban membuat UU untuk melindungi dan menjamin hak setiap warganegara agar tak mengalami diskriminasi etnis, ras, jender atau bahasa dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, serta alokasi sumberdaya yang kurang Pemerintah harus mengupayakan tindakan untuk mencegah pelaku non-negara berperilaku diskriminatif sehingga membatasi akses dalam bidang kesehatan, pendidikan serta bidang kesejahteraan lainnya Pemenuhan secara progresif; Investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan bidang kesejahteraan lainnya serta alokasi sumberdaya untuk kemampuan masyarakat Mekanisme Pelaporan Sebagai Sebuah Pertanggungjawaban Berbeda dengan hak-hak sipol yang jaminan utamanya ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan Protokol Pertamanya, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) tidak memiliki badan yang memonitor pelaksanaan kovenan oleh negara pihak. Badan yang mengurusi persoalan hak-hak ini dalam sistem PBB adalah Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (selanjutnya disebut Komite), yang dibentuk pada 1987 di bawah ECOSOC. Aktivitas utamanya adalah menguji laporan16 laporan negara pihak hingga mengambil hasil observasi, membuat resolusi serta Komentar Umum.13 Melalui proses demikian masalah tidak adanya mekanism menuntut keadilan secara bertahap dicoba diatasi. Sebab, komite berhak untuk memonitor derajat realisasi hak-hak yang ada dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Saat ini bahkan sedang digagas adanya protokol tambahan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya khusus mengenai mekanisme ‘komplain individu’ terhadap dilanggarnya hak asasi mereka. Adapun untuk memonitor, menilai dan mengukur tindakan atau langkah-langkah yang telah dilakukan negara dalam memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya setidaknya melibatkan: • Penggunaan indikator-indikator. Karena indikator inilah persis yang akan jadi ukuran sejauh mana negara dari waktu ke waktu merealisasikan pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Indikator ini digunakan untuk mengukur situasi tertentu dan perubahan-perubahan yang telah dicapai (harus diingat bahwa hak itu dicapai secara bertahap). Dan sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, standard-standar hak ekonomi, sosial, dan budaya belum seluruhnya berkembang. Untuk itu penting membuat indikator mengenai kandungan dari hak-hak ini untuk kegiatan monitoring maupun advokasi. Mungkin diantaranya melakukan penelitian sehingga bisa ditemukan standar dengan pemahaman yang lebih mendalam. Adakah misalnya metode produksi pangan atau perbaikan dalam konservasi dan sistem distribusi pangan? • Monitoring pada baik tindakan pemerintah dan hasil-hasil dari tindakan yang bersangkutan. • Mengajukan tuntutan ke hadapan pengadilan berdasarkan standar-standar hak asasi manusia. Seperti pernah disinggung sebelumnya di India dan sejumlah negara lain, tuntutan hak atas tempat tinggal layak dapat diajukan dan diproses ke pengadilan. • Memonitor alokasi anggaran pembangunan. • Memonitor sejauh mana standar-standar hak asasi manusia menjadi ukuran dalam perencanaan hingga evaluasi proses pembangunan. Salah satu kewajiban pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR adalah keharusan untuk menyampaikan pelaporan pelaksanaan isi konvensi ini kepada Sekjen PBB untuk kemudian diteruskan kepada Komite HAM sebagaimana dalam sistem HAM PBB (lihat Bagan 4). Komite HAM ini dibentuk oleh para negara pihak untuk mengawasi pelaksanaan kovenan sebagaimana dalam Bagan 5 dengan periodisasi sebagaimana tergambar dalam Tabel 5. Sesuai Pasal 40 ICCPR, laporan pendahuluan (initial report) pelaksanaan kovenan sudah harus disampaikan kepada Sekjen PBB dalam kurun waktu 1 tahun setelah kovenan berlaku bagi negara pihak. Setelah itu kewajiban pelaporan negara pihak tergantungpada permintaan Komite. Monitoring terhadap Pelanggaran dan Pengaduan 13 Lihat Revised Guideline Regarding the Form and Contents of Reports to be Submitted by States Parties Under Article 16 and 17 of ICESCR, Juni 1991 (UN Doc.E/C.12/1991). 17 Bagan 4. Bagan Sistem HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 18 Bagan 5. Mekanisme Pertanggungjawaban Pelaksanaan dan Implementasi HAM 19 Tabel 5. Periodisasi Pelaporan 20 Tabel 6. Prosedur Khusus di bawah Komisi HAM dengan mandat tematik yang relevan dengan hak-hak Ekosob (per 1 februari 2006) 21 Buku Referensi Yang Dianjurkan Untuk Dibaca: • • • • Allan McChesney, Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Insist Press, Yogyakarta, 2003. Asbjorn Eide, Catarina Krause, and Allan Rosas (ed.), Economic, Social and Cultural Rights, Martinus Nijhoff Publishers, 2001. Manfred Nowak, Introduction to the International Human Rights Regime, Martinus Nijhoff Publishers, 2003. Komentar Umum Hak Sipol Dan Hak Ekosob, Komnas HAM, Jakarta, 2009. 22 KOMENTAR UMUM 9 (Sidang kesembilan belas, 1998) (Laporan Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UN doc E/1999/22, hal. 117-121) Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri A. Kewajiban untuk melaksanakan Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 1. Dalam Komentar Umum No.3 (1990) Komite menanggapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sifat dan jangkauan dari kewajiban-kewajiban Negara peserta. Komentar umum ini ingin memperluas unsur-unsur tertentu dari pernyataan terdahulu. Kewajiban utama yang berkenaan dengan Kovenan adalah agar Negara merealisasikan hak-hak yang telah diakui di dalamnya. Dengan menuntut agar Pemerintah melakukan hal tersebut “dengan segala cara yang tepat”, Kovenan menganut sebuah pendekatan yang luas dan lentur yang memungkinkan untuk menerima kekhususan sistim hukum dan administrasi tiap negara peserta, dan juga pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan. 2. Bagaimanapun, fleksibilitas ini hadir bersama dengan kewajiban setiap Negara peserta untuk menggunakan segala cara yang ada untuk merealisasikan hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Dalam hal ini, persyaratan hukum yang fundamental dari hukum hak asasi manusia internasional harus ditanamkan dalam pikiran. Karena itu, norma-norma Kovenan harus diakui dengan cara yang tepat dalam tatanan hukum dalam negeri, cara-cara pemulihan yang sesuai, harus tersedia bagi individu atau kelompok yang tersakiti, dan cara-cara yang tepat untuk memastikan adanya akuntabilitas pemerintah juga harus dibuat. 3. Pertanyaan-pertanyaan seputar pelaksanaan Kovenan di dalam negeri harus dipertimbangkan berdasarkan dua prinsip hukum internasional. Pertama, sebagaimana tercermin dalam pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian-Perjanjian pada tahun 1969, adalah bahwa “[sebuah] negara tidak boleh menganggap kondisi-kondisi dalam hukum internalnya sebagai pembenaran atas kegagalannya dalam pelaksanaan suatu perjanjian.” Dengan kata lain, Negara harus mengubah tatanan hukum dalam negeri seperlunya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban perjanjian mereka. Prinsip kedua tercermin dalam pasal 8 Universal Declaration of Human Rights, dimana “Setiap orang berhak atas sebuah pemulihan yang efektif oleh peradilan nasional yang kompeten karena tindakan pelanggaran atas hak-hak fundamental yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau oleh hukum.” Kovenan tidak memiliki padanan langsung dari pasal 2.3 (b) dari Kovenan Internasional atas Hak-hak Sipil dan Politik yang mewajibkan Negara untuk, inter alia, “mengembangkan peluang pemulihan oleh hukum.” Walau demikian, Negara yang mencari pembenaran atas kegagalannya untuk menyediakan pemulihan oleh hukum dalam negeri atas pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya akan harus menunjukkan bahwa pemulihan-pemulihan semacam itu “bukan cara yang tepat” dalam kondisi pasal 2.1 Kovenan atau bahwa, berdasarkan caracara lain yang digunakan, cara-cara itu tidak perlu diterapkan. Akan sukar untuk menunjukkan hal ini sehingga Komite mempertimbangkan bahwa, dalam berbagai kasus, “cara-cara” lain yang digunakan itu dapat dianggap tidak efektif jika cara-cara itu tidak didukung atau dilengkapi dengan pemulihan oleh hukum. B. Status Kovenan dalam tatanan hukum dalam negeri 4. Pada umumnya, standar-standar hak asasi manusia internasional yang terikat secara hukum seharusnya berfungsi langsung dan dengan segera dalam sistem hukum dalam negeri di tiap negara, dengan demikian memungkinkan individu-individu untuk mencari pemenuhan atas hak-hak mereka di hadapan peradilan nasional. Aturan yang menyatakan digunakannya seluruh usaha pemulihan di dalam negeri dalam hal ini memperkuat dominasi pemulihan nasional. Eksistensi dan pengembangan lebih lanjut dari berbagai prosedur internasional untuk memungkinkan adanya gugatan perorangan adalah hal yang penting, tetapi prosedur-prosedur semacam itu akhirnya hanya bersifat pelengkap terhadap pemulihan nasional yang efektif. 5. Kovenan tidak menuntut cara-cara khusus yang harus diterapkan dalam tatanan hukum dalam negeri. Di samping itu, tidak ada kondisi-kondisi yang mewajibkan integrasinya secara menyeluruh atau menuntut untuk sesuai status tertentu apapun dalam hukum nasional. Walaupun metode yang tepat memasukkan hak-hak yang ada di dalam Kovenan ke dalam hukum nasional bergantung pada masing-masing Negara, cara-cara yang digunakan harus sesuai agar dapat memberikan hasil yang sejalan dengan pelepasan penuh kewajiban-kewajibannya oleh Negara. Cara-cara yang terpilih itu juga bisa ditinjau kembali sebagaibagian dari pemeriksaan Komite atas laporan Negara dengan berbagai kewajibannya di bawah Kovenan. 6. Sebuah analisis atas praktek Negara yang berkenaan dengan Kovenan memperlihatkan bahwa Negara telah menggunakan berbagai pendekatan. Sejumlah Negara telah gagal samasekali untuk melakukan hal-hal yang spesifik. Dari negaranegara yang telah menerapkan ukuran-ukuran, sebagian di antaranya telah mengubah Kovenan menjadi hukum dalam negeri dengan memberikan tambahan atau mengubah undang-undang yang sudah ada, tanpa memunculkan kondisi-kondisi khusus Kovenan. Sedangkan yang lain telah melaksanakan atau mengintegrasikannya ke dalam hukum dalam negeri sedemikian rupa sehingga kondisi-kondisi khususnya tetap terjaga dan mendapatkan kesahihan formal dalam tatanan hokum nasional. Hal ini kerap kali dilakukan melalui sarana-sarana ketentuan konstitusional menurut prioritas pada ketentuan dalam perjanjian hak asasi manusia internasional pada setiap hukum domestik yang tidak sesuai. Pendekatan Negara terhadap Kovenan sangat bergantung pada pendekatan yang diadopsi pada perjanjian secara umum dalam tatanan hukum dalam negeri. 7. Apapun metodologi yang ditetapkan, terdapat beberapa prinsip yang muncul dari kewajiban untuk memberikan dampak pada Kovenan dan, karenanya, harus dihormati. Pertama, cara-cara pelaksanaan yang ditentukan harus cukup memadai untuk memastikan pemenuhan berbagai kewajiban di bawah Kovenan. Kebutuhan untuk memastikan justiciability (baca par. 10 di bawah) dipandang relevan saat menentukan cara yang paling tepat untuk memberikan dampak hukum dalam negeri pada hak-hak Kovenan. Kedua, laporan harus disusun dengan cara-cara yang telah terbukti efektif di dalam negeri perihal kepastian perlindungan hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana cara-cara yang digunakan untuk memberi dampak pada Kovenan atas Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya itu berbeda dari cara-cara yang dipakai dalam kaitannya dengan Kovenan-Kovenan hak asasi manusia lainnya, di situ harus terdapat pembenaran yang kuat atas hal ini, dengan mempertimbangkan fakta bahwa rumusanrumusan yang dipakai dalam Kovenan dapat dibandingkan dengan rumusan-rumusan yang dipakai dalam berbagai Kovenan seputar hak-hak sipil dan politik. 8. Ketiga, walaupun Kovenan tidak secara formal mewajibkan Negara untuk mengintegrasikan kondisi-kondisinya ke dalam hukum dalam negeri, pendekatan semacam itu lebih diinginkan. Pengintegrasian langsung dapat menghindarkan masalah-masalah yang mungkin timbul dalam penerjemahan kewajiban Kovenan menjadi hukum nasional, dan menyediakan suatu landasan bagi pengajuan hak-hak Kovenan secara langsung oleh individu-individu dalam peradilan nasional. Karena alasan ini, Komite sepenuhnya mendorong pelaksanaan dan pengintegrasian Kovenan secara formal ke dalam hukum nasional. C. Peran pemulihan secara hukum Penyelesaian secara hukum atau penyelesaian pengadilan? 9. Hak atas sebuah pemulihan yang efektif tidak perlu ditafsirkan sebagai selalu membutuhkan sebuah pemulihan oleh peradilan. Dalam banyak kasus, pemulihan secara administratif akan cukup memadai dan orang-orang yang tinggal di dalam wilayah yurisdiksi sebuah Negara memiliki sebuah harapan yang memiliki landasan, didasarkan pada prinsip adanya keyakinan yang baik, bahwa segenap otoritas administratif akan mempertimbangkan kondisi-kondisi Kovenan dalam pengambilan keputusan mereka. Pemulihan administratif seperti itu harus dapat diakses, terjangkau, tepat waktu, dan efektif. Hak tertinggi atas banding pengadilan dari prosedur administratif jenis ini kerap kali juga merupakan cara yang tepat. Melalui cara yang sama, terdapat sejumlah kewajiban, seperti kewajiban yang berkenaan dengan nondiskriminasi, dimana ketetapan tentang pemulihan oleh peradilan diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat dari Kovenan. Dengan kata lain, bilamana sebuah hak Kovenan tidak dapat sepenuhnya efektif tanpa peran peradilan, maka pemulihan oleh peradilan dibutuhkan. Sifat Justiciability(dapat dituntut di pengadilan) 10. Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik, pemulihan oleh peradilan terhadap pelanggaran-pelanggaran sifatnya esensial. Sayangnya, anggapan yang sebaliknya justru kerap muncul sehubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kesenjangan ini tidak dijamin baik oleh karakteristik hak maupun ketetapanketetapan Kovenan yang relevan. Komite telah menunjukkan bahwa banyak dari ketetapan dalam Kovenan yang dianggap dapat langsung dilaksanakan. Dengan demikian, dalam Komentar Umum No.3 disebutkan, melalui contoh, pasal 3, 7 (a), 8, 10.3, 13.2 (a), 13.3, 13.4, dan 15.3. Penting adanya untuk membedakan “Justiciability” (yang merujuk pada berbagai persoalan yang sebaiknya diselesaikan melalui peradilan) dan norma yang sifatnya lebih berdiri sendiri (dapat diterapkan melalui peradilan tanpa perluasan lebih lanjut). Walau pendekatan umum terhadap setiap sistem hukum perlu dipertimbangkan, tidak ada hak Kovenan yang tidak dapat, di kebanyakan sistem, dianggap mempunyai setidaknya beberapa dimensi nilai peradilan yang berarti. Terkadang persoalan yang melibatkan alokasi sumber daya harus diserahkan pada otoritas politik dan bukannya pengadilan. Walau kekompetenan dari berbagai cabang pemerintahan harus dihargai, tepat adanya untuk mengenal bahwa pengadilan biasanya telah terlibat dalam banyak persoalan yang memiliki implikasi sumber daya yang penting. Penerapan pengklasifikasian yang kaku atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang menempatkan hak-hak itu, melalui definisi, di luar jangkauan pengadilan akan menjadi bersifat sewenang-wenang dan tidak sejalan dengan prinsip yang kedua perangkat hak asasi manusia itu saling bergantung dan tidak terpisahkan. Hal ini juga akan secara drastis membatasi kapasitas pengadilan dalam melindungi hak-hak dari berbagai kelompok yang rawan dan kurang beruntung dalam masyarakat. Dapat dilaksanakan sendiri 11. Kovenan tidak mengabaikan kemungkinan bahwa hak-hak yang dikandungnya dapat memfungsikan-sendiri dalam sistem tempat opsi itu disediakan. Sesungguhnya, saat dirancang, upaya-upaya untuk memasukkan sebuah ketetapan tertentu di dalam Kovenan yang dipandang “non-memfungsikan-sendiri” ditolak. Di kebanyakan Negara, penentuan apakah sebuah ketetapan Kovenan bersifat memfungsikan-sendiri adalah persoalan yang dihadapi oleh pengadilan, bukan eksekutif atau legislatif. Supaya fungsi itu efektif, pengadilan-pengadilan terkait harus mewaspadai karakteristik dan implikasi dari Kovenan dan peran penting dari pemulihan oleh peradilan dalam penerapannya. Karena itu, sebagai contoh, ketika Pemerintah terlibat dalam proses peradilan, mereka harus mengajukan berbagai interpretasi atas hukum dalam negeri yang memberikan dampak pada kewajiban-kewajiban Kovenan mereka. Juga, pelatihan peradilan harus sepenuhnya menyertakan nilai peradilan dari Kovenan. Sangat penting untuk menghindari tiap bentuk anggapan yang bersifat apriori bahwa norma-norma harus dipandang bersifat non-memfungsikan-diri. Nyatanya, banyak dari norma-norma itu dinyatakan dengan istilah-istilah yang sama jelas dan spesifiknya dengan berbagai Kovenan hak asasi manusia lainnya, ketetapan-ketetapan yang oleh pengadilan dinilai sebagai memfungsikan-diri. D. Perlakuan Kovenan di Pengadilan Dalam Negeri 12. Di dalam panduan Komite mengenai laporan-laporan Negara, Negara diminta untuk memberikan informasi apakah ketetapan-ketetapan Kovenan “dapat dimunculkan sebelum, secara langsung diwajibkan oleh, Pengadilan, otoritas peradilan dan administratif lainnya.” Sejumlah Negara telah menyampaikan informasi itu, tetapi substansi yang lebih besar harus disertakan dalam unsur ini dalam laporan-laporan mendatang. Terutama, Komite menuntut Negara untuk memberikan rincian mengenai sistem hukum yang penting dari pengadilan dalam negeri mereka yang memanfaatkan ketetapan-ketetapan Kovenan. 13. Atas dasar informasi yang tersedia, jelaslah bahwa praktek Negara beragam. Komite mencatat bahwa sejumlah pengadilan telah menerapkan ketetapan-ketetapan Kovenan baik secara langsung maupun melalui standar-standar yang mudah ditafsirkan. Dalam prinsipnya, pengadilan-pengadilan lainnya beritikad untuk mengenal relevansi Kovenan dalam menginterpretasikan hukum dalam negeri, tetapi dalam prakteknya, dampak Kovenan pada interpretasi atau hasil dari kasus-kasus sangat terbatas. Sedangkan ada pengadilan-pengadilan yang telah menolak nilai hukum dari Kovenan dalam berbagai kasus dimana individu-individu bergantung padanya. Masih terdapat peluang yang besar bagi pengadilan di banyak negara untuk lebih bergantung pada Kovenan. 14. Dalam batas-batas implementasi dari fungsi tinjauan peradilan, pengadilan harus mempertimbangkan hak-hak Kovenan dimana penting untuk memastikan bahwa perilaku Negara konsisten dengan kewajiban-kewajibannya di bawah Kovenan. Tolakan oleh pengadilan atas tanggung-jawab ini tidak sejalan dengan prinsip aturan hukum, yang harus selalu diterapkan untuk memunculkan penghormatan terhadap kewajibankewajiban hak asasi manusia internasional. 15. Umum diterima bahwa hukum dalam negeri harus diinterpretasikan sedalam mungkin dengan sebuah cara yang sejalan dengan kewajiban hukum internasional sebuah Negara. Dengan demikian, ketika seorang pengambil keputusan dalam negeri dihadapkan pada suatu pilihan antara sebuah interpretasi atas hukum dalam negeri yang akan menempatkan Negara dalam pelanggaran terhadap Kovenan dan sebuah interpretasi yang akan memampukan Negara untuk mematuhi Kovenan, hukum internasional membutuhkan pilihan yang terakhir. Jaminan atas kesetaraan dan nondiskriminasi harus diinterpretasikan, seluas mungkin, dengan cara-cara yang memfasilitasi perlindungan penuh atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. CATATAN 1. A/CONF.39/27. 2. Pelaksanaan Pasal 2.2 Negara "sepakat untuk menjamin" bahwa hak-hak dalam Kovenan dilaksanakan “tanpa diskriminasi dalam segala bentuknya.” 3. Pedoman pelaporan, E/C.12/1990/8, Lampiran IV.